Anda di halaman 1dari 5

Materi Pencinta Alam & Ke”MAHESA”an

Oleh : Fajrul Iman Ibrahim N.S.A (003/MAHESA/PENDIRI/2007)

“Mahesa akhirnya memilih untuk menggunakan kalimat Pencinta Alam dengan harapan
bisa memberikan kesejukan dan ketentraman bagi orang yang ada di sekitarnya
didalam aktivitasnya sehari-hari sebagaimana yang dimaknakan dalam unsur kata
Cinta dan Alam.”

Ingatlah hai engkau penjelah alam :


1. Take nothing, but pictures [jangan ambil sesuatu kecuali gambar]
2. Kill nothing, but times [jangan bunuh sesuatu kecuali waktu]
3. Leave nothing, but foot-print [jangan tinggalkan sesuatu kecuali jejak kaki]

dan senantiasa ;
1. Percaya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
2. Percaya kepada kawan [dalam hal ini kawan adalah rekan penggiat dan
peralatan serta perlengkapan, tentu saja juga harus dibarengi bahwa diri kita
sendiri juga dapat dipercaya oleh “teman” tersebut dengan menjaga, memelihara dan
melindunginya]
3. Percaya kepada diri sendiri, yaitu percaya bahwa kita mampu melakukan segala
sesuatunya dengan baik.
Sejarah Pencinta Alam Serta Perkembangannya

Apabila sejenak kita merunut dari belakang, sebetulnya sejarah manusia tidak jauh-
jauh amat dari alam. Sejak zaman prasejarah dimana manusia berburu dan
mengumpulkan makanan, alam adalah "rumah" mereka. Gunung adalah sandaran kepala,
padang rumput adalah tempat mereka membaringkan tubuh, dan gua-gua adalah tempat
mereka bersembunyi. Namun sejak manusia menemukan kebudayaan, yang katanya lebih
"bermartabat", alam seakan menjadi barang aneh. Manusia mendirikan rumah untuk
tempatnya bersembunyi. Manusia menciptakan kasur untuk tempatnya membaringkan
tubuh, dan manusia mendirikan gedung bertingkat untuk mengangkat kepalanya.
Manusia dan alam akhirnya memiliki sejarahnya sendiri-sendiri.

Ketika keduanya bersatu kembali, maka ketika itulah saatnya Sejarah Pecinta Alam
dimulai :

Pada tahun 1492 sekelompok orang Perancis di bawah pimpinan Anthoine de Ville
mencoba memanjat tebing Mont Aiguille (2097 m), dikawasan Vercors Massif. Saat itu
belum jelas apakah mereka ini tergolong pendaki gunung pertama. Namun beberapa
dekade kemudian, orang-orang yang naik turun tebing-tebing batu di Pegunungan
Alpen adalah para pemburu chamois, sejenis kambing gunung. Barangkali mereka itu
pemburu yang mendaki gunung. Tapi inilah pendakian gunung yang tertua pernah
dicatat dalam sejarah.

Di Indonesia, sejarah pendakian gunung dimulai sejak tahun 1623 saat Yan Carstensz
menemukan "Pegunungan sangat tinggi di beberapa tempat tertutup salju" di Papua.
Nama orang Eropa ini kemudian digunakan untuk salah satu gunung di gugusan
Pegunungan Jaya Wijaya yakni Puncak Cartensz. Pada tahun 1786 puncak gunung
tertinggi pertama yang dicapai manusia adalah puncak Mont Blanc (4807 m) di
Prancis. Lalu pada tahun 1852 Puncak Everest setinggi 8840 meter ditemukan. Orang
Nepal menyebutnya Sagarmatha, atau Chomolungma menurut orang Tibet. Puncak Everest
berhasil dicapai manusia pada tahun 1953 melalui kerjasama Sir Edmund Hillary dari
Selandia Baru dan Sherpa Tenzing Norgay yang tergabung dalam suatu ekspedisi
Inggris. Sejak saat itu, pendakian ke atap-atap dunia pun semakin ramai.

