Anda di halaman 1dari 17

Monsoon

Suara gedombrengan yang kencang berasal dari arah atap. Dengungan angin menderu-deru
seperti suara truk yang kehabisan tenaga bersama hantaman air jatuh bergelung-gelung di
halaman rumah. Bumantara mengucurkan warna yang paling kelabu selama satu jam
belakangan ini. Aku menekan jendela nako ke bawah, menutup sirip-sirip kacanya. Barusan
suara klik menandakan jendela telah terkunci, petir berpacu turun dalam gelagarnya
menyalangkan pintu langit.
 
Hujan monsoon baru memulai episodenya. Sudah tiga hari gerimis turun tak bersudahan
menandakan pra-monsoon yang diperkiraan oleh ramalan cuaca India akan berakhir pada sore
hari ini. Penilaian yang tepat sebab sejak siang tadi drama monsoon telah mulai menunjukkan
gejala-gejala awal. Butir-butir hujan membengkak dan merapat, tikam menikam satu sama lain,
menghantam tanah bersama puluhan kilat yang saling silang menyilang di langit.
 
Aku tidak ingin menyalakan televisi. Informasi menyebar dari telinga ke telinga untuk
mematikan perlengkapan elektronik jika dewa monsoon sedang keram perut. Di Mumbai, dewa
monsoon sering berada dalam cuaca perasaan yang tidak baik. Tidak heran dia sering
ngambek tak alang kepalang kepada masyarakat India Mumbai yang hidup berdesak-desakan
tanpa sela dan serba kelelahan.
 
Namun bagiku, Mumbai adalah kota apologia. Kota tempatku menikmati hentakan joget
Bollywood, memuaskan kegilaan klakson mobil yang menjerit-jerit diperkosa keringat jalanan,
menghilang di deretan rumah susun yang berfasadkan jemuran warna warni dan bedeng-
bedeng tumpuk, menemukan tingkat adrenalin tinggi di pedestrian setengah matang yang
masih juga diselipi oleh pengendara motor ugal-ugalan. Pulau Salsette yang terletak di mulut
sungai Ulhas di pesisir barat India adalah tempat Mumbai duduk anggun di singgasana
joroknya. Sementara aku bernapas, sakit gigi, telanjang, terengah-engah, kemabukan setan,
mengorok, sampai masturbasi di lelehan liur yang tercetak di singgasana itu.
 
Hujan monsoon sudah menderu pada jam lima sore tadi dan menurut pengalaman, aku tahu
dia akan tetap mendegam-degam sampai pagi bangkit dari kuburnya. Lalu semalam suntuk
mataku akan nyalang membuka mendengar kilat-petir melakukan tarian birahi satu sama lain.
Entah berapa pohon yang akan menjadi korban kemarahannya atau rumah yang rata
diterbangkannya. Besok aku akan tahu dari kotak televisi dan berita di koran.
 
Kudengar istriku, Hemangini, berteriak kepadaku dari arah yang tidak bisa kutebak asalnya.
Aku balas berteriak kepadanya tentang telingaku yang ditulikan oleh badai monsoon. Prahara
di kebun depan membuatku enggan mengangkat pantat dan mencari Hemangini. Padahal
kutebak dia pasti tidak berada jauh dari bayangan kulkas dan kompor.
 
Sayup-sayup kudengar patahan kata-kata Hemangini. Dia bilang dia ingin
menghidangkan tamatar ka sorbha untukku sekarang, apakah aku berkenan. Kepalaku
langsung berkelabat bayangan sup tomat hangat yang kusesap sambil memandangi pisau-
pisau air menghujam di luar. Luar biasa. Sebuah sore yang bakal lumat sebab aku akan
menjadi saksi perkawinan monsoon dan tamatar ka sorbha. Tanpa berpikir ulang, kukatakan
aku sangat berkenan kepadanya. Tidak lama, istriku tiba sambil menenteng cangkir mungil
keramik berwarna biru langit dengan asap yang masih mengepul-ngepul.
 
Hemangini mengenakan saree tanpa motif garis di sepanjang jelujurnya, cocok untuk bentuk
tubuhnya yang mungil. Aku memandangnya tanpa berkedip, menciptakan jalur bolak-balik
antara saree dan cawan keramik itu. Sesore ini Hemangini baru balik dari rumah ibunya, di
daerah bernama Colaba yang sebenarnya merupakan pusat seni di Mumbai. Dulu ketika masih
berpacaran dengan Hemangini, sering kubawa dia ke musium, galeri seni, dan toko-toko trendi
di sekitar itu. Hari-hari yang dipenuhi kebahagiaan, hari-hari aku bersamanya.
 
Aku meraih pinggangnya yang terbuka secelah di antara lipatan kain saree, menampilkan
siluet kulitnya yang berwarna kuning terang. Hemangini mengelak dari pelukanku. Lenganku
terpaku di udara. Dia menghindar sentuhanku dengan gemulai, mundur selangkah dari
tempatku duduk di pinggir jendela nako. Aku ingin dia menyenderkan tubuhnya di bahuku
seperti bertahun-tahun lalu ketika kami berdua baru saja menjadi mempelai yang berbahagia,
tapi apa yang bisa kukatakan padanya sekarang? Tanganku memegang cawan perselain
ringkih tamatar ka sorbha  sementara Hemangini berada di luar jangkauan lenganku.
 
Hemangini berdiri tegak, kupikir matanya memandangku, ternyata tidak, dia hanya menatapi
monsoon yang mengobrak-abrik kehidupan di luar. Berliter-liter air bertakung di sumur galian
yang kami buat di pekarangan untuk menghindari banjir dan tanah yang berbecek.
Gerumbulan semak pecah berhamburan disilet-silet hujan, pohon-pohon membungkuk sopan,
dedaunan melayang bergasing-gasing dalam keterkejutannya dipatahankan begitu saja dari
ranting. Aku tidak memandangnya langsung, ada bisikan yang kudengar di telingaku tentang
tatapan mata Hemangini yang tidak berada di  tengah monsoon, tapi jauh menembusinya
berkilo-kilometer. Kami berdua terpaku membisu.
 
