Anda di halaman 1dari 24

Menyingkap Kepatuhan Syariah Bank

Syariah dari Laporan Keuangan


by Editor on 30/04/2014

Oleh: Noven Suprayogi

Dosen Departemen Ekonomi Syariah, FEB Universitas Airlangga, Surabaya

Kepatuhan syariah (sharia compliance) saat ini menjadi isu penting bagi stakeholders bank syariah di
Indonesia. Banyak kritikan tajam dari masyarakat tentang kepatuhan perbankan syariah terhadap
prinsip-prinsip syariah, bahwa bank syariah di Indonesia saat ini kurang sesuai dengan syariah.
Kondisi tersebut boleh jadi sebagai dampak positif dari semakin masifnya sosialisasi tentang
perbankan syariah ke masyarakat sehingga masyarakat mulai sadar dan memiliki pengetahuan yang
cukup tentang perbankan syariah.

Kritikan tajam mulai muncul ketika masyarakat merasa bahwa terjadi perbedaan antara teori
dan praktik. Laporan atau opini Dewan Pengawas Syariah yang selalu dilampirkan dalam
laporan keuangan bank syariah seakan-akan belum mampu menjawab kritikan dan rasa
penasaran masyarakat tentang sejauh mana praktik perbankan syariah di Indonesia saat ini
apakah telah sesuai syariah? Sehingga informasi tentang kepatuhan syariah (sharia
compliance) seakan-akan menjadi misteri bagi masyarakat yang menyebabkan semakin
runcing perdebatan tentang aspek kepatuhan syariah di bank syariah saat ini.

Apalagi saat ini masing-masing pihak yang berdebat memiliki dasar hukum sendiri-sendiri,
sehingga semakin menjadikan aspek kepatuhan syariah menjadi misteri besar bagi
masyarakat, seakan-akan hanya manajemen bank syariah dan Dewan Pengawas Syariah serta
Bank Indonesia semata saja yang bisa mengetahui tingkat kepatuhan syariah di bank syariah.

Menyingkap Misteri

Jika kita perhatikan lebih jeli, maka masyarakat umum dan para stakeholders bank syariah di
Indonesia bisa mengetahui, mengukur, dan menilai sejauh mana operasional sebuah bank
syariah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Yaitu, melalui laporan keuangan bank syariah
yang senantiasa dipublikasikan secara periodik.

Sesuai dengan tujuan penyusunan laporan keuangan syariah yang dinyatakan dalam
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Syariah dalam Kerangka Dasar
Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah paragraf 30, dinyatakan bahwa tujuan
laporan keuangan syariah adalah meningkatkan kepatuhan terhadap prinsip syariah dalam
semua transaksi dan kegiatan usaha entitas syariah. Sehingga PSAK Syariah yang disusun
oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) merupakan salah satu alat untuk mengukur dan
memastikan serta menilai apakah operasional bisnis dan transaksi bank syariah di Indonesia
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

PSAK Syariah telah mengidentifikasi ada 12 ciri/karakteristik transaksi syariah dalam


Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah paragraf 27 yang
harus tercermin dalam laporan keuangan syariah di bank syariah sebagai entitas syariah. Dari
keduabelas ciri tersebut paling tidak ada ada tiga ciri yang bisa dianalisa langsung dalam
laporan keuangan syariah oleh masyarakat yaitu tidak mengandung unsur riba, gharar,
haram, dan tidak menganut prinsip nilai waktu uang (time value of money).

Menakar Kepatuhan Syariah

Untuk mengidentifikasi ada tidaknya bunga dan pendapatan haram lainnya maka bisa
dianalisa sumber-sumber pendapatan yang diperoleh bank syariah. Sumber pendapatan yang
harus diperhatikan adalah sumber pendapatan bunga yang berasal dari penempatan dana bank
syariah di bank konvensional. Berdasarkan PSAK Syariah maka pendapatan bunga dan denda
tidak boleh diakui sebagai pendapatan bank syariah, tetapi harus diakui sebagai pendapatan
dana kebajikan.

Berdasarkan penelitian penulis dari bank umum syariah yang ada saat ini masih ada salah
satu bank syariah yang mengakui adanya pendapatan bunga dari penempatan dananya di bank
konvensional sebagai pendapatan utama, bahkan termasuk komponen yang dibagihasilkan
kepada nasabah deposan.

Atas kejadian tersebut belum ada pengungkapan informasi dari Dewan Pengawas Syariah
(DPS) dan Bank Indonesia (BI) mengapa hal tersebut masih dikatakan sesuai syariah dalam
opini DPS bank syariah yang bersangkutan dan dilampirkan dalam publikasi laporan
keuangannya.

Untuk mengidentifikasi apakah dalam sebuah bank syariah terdapat unsur time value of
money dapat dilihat dari catatan atas laporan keuangan tentang metode akuntansi yang
digunakan dalam pengakuan pendapatan margin murabahah. Berdasarkan PSAK Syariah 102
tentang akuntansi murabahah paragraph 23 sampai dengan 25 menyebutkan bahwa
pengakuan pendapatan margin murabahah yang diperkenankan adalah secara proporsional.

Berdasarkan penelitian penulis, saat ini masih banyak bank syariah yang menggunakan
metode anuitas dalam pengakuan pendapatan margin murabahah. Metode anuitas akan
menguntungkan bagi bank syariah karena margin murabahah diakui di awal lebih besar dan
akan menurun terus sampai pada angsuran terakhir. Sehingga jika metode anuitas masih
digunakan dalam pengakuan pendapatan margin murabahah maka bank syariah masih
memegang prinsip-prinsip time value of money.

Ada atau tidaknya unsur gharar dalam bank syariah bisa diukur dan dianalisa dari laporan
rekonsiliasi pendapatan dan bagi hasil. Pendapatan yang dibagihasilkan oleh bank syariah
harus bersifat cash basis tidak boleh pendapatan accrual.

Ada beberapa bank yang tidak menyajikan laporan rekonsiliasi pendapatan dan bagi hasil
sehingga tidak bisa diketahui apakah pendapatan yang dibagihasilkan ke nasabah deposan
adalah yang riil ataukah masih accrual. Teknik kedua adalah dengan melihat pengukuran
pendapatan yang dibagihasilkan apakah menggunakan metode revenue sharing atau gross
profit sharing? Jika bank syariah masih menggunakan revenue sharing maka masih ada unsur
kezaliman. Berdasarkan fatwa DSN No.15 Tahun 2000 sistem distribusi bagi hasil yang
diperbolehkan adalah gross profit sharing atau profit loss sharing.

Teknik selanjutnya dalam menganalisa kepatuhan syariah di bank syariah adalah dengan
melihat apakah bank syariah menyajikan laporan sumber dan penggunaan dana kebajikan.
Jika bank syariah tidak menyajikan laporan sumber dan penggunaan dana kebajikan maka
perlu dipertanyakan tentang pengelolaan dana-dana non halal dalam bank syariah tersebut.

Begitu juga masyarakat dapat menilai bagaimana pengelolaan dana zakat oleh bank syariah,
terutama dalam aspek penyaluran dana zakat apa sesuai dengan syariah atau tidak. Hal yang
harus diperhatikan dalam pengelolaan dana zakat adalah dana zakat tidak boleh disalurkan
atau digunakan untuk melakukan penghapusan piutang pembiayaan nasabah bank syariah
dengan alasan masuk dalam asnaf gharimin.

Full Disclosure

Jika kita perhatikan lebih detail, dalam praktik opini DPS bank syariah dibandingkan dengan
kebijakan akuntansi serta metode akuntansi yang digunakan seringkali tidak sinkron. Ada
kebijakan dan metode akuntansi yang digunakan oleh bank syariah tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah tetapi opini DPS menyatakan bahwa keseluruhan operasi dan produk
bank syariah telah sesuai syariah tanpa ada penjelasan lebih lanjut dan detail.

Seperti dalam kasus ada bank syariah yang dalam laporan keuangannya mengakui
pendapatan bunga dari penempatan dana bank syariah di bank konvensional diakui sebagai
pendapatan bank syariah. Bahkan, masuk dalam pendapatan yang didistribusikan ke nasabah
deposan. Tetapi, dalam opini DPS bank syariah yang bersangkutan menyatakan keseluruhan
operasional dan produknya telah sesuai syariah, dan tidak diungkapkan mengapa kebijakan
tersebut dibenarkan oleh DPS bank syariah yang bersangkutan.

