Anda di halaman 1dari 17

KOMPAS.

com - Menjelang ”pesta demokrasi” pemilu legislatif, Banten menangis, Jakarta


menangis, Indonesia menangis. Hingga hari Senin (30/3) sudah 98 orang kehilangan nyawa
dan 102 orang tak ketahuan nasibnya, menyusul jebolnya tanggul Situ Gintung, Cirendeu,
Tangerang Selatan.

Bencana, kecuali gempa dan angin topan, sebenarnya tidak terjadi tiba-tiba. Bencana seperti
longsor dan banjir selalu membawa pertanda sebelumnya. Korban menjadi banyak ketika
mitigasi tidak dilakukan dalam bentuk antisipasi dan prevensi. Sebelum Jumat subuh itu, kata
Situ Gintung berkonotasi rekreatif: kolam renang, lokasi berpetualang (adventure camp), dan
rumah makan.

Situ tersebut memiliki daerah tangkapan air seluas 112,5 hektar; dari kawasan itulah situ
mendapat suplai air di samping mata air asli. Kondisi permukaannya, seperti diungkapkan
Kepala Bidang Mitigasi Bencana Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Sutopo
Purwo Nugroho, kini berupa permukiman (39,7 persen), tegalan (22,8 persen), badan air (17
persen), kebun (18 persen), rumput atau tanah kosong (4,5 persen), dan gedung (0,6 persen).

Dari kondisi permukaan itu, yang mampu menyerap air adalah tegalan, badan air (yaitu situ
atau saluran irigasi), kebun, dan rumput atau tanah kosong.

Pada situ seluas 21,4 hektar tersebut hanya ada satu spillway (saluran buang) selebar kira-kira
5 meter dan dua saluran irigasi yang lebarnya sekitar 1 meter, yang menurut Sutopo saat itu
tidak bekerja optimal.

Jika curah hujan besar, kecepatan aliran air melalui saluran buang akan tidak memadai
sehingga ada kemungkinan terjadi limpasan (overtopping), bahasa awamnya luberan.

Menempel pada bagian luar tanggul adalah permukiman padat, mulai dari kaki tanggul,
terletak di bawah tanggul sekitar 15-20 meter. Sungguh rawan karena bisa terkena longsoran
tanggul. Mestinya, minimal 100 meter dari kaki tanggul tidak boleh ada bangunan.
Permukiman itu mengurangi lebar saluran air dari semula 5-7 meter kini tinggal 1 meter.
Kondisi ini berpotensi menambah beban air pada situ karena air tidak tersalur ke luar.

Kemungkinan penyebab

Menurut peneliti dari Pusat Bencana Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Amien
Widodo, ada tiga faktor penyebab bencana. Ketiga faktor itu adalah faktor internal (kondisi
tanggul), faktor eksternal (bencana lain seperti gempa, longsor, dan hujan besar), dan faktor
manusia (pembangunan sekitar tanggul, pembabatan hutan, dan sebagainya).

Di sekitar Situ Gintung sudah sejak lama tak ada hutan. Saat itu pun tak terjadi gempa. Dari
data Sutopo yang didapatnya saat melakukan kajian kualitas air dan pemanfaatan air situ
untuk waduk resapan 5 Desember 2008, pada bagian tanggul yang jebol Jumat lalu telah
didapati erosi buluh (piping). Erosi itu diduga sudah lama terjadi karena muncul mata air di
bawah tanggul. Rembesan air ke dalam kapiler retakan menyebabkan kapiler bertambah
besar. Akibatnya, terjadi deformasi struktur saluran buang.

Dan, dorongan massa air menyebabkan badan tanggul longsor karena kapiler (retakan kecil)
terisi air. Ketika bagian atas tanggul longsor, beban massa air berpindah ke bawah sehingga
bagian dasar tanggul tergerus. Ini mengakibatkan tanggul jebol hingga sekitar 20 meter
tingginya.

Setelah tanggul jebol, rembesan air di sekeliling tanggul memberi beban besar sehingga
tanggul jebol semakin lebar pada 27 Maret 2009. Lapisan tanah pada Situ Gintung
merupakan sedimen muda—batuan kuarter, tersier—mudah longsor. Situ dengan struktur
batuan muda umumnya dibuat tanggul urukan. Selain urukan, ada tipe busur (berbentuk
melengkung) dan tipe graviti-tanggul beton di sisi luar miring ke luar, di sisi dalam datar
seperti dinding.

Meski beban massa air menyebabkan tanggul jebol, hujan pada Kamis, 26 Maret 2009, dari
penelusuran Sutopo bukanlah faktor tunggal penyebab, melainkan hanya pemicu. Dari
catatan di Stasiun Meteorologi Ciputat—terdekat dengan Situ Gintung—curah hujan 113,2
milimeter per hari, dari Stasiun Meteorologi Pondok Betung, curah hujan normal selama tiga
jam disusul 1,5 jam curah hujan ekstrem 70 mm per jam!

Curah hujan 180 mm pada tahun 1996 tercatat di Stasiun Pondok Betung (Stasiun Ciputat
baru dibangun tahun 2007), tanggul Situ Gintung tidak jebol. Juga saat 2007 ketika curah
hujan 275-300 mm per hari di sekitar Situ Gintung, tanggul situ tetap aman. Pada dua
kejadian itu, Jakarta banjir besar.

Di sisi lain, bagian saluran buang bisa dikatakan merupakan titik lemah. Analoginya adalah:
seseorang yang dalam kondisi bugar tak akan mudah terinfeksi virus. Ketika kondisinya
lemah akibat kurang tidur dan kelelahan, seseorang akan lebih mudah terserang penyakit.

Sutopo mencatat, secara global terdapat 78 persen bendungan jebol adalah tipe urukan,
sedangkan tipe lainnya 22 persen. Adapun runtuhnya bendung di dunia, 38 persen akibat
erosi buluh, 35 persen akibat peluapan air, 21 persen fondasi jebol, dan 6 persen karena
longsoran dan lainnya.

Akan tetapi, untuk mengetahui secara tepat penyebab jebolnya tanggul, perlu dilakukan
kajian lebih mendalam dengan meneliti faktor lainnya, seperti aktivitas pengerukan sedimen
situ dengan ekskavator, atau hilangnya batu-batu di luar tanggul misalnya.

Belajar dengan mahal

Bencana adalah arena belajar yang amat mahal. Mestinya pihak yang bertanggung jawab
langsung atas Situ Gintung melakukan tugasnya dengan tepat. Masyarakat, sesuai amanat
undangundang bencana, juga harus bertanggung jawab dengan melaporkan potensi bencana,
sementara pemerintah harus membuka diri pada laporan masyarakat apa pun bentuknya,
tertulis atau tidak tertulis. Mengabaikan laporan masyarakat hanya menunjukkan arogansi
penguasa; masyarakat Situ Gintung sudah pernah melaporkan kerusakan tanggul pada dua
tahun sebelumnya.

