Anda di halaman 1dari 14

ABDULLAH BIN ABBAS

Lisannya Bertanya, Qalbunya Mencerna

Di antara sahabat-sahabat RasuluLlah SAW, terdapat beberapa sahabat kecil yang


ketika melafadzkan syahadat mereka berusia sangat muda, atau ketika mereka
dilahirkan, ayah bunda mereka telah muslim. Perhatian RasuluLlah SAW kepada para
sahabat cilik ini, tidak berbeda dengan sahabat-sahabat yang lainnya. Bahkan beliau
sangat memperhatikan mereka dan meluangkan waktu untuk bermain, bicara dan
menasehati mereka.

AbduLlah bin Abbas (Ibnu Abbas) adalah salah satu kelompok sahabat junior ini.
Beliau dilahirkan tiga tahun sebelum hijrah. Semenjak kecilnya, beliau sudah
menunjukkan kecerdasan dan ke sungguhannya terhadap suatu masalah. RasuluLlah
mengetahui potensi besar yang ada pada anak muda ini, seperti halnya beliau melihat
potensi yang sama pada Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah dan sahabat-sahabat cilik
lainnya.

RasuluLlah SAW sering terlihat berdua bersama si kecil Abdullah bin Abbas. Suatu
ketika, misalnya, RasuluLlah SAW mengajak Ibnu Abbas RA berjalan-jalan seraya
menyampaikan tarbiyahnya kepada pemuda cilik ini:

"Ya ghulam, maukah engkau mendengarkan beberapa kalimat yang sangat berguna?
Jagalah ALlah SWT (ajaran-ajaranNya), maka engkau akan mendapatkanNya selalu
menjagamu. Jagalah ALlah SWT (larangan-laranganNya), maka engkau akan
mendapatkanNya selalu dekat di hadapan mu. Kenalilah ALlah dalam sukamu, maka
ALlah akan mengenalimu dalam dukamu. Bila engkau meminta, mintalah kepada
ALlah. Jika engkau memerlukan pertolongan, mohonkanlah kepada ALlah. Semua hal
(yang terjadi denganmu) telah selesai ditulis.

Ketahuilah, seandainya semua makhluk bersepakat untuk membantumu dengan apa


yang tidak ditaqdirkan ALlah untukmu, mereka tidak akan mampu membantumu.
Atau bila mereka berkonspirasi untuk menghalangi engkau mendapatkan apa yang
ditaqdirkan untukmu, mereka juga tidak akan dapat melakukannya. Semua aktifitasmu
kerjakan lah dengan keyakinan dan keikhlasan. Ketahuilah, bahwa bersabar dalam
musibah itu akan memberikan hasil positif; dan bahwa kemenangan itu dicapai dengan
kesabaran; dan bahwa kesuksesan itu sering dilalui lewat tribulasi; dan bahwa
kemudahan itu tiba setelah kesulitan.
[Hadist Riwayat Ahmad, Hakim, Tirmidzi]

Demikianlah rangkaian prinsip aqidah, ilmu dan 'amal yang manakah hasil tarbiyah
RasuluLlah itu? AbduLlah bin Abbas tumbuh menjadi seorang muslim yang penuh
inisiatif, haus ilmu, dekat dengan ALlah dan Rasul-Nya.

Suatu ketika, Ibnu Abbas ingin mengetahui secara langsung bagaimana cara
RasuluLlah shalat. Untuk itu, ia sengaja menginap di rumah bibinya: ummahatul
mu'minin, Maimunah bint al-Harist.

Ketika itu ia melihat RasuluLlah bangun tengah malam dan pergi berwudhu. Dengan
sigap Ibnu Abbas membawakan air untuk berwudhu, dengan demikian ia dapat melihat
sendiri bagaimana RasuluLlah berwudhu. RasuluLlah - sang murobbi agung itu - tidak
menyepelekan hal ini, beliau mengelus dengan lembut kepala Ibnu Abbas, seraya
mendo'akan: "Ya ALlah, faqih-kanlah ia dalam perkara agama-Mu, dan ajarilah ia
tafsir Kitab-Mu."