Oleh karena itu di masa yang akan datang perlu pengungkapan secara penuh informasi
kepatuhan syariah dari laporan/opini DPS bank syariah. Jika kita melihat dan membaca
laporan/opini DPS bank syariah masih bersifat global dan kurang menyajikan informasi yang
detail.

Untuk meningkatkan kualitas laporan/opini DPS bank syariah perlu disusun laporan/opini
DPS bank syariah dengan menggunakan konsep pengungkapan secara penuh (full disclosure
principles) sehingga kepatuhan syariah bukan lagi menjadi misteri bagi masyarakat atau
stakeholders bank syariah.

Laporan keuangan yang bisa digunakan untuk menganalisa kepatuhan syariah suatu bank
syariah antara lain:

1 Catatan atas laporan keuangan.

Catatan atas laporan keuangan akan memberikan informasi yang detail tentang kebijakan
akuntansi yang digunakan serta situasi dan kondisi yang terjadi dalam bank syariah yang
bersangkutan serta kebijakan alokasi dan penggunaan dana yang dijalankan oleh bank
syariah. Sehingga berdasarkan catatan atas laporan keuangan akan dapat diperoleh gambaran
bagaimana manajemen bank syariah mengoperasikan bisnisnya.

2 Laporan laba rugi

Prinsip penyusunan dan penyajian laporan laba rugi bank syariah berbeda dengan laporan
laba rugi bank konvensional dalam pengukuran pendapatan dan penghitungan labanya.
Laporan laba rugi bisa diidentifikasi apakah pendapatan yang dibagi hasilkan dan diperoleh
oleh bank syariah bukan berasal dari riba dan pendapatan yang haram. Perhitungan tentang
bagi hasil kepada pihak nasabah deposan pun bisa dilihat dari laporan laba rugi yang disusun
oleh bank syariah

3 Laporan sumber dan penggunaan dana zakat serta laporan sumber dan
penggunaan dana kebajikan

Kedua laporan tersebut sangat penting untuk mengukur bagaimana pengelolaan dana zakat
dan pengelolaan dana-dana non halal yang diperoleh bank syariah selama proses operasional
bisnisnya berlangsung. Bahkan dalam PSAK Syariah disebutkan bahwa jika entitas/bank
syariah tidak melaksanakan pengumpulan dana zakat dan dana kebajikan maka tetap
diwajibkan untuk menyajikan kedua laporan tersebut. Kedua laporan tersebut penting
terutama laporan sumber dan penggunaan dana kebajikan yang digunakan untuk menampung
pendapatan-pendapatan non halal yang diterima oleh bank syariah dan tidak boleh diakui
sebagai pendapatan bank syariah.

4 Laporan rekonsiliasi pendapatan dan bagi hasil

Laporan rekonsiliasi pendapatan dan bagi hasil merupakan konsekuensi yang harus
diungkapkan oleh bank syariah sebagai proses konversi pendapatan accrual ke pendapatan
cash basis. Pendapatan yang dibagi hasilkan ke nasabah deposan harus merupakan
pendapatan cash basis untuk menghindari unsur gharar dalam transaksinya.

http://mysharing.co/menyingkap-kepatuhan-syariah-bank-syariah-dari-laporan-keuangan/
Syariah Compliance Perbankan Syariah harus ditingkatkan
Updated: Jumat 23 Mei 2014 - 20:10 Kategori: Siaran Pers Posted by: Ricky Dwi Apriyono

IAEI - Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) bekerjasama dengan Universitas Islam
45 Bekasi sukses menyelenggarakan Seminar Nasional dengan tema "Optimalisasi Syariah
Compliance Pada Bank dan Lembaga Keuangan Syariah" pada hari Rabu, 21 Mei 2014 di
Gedung I, Lantai 3, Universitas Islam 45 Bekasi, Jawa Barat. Isu syariah compliance menjadi
hal yang menarik untuk diangkat karena ukuran kesyariahan perbankan syariah terletak pada
syariah compliance.

"Kepatuhan aspek syariah bagi lembaga keuangan syariah merupakan salah satu dari 10
aspek yang harus dijaga dalam risiko perbankan syariah", ujar Dr. Rizqullah, Bendahara
Umum IAEI, dalam Keynote Speechnya. 10 risiko tersebut adalah Risiko kredit, Risiko
Pasar, Risiko Likuiditas, Risiko Operasional, Risiko Hukum, Risiko Reputasi, Risiko
Stratejik, Resiko Kepatuhan, Risiko Imbal Hasil (rate of return risk) dan Risiko Investasi
(equity investment risk).

Prof. Dr. Ahmad Erani menjelaskan bahwa sorotan Syariah Compliance tidak hanya ketaatan
terhadap kepatuhan syariah melainkan salah satunya perluasan perbankan dalam pengelolaan
dana untuk pergerakan sektor rill sehingga dapat mendorong terciptanya kesejahteraan
masyarakat. Masalah yang dihadapai saat ini, orientasi perbankan yang belum optimal dan
masih dalam keberpihakan terhadap profit membuat sektor rill belum banyak tersentuh oleh
perbankan, padahal 99,99% dari total usaha di Indonesia dikuasi oleh UMKM.

Dari pihak DSN MUI, Dr. Cholil Nafis menambahkan dalam Pasal 26 ayat 2 dan 3
menyebutkan peran MUI dengan fatwanya yang berwenang untuk menetapkan fatwa
kesesuaian syariah dan kemudian diserap kedalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) melalui
proses Komite Perbankan Syariah (KPS). Penyusunan PBI dilakukan oleh KPS yang
merupakan lembaga internal yang beranggotakan Bank Indonesia, Kementerian Agama dan
unsur masyarakat dengan komposisi berimbang. Para anggota harus memiliki keahlian di
bidang syariah dan berjumlah paling banyak 11 orang.

Penetapan MUI menjadi satu-satunya lembaga yang berhak mengeluarkan fatwa tentang fiqh
muamalah, khususnya praktik perbankan syariah bukanlah sesuatu yang baru. Sebab sejak
bank syariah beroperasi di Indonesia, fatwa MUI telah menjadi pedoman dalam kepatuhan
syariah.

Peran MUI lainnya yang diformalkan oleh Undang-undang tentang Bank Syariah adalah
keharusan Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah
(UUS) wajib membentuk Dewan Pengawas Syariah (DPS). Dalam praktiknya, DPS berfungsi
untuk memberikan nasihat dan saran agar praktik perbankan senantiasa selalu sesuai dengan
prinsip syariah serta melakukan pengawasan terhadap kepatuhan syariah.

Dr. Nurul Huda, Ketua IAEI, menjelaskan bahwa Syariah compliance perbankan Syariah
belum optimal. Hasil penelitian Bank Indonesia bekerjasama dengan Ernst and Young (2008)
menyimpulkan bahwa peran DPS belum optimal yang berdampak terhadap risk management.
Jenis manajemen risiko yang terkait erat dengan peran DPS adalah risiko reputasi yang
selanjutnya berdampak pada displaced commercial risk, seperti risiko likuiditas dan risiko
lainnya. Nurul menambahkan, langkah pengutan peran DPS dapat ditempuh melalui berbagai
aspek diantaranya mempertegas kompetensi keilmuan DPS, mempertegas batasan maksimal
jabatan DPS, dan evaluasi peran DPS pada Lembaga Keuangan Syariah oleh Majelis Ulama
Indonesia dan Bank Indonesia.

Ardiansyah Rakhmandi, Lc., MM, selaku Sharia Compliance Department Head Bank
Muamalat, menerangkan bahwa dalam praktek syariah compliance di perbankan syariah,
terdapat 3 penerbitan peringatan apabila ada suatu transaksi atau pengajuan pembiayaan
melanggar syariah, diantaranya (1) Reminder, tahap tembusan kepada Compliance
Division; (2) Alert, tahap tembusan kepada Compliance and Risk Management Directorate;
(3) Veto, tahap tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK RI).