Selain itu, lembaga penelitian seperti BPPT dan lainnya sudah seharusnya dilibatkan untuk
melakukan audit teknologi demi keamanan struktur pada situ-situ. Saat ini sudah ada
sejumlah teknologi ciptaan mereka sendiri yang mampu mendeteksi kelayakan teknis sebuah
bendung.
Jangan lupa, masih ada 189 situ lain di Jabodetabek. Beberapa di antaranya perlu diwaspadai
karena berpotensi menimbulkan bencana. Pada akhirnya, keselamatan dan keamanan manusia
semestinya diletakkan pada posisi teratas kebijakan pembangunan sehingga pada setiap
pembangunan harus selalu disertakan analisis risiko.

KOMPAS.COM

Tragedi Situ Gintung di Cireundeu, Ciputat, Tangerang, Banten, telah berlalu. Ratusan nyawa
melayang dan puluhan korban lainnya hilang. Tidak terhitung kerugian harta benda dan
tekanan psikologis yang muncul. Kini, sekian hari berlalu, ironi itu kembali berulang: saling
lempar tanggung jawab. Pemerintah pusat menyalahkan pemerintah daerah. Sebaliknya,
pemda menuding pemerintah pusatlah sebagai penanggung jawab. Bahkan, untuk
menggampangkan masalah, tragedi Situ Gintung dikategorikan bencana alam.

Debat yang tak perlu haruslah dihindari. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana mendefinisikan "bencana alam adalah bencana yang diakibatkan
oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain, berupa gempa
bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor".
"Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa
non-alam, antara lain, berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah
penyakit". Merujuk pada definisi itu, tragedi Situ Gintung tidak masuk kategori bencana
alam.

Dalam undang-undang yang sama, bencana didefinisikan "peristiwa atau rangkaian peristiwa
yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan
oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia, mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis".
Merujuk pada definisi itu, dalam konteks tragedi Situ Gintung, ada tiga sebab tanggul
ambrol: faktor internal (kondisi tanggul), faktor eksternal (karena bencana lain, seperti gempa
bumi, gunung meletus, angin topan, dan tanah longsor), dan faktor manusia (pembangunan
sekitar tanggul, alih fungsi lahan, pembabatan hutan, dan yang lain).

Situ Gintung ambrol bukan oleh faktor tunggal. Dari sisi usia, Situ Gintung amat renta.
Umurnya 76 tahun. Situ warisan pemerintah kolonial Belanda tersebut nyaris tanpa
perawatan memadai, sehingga fungsinya terus menurun dari waktu ke waktu. Luas situ yang
semula 31 hektare, karena sedimentasi atau pendangkalan kini tinggal 21,4 hektare. Saluran
air yang semula 5-7 meter, karena marak berdiri permukiman, tinggal satu meter. Semula situ
dibangun untuk persediaan air, perikanan, dan pengendalian banjir. Selama zaman Belanda,
Situ Gintung baik-baik saja karena dirawat dan dimonitor terus-menerus.

Konyolnya manusia lebih suka menyalahkan hujan (faktor eksternal) sebagai penyebab situ
jebol. Penyebab versi ini, antara lain, diyakini Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto dan
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane Pitoyo Subandrio. Hujan di kawasan
Situ Gintung pada 27 Maret 2009 (113,2 milimeter per hari), saat situ jebol, memang
tertinggi di kawasan sekitarnya. Tapi curah hujan ini jauh lebih kecil ketimbang hujan pada
10 Februari 1996 (180 mm per hari), atau kurang dari separuh dari hujan pada 1 Februari
1997 (275-300 mm per hari). Tapi saat itu Situ Gintung aman-aman saja. Artinya, seperti
diyakini Kepala Bidang Mitigasi Bencana BPPT Sutopo Purwo Nugroho, ada faktor lain--
selain curah hujan--yang membuat situ jebol. Hujan hanyalah pemicu.
Hujan tak layak disalahkan. Justru tangan manusialah yang suka mengeksploitasi alam
mendorong bunuh diri lingkungan (ecological suicide). Pada zaman Belanda sudah ada
larangan dalam radius 1 kilometer tak boleh ada bangunan atau rumah. Tapi, dalam 30 tahun
terakhir, kian banyak rumah dibangun di sekitar Situ Gintung. Bangunan rumah-rumah
mewah bahkan menempel di badan situ. Laporan utama Tempo (12 April 2009) dan serial
tulisan Koran Tempo (2-11 April 2009) telah memotret kondisi riil di Situ Gintung: tanah
dikaveling-kaveling dan digunting-gunting hingga luas situ menciut. Ini membuat beban yang
disangga situ semakin berat. Saat air hujan melimpah, hanya soal waktu situ jebol.

Kesalahan tidak hanya pantas diarahkan kepada manusia yang membangun rumah di sekitar
situ. Pemerintah dan instansi yang berwenang memberi izin pendirian bangunan juga punya
andil besar dalam jebolnya situ. Kalau pemerintah Belanda bisa melarang, mengapa
pemerintah sekarang justru lembek? Hutan di hulu situ yang gundul membuat air hujan
menjadi air larian (run off). Air hujan langsung masuk ke sungai dan Situ Gintung.
Keseimbangan alam terganggu akibat ulah manusia pembabat hutan.

Tragedi Situ Gintung harus jadi momentum untuk memutus siklus perkabungan massal akibat
bencana. Sebagai wilayah yang terletak di lintasan ring of fire, Indonesia identik dengan
bencana. Bencana, kecuali gempa dan angin topan, tidak terjadi tiba-tiba. Bencana, seperti
banjir dan tanah longsor, seperti kasus Situ Gintung, selalu diawali oleh tanda-tanda
sebelumnya. Banyak yang percaya salah satu tanda Situ Gintung akan jebol adalah adanya
erosi buluh (piping). Perkembangan pengetahuan dan teknologi sangat memungkinkan
manusia untuk melakukan mitigasi dalam bentuk antisipasi dan prevensi.

Dari sisi perangkat lunak, sebenarnya siklus perkabungan massal akibat bencana bisa
dicegah. Indonesia setidaknya sudah memiliki peta rawan yang relatif lengkap. Peta tanah
longsor sudah dikerjakan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Peta rawan banjir
ada di Departemen Pekerjaan Umum serta Badan Meteorologi dan Geofisika. Peta rawan
tsunami juga sudah dibuat. Dari sisi teknologi, ahli-ahli Indonesia sudah cukup menguasai.
Bahkan alat-alat deteksi itu telah dibuat oleh anak negeri sendiri. Dari sisi aturan, juga sudah
ada UU Nomor 24 Tahun 2007. Pertanyaannya, lalu apa yang kurang? Barangkali political
will.