Kemudian RasuluLlah berdiri untuk sholat lail yang dimakmumi oleh isteri beliau,
Maimunah. Ibnu Abbas tak tinggal diam, dia segera berdiri di belakang RasuluLlah
SAW; tetapi RasuluLlah kemudian menariknya agar ia berdiri sedikit berjajar
dengannya.

Ibnu Abbas berdiri sejajar dengan RasuluLlah, tetapi kemudian ia mundur lagi ke shaf
belakang. Seusai sholat, RasuluLlah mempertanyakan sikap Ibnu Abbas ini, dan
dijawab oleh Ibnu Abbas bahwa rasanya tak pantas dirinya berdiri sejajar dengan
seorang Utusan ALlah SWT.RasuluLlah ternyata tidak memarahinya, bahkan beliau
mengulangi do'anya ketika berwudhu tadi.

Ketika Ibnu Abbas berusia 13 tahun, RasuluLlah wafat. Beliau sangat merasa
kehilangan. Tapi hal ini tidak menjadikannya bersedih atau lemah. Dengan segera ia
mengajak teman sebayanya untuk bertanya dan belajar pada sahabat-sahabat senior
mengenai apa saja yang berkenaan dengan RasuluLlah dan ajaran al-Islam. Logika
Ibnu Abbas, saat itu mengatakan bahwa para sahabat masih berada di Madinah, inilah
kesempatan terbaik untuk menimba ilmu dan informasi dari mereka, sebelum mereka
berpencaran ke kota-kota lain atau sebelum mereka wafat. Namun sayang, ajakan ini
tidak ditanggapi oleh rekan-rekan sebayanya, karena mereka rata-rata beranggapan
bahwa para sahabat senior tidak akan memperhatikan pertanyaan anak-anak kecil
macam mereka.

Ibnu Abbas tak patah arang. Beliau sendiri mendatangi para sahabat yang diperkirakan
mengetahui apa saja yang ingin ia tanyakan. Dengan sabar, beliau menunggu para
sahabat pulang dari kerja keseharian atau da'wahnya. Bahkan kalau sahabat tadi
kebetulan sedang berisitirahat, Ibnu Abbas dengan sabar menanti di depan pintu
rumahnya, hingga tertidur, tergolek beralaskan pakaiannya. Tentu saja para sahabat
terkejut menemui Ibnu Abbas tertidur di muka rumahnya, "Oh keponakan RasuluLlah,
ada apa gerangan?

Kenapa tidak kami saja yang datang menemuimu, bila engkau ada keperluan?"
"Tidak,"kata Ibnu Abbas, "sayalah yang harus datangmenemui anda."

Demikianlah masa kecil Ibnu Abbas. Bagaimana dengan masa dewasanya? beliau
katakan sebagai seorang muda yang berwawasan dewasa, yang lisannya selalu bertanya
dan qalbunya selalu mencerna. Umar bin Khattab selalu mengundang Ibnu Abbas
dalam majelis syuro'nya dengan beberapa sahabat senior, dan beliau selalu berkata
kepada Ibnu Abbas agar ia tidak perlu sungkan menyampaikan pendapat.Inilah bentuk
tarbiyah lain yang diperoleh oleh Ibnu Abbas, dengan selalu berada dalam kalangan
sahabat senior.

Dalam masa kekhalifahan Utsman bin Affan RA, beliau bergabung dengan pasukan
muslimin yang berekspedisi ke Afrika Utara, di bawah pimpinan AbduLlah bin Abi-
Sarh. Beliau terlibat dalam pertempuran dan juga dalam da'wah di sana. Di masa
pemerintahan Ali bin Abi Thalib RA, Ibnu Abbas mengajukan permohonan untuk
menemui dan berda'wah kepada kaum Khawarij. Melalui dialog dan diskusinya yang
intens, sekitar 12.000 dari 16.000 khawarij bertaubat dan kembali kepada ajaran Islam
yang benar.