Lembaga keuangan Syariah, baik bank ataupun non-bank harus mengikuti standar syariah
yang tertuang dalam fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI. Fatwa-fatwa tersebut
diserap menjadi Peraturan Bank Indonesia yang saat ini regulasinya ditangani oleh Otoritas
Jasa Keuangan (OJK RI).

http://www.iaei-pusat.org/news/siaran-pers/syariah-compliance-perbankan-syariah-harus-
ditingkatkan-1?language=id
Kepatuhan Audit Syariah dengan Standar
AAOIFI
by Editor on 18/10/2016
(Oleh Shellvy Lukito, peneliti junior SIBER-C)

Proses pengawasan dalam suatu lembaga keuangan sangat diperlukan untuk mengetahui apakah
kinerja suatu lembaga keuangan tersebut sudah menjalankan aktivitasnya sesuai dengan standar
yang berlaku secara umum atau belum. Proses ini disebut dengan proses audit, yaitu suatu proses
pemeriksaan yang didasarkan pada ketentuan standar yang berlaku. Di mana proses audit ini
dilakukan oleh seorang auditor yang memainkan peran penting dalam kredibilitas informasi
keuangan suatu perusahaan.

Sedangkan dalam lembaga keuangan Islam (IFIs), proses pemeriksaan dilakukan oleh
seorang auditor. Namun auditor yang dimaksud adalah auditor syariah. Di mana proses
pengawasannya berdasarkan konsep Islam. Lembaga keuangan Islam (IFIs) tersebar
diseluruh negara yang didirikan oleh masyarakat Muslim.

Meliputi Lembaga keuangan bank, perusahaan asuransi, reksadana atau obligasi syariah.
Lembaga-lembaga keuangan tersebut diatur oleh bank sentral, pejabat yang berwenang
dipasar modal dan pihak regulator lainnya.

Standar yang digunakan dalam proses audit syariah adalah dengan menggunakan standar
Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) yang
menyelidiki tingkatan kepatuhan audit syariah dalam suatu lembaga keuangan Islam.
AAOIFI bertugas untuk merumuskan standar dan isu-isu terkait akuntansi, audit,
pemerintahan, etika dan standar syariah untuk lembaga keuangan Islam (IFIs), AAOIFI
adalah organisasi internasional yang bersifat independen, didukung oleh 200 anggota dari 40
negara termasuk bank sentral, lembaga keuangan Islam, dan anggota lainnya dari industri
perbankan internasional di seluruh dunia.

Saat ini, AAOIFI telah menerbitkan 88 standar. Terdiri dari 26 standar akuntansi, 5 standar
audit, 7 standar pemerintah, 2 standar etika dan 48 standar Syariah (AAOIFI, 2015).

Dalam mengukur tingkat kepatuhan bank Islam apakah sudah konsisten dengan standar
AAOIFI atau belum, kita dapat melihat dari segi laporan keuangan yang diungkapkan.

Apakah sudah disajikan sesuai dengan standar AAOIFI yang berlaku atau belum. Kita juga
dapat melihat dari segi peran Dewan Pengawas Syariah (SSB) apakah sudah melakukan
pengawasan terhadap bank Islam tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip syariah atau belum,
pertanggung jawaban terhadap lingkungan sosial (CSR)apakah institusi tersebut sudah
bertanggung jawab dengan lingkungan sosial dengan mengadakan program-program sosial
yang berlaku untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar, atau pengungkapan
dengan variasiterkait mekanisme tata kelola perusahaan yang berkaitan dengan Board of
Directors (BOD) dan Shariah Supervision Board (SSB).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Hussainey, 2016) menggambarkan bahwa


pengungkapan AAOIFI terkait dengan pengungkapan dari segi sosial di bank Islam, tingkat
rata-ratanya masih relatif rendah, yaitu sekitar 27%. Namun hal ini juga mengindikasikan
tingkat rata-rata yang relatif tinggi dalam pengungkapan AAOIFI terkait dengan
pengungkapan keuangan syariah, yaitu sekitar 68% untukBank Islam di bawah pengawasan
SSBR dan 73% untuk penyajian laporan keuangan.

Hal ini mengindikasikan bahwa mekanisme tata kelola perusahaan yang diawasi oleh Dewan
Pengawas Syariah (SSB) lebih baik daripada hanya diawasi oleh pihak direksi saja (BOD).
Hal ini dijelaskan berdasarkan fakta bahwa standar AAOIFI yang dijalankan hanya bersifat
perintah, dan pihak direksi tidak memberikan pengawasan secara langsung terhadap
penerapan standar apakah sudah dijalankan sesuai dengan prinsip syariah atau belum.

Sedangkan berbeda dengan Dewan Pengawas Syariah (SSB) memiliki pengaruh yang cukup
signifikan karena selain melakukan pengawasan secara komprehensif, juga berperan dalam
penyajian laporan terkait kepatuhan syariah dalam suatu lembaga keuangan syariah.

Namun dalam melakukan pengawasan, hendaknya pihak-pihak yang menjadi bagian dari
Dewan Pengawas Syariah (SSB) adalah pihak-pihak yang tidak hanya faham dari segi fiqh
saja, tetapi juga faham dari segi muamalah dan kemampuan lainnya seperti skill akuntansi,
membaca laporan keuangan dan lain sebagainya.

Dewan Pengawas Syariah (SSB) menjadi ujung tombak dalam pertumbuhan ekonomi
Islam,tidak hanya memberikan opini terkait kepercayaan terhadap lembaga keuangan syariah.
Tetapi juga Melakukan pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan syariah yang
berada di bawah pengawasannya, berkewajiban mengajukan usul-usul pengembangan
lembaga keuangan syariah kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada dewan
pengawas nasional, melaporkan perkembangan produk dan operasional lembaga keuangan
syariah yang diawasinya, merumuskan permasalahan-permasalahan yang memerlukan
pembahasan lebih lanjut.

Referensi utama:
SherifEl-HalabyKhaledHussainey,(2016),Determinants of compliance with AAOIFI
standards by Islamic banks, International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance
and Management, Vol.9.

Referensi tambahan:
Samy Nathan Garas, Chris Pierce, (2010) Sharia supervision of Islamic financial
institutions, Journal of Financial Regulation and Compliance, Vol. 18 No. 4.

Neneng Nurhasanah, (2011), Optimalisasi Peran Dewan Pengawas Syariah (Dps) Di


Lembaga Keuangan Syariah Fh.unisba. Vol. XIII. No. 3.
Standar AAOIFI Sebagai Acuan
Kepatuhan Bank Syariah
Azkiyatur Riska 07/11/16 | 11:32

Sumber: https://www.dakwatuna.com/2016/11/07/83369/standar-aaoifi-acuan-kepatuhan-
bank-syariah/#ixzz4yUTzbJd8
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

dakwatuna.com Di tengah rentannya kondisi keuangan global, sejauh ini perbankan


syariah telah mencatatkan kinerja yang cukup bagus, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Karena setiap tahunnya perkembangan dan pertumbuhan perbankan syariah cukup fantastis
dan signifikan.

Bank syariah memiliki tanggung jawab kepada stakeholder untuk menjelaskan dan
meyakinkan bahwa produk, jasa & operasional kegiatannya telah sesuai dengan prinsip
syariah. Tidak terpenuhinya prinsip sharia complience akan menghadapkan bank syariah
pada risiko reputasi (Sharing, 2012). Oleh karena itu proses pengawasan syariah sangatlah
penting untuk menilai apakah kinerja industri perbankan syariah sudah sesuai atau belum
dengan standar yang berlaku umum.

Proses pengawasan yang dilakukan seperti melakukan penilaian, perbandingan, dan koreksi
atau perbaikan terhadap kinerja dari aktivitas yang diawasi (Al Amin, 2006). Menurut Al
Amin (2006) proses pengawasan harus melalui 4 tahap, yaitu: menentukan standar,
pengukuran hasil kinerja, melakukan perbandingan, dan perbaikan serta koreksi terhadap
penyimpangan yang ditemukan.

Peran Dewan Pengawas Syariah (SSB) menjadi sangat urgent keberadaannya karena
memiliki tanggung jawab untuk menjamin pemenuhan prinsip syariah. Alasan penting
kenapa DPS memiliki peran dalam mengembangkan bank syariah karena untuk menentukan
tingkat kredibilitas bank syariah dalam menciptakan jaminan sharia compliance dan juga
sebagai bentuk implementasi salah satu pilar Good Corporate Governance (GCG) Bank
syariah.