Bila dibandingkan dengan negara-negara maju di Eropa, seperti Prancis, Jerman, Inggris,
bahkan Irlandia yang relatif miskin, Indonesia memang jauh tertinggal dalam mitigasi
bencana. Di negara-negara itu, sistem peringatan dini tentang banjir, gempa, atau tsunami
tertata baik, bahkan dilengkapi peta evakuasi (evacuation plan) dan sosialisasi. Bahkan,
untuk meningkatkan tanggung jawab publik, pejabat terkait harus siap
mempertanggungjawabkannya di depan tribunal bila terjadi bencana dan menelan korban
jiwa. Banjir, misalnya, wilayah yang kena banjir akan divalidasi bersama tim independen,
apakah zona pembangunan untuk permukiman ada di luar wilayah rawan banjir dan genangan
atau tidak. Hasilnya, pemberian izin bangunan akan ekstrahati-hati karena ada
pertanggungjawaban publik bila terjadi banjir, genangan, dan tanah longsor di kemudian hari.

Di Indonesia, pertanggungjawaban publik atas bencana hampir tak ada. Tsunami, banjir, dan
longsor yang banyak menelan korban jiwa, harta, dan menimbulkan trauma warga selalu
dianggap dan dikategorikan sebagai musibah/bencana alam. Terminologi musibah/bencana
alam merujuk pada pengertian sesuatu yang berada di luar jangkauan (baca: kemampuan)
manusia. Istilah kerennya force majeure. Akibatnya, tidak ada satu instansi atau pihak atau
pejabat pun yang bisa dimintai pertanggungjawaban publik. Tanpa pertanggungjawaban
publik, perkabungan massal akibat bencana tak akan berakhir.

TEMPO.COM

1. Seperti apa psikologis orang yang menjadi korban gempa ?

Gempa sebagai suatu pengalaman yang mendadak/tiba-tiba, menimbulkan berbagai kerusakan yang
besar berdampak secara psikologis pada penyintas** (survivor). Dampak psikologis pada penyintas
berkembang seiring dengan waktu yang berlalu dan kondisi/konteks sosial pasca bencana.

Reaksi segera setelah bencana yang besar seperti gempa di Padang yang baru saja terjadi, umumnya
adalah: shock dan terguncang, kemudian berkembang menjadi beragam penghayatan psikologis
yang dapat berbeda tampilannya antara satu dengan yang lain, tampil dalam 3 aspek: pemikiran
(kognitif), perasaan (afeksi) dan perilaku (psikomotorik). Misalnya: pemikiran: berpikir bahwa Tuhan
menghukum, sulit konsentrasi; perasaan: sedih, marah, survivor guilt (merasa bersalah karena
selamat, mis:pada ibu yang selamat namun anaknya yang masih kecil tidak berhasil diselamatkan);
perilaku, mis: mondar-mandir tidak karuan dll.

Umumnya, reaksi tersebut bersifat negatif: penghayatan emosi negatif, pemikiran negatif, perilaku
yang konotasi negatif (membahayakan, mengancam, dll) namun tidak tertutup juga reaksi yang
bersifat positif. Reaksi Psikologis penyintas sangat individual sifatnya. Hal yang perlu ditekankan
tentang reaksi psikologis seseorang adalah: NORMALISASI: berbagai reaksi yang dialami termasuk
reaksi-reaksi negatif tersebut merupakan reaksi yang WAJAR dalam menghadapi kondisi yang TIDAK
WAJAR. Bayangkan dalam waktu sekejap, sangat singkat ada begitu banyak kehilangan yang harus
terjadi.

Jadi terus terang, saya sedih jika di media banyak mengekspos bahwa korban gempa mengalami
trauma, dll. Terminologi Trauma saat ini sudah disalahartikan terutama semenjak gempa tsunami.
Label “Trauma” berkonotasi dengan gangguan yang implikasi stigma dan kesalahan pendekatan
dalam penanganan. Padahal reaksi – reaksi psikologis dalam durasi sampai kurang lebih 1-2 bulan
pasca bencana dahsyat merupakan reaksi yang wajar terjadi. Dan melalui natural coping mechanism,
mereka dapat kembali pulih dan berfungsi sosial.

Tidak tertutup kemungkinan bahwa dari komunitas pasca bencana terdapat individu yang tangguh
(resilient) sehingga dapat tetap optimal pasca pengalaman bencana. Masyarakat di Aceh dan Yogya
banyak yang menampilkan ketangguhannya sehingga tidak terpuruk pasca bencana.

Meskipun demikian, setelah bencana, ada pula yang reaksi psikologisnya berkembang menjadi PTSD
(Post Traumatic Stress Disorder) – Gangguan Stress Pasca Trauma (meski jumlahnya relatif terbatas
dibandingkan total populasi), yang ditandai oleh 3 hal: re-experiencing (seolah-olah mengalami
kembali), avoidance (menghindari dari berbagai hal yang mengingatkan pada pengalaman traumatis)
dan hyper-arousal (ketergugahan fisik yang berlebih). Dengan catatan gangguan ini dapat ditegakkan
minimal 6 bulan pasca kejadian, individu masih menampilkan reaksi-reaksi tersebut.

Dalam bencana termasuk gempa, aspek Psikologis penyintas erat kaitannya dengan penghayatan
loss (kehilangan), yang tidak hanya fisik: kehilangan barang milik, kehilangan orang yang dikasihi
tetapi juga sosial: kehilangan aktivitas, kehilangan ikatan kekeluargaaan dan lain-sebagainya.

Penjelasan:

** Penyintas lebih tepat digunakan untuk menjelaskan mereka yang selamat dari bencana daripada
kata ‘korban’ karena di dalam terminologi ‘penyintas’: mengandung makna bahwa pada mereka
yang selamat terdapat potensi, kekuatan, ketangguhan untuk pulih, berfungi kembali pasca bencana
sebagai suatu pengalaman sulit.

2. Bagaimana penanganan trauma pada korban bencana ?

Penanganan aspek psikologis penyintas bencana merupakan suatu proses yang unik tiap individu
dan tiap komunitas. Metode untuk memfasilitasi pemulihan pun sangat disesuaikan dengan
karakteristik individu dan komunitas termasuk di dalamnya adalah budaya komunitas tersebut. Tiap
individu memiliki cara yang sesuai dengan dirinya untuk dapat pulih.

Proses pemulihan aspek psikologis penyintas pasca bencana seperti: permainan “ular – tangga”.
Dalam hal ini yang penting adalah menciptakan banyak ‘tangga-tangga’ bagi penyintas untuk
memfasilitasi, mengakselerasi proses pemulihan psikologisnya.