Aku tidak mencecap sup selama itu; kubiarkan asapnya menguap di daguku. Hemangini
berbalik ke dapur; gerakannya halus seperti biasa. Aku merasakan bayangannya masih
berada di sebelahku. Hidungku menangkap harum tomat dan wangi bawang
bercampur naan panggang dari arah dapur, sementara semerbak aroma pahit rumput diaduk
dengan bebauan monsoon berkacau menjadi satu. Aku menyelupkan sendok di tengah warna
merah terang sup, mengangkatnya sesendok penuh, mendekatkan di bibirku, lalu mencucup.
 
Lidahku langsung menggigil. Apa ini? Tamatar ka sorbha  yang berbeda! Kucucup lagi kedua
kalinya. Tidak, lidahku tidak akan terkecoh oleh wangi dan warnanya yang mirip. Ini
bukan tamatar ka sorbha  milik Hemangini! Tamatar ka sorbha adalah makanan pembuka
kebesarannya, diikuti oleh kheema naan,  ayam tandoori, gobi aloo, rajma
masala,  kambing biryani, kesari chawal, murgh vindaloo,  dan gulab jamun.  Waktu
mendengung di sekelilingku seperti lebah-lebah. Aku menarik napas dalam-dalam. Kucucup
untuk ketiga kalinya.
 
Sup ini – aku menjilat bibirku, tamatar ka sorbha  yang anggun menjadi kenangan tidak
terlupakan sewaktu aku menjadi mahasiswa bokek di University of Mumbai  jurusan
arsitek.Kutemukan Hemangini di sebuah acara pameran fotografi; seketika jatuh cinta pada
matanya yang hitam dan mengilat. Di lorong itu, di antara deretan foto-foto hitam putih
berbingkai yang membeberkan kesedihan gedung-gedung dan manusia-manusia Mumbai, aku
menemukan secuil keindahan yang tidak dapat diilhami oleh seni mana pun. Kuhampiri gadis
India itu; mahasiswi seni rupa, seorang gadis yang mencintai seni dan bergumul di jantung
seni. Kami seketika dekat dan tak terpisahkan. Seni menjadi perekat kami berdua, bagai lem
super, bagai las besi. Otakku tak henti-hentinya merancang adegan menciptakan keajaiban
nyata buat meyakinkan orangtuaku yang hidup di Malang, ribuan kilometer jauhnya dari
Mumbai, tentang gadis India yang mencuri hatiku.
 
Hemangini memasak tamatar ka sorbha  pada malam aku diperkenalkan kepada
orangtuanya. Tamatar ka sorbha  yang sama yang kucecap pada Prtihvi Teatre pada kafetaria
kecilnya ketika kami menjalani kencan pertama, terkapar kemabukan oleh pertunjukan seni
drama dan bara jatuh cinta. Tamatar ka sorbha-nya selalu luar biasa, tak pernah bercacat cela.
Lidahku beruntung, selalu merasakan kesempurnaan cita rasa dan estetika makanan India dan
gadisnya.
 
Aku menyelesaikan pendidikan arsitekku; menjadi seorang arsitek di Mumbai berkubang
dengan gedung-gedung dan rumah-rumah bergaya Inggris. Aku meninggalkan segala-gala
yang kupunya dulu. Bagiku yang memiliki Mumbai, pekerjaanku sempurna. Rumahku
sempurna. Perut kekenyanganku sempurna. Sendawaku sempurna. Gatal-gatal di
punggungku sempurna. Gadisku sempurna. Upacara pernikahanku sempurna. Dua budaya
besar bermuara menjadi satu, bayangkan seperti apa samudra yang menampung kotoran
sungai-sungai ini. Tapi tetap saja kuanggap semuanya sempurna.
 
Jadi pada detik ini ketika kucucup tamatar ka sorbha  yang terasa tak sempurna, kecurigaanku
mengintip. Kuhabiskan sup tomat dengan pelan-pelan sambil mengendapkan rasa yang
semakin lama dapat kutebak ke mana filsafat kenikmatannya berkiblat. Lidahku dapat
mengabaikan panas sup, memisahkan antara rasa capai dan bosan, meminggirkan jenuh,
menghindari mual, dan akhirnya menampung ampas yang kukunyah baik-baik. Ampas ini, aku
tahu rasanya. Ampas ini adalah ampas bercinta, gairah, pengkhianatan, dan kegelisahan.
 
Cawan biru langit di tangan telah kosong. Tamatar ka sorbha  telah tandas di perut yang
langsung terasa panas oleh kilatan-kilatan rasa. Lidahku menghardik pikiranku, meyakinkan
bahwa pendapat profesionalnya harus dicermati baik-baik. Jangan ragukan pendapat lidah!
Dia pernah menjelajahi rupa-rupa nikmat dan perisa, berikut kelegitan dan kegurihannya. Dia
pernah menapaki sudut-sudut terpencil di seribu gua rasa. Lidahku berkata keras, hei, Bugis,
istrimu, Hemangini berselingkuh!
 
Sekujur tubuhku mendingin.
 
Napasku berhenti.
 
Udara memadat.
 
Aku menggenggam cawan erat-erat di tangan, sedetik sebelum cawan itu jatuh, pecah
berderai di lantai. Darah segar muncrat mengalir dari kakiku, tersilet hantaman tajam porselain.
 
Hemangini membanting panci di dapur, lalu kulihat sosoknya tergopoh-gopoh ke depan. Dia
terpaku tiga meter dari tempatku berdiri. Dekat kaca nako, aku tak bergerak, menunduk
memandangi pecahan porselain. Darah menganak sungai di ujung jempol, merembes ke
lantai. Sunyi tiba dengan lembut menjadi jeda yang tak dapat dijembatani oleh kata, oleh
bahasa. Hemangini melempar tatap kepadaku yang tidak kubalas dengan tatap. Kubiarkan
tatap itu hilang di udara, menari-nari bersama birai hujan, berjingkat dan berlompatan tinggi di
antara angin monsoon. Bibirku kelu mengucap mengapa dan apa.
 
Badai monsoon merepet dan merengek terus sampai malam tiba, ketika aku berbaring di
samping istriku yang sudah pulas kelelahan. Dia menghadap dinding, sehingga hanya
punggungnya saja yang bisa kulihat. Aku ingin membelai punggung itu, memeluknya dari
belakang seperti dulu-dulu yang kami lakukan, tapi tanganku mendingin. Aku
membatalkannya, meletakkan tubuhku yang letih di sebelahnya. Lima tahun kami telah
menikah. Seharusnya cinta semakin mematang dan legit seperti rasa dulu yang kami cicipi
pada pandangan pertama di lorong itu.
 
Mataku menjadi sembab. Kurasakan jantung pecah berhamburan seperti porselain cawan tadi.
Aku berbalik arah, memunggunginya, membiarkan pundak kami saling bertatap-tatapan. Udara
menjadi dingin. Aku mengerutkan tubuh, pelan-pelan takut dengan suara petir dan guntur yang
merobek-robek langit. Kapan monsoon akan berakhir? Lima jam dari sekarang? Tujuh jam?
Dua jam? Monsoon biasanya terus bergerak seperti udara, tiba pada saat yang seharusnya,
dan pergi pada saat yang juga seharusnya. Aku tersedak, menciptakan pertanyaan-pertanyaan
yang meninggalkan gema. Gaung yang tidak henti menukik, menyambar, menghabisi,
melumatkan. Bisakah pengkhianatan istriku berlaku seperti topan monsoon? Seperti cuaca
yang tiba begitu saja dan lenyap pergi tanpa terasa? Badai akan berlalu pada akhirnya?
 
Aku menutup mata, membiarkan kegelapan menyelusuri tubuhku. Setetes air mata turun,
membasahi pipiku, lalu turun lagi; dia seperti hujan monsoon yang berderai-derai di luar sana.

Dipublikasikan di Koran Tempo, 7 Juni 2009


Gambar diambil dari http://www.deviantart.com
Posted at 04:38 pm by indianalesmana
Comment (1)   Permalink

Cerpen
PUTIH 
 
Hari masih pagi, dan aku telah berdiri di sini. Seperti biasa. Hari ini hari Kamis, dan aku selalu
berdiri di sini pada hari Kamis. Seperti ribuan Kamis yang lalu, ketika ujung rambutku masih
setinggi panggul orang dewasa.
 
Langit berwarna putih. Angin yang membawa harum bedak mengingatkanku pada segala
sesuatu yang menghubungkanku dengan Annie. Di sini, pada hari Kamis, puluhan tahun yang
lalu, ada anak perempuan kecil yang sangat tomboy, menjotosku tepat di dagu karena
menduduki tempat kesayangannya di bawah pohon.
 
"Pergi!"
 
Gema suara itu terpantul-pantul di benakku. Tidak bisa hilang. Aku ingat kadar ego lelakiku
yang pada usia sekecil itu telah membanjir keluar, meledak menghancurkan tubuh kurusku.
Aku membuang muka, pura-pura mengacuhkan Annie.
 
"Ini tempatku! Minggir, pindah ke sana!"
 
Aku tidak peduli. Memangnya siapa dia, seenaknya saja menjadi juragan sok di sini? Aku
mendengar suara gemerisik daun ketika sol sepatu anak perempuan itu menginjaknya dengan
gerakan cepat. Sebelum aku sadar, tahu-tahu ujung depan kausku ditarik kasar, dan sebelum
aku sempat berkedip, hantaman keras menghajar tulang daguku.
 
Aku terpelanting, menghantam tanah.
 
Aku dan harga diriku.
 
"Oh!" Bocah perempuan yang tadinya galak mendadak memekik terkejut ketika melihatku
sungguh-sungguh terluka. Daguku biru, hidungku menggelesor dekat akar pohon menimbulkan
baret panjang yang meninggalkan garis samar bertahun-tahun selanjutnya. Dia berlari
mendekatiku, parasnya tampak cemas. "Maaf. Maafkan aku. Aduh, kamu tidak apa-apa?"
 
&    &   &
 
Sekelilingku sepi. Tidak ada seorang pun yang mampir kemari. Hanya aku sendiri di sini,
berdiri terpaku di depan pohon, seakan-akan aku berbalik kembali mengikuti penjelajahan
hidupku berpuluh tahun lamanya. Matahari masih berwarna keemasan, masih jauh sebelum
dia beranjak dari suasana pagi. Aku menyipitkan mata, merasakan angin semilir menyusup
daun telinga, menerbangkan serat-serat halus yang berwarna putih.
 
Serat ini. Aku mendongak.
 
Serat-serat halus itu semakin banyak berputar-putar di atasku. Jatuh berhamburan, seperti
butir-butir hujan yang jatuh dari langit. Sebenarnya, serat halus itu lebih indah daripada hujan.
Serat halus itu mengingatkanku pada butiran salju yang turun di Fifth Avenue, pada hari
pertama aku memandang Annie sebagai perempuan dewasa.
 
Hatiku mendadak terasa penuh sehingga aku sesak seperti kehabisan napas. Kalau kubiarkan
rasa ini pecah dia pasti akan berhamburan di atmosfer, berbentuk seperti kertas-kertas tipis
halus yang mengilat jatuh bergoyang-goyang di sekelilingku. Tentu saja warnanya putih,
seputih kebaya yang pernah dikenakan Annie, seputih salju di New York, atau seputih serat-
serat kapas ini yang menempel di helai rambutku.
 
Serat kapas.
 
Pohon yang berada di depanku adalah pohon kapas. Sepanjang mata memandang, tampak
deretan pohon-pohon kapas. Saat bunga kapas pecah dan terbang dibawa angin, serat-serat
halus itu melayang-layang seperti kunang-kunang di malam hari. Dulu Annie mengatakan
tempat ini ranjang dunia, tempat asyik untuk bermain pukul-pukulan bantal, atau sekadar
ruangan besar untuk melompat-lompat di atas guling berpura-pura bermain kuda-kudaan. Dulu
Annie menyebut pohon ini sebagai pohon kapuk, tapi beberapa tahun selanjutnya, saat kami
remaja, dia mengubah sebutannya menjadi pohon bantal.
 