Mayoritas Perbankan Syariah mengadopsi standar AAOIFI sebagai acuan kepatuhan terhadap
prinsip syariah. AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial
Institution) merupakan organisasi internasional Islam non-badan hukum nirlaba yang
merumuskan standar dan isu-isu terkait akuntansi, audit, pemerintahan, etika, dan standar
syariah Islam untuk lembaga keuangan Islam (IFI). Sebagai organisasi internasional yang
independen AAOIFI didukung oleh kelembagaan anggota (200 anggota dari 40 negara)
termasuk Bank Central, Lembaga Keuangan Syariah, dan anggota lainnya dari industri
perbankan syariah di seluruh dunia. Saat ini, AAOIFI telah menerbitkan 88 standar termasuk
diantaranya 26 standar akuntansi, 5 standar auditing, 7 standar governance, 2 standar etika,
dan 48 standar Syariah (AAOIFI, 2015).
AAOIFI telah memperoleh dukungan untuk memastikan pelaksanaan standar, yang sekarang
diadopsi di Kerajaan Bahrain, Dubai International Financial Centre, Yordania, Lebanon,
Qatar, Sudan dan Suriah. Yang relevan di Australia, Indonesia, Malaysia, Pakistan, Kerajaan
Arab Saudi, dan Afrika Selatan telah mengeluarkan panduan yang didasarkan pada standar
AAOIFI dan pernyataan-pernyataan.

Tujuan dari AAOIFI salah satunya adalah untuk menyebarluaskan standar akuntansi dan
audit yang relevan dalam Lembaga keuangan Islam yang penerapannya melalui pelatihan,
seminar, penerbitan surat kabar berkala, melaksanakan penelitian dan sarana lainnya.
AAOIFI melaksanakan tujuan tersebut untuk menyesuaikan dengan ajaran syariat Islam yang
komprehensif dalam semua aspek kehidupan dan sesuai dengan lingkungan dimana institusi
keuangan Islam berada.

Di dalam lembaga keuangan Islam pertanggungjawaban atas kegiatan CSR harus


dikomunikasikan secara jujur, transparan dan dipahami oleh pemangku kepentingan terkait
(AAOIFI, 2010). Serta pengungkapan dalam informasi laporan keuangan pun harus sesuai
dengan standar yang telah ditetapkan tanpa mengurangi ataupun melanggar prinsip-prinsip
syariah yang berlaku.

Banyak variasi dalam mengukur tingkat kepatuhan bank syariah terkait konsistensi standar
AAOIFI, apakah sejauh ini sudah konsisten atau belum dengan standar AAOIFI? kita dapat
melihat dari segi laporan keuangan yang diungkapkan. Serta kita juga harus melihat apakah
peran Dewan Pengawas Syariah (SSB) sudah atau belum memenuhi tanggungjawabnya untuk
melakukan pengawasan terhadap prinsip-prinsip syariah, kemudian pertanggungjawaban
CSR dan pengungkapan laporan keuangan sudah sesuai atau belum dengan standar? Semua
ini termasuk dalam mekanisme tata kelola perusahaan yang langsung berkaitan dengan
Direksi dan Dewan Pengawas Syariah.

Berdasarkan hasil penelitian dari (Hussainey, 2016) menggambarkan bahwa tingkat


kepatuhan rata-rata berdasarkan standar AAOIFI dari segi Dewan Pengawas syariah (SSB)
itu sekitar 68%, sedangkan tingkat kepatuhan untuk CSR adalah 27%, dan tingkat kepatuhan
untuk akuntabilitas keuangan 73 %. Kemudian terdapat 65% dari Bank syariah yang memilih
diaudit oleh KAP Big 4 : Ernst and Young, KPMG, PricewaterhouseCoopers, Deloitte
Touche Tohmatsu, dan 67% dari bank lainnya memiliki Syariah Department Audit (SAD).

Mekanisme dalam tata kelola perusahaan yang terkait dengan Dewan Pengawas Syariah
(SSB) memiliki peran yang sangat penting dibandingkan dengan mekanisme tata kelola
perusahaan yang terkait dengan direksi. Kenapa bisa begitu? Faktanya bahwa standar
AAOIFI dalam institusi perbankan syariah yang dijalankan cuma sekedar perintah,
sedangkan direksi itu tidak memiliki peran langsung dalam memastikan kepatuhan standar,
Dewan Pengawas syariah lah yang memiliki peranan penting dalam melakukan pengawasan
secara komprehensif, selain itu juga berperan dalam pembuatan laporan terkait tingkat
kepatuhan syariah dalam lembaga keuangan syariah.

Bukti empiris telah menunjukan bahwa ukuran dewan itu dapat mempengaruhi tingkat
pengungkapan (Akhatruddin et al., 2009). Pada umumnya jumlah anggota Dewan Pengawas
Syariah (SSB) di bank syariah kisaran tiga sampai lima anggota berdasarkan standar AAOIFI
No. 7 (Chen and Jaggi, 2000) . Mengapa jumlah anggotanya sedikit? Karena jika jumlah
anggotanya lebih banyak akan berdampak pada menurunnya kemungkinan asimetri
informasi.
Sebaiknya anggota Dewan Pengawas syariah itu terdiri dari ulama yang memiliki
pengetahuan yang mumpuni dan wawasan yang luas tentang hukum Islam, khususnya terkait
fiqh muamalah. serta memiliki reputasi yang sangat baik di komunitas mereka. Karena
menurut (farook et al., 2011) bahwa reputasi adalah hal yang penting dalam mengukur
tingkat pengungkapan di bank syariah.

References

Sherif El-Halaby Khaled Hussainey, (. (n.d.). Determinants of Compliance with AAOIFI


Standards by Islamic Banks. International Journal of Islamic and middle Eastern Finance
and Management Vol. 9 Iss 1 pp.,.

Baehaqi, A. (2014). Usulan Model Sistem Pengawasan Syariah

Pada Perbankan Syariah Di indonesia. JURNAL DINAMIKA AKUNTANSI DAN


BISNIS Vol. 1, No. 2, September 2014 Hlm. 119-133

Sumber: https://www.dakwatuna.com/2016/11/07/83369/standar-aaoifi-acuan-kepatuhan-
bank-syariah/#ixzz4yUU5s8Y3
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
8 Oktober 2016 by Usamah Abdurrahman

Pertanggungjawaban DPS sebagai Otoritas


Pengawas Kepatuhan Syariah bagi Bank
Syariah [Makalah]

Pertanggungjawaban Dewan Pengawas Syariah sebagai Otoritas Pengawas Kepatuhan


Syariah bagi Bank Syariah

Mata Kuliah : Etika Pengawas Profesi Syariah

Dosen : Al-Ustadzah Arin Nur Jannah, M.E.I.

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Islam adalah satu-satunya Din yang Allah tetapkan untuk seluruh umat manusia. Ia
bukanlah sekedar dogma maupun ajaran mengenai ritus peribadatan tertentu melainkan sebuah
sistem kehidupan yang menyeluruh dimana ilmu pengetahuan menjadi fondasi yang
mengokohkannya. Karenanya, seluruh aspek kehidupan termasuk perniagaan menjadi bagian
yang tak terpisahkan darinya. Ekonomi Islam sebagai manifestasi ajaran islam dalam praktek
perniagaan memiliki konsepnya tersendiri dalam instrument ekonomi seperti lembaga
keuangan bank. Maka dari itu bank syariah jelas berbeda dari bank konvensional.

Diantara faktor yang secara kasat mata menjadi pembeda antara Bank Syariah dengan Bank
Konvensional ialah keberadaan Dewan Pengawas Syariah atau DPS.[1] Hal ini untuk
menjamin bank syariah selain bertujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat muslim hingga
sejahtera tetapi juga memastikan bahwa usaha-usaha yang dilakukan tetap dalam koridor
syariat islam dan tidak melenceng darinya. Karenanya Dewan Pengawas Syariah memiliki
otoritas khusus untuk mengawasi kepatuhan bank syariah dalam menerapkan prinsip-prinsip
syariah. Kepatuhan bagi bank-bank atas prinsip syariah sepenuhnya menjadi tanggungjawab
Dewan Pengawas Syariah.

Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah Kepatuhan Bank Syariah atas Prinsip Syariah?


2. Bagaimana posisi Dewan Pengawas Syariah sebagai Otoritas Pengawas Syariah di Bank
Syariah?
3. Bagaimana pertanggungjawaban Dewan Pengawas Syariah atas kepatuhan Bank Syariah bagi
bank syariah?