AbduLlah bin Abbas, yang muda yang ulama, wafat dalam usia 71 tahun pada tahun
68H. Sahabat Abu Hurairah RA, berkata "Hari ini telah wafat Ulama Ummat. Semoga
ALlah SWT berkenan memberikan pengganti AbduLlah bin Abbas."
« Last Edit: 09 May, 2009, 04:52:05 AM oleh Munaliza Ismail »

"Al-haqqu bila nizom yaghlibuhul-baatil binnizom"


Maksudnya: "Sesuatu kebenaran yang tidak sistematik akan dikalahkan oleh kebatilan yang
sistematik dan terancang."
Http://cahayarabbani.blogspot.com
Http://islamicmoviecollection.blogspot.com
assiddiq@ymail.com
Re: ABDULLAH BIN ABBAS
« Jawab #1 pada: 09 May, 2009, 05:22:29 AM »

SIAPAKAH ABDULLAH BIN ABBASAbdullah bin Abbas atau Ibnu


Abbas adalah antara beberapa orang tokoh Islam yang belum
menjangkau usia dewasa ketika wafatnya Rasulullah s.a.w. Namun,
ketika mencapai umur dewasa, beliau telah dapat menjadikan dirinya
sebagai ilmuwan terbilang, setaraf dengan ilmuwan Islam lain seperti
Ibnu Sina, Al-Khawarizmi dan sebagainya. Salah satu keistimewaan
Abdullah bin Abbas berbanding para sahabat Rasulullah s.a.w yang
lain ialah tentang keluasan ilmu yang dimiliki oleh beliau.KEILMUAN
ABDULLAH BIN ABBAS
Beliau terkenal sebagai tokoh yang menguasai pelbagai bidang ilmu
pengetahuan, antaranya ilmu sastera dan bahasa Arab, ilmu tafsir,
ilmu matematik, dan ilmu faraid. Justeru, keluasan ilmunya itu
membolehkan beliau mendapat gelaran pendeta Islam atau ‘profesor’
dalam konteks bahasa moden pada hari ini. Maka, Abdullah bin
Abbas merupakan profesor ulung dalam dunia Islam. Kejayaan yang
beliau peroleh salah satu puncanya adalah doa Rasulullah s.a.w.DOA
RASULLULAH KEPADA ABDULLAH BIN ABBAS
Doa Rasulullah s.a.w ternyata dimakbulkan oleh Allah s.w.t apabila
Abdullah bin Abbas berjaya memiliki sifat-sifat tersebut tatkala
beliau mencapai umur dewasa. Abdullah bin Abbas tergolong dalam
keluarga Rasulullah s.a.w dan beliau adalah sepupu baginda kerana
ayah Abdullah, iaitu Abbas bin Muttalib adalah bapa saudara
Rasulullah s.a.w.

Apabila Rasulullah s.a.w wafat, Abdullah masih kecil lagi dan adalah
diriwayatkan bahawa beliau telah melakukan solat di belakang
baginda semasa umurnya tidak kurang daripada lapan tahun. Sedari
kecil Abdullah gemar bermain di rumah baginda dan pada suatu hari
ketika Abdullah berlari menuju ke rumah baginda, beliau ternampak
baginda Rasulullah sedang berwuduk, maka degan segera Abdullah
menghulurkan air wuduk untuk Rasulullah s.a.w. Perbuatan
Abdullah amat mengembirakan baginda Rasulullah dan setelah
baginda selesai menunaikan solat, lantas Baginda memangku
Abdullah sambil mengusap kepala Abdullah lalu baginda berdoa: “Ya
Allah berikanlah keberakahan kepadanya dan berikanlah ilmu
daripadanya.”
ABDULLAH TERPANDANG JIBRAILSatu lagi peristiwa yang
diriwayatkan mengenai Abdullah ialah kisah beliau terpandang
Malaikat Jibril. Menurutnya, pada suatu hari ketika beliau memasuki
rumah Rasulullah, Abdullah telah ternampak ada seorang lelaki yang
tidak dikenalinya sedang bersama Rasulullah s.a.w. Lantas Abdullah
segera pulang akibat terlalu gementar dan terus memberitahu
ayahnya Abbas bin Muttalib. Kemudian ayahnya berkata, “Wahai
anakku, kau telah melihat Jibril yang kebetulan sedang bertemu
Ummi Munaliza

28.01.09 9710
Syukron
Beri: 586
Terima: 1398 Pengurusan, Pentadbiran Forum Halaqahnet.
Penal Utama Baitul Muslim
Dia pemuda tua, banyak bertanya (belajar), dan sangat cerdas.

