Anda di halaman 1dari 4

http://bennysetianto.blogspot.

com/2006/04/pertanggungjawaban-
negara.html

Pertanggungjawaban Negara

Pendahuluan

Pertanggungjawaban negara merujuk kepada kewajiban negara karena melakukan


pelanggaran terhadap ketentuan dalam hukum internasional dan menyebabkan kerugian
negara lain. .

Kata-Kata Kunci:

Semua sistem hukum di negara-negara dunia mengenal prinsip pertanggungjawaban bagi


subyek hukum yang tidak mematuhi ketentuan yang ada. Daalm kasus Spanish Zones of
Morroco Claim (1925) 2 RIAA 615, ditegaskan bahwa konsep pertanggungjawaban
negara ialah:

“ Responsibility is the necessary corollary of a right. All rights of an international


character involve international liability. If the obligation is not met, responsibility entails
the duty to make raparations”.

Komisi Hukum Internasional (The International Law Commission) dalam draft Pasal-
Pasal untuk Pertanggungjawaban Negara telah merumuskan beberapa hal penting
(sebagaimana tercantum dalam Yearbook of the ILC, 1979, II, hal 90):

a. Perbedaan antara Pertanggungjawaban Kriminal dan Perdata


Dalam hukum internasional, pertanggungjawaban negara untuk kasus-kasus pidana
secara umum lebih tidak jelas dibandingkan dalam kasus-kasus perdata.

Pertanggungjawaban Perdata
Semua pelanggaran terhadap hukum internasional, termasuk diantaranya adalah
pelanggaran kontrak, bisa dianggap baik sebagai delik internasional ataupun perbuatan
melawan hukum internasional. Namun yang harus disadari ada perbedaan antara
kejahatan-kejahatan yang disebut sebagai kejahatan internasional dan tindakan pidana
yang memiliki unsur internasional. Dalam draft Pasal 19 (4) yang dibuat oleh ILC
ditegaskan bahwa “any international wrongful act which is not an international
crime...constitutes an international delict”. Dengan kata lain, setiap tindakan atau
kelalaian yang dilarang oleh hukum internasional merupakan delik internasional
sepanjang tidak disebut sebagai kejahatan internasional.

Pertanggungjawaban Pidana
Pasal 19 (2) dari draft ILC menyebutkan bahwa: “An international wrongful act which
results from the breach by a state of an international obligation so essential for the
protection of fundamental interests of the international community that its breach is
recognized as a crime by that community as a whole...”

Empat kategori kejahatan internasional adalah:


1) Kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan, seperti larangan untuk melakukan
tindakan agresi.
2) Kejahatan yang bertentangan dengan prinsip mendasar seperti hak untuk menentukan
nasib sendiri, seperti ketentuan yang mendorong terjadinya dominasi kolonial
3) Kejahatan serius terhadap kewajiban internasional yang sudah diakui secara mendunia
sebagai langkah minimum untuk melindungi harkat dan martabat manusia seperti
pelarangan terhadap perbudakan, pembantaian masal dan apartheid.
4) Kejahatan serius terhadap perlindungan mendasar bagi pengamanan dan pelestarian
lingkungan hidup seperti larangan untuk mencemari lingkungan secara massal dan
mencemari lautan
Meski demikian sebenarnya, masih banyak kejahatan lain yang bisa dikategorikan
sebagai kejahatan yang bersifat internasional dan belum ditetapkan sebagai kejahatan
internasional membuat suatu negara harus mempertanggungjawabkan tindakannya.
Namun, banyak hal yang masih kontroversial untuk kasus pidana.

b. Imputability
Untuk bisa meminta pertanggungjawaban inetrnasional dari suatu negara terhadap
tindakan atau pembiaran yang dilakukan harus bisa ditunjukkan bahwa kegiatan tersebut
dilakukan oleh lembaga-lembaga negara, badan dan perwakilan yang dapat dikaitkan
dengan negara tersebut. Tindakan/kegiatan tersebut antara lain:
1) Tindakan yang dilakukan oleh eksekutif, legislatif dan yudikatif sebagai pilar utama
pemerintahan (Draft Pasal 6).
2) Segala tindakan yang dilakukan oleh pemerintahan lokal dan dinas-dinas yang ada di
wilayahnya masing-masing (Draft Pasal 5).
3) Segala tindakan yang dilakukan oleh aparat pemerintahan atau agen-agen
pemerintahan lainnya sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya (Draft Pasal 8)

Sebuah tindakan yang sah menurut hukum nasional tetapi bertentangan dengan hukum
internasional tetap bisa membuat negara tersebut dimintai pertanggungjawaban secara
internasional. Lihat kasus Polish Upper Silesia Case (1926) PCIJ Reports, Series A, No 7

