Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Belakangan ini, banyak bermunculan produk-produk yang
mengandung unsur pornografi maupun pornoaksi seperti lukisan,
foto, film, tarian, dan bahkan lirik lagu. Semua itu menjadi
konsumsi publik, tayang di berbagai media cetak, ataupun media
elektronik. Beredar luas di dunia maya dan dapat diperoleh
dengan mudahnya oleh semua orang yang mengakses situs-situs
tertentu yang memang secara khusus menyediakannya.
Lalu munculah MUI dengan fatwanya yang mengharamkan
penayangan dan pengkonsumsian produk-produk pornografi
tersebut. Pihak seniman pun tidak ingin kalah, bangkit dengan
argumennya sendiri, bahwa itu adalah hasil karya seni mereka.
Publik pun dibuat bingung antara agama yang harus dipatuhi
dan seni yang dapat dinikmati. Opini publik pun muncul ke
tengah masyarakat. Biasanya akan terbentuk dua kubu besar,
yaitu golongan masyarakat yang pro terhadap MUI dan yang
kontra terhadap MUI. Dan tidak menutup kemungkinan akan
tercipta kubu ketiga yaitu golongan masyarakat yang tidak
memihak kemanapun.
Ironis sekali memang. Suatu tindakan atau benda berbau
pornografi dn pornoaksi dapat dikonsumsi secara luas dan tak
terbatas oleh publik dengan membawa-bawa label “seni”.
Padahal, seperti kita ketahui, yang menyaksikan siaran televisi
bukanlah orang dewasa saja, bahkan anak di bawah umurlah
yang menempati porsi terbesar sebagai penikmat siaran televisi.
Maka tidak heran kalau sekarang sering muncul pemberitaan di
media massa bahwa ditemukan bocah berumur 7 tahun

1
memperkosa gadis kecil tetangganya atau seorang kakek lanjut
usia tega menghamili cucu perempuannya. Jika begini, siapa
yang dapat dipersalahkan? Seniman, artis, pemilik stasiun
televisi, MUI, orang tua atau bahkan kita sendiri?

b. Tujuan Penulisan
 Mendeskripsikan perbedaan antara seni dan pornografi.
 Mengungkapkan dampak apa saja yang akan ditimbulkan jika
banyak produk pornografi dapat beredar luas di masyarakat
dengan mengatasnamakan “seni”.
 Mencari cara untuk menanggulanginya.
 Membentuk kesadaran di masyarakat bahwa pornografi
bukanlah suatu seni.
c. Metode Penulisan
Penyusunan makalah ini disusun dengan menggunakan
metode pengumpulan dan pemilihan referensi terkait dari media
cetak maupun media elektronik. Selain itu, penulis juga
berupaya untuk memasukkan beberapa pendapatnya mengenai
hal terkait ke dalam makalah ini.

2
BAB II
ISI

a. Sejarah Seni dan Pornografi

Berdasarkan penelitian para ahli menyatakan seni/karya


seni sudah ad sejak 60.000 tahun yang lampau. Bukti ini
terdapat pada dinding-dinding gua di Prancis Selatan. Buktinya
berupa lukisan yang berupa torehan-torehan pada dinding
dengan menggunakan warna yang menggambarkan kehidupan
manusia purba. Artefak/bukti ini mengingatkan kita pada lukisan
moderen yang penuh ekspresi. Hal ini dapat kita lihat dari
kebebaan mengubah bentuk. Satu hal yang membedakan antara
karya seni manusia purba dengan manusia moderen adalah
terletak pada tujuan penciptaannya. Kalau manusia purba
membuat karya seni/penanda kebudayaan pada masanya adalah
semata-mata hanya untuk kepentingan sosioreligi, atau manusia
purba adalah figur yang masih terkungkung oleh kekuatan-
kekuatan di sekitarnya. Sedangkan manusia moderen membuat
karya seni/penanda kebudayaan pada masanya digunakan untuk
kepuasan pribadinya dan menggambarkan kondisi
lingkungannya. Dengan kata lain manusia moderen adalah figur
yang ingin menemukan hal-hal yang baru dan mempunyai
cakrawala berpikir yang lebih luas. Semua bentuk kesenian pada
jaman dahulu selalu ditandai dengan kesadaran magis karena
memang demikian awal kebudayaan manusia. Dari kehidupan
yang sederhana yang memuja alam sampai pada kesadaran
terhadap keberadaan alam.