Salah satu tangga yang paling penting adalah: adanya DUKUNGAN SOSIAL. Dukungan sosial yang
dimaksud adalah perhatian,pendampingan dari lingkungan terutama lingkungan terdekat,misalnya:
keluarga.

Saat ini penanganan trauma korban bencana, seringkali disempitartikan dengan KONSELING
TRAUMA, TERAPI – TERAPI TRAUMA. Metode konseling dan psikoterapi memang seringkali
digunakan profesional kesehatan mental, namun tidak semua cocok dengan pendekatan konseling
dan terapi-terapi terutama yang lebih mengedepankan proses komunikasi verbal (meminta
penyintas berbicara, bercerita). Tidak semua penyintas membutuhkannya dan cocok dengan
pendekatan ini.
Mengingat dampak psikologis bencana sangat besar dalam arti jumlah mereka yang mengalami
dampak besar namun jumlah profesional kesehatan mental terbatas (jumlah psikolog klinis dan
psikiater sedikit) maka penanganan aspek psikologis bencana sebaiknya dilakukan dalam sistem
jejaring. Perlu adanya upaya peningkatan kapasitas awam untuk dapat menjadi jembatan antara
profesional kesehatan mental dan masyarakat penyintas secara luas. Dalam hal ini, awam misalnya:
guru, tokoh masyarakat, tokoh agama, seniman termasuk wartawan dan relawan umum dapat
diberdayakan untuk membantu proses pemulihan melalui intervensi yang berimplikasi psikologis
namun dilakukan oleh awam yang terlatih/dibekali dinamakan dengan PFA (psychological first aid).
Bagaimana guru, relawan, wartawan, tokoh agama dapat memberikan kesejukkan, menenangkan
saat berkomunikasi dengan penyintas. ”awam terlatih” ini dibekali dengan kemampuan untuk
deteksi dini sehingga dapat melakukan rujukan kepada profesional. Profesional (psikolog klinis,
psikiater) dapat melakukan intervensi dengan konseling atau psikoterapi sesuai kompetensi
profesional tersebut pada mereka yang dirujuk oleh ’awam terlatih’ ini.

Intinya: penanganan aspek psikologis pasca bencana HENDAKNYA menggunakan pendekatan


BIOPSIKOSOSIALSPIRITUAL.

3. Apakah betul bahwa korban bencana alam lebih mudah disembuhkan darikorban konflik
horizontal ?

Menurut pemahaman saya, proses pemulihan psikologis karena konflik horizontal memang lebih
kompleks daripada proses pemulihan psikologis karena bencana alam. Hal ini berkaitan dengan
pemaknaan yang dikembangkan terhadap kejadian atau pengalaman traumatic tersebut. Pada
bencana alam, orang umumnya cenderung menjelaskan bahwa apa yang terjadi di luar kendali
dirinya dan orang lain sedangkan pada bencana karena konflik horizontal, penyintas cenderung
menjelaskan bahwa ada pihak yang dapat dimintai pertanggungjawabannya atas apa yang terjadi.

Saya lebih setuju menggunakan kata optimalisasi pemulihan daripada kata ‘sembuh’ karena sampai
kapanpun dampak psikologis bencana akan tetap ada, namun individu yang berhasil
mengembangkan pemaknaan yang tepat atas apa yang terjadi dapat menjadi lebih baik dan
berkembang pasca bencana dan pengalaman sulit yang menyertainya. Ibarat luka yang bekasnya
tidak akan mungkin hilang selamanya.

4. Berapa lama waktu dibutuhkan untuk menangani trauma ?

Tidak ada waktu yang persis dapat diberikan untuk menjelaskan lamanya seseorang pulih. Sifatnya
sangat individual. Proses pemulihan dipengaruhi oleh begitu banyak faktor, misalnya: internal
maupun eksternal.
Seperti yang telah dijelaskan, proses pemulihan seperti: seseorang bermain ‘ular-tangga’, sangat
mungkin turun-naik, namun penyintas diharapkan dapat mengenali, mengidentifikasi ular yang
membuat proses pemulihan mundur sehingga dapat melakukan sesuatu untuk menghindarinya dan
dapat menemukan tangga, yaitu: proses yang memfasilitasi, mengakselerasi pemulihan sehingga
dapat diakses oleh penyintas untuk dapat tetap optimal.

Berdasarkan pengalaman , seringkali kondisi sosial-psikologis pasca bencana dirasakan jauh lebih
berat daripada pengalaman bencana itu sendiri. Bantuan yang tidak jelas rencananya dan
pengaturannya seringkali menjadi bencana kedua yang efeknya sangat besar bagi proses pemulihan.

5. Sejauh ini terkait dengan trauma yang disebabkan oleh bencana, apakah korban bencana di
Indonesia sudah tertangani dengan baik ?

Saat ini belum bisa menjawab dengan tegas. Pastinya, pasca bencana, bantuan dan dukungan
umumnya lebih prioritaskan pada penanganan aspek fisik yang lebih kasat mata daripada
penanganan aspek psikologis.

Namun saat ini, pasca bencana besar terutama tsunami di Aceh, perhatian pada aspek psikologis,
aspek kesehatan mental jauh lebih memadai dibandingkan sebelumnya. Ada berbagai upaya
peningkatan kapasitas lokal untuk dapat melakukan hal praktis sederhana namun membantu dan
berdampak pada pemulihan psikologis.

Koordinasi dan kolaborasi antar bidang sudah mulai dirintis dalam penanganan aspek psikologis
bencana. Sistem rujukan (referral system) juga sudah mulai berjalan di beberapa daerah pasca
bencana.

Hal yang pasti, proses penanganan aspek psikologis bencana tidak singkat melainkan merupakan
proses yang relatif panjang. Sehingga perlu dipastikan suistainability nya di masyarakat. Dan
mengacu pada pendekatan bio-psiko-sosial-spiritual, penanganan aspek psikologis juga dipengaruhi
oleh faktor sosial dan spiritual. Pemulihan psikologis menjadi proses yang rumit dan kompleks jika
tidak didukung oleh kondisi sosial yang memadai.

Sampai disini dulu. Semoga membantu

Terimakasih.

Nathanael E.J. Sumampouw

Staf Pengajar Psikologi Klinis Univ. Indonesia

Staf Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI


http://staff.ui.ac.id/internal/080603030/material/artikeltrauma.doc

Karakter Psikososial Korban Bencana


14 02 2008

Oleh ADI FAHRUDIN, Ph.D.