PEMBAHASAN

Sekilas Mengenai Dewan Pengawas Syariah

Dewan Pengawas Syariah (selanjutnya disebut DPS) atau Haiah al-Muraqabah as-
Syariah ialah Dewan yang melakukan pengawasan terhadap penerapan prinsip syariah dalam
lembaga keuangan syariah.[2] Adapun berdasarkan SK Direksi Bank Indonesia, Dewan
Pengawas Syariah ialah lembaga di bawah Dewan Syariah Nasional yang bertugas mengawasi
segala aktivitas bank agar selalu sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Dewan Pengawas
Syariah adalah suatu badan yang didirikan dan ditempatkan pada bank yang melakukan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah untuk memastikan bahwa opreasional bank syariah
tidak menyimpang dari prinsip-prinsip syariah.[3]

Kepatuhan Syariah oleh Bank Syariah

Kepatuhan syariah oleh Bank Syariah adalah pemenuhan seluruh prinsip syariah dalam semua
kegiatan yang dilakukannya. Kepatuhan syariah adalah salah satu bagian dari sistem tata kelola
perbankan syariah yang baik. Pengelolaan bank syariah tidak bisa terlepas dari pemenuhan
prinsip-prinsip syariah, terutama dalam pelaksanaan fungsi intermediasi. Operasional
pengumpulan dan penyaluran dana masyarakat tidak boleh tanpa menerapkan prinsip-prinsip
syariah. Ketidakpatuhan terhadap prinsip syariah dapat berdampak negatif pada kondisi bank
itu sendiri karena berpotensi untuk menciptakan kegagalan bank atau insolvency yang dapat
berakibat pada terganggunya sistem keuangan negara.

Selain itu, kepatuhan syariah juga merupakan salah satu unsur dalam penilaian mengenai
tingkat kesehatan bank syariah yang memberikan kewajiban pada bank syariah untuk menjaga
sekaligus meningkatkannya.[4] Pemeliharaan tingkat kesehatan bank akan berbanding lurus
dengan pemeliharaan kepercayaan masyarakat, sehingga bila bank lalai dalam menjaga tingkat
kesehatanannya, termasuk bila bank lalai menerapkan prinsip syariah, maka masyarakat akan
kehilangan kepercayaan terhadap bank tersebut.

Dari sudut pandang masyarakat, khususnya pengguna jasa bank syariah, kepatuhan syariah
merupakan inti dari integritas dan kredibilitas bank syariah. Eksistensi intitusi keuangan
syariah khususnya bank Syariah ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Islam akan
pelaksanaan ajaran Islam secara menyeluruh (kaffah) termasuk dalam kegiatan penyaluran
dana melalui bank syariah. Kepercayaan dan keyakinan masyarakat pada bank syariah
didasarkan dan dipertahankan melalui pelaksanaan prinsip hukum Islam yang diadaptasi dalam
aturan operasional institusi tersebut.[5] Tanpa adanya kepatuhan terhadap prinsip syariah,
masyarakat akan kehilangan keistimewaan yang mereka cari sehingga akan berpenga-ruh pada
keputusan mereka untuk memilih ataupun terus melanjutkan pemanfaatan jasa yang diberikan
oleh bank syariah. Ketidakpatuhan terhadap prinsip syariah akan berdampak negatif citra bank
syariah dan berpotensi untuk ditinggalkan oleh nasabah potensial ataupun nasabah yang telah
meng-gunakan jasa bank syariah sebelumnya.

Dalam regulasi perbankan syariah nasional, kepatuhan syariah merupakan syarat mutlak bagi
bank syariah dalam menjalankan usahanya. Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah mewajibkan kegiatan usaha serta produk dan jasa yang dilakukan serta
dikeluarkan oleh Bank Syariah untuk tunduk pada prinsip syariah.[6] Kewajiban untuk
menerapkan prinsip syariah haruslah dilakukan secara menyeluruh (kaffah) dan konsisten
(istiqomah).[7] Ketidakpatuhan terhadap prinsip syariah diancam dengan sanksi administratif
yang dikenakan pada para pihak yang tidak melaksanakan atau menghalang-halangi
pelaksanaan prinsip syariah, baik secara perorangan maupun kolektif.[8]

Posisi DPS sebagai Otoritas Pengawas Syariah

Pengawasan terhadap kepatuhan prinsip syariah oleh bank syariah dilakukan oleh lembaga
pengawasan tersendiri, yaitu Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS adalah suatu badan yang
diberi wewenang untuk melakukan pengawasan dan melihat secara dekat aktivitas lembaga
keuangan syariah agar lembaga tersebut senantiasa mengikuti aturan dan prinsip-prinsip
syariah.[9] Sebagai otoritas pengawas, DPS bertugas untuk melihat secara langsung
pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh bank syariah agar selalu sesuai dengan prinsip
syariah, yaitu tidak menyimpang dari fatwa MUI yang telah dikeluarkan.

Keberadaan DPS dalam sistem hukum perbankan syariah merupakan implementasi dari
keterlibatan para ulama dalam pelaksanaan sistem ekonomi umat. Para ulama yang
berkompeten terhadap hukum-hukum syariah memiliki fungsi dan peran yang amat besar untuk
menggerakkan dan memotivasi masyarakat dalam melakukan kegiatan muamalah yang sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah.[10] Peran ini kemudian diimplementasikan melalui
pembentukan DPS yang beranggotakan ahli-ahli agama yang juga memiliki kemampuan
keilmuan di bidang ekonomi, khususnya dalam lingkup sistem perbankan nasional.

Tugas utama DPS adalah memberikan nasihat dan saran pada Direksi, serta mengawasi
kegiatan bank terhadap kepatuhan syariah.[11] Terkait dengan luas lingkup pengawasan
kepatuhan syariah, fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPS harus mencakup 2 (dua) hal,
yaitu pengawasan terhadap produk yang dikeluarkan dan pengawasan terhadap operasional
bank syariah. Kedua lingkup pengawasan ini diformalkan dalam ketentuan perundang-
undangan sebagai berikut:[12]

1. Pengawasan terhadap produk bank syariah, Pengawasan terhadap produk dilakukan dalam 2
(dua) tahap, yaitu:
1. Tahap sebelum penawaran (ex-ante) Dalam tahap ini, DPS melakukan pengawasan
dengan cara:
1. Menilai dan memastikan pedoman produk yang dike-luarkan bank (hanya
untuk Bank Umum Syariah).
2. Meminta fatwa kepada Dewan Syariah Nasional untuk produk baru Bank yang
belum ada fatwanya
2. Tahap pada saat dan setelah produk ditawarkan (ex-post), dalam tahap ini, DPS
melakukan pengawasan dengan cara:
1. Mengawasi proses pengem bangan produk baru Bank.
2. Melakukan review secara berkala atas pemenuhan prinsip syariah terhadap
mekanisme penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa
bank.

2. Pengawasan terhadap operasional bank DPS melakukan pengawasan operasional bank


dengan cara:
1. Melakukan review secara berkala atas pemenuhan prinsip syariah terhadap
mekanisme penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank.
2. Meminta data dan informasi terkait dengan aspek syariah dari satuan kerja Bank
dalam rangka pelaksanaan tugasnya.

Dari ketentuan tersebut, maka luas pengawasan oleh DPS telah diatur secara tegas dan
memiliki kekuatan hukum yang tetap. Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan
sanksi administratif.[13]

Hal yang penting untuk dicermati mengenai pengawasan terhadap produk bank syariah
khususnya dalam tahap setelah produk ditawarkan (ex-post) adalah bahwa walaupun DPS
berwenang melakukan pengawasan dalam tahap ini, namun penindakan atas hasil yang
ditemukan dari pengawasan tersebut bukan merupakan ke wenangan DPS, melainkan
kewenangan Bank Indonesia sebagai bank sentral. Bila suatu produk ternyata tidak memenuhi
prinsip syariah, maka Bank Indonesialah yang berwenang untuk menghentikan kegiatan
produk dimaksud.[14]

DPS sebagai lembaga pengawas khusus mengenai kepatuhan syariah harus memiliki anggota
yang memiliki keahlian setidaknya di dua bidang sekaligus, yaitu bidang fiqh. muamalah serta
bidang perbankan secara umum. Peraturan perundang-undangan mengakomodasi ketentuan
tersebut dalam bentuk aturan mengenai persyaratan anggota DPS. Dalam ketentuan ini anggota
DPS wajib memenuhi persyaratan mengenai integritas yang baik, memiliki kompetensi
minimal bidang pengetahuan dan pengalaman, serta memiliki reputasi keuangan yang baik.[15]

Pemilihan dan pengangkatan anggota DPS juga memiliki prosedur tertentu. Proses ini
dilakukan oleh 3 (tiga) unsur, yaitu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dari bank syariah
terkait, Bank Indonesia, serta MUI.[16] Pemilihan anggota DPS diawali dengan pemberian
rekomendasi oleh MUI terhadap nama yang diusulkan menjadi calon anggota DPS oleh bank
bersangkutan. Setelah mendapatkan rekomendasi, usulan calon beserta rekomendasi MUI
diserahkan pada Bank Indonesia untuk mendapatkan persetujuan Bank Indonesia. Setelah
mendapat persetujuan dari Bank Indonesia, calon anggota DPS tersebut diangkat oleh RUPS.
Dari prosedur ini, terlihat kekhususan prosedur pengangkatan yang menempatkan MUI sebagai
salah satu unsur penentu anggota melalui kewajiban rekomendasi oleh MUI.