Pornografi mempunyai sejarah yang panjang. Karya seni


yang secara seksual bersifat sugestif dan eksplisit sama tuanya

3
dengan karya seni yang menampilkan gambar-gambar yang
lainnya. Foto-foto yang eksplisit muncul tak lama setelah
ditemukannya fotografi. Karya-karya film yang paling tua
sekalipun sudah menampilkan gambar-gambar telanjang
maupun gambaran lainnya yang secara seksual bersifat eksplisit.

Manusia telanjang dan aktivitas-aktivitas seksual


ditampilkan dalam sejumlah karya seni paleolitik (mis. patung
Venus), namun tidak jelas apakah tujuannya adalah
membangkitkan rangsangan seksual. Sebaliknya, gambar-
gambar itu mungkin mempunyai makna spiritual. Ada sejumlah
lukisan porno di tembok-tembok reruntuhan bangunan Romawi
di Pompeii. Salah satu contoh yang menonjol adalah gambar
tentang sebuah bordil yang mengiklankan berbagai pelayanan
seksual di dinding di atas masing-masing pintu. Di Pompeii orang
pun dapat menjumpai gambaran zakar dan buah zakar yang
ditoreh di sisi jalan, menunjukkan jalan ke wilayah pelacuran dan
hiburan, untuk menunjukkan jalan kepada para pengunjung (lihat
Seni erotik di Pompeii). Para arkeolog di Jerman melaporkan
pada April 2005 bahwa mereka telah menemukan apa yang
mereka yakini sebagai sebuah gambaran tentang adegan porno
yang berusia 7.200 tahun yang melukiskan seorang laki-laki
yang sedang membungkuk di atas seorang perempuan dalam
cara yang memberikan kesan suatu hubungan seksual.
Gambaran laki-laki itu diberi nama Adonis von Zschernitz.
Buku-buku komik porno yang dikenal sebagai kitab suci Tijuana
mulai muncul di AS pada tahun 1920-an.

Pada paruhan kedua abad ke-20, pornografi di Amerika


Serikat berkembang dari apa yang disebut “majalah pria” seperti
Playboy dan Modern Man pada 1950-an. Majalah-majalah ini

4
menampilkan perempuan yang telanjang atau setengah
telanjang perempuan, kadang-kadang seolah-olah sedang
melakukan masturbasi, meskipun alat kelamin mereka ataupun
bagian-bagiannya tidak benar-benar diperlihatkan. Namun pada
akhir 1960-an, majalah-majalah ini, yang pada masa itu juga
termasuk majalah Penthouse, mulai menampilkan gambar-
gambar yang lebih eksplisit, dan pada akhirnya pada 1990-an,
menampilkan penetrasi seksual, lesbianisme dan
homoseksualitas, seks kelompok, masturbasi, dan fetishes.

Film-film porno juga hampir sama usianya dengan media


itu sendiri. Menurut buku Patrick Robertson, Film Facts, “film
porno yang paling awal, yang dapat diketahui tanggal
pembuatannya adalah A L’Ecu d’Or ou la bonne auberge”, yang
dibuat di Prancis pada 1908. Jalan ceritanya menggambarkan
seorang tentara yang kelelahan yang menjalin hubungan dengan
seorang perempuan pelayan di sebuah penginapan. El Satario
dari Argentina mungkin malah lebih tua lagi. Film ini
kemungkinan dibuat antara 1907 dan 1912. Robertson mencatat
bahwa “film-film porno tertua yang masih ada tersimpan dalam
Kinsey Collection di Amerika. Sebuah film menunjukkan
bagaimana konvensi-konvensi porno mula-mula ditetapkan. Film
Jerman Am Abend (sekitar 1910) adalah, demikian tulis
Robertson, “sebuah film pendek sepuluh menit yang dimulai
dengan seorang perempuan yang memuaskan dirinya sendiri di
kamarnya dan kemudian beralih dengan menampilkan dirinya
sedang berhubungan seks dengan seorang laki-laki, melakukan
fellatio dan penetrasi anal.” (Robertson, hlm. 66)

Banyak film porno seperti itu yang dibuat dalam


dasawarsa-dasawarsa berikutnya, namun karena sifat

5
pembuatannya dan distribusinya yang biasanya sembunyi-
sembunyi, keterangan dari film-film seperti itu seringkali sulit
diperoleh.