LETAK geografis dan aturan hukum yang belum kuat, membuat Indonesia rawan terhadap
berbagai bencana, baik bencana alam, teknologi, maupun bencana sosial. Bencana alam
seperti tsunami, longsor, gempa dan lain-lainnya, semuanya saling terkait. Bencana alam
terjadi karena pemerintah tidak tegas memberikan sanksi hukum kepada perusak lingkungan,
seperti pelaku penebangan kayu di hutan, dan sebagainya.

Bencana sosial juga terjadi karena lemahnya aparat pemerintahan dalam menegakkan hukum.
Sehingga, kelompok orang yang tidak bertanggung jawab atas nama hak asasi sangat mudah
menyulut konflik-konflik sosial antar kampung, antar masyarakat, bahkan antar agama seperti
halnya di Poso dan Maluku. Juga ada bencana teknologi, seperti kecelakaan pesawat terbang
dan kapal laut. Ini biasanya terjadi karena human error dan kurangnya kontrol pra terbang.
Andai punya standar, pasti terhindar dari kecelakaan. Untuk lumpur Sidoarjo, bisa
dikategorikan bencana alam dan teknologi akibat kegagalan penerapan teknologi.

Oleh karena itu, saya perkirakan ke depannya tantangan Indonesia lebih hebat dalam
pencegahan maupun penanganan pascabencana. Penanganan pascabencana terlihat sekali
dalam penanganan keluarga korban pesawat Adam Air. Mereka panik dan tidak ada yang
menanganinya. Ini akan timbulkan dampak psikososial yang cukup berat, depresi misalnya.
Hal ini akbat ekspos media yang rutin dan informasi yang simpang siur, sehingga mereka
selalu dalam kondisi was-was dan dibayangi khayalan-khalayan buruk. Seharusnya, ada
pihak yang peduli untuk menenangkan mereka karena sangat berbahaya bagi kondisi
kejiwaannya. Apalagi, jika sudah diketahui keluarganya wafat, pasti sangat berat penderitaan
keluarga korban.

Saya kira, belum ada yang menangani aspek psikologis dan ekonomi mereka. Meskipun ada
asuransi, namun itu hanya jangka pendek dan sementara serta aspek psikologisnya sangat
besar. Trauma psikologis akibat kehilangan anggota keluarga akan berdampak panjang.
Apalagi, bagi anak-anak. Bahkan, diberitakan ada anggota keluarga korban yang berimajinasi
pada suatu malam anaknya datang. Ini salah satu ciri trauma psikologis yang menimpa
mereka. Kondisi korban juga berbeda tingkat traumanya atau masing-masing punya
ukurannya sendiri-sendiri dan tergantung pada karakteristik korban yang bersangkutan. Satu
dari dimensi sosial-psikologis, yaitu aspek personality. Ada orang yang cepat pulih, ada juga
orang yang lambat sembuhnya.

Nilai-nilai agama
Aspek religiusitas (keagamaan—red) sangat menentukan cepatnya pemulihan dampak
psikososial korban. Bila aspek religiusitas tinggi, keluarga korban lebih cepat menerima
bencana sebagai suatu cobaan dan ada hikmah yang bisa diambil dari kejadian itu.

Orang seperti ini akan mampu mengumpulkan energi yang ada untuk menata kehidupan
selanjutnya. Tapi, jika masih trauma, maka akan mengganggu aktivitas hidupnya sehari-hari.
Energinya lebih banyak digunakan untuk memikirkan orang yang hilang. Untuk
menanganinya, tidak cukup hanya dengan konseling, tapi perlu pendampingan terus menerus.
Cepat tidaknya proses penyembuhan, sangat tergantung kepada pribadinya dan pengaruh
nilai-nilai agama dalam masyarakatnya.

Tidak semua orang yang menjadi korban bencana akan mengalami traumatik yang berujung
pada gangguan mental. Ada yang lambat dan ada yang cepat. Seperti remaja yang putus cinta
pertama, ada yang cepat melupakan dan mencari lagi pasangan baru, tetapi ada juga yang
trauma sehingga memutuskan untuk tidak menikah. Inilah karakteristik personality tiap
manusia. Masing-masing mempunyai karakteristik berbeda karena penyebabnya berbeda,
walaupun ada unsur-unsur yang sama. Aspek emosi, afeksi, dan kognisi serta perilaku
korban-korban pun berbeda. Dari ketiganya itu akan berbeda bila dilihat dari kasus atau jenis
bencana yang menimpa.

Dalam penelitian yang saya lakukan, setiap orang itu berbeda-beda. Misalnya korban bencana
alam, dalam hal emosi lebih, tapi dari aspek kognisi lemah. Ada yang kognisinya kuat tapi
perilakunya lemah. Bila diakumulasikan, ketiga dimensi trauma ini tetap tinggi dan
berbahaya. Hal ini bisa dilihat dari periodesasi. Awal kejadian bencana pasti pengalaman
traumatik yang tinggi karena semua membicarakan, kadang-kadang menangis hingga kita
pun larut. Jadi periode ini berbeda-beda.

Biasanya, dalam beberapa pekan, orang sangat ingin mendapatkan informasi atau kejelasan
mengenai anggota keluarga, ingin cepat tahu bagaimana kondisinya dan berharap masih bisa
diselamatkan. Ini juga bisa disebut trauma, suatu kondisi kejiwaan yang sangat membekas.

Sedangkan, post traumatic adalah kejadian yang sangat membekas dan memiliki sisa.
Pengalaman sisa yang membayanginya itu mempengaruhi residu. Selanjutnya, residu itu
memengaruhi emosi (afeksi) dan kognisi disertai dengan tingkah laku yang berbeda.

Dengan afeksi itu, korban biasanya masih larut dan sering menangis. Ia masih
membayangkan sehingga tingkah lakunya sangat terpengaruhi oleh kondisi jiwanya. Pada
situasi ini, korban harus bisa keluar dari kondisi psikis seperti itu. Korban dalam
pendampingan harus diarahkan untuk menerima realita hidup dengan harapan bisa menjadi
lebih baik dalam menjalani kehidupan barunya. Namun, dalam penerimaanya akan berbeda,
bisa positif bisa negatif. Korban yang tidak bisa menerima secara positif, nanti akan
menganggap ada suara-suara yang memanggilnya. Akhirnya, dia pergi ke mana saja sesuai
dengan yang bayangkannya. Kadang, untuk menghilangkan kondisi atau rasa sakit, tidak
jarang mulai menggunakan obat-obat anti depresi. Asalnya tidak merokok menjadi perokok,
bahkan ada yang menggunakan narkotika.