Di Indonesia sejarah pecinta alam dimulai dari sebuah perkumpulan yaitu


"Perkumpulan Pentjinta Alam"(PPA). Berdiri 18 Oktober 1953. PPA merupakan
perkumpulan Hobby yang diartikan sebagai suatu kegemaran positif serta suci,
terlepas dari 'sifat maniak'yang semata-mata melepaskan nafsunya dalam corak
negatif. Tujuan mereka adalah memperluas serta mempertinggi rasa cinta terhadap
alam seisinya dalam kalangan anggotanya dan masyarakat umumnya. Sayang perkumpulan
ini tak berumur panjang. Penyebabnya antara lain faktor pergolakan politik dan
suasana yang belum terlalu mendukung sehingga akhirnya PPA bubar di akhir tahun
1960. Awibowo adalah pendiri satu perkumpulan pencinta alam pertama di tanah air
mengusulkan istilah pencinta alam karena cinta lebih dalam maknanya daripada
gemar/suka yang mengandung makna eksploitasi belaka, tapi cinta mengandung makna
mengabdi. "Bukankah kita dituntut untuk mengabdi kepada negeri ini?."

Sejarah pencinta alam kampus pada era tahun 1960-an. Pada saat itu kegiatan
politik praktis mahasiswa dibatasi dengan keluarnya SK 028/3/1978 tentang
pembekuan total kegiatan Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa yang melahirkan
konsep Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Gagasan ini mula – mula dikemukakan Soe
Hok Gie pada suatu sore, 8 Nopember 1964, ketika mahasiswa FSUI sedang
beristirahat setelah mengadakan kerjabakti di TMP Kalibata. Sebenarnya gagasan
ini, seperti yang dikemukakan Soe Hok Gie sendiri, diilhami oleh organisasi
pencinta alam yang didirikan oleh beberapa orang mahasiswa FSUI pada tanggal 19
Agustus 1964 di Puncak gunung Pangrango. Organisasi yang bernama Ikatan Pencinta
Alam Mandalawangi itu keanggotaannya tidak terbatas di kalangan mahasiswa saja.
Semua yang berminat dapat menjadi anggota setelah melalui seleksi yang ketat.
Sayangnya organisasi ini mati pada usianya yang kedua. Pada pertemuan kedua yang
diadakan di Unit III bawah gedung FSUI Rawamangun, didepan ruang perpustakaan.
Hadir pada saat itu Herman O. Lantang yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua
Senat Mahasiswa FSUI. Pada saat itu dicetuskan nama organisasi yang akan lahir itu
IMPALA, singkatan dari Ikatan Mahasiswa Pencinta Alam.

Setelah bertukar pikiran dengan Pembantu Dekan III bidang Mahalum, yaitu Drs.
Bambang Soemadio dan Drs. Moendardjito yang ternyata menaruh minat terhadap
organisasi tersebut dan menyarankan agar mengubah nama IMPALA menjadi MAPALA
PRAJNAPARAMITA. Alasannya nama IMPALA terlalu borjuis. Nama ini diberikan oleh Bpk
Moendardjito. Mapala merupakan singkatan dari Mahasiswa Pencinta Alam. Dan
Prajnaparamita berarti dewi pengetahuan. Selain itu Mapala juga berarti berbuah
atau berhasil. Jadi dengan menggunakan nama ini diharapkan segala sesuatu yang
dilaksanakan oleh anggotanya akan selalu berhasil berkat lindungan dewi
pengetahuan. Ide pencetusan pada saat itu memang didasari dari faktor politis
selain dari hobi individual pengikutnya, dimaksudkan juga untuk mewadahi para
mahasiswa yang sudah muak dengan organisasi mahasiswa lain yang sangat berbau
politik dan perkembangannya mempunyai iklim yang tidak sedap dalam hubungannya
antar organisasi.