Mona (juga dikenal sebagai Mona the Virgin Nymph),


sebuah film 59-menit 1970 umumnya diakui sebagai film porno
pertama yang eksplisit dan mempunyai plot, yang diedarkan di
bioskop-bioskop di AS. Film ini dibintangi oleh Bill Osco dan
Howard Ziehm, yang kemudian membuat film porno berat (atau
ringan, tergantung versi yang diedarkan), dengan anggaran yang
relatif tinggi, yaitu film Flesh Gordon.

Film tahun 1971 The Boys in the Sand dapat disebutkan


sebagai yang “pertama” dalam sejumlah hal yang menyangkut
pornografi. Film ini umumnya dianggap sebagai film pertama
yang menggambarkan adegan porno homoseksual. Film ini juga
merupakan film porno pertama yang mencantumkan nama-
nama pemain dan krunya di layar (meskipun umumnya
menggunakan nama samaran). Ini juga film porno pertama yang
membuat parodi terhadap judul film biasa (judul film ini The Boys
in the Band). Dan ini adalah film porno kelas X pertama yang
dibuat tinjauannya oleh New York Times.

b. Pengertian Seni, Pornografi dan


Pornoaksi

Seni berasal dari kata “sani” yang berarti jiwa yang luhur
atau ketulusan jiwa. 4. Menurut Enslikopedia Indonesia, seni
adalah penciptaan segala hal atau benda yang karena
keindahannya orang senang melihatnya atau mendengarkannya.

6
Sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, seni
adalah keahlian membuat karya yang bermutu (dilihat dari segi
kehalusannya, keindahannya, dsb) seperti teri, lukis, ukir dan
sebagainya.
Berikut ini adalah pengertian seni menurut pandangan
beberapa tokoh.

1. Ki Hajar Dewantara

Seni merupakan segala perbuatan manusia yang timbul


dari hidup perasaannya dan bersifat indah hingga dapat
menggerakkan jiwa perasaan manusia.

2. Prof. Drs. Suwaji Bastomi

Seni adalah aktivitas batin dengan pengalaman estetik


yang dinyatakan dalam bentuk agung yang mempunyai daya
membangkitkan rasa takjub dan haru.

3. Drs. Sudarmadji

Seni adalah segala manifestasi batin dan pengalaman


estetis dengan menggunakan media bidang, garis, warna,
tekstur, volume dan gelap terang.

4. Schopenhauer (bertolak dari seni musik)

Seni adalah segala usaha untuk menciptakan bentuk-


bentuk yang menyenangkan. Menurutnya tiap orang tentu
senang dengan seni musik meskipun seni musik asalah seni
yang paling abstrak.

5. Eric Ariyanto

7
Seni adalah kegiatan rohani atau aktivitas batin yang
direfleksikan dalam bentuk karya yang dapat membangkitkan
perasaan orang lain yang melihat atau mendengarkannya.

Secara etimologi, pornografi berarti suatu tulisan yang


berkaitan dengan masalah-masalah pelacuran dan tulisan itu
kebanyakan berbentuk fiksi (cerita rekaan) yang materinya
diambil dari fantasi seksual, pornografi biasanya tidak memiliki
plot dan karakter, tetapi memiliki uraian yang terperinci
mengenai aktivitas seksual, bahkan sering dengan cara
berkepanjangan dan kadang-kadang sangat menantang.

Dalam kamus Besat Bahasa Indonesia, Pornografi artinya :

 Pengambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan


atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi.

 Bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata


dirancang untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks.

Sedangkan yang dimaksud dengan pornoaksi adalah


segala tindakan yang dirancang untuk membangkitkan nafsu
birahi dalam seks.

c. Cabang Seni

1. Seni musik atau seni suara

Seni musik atau seni suara adalah karya seni yang


disampaikan melalui media suara.

2. Seni tari atau seni gerak

Gerak yang dimaksud adalah gerak yang ritmis dan indah.