Sebenarnya, kalau melihat sekilas korban bencana sudah nampak. Tapi ini harus dilakukan
dengan pengukuran dan pemeriksaan. Pemeriksaan itu bisa dilihat dari berbagai aspek,
misalnya tekanan darah. Bila tinggi, itu salah satu indikasi. Dari aspek mental dapat diukur
dalam hal konsentrasi dan kestabilan emosi. Atau, apakah korban-korban itu berada pada
tingkat yang ringan, sedang, atau kondisinya berat? Bila berat, harus segera dirujuk. Untuk
kondisi sedang pun harus ditangani serius.

Peran institusi sosial


Tindakan aktif prefentif dari lembaga atau institusi harus bergerak cepat untuk mencegah
korban mengalami depresi berat. Artinya, di samping penanganan tanggap darurat, juga
segera berikan pendampingan bagi korban yang berada di lokasi bencana tersebut. Peran dan
tugas ini bisa dilakukan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, institusi Islam, atau lembaga
amil zakat seperti halnya Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhiid (DPU DT).

Langkah pertama dalam penanganan korban adalah pendampingan awal. Semakin cepat
didampingi, makin cepat mereka bisa recovery. Jika dibiarkan, kondisinya akan makin parah.
Jangan sampai sesudah tiga bulan, baru ada pendampingan. Saya sangat setuju, kalau
misalnya, regu penyelamat tetap berjalan dengan dibarengi pendampingan psikososialnya.
Aktivitas pendampingan psikososial ini, salah satunya memberikan perhatian terhadap
korban. Bila korban secara ekonomi mampu, beri pencerahan spiritual untuk menguatkan
aspek-aspek religiusitasnya. Ini penting dilakukan. Sebab dengan spiritual akan memberikan
hakikat atau penguatan atas kenyataan yang menimpanya.

Cara menangani korban bencana berbeda-beda. penanganannya harus disesuaikan dengan


kondisi korban. Untuk itu, saat masuk ke lokasi bencana perlu didampingi tim konseling atau
relawan yang paham psikologi. Hal ini sangat diperlukan untuk mengetahui kondisi kekuatan
psikologis korban, sehingga lamanya waktu penanganan dapat diukur.

Jadi, untuk menangani korban bencana semestinya ada institusi atau lembaga yang secara
epik action memberi respon cepat kepada korban. Dalam konteks itulah menurut saya,
organisasi seperti DPU DT pun bisa melakukannya. Bukan hanya memberikan bantuan
financial, tetapi juga pendampingan kepada keluarga koran. Apalagi, bila kita melihat kinerja
pemerintah yang kurang maksimal dalam menangani trauma pasca bencana ini, peran
lembaga sosial sangat penting.

Untuk pelaksanaannya, lembaga harus melibatkan potensi atau kearifan lokal dalam
menjalankan kinerjanya. Sebab, merekalah yang lebih paham dan mengenal kondisi geografis
serta kebutuhan-kebutuhannya.

Jika melihat kondisi geografis, geologis, dan potensi-potensi bencana sosial dan teknologi,
maka sudah seharusnya bangsa kita sadar dan siap terhadap bencana. Tentu, yang lebih
penting adalah menyiapkan payung sebelum hujan. Artinya, sebelum terjadi bencana,
masyarakat yang berpotensi terkena bencana diberi pendidikan bencana dan antisipasinya
serta melakukan simulasi. Dengan kesiapan yang matang, insyaAllah, kerugian materi dan
jumlah korban dapat diminimalisir. Sehingga, korban bencana akan mudah untuk bangkit
kembali melanjutkan kehidupannya pascabencana.

ADI FAHRUDIN,
pengajar di Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung dan dosen tamu
Universitas Sains Malaysia

VIVAnews – Bencana jebolnya tanggul Situ Gintung, Ciputat, Tangerang, Jumat (27/3) dini
hari, menyisakan duka dan trauma pada para korban selamat.

Kejadian yang berlangsung seperti tsunami dan banjir bandang ini telah memakan banyak
korban jiwa dan harta benda. Mereka yang kehilangan kelurga dan tempat tinggal tentunya
mengalami berbagai guncangan jiwa.

Trauma pada korban selamat yang memiliki pengalaman langsung dan menyaksikan kejadian
yang mengancam kematian, meliputi beberapa tingkatan. Pada korban trauma tingkat A,
terjadi rasa takut yang sangat kuat.

Sedangkan pada korban yang mengalami trauma tingkat B, terjadi pengulangan ingatan
berupa pikiran dan bayangan-bayangan tentang kejadian. Bahkan sering terjadi mimpi buruk
yang juga mengganggu kondisi fisik.
 
Tahap berikutnya adalah yaitu kriteria C yang meliputi penghindaran dan penumpulan emosi.
Korban yang mengalami tahap ini biasanya melakukan usaha menghindari pikiran, perasaan
dan percakapan yang berhubungan dengan trauma, menghindari aktivitas dan lokasi yang
mengingatkan dengan trauma.

Bahkan upaya alam bawah sadar menutup pikiran yang berkaitan dengan ingatan tentang
bencana membuat beberapa orang benar-benar tidak mampu mengingat kejadian. Biasanya,
mereka akan kehilangan minat dalam aktivitas, kehilangan emosi dan perasaan menumpul,
serta merasa kehilangan masa depan.
 
Sedangkan tahap terparah yaitu kriteria D, menyebabkan korban mengalami insomnia parah,
ledakan kemarahan, waspada berlebihan, dan respon terkejut yang berlebihan.

Metode penanganan dan pemulihan


Penganan korban trauma pascabencana meliputi terapi obat dan terapi psikis. Terapi obat
yang umumnya dipakai adalah obat-obatan antidepresan. Penggunaan obat-obatan ini harus
dalam pengawasan dokter karena efek samping dan kecocokan respon obat terhadap gejala-
gejala gangguannya.

Sedangkan terapi psikis bisa dilakukan dalam dua bentuk, yaitu psikoterapi individual dan
kelompok. Pada bencana yang korbannya besar seperti kasus Situ Gintung di atas, psikoterapi
kelompok lebih direkomendasikan, karena memiliki kelebihan yang lebih efektif.
 
Dengan mengumpulkan sesama korban untuk melakukan terapi bersama, akan terjadi
komunikasi dan interaksi sosial yang lebih erat. Masing-masing korban dapat mengerti dan
saling memberikan dorongan semangat.

VIVANEWS.COM

Penanganan pasca banjir bandang Situ


Gintung
Jumat, 17/04/2009 02:01:45
Pusdalops BNPB melaporkan hasil rapat koordinasi penanganan korban bencana banjir bandang Situ
Gintung, yang telah dilaksanakan pada hari Jumat, 17 April 2009 pukul 08.00 WIB, dan dihadiri oleh
Dandim Kota Tangerang, Wakil dari UMJ, Asisten Tata Praja, BNPB,

ASDA 1, Polsek Ciputat, Perumnas, serta satuan-satuan unit evakuasi dengan kesepakatan sebagai
berikut:

1.����� Untuk keperluan komunikasi dan koordinasi maka harus didirikan tenda besar
menggantikan tenda sebelumnya yang didirikan oleh PMI berhubung kapasitas yang sedikit dan
saat ini sudah tidak dihuni lagi oleh pengungsi.
2.����� Pemda segera mengupayakan agar pengungsi di Wisma Kertamukti dapat segera
menempati barak pengungsi di Kertamukti II berhubung sudah siap huni.