Pertanggungjawaban DPS sebagai Otoritas Pengawas Kepatuhan Syariah bagi Bank


Syariah

Posisi DPS yang setara dengan Dewan Komisaris menempatkan DPS sebagai unsur penting
dalam pengurusan bank syariah. Khusus untuk Dewan Komisaris, peraturan perundang-
undangan memberikan tanggung jawab yang jelas dan tegas terhadap pelaksaan tugasnya.
Melihat kedudukan Dewan Komisaris sebagai organ perseroan, tanggung jawab ini bertujuan
untuk menjamin agar Dewan Komisaris melakukan fungsi pengawasan dengan itikad baik,
kehati-hatian, dan bertanggung jawab.[17] Kesalahan maupun kelalaian Dewan Komisaris
yang menyebabkan kerugian bagi perseroan harus dipertanggung jawabkan oleh Dewan
Komisaris bahkan sampai pada pertanggung jawaban pribadi.

Hal yang sama tidak ditetapkan bagi DPS. Peraturan perundang-undangan tidak memberikan
aturan yang tegas mengenai tanggung jawab DPS sebagai otoritas pengawas. Arti penting serta
posisi DPS yang sangat strategis bagi operasional bank syariah tidak diimbangi dengan beban
tanggung jawab yang mengikat bagi DPS sebagaimana yang dilakukan terhadap Dewan
Komisaris. Keadaan tersebut dapat dilihat dari ketentuan mengenai pengangkatan anggota
DPS, kemandirian perorangan, serta pertanggung jawaban pribadi.

Lemahnya pengaturan mengenai pertanggung jawaban DPS terutama bila dibandingkan


dengan Dewan Komisaris dijelaskan sebagai berikut:

1. Tanggung Jawab Terkait dengan Pengangkatan Anggota

Baik anggota DPS maupun Dewan Komisaris pada Bank Syariah, berdasarkan peraturan
perundang-undangan, pengang-katannya dilakukan oleh RUPS dengan persetujuan Bank
Indonesia. Sebagai organ yang berwenang untuk mengangkat Dewan Komisaris, RUPS juga
berwenang untuk memberhentikan Dewan Komisaris sesuai dengan prosedur yang telah
ditetapkan ang-garan dasar.[18] Di saat yang sama, tidak ada ketentuan yang secara tegas
memberikan wewenang pada RUPS sebagai organ yang mengangkat DPS untuk dapat pula
melakukan pemberhentian terhadapnya. Kewenangan RUPS untuk memberhentikan anggota
DPS hanya diatur secara implisit dalam Peraturan Bank Indonesia yang menjelaskan bahwa
tanggal pemberhentian anggota DPS adalah tanggal setelah pemberhentian yang bersangkutan
mendapat persetujuan dari RUPS.[19] Dari ketentuan ini, maka dapat di simpulkan bahwa
RUPS berwenang mem-berhentikan anggota DPS.

Pengangkatan Dewan Komisaris dan DPS keduanya dilakukan dengan persyaratan tertentu
terkait kompetensinya sebagai pengawas operasional bank. Terhadap Dewan Komisaris, bila
setelah pengangkatannya ditemukan dan diketahui bahwa yang bersangkutan ternyata tidak
memenuhi persyaratan yang telah ditentukan, pengangkatan tersebut secara tegas dinyatakan
batal demi hukum sejak saat anggota Dewan Komisaris lainnya maupun direksi mengetahui
tidak terpenuhinya persyaratan tersebut.[20] Ketentuan yang sama tidak ada dalam pengaturan
mengenai DPS.

Bila ternyata diketahui bahwa DPS yang telah diangkat tidak memenuhi persyaratan yang telah
ditentukan, tidak ada ketentuan yang membatalkan pengangkatan tersebut demi hukum,
sehingga pertanggung jawaban DPS terkait dengan pengangkatannya tidak jelas.

2. Tanggung Jawab Mengenai Kemandirian Perorangan

Kemandirian perorangan adalah kewenangan yang dimiliki secara perorangan untuk


mengambil keputusan dalam melaksanakan fungsinya. Dewan Komisaris tidak memiliki
kewenangan perorangan karena tiap anggota Dewan Komisaris tidak dapat bertindak secara
perorangan. Dewan Komisaris yang terdiri atas lebih dari 1 (satu) orang anggota merupakan
majelis dan tiap anggota tidak dapat bertindak sendiri-sendiri, melainkan harus berdasarkan
keputusan Dewan Komisaris.[21]

Berbeda dengan Dewan Komisaris, ketentuan mengenai kemandirian perorangan tidak terdapat
dalam peraturan DPS. DPS sebagai Dewan tidak ditentukan bagaimana kewenangan bertindak
bagi masing-masing anggota secara perorangan. Tidak ada ketentuan tegas yang menyatakan
bahwa DPS hanya dapat bertindak sebagai majelis berdasarkan keputusan Dewan dan tiap
anggotanya dilarang untuk bertindak tanpa adanya persetujuan Dewan. Berdasarkan hal ini,
maka tidak ada ketentuan bila salah satu anggota DPS melakukan tindakan yang tidak disetujui
oleh anggota lainnya.

3. Pertanggungjawaban Pribadi

Perseroan sebagai badan hukum mandiri tidak membebankan segala akibat dan hutang yang
dilakukan atas nama perseroan pada organ yang melakukan perbuatan tersebut. Segala
konsekuensi dari apa yang telah dilakukan atas nama perseroan dibebankan pada harta
kekayaan perseroan itu sendiri.[22] Hal ini berarti bahwa pertanggungjawaban atas akibat
perbuatan yang dilakukan atas nama perseroan bukanlah merupakan tanggung jawab pelaku,
baik itu direksi, Dewan Komisaris, maupun pemegang saham secara pribadi.

Ketentuan ini disimpangi melalui pengaturan mengenai pertanggungjawaban pribadi. Melalui


penyimpangan, para pihak yang melakukan tindakan yang menyebabkan kerugian bagi
perseroan dapat dimintai pertanggung jawaban atas tindakannya tersebut. Ketentuan ini
berlaku pada Dewan Komisaris. Setiap anggota Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab
secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai
menjalankan tugasnya. Terhadap Dewan Komisaris yang anggotanya terdiri atas 2 (dua) orang
atau lebih (hal ini berlaku bagi Bank Syariah), maka pertanggungjawaban berlaku secara
tanggung renteng bagi setiap anggota Dewan Komisaris.[23]

Selain itu, anggota Dewan Komisaris juga dapat digugat oleh pemegang saham (dengan
ketentuan telah memenuhi jumlah hak suara berdasarkan pemilikan saham) ke pengadilan
negeri bila perseroan mengalami kerugian akibat kesalahan dan atau kelalaian Dewan
Komisaris.[24]

Pertanggungjawaban pribadi juga berlaku bila Dewan Komisaris melakukan kesalahan


maupun kelalaian pengawasan yang mengakibatkan kepailitan perseroan. Bila kepailitan
terjadi akibat hal tersebut, dan ternyata kekayaan perseroan tidak cukup untuk membayar
seluruh kewajiban perseroan, maka setiap anggota Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab
atas kewajiban yang belum dilunasi secara tanggung renteng. Lebih jauh lagi, pertanggung
jawaban atas kepailitan juga berlaku bagi anggota Dewan Komisaris yang sudah tidak menjabat
selama 5 (lima) tahun sebelum putusan pailit diucapkan.[25]

Ketentuan mengenai pertanggungjawaban pribadi bagi Dewan Komisaris memiliki arti penting
terkait dengan posisi Dewan Komisaris sebagai organ perseroan. Fungsi pengawasan yang
harus dilakukan Dewan Komisaris sangat berpengaruh bagi tindakan direksi dalam melakukan
pengurusan. Kesalahan maupun kelalaian Dewan Komisaris bisa berakibat fatal terhadap
keberadaan perseroan khususnya bagi pihak ketiga. Ini lah yang menjadi dasar mengapa
terhadap Dewan Komisaris dibebankan pertanggung jawaban sampai pada harta pribadinya.