Irama, gerak, pembawaan, serta penghayatan merupakan hal

8
yang tidak boleh diabaikan. Seni tari sendiri merupakan suatu
perwujudan segala tekanan emosi yang dituangkan dalam
bentuk gerak seluruh anggota tubuh secara teratur dan berirama
sesuai dengan musik pengiringnya.

3. Seni drama

Seni drama mempunyai persamaan dengan seni tari, yakni


mempunyai unsur gerak. Gerak pada seni drama merupakan
gerak makna atau gerak acting. Salah satu jenis drama , yaitu
pantomime merupakan gerak dari ucapan dalam serangkaian
seni drama.

4. Seni Rupa

Seni rupa merupakan seni yang ada wujudnya, artinya


karya seni tersebut dapat diserap dengan menggunakan indra
penglihatan. Lengkapnya seni rupa adalah segala manifestasi
batin dan pengalaman estetis dengan media garis, bidang,
warna, tekstur, volum, dan gelap-terang. Contohnya yaitu
lukisan, puisi, cerpen, patung, dll.

d. Fungsi Seni

Fungsi seni adalah sebagai berikut.

1. Untuk kebutuhan individu

a. Kebutuhan Fisik

Sejarah membuktikan bahwa perkembangan seni musik


selalu seiring dengan peradaban mausia. Sejhak dulu,
benda-benda diciptakan dengan mempertimbangkan nilai

9
seni. Misalnya, model baju yang bernilai seni tinggi tentu
harganya jauh lebih mahal dibanding yang kurang berseni.

b. Kebutuhan Emosional

Manusia juga mempunya kebutuhan emosional yang


harus dipenuhi. Saat sedang sedih, gembira, dan
sebagainya. Lewat seni inilah seseorang dapat
mengungkapkan perasaan dan daya imajinasinya atau
menikmati seni tersebut untuk menghibur hatinya. Untuk
itulah orang seringkali melukis, bernyayi, membuat puisi,
mendengarkan lagu atau menonton drama.

2. Untuk Kebutuhan Sosial

a. Di bidang agama

Banyak sekali fungsi seni di bidang agama. Misalnya


bangunan masjid atau tempat peribadatan lain yang
dibangun dengan seni artistik. Selain itu orang dapat
berdakwah melalui seni musik yaitu dengan lagu-lagu
religi. Orang dapat menyampaikan pesan-pesan religi
melalui sebuah drama atau menggambarkan kekuasaan
Allah SWT melalui lukisan dan kaligrafi.

b. Di bidang pendidikan

Setiap bangsa selalu mengharapkan masyarakatnya


mempunyai budi pekerti luhur. Salah satu caranya adalah
melalui pendidikan seni, karena dapat menimbulkan
pengalaman estetika bahkan etika. Seni memberi manfaat
untuk membimbing serta mendidik mental dan tingkah
laku seseorang supaya berubah menjadi kondisi yang lebih

10
baik. Selain itu seni juga mampu membantu dalam proses
belajar mengajar. Melalui gambar maka materi yang
diterangkan semakin jelas ataupun melalui lagu maka
bacaan yang dihapal semakin mudah diingat. Karena pada
dasarnya orang lebih mudah menghafal lagu dibandingkan
menghafal rumus. Benar atau tidak?

c. Di bidang komunikasi

Bahasa merupakan alat komunikasi sederhana yang


mudah dimengerti. Tapi, seni juga dapat digunakan
sebagai alat komunikasi. Misalnya seorang seniman musik
dapat berkomunikasi melalui serangkaian nada dengan
semua orang yang ada di negaranya bahkan dunia.

d. Di bidang rekreasi

Bila rasa jenuh menyerang diri kita maka salah satu


obatnya dalah berlibur atau berekreasi. Misalnya
menonton di bioskop, menonton konser musik,
mendengarkan lagu, membuat pesta atau pergi ke pantai
dan menyaksikan karya seni dari sang pencipta.

e. Seni dan Pornografi Masa Kini

Dalam sejarah seni terjadi banyak pergeseran. Sejak


renesains atau bahkan sebelumnya , basis-basis ritual dan kuiltis
dari karya seni mulai terancam akibat sekularisasi masyarakat.
Situasi keterancaman itu mendorong seni akhirnya mulai
mencari otonomi dan mulai bangkit pemujaan sekular atas
keindahan itu sendiri. Dengan kata lain fungsi seni menjadi
media ekspresi, dan setiap kegiatan bersenian adalah berupa
kegiatan ekspresi kreatif, dan setiap karya seni merupakan

11
bentuk yang baru, yang unik dan orisinil. Karena sifatnya yang
bebas dan orisinal akhirnya posisi karya seni menjadi
individualistis.