3.����� Untuk sementara sumbangan dari luar agar ditahan dahulu sampai proses pemindahan
selesai.

4.����� Untuk keakuratan data korban, Polsek menghimbau kepada pemerintah setempat untuk
kembali mendata ulang pengungsi yang menempati rumah-rumah penduduk/mengontrak.

5.����� Untuk validasi data dan pengaturan pengungsi agar segera dilakukan pemberian kartu
pengungsi yang salah satu fungsi kartu tersebut adalah untuk mengambil logistik manakala
relawan telah banyak menarik diri.

6.����� Data dari hasil investigasi segera dilaporkan kepada Walikota dan dijadikan data kongkrit
yang harus dipedomi oleh semua pihak.

7.����� Untuk dapur umum yang sementara ini ditangani oleh PMI agar dicek setiap bahan
makanan yang akan dimasak sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

8.����� Bantuan ada yang berbentuk bahan bangunan, dimohon petugas dilokasi kertamukti 2
untuk mencatat masuk dan keluar barang tersebut.

9.����� Pemotretan kepada keluarga yang terkena musibah dan mendata kembali untuk dibuatkan
tanda pengenal.

BNPB.GO.ID

........

Beberapa bantuan yang sudah masuk terdiri dari :

1. Bantuan Logistik. Bantuan logistik berupa bahan makanan dan pakaian masih
mencukupi. Namun distribusi dari bantuan ini tidak merata, sebagian besar bantuan
menumpuk di Desa Girimukti karena kemudahan akses. Girimukti juga merupakan
daerah yang mengalami bencana paling parah dan paling banyak diberitakan, sehingga
sebagian besar masyarakat mengira bahwa bencana hanya terjadi di Girimukti,padahal
sejumlah tempat lainnya juga mengalami bencana yang sama.
2. Bantuan Medis. Bantuan medis yang diberikan berupa pengobatan gratis. Ada
beberapa posko pengobatan yang diberikan oleh instansi yaitu PMI Rumah Sakit
Daerah Cianjur,Trams. Pengobatan gratis ini tidak hanya berlaku bagi para korban
bencana tetapi juga bagi warga yang tinggal di sekitar daerah pengungsian. Warga
yang mengalami penyakit kronis akan dirujuk ke Rumah Sakit Daerah Cianjur.
3. Bantuan Relawan. Bantuan relawan ini berasal dari Tagana, TNI, PMI, Partai
Politik,Trams, serta sukarelawan lokal.

........

KM.ITB.AC.ID

Situ Gintung, Bencana Manajemen dan Birokrasi


Posted on 08. Apr, 2009 by ave in Opini

JUMAT dini hari (27/3), sekitar pukul 3.00, kabarnya, cukup banyak warga Kampung
Cirendeu, Tangerang, yang mendengar suara gemuruh sangat keras. Suara itu berasal dari arah
tanggul Situ Gintung. Tanggul buatan Belanda pada 1932-1933 tersebut jebol 12 meter.
Sekitar 2,1 juta meter kubik air pun melanda permukiman yang terletak di bawah tanggul. Air
bah menerjang Kampung Situ Cirendeu, Ciputat, Tangerang. Pukul 4.00, warga mulai
mengungsi. Air terus meninggi. Pukul 5.00, banyak warga mulai naik ke atap rumah.

Wilayah seluas sepuluh hektare (ha) di Cirendeu porak-poranda karena diterjang air bah.
Tanggul bahkan runtuh lagi sekitar pukul 13.00. Jebolnya bendungan situ pun semakin parah
sehingga menenggelamkan serta menyapu rumah-rumah di sekitarnya dan menghancurkan
perumahan di Kampung Poncol dan Kampung Gintung. Banjir bandang juga melanda
Perumahan Bukit Pratama dan Perumahan Cirendeu Permai yang terletak di tepi Kali
Pesanggrahan.

Bencana Manajemen

Tragedi Situ Gintung tak terlepas dari minimnya perhatian pemerintah dalam
manajemen/pengelolaan tata air. Terutama, ada tiga sikap dan perilaku negatif dari otoritas
terkait yang mengakibatkan terjadinya bencana manajemen pada tragedi Situ Gintung.
Pertama, sikap atau pola pikir (mindset) dan perilaku yang kurang tanggap terhadap
perkembangan gejala-gejala alam. Kedua, minimnya pengelolaan/pemeliharaan infrastruktur
sumber daya air. Ketiga, rendahnya kualitas pengambilan keputusan dalam pencegahan
terjadinya bencana.

Tampaknya, otoritas terkait sejak lama mengabaikan perkembangan alam yang sudah
mengakibatkan beratnya beban Situ Gintung sebagai pengendali air. Seperti terjadinya
anomali curah hujan, sehingga debit air melebihi kapasitas situ.

Dengan kondisi alam seperti itu, pemerintah mestinya cepat tanggap untuk segera
memberikan pelaporan kepada penduduk atau masyarakat di sekitarnya karena sudah terjadi
eskalasi debit air yang luar biasa. Kecepatan pelaporan terkait dengan early warning system
(EWS) sudah dikembangkan di Indonesia pascatsunami Aceh. Sebagai daerah aliran sungai
(DAS) di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur),
daerah-daerah rawan bencana banjir mestinya sudah dipantau pemerintah.

Namun, bisa jadi pencatatan kenaikan permukaan air di Situ Gintung secara periodik luput
dari perhatian sehingga luapan air tidak sempat diberitahukan kepada warga di sekitar situ.

Bisa jadi, rawa-rawa (sebagai lahan parkir air) Situ Gintung diizinkan pihak berwenang untuk
diuruk demi kepentingan ekonomi. Jika belum mendapatkan izin, bagaimana ihwal
pengawasannya? Akibatnya, rawa-rawa itu semakin jauh berkurang. Bahkan, pepohonan
(sebagai penangkap air) ditebangi sehingga populasinya kian menyusut.

Sementara itu, meningkatnya pendangkalan dan beban situ mengakibatkan tekanan air yang
semakin berat. Dengan demikian, ketika curah hujannya tinggi, terjadi peluberan air, bahkan
penggerogotan tanggul.