Dalam tulisannya di Bara Eka 13 Maret 1966, Soe mengatakan bahwa :

“Tujuan Mapala ini adalah mencoba untuk membangunkan kembali idealisme di kalangan
mahasiswa untuk secara jujur dan benar-benar mencintai alam, tanah air, rakyat dan
almamaternya. Mereka adalah sekelompok mahasiswa yang tidak percaya bahwa
patriotisme dapat ditanamkan hanya melalui slogan-slogan dan jendela-jendela
mobil. Mereka percaya bahwa dengan mengenal rakyat dan tanah air Indonesia secara
menyeluruh, barulah seseorang dapat menjadi patriot-patriot yang baik”
Para mahasiswa itu, diawali dengan berdirinya Mapala Universitas Indonesia,
membuang energi mudanya dengan merambah alam mulai dari lautan sampai ke puncak
gunung. Mapala atau Mahasiswa Pecinta Alam adalah organisasi yang beranggotakan
para mahasiswa yang mempunyai kesamaan minat, kepedulian dan kecintaan dengan alam
sekitar dan lingkungan hidup. Sejak itulah pecinta alam pun merambah tak hanya
kampus (Kini, hampir seluruh perguruan tinggi di Indonesia memiliki mapala baik di
tingkat universitas maupun fakultas hingga jurusan), melainkan ke sekolah-sekolah,
ke bilik-bilik rumah ibadah, sudut-sudut perkantoran, lorong-lorong atau kampung-
kampung. Seakan-akan semua yang pernah menjejakkan kaki di puncak gunung sudah
merasa sebagai pecinta alam.

Dan organisasi pencinta alam pun merambah MAHESA sejak awal berdirinya. Dimulai
dari puncak Gunung Bawakaraeng (2.830 Mdpl) pada tanggal 20 Mei 2007(Disepakati
sebagai hari jadi MAHESA), oleh 9 orang pendiri Mahasiswa Ekonomi Program Reguler
Sore UNHAS (Bintang Hidayat, Hastomo, Fajrul Iman Ibrahim, Apriansyah, Ahmad
Nasarudin, Asriadi, Muh.Hisyam, Suhardiman Sultan, dan Armawan Abdullah) yang
disetujui oleh M.Arfan yang pada waktu itu menjabat sebagai Ketua BEM Fakultas
Ekonomi Reguler Sore UNHAS(yang di kemudian hari karena bersimpatik ikut bergabung
dengan MAHESA dalam Angkatan I), kemudian disusul dengan deklarasi yang diadakan
di Puncak Gunung Bulusaraung (1.200 mdpl) pada tanggal 09 September 2007. Dalam
perjalanan kali ini ikut serta Arnan Maulana, Seorang Simpatisan (yang kemudian
ditetapkan sebagai Simpatisan Pendiri). Pada periode pertama Bintang Hidayat
ditetapkan sebagai ketua umum MAHESA.

MAPALA, Konsekuensi yang harus dihadapi dari sebuah konsistensi

Apa yang diharapkan dengan mengikuti sebuah organisasi bernama MAPALA? Banyak
memandang sebelah mata pada organisasi ini dan terkadang mengatakan bahwa
kegiatannya hanya bersifat hura-hura yang menghabiskan uang. Suara itu semakin
santer terdengar bila ada pemberitaan mengenai kecelakaan yang dialami oleh
anggota Mapala pada waktu melakukan kegiatan di alam.

Dalam sebuah diskusi (mengutip dalam artikel Kompas, Minggu 29 Maret 1992)
kegiatan Mapala dapat dikategorikan sebagai olahraga yang masuk ke dalam kaliber
sport beresiko tinggi. Kegiatannya meliputi mendatangi puncak gunung tinggi, turun
ke lubang gua di dalam bumi, hanyut berperahu di kederasan jeram sungai deras,
keluar masuk daerah pedalaman yang paling dalam dan lainnya. umumnya kegiatan
Mapala berkisar di alam terbuka dan menyangkut lingkungan hidup. Jenis aktifitas
meliputi pendakian gunung (mountaineering), pemanjatan (climbing), penelusuran gua
(caving), pengarungan arus liar(rafting), penghijauan dan lain sebagainya.

Tak ayal lagi bahwa kegiatan ini beresiko tinggi dan setiap anggotanya harus
memahami konsekuensi resiko yang dihadapi dengan bergabung dengan organisasi ini.
Resiko yang paling berat adalah cacat fisik permanen dan bahkan kematian. Untuk
bisa mempersiapkan diri menghadapi resiko yang tinggi ini, dibutuhkan kesiapan
mental, fisik dan skill yang memadai. Berbagai macam latihan dan pengalaman terjun
langsung ke alam dapat meminimalisir resiko yang akan dihadapi. Tapi, diluar semua
itu masih ada yang lebih berwenang untuk menentukan hidup dan mati seseorang.

MAPALA, Pencinta alam atau Petualang ?

Dua nama, pencinta alam dan petualang seolah-olah merupakan satu kesatuan utuh
yang tidak bisa di pisahkan antara keduanya. Namun kalau dilihat secara etimologi
kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia akan nampak kelihatan bahwa keduanya tidak
ada hubungan satu sama lainnya. Dalam KBBI, pecinta (alam) ialah orang yang sangat
suka akan (alam), sedangkan petualang ialah orang yang suka mencari pengalaman
yang sulit-sulit, berbahaya, mengandung resiko tinggi dsb. Dengan demikian, secara
etimologi jelas disiratkan dimana keduanya memiliki arah dan tujuan yang berbeda,
meskipun ruang gerak aktivitas yang dipergunakan keduanya sama, alam. Dilain
pihak, perbedaan itu tidak sebatas lingkup “istilah” saja, tetapi juga langkah
yang dijalankan. Seorang pencinta alam lebih populer dengan gerakan
enviromentalisme-nya, sementara itu, petualang lebih aktivitasnya lebih lekat
dengan aktivitas-aktivitas Adventure-nya seperti pendakian gunung, pemanjatan
tebing, pengarungan sungai dan masih banyak lagi kegiatan yang menjadikan alam
sebagai medianya.

Kini yang sering ditanyakan ketika kerusakan alam di negeri ini semakin parah
dimanakah pencinta alam? begitupun dengan para petualang yang menggunakan alam
sebagai medianya. Bahkan Tak jarang aktivitas “mereka” berakhir dengan terjadinya
tindakan yang justru sangat menyimpang dari makna sebagai pecinta alam, misalkan
terjadinya praktek-paktek vandalisme. Inilah sebenarnya yang harus di kembalikan
tujuan dan arahnya sehingga jelas fungsi dan gerak merekapun bukan hanya sebagai
ajang hura-hura belaka. keberadaaan mereka belum mencirikan kejelasan arah gerak
dan pola pengembangan kelompoknya. Jangankan mencitrakan kelompoknya sebagai
pecinta alam, sebagai petualang pun tidak. Aktivitas mereka cenderung merupakan
aksi-aksi spontanitas yang terdorong atau bahkan terseret oleh medan ego yang
tinggi dan sekian image yang telah terlebih dulu dicitrakan, dengan demikian
banyak diantara para “pencinta alam” itu cuma sebatas “gaya” yang menggunakan alam
sebagai alat.

MAHESA, Environmental+Intelektualis+Adventurer

Akhir-akhir ini di mana degradasi lingkungan dirasa semakin parah, maka peran
pencinta alam sangat penting untuk membantu melestarikan lingkungan. Untuk
melengkapi perannya sebagai duta lingkungan hidup, MAHESA sebagai organisasi
pencinta alam yang Notabene anggotanya adalah seorang Mahasiswa, dituntut pula
untuk mengupgrade ilmu dan pengetahuan dan minat serta niat yang tulus untuk
selalu belajar, menambah pengetahuannya bukan hanya hal-hal yang menyangkut
tentang outdoor skill tetapi juga harus ber-etika dan ber-intelektual. Karena
seorang anggota MAHESA notabene juga adalah seorang Mahasiswa(yang berintelek),
seorang anggota MAHESA dituntut bukan hanya menguasai skill tentang outdoor
activities, tetapi juga haruslah sebagai mahasiswa yang rasionalis, analitik,
kritis, universal, dan sistematis. MAHESA sadar dibutuhkan sisi Intelektual untuk
menjembatani dan melengkapi sisi environmental dengan sisi adventurer.
MAHESA sebagai organisasi intelektual dengan gerakan enviromentalisme bermental
adventure yang berjuang keras dalam menjaga keseimbangan alam ini sebagai satu
gerakan untuk masa depan akan lebih berarti tindakannya dengan komitment dan
loyalitas yang tinggi dari anggotanya. Sebuah harapan untuk mengembalikan
keseimbangan alam ini, perbedaan pola fikir dan arah gerak environment dengan
adventurer dijembatani oleh sisi intelektualis para anggotanya yang merupakan
spesialisasi dan menjadi ciri dari MAHESA yang memahami pentingnya menjaga,
memelihara, melindung serta melestarikan alam Tanah Air tercinta ini dan
melakukannya secara aman dan tertib.. bukanlah suatu kemustahilan ketiga sisi
tersebut bersatu untuk masa depan lingkungan hidup Indonesia sehingga terciptanya
lingkungan hidup yang seimbang, stabil dan bermanfaat bagi kehidupan sekarang dan
masa depan.
MOUNTAINEERING
I. PENDAHULUAN