Seni pada perkembangannya di jaman moderen


mengalami perubahan atau pembagian yakni seni murni atau
seni terapan/ seni dan desain yang lebih jauh lagi seni dan
desain oleh seorang tokoh pemikir kesenian yang oleh orang
tuanya di beri nama Theodor Adorno di beri nama "Seni Tinggi"
untuk Seni Murni dan "Seni Rendah" untuk Seni Terapan atau
Desain. Karena menurutnya dalam seni tinggi seorang seniman
tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal (kebutuhan
pasar/bertujuan komersial) dalam menciptakan sebuah karya
seni/murni ekspresi, sedangkan seni rupa rendah adalah seni
yang dalam penciptaannya dipengaruhi oleh faktor-faktor
eksternal. Adorno menganggap seni harus berbeda harus
berbeda dengan benda lain (barang), ia harus mempunyai
"sesuatu". Sesuatu itu tidak sekedar menjadi sebuah komoditas.
Karena sebuah karya atau benda yang sebagai komoditas akan
menghancurkan semangat sosial, pola produksi barang yang
menjadi komoditas adalah pola yang ditentukan dari atas oleh
seorang produsen.

Terakhir kita menuju pada jaman post-


moderen/kontemporer. Di jaman kontemporer ini bentuk
kesenian lebih banyak perubahannya baik secara kebendaan
atau kajian estetiknya, yang lebih dahsyat lagi landasan
logikanya. Di era ini aturan-aturan yang telah ada seolah-olah
dihancurkan, yang dulunya karya seni itu harus menyenangkan,
sekarang malah bisa sebaliknya. Yang dulunya karya seni itu
setidaknya masih mempertimabangkan etika sosial, etika agama

12
atau etika-etika yang lain, namun sekarang mungkin
kesemuanya itu bisa jadi hanya sebagai aturan usang.

Pada paruhan kedua abad ke-20, pornografi di Amerika


Serikat berkembang dari apa yang disebut “majalah pria” seperti
Playboy dan Modern Man pada 1950-an. Majalah-majalah ini
menampilkan perempuan yang telanjang atau setengah
telanjang perempuan, kadang-kadang seolah-olah sedang
melakukan masturbasi, meskipun alat kelamin mereka ataupun
bagian-bagiannya tidak benar-benar diperlihatkan. Namun pada
akhir 1960-an, majalah-majalah ini, yang pada masa itu juga
termasuk majalah Penthouse, mulai menampilkan gambar-
gambar yang lebih eksplisit, dan pada akhirnya pada 1990-an,
menampilkan penetrasi seksual, lesbianisme dan
homoseksualitas, seks kelompok, masturbasi, dan fetishes.

Film-film porno juga hampir sama usianya dengan media


itu sendiri. Menurut buku Patrick Robertson, Film Facts, “film
porno yang paling awal, yang dapat diketahui tanggal
pembuatannya adalah A L’Ecu d’Or ou la bonne auberge”, yang
dibuat di Prancis pada 1908. Jalan ceritanya menggambarkan
seorang tentara yang kelelahan yang menjalin hubungan dengan
seorang perempuan pelayan di sebuah penginapan. El Satario
dari Argentina mungkin malah lebih tua lagi. Film ini
kemungkinan dibuat antara 1907 dan 1912. Robertson mencatat
bahwa “film-film porno tertua yang masih ada tersimpan dalam
Kinsey Collection di Amerika. Sebuah film menunjukkan
bagaimana konvensi-konvensi porno mula-mula ditetapkan. Film
Jerman Am Abend (sekitar 1910) adalah, demikian tulis
Robertson, “sebuah film pendek sepuluh menit yang dimulai
dengan seorang perempuan yang memuaskan dirinya sendiri di

13
kamarnya dan kemudian beralih dengan menampilkan dirinya
sedang berhubungan seks dengan seorang laki-laki, melakukan
fellatio dan penetrasi anal.” (Robertson, hlm. 66)

Banyak film porno seperti itu yang dibuat dalam


dasawarsa-dasawarsa berikutnya, namun karena sifat
pembuatannya dan distribusinya yang biasanya sembunyi-
sembunyi, keterangan dari film-film seperti itu seringkali sulit
diperoleh.