Sahabat yang mulia ini mulia segala-galanya, tidak ada yang ketinggalan. Dalam

pribadinya terdapat kemuliaan sebagai sahabat Rasulullah saw. Dia beroleh

kemuliaan sebagai keluarga dekat Rasulullah karena sebagai anak paman beliau,

Abbas bin Abdul Mutthalib. Dia mulia dari sudut ilmu karena dia umat Muhammad

yang amat alim dan saleh.

Nama lengkapnya Abdullah bin Abbas. Dia sangat alim tentang kitabullah

(Alquran) dan sangat paham maknanya. Dia menguasai Alquran sampai ke

dasar-dasarnya, mengetahui sasaran, dan segala rahasianya.

Ibnu Abbas lahir tiga tahun sebelum hijrah. Ketika Rasulullah Saw wafat, dia

baru berumur tiga belas tahun. Dalam usia sebaya itu, dia telah menghafal

seribu enam ratus enam puluh hadis untuk kaum muslimin yang diterimanya

langsung dari Rasulullah dan dicatat oleh Bukhari dan Muslim dalam kitab sahih

mereka.
Setelah Ibnu Abbas lahir ke dunia, bayi yang masih merah itu segera dibawa

ibunya kepada Rasulullah saw. Beliau memasukkan air liurnya ke dalam

kerongkongan bayi itu. Air liur Nabi yang suci dan penuh berkat itulah yang

pertama-tama masuk ke dalam rongga perut anak tersebut, sebelum ia disusukan

ibunya. Seiring dengan air liur Nabi, masuk pulalah ke dalam pribadi bayi itu

takwa dan hikmah. "Dan siapa saja yang diberi hikmah, sungguh dia telah diberi

kebajikan yang banyak." ( Al-Baqarah: 269).

Ketika anak itu meninggalkan usia kanak-kanak dan mulai memasuki usia tamyiz

(usia 6 atau 7 tahun), dia tinggal di rumah Rasulullah seperti adik terhadap

kakak yang saling mengasihi. Dia menyediakan air wudu beliau apabila hendak

wudu. Bila Rasulullah salat, anak itu ikut salat; bila beliau bepergian, dia

membonceng di belakang. Sehingga, Ibnu Abbas bagaikan bayang-bayang yang

senantiasa mengikuti ke mana saja beliau pergi, atau dia senantiasa berada di

seputar beliau. Sementara itu, anak tersebut dapat menyimpan dalam hati dan

pikirannya yang bersih segala peristiwa yang dilihat dan kata-kata yang

didengarnya, tanpa alat tulis menulis seperti yang kita kenal sekarang.

Ibnu Abbas bercerita mengenai dirinya, "Pada suatu ketika Rasulullah saw hendak

mengerjakan salat. Aku segera menyediakan air wudu untuk beliau. Beliau gembira

dengan apa yang kulakukan. Ketika beliau siap untuk salat, dia memberi isyarat

kepadaku supaya berdiri di sampingnya. Tetapi, aku berdiri di belakang beliau.

Setelah selesai salat, beliau menoleh kepadaku seraya bertanya, "Mengapa engkau

tidak berdiri di sampingku?" Jawabku, "Anda sangat tinggi dalam pandanganku,


dan sangat mulia untukku berdiri di samping Anda." Rasulullah menadahkan

tangannya, lalu berdoa, "Wahai Allah, berilah dia hikmah."

Allah memperkenankan doa Rasulullah tersebut. Dia memberi cucu Hasyim tersebut

hikmah, melebihi hikmah ahli-ahli hikmah yang besar-besar. Tentu Anda ingin

tahu, hikmah bentuk apa yang telah dilimpahkan Allah kepada Abdullah bin Abbas.