DPS sebagai otoritas pengawas kepatuhan syariah, yang memiliki fungsi serupa dengan Dewan
Komisaris dan memiliki posisi setara dengan Dewan Komisaris, tidak diatur dengan ketentuan
yang sama. Tidak ada ketentuan mengenai pertanggung jawaban pribadi bagi DPS bila ternyata
anggota DPS melakukan kelalaian dalam mengawasi produk bank terkait pelaksanaan
kepatuhan syariah yang dapat menimbulkan gangguan terhadap kepercayaan nasabah dan bisa
saja berimplikasi pada terjadinya rush. DPS tidak diwajibkan secar tegas oleh perundang-
undangan untuk turut serta bertanggung jawab atas kesalahan maupun kelalaiannya tersebut.

Terkait dengan kesalahan DPS dalam melakukan pengawasan, hanya ada satu ketentuan yang
menyatakan bahwa Pihak Terafiliasi (termasuk di dalamnya DPS) yang dengan sengaja tidak
melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah
terhadap peraturan perundang-undangan diancam dengan pidana penjara dan pidana denda
dengan ketentuan tertentu.[26]

Berdasarkan penjelasan hal-hal tersebut, terlihat jelas bahwa tidak ada pengaturan tegas
mengenai sejauh mana DPS harus bertanggung jawab atas tugas pengawasan yang
dilakukannya, terutama bila dibandingkan dengan Dewan Komisaris yang juga memiliki fungsi
pengawasan. Mulai dari pengangkatan anggota, tidak ada ketentuan yang mengikat bila
ternyata anggota DPS yang telah dipilih tidak memenuhi persyaratan. Penentuan mengenai
bagaimana DPS sebagai suatu dewan harus bertindak, apakah harus bersama-sama sebagai
majelis atau diperbolehkan bertindak secara pribadi juga tidak ada. Ketentuan yang paling
penting mengenai pertanggung jawaban pribadi atas kesalahan maupun kelalaian DPS yang
merugikan perseroan, dalam hal ini adalah Bank Syariah, juga tidak ada. Dari hal-hal tersebut
di atas, maka terlihat bahwa tidak ada ketentuan pertanggung jawaban yang tegas dan mengikat
bagi DPS sebagai pemegang otoritas pengawas kepatuhan syariah.

Kembali pada arti penting kepatuhan syariah, lemahnya pengaturan mengenai tanggung jawab
DPS untuk memastikan kepatuhan tersebut bisa berimplikasi pada kredibilitas DPS itu sendiri.
DPS sebagai unsur penting dalam pelaksanaan tugas bank syariah memiliki posisi menentukan
bagi kelangsungan operasional bank syariah. Posisi DPS yang sedemikian penting, bahkan
diletakkan sebagaimana kedudukan organ inti bagi pengurusan bank syariah tidak bisa
dibiarkan tanpa pengaturan yang jelas. Kesalahan dan kelalaian yang dilakukan oleh organ
bank syariah sebagai salah satu bentuk perseroan dibebankan dengan tanggung jawab yang
mengikat, sedangkan terhadap DPS tidak ada ketentuan tersebut. Hal ini mengakibatkan DPS
menjadi unsur yang lebih bebas dan tidak terikat secara lebih tegas menurut peraturan
perundang-undangan untuk bersungguh-sungguh menjalankan fungsi pengawasannya.

PENUTUP

Bank Syariah sebagai salah satu instrument aplikasi ekonomi syariah mensyaratkan kepatuhan
syariah dalam operasionalnya. Yang dimaksud dengan kepatuhan syariah oleh Bank Syariah
adalah pemenuhan seluruh prinsip syariah dalam semua kegiatan yang dilakukannya. Institusi
di dalam internal bank syariah yang diberikan tanggungjawab atas hal ini ialah Dewan
Pengawas Syariah atau DPS. Secara structural, DPS sejajar dengan Dewan Komisaris.
Keduanya memiliki kewenangan yang meskipun secara tekhnis tidak sepenuhnya sama, tetapi
secara hirarkis sederajat.

Namun begitu, pada aplikasinya, pertanggungjawaban DPS tidak sebagaimana Dewan


Komisaris yang telah dikuatkan dengan berbagai dasar hukum baik undang-undang maupun
peraturan-peraturan institusi negara terkait seperti Bank Indonesia. Hal tersebut bisa dilihat
dari tiga sisi; pengangkatan anggota, kemandirian perorangan, dan pribadi.

REFERENSI
Antonio, Muhammad Syafii, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, 2001, Jakarta : Gema Insani
Press.

Hafidudin, Didin dan Heri Tandjung, Manajemen Syariah dalam Praktik, 2003, Jakarta; Gema
Insani Press.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/23/PBI/2009 tentang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah

Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/23/PBI/2009 tentang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.

Prasetya, Rudhi, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Disertai Dengan Ulasan Menurut
UU Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, 1996, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,
hal. 50.

Solihin, Ahmad Ifham, Buku Pintar Ekonomi Syariah, 2011, Jakarta; Gema Insani Press, hal.
299.

Sunandar, Heri, Hukum Islam, Vol. IV Nomor 2 Desember 2005, Peran dan Fungsi Dewan
Pengawas Syariah (Sharia Supervisory Board) dalam Perbankan Syariah di Indonesia.

Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/34/Kep/Dir tanggal 12 Mei 1999

Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/36/Kep/Dir tanggal 12 Mei 1999.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

[1] Hafidudin, Didin dan Heri Tandjung, Manajemen Syariah dalam Praktik, 2003, Jakarta;
Gema Insani Press, hal. 39.

[2] Solihin, Ahmad Ifham, Buku Pintar Ekonomi Syariah, 2011, Jakarta; Gema Insani Press,
hal. 299.

[3] Ketentuan Pasal 20 ayat (2) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/34/Kep/Dir
tanggal 12 Mei 1999 dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/36/Kep/Dir tanggal
12 Mei 1999.

[4]Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan
Pasal 2 ayat (1) PBI Nomor 9/1/PBI/2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank
Umum Berdasarkan Prinsip Syariah.

[5] Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

[6] Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
[7]Penjelasan Pasal 3 Undang- undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

[8]Pasal 56 Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

[9]Sunandar , Heri, Hukum Islam. Vol. IV Nomor 2 Desember 2005, Peran dan Fungsi Dewan
Pengawas Syariah (Sharia Supervisory Board) dalam Perbankan Syariah di Indonesia.

[10]Antonio, Muhammad Syafii, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, 2001, Jakarta : Gema
Insani Press, hal. 233-234.

[11]Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

[12] Pasal 35 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum
Syariah dan pasal 29 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/23/PBI/2009 tentang Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah.

[13]Pasal 76 Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah.

[14]Pasal 8 ayat (1) Peraturan Bank Indonesi Nomor 10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank
Syariah dan Unit Usaha Syariah.

[15]Pasal 34 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum
Syariah dan Pasal 28 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/23/PBI/2009 tentang Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah.

[16]Pasal 37 Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah
dan Pasal 31 Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/23/PBI/2009 tentang Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah.

[17]Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[18]Pasal 111 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[19]Penjelasan pasal 39 Peraturan Bank Indonesia Nomor Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank
Umum Syariah.

[20]Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[21]Pasal 108 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

[22]Prasetya, Rudhi, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Disertai Dengan Ulasan


Menurut UU Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, 1996, Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti, hal. 50.

[23]Pasal 114 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.

[24]Pasal 114 ayat (6) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[25]Pasal 115 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.