Mona (juga dikenal sebagai Mona the Virgin Nymph),


sebuah film 59-menit 1970 umumnya diakui sebagai film porno
pertama yang eksplisit dan mempunyai plot, yang diedarkan di
bioskop-bioskop di AS. Film ini dibintangi oleh Bill Osco dan
Howard Ziehm, yang kemudian membuat film porno berat (atau
ringan, tergantung versi yang diedarkan), dengan anggaran yang
relatif tinggi, yaitu film Flesh Gordon.

Film tahun 1971 The Boys in the Sand dapat disebutkan


sebagai yang “pertama” dalam sejumlah hal yang menyangkut
pornografi. Film ini umumnya dianggap sebagai film pertama
yang menggambarkan adegan porno homoseksual. Film ini juga
merupakan film porno pertama yang mencantumkan nama-
nama pemain dan krunya di layar (meskipun umumnya
menggunakan nama samaran). Ini juga film porno pertama yang
membuat parodi terhadap judul film biasa (judul film ini The Boys
in the Band). Dan ini adalah film porno kelas X pertama yang
dibuat tinjauannya oleh New York Times.

Banyak contoh yang dapat kita temukan di masyarakat


Indonesia, seperti foto bugil Anjasmara dan Isabel Yahya dengan
tema "Adam dan Hawa" , goyang erotis para penyanyi dangdut,

14
majalah dan film-film porno bahkan lirik lagu salah satunya
adalah milik grup band Kungpaw Chicken, dan tentu saja masih
banyak lagi selain daripada yang telah disebutkan. Para seniman
penghasil karya seni tersebut berpendapat bahwa karyanya
bukanlah suatu bentuk pornografi atau pornoaksi, melainkan
merupakan suatu bentuk pengekspresian imajinasi mereka
dalam berkreatifitas.

Menurut para seniman penganut seni sekuler, bahwa


kreatifitas mereka dapat dituangkan sebebas-bebasnya ke dalam
suatu bentuk karya seni yang indah. Keberadaan seni sekuler
inilah yang menyebabkan batas antara seni dan pornografi juga
pornoaksi menjadi semakin kabur. Masyarakat dibuat bingung.
Karya-karya seni semacam ini menjadi semakin berkembang
luas di tengah masyarakat. Dikonsumsi secara bebas oleh publik,
belum lagi jika karya seni semacam ini dinikmati oleh anak-anak
di bawah umur, masalah yang akan timbul tentunya akan
semakin kompleks.

Sering kita lihat di pemberitaan khusus tindakan kriminal,


bahwa ditemukan seorang gadis di bawah umur diperkosa oleh
anak tetangganya, atau gadis bisu dihamili oleh kakek
kandungnya sendiri setelah menonton goyang dangdut erotis di
kampungnya. Ini merupakan bukti bahwa karya seni yang
mengandung unsur pornografi dan pornoaksi memiliki dampak
buruk terhadap perilaku masyarakat.

f. Batasan Seni dan Pornografi/Pornoaksi

Munculnya karya-karya seni yang berbau pornografi dan


pornoaksi ini menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat
yang memicu timbulnya kebingungan social. Masyarakat dibuat