Di bawah pohon ini, puluhan tahun yang lalu, aku dan Annie duduk berdua, tertawa sambil
membagi cerita tentang banyak hal. Tentang guru yang selalu mengucapkan kata yang sama,
tentang pelajaran matematika yang dicintainya, tentang cita-citanya menjadi seorang saintis,
atau tentang kisah-kisah yang kami karang sembarangan. Kami berpura-pura berada di negeri
antah berantah yang dinginnya membekukan tulang, disiram oleh salju yang turun tak henti-
henti dari langit.
 
"Seperti inikah salju?" tanyanya suatu hari, menunjuk pada ribuan pecahan bunga kapas yang
menari-nari di atas kepala kami.
 
"Salju lebih putih."
 
"Tapi yang ini warnanya putih juga."
 
"Putih kan mempunyai tingkat gradasi warna yang berbeda."
 
"Masa? Bagiku, putih tetap saja putih."
 
"Ya, nggak bisa begitu dong."
 
"Kenapa nggak bisa?"
 
"Karena kamu membutuhkan ketajaman indra untuk menyelami seni."
 
"Wah, memusingkan sekali. Nggak ada yang pasti."
 
"Dasar otak matematika. Apa-apa harus pasti."
 
Gema tawa kami masih menderas di kepalaku. Kami berpisah tak lama kemudian, melanjutkan
studi sambil membawa hidup ke jalan masa depan yang tampaknya lebih cerah.
 
&   &   &
 
Mataku mengembara pada setiap sudut di tempat yang sangat kucintai ini. Putih, semua putih
tertutup oleh gerimis kapas. Sebagian jatuh di rambut, bahu, dan ujung sepatuku, membuatku
terbenam oleh warna putih. Putih ini mengingatkanku pada bedak, dan bedak mengingatkanku
pada harumnya tubuh Annie.
 
Lagi-lagi Annie. Annie dan warna putih tidak dapat dipisahkan begitu saja. Sepuluh tahun
setelah kami berpisah, di Fifth Avenue – ribuan kilometer dari tempatku berada sekarang, saat
salju turun lebat, aku bertatapan dengan seorang gadis yang berasal dari masa laluku. Gadis
yang sedang berjalan keluar dari toko buku, dengan tumpukan buku yang dipeluk erat-erat di
tangan kanan seakan mereka adalah barang berharga satu-satunya yang dimilikinya.
 
Aku terperangah.
 
"Annie?" panggilku ragu.
 
Perempuan itu menoleh.  Dia terkejut melihatku, sampai-sampai kehilangan keseimbangan.
Salah satu buku tebal yang dipeluknya terjatuh di trotoar. Aku bergegas menghampiri,
membantunya memungut buku itu. Sebuah buku tebal, yang judulnya terlalu panjang untuk
diingat, tapi yang pasti ada kata-kata yang berhubungan dengan matematika.
 
"Kamu masih mencintai matematika?" tanyaku sambil tertawa.
 
Annie menerima buku yang kusodorkan. Senyumnya pecah.
 
"Kamu masih tergila-gila dengan warna?"
 
Aku tertawa juga.
 
Annie mengulurkan tangannya yang bersarung wol tebal, susah payah ke arahku. "Selamat ya,
kudengar gedung kantor pos di pinggir jalan First Street dirancang olehmu."
 
Giliran aku yang terperangah, tapi kusambut uluran tangannya. Kugenggam erat-erat. "Dari
mana kamu tahu?"
 
"Dari New York Times." Annie berusaha menarik tangannya, tapi tidak kulepaskan.
 
"Kamu bekerja di mana?"
 
"Aku profesor matematika di Columbia University."
 
Salju masih jatuh berguguran di sekitar kami. Putih, di mana-mana putih. Annie mengenakan
atasan rajut berwarna putih, rok setengah betis berwarna putih, dan sepatu boot yang tinggi
selutut. Jaketnya berwarna abu-abu muda. Aku menyingkirkan butiran kapas yang menempel
di rambutnya. Annie tidak mengelak.
 
"Mau mampir di kedai kopi untuk secangkir cokelat hangat?" undangku.
 
"Aku ingin susu hangat."
 
"Susu putih yang hangat."
 
Annie tertawa. Dia menutup kepalanya dengan tutupan jaketnya. Kami berdua berjalan
beriringan, di tengah derai salju. Pelan-pelan, tanpa sengaja, tanganku dan tangannya
bersentuhan. Tidak terlalu terasa sampai ke ujung tulang karena masing-masing tangan
dikerudungi sarung tangan tebal. Musim dingin di New York kali ini adalah musim dingin
terburuk sepanjang dua puluh tahun belakangan ini. Aku melirik Annie.
 
"Dingin?" tanyaku lembut.
 
"Sudah terbiasa," desah Annie. "Kota ini selalu dingin."
 
"Nggak kangen pulang?"
 
"Kangen."
 
Aku ingat hujan kapas di kampung halaman. "Aku juga kangen," kataku pelan. "Kapan terakhir
pulang?"
 
"Sudah lama." Mata Annie menerawang, menembus birai salju. "Empat tahun yang lalu,
kukira." Dia menoleh kepadaku. "Bagaimana denganmu?"
 
"Aku?" tanyaku, mendengus. Asap putih keluar dari hidung dan mulutku. "Setahun yang lalu."
 
"Oh, pasti menyenangkan!"
 
Hening mendadak selama lima menit. Kata-kata seperti kehilangan jejaknya. Tiba-tiba sebaris
ide melentik di kepalaku. "Yuk, pulang bersama-sama!" seruku tanpa berpikir dua kali.
 
"Pulang? Pulang ke Indonesia?" seru Annie. Dia menyesap pertanyaannya sendiri. Suaranya
yang terkejut perlahan-lahan hilang, berubah menjadi intonasi yang lebih bersemangat.
"Kapan?"
 
"Bulan depan, awal musim semi."
 
Annie tepekur, berpikir-pikir. Kepalanya menunduk. Butir-butir salju menempel di seluruh jaket
dan kepalanya. Sebagian melambai-lambai di ujung rambut Annie. Butir-butir yang putih, putih
seperti garam. Saat itu aku ingin sekali melingkarkan lenganku di bahunya, memeluknya rapat
ke pundakku. "Aku akan mengajukan cuti tahunanku."
 
&    &    &
 
Sejam telah berlalu sejak aku berdiri di sini. Udara masih terasa hampa, belum ada orang-
orang selain aku. Angin masih berembus berjingkat-jingkat, membawa wangi bedak yang
familier. Aku terpaku, termangu-mangu tak bergerak. Lihat, matahari telah berubah warna,
tidak lagi pantas disebut sebagai matahari subuh. Bias keemasan telah rontok satu per satu di
sudut sinarnya. Kini langit memudar menjadi cakrawala yang berwarna sedikit biru, dikelilingi
awan-awan putih. Putih, semua tetap saja putih. Kembali menjadi putih. Putih seperti mutiara.
Putih seperti kristal. Putih seperti Annie.
 
Aku ingat memandang Annie dua tahun setelah pertemuan di Fifth Avenue. Memandang Annie
dengan kagum; kagum pada kecantikannya. Berkebaya putih, seputih gading. "Ini putihnya
gading," kataku memberi tahu. Dia mendengus, tak memercayaiku. "Putih tetap saja putih,"
katanya sambil tersenyum. Kerudungnya juga berwarna putih; putih gading yang sama. Bunga
tangannya adalah rangkaian buket bunga lily of valley  yang berwarna putih dengan urat merah
muda yang tampak samar-samar. Sepatu hak lima sentinya berwarna putih toska. Wangi
parfumnya seperti harum bedak bayi.
 
Kami menikah di tengah lautan putih. Putih adalah suci. Putih adalah penyerahan. Putih adalah
keabadian. Aku memegang tangan Annie, berjanji kepada semua orang untuk mencintai,
menjaga, dan menghormatinya. Kami kembali ke New York pada musim dingin dengan
temperatur yang terendah. Seluruh kota terendam salju.
 
Aku menghela napas. Kenangan itu mengalir cepat, seakan-akan baru saja terjadi kemarin.
Matahari telah terang sepenuhnya, siang pun menjelang. Ah, Annie, Annie. Aku rindu padamu.
Kalau saja kamu berada di sebelahku sekarang, menikmati hujan kapas ini, kembali ke ruang
mungil yang kita punya dalam hati. Bermain riang gembira, menjadi kanak-kanak yang asyik
berpura-pura hujan kapas sebagai hujan salju. Aku mendongak menatap langit yang penuh
dengan awan berarak. Di mana engkau berada sekarang, Annie? Apakah kau telah menjadi
bidadari di negeri khayangan sana?
 
Beberapa serat kapas jatuh mendarat di hidungku. Aku menjentikkan jari, memperhatikan serat
itu jatuh melayang-layang, tak dapat kukejar lagi di mana dia mendarat. Kapas itu
mengingatkanku pada Annie. Pada peristiwa tengah malam yang mengagetkanku itu.
Beberapa bulan yang lalu, pesawat yang ditumpangi Annie kembali ke New York mengalami
kecelakaan. Pesawat itu hilang dari radar, lenyap begitu saja di udara. Telah sembilan bulan
pencarian dilakukan dengan teknologi paling mutakhir, tapi tetap saja belum menemukan titik
terang. Annie beserta seratus dua puluh penumpang termasuk pilot dan para kru pesawat tidak
ditemukan. Seperti udara mereka lenyap di garis putih cakrawala. Tak berbekas. Tak terkejar.
Tak terlihat.
 
Seperti serat kapas ini.
 
Aku mengembuskan napas berat. Seharusnya Annie tidak usah kembali ke New York
sendirian. Seharusnya kami berada di pesawat terkutuk itu. Mungkin itu lebih baik. Kami akan
berangkat bersama-sama, lalu menghilang bersama-sama. Meniti tujuh tangga pelangi di
angkasa, bertahta di spektrum warna yang sempurna di jantungnya. Warna satu-satunya; putih
yang terputih. Warna kesayangannya.
 
Annie. Ah, Annie. Aku rindu padamu.
 
Terdengar suara-suara di belakang punggung. Aku berbalik. Anakku yang berusia dua tahun
berjalan tertatih-tatih ke arahku. Dia mengenakan rok berwarna putih dan pita lucu berwarna
yang sama di rambutnya yang ikal. Putih, seperti roknya. Aku tersenyum, anakku tersenyum.
Mendadak semuanya tampak kabur di mataku. Gerimis kapas. Bunga lily of valley. Salju di
Fifth Avenue. Kebaya pernikahan. Cakrawala putih. Di mana-mana putih. Putih yang tampak
sama, putih yang tak dapat kubedakan lagi. 
 
Aku berjongkok. Kupeluk Paula erat-erat. Dia beraroma bedak bayi.
 
Dipublikasikan di Femina, 2008
Gambar oleh: http://www.deviantart.com
Posted at 04:14 pm by indianalesmana
Make a comment   Permalink

Cerpen
 
CERITA CANGKIR
 
Aku punya kisah yang kudengar dari secangkir kopi pada sebuah kedai kecil di sudut jalan.
Tempat mungil itu jauh dari kebisingan dan kesibukan orang-orang berlalu lalang di daerah
perbelanjaan yang berada tepat di tikungan jalan yang sama. Aku sedang membaca koran
ketika aku mendengar suara gemeretek dan desau lirih suara itu.
 
Mulanya aku pikir suara itu berasal dari sepasang kekasih yang sedang berasyik masyuk di
sampingku. Aku hampir mengacuhkan segalanya jika mejaku tidak tersenggol pinggang orang
dan membuat cangkir kopiku bergetar hebat.
 