Marilah kita perhatikan kisah selanjutnya.

Ketika sebagian sahabat memencilkan dan menghina Khalifah Ali bin Abu Thalib,

Abdullah bin Abbas berkata kepada Ali, "Ya, Amirul Mukminin, izinkanlah saya

mendatangi mereka dan berbicara kepadanya." Kata Ali, "Saya khawatir risiko

yang mungkin engkau terima dari mereka." Jawab Ibnu Abbas, "Insya Allah tidak

akan terjadi apa-apa." Ibnu Abbas masuk ke dalam majlis mereka. Dilihatnya

mereka orang-orang yang sangat rajin beribadah. Mereka berkata, "Selamat

datang, hai Ibnu Abbas. Apa maksud kedatangan Anda kemari?" Jawab Ibnu Abbas,

"Saya datang untuk berbicara dengan tuan-tuan." Sebagian yang lain berkata,

"Katakanlah, kami akan mendengarkan bicara Anda." Ibnu Abbas berkata, "Coba

tuan-tuan katakan kepada saya, apa sebabnya tuan-tuan membenci anak paman

Rasulullah yang sekaligus suami anak perempuan beliau (mantu Rasulullah), dan

orang yang pertama-tama iman dengan beliau?" Jawab mereka, "Kami membencinya

karena tiga perkara." Tanya Ibnu Abbas, "Apa itu?" Mereka menjawab, "Pertama,

dia bertahkim (mengangkat hakim) kepada manusia tentang urusan agama Allah.

Kedua, dia memerangi Aisyah dan Muawiyah, tetapi dia tidak mengambil harta

rampasan dan tawanan. Ketiga, dia menanggalkan gelar Amirul Mukminin dari

dirinya, padahal kaum muslimin yang mengukuhkan dan mengangkatnya. Kata Ibnu
Abbas, "Sudikah tuan-tuan mendengar Alquran dan hadis Rasulullah yang saya

bacakan? Tuan-tuan tentu tidak akan membantah keduanya. Apakah tuan-tuan

bersedia mengubah pendirian tuan-tuan sesuai dengan maksud ayat dan hadis

tersebut?" Jawab mereka, "Tentu!" Kata Ibnu Abbas, "Masalah pertama, bertahkim

kepada manusia dalam urusan agama Allah. Allah SWT berfirman: "Hai orang-orang

yang beriman, janganlah kalian membunuh binatang buruan ketika kamu sedang

ihram, siapa saja di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya

ialah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan buruan yang

dibunuhnya menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu." (Al-Maidah:

95). Saya bersumpah dengan tuan-tuan menyebut nama Allah. Apakah putusan

seseorang tentang hak darah atau jiwa, dan perdamaian antara kaum muslimin yang

lebih penting ataukah seekor kelinci yang harganya seperempat dirham?"

Jawab mereka, "Tentu darah kaum muslimin dan perdamaian di antara mereka yang

lebih penting." Kata Ibnu Abbas, "Marilah kita keluar dari persoalan ini."

Kata Ibnu Abbas, "Masalah kedua, Ali berperang tetapi dia tidak menawan para

wanita seperti yang terjadi pada masa Rasulullah. Mengenai masalah ini, sudikah

tuan-tuan mencaci Aisyah, lantas tuan-tuan halalkan dia seperti wanita-wanita

tawanan yang lain-lain. Jika tuan-tuan mengatakan "Ya," tuan-tuan kafir. Dan,

jika tuan-tuan menjawab, dia bukan ibu kami, tuan-tuan kafir juga. Allah SWT

berfirman: "Nabi itu hendaknya lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada

diri mereka sendiri, dan istri-istri Nabi adalah ibu-ibu mereka." (Al-Ahzab: 6).