15
bimbang antara seni dan pornografi/pornoaksi. Untuk mengatasi
masalah ini, maka perlu dibuat suatu batasan jelas antara seni
dan pornografi/pornoaksi itu sendiri. Batasan ini telah
dikemukakan oleh MUI melalui fatwa-fatwanya.
Dalam fatwanya tentang pornografi dan pornoaksi, MUI
memberikan definisi dan hukum yang jelas tentang kedua
bentuk kejahatan itu. MUI memutuskan :
 Bahwa menggambarkan secara langsung atau tidak
langsung tingkah laku secara erotis, baik dengan lukisan,
gambar, tulisan, suara, reklame, iklan, maupun ucapan, baik
melalui media cetak maupun elektronik yang dapat
mengakibatkan nafsu birahi adalah haram.
 Membiarkan aurat terbuka dan atau berpakaian ketat atau
tembus pandang dengan maksud untuk diambil gambarnya,
baik untuk dicetak maupun divisualisasikan adalah haram.
 Melakukan penggambilan gambar sebagaimana dimaksud
pada langkah 2 adalah haram.
 Melakukan hubungan seksual atau adegan seksual di
hadapan orang, melakukan pengambilan gambar hubungan
seksual atau adegan seksual baik terhadap diri sendiri
ataupun orang lain dan melihat hubungan seksual atau
adegan seksual adalah haram.
 Memperbanyak, mengedarkan, menjual, maupun membeli
dan melihat atau memperhatikan gambar orang, baik cetak
atau visual yang terbuka auratnya atau berpakaian ketat
tembus pandang yang dapat membangkitkan nafsu birahi,
atau gambar hubungan seksual adalah haram.
 Berbuat intim atau berdua-duaan (khalwat) antara laki-laki
dengan perempuan yang bukan mahramnya, dan perbuatan
sejenis lainnya yang mendekati dan atau mendorong

16
melakukan hubungan seksual di luar pernikahan, adalah
haram.
 Memperlihatkan aurat yakni bagian tubuh antara pusar
dan lutut bagi
laki-laki serta seluruh tubuh wanita kecuali muka, telapak
tangan dan telapak kaki adalah haram, kecuali dalam hal-hal
yang dibenarkan secara syar’i.
 Memakai pakaian tembus pandang atau ketat yang dapat
memperlihatkan lekuk tubuh adalah haram.

Dari fatwa MUI ini, terlihat jelas batasan antara seni dan
pornografi. Tetapi karena Indonesia adalah negara hukum bukan
negara Islam, maka perlu dibentuk suatu hukum tertulis
mengenainya. Oleh karena itulah disusun suatu undang-undang
yaitu Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi.

g. Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi

Undang-Undang Pornografi (sebelumnya saat masih


berbentuk rancangan bernama Rancangan Undang-Undang
Antipornografi dan Pornoaksi, disingkat RUU APP, dan
kemudian menjadi Rancangan Undang-Undang Pornografi)
adalah suatu produk hukum berbentuk undang-undang yang
mengatur mengenai pornografi (dan pornoaksi pada awalnya).
UU ini disahkan menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna
DPR pada 30 Oktober 2008.

Selama pembahasannya dan setelah diundangkan, UU ini


maraknya mendapatkan penolakan dari masyarakat. Masyarakat
Bali berniat akan membawa UU ini ke Mahkamah Konstitusi.

17
Gubernur Bali Made Mangku Pastika bersama Ketua DPRD Bali
Ida Bagus Wesnawa dengan tegas menyatakan menolak
Undang-Undang Pornografi ini. Ketua DPRD Papua Barat Jimmya
Demianus Ijie mendesak Pemerintah untuk membatalkan
Undang-Undang Pornografi yang telah disahkan dalam rapat
paripurna DPR dan mengancam Papua Barat akan memisahkan
diri dari Indonesia. Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya menolak
pengesahan dan pemberlakuan UU Pornografi.

Pembahasan akan RUU APP ini sudah dimulai sejak tahun


1997 di DPR. Dalam perjalanannya draf RUU APP pertama kali
diajukan pada 14 Februari 2006 dan berisi 11 bab dan 93 pasal.

Pornografi dalam rancangan pertama didefinisikan sebagai


"substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk
menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual,
kecabulan, dan/atau erotika" sementara pornoaksi adalah
"perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika
di muka umum".

Pada draf kedua, beberapa pasal yang kontroversial


dihapus sehingga tersisa 82 pasal dan 8 bab. Di antara pasal
yang dihapus pada rancangan kedua adalah pembentukan
badan antipornografi dan pornoaksi nasional. Selain itu,
rancangan kedua juga mengubah definisi pornografi dan
pornoaksi. Karena definisi ini dipermasalahkan, maka disetujui
untuk menggunakan definisi pornografi yang berasal dari bahasa
Yunani, yaitu porne (pelacur) dan graphos (gambar atau tulisan)
yang secara harafiah berarti "tulisan atau gambar tentang
pelacur". Definisi pornoaksi pada draft ini adalah adalah "upaya
mengambil keuntungan, baik dengan memperdagangkan atau
mempertontonkan pornografi".