Kekuatan tanggul harus kita lihat secara kontekstual. Situ Gintung berada di wilayah tata air
DAS Ciangke-Pesanggrahan. Perubahan drastis dari kondisi fisik dan penggunaan lahan di
wilayah DAS berdampak buruk pada kekuatan tanggul sehingga tak mampu menahan aliran
air Sungai Pesanggrahan.

Sebaliknya, kawasan hutan di daerah hulu yang berfungsi sebagai resapan air kian terkikis
bangunan. Akibatnya, aliran air ke Situ Gintung jadi lebih cepat, dan membawa lebih banyak
tanah. Karena itu, terjadi proses pendangkalan situ karena sedimentasi semakin cepat dan
padat.

Belum lagi masalah manajemen/pengelolaan situ. Karena minim pemeliharaan -sudah uzur
dan tidak terawat- bendungan Situ Gintung tak lagi mampu menahan debit air yang overload.

Dengan usia situ 77 tahun (dibangun Belanda pada 1932), mestinya jauh-jauh hari pemerintah
berusaha mengambil langkah-langkah atau tindakan antisipatif guna mengurangi beban berat
Situ Gintung.

Dua tindakan paling mendasar dari maintenance ialah pengerukan untuk menjaga kedalaman
ideal dan pemeliharaan ketahanan tanggul dari kemungkinan eskalasi tekanan beban berat
karena luberan air.

Di sekitar area Situ Gintung terjadi penyimpangan dalam pemanfaatan lahan. Pasalnya, fungsi
lahan pertanian sebagai resapan/tangkapan air disulap menjadi area permukiman. Mengapa di
daerah hulu/ hilir berdiri ratusan rumah permukiman penduduk? Padahal, posisi bendungan
situ justru lebih tinggi daripada area permukiman. Membaca kondisi daerah seperti itu, bahaya
besar jelas bisa mengancam setiap saat.

Patut disesalkan adanya kelambatan respons dari otoritas terkait saat datang laporan tentang
kondisi situ. Pengambilan keputusan bisa dalam bentuk respons yang cepat terhadap gejala
dadakan atau sikap untuk mencegah berbagai ancaman yang bisa datang sewaktu-waktu.
Misalnya, melarang daerah hilir Situ Gintung dijadikan kawasan permukiman.

Tentu hal tersebut bukan perkara gampang. Sebab, itu berkaitan dengan masalah psikososial
dan kultur. Tetapi, itu harus tetap dilarang karena bagian penting dari tindakan manajemen
untuk mencegah terjadinya bencana.

Bencana Birokrasi

Tugas birokrasi yang berwenang memantau dan merawat Situ Gintung adalah: pertama,
mengidentifikasi dampak lingkungan di sekitar situ, mengingat daerah itu sudah berkembang
menjadi kawasan wisata. Kedua, memprediksi dampak yang bisa timbul maupun
kekuatan/daya tahan tanggul. Ketiga, melakukan evaluasi tingkat sedimentasi, bahaya terkait
umur situ, dan dampaknya bagi perumahan/bangunan di sekitarnya serta seberapa jauh upaya
mitigasi sudah dilakukan.

Mitigasi sangat dibutuhkan untuk meminimalkan dampak negatif, memperbaiki, dan


memperbesar dampak yang positif, baik secara teknis maupun nonteknis (nonstruktural).
Guna melakukan mitigasi, sudah tersedia peralatan canggih. Misalnya, alat-alat untuk
pemetaan (termasuk pemotretan udara) dan laboratorium untuk memeriksa tingkat
sedimentasi. Tentu petugas juga memiliki komputer canggih untuk menyimpan, mengolah,
dan men-display data.

Tragedi Situ Gintung menunjukkan, otoritas terkait selama ini sangat minim melakukan tugas
mitigasi. Alih fungsi lahan sering berkaitan dengan kasus suap/korupsi. Walhasil, jebolnya
tanggul Situ Gintung merupakan bencana birokrasi. Dengan demikian, itu harus dijadikan
pelajaran sangat mahal agar tak terjadi kasus serupa di kemudian hari. Mestinya, kita jangan
hanya bisa bersemangat membangun tanpa dibarengi pemeliharaan secara profesional.

Suparmono, adalah Konsultan Manajemen Sumberdaya Air, Mantan Dirjen Pengairan


Departemen Pekerjaan Umum

Sumber: Jawa Pos  Selasa, 07 April 2009

Pengertian Masyarakat, Unsur Dan Kriteria Masyarakat


Dalam Kehidupan Sosial Antar Manusia
Tue, 10/06/2008 - 10:34pm — godam64

Manusia merupakan makhluk yang memiliki keinginan untuk menyatu dengan sesamanya
serta alam lingkungan di sekitarnya. Dengan menggunakan pikiran, naluri, perasaan,
keinginan dsb manusia memberi reaksi dan melakukan interaksi dengan lingkungannya. Pola
interaksi sosial dihasilkan oleh hubungan yang berkesinambungan dalam suatu masyarakat.

A. Arti Definisi / Pengertian Masyarakat


Berikut di bawah ini adalah beberapa pengertian masyarakat dari beberapa ahli sosiologi
dunia.

1. Menurut Selo Sumardjan masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan
menghasilkan kebudayaan.

2. Menurut Karl Marx masyarakat adalah suatu struktur yang menderita suatu ketegangan
organisasi atau perkembangan akibat adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang
terbagi secara ekonomi.

3. Menurut Emile Durkheim masyarakat merupakan suau kenyataan objektif pribadi-pribadi


yang merupakan anggotanya.

4. Menurut Paul B. Horton & C. Hunt masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif
mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah
tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam
kelompok / kumpulan manusia tersebut.

B. Faktor-Faktor / Unsur-Unsur Masyarakat


Menurut Soerjono Soekanto alam masyarakat setidaknya memuat unsur sebagai berikut ini :

1. Berangotakan minimal dua orang.


2. Anggotanya sadar sebagai satu kesatuan.
3. Berhubungan dalam waktu yang cukup lama yang menghasilkan manusia baru yang saling
berkomunikasi dan membuat aturan-aturan hubungan antar anggota masyarakat.
4. Menjadi sistem hidup bersama yang menimbulkan kebudayaan serta keterkaitan satu sama
lain sebagai anggota masyarakat.

C. Ciri / Kriteria Masyarakat Yang Baik


Menurut Marion Levy diperlukan empat kriteria yang harus dipenuhi agar sekumpolan
manusia bisa dikatakan / disebut sebagai masyarakat.

1. Ada sistem tindakan utama.


2. Saling setia pada sistem tindakan utama.
3. Mampu bertahan lebih dari masa hidup seorang anggota.
4. Sebagian atan seluruh anggota baru didapat dari kelahiran / reproduksi manusia.

ORGANISASI.ORG

Anda mungkin juga menyukai