Mendekatlah kemari, ucap si cangkir kopi bagai menyanyi. Koran yang ada di peganganku
nyaris terlepas. Matahari berada di ujung jari langit terpeleset sudah, melejit semakin ke arah
barat. Malam sebentar lagi luruh. Aku masih berpikir daripada bertindak, kukira itu hanya gema
angin.
 
Membungkuklah, tutur si cangkir kopi ngotot. Suaranya lirih dan tipis. Jangan membelalak ke
kiri dan kanan. Kamu terlihat bodoh.
 
Koran sore tak segar lagi dalam genggamanku. Aku merapatkan telingaku ke atas meja,
karena dari sanalah suara itu berasal. Lantas aku mendengar sepenggal dongeng yang
kisahnya lebih layu daripadari bunga yang telah tercampak ke tanah.
 
Leirissa dan Nikolai, perempuan dan lelaki yang memetik bintang.
 
Sampai langit temaram aku mendengar cerita si cangkir kopi. Kisah ini kutulis ulang untuk
kuceritakan padamu...
 
&    &   &
 
Alkisah, semuanya bermula pada saat warna langit bergradasi orenye biru terang. Daun-daun
kuning yang berbujur seperti kristal luruh di sepanjang jalan.
 
Leirissa nama gadis itu, turun dari bus di depan gedung tinggi bergaya ultramodern. Wajahnya
riang, air mukanya cerah. Rambutnya wangi dan bajunya trendi. Usianya baru dua puluh dua
lewat satu bulan. Benaknya dipenuhi idealisme dan kepolosan masa muda. Pagi ini dia hendak
mendapat panggilan wawancara pekerjaan pada law firm.
 
Leirissa menjilat bibirnya, menelan ludahnya, dan menggaruk lengannya ketika melihat kantor
pengacara di lantai tiga puluh dua. Begitu megah seperti istana. Begitu mewah mebel, plakat,
dan karpetnya. Hatinya terintimidasi.
 
Siang ketika matahari berlarian menuju puncak langit, Leirissa bertemu dengan Nikolai, awal
dari kisah ini. Nikolai, sang pewawancara, pengacara berusia empat puluh lima, jatuh dalam
pesona perempuan muda itu. Terlupakan istri jelita tanpa cacat cela di rumah. Istri yang telah
lima belas tahun dinikahinya, terikat oleh sumpah sehidup semati hanya dengannya. Istri yang
payudaranya telah merosot karena menyusui kedua bayinya yang kini telah tumbuh menjadi
dua remaja tampan dan cantik. Istri yang rambutnya harus di- highlight  dengan warna burgundy
karena tiap helainya telah kehilangan kilat warna oleh usia. Istri yang mempunyai lapisan kerut
di setiap ujung mata, bibir, dan pipi karena telah belasan tahun melewati malam-malam
panjang menunggui anak-anak mereka yang sakit.
 
Hati Ruth pasti robek jika menyaksikan episode ini.
 
Siang itu, Leirissa juga merasakan debur yang sama. Ada lubang hitam di ruang pertemuan ini,
mengisapnya menuju jantung Nikolai. Di sana mereka bertemu, saling menyapa dan
berkenalan tanpa dibungkus basa-basi dan rasa cemas atas mata-mata orang lain yang
menghujat. Jutaan helai bunga berwarna pink,  pelambang cinta melayang bagai hujan,
memenuhi rongga hati Leirissa dan Nikolai, mengantar mereka kembali ke rumah masing-
masing.
 
Aku nggak tahan ingin selalu bertemu denganmu. Kamulah cahayaku. Kamulah helaan
napasku.
 
Sejak saat itu, Nikolai jadi senang berbohong kepada istrinya. Dia jadi sering terlambat pulang.
Alasannya beraneka rupa. Mulai dari meeting  dengan klien penting, dinner  bersama pejabat,
bahkan melakukan kunjungan luar kota untuk alasan bisnis. Seakan-akan kesibukan kantornya
menyantapnya hidup-hidup tanpa belas kasihan. Segera, keluarga pun menjadi terabaikan.
 
Ruth selalu percaya pada Nikolai. Dia percaya pada suaminya karena sebagian hati Nikolai
dibawa di dalam hatinya sejak belasan tahun yang lalu ketika Ruth menikahi Nikolai. Kasih
sayangnya kepada suaminya tidak pernah takluk oleh usia. Rasa setia serta loyalitasnya
sebagai istri tidak pernah menua. Bagi Ruth, Nikolai adalah keabadiannya.
 
Hari pun berlalu. Hati Nikolai pun perlahan mulai tersobek-sobek melihat Ruth tak mampu
melihat atau tak ingin percaya untuk melihat suami yang dinikahinya bukanlah suami yang
sama lagi. Dia menjadi benci pada tangannya yang dahulu pernah membuai dan mengusap
lembut punggung bayi-bayinya. Kini tangan ini berlumur darah dari luka hati Ruth yang tak
pernah bermuara ke mana pun.
 
Dan kisah selalu mempunyai sisi koin yang berbeda.  Keadaan yang terjadi pada  Leirissa
adalah kebalikannya. Perempuan yang berjiwa sehalus sayap kupu-kupu benar-benar
terperangkap dalam labirin cinta. Tiap malam dia memintal doa agar diberikan jalan keluar
terhadap kebuntuan nasibnya. Lagi-lagi Tuhan hanya sekadar sosok samar-samar yang
terkadang terlihat terkadang lenyap. Malah pada beberapa minggu selanjutnya, bayangan
Tuhan telah habis menguap sampai tetes terakhir. Tuhan telah mati.
 
Leirissa bilang dia akan menunggu Nikolai, kapan pun Nikolai siap. Nikolai bilang dia akan
menunggu Ruth, kapan pun Ruth siap menerima Leirissa. Tapi Ruth tidak pernah tahu dan
tidak pernah siap. Nasib akhirnya dipahat sudah. Ketika bulan retak separuh, tanpa diberi
secuil firasat, Ruth meninggal di tangan seorang sopir kelelahan yang berusaha mati-matian
mengendalikan truk raksasanya, menabrak mobil kecil di pinggir jalan tol. Kepala Ruth pecah
berhamburan di depan setir, jantungnya terkoyak oleh benturan, dan kakinya kaku bagai batu.
 
Nikolai serasa mati bersama kematian Ruth. Dia ingin melakukan apa saja asalkan Ruth dapat
dikembalikan kepadanya. Upacara kematian terasa sangat pahit dengan kehadiran Leirissa di
antara puluhan sahabat dan keluarga yang mencintai Ruth. Hati Nikolai pecah berhamburan,
berharap apa yang dia telah lakukan di masa Ruth hidup tidak menggelisahkan istrinya pada
tidur panjangnya.
 
Leirissa juga merasakan kegetiran yang sama. Lihat! Lelaki yang dicintainya mati-matian
sedalam tulang sumsumnya sedang berdiri layu di samping jasad istrinya yang telah dingin. Ke
mana angin akan membawa hatinya? Leirissa ikut menangis tersedu-sedu ketika tubuh Ruth
ditanamkan di perut bumi. Orang-orang mengira dia adalah sahabat Ruth yang menangisi
kehilangannya. Padahal Leirissa tidak menangis untuk Ruth; dia menangisi hidupnya yang tak
pernah akan sama lagi dengan yang dulu.
 
Esoknya, belum genap 24 jam Ruth dipeluk tanah, Nikolai mencari penghiburan di dada
Leirissa. Hati Nikolai semakin pecah melihat air muka pengharapan perempuan itu. Tidak,
tidak akan ada pernikahan dalam waktu dekat,  demikian Nikolai berkata murung. Keluarga
mereka tidak akan mungkin menerima kehadiran perempuan muda berusia dua puluh dua
tahun, hanya terbentang enam tahun dengan anak lelakinya. Apalagi setelah kematian Ruth
yang tragis.
 
Leirissa masih terlalu muda untuk sanggup mengelakkan keinginan-keinginan yang sedari dulu
diam-diam diimpikannya. Dia menginginkan pernikahan; dia menginginkan kehamilan; dia
menginginkan anak. Hal-hal normal yang sangat biasa. Hatinya remuk membayangkan
kemungkinan itu tidak akan pernah ada. Dia tidak kuat menanggung gelora cinta yang datang
bagai angin puyuh, mengobrak-abrik keutuhan hatinya.
 
Nikolai pun merasakan luka yang sama, luka yang dirasakan oleh Leirissa. Tapi seandainya
dia adalah Nikolai yang dulu; Nikolai dari masa muda tentu dia dapat merajut kembali hati
Leirissa yang robek. Tapi hari seakan tak pernah tua, dan Nikolai sebaliknya. Dia tak sanggup
berjalan beriring bersama kemudaan waktu. Bagai penyihir, waktu telah mengubahnya menjadi
lelaki yang putus asa. Lelaki yang telah kehilangan separuh jiwanya. Lelaki yang terpincang-
pincang berusaha melanjutkan hidupnya.
 
Katakan apa keinginanmu, Sayang, akan kukabulkan. Apa saja, asalkan jangan
pernikahan.   Nikolai tulus dengan perkataannya.
 
Aku ingin memetik bintang.  Demikian jawan Leirissa seraya memandang langit.
 
Nikolai tertegun, tapi buru-buru menuntaskan jawaban, Jika itu yang kau inginkan, kau akan
dapatkan.
 
Leirissa tahu, jawaban itu adalah jawaban yang tergesa, yang diucapkan tanpa berpikir lebih
dalam daripada makna sesungguhnya. Tapi bukankah lebih indah mendengarkan sesuatu
yang ingin kita dengar? Maka Leirissa tertawa sambil merebahkan kepalanya di dada Nikolai
yang lapang. Biarkan dada itu menjadi dermaga istirahat terakhirnya.
 
Sambil membelai rambut hitam harum dan halus itu, hati Nikolai bergetar. Dia tahu, mereka
berdua takkan pernah punya masa depan. Masa depannya sendiri telah mati bersama Ruth.
 
Ruth, hidupku telah kuberikan padamu selama lima belas tahun. 
 
Jika memang dia dapat memetik bintang untuk Leirissa, maka dia akan mati-matian untuk
mendapatkannya.
 
&    &    &
 
Ufuk langit merah membara, seakan ada pertarungan sengit di tengah para dewa. Kereta yang
ditarik empat ekor kuda yang membawa Helios, dewa matahari, belumlah lagi muncul di ujung
cakrawala. Eos, pembuka gerbang surgawi untuk melepaskan kereta Helios juga belum siap
dengan cipratan tinta merah mudanya, melukis langit pagi.
 
Leirissa sudah berdiri di atas gedung tertinggi. Kepalanya tegak lurus ke angkasa, mencari
sesuatu. Malam belum larut benar di gelas raksasa galaksi. Bulan masih berada di pojok
terjauh langit. Bintang-bintang semakin meredup cahayanya, seperti senter yang kehabisan
baterai.
 
Bintang itu yang ingin kupetik.  Leirissa menggenggam tangan Nikolai erat-erat.
 
Nikolai mendekatkan wajahnya kepada wajah yang berada di depannya. Wajah itu terasa
lumer di tangannya. Wajah yang lembut; wajah yang lebih muda daripada usia waktu. Wajah
yang berlumur madu dan decakan manis gulali.
 
Aku mencintaimu sampai rasanya nyaris mati.
 
Leirissa berdiri di depan Nikolai, merekam setiap kerut di sudut bibir, setiap kedipan mata, dan
setiap tarikan napas. Kalimat yang diucapkan oleh Nikola membuat sekujur tubuhnya gemetar
hebat. Dua bulir air mata terlepas sudah dari kungkungannya, bebas mengalir menjadi sungai
kecil, membelah pipi karamelnya. Rambut hitamnya yang tadi pagi dicuci bersih-bersih,
dibubuhkan wewangian bunga dan buah, beterbangan serampangan tertiup angin.
 
Aku mencintaimu sampai napasku habis.
 
Waktu bersetubuh dengan jam. Tiba-tiba telah pukul enam pagi. Langit dilapisi bayang kabut
berwarna perak. Leirissa menggandeng tangan Nikolai, berjalan menuju bibir gedung. Jantung
Nikolai berdentang riuh seperti suara bel pada puncak menara. Mereka berdiri berdekatan,
saling melekat erat. Jauh di bawah telapak kaki mereka, jumlah mobil bertambah.
 
Aku ingin seperti Daedalus, sanggup terbang melarikan diri dari penjara Raja Minos.
 
Leirissa tertawa. Kita adalah Icarus, putra Daedalus yang ingin terbang memetik bintang.
 
Icarus ingin mengambil matahari,  my dear.
 
Oh iya, kamu benar!  Leirissa menutup mulut dengan tangannya. Nikolai tak sanggup melihat
binar kepolosan wajah Leirissa. Dikecupnya kening itu lembut. Mereka berdua saling
berpandangan. Ada cerita di balik mata mereka masing-masing. Deretan kisah yang takkan
pernah siap panggang.
 
Pernahkah kau membayangkan kehidupan macam apa seandainya kau bisa memilih atau
mempunyai kesempatan? Inilah kehidupan yang takkan pernah dilayari oleh kedua pasang
kekasih, Leirissa dan Nikolai.
 
Pernikahan mereka sangat indah. Penuh lautan bunga dan ucapan selamat. Kue tar
menjulang dengan krim gula berlimpah. Gaun pengantin Leirissa adalah gaun yang terhalus,
terlicin, dan teranggun yang pernah dikenakan oleh siapa pun. Mereka berdansa pada
penutupan pernikahan. Pipi mereka bersatu seperti cinta mereka.
 
Pada tahun pertama pernikahan, Leirissa mengandung anak pertama. Bayi gemuk montok
dilahirkan sembilan bulan kemudian, memberkahi pasangan ini. Bayi yang sehat dan tumbuh
cerdas dengan cepat, bagai kelopak bunga kembang sepatu yang mekar pada pagi hari.
Mereka menamainya Hermes.
 
Pada tahun ketiga, Leirissa melahirkan bayi keduanya, bayi perempuan yang manis, bentuk
feminin dari wajah Nikolai. Bayi yang tenang, tak menangis sepanjang malam pada empat
puluh hari pertamanya. Nikolai meminta Leirissa untuk memikirkan nama yang cocok bagi
malaikat kecil mereka. Leirissa memberi nama Devi kepada putri kecilnya. Devi yang diambil
dari Mahadevi, bentuk feminin dari mahadewa.
 
Tahun-tahun berkelebatan, membawa kedua bayi tumbuh besar. Akar mereka kokoh
menghujam ke tanah, sayap mereka terbang bebas meniti angin. Akhirnya waktu
menggendong pasangan kekasih ini pada tahun kelimapuluh lima pernikahan mereka. Pada
pagi yang sama ketika mereka melompat dari gedung, Leirissa dan Nikolai duduk
berdampingan di beranda, menikmati hujan daun-daun berwarna emas dari ujung ranting.
Saling bercakap, membelai, dan menyentuh tubuh keriput dan rambut keperakan mereka.
 
Nikolai menggamit lengan Leirissa. Penggalan kisah pada pendar mata memudar seperti
sumur yang mengering. Mereka bergeser perlahan dengan tumit, menjauhi gedung.
 
Terima kasih karena aku dapat merasakan cinta yang berkilau ini.
 
Terima kasih karena kamu memberiku segenggam usia muda dan kasih sayang yang
berlimpah.
 
Jemari Nikolai mendekat ke arah bibir Leirissa, mengusapnya lembut. Merebut literan
kebahagiaan yang menetes dari sana. Leirissa menutup mata, hatinya berbuncah menjadi
taman mawar. Nikolai mendekatkan wajahnya ke telinga kekasihnya, membisikan seuntai
kalimat.
 
Aku mencintaimu, Leirissa.
 
Aku juga mencintaimu, Nikolai. Hanya dirimu.
 
Dan mereka berdua melompat dari lantai teratas gedung. Mereka berciuman sementara tubuh
mereka melayang ringan di atas langit. Bagai sepasang tissue.
 
Inilah bintang yang kupetik untukmu, matahariku.
 
&    &   &
 
 
 
Cangkir kopi telah selesai bercerita. Tak ada suara lagi yang keluar, hanya terdengar
dengusan lirih. Mungkin cangkir itu sedang menangis, sama seperti aku. Pipiku telah dialiri
puluhan tetes air mata. Sore telah bertekuk lutut kepada malam. Hanya aku yang masih setia
duduk di bangku kedai  kecil ini. Yang lain adalah orang-orang baru yang sedang menikmati
gaya hidup mereka. Gaya hidup yang dikemas dalam cangkir.
 
Calliope, ada seribu cerita yang dapat kubisikkan padamu. Cerita-cerita yang kudengar dari
celoteh orang-orang yang duduk mengelilingi meja bundar ini. Cerita-cerita dari kota antah
berantah, dari negeri berwarna merah jambu, dari ujung langit terhitam pada arah barat daya.
Calliope, esok hari datanglah kemari demi secangkir kopi dan sepotong cerita baru.
 
Aku berdiri perlahan. Kuusap cangkir berwarna biru itu, sebiru langit pagi saat pasangan
kekasih itu bersatu. Malam itu, ketika sinar bulan larut bersama awan malam, aku melangkah
menjauhi kedai  sambil memalingkan wajah di tengah lautan manusia. Tak ada yang boleh
tahu, mataku masih sembab, dan hidungku penuh ingus. Besok, aku akan kembali dan
mendengarkan cerita baru yang akan dikisahkan oleh si cangkir kopi.  Cangkir memang lebih
peka daripada hati. Cangkir memang mampu mendengar daripada telinga.
 

Dipublikasikan di koran Tempo, 3 Desember 2006


Gambar diambil dari http://www.deviantart.com

Anda mungkin juga menyukai