[26]Pasal 64 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

(sam_h)
Menjaga Kepatuhan Syariah di Bank
Syariah, Perlukah?
by Bee Balqis on 09/11/2015

Seperti yang kita ketahui bahwa Bank Syariah adalah bank yang beroperasi berdasarkan
prinsip dan hukum syariat islam. Dimana prinsip dan hukum tersebut bersumber dari al-
Quran, Hadits, Ijma dan Ijtihad. Jika Bank Syariah tidak mengikuti ketentuan syariat Islam,
maka bank tersebut tidak dapat disebut sebagai Bank Syariah.

Di setiap lembaga keuangan syariah termasuk Bank Syariah memiliki yang namanya Dewan
Pengawas Syariah (DPS). Peran DPS ini sangatlah penting dan berpengaruh di kegiatan
operasional Bank Syariah. Selain menjaga kepatuhan syariah, ia juga memiliki tugas untuk
memberikan pendapat terhadap suatu produk baru di Bank Syariah. Dan produk baru tersebut
tidak dapat dikeluarkan atau diluncurkan jika belum mendapatkan izin serta persetujuan dari
Dewan Pengawas Syariah.

Pada penelitian berjudul Shariah Compliance in Islamic Banking (2014) dengan studi
empiris Bank Islam di Banglades yang ditulis oleh Hafij Ullah mejelaskan bahwa 76,05 %
responden sangat setuju dan 22,16 % setuju bahwa kepatuhan syariah telah menjadi prioritas
pertama dalam melakukan semua transaksi di Bank Syariah Banglades. Tapi disisi
lain pemimpin/otoritas tertinggi Bank Syariah Banglades belum cukup menyediakan
program untuk menambah wawasan karyawan dalam lingkup syariah, dimana tiga dari empat
bank masih dibawah rata-rata 0,583. Dan lebih khususnya terdapat 50,90% karyawan yang
merespon negatif bahwa mereka selalu 100% berusaha untuk mematuhi syariah di seluruh
transaksi. Dari penelitian ini juga diketahui bahwa 69,16% sangat setuju jika kepatuhan
syariah menjadi penyebab utama masyarakat tertarik ke Bank Syariah di Banglades.

Kepatuhan syariah yang terjadi pada Bank Syariah di Banglades memiliki tiga hambatan,
yaitu peraturan pemerintah, peraturan Bank Banglades dan peraturan juga ekonomi
Banglades yang berbasis bunga. Lebih spesifiknya lagi telah dijelaskan pada penelitian ini,
dimana terdapat 82,04% responden berpendapat bahwa hambatan tersebut terjadi karena
peraturan pemerintah. Lalu 68,86% responden berpendapat bahwa disebabkan peraturan
Bank Banglades. Dan 88,02% responden berpendapat disebabkan oleh ekonomi banglades
yang berbasis bunga. Selain itu terdapat 76,05% respon yang tidak setuju jika kepatuhan
syariah adalah hambatan untuk bersaing dengan perbankan konvensional.

Dengan hambatan-hambatan diatas


mungkinkah Bank Syariah di Banglades 100%
mampu menerapkan kepatuhan syariah?
Masih berdasarkan penelitian Hafij Ullah, dimana menunjukkan 29,04% respon positif jika
Bank Syariah Banglades 100% mampu menerapkan kepatuhan syariah, 61,97% merespon
negatif dan 8,98% merspon netral. Lalu terdapat juga 54,19% respon negatif bahwa karyawan
bank lebih tertarik mendapatkan keuntungan produktif daripada menerapkan kepatuhan
syariah. Dan terkahir terdapat 82,04% menunjukkan bahwa para eksekutif atau pemimpin
Bank Syariah di Banglades merasa optimis jika kepatuhan syariah sebenarnya mudah
diterapkan di Banglades yang mayoritas negaranya beragama Islam.

Untuk memastikan Bank Syariah sesuai/patuh syariah maka dapat dilakukan Audit Syariah
atau Pemeriksaan Syariah oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS). Bank Syariah di Banglades
sendiri mengungkapkan terdapat hambatan dalam melakukan audit syariah seperti,
kekurangan tenaga kerja audit, kekurangan auditor berpengetahuan, waktu yang terbatas
untuk mengawasi, kurangnya persedian yang memadai, tidak memanfaatkan teknik yang
moderen, terdapatnya kesalahpahaman antara pengawas dan pejabat, pengawasan yang tidak
setiap waktu, syriah auditor juga pengawas tidak ahli berbahasa inggris dan lain-lain.

Permasalahan keuangan syariah saat ini adalah harus dapat menghadapi tantangan di masa
depan. Sehingga diperlukannya penelitian syariah untuk mengembangkan aturan atau
pedoman di daerah-daerah perbankan syariah yang masih belum dapat beroperasi. Pada
penelitian Hafij Ullah mengungkapkan bahwa terdapat 90,12% respon karyawan Bank
Syariah di Banglades setuju bahwa pedoman syariah masih belum spesifik menjelaskan isu-
isu perbankan moderen. Sedangkan pelanggaran-pelanggaran syariah di Bank Syariah
Banglades relative tinggi terjadi pada sektor investasi.

Perkembangan Bank Syariah di Indoensia berdasarkan statistik pertumbuhan perbankan


syariah (OJK,2105) dalam penelitian Rabitha Nabila Hafa berjudul Analisis Sistem
Pengendalian Internal Pembiayaan pada 13 Baitul Maal Wa Tamwil di Kota Depok
(2015) menjelaskan bahwa pada tahun 2015 tercatat ada 12 Bank Umum Syariah (BUS), 22
Unit Usaha Syariah (UUS) dan 164 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Agar 198
lembaga keuangan tersebut dapat beroperasi di ranah industri keuangan syariah, maka mereka
sudah tentu harus dapat menjaga kepatuhan syariah (shariah compliance).

Pentingnya kepatuhan syariah (shariah compliance) adalah sebagai pembeda anatra Bank
Syariah dan Bank Konvensioanl. Salah satu contohnya adalah Bank Konvensional
menggunakan perhitungan tarif suku bunga (Interest Rate), sedangkan Bank Syariah
menggunakan sistem pembagian bagi hasil (profit-and-loss sharing).

Jadi siapa yang berperan dalam menjaga


kepatuhan syariah pada suatu lembaga
keuangan syariah?
Maka jawabanya adalah seluruh pihak di dalam lembaga keuangan syariah tersebut mulai
dari karyawan hingga pemimpinnya. Dan sudah menjadi tanggung jawab Dewan Pengawas
Syariah (DPS) mengawal Bank Syariah untuk selalu patuh terhadap prinsip-prinsip Syariah.
Keberadaan DPS inilah yang juga menjadi pembeda antara Bank Syariah dan Bank
Konvensional.
Pada akhir Desember 2015 hadirnya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tentu menjadi
peluang dan tantangan bagi Indonesia, mulai dari masyarakat, pengusaha juga lembaga
keuangan seperti industri keuangan syariah. Deputi Komisioner Pengawas Perbankan 1 OJK
Mulya E Siregar berharap Dewan Pengawas Syariah (DPS) dapat berperan besar dalam
meningkatkan kualitas industri keuangan syariah dan menjaga daya saing perbankan syariah
Indonesia demi menghadapi MEA.

Mulya E. Siregar juga mengatakan, salah satu cara untuk bersaing dengan perbankan syariah
di Asia Tenggara adalah harus meningkatkan kualitas Dewan Pengawas Syariah (DPS),
diantaranya melalui pertemuan tahunan, melakukan sertifikasi hingga mengikuti pelatihan di
lembaga keuangan syariah. Jadi DPS tidak hanya mengetahui fatwa dan regulasi tapi
diharapkan juga memahami manajemen resiko. Sehingga kontribusi DPS dapat dirasakan
dalam menjaga kepatuahan syariah di perbankan syariah.

Daftar Pustaka:

Ullah Hafij. 2014. Shariah Compliance in Islamic Banking: An Empirical Study on Selected
Islamic Banks in Bangladesh, International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance
and Management. Macquarie University.

Hafa, Rabitha Nabila. 2015. Analisis Sistem Pengendalian Internal Pembiayaan pada 13
Baitul Maal Wa Tamwil di Kota Depok (2015). Skripsi Akuntansi Syariah STEI SEBI
Depok. Hal 2.

http://akucintakeuangansyariah.com/menja
ga-kepatuhan-syariah-di-bank-syariah-
perlukah/

Anda mungkin juga menyukai