18
Dalam draf yang dikirimkan oleh DPR kepada Presiden
pada 24 Agustus 2007, RUU ini tinggal terdiri dari 10 bab dan 52
pasal. Judul RUU APP pun diubah sehingga menjadi RUU
Pornografi. Ketentuan mengenai pornoaksi dihapuskan. Pada
September 2008, Presiden menugaskan Menteri Agama, Menteri
Komunikasi dan Informatika, Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan untuk
membahas RUU ini bersama Panitia Khusus DPR. Dalam draf final
yang awalnya direncanakan akan disahkan pada 23 September
2008, RUU Pornografi tinggal terdiri dari 8 bab dan 44 pasal.

Pada RUU Pornografi, defisini pornografi disebutkan dalam


pasal 1: "Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh
manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan,
suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair,
percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain
melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan
di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual
dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat."
Definisi ini menggabungkan pornografi dan pornoaksi pada RUU
APP sebelumnya, dengan memasukkan "gerak tubuh" kedalam
definisi pornografi.

Rancangan terakhir RUU ini masih menimbulkan


kontroversi, banyak elemen masyarakat dari berbagai daerah
(seperti Bali, NTT, Sulawesi Utara, Sumatra Utara, dan Papus),
LSM perempuan yang masih menolak RUU ini.

Sedangkan seni menurut Horace, bahwa seni harus dulce


et utile atau menghibur dan bermanfaat (Wellek & Warren,
l977). Karya seni yang menghibur dan bermanfaat harus dilihat
secara simultan, tidak secara terpisah antara satu dengan yang

19
lainnya. Artinya, bagi seniman, dalam proses penciptaan karya
seni antara aspek hiburan dan kebermanfaatan harus
dipertimbangkan, dia hendaknya tidak menonjolkan aspek
hiburan ketimbang aspek kebermanfaatan, sehingga terjadi
keseimbangan antara segi menghibur dan bermanfaat pada
karya seni yang diciptanya.

g. Peran Masyarakat

Walaupun telah dikeluarkan suatu RUU APP, hal ini tidak


akan bermakna jika masyarakat tidak berperan serta dalam
mendukung pengaplikasian RUU APP tersebut dalam kehidupan
sehari-hari. Masyarakat Indonesia sebagian besar adalah
masyarakat beragama. Sebagai manusia beragama, masyarakat
diharapkan dapat menerapkan apa yang diajarkan oleh
agamanya. Di dalam agama, agama apapun itu, pornografi dan
atau pornoaksi adalah hal yang dilarang, karena kedua hal
tersebut lebih menimbulkan kerugian dibanding manfaatnya.

BAB III

PENUTUP

a. Kesimpulan

Seni dan pornografi/pornoaksi adalah dua hal yang


berbeda. Seni adalah keahlian membuat karya yang bermutu
(dilihat dari segi kehalusannya, keindahannya, dsb) seperti teri,

20
lukis, ukir dan sebagainya. Sedangkan pornografi dan atau
pornoaksi adalah segala benda dan atau tingkah laku yang
dirancang untuk membangkitkan nafsu birahi.
Suatu karya yang mengandung unsure pornografi dan
pornoaksi bukanlah merupakan suatu seni karena seni selain
menghibur juga harus bermanfaat. Untuk memberikan batasan
yang jelas antara keduanya maka dibentuk Undang-Undang Anti
Pornografi dan Pornoaksi.
b. Saran

 Masyarakat diharapkan dapat lebih cerdas memilih mana


seni yang layak untuk dinikmati dan mana karya yang
merupakan bentuk pornografi/pornoaksi.

 Para orang tua lebih memperhatikan apa yang menjadi


bahan bacaan dan tontonan anak-anaknya.

 Stasiun televisi dan media cetak lebih selektif dalam


menayangkan karya-karya seni yang menghibur dan
bermanfaat.

21

Anda mungkin juga menyukai