Aktivitas mendaki gunung akhir-akhir ini nampaknya bukan lagi merupakan suatu
kegiatan yang langka, artinya tidak lagi hanya dilakukan oleh orang tertentu (yang
menamakan diri sebagai kelompok Pencinta Alam, Penjelajah Alam dan semacamnya).
Melainkan telah dilakukan oleh orang-orang dari kalangan umum. Namun demikian
bukanlah berarti kita bisa menganggap bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan
aktivitas mendaki gunung, menjadi bidang ketrampilan yang mudah dan tidak memiliki
dasar pengetahuan teoritis. Didalam pendakian suatu gunung banyak hal-hal yang
harus kita ketahui (sebagai seorang pencinta alam) yang berupa : aturan-aturan
pendakian, perlengkapan pendakian, persiapan, cara-cara yang baik, untuk mendaki
gunung dan lain-lain. Segalanya inilah yang tercakup dalam bidang Mountaineering.
Mendaki gunung dalam pengertian Mountaineering terdiri dari tiga tahap kegiatan,
yaitu :

1. Berjalan (Hill Walking)


Secara khusus kegiatan ini disebut mendaki gunung. Hill Walking adalah kegiatan
yang paling banyak dilakukan di Indonesia. Kebanyakan gunung di Indonesia memang
hanya memungkinkan berkembangnya tahap ini. Disini aspek yang lebih menonjol
adalah daya tarik dari alam yang dijelajahi (nature interested)
2. Memanjat (Rock Climbing)
Walaupun kegiatan ini terpaksa harus memisahkan diri dari Mountaineering, namun ia
tetap merupakan cabang darinya. Perkembangan yang pesat telah melahirkan banyak
metode-metode pemanjatan tebing yang ternyata perlu untuk diperdalam secara
khusus. Namun prinsipnya dengan tiga titik dan berat dan kaki yang berhenti,
tangan hanya memberi pertolongan.
3. Mendaki gunung es (Ice & Snow Climbing)
Kedua jenis kegiatan ini dapat dipisahkan satu sama lain. Ice Climbing adalah
cara-cara pendakian tebing/gunung es, sedangkan Snow Climbing adalah teknik-teknik
pendakian tebing gunung salju.
Dalam ketiga macam kegiatan di atas tentu didalamnya telah mencakup :
Mountcamping, Mount Resque, Navigasi medan dan peta, PPPK pegunungan, teknik-
teknik Rock Climbing dan lain-lain.

II. PERSIAPAN MENDAKI GUNUNG

1. Pengenalan Medan
Untuk menguasai medan dan memperhitungkan bahaya obyek seorang pendaki harus
menguasai menguasai pengetahuan medan, yaitu membaca peta, menggunakan kompas
serta altimeter.
Mengetahui perubahan cuaca atau iklim. Cara lain untuk mengetahui medan yang akan
dihadapi adalah dengan bertanya dengan orang-orang yang pernah mendaki gunung
tersebut. Tetapi cara yang terbaik adalah mengikut sertakan orang yang pernah
mendaki gunung tersebut bersama kita.
2. Persiapan Fisik
Persiapan fisik bagi pendaki gunung terutama mencakup tenaga aerobic dan

Anda mungkin juga menyukai