"Nah, pilihlah mana yang tuan-tuan suka. Mengakui ibu atau tidak. Kata Ibnu

Abbas, "Ali menanggalkan gelar 'Amirul Mukminin' dari dirinya. Sesungguhnya


ketika Perjanjian Hudaibiyah ditandatangani, mula-mula Rasulullah menyuruh

untuk ditulis, inilah perjanjian dari Muhammad Rasulullah. Lalu kata kaum

musyrikin, "Seandainya kami mengakui engkau Rasulullah, tentu kami tidak

menghalangi engkau mengunjungi Baitullah dan tidak memerangi engkau. Karena

itu, tuliskan nama engkau saja, "Muhammad bin Abdullah."

Rasulullah memenuhi permintaan mereka seraya berkata, "Demi Allah, aku adalah

Rasulullah, sekalipun kalian tidak mempercayaiku.

"Bagaimana?" tanya Ibnu Abbas, "Tidak pantaskah masalah memakai atau tidak

memakai gelar 'Amirul Mukminin' itu kita tanggalkan saja? Jawab mereka, "Ya

Allah, kami setuju." Hasil pertemuan Ibnu Abbas dengan mereka (kaum Khawarij)

dan alasan-alasan yang dikemukakannya menyebabkan 20.000 orang yang membenci

Ali kembali masuk ke dalam barisan Ali. Yang memusuhinya hanya tinggal 4.000

orang.

Waktu muda Abdullah bin Abbas mencari ilmu dengan berbagai cara yang dapat

dilakukannya. Waktunya dihabiskan umtuk menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh.

Mula-mula dia memperoleh ilmu dari mata air yang mulia, yaitu langsung dari

Rasulullah sampai beliau wafat. Setelah beliau tiada, dihubunginya ulama-ulama

sahabat, lalu dia belajar kepada mereka. Ibnu Abbas pernah bercerita, "Apabila

seseorang menyampaikan sebuah hadis kepadaku yang diperolehnya dari seorang

sahabat Rasulullah, maka kudatangi sahabat tersebut ke rumahnya waktu dia tidur

siang. Lalu, aku bentangkan serbanku dekat tangga rumahnya dan aku duduk di

situ menunggu dia bangun. Sementara itu, angin bertiup memenuhi tubuhku dengan

debu tanah. Seandainya aku minta izin masuk kepadanya, tentu dia akan

mengizinkanku. Tetapi, memang aku sengaja melakukan demikian supaya tidak


menganggunya tidur. Ketika dia keluar dan melihatku dalam keadaan demikian, dia

berkata, "Wahai anak paman Rasulullah. Mengapa Anda sendiri yang datang ke

sini? Mengapa tidak Anda suruh saja seseorang memanggilku. Tentu aku datang

memenuhi panggilan Anda!" Jawabku, "Akulah yang harus mendatangi Anda, ilmu

harus didatangi, bukan ilmu yang harus mendatangi. Sesudah itu kutanyakan

kepadanya hadis yang kumaksud."

Ibnu Abbas rendah hati dalam menuntut ilmu. Dia menghormati derajat ulama. Pada

suatu hari Zaid bin Tsabit, penulis wahyu dan ketua pengadilan Madinah bidang

Fiqih, Qira'ah, dan Faraidh, mendapat kesulitan karena hewan yang

ditungganginya bertingkah. Lalu, Abdullah bin Abbas berdiri ke hadapannya

seperti seorang hamba di hadapan majikannya. Ditahannya hewan kendaraan Zain

bin Tsabit. Kata Zaid, "Biarkan saja, wahai anak paman Rasulullah!" Jawab Ibnu

Abbas, "Beginilah caranya kami diperintahkan Rasulullah terhadap ulama kami."

Kata Zaid bin Tsabit, "Coba perlihatkan tangan Anda kepada saya!"

Ibnu Abbas mengulurkan tanganya kepada Zaid, lalu dicium oleh Zaid. "Begitulah

caranya kami diperintahkan Rasulullah menghormati keluarga Nabi kami, Kata

Zaid."

Ibnu Abbas sangat rajin menuntut ilmu sehingga mencengangkan ulama-ulama besar.

Masruq bin Ajda', seorang ulama besar Tabi'in berkata, "Paras Ibnu Abbas sangat

elok. Bila dia berbicara, bicaranya sangat fasih. Bila dia menyampaikan hadits,

dia sangat ahli dalam bidang itu."

Setelah ilmu yang dicarinya sempurna, Ibnu Abbas beralih menjadi guru mengajar.
Rumahnya berubah menjadi jam'iah (universitas) kaum muslimin. Memang tidak

salah kalau kita katakan universitas, seperti yang kita kenal sekarang. Beda

universitas Ibnu Abbas dengan universitas kita sekarang ialah di universitas

kita yang mengajar ada sepuluh sampai ratusan orang dosen atau profesor.

Tetapi, di universitas Ibnu Abbas yang mengajar Ibnu Abbas seorang.

Salah seorang kawan Ibnu Abbas bercerita, "Saya berpendapat, seandainya kaum

Quraisy mau membanggakan universitas Ibnu Abbas, memang pantas mereka bangga.

Saya lihat orang banyak sudah penuh berkumpul di jalan menuju ke rumah Ibnu

Abbas, sehingga jalan itu sempit dan tertutup oleh kepala orang banyak. Saya

masuk menemuinya dan memberi tahu bahwa orang banyak sudah berdesak-desak di

muka pintu. Katanya, "Tolong ambilkan saya air wudu!" Lalu dia berwudu dan

sesudah itu duduk di ruangan majelis. Katanya, "Siapa yang hendak belajar

Alquran suruhlah mereka masuk." Saya keluar memberi tahu orangn banyak. Mereka

pun masuk, sehingga seluruh ruangan dan kamar-kamar penuh dengan orang yang

hendak belajar Alquran. Apa saja yang mereka tanyakan dijawabnya panjang lebar.

Kemudian berkata kepada mereka, "Beri kesempatan kawan-kawan yang lain!" Lalu

mereka keluar semuannya. Katanya, "Suruh masuk orang-orang yang hendak belajar

tafsir Alquran dan takwilnya!" Maka, kuumumkan kepada orang banyak, sehingga

mereka masuk pula memenuhi ruangan dan kamar-kamar. Apa yang ditanyakan mereka

dijawabnya sampai mereka puas. Katanya, "Sekarang beri kesempatan pula

kawan-kawan yang lain!" Saya disuruhnya keluar menyilakan orang yang hendak

belajar tentang halal dan haram dan masalah-masalah fikih. Mereka pun masuk.

Segala pertanyaan mereka dijawabnya panjang lebar. Setelah cukup waktunya, dia

berkata pula, "Kini beri kesempatan kawan-kawan yang hendak belajar faraid dan
sebagainya!" Mereka pun keluar, dan masuk pula orang-orang yang hendak belajar

ilmu faraidh. Setelah selesai pelajaran faraid, disuruh masuk pula orang-orang

yang hendak sastra Arab, syi'ir dan kata-kata arab yang sulit. Kemudian Ibnu

Abbas membagi-bagi hari untuk beberapa macam bidang ilmu dalam beberapa hari,

guna mencegah orang berdesak-desakkan di muka pintu. Umpamanya, sehari dalam

seminggu untuk bidang ilmu tafsir, besok ilmu fikih, besok ilmu peperangan

(sejarah peperangan Rasulullah) atau strategi perang. Sesudah itu ilmu syi'ir,

sesudah itu ilmu sastra Arab. Tidak ada orang alim yang duduk dalam majelis

Ibnu Abbas melainkan menundukkan diri kepadanya.

Karena kealiman dan kemahirannya dalam berbagai bidang ilmu, dia senantiasa

diajak bermusyawarah oleh khalifah rasyidah (bijaksana) sekalipun dia masih

muda belia. Apabila Khalifah Umar bin Khattab menghadapi suatu persoalan yang

rumit, diundangnya ulama-ulama terkemuka termasuk Ibnu Abbas yang muda belia.

Bila Ibnu Abbas hadir, Khalifah Umar memberikan tempat duduk yang lebih tinggi

bagi Ibnu Abbas dan Khalifah sendiri duduk di tempat yang lebih rendah seraya

berkata, "Anda lebih berbobot daripada kami."

Pada suatu ketika Khalifah Umar mendapat kritik karena perlakuan yang

diberikannya kepada Ibnu Abbas melebihi dari ulama yang tua-tua. Maka, kata

Umar, "Dia pemuda tua, dia lebih banyak belajar dan berhati tenang."

Ketika Ibnu Abbas beralih mengajar orang-orang tertentu, dia tetap tidak

melupakan kewajibannya terhadap orang-orang awam. Maka, dibentuknya

majelis-majelis wa'azh dan tadzkir (pendidikan dan pengajaran). Di antara


pengajarannya, dia berkata kepada orang-orang yang berdoa, "Wahai orang yang

berbuat dosa! Jangan sepelekan akibat-akibat perbuatan dosa itu, sebab ekornya

jauh lebih gawat daripada dosa itu sendiri. Kalau engkau tidak merasa malu

kepada orang lain, padahal engkau telah berbuat dosa, maka sikap tidak punya

malu itu sendiri adalah juga dosa. Kegembiraanmu ketika melakukan dosa, padahal

engkau tidak tahu apa yang diperbuat Allah atas dirimu adalah juga dosa. Kalau

engkau sedih karena tidak dapat berbuat dosa, maka kesedihanmu itu jauh lebih

dosa daripada perbuatan itu. Engkau takut kalau-kalau angin bertiup membukakan

rahasiamu, tetapi engkau sendiri telah berbuat dosa tanpa takut akan Allah yang

melihatmu. Maka, sikap seperti itu adalah lebih besar dosanya ketimbang

perbuatan dosa itu."

"Wahai orang yang berdosa! Tahukah Anda dosa Nabi Ayyub as. Yang menyebabkannya

mendapat bala (ujian) mengenai jasad dan harta bendanya? Ketahuilah, dosanya

hanya karena ia tidak menolong seorang miskin yang minta pertolongannya untuk

menyingkirkan kezaliman."

Ibnu Abbas tidak termasuk orang-orang yang pandai berkata tetapi tidak berbuat.

Dia tidak termasuk orang yang pandai melarang tetapi tidak menghentikan.

Abdullah bin Mulaikah bercerita, "Saya pernah menemani Ibnu Abbas dalam suatu

perjalanan dari Mekah ke Madinah. Ketika kami berhenti di suatu tempat, dia

bangun tengah malam, sementara yang lain-lain tidur karena lelah. Saya pernah

pula melihatnya pada suatu malam membaca ayat ke-19 surat Qaf berkali-kali

sambil menangis hingga terbit fajar. Sebagai kesimpulan, tahulah kita bahwa

Ibnu Abbas yang berparas tampan itu senantiasa menangis tengah malam karena
takut akan siksa Allah sehingga air mata membasahi kedua pipinya.

Ibnu Abbas sampai ke puncak ilmu yang dimilikinya. Pada suatu ketika musim

haji, Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan pergi haji. Bersamaan dengan Khalifah,

pergi pula Abdullah bin Abbas. Khalifah Muawiyah diiringkan oleh pasukan

pengawal kerajaan. Abdullah bin Abbas diiringkan oleh murid-muridnya yang

berjumlah lebih banyak daripada pengiring Khalifah.

Usia Abdullah bin Abbas mencapai tujuh puluh satu tahun. Selama itu dia telah

memenuhi dunia dengan ilmu, paham, hikmah, dan takwa. Ketika dia meninggal,

Muhammad bin Hanafiyah turut melakukan salat atas jenazahnya bersama-sama

dengan para sahabat yang lain-lain serta para pemuka tabi'in.

Tatkala mereka menimbun jenazahnya dengan tanah, mereka mendengar sura membaca,

"Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati puas lagi

diridai-Nya. Masuklah ke dalam kelompok jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke

surga-Ku" (Al-Fajr: 27 -- 30).

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Indonesia

source: Halaqah Online

http://pripsa.blogspot.com/2009/12/abdullah-bin-abbas.html

Anda mungkin juga menyukai