1) Negara harus bertanggungjawab terhadap tindakan yang dilakukan aparatnya, serendah


apapun jabatan dari aparat tersebut (Draft Pasal 6) Lihat pula Masey Case (1927) 4 RIAA
15
2) Negara juga bertanggungjawab terhadap tindakan individu atau kelompok yang bisa
membuktikan bahwa tindakannya tersebut dilakukan atas nama negara atau sedang
melakukan kewenangan negara tanpa ada tindakan negara untuk mencegahnya
3) Negara bertanggungjawab terhadap tindakan aparatnya sekalipun tindakan itu adalah
tindakan ultra vires dari kewenangannya. Lihat Youman Claims (1926) 4 RIAA 110
4) Negara tidak harus bertanggungjawab terhadap tindakan perwakilan negara asing
ataupun organisasi internasional yang sedang bertugas di wilayahnya. (Draft Pasal 12 dan
13)
5) Negara tidak bertanggungjawab terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok revolusioner (Draft Pasal 14). Lihat pula Sambaggio Claim (1903)
10 RIAA 499
6) Negara tidak bertanggungjawab terhadap tindakan individu atau kelompok yang
bertindak tidak atas nama negara

c. Dasar Pertanggungjawaban
1) Objective Responsibility
Pertanggungjawaban mutlak dan langsung dilakukan terhadap negara yang melakukan
delik internasional. Dalam hal ini tidak lagi diperlukan adanya bukti dari kesalahan atau
itikad buruk dari aparat atau pelakunya. Lihat Claire Claim (1929) 5 RIAA 516 “ the
doctrine of objective responsibility of the state, that is to say, a responsibility for those
acts committed by its officials or its organs...despite the absence of fault on their part...”
2) Subjective Responsibility
Teori ini menuntut perlunya sebuah kesalahan agar suatu negara dapat dimintai
pertanggungjawaban secara internasional. Lihat Home Missionary Society Claim (1920)
6 RIAA 42

d. Alasan Pemaaf dan Alasan Pembenar


Alasan Pemaaf:
1) tindakan tersebut dilakukan karena ada paksaan dari negara lain
2) tindakan tersebut adalah tindakan balasan yang dapat diterima dalam hukum
internasional
3) ada force majeure

Alasan Pembenar:
1) Tindakan itu dilakukan sebagai satu-satunya tindakan yang mungkin dilakukan untuk
melindungi kepentingan utama negara tersebut dan tidak ada negara lain yang dirugikan
atas tindakan tersebut
2) Tindakan tersebut dilakukan dalam rangka mempertahankan diri

e. Reparations
Setiap pelanggaran yang dilakukan negara terhadap hukum internasional akan
memunculkan suatu kewajiban untuk melakukan perbaikan (reparations). Dalam
Chorzow Factory Case (Indemnity) (Merits) (1928) PCIJ Reports Series A, No 17,
disebutkan bahwa “Reparation should be made through restitution in kind”
Dalam British Petroleum v Libya (1974) 53 ILR 297 disebutkan bahwa “...his sole
remedy is an action for damages...”
Sementara itu dalam Norwegian Shipowners Claim (1922) 1 RIAA 307 disebutkan “Just
Compensation implies a complete restitution of the status quo ante, based not upon future
gains but upon the loss of profits of the Norwegian owners as compares with owners of
similar property”
f. Nationality of Claims (kewarganegaraan penuntut)
Agar suatu negara dapat melakukan tuntutan terhdap negara lain terhadap pelanggaran
ketentuan hukum internasional yang dilanggar, maka harus bisa dibuktikan bahwa
pelanggaran yang dilakukan telah menimbulkan kerugian bagi negara tersebut. Lihat
Panevezys-Saldutiskis Railway Case (1939) PCIJ Reports, Series A/B, No 76.
g. Menentukan kewarganegaraan
Individu
Setiap negara memiliki kebebasan untuk menentukan siapa sajakah yang bisa
mendapatkan kewarganegaraan dari negara tersebut. Dua prinsip utama dalam hal ini
adalah:
Ius Sanguinis: kewarganegaraan berdasarkan keturunan/ garis darah;
Ius Soli: kewarganegaraan yang didasarkan kepada tanah kelahiran; disamping itu masih
dimungkinkan melalui
Naturalisasi: mengajukan diri untuk menjadi warga dari negara tertentu sesuai dengan
ketentuan yang diatur oleh negara tersebut
Namun ada kalanya muncul situasi yang membuat seseorang memiliki dua
kewarganegaraan (dual nationality) atau sebaliknya tidak memiliki kewarganegaraan
(stateless). Dalam Nottebohm Case (1955) ICJ Reports, hal 4, Mahkamah mengatakan
bahwa perlu ditemukan adanya genuine link agar bisa menentukan kewarganegaraan dari
orang-orang yang bermasalah tersebut.

Perusahaan
Dalam Barcelona Traction, Light and Power Co Case (1970) ICJ Reports, hal 3
mengatakan bahwa suatu perusahaan memiliki “status hukum nasional tertentu di bawah
negara di mana perusahaan tersebut didaftarkan”

Kapal Laut
Sesuai dengan The Geneva Convention on the High Seas 1958, Pasal 5, Kapal memiliki
nasionalitasnya sesuai dengan bendera kapal yang terpasang. Hal ini dipertegas dalam
Pasal 91 the UN Convention on the Law of the Sea 1982. Dalam hal ini perlu
ditambahkan pula perlunya genuine link antara kapal tersebut dan negara bendera kapal
jika terjadi keragu-raguan akan status kapal tersebut.

Kapal Udara
Pasal 17 dari the Chicago Convention on International Civil Aviation 1944 ditegaskan
bahwa pesawat udara memiliki nasionalitas dimana pesawat udara tersebut didaftarkan
dan dengan demikian memiliki bendera pesawat.
h. Exhaustion of Local remedies
Dalam upaya untuk menekan jumlah kasus tuntutan internasional, maka sebelum bisa
berperkara di level internasional, ada persyaratan untuk sudah mencoba melakukan
semua cara dalam level nasional masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai