Anda di halaman 1dari 13

PERBANDINGAN KEMAMPUAN PENYELESAIAN

MASALAH MATEMATIKA MAHASISWA PENDIDIKAN JARAK JAUH


DENGAN MAHASISWA PENDIDIKAN TATAP MUKA

Tarhadi (tarhadi@mail.ut.ac.id)
Sugilar (gilar@mail.ut.ac.id)
Sri Lestari Pujiastuti (slpujiastuti@mail.ut.ac.id)
Universitas Terbuka

ABSTRACT

The exploratory study of competency differences in problem solving of mathematics between


students enrolled at distance learning system and face to face learning system was intended
to distinguish students’ different capabilities in solving routine and non-routine problems. In
this study the students of Mathematics Education from Universitas Terbuka (UT) were
chosen as samples for distance learning and students with similar study program from the
Jakarta State University (UNJ) for face to face learning. Calculus problems were delivered
as routine problems, while the simple proofing problems taken from Number Theory,
Geometry, and Real Analysis were delivered as non-routine problems. The results indicate
that in solving the routine problems, there were no significant different achievements
between students of UT and those of UNJ. However, in solving the non-routine problems
there were significant achievements between the two sample groups.

Key words: distance learning system, face to face learning system, non-routine problems,
routine problems,

Henderson & Pingry (1953) menyatakan bahwa suatu masalah terkait dengan suatu tujuan
dan masalah adalah suatu halangan terhadap pencapaian tujuan tersebut. Dengan demikian,
masalah merupakan situasi relatif dari individual. Hal ini sejalan dengan Schoenfeld (1985) yang
menyimpulkan bahwa suatu masalah selalu relatif terhadap kemampuan individual. Sementara itu,
Kantowski (1977) mendefinisikan masalah matematika sebagai situasi yang dihadapi individu untuk
mendapatkan solusi tetapi tidak tersedia akses terhadap langkah untuk mendapatkan solusi tersebut.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah matematika adalah suatu situasi unik dimana
individual menghadapi penghalang untuk mendapatkan suatu solusi. Masalah matematika dapat
berupa masalah rutin dari buku teks atau masalah non-rutin yang sulit dikerjakan, perlu waktu
berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun untuk menyelesaikannya.
Penyelesaian masalah matematika adalah proses kegiatan matematis yang melibatkan
logika, penalaran, dan komunikasi untuk menghasilkan solusi. Menurut Wilson, Fernandez, &
Hadaway (1993), solusi terdiri dari metoda dan jawaban. Metoda adalah alat untuk memperoleh
jawaban, sedangkan jawaban adalah suatu hal yang diminta dalam masalah. Sementara itu, solusi
adalah keseluruhan proses pemecahan masalah, meliputi metoda untuk memperolah jawaban dan
jawaban itu sendiri.Wilson, Hernandez, & Madaway merumuskannya dalam bentuk persamaan
berikut.
Metoda + Jawaban = Solusi
Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Voume 7, Nomor 2, September 2006, 121-133

Sementara itu, Lesh (1981) menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan cara
berpikir, beranalisis, dan bernalar dengan menggunakan pengalaman dan pengetahuan yang terkait
dengan masalah tersebut. Oleh karena itu pemecahan masalah merupakan suatu komponen
pendidikan yang tampaknya mampu mengajarkan nilai-nilai matematika, yaitu fungsional, logis, dan
estetis. Polya (1957) mengajukan teori bahwa pemecahan dalam matematika meliputi empat tahapan
kegiatan, sebagai berikut.
1. Pemahaman masalah; pada tahap ini individu memahami masalah yang berkaitan dengan apa
yang diketahui, apa yang ditanyakan, dan apa persyaratannya.
2. Pembuatan rencana pemecahan masalah; pada tahap ini individu harus memikirkan alat dan
strategi yang cocok untuk penyelesaian masalah tersebut.
3. Pelaksanaan rencana; pada tahap ini individu mengerjakan penyelesaian masalah seperti yang
direncanakan sampai menemukan hasil, setiap langkah diperiksa kebenarannya.
4. Peninjauan ulang solusi yang diperoleh; pada tahap ini individu memeriksa kembali hasil
penyelesaian masalah, memeriksa argumen tiap langkah, jika memungkinkan menurunkan
penyelesaian lain yang berbeda atau menerapkan hasil penyelesaian untuk menyelesaikan
masalah lain.
Menurut Buxkemper & Hartfiel (1995), dalam menyelesaikan masalah matematika
mahasiswa mulai dengan model awal kemudian memanipulasi model untuk model berikutnya yang
lebih baik, sehingga ditemukan model penyelesaian masalah yang sesuai. Terdapat pula
penyelesaian masalah secara heuristik. Menurut Verschaffel, et al. (1999) heuristik ialah pencairan
strategi secara sistematik untuk menganalisis dan mentransformasikan masalah. Sejalan dengan
definisi tersebut, Koichu, Berman, & More (2001) mendeskripsikan langkah heuristik sebagai berikut.
1. Mencari kasus atau pola khusus dalam mencoba menyelesaikan masalah yang lebih mudah dari
masalah yang dihadapi, dengan cara memeriksa kasus atau pola yang serupa.
2. Membuat gambar untuk mendeskripsikan masalah secara visual.
3. Merumuskan masalah yang ekivalen dengan cara mencoba merumuskan masalah ke dalam
masalah yang lebih sederhana.
4. Mencari sesuatu yang lebih mudah ditemukan dengan mencari data tambahan yang mudah
didapat. Masalah matematika dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu masalah rutin
dan masalah non-rutin.
Masalah rutin merupakan pemecahan masalah bersifat prosedural sedangkan masalah non-
rutin selain bersifat prosedural juga memerlukan strategi. Salah satu masalah non-rutin dalam
matematika terdapat pada masalah pembuktian.
Matematikawan terlibat dalam dua kegiatan, yaitu menduga-duga (conjecture) dan
membuktikan (proof). Kegiatan menduga-duga lebih merupakan seni yang meliputi mengamati pola,
melihat hubungan, dan kegiatan mental seperti insight yang berkaitan dengan intuisi. Untuk melihat
posisi pembuktian dalam matematika, terlebih dahulu kita akan melihat struktur teori matematika.
Teori matematika dilandasi oleh asumsi dasar yang disebut aksioma. Setelah aksioma, kemudian
diturunkan teorema. Selanjutnya teorema tersebut pada gilirannya menimbulkan konsep, sifat,dan
hubungan baru. Pembuktian merupakan argumentasi untuk memberikan penalaran mengapa sifat
dan hubungan antara konsep tersebut benar. Secara epistemologi, penalaran merupakan landasan
matematika. Sebagaimana sains mendasarkan verifikasinya pada pengamatan, matematika
menggantungkan pembuktiannya pada logika penarikan kesimpulan. Kaidah penarikan kesimpulan,
digunakan untuk membuktikan suatu teorema dari aksioma, definisi, dan teorema yang sudah
terbukti sebelumnya.

122
Tarhadi, Perbandingan Kemampuan Penyelesaian Masalah Matematika Mahasiswa

Untuk membuktikan suatu pernyataan matematika digunakanlah metode atau teknik


pembuktian berikut.
1. Bukti langsung (direct proof) adalah cara memperlihatkan kebenaran suatu pernyataan yang
diberikan melalui penurunan langsung dari definisi, lemma, dan teorema.
2. Bukti tidak langsung (indirect proof) adalah pembuktian yang dimulai dari skenario hipotetis
kemudian dilanjutkan dengan eliminasi skenario yang mengandung kesalahan untuk
memperoleh kesimpulan yang membenarkan pernyataan yang sedang dibuktikan.
3. Induksi matematika (mathematical induction) adalah metoda pembuktian matematika yang biasa
digunakan untuk membuktikan bahwa suatu pernyataan benar untuk semua bilangan asli.
4. Bukti dengan kontradiksi (reductio ad absurdum) adalah jenis argumentasi logis, yaitu jika
diasumsikan bahwa suatu pernyataan benar maka akan diperoleh suatu pernyataan yang
kontradiktif, dengan demikian disimpulkan bahwa pernyataan yang diasumsikan benar tersebut
adalah salah
5. Bukti konstruktif adalah suatu metoda pembuktian yang mendemonstrasikan keujudan suatu
obyek matematis yang memiliki kriteria tertentu dengan cara mengkonstruksi obyek tersebut.
6. Bukti ekshaustif (exhaustive) atau analisis kasus adalah metode pembuktian matematis dengan
cara memecah pernyataan yang akan dibuktikan menjadi beberapa kasus berhingga kemudian
setiap kasus dibuktikan satu per satu.
Penelitian eksploratif digunakan untuk mengkaji perbedaan tanpa terikat dengan hipotesis
tertentu. Dalam hal ini disadari bahwa hipotesis mengenai perbedaan kemampuan penyelesaian
masalah, terutama dalam gaya penyelesaian masalah, antara mahasiswa pendidikan jarak jauh
dengan mahasiswa pendidikan tatap muka sulit dideduksi, baik melalui teori maupun dari hasil
penelitian karena terbatasnya khasanah ilmiah yang tersedia untuk kasus ini.
Populasi penelitian ini adalah mahasiswa jurusan Pendidikan Matematika Universitas
Terbuka (UT) di Jakarta yang mewakili mahasiswa jarak jauh dan mahasiswa jurusan Pendidikan
Matematika Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang mewakili mahasiswa tatap muka. Mahasiswa
yang menjadi sampel penelitian ini dipilih dari mahasiswa yang sedang mengambil matakuliah
Kalkulus Lanjut. Kepada mereka diberikan tes pemecahan masalah rutin berupa soal Kalkulus dan
tes pemecahan masalah non-rutin berupa pembuktian sederhana dari ilmu Bilangan, Geometri, dan
Analisis Real. Tes pemecahan masalah rutin dilaksanakan pada minggu pertama bulan April 2005.
Mahasiswa UT yang mengikuti tes penyelesaian masalah rutin 11 orang, dan mahasiswa UNJ 12
orang . Sementara itu tes penyelesaian masalah non-rutin dilaksanakan pada minggu terakhir bulan
April 2006. Peserta dari UT berkurang dari 11 menjadi 9 orang, 2 orang mahasiswa tidak datang
mengikuti tes masalah non-rutin, sedangkan peserta dari UNJ bertambah dari 12 orang menjadi 20
orang, 8 orang mahasiswa tidak mengikuti tes masalah rutin yang dilaksanakan tiga minggu
sebelumnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Responden
Mahasiswa UT yang terjaring sebagai sampel adalah sebanyak 11 mahasiswa, 54%
diantaranya adalah mahasiswa perempuan. Mereka adalah mahasiswa yang melakukan registrasi
pada mata kuliah Kalkulus Lanjut di Program Studi Pendidikan Matematika, Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan (FKIP) UT. Domisili mahasiswa semuanya di wilayah Jabotabek. Usia rata-rata ialah
40 tahun dengan usia terendah 22 tahun dan tertinggi 57 tahun. Responden rata-rata telah

123
Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Voume 7, Nomor 2, September 2006, 121-133

menyelesaikan 45 SKS, dengan SKS tertinggi sebanyak 78 dan terendah 39 SKS. IPK rata-rata 2,08
dengan tertinggi 2,65 dan terendah 1,47. Sedangkan untuk mahasiwa UNJ diperoleh sampel
sebanyak 12 mahasiswa Jurusan Pendidikan Matematika dengan 41,7% mahasiswa perempuan.
Usia rata-rata mereka 19 tahun, usia terendah adalah 18 tahun dan tertinggi 25 tahun. Responden
rata-rata telah menyelesaikan 22 SKS dengan SKS tertinggi 36 dan terendah 17. IPK rata-rata 2,74
dengan nilai IPK tertinggi 3,38 dan terendah 1,85. Perbandingan kedua sampel tersebut dinyatakan
dalam Tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan Karakteristik Sampel


Sampel Mahasiswa Karakeristik N Minimum Maksimum Mean Std. Deviasi
UNJ USIA 12 18 25 19.75 1.91
SKS 12 17 36 21.58 4.72
IPK 12 1.85 3.38 2.7427 0.4013

UT USIA 11 22 57 40.18 9.24


SKS 11 39 78 45.82 10.97
IPK 11 1.47 2.65 2.0836 0.3930

Perbedaan Kemampuan dalam Penyelesaian Masalah Rutin


Masalah Matematika rutin ialah masalah yang terkait dengan penyelesaian prosedural.
Dalam masalah rutin, penghalang (blocking) utama adalah mengakses suatu prosedur atau rumus
yang sudah baku untuk kemudian menggunakannya untuk menghasilkan solusi.

Tabel 2 Perbandingan Skor Kemampuan Penyelesaian Masalah Rutin


Mahasiswa N Minimum Maksimum Mean Std. Deviasi
UNJ SKOR 12 233.05 544.97 380.0552 87.2953

UT SKOR 11 211.72 553.14 382.1164 124.6498

Dari Tabel 2 tampak bahwa sampel mahasiswa UT sedikit lebih tinggi dalam kemampuan
menyelesaikan masalah yang bersifat rutin. Meskipun demikian, kemampuan penyelesaian masalah
rutin pada sampel mahasiswa UNJ jauh lebih merata seperti ditunjukkan oleh nilai deviasi baku yang
jauh lebih kecil daripada deviasi baku skor pada sampel mahasiswa UT.

Tabel 3 Uji Perbedaan


Skor
Mann-Whitney U 62.000
Wilcoxon W 140.000
Z -.246
Asymp. Sig. (2-tailed) .806
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .833
a Not corrected for ties.
b Grouping Variable: STAT

Perbedaan skor dalam kemampuan pemecahan masalah rutin antara kedua kelompok
sampel mahasiswa ternyata secara statistik tidak signifikan pada taraf α = 0,05. Ini berarti

124
Tarhadi, Perbandingan Kemampuan Penyelesaian Masalah Matematika Mahasiswa

perbedaan yang terjadi pada kemampuan pemecahan masalah rutin matematika dapat dianggap
tidak ada. Dengan demikian, penghalang dalam proses pemecahan masalah yang berupa akses
terhadap rumus atau prosedur tidak berbeda antara sampel mahasiswa UNJ dengan sampel
mahasiswa UT. Meskipun demikian, kemampuan untuk mengakses rumus atau prosedur tersebut
cenderung merata pada sampel mahasiswa UNJ dibandingkan pada sampel mahasiswa UT. Ini
mengindikasikan bahwa proses pembelajaran tatap muka lebih memberikan pemerataan
penguasaan mahasiswa dalam memecahkan masalah yang bersifat rutin dibandingkan proses
pembelajaran jarak jauh. Hal ini terjadi karena proses pembelajaran pendidikan jarak jauh lebih
banyak menyerahkan kendali pembelajarannya kepada peserta didik.

Perbedaan Kemampuan dalam Penyelesaian Masalah Pembuktian (Non-rutin)


Masalah pembuktian tidak dapat diselesaikan melalui penggunaan rumus atau prosedur
baku tetapi memerlukan kemampuan yang penekanannya lebih pada pemahaman dan strategi.
Dalam penelitian ini, masalah non-rutin diwakili oleh masalah pembuktian matematika.

Tabel 4 Perbandingan Kemampuan Pemecahan Masalah Non-rutin


Institusi N Minimum Maksimum Mean Std. Deviasi
UNJ SKOR 20 3 10 5.75 1.89

UT SKOR 9 2 7 4.00 1.58

Dari Tabel 4 tampak bahwa sampel mahasiswa UT berbeda 1,75 dalam skor kemampuan
pembuktian matematika dibandingkan sampel mahasiswa UNJ. Dalam pemecahan masalah non-
rutin, sampel mahasiswa UNJ mencapai rata-rata skor 5,75 dengan skor minimum 3 dan maksimum
10. Sedangkan, sampel mahasiswa UT hanya mencapai rata-rata skor 4,00 dengan skor minimum 3
dan maksimum 7. Bila kemampuan pemecahan masalah rutin yang cenderung lebih merata pada
sampel mahasiswa UNJ dibandingkan pada sampel mahasiswa UT, pada kemampuan pemecahan
masalah non-rutin kemerataan tersebut justru terjadi pada sampel mahasiswa UT dibandingkan pada
sampel mahasiswa UNJ. Perbedaan tersebut berdasarkan pengujian statistika yang ditampilkan
pada Tabel 5. Dengan taraf signifikansi α = 0,05, perbedaan ini memperlihatkan bahwa
kemampuan pemecahan masalah non-rutin sampel mahasiswa UNJ lebih baik dibandingkan sampel
mahasiswa UT.

Tabel 5 Uji Perbedaan


SKOR
Mann-Whitney U 40.500
Wilcoxon W 76.500
Z -2.053
Asymp. Sig. (2-tailed) .040
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .043
a Not corrected for ties.
b Grouping Variable: KODE

Untuk mengkaji perbedaan secara kualitatif pada kemampuan penyelesaian masalah


pembuktian antara sampel mahasiswa UT dengan UNJ, dilakukan penelaahan terhadap jawaban

125
Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Voume 7, Nomor 2, September 2006, 121-133

sampel mahasiswa. Soal pembuktian terdiri dari tiga kelompok, (1) pengetahuan pembuktian
matematika dan sikap terhadap pembuktian matematika, (2) langkah pembuktian matematika, dan
(3) penelaahan terhadap argumentasi pembuktian matematika. Berikut ini rincian hasil dari ke tiga
kelompok tersebut.
Kelompok pertama: pengetahuan pembuktian matematika dan sikap terhadap pembuktian
matematika. Kelompok ini terdiri dari 3 pertanyaan sebagai berikut.
1. Jelaskan pengertian Anda mengenai yang dimaksud dengan “bukti” dalam matematika!
2. Jelaskan mengenai beberapa teknik pembuktian dalam matematika!
3. Jelaskan penilaian Anda terhadap seberapa penting pembuktian dalam matematika!
Terhadap pertanyaan nomor 1, jawaban sampel mahasiswa UT pada umumnya tidak
bermakna, contoh:
“Bukti dalam matematika merupakan serangkaian uraian tentang pengembangan dari soal-soal
dalam matematika sehingga orang dapat memahami konsep tersebut dengan uraian-uraian yang
jelas dengan pembuktian real”
“Bukti dalam matematika adalah langkah-langkah untuk mengerjakan suatu pendapat supaya orang
lain yakin akan suatu kebenarannya”
“Bukti dalam matematika adalah langkah-langkah untuk meyakinkan suatu pendapat? keyakinan
kepada orang lain mengenai kebenaran dari yang akan dibuktikan sehingga orang lain menjadi yakin
dengan pendapat tersebut”
“Bukti dalam matematika adalah kebenaran akan hitungan dan logika matematika sehingga orang
atau pengguna matematika dapat membuktikan kebenarannya”
Berbeda dengan sampel mahasiswa UT, dalam menjawab pertanyaan yang sama sampel
mahasiswa UNJ memberi jawaban yang lebih singkat dan mudah dipahami, contoh:
“Bukti adalah suatu cara untuk mengetahui kebenaran dari suatu pernyataan”
“Bukti adalah suatu proses/cara untuk mengetahui nilai dari suatu pernyataan (benar, salah)”
“Bukti dalam matematika merupakan suatu analisa terhadap pernyataan yang ditanyakan agar suatu
hipotesa yang dikemukakan shahih adanya”
“Bukti adalah suatu pernyataan yang berisikan cara dan jalan sesuai dengan aturan dalam
matematika sehingga dapat dinyatakan nilai keabsahannya (benar/salah)”
Dari ke dua kelompok jawaban terhadap pertanyaan “pengertian bukti dalam matematika”
dapat disimpulkan bahwa sampel mahasiswa UT menjawabnya berdasarkan intuisi dan pengalaman,
sedangkan sampel mahasiswa UNJ menjawabnya berdasarkan pemahaman logika yang telah
mereka pelajari.
Dalam menjawab pertanyaan nomor 2, sampel mahasiswa UT umumnya menjawab dengan
menggunakan kata kunci deduktif, induktif. Misalnya seperti jawaban berikut ini:
“Teknik pembuktian dalam matematika ada yang dimulai dari umum ke khusus (deduktif), ada yang
dimulai dari khusus ke umum (induktif)”
Induksi : pembuktian dari hal khusus ke umum.
Deduksi: dari umum ke khusus.
Beberapa teknik pembuktian dalam matematika dengan:
• logika matematika
• menggunakan aksioma/dalil
• metode induktif atau deduktif.
Ada pula sampel mahasiswa UT yang disamping menjawab pertanyaan juga menyampaikan
penilaian pribadi terhadap teknik pembuktian, seperti berikut ini:

126
Tarhadi, Perbandingan Kemampuan Penyelesaian Masalah Matematika Mahasiswa

“Teknik pembuktian dalam matematika dapat kita ambil dalam beberapa hukum matematika yang
sudah ditetapkan, itu salah satu cara yang paling aman untuk pembuktian dalam matematika, tapi
secara pribadi bila saya dihadapkan pada soal matematika dan tidak dituntut penjabaran pembuktian,
maka saya akan menggunakan logika untuk mendapatkan hasilnya, tak usah pakai cara buku yang
penting masuk akal menurut saya, dan hasilnya memang benar.”
Sedangkan jawaban sampel mahasiswa UNJ umumnya menggunakan kata kunci “bukti
langsung” dan “bukti tak langsung” selain dari pada itu jawabannya jelas. Misal:
“Teknik pembuktian: Teknik pembuktian langsung. Teknik pembuktian tak langsung.”.
“Bukti langsung dan bukti tak lansung. Bukti bisa dilakukan dari kiri kekanan atau sebaliknya.”
“Teknik pembuktian dalam matematika adalah bukti langsung dan bukti tidak langsung. Dalam bukti
langsung kita membuktikan soal secara langsung, sedangkan dalam bukti tidak langsung kita
memisalkan dulu soal tersebut kemudian ambil kontradiksinya.”
“Teknik pembuktian dalam matematika: Bukti langsung: dalam proses pembuktian dilakukan secara
langsung baik dengan substitusi maupun eliminasi dan sebagainya. Bukti tak langsung: dalam proses
pembuktian dilakukan pemisalan dengan mengingkari hipotesa yang ada.”
Dapat disimpulkan bahwa jawaban terhadap pertanyaan mengenai teknik pembuktian,
sampel mahasiswa UT menjawab secara praktis dan intuitif, sedangkan mahasiswa sampel UNJ
berusaha menjawab dengan menggunakan referensi yang telah dipelajarinya sehingga jawaban
sampel mahasiwa UNJ tampak lebih terstruktur dari pada jawaban sampel mahasiswa UT.
Dalam menjawab pertanyaan nomor 3, sampel mahasiswa UT mengemukakan bahwa
pembuktian dalam matematika itu penting. Misal:
“Berdasarkan penilaian saya, pembuktian dalam matematika sangat penting , sebab bertolak dari sini
setiap pernyataan yang ditemukan oleh ahli matematika harus dapat dibuktikan dan harus dapat
meyakinkan orang sehingga pernyataan yang dikemukakannya itu benar, dan diyakini (benar) oleh
setiap orang.”
“Pembuktian dalam matematika itu penting karena:
• membuat kita berpikir secara logis dan sistematis.
• kebenaran dari suatu hipotesa dapat teruji.”
Sampel mahasiswa UNJ juga berpendapat bahwa pembuktian dalam matematika itu penting.
Misalnya:
“Pembuktian dalam matematika sangatlah penting untuk proses pemahaman kita terhadap hipotesa,
kemudian menilai apakah hipotesa yang ada shahih atau tidak, serta pembuktian juga merupakan
sarana proses berpikir.”
“Sangat penting karena bila suatu teorema sudah dibuktikan kebenarannya maka dapat digunakan
untuk membuktikan teorema yang lain atau dapat digunakan untuk menyelesaikan suatu masalah.”
Jawaban tersebut menunjukkan bahwa antara sampel mahasiswa UT dan UNJ memiliki
alasan yang sama. Mereka sama-sama menjawab berdasarkan intuisi dan pengalaman yang mereka
peroleh selama belajar dan mengajar.
Kelompok ke dua: langkah pembuktian Matematika. Kelompok ini terdiri dari 10 pertanyaan
sebagai berikut.
1. Membuktikan bahwa kuadrat bilangan ganjil adalah ganjil.
2. Membuktikan bahwa hasil perkalian bilangan genap dan ganjil adalah genap.
3. Membuktikan bahwa akar kuadrat dari dua adalah bilangan irasional.
4. Membuktikan bahwa 0,9999…. = 1.
5. Membuktikan bahwa untuk n anggota himpunan {1,2,3} berlaku n! ≥ 2 n-1 .

127
Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Voume 7, Nomor 2, September 2006, 121-133

6. Membuktikan bahwa dua garis yang berbeda bersekutu paling banyak pada satu titik.
7. Membuktikan bahwa untuk setiap himpunan A ada himpunan E demikian sehingga himpunan
gabungan himpunan E dengan himpunan A sama dengan himpunan A.
8. Membuktikan bahwa tidak ada bilangan bulat terbesar.
9. Membuktikan bahwa bilangan real yang habis dibagi sepuluh adalah bilangan bulat genap.
10. Membuktikan bahwa 0 + 1 + 2 + … + n = ½ n ( n+ 1 ).
Dalam menjawab pertanyaan nomor 1 dan 2, sampel mahasiswa UT maupun UNJ
memulainya dengan bilangan yang akan dibuktikan, kemudian dilanjutkan dengan menunjukkan
kebenaran pemisalan tersebut. Sedangkan dalam membuktikan soal nomor 3, sampel mahasiswa
UT dan UNJ memulainya dengan memisalkan suatu bilangan sebagai bilangan rasional, dilanjutkan
dengan menemukan kontradiksi dan menyimpulkannya bahwa bilangan yang dimisalkan tadi bukan
bilangan rasional.
Dengan demikian dalam kasus soal 1, 2, dan 3 pembuktian bilangan bulat dan bukti dengan
kontradiksi, baik sampel mahasiswa UT maupun mahasiswa UNJ mempunyai tingkat penguasaan
yang sama.
Dalam menjawab soal nomor 4, terdapat perbedaan antara sampel mahasiswa UT dan UNJ.
Sampel mahasiswa UT menjawabnya dengan praktis, yaitu bahwa 0,9999…. dibulatkan menjadi 1,
sehingga 0,9999…= 1, sedangkan mahasiswa UNJ membuktikannya dengan langkah yang lebih
elegan, yaitu memisalkan x = 0,9999…., kemudian dikalikan 10 menjadi 10x = 9,9999…. Dilanjutkan
10x – x = 9,9999... – 0,9999... . 9x = 9, akhirnya diperoleh x = 1. Disimpulkan bahwa 0,9999… = 1.
Dalam kasus soal nomor 4 ini sampel mahasiswa UNJ lebih memiliki kemampuan untuk
berpikir logis dan elegan dibandingkan sampel mahasiswa UT. Sedangkan sampel mahasiswa UT,
lebih memiliki kemampuan menggunakan langkah praktis.
Dalam menjawab soal nomor 5, baik sampel mahasiswa UT maupun sampel mahasiswa
UNJ menjawabnya dengan mengganti n dengan masing-masing anggota himpunan dan akhirnya
berkesimpulan bahwa pernyataan tersebut benar. Kasus ini menunjukkan bahwa kemampuan untuk
menyelesaikan masalah secara praktis dimiliki baik oleh sampel mahasiswa UT maupun UNJ, yaitu
kedua kelompok memiliki kemampuan yang sama untuk memecahkan masalah pembuktian kasus
ekshaustif.
Untuk soal nomor 6, sampel mahasiswa UT dan UNJ memiliki jawaban yang berbeda.
Sampel mahasiswa UT menjawabnya langsung dengan menggunakan aksioma sedangkan sampel
mahasiswa UNJ dengan menggunakan kontradiksi. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa UT lebih
banyak terpaku pada pemecahan masalah prosedural sedangkan sample mahasiswa UNJ lebih
memiliki fleksibilitas dalam pemecahan masalah.
Untuk soal nomor 7 terdapat perbedaan jawaban antara sampel mahasiswa UT dan UNJ.
Sampel mahasiswa UT menjawabnya dengan menggunakan contoh sedangkan sampel mahasiswa
UNJ menggunakan diagram Venn dan konsep himpunan. Disini menunjukkan langkah sampel
mahasiswa UNJ lebih maju dari pada mahasiswa UT. Pada kasus ini, baik sampel mahasiswa UT
maupun sampel mahasiswa UNJ belum menunjukkan kemampuan untuk membedakan pembuktian
matematis dari pembuktian sehari-hari. Bukti melalui contoh sama tidak matematisnya dengan bukti
melalui gambar.
Dalam menjawab soal nomor 8, sampel mahasiswa UT menggunakan cara praktis
berdasarkan intuisi dan pengalamannya. Seperti misalnya, bilangan itu tak berhingga sehingga tidak
ada bilangan yang terbesar. Sedangkan sampel mahasiswa UNJ menjawabnya dengan memisalkan
ada bilangan bulat terbesar, kemudian ditunjukkan kontradiksinya. Dalam kasus ini dapat kita

128
Tarhadi, Perbandingan Kemampuan Penyelesaian Masalah Matematika Mahasiswa

simpulkan bahwa langkah sampel mahasiswa UNJ sudah lebih maju dari pada langkah sampel
mahasiswa UT. Tampak bahwa sampel mahasiswa UNJ lebih banyak menguasai teknik pembuktian
dibandingkan sampel mahasiswa UT.
Untuk soal nomor 9, langkah yang dikerjakan sampel mahasiswa UT sama dengan langkah
yang dikerjakan oleh sampel mahasiswa UNJ. Mereka menjawab dengan konsep invers perkalian
yaitu pembagian. Bilangan bulat x dibagi sepuluh, hasilnya bilangan bulat y. Selanjutnya y dikalikan
sepuluh, hasilnya x. Jadi x = 10y = 2(5y). Disimpulkan bahwa x bilangan genap.
Pada jawaban soal nomor 10, antara sampel mahasiswa UT dan UNJ terdapat perbedaan
langkah. Sampel mahasiswa UT menjawabnya dengan mengganti n dengan bilangan 1, 2, 3, …, dan
seterusnya kemudian disimpulkan bahwa rumus tersebut benar. Sedangkan sampel mahasiswa UNJ
menjawabnya dengan langkah yang digunakan pada induksi matematika, yaitu untuk n = 1, rumus
tersebut benar kemudian diandaikan bahwa rumus tersebut benar untuk n = k. Selanjutnya
ditunjukkan bahwa rumus tersebut benar untuk n = k + 1. Akhirnya disimpulkan rumus tersebut benar
untuk seluruh bilangan bulat positif n.
Dengan demikian dalam kasus ini, mahasiswa UT tidak mengetahui teknik-teknik
pembuktian yang tersedia; sebaliknya mahasiswa UNJ lebih mengetahui teknik pembuktian
matematika tersebut.
Kelompok ke tiga, mengenai penelaahan terhadap argumentasi pembuktian Matematika.
Dalam penelaahan ini mahasiswa diminta menunjukkan pernyataan yang salah pada suatu langkah
pembuktian. Kelompok ini terdiri dari tiga argumentasi pembuktian, yaitu:
1. Argumentasi pembuktian bahwa 0 sama dengan 1. Berikut ini langkahnya.
0 = 0 + 0 + 0 + ···
= (1 – 1) + (1 – 1) + (1 – 1) + ··· (hukum assosiatif)
= 1 + 0 + 0 +0 + ···
=1
2. Argumentasi pembuktian bahwa 1 lebih kecil dari 0. Berikut ini langkahnya.
Pandang pertidaksamaan x < 1
Kedua ruas dilogaritmakan, diperoleh ln x < ln 1 = 0
ln x < 0
Kedua ruas dibagi ln x, diperoleh 1 < 0.
3. Argumentasi pembuktian bahwa 1 = − 1.Berikut ini langkahnya.
− 1 = −1 ………….. ..(1)
1 −1
= ………… ..(2)
−1 1
1 −1
= ………... (3)
−1 1
1 −1
= ………… (4)
−1 1
1 1 = − 1 − 1 …….. (5)
1 = −1

Untuk soal nomor 1, tidak ada satupun dari sampel mahasiswa yang mampu menunjukkan
langkah mana yang salah. Sampel mahasiswa langsung saja menunjukkan bahwa 0 = 1 salah.

129
Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Voume 7, Nomor 2, September 2006, 121-133

Langkah yang ditunjukkan oleh sampel mahasiswa UT dan UNJ sama, bahwa 0 = 0, sehingga 0 = 1
adalah salah.
Pada soal nomor 2, jawaban sampel mahasiswa UT maupun UNJ juga sama, bahwa
seharusnya 1 > 0, sehingga 1 < 0 adalah pernyataan yang salah. Disini tampak bahwa ke dua
kelompok sampel belum memiliki pemahaman tentang pembuktian dan kebenaran pernyataan. Ke
dua kelompok sampel tidak dapat membedakan antara yang disebut langkah pembuktian dan
kebenaran pernyataan; padahal, pernyataan dapat saja benar tetapi langkah pembuktiannya bisa
salah. Sebaliknya, pasti ada langkah pembuktian yang salah bila ada pembuktian untuk suatu
pernyataan yang salah. Langkah pembuktian yang salah tersebutlah yang harus ditunjukkan oleh
mahasiswa.
Pada jawaban soal nomor 3, sampel mahasiswa UT mengemukakan alasan bahwa − 1
sebagai bilangan kompleks sedangkan sampel mahasiswa UNJ berargumen bahwa agar semua
langkah perhitungan itu benar maka bilangan yang diakarkan haruslah bilangan positif. Dalam kasus
ini tampak bahwa sampel mahasiswa UNJ lebih banyak mengenal sifat bilangan dari pada sampel
mahasiswa UT.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa dalam menjawab soal pembuktian sampel
mahasiswa UNJ lebih formal dalam menerapkan teori yang telah mereka pelajari sedangkan sampel
mahasiswa UT lebih praktis dalam menggunakan pengalaman sebagai guru matematika serta
menggunakan ketajaman intuisi dan konjektur. Dengan demikian mahasiswa UT mempunyai potensi
untuk mengembangkan daya matematikanya melalui pembelajaran yang tepat.

Perbedaan kegiatan penyelesaian masalah rutin dan non-rutin dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Kegiatan Pemecahan Masalah Rutin dan Non-Rutin


Pemahaman Strategi Pemecahan Pemeriksaan Ulang
Rutin • Definisi • Teorema Menghitung Menghitung balik
• Keterkaitan konsep • Prosedur Mengurutkan
• Pemeriksaan syarat • Rumus Mengukur
Non-rutin • Definisi • Teknik Menerapkan logika Memeriksa kembali
• Keterkaitan konsep Pembuktian syarat
• Pemeriksaan syarat

Penyelesaian masalah rutin meliputi komponen penguasaan dalam hal pemahaman definisi,
keterkaitan konsep, dan pemeriksaan syarat untuk penggunaan teorema, prosedur atau rumus.
Kegiatan selanjutnya dalam pemecahan masalah rutin adalah menghitung, mengurutkan, atau
mengukur. Selanjutnya, penyelesaian masalah rutin memerlukan keterampilan untuk memeriksa
ulang melalui perhitungan untuk mencocokkan dengan masalah dalam soal.
Pemecahan masalah non-rutin meliputi komponen penguasaan dalam hal pemahaman
definisi, keterkaitan konsep, dan pemeriksaan syarat untuk penggunaan suatu teknik pembuktian.
Kegiatan selanjutnya dalam pemecahan masalah non-rutin adalah proses penyimpulan
menggunakan operasi logika. Selanjutnya, pemecahan masalah non-rutin memerlukan keterampilan
untuk memeriksa ulang melalui pemeriksaan persyaratan yang diberikan. Dalam pemecahan
masalah non-rutin, mahasiswa dituntut untuk memiliki kematangan yang lebih daripada yang
diperlukan pada masalah rutin. Kematangan tersebut meliputi kematangan dalam mengenal dan

130
Tarhadi, Perbandingan Kemampuan Penyelesaian Masalah Matematika Mahasiswa

menganalisis permasalahan, penjajagan dan mecoba-coba berbagai cara penyelesaian, memilih


metode dan teknik yang sesuai, serta memeriksa kebenaran hasil yang diperoleh.
Substansi matematika terdiri dari aspek materi dan aspek penalaran. Substansi matematika
dijabarkan dalam definisi, teorema (dalil), lemma (dalil bantu), atau corollary (dalil akibat). Substansi
matematika merupakan pengetahuan yang berjenjang secara hirarki. Mahasiswa hanya dapat
menguasai substansi tertentu bilamana sebelumnya menguasai substansi prasyarat dengan baik.
Hal ini terlihat dari keberhasilan mahasiswa Program Studi Matematika yang berkaitan erat dengan
penguasaan mata kuliah Dasar Matematika. Materi matematika terdiri dari konsep yang merupakan
pernyataan matematika yang bersifat ringkas dan padat. Matematika mempunyai struktur ilmu yang
kokoh; dalam matematika tidak akan pernah terdapat konsep yang saling bertentangan (kontradiksi).
Hal ini terlihat dari keberhasilan mahasiswa Program Studi Matematika FMIPA-UT yang berkaitan
erat dengan penguasaan mata kuliah Dasar Matematika (Sugilar & Isfarudi, 2002).
Matematika adalah penalaran, tidak mungkin seseorang bermatematika atau doing
mathematics tanpa bernalar. Aspek penalaran dalam pembuktian matematika mencakup validasi,
konjektur, deduksi, dan justifikasi. Validasi suatu pernyataan matematika ialah menguji atau
menerapkan keberlakuan pada kasus tertentu. Pada penelitian ini, dari jawaban terhadap soal yang
diujikan, sampel mahasiswa UT memiliki kemampuan untuk validasi dengan baik. Hanya saja belum
memahami bahwa memvalidasi tidak sama dengan membuktikan. Suatu pernyataan dapat saja
benar untuk kasus tertentu tetapi salah dalam kasus lain. Padahal bukti harus mencakup semua
kasus yang menjadi domain pernyataan tersebut.
Membuat konjektur ialah membuat dugaan yang beralasan. Konjektur juga bukan bukti.
Sampel mahasiswa UT juga telah memiliki kemampuan konjektur untuk beberapa kasus. Misalnya,
dari jawaban sampel mahasiswa, banyak sampel mahasiswa menuliskan bahwa 0,99999....
dibulatkan menjadi 1 sehingga 0,9999.. = 1. Hal ini merupakan konjektur bukan bukti.
Deduksi adalah proses bernalar untuk membuktikan atau mencari suatu pernyataan yang
diturunkan atau akibat dari suatu pernyataan yang telah terbukti kebenarannya. Substansi
matematika diperoleh dari deduksi. Dalam sistem matematika, seperangkat aksioma melalui proses
deduksi menurunkan pernyataan matematika yang membentuk substansi bidang matematika
tersebut. Dari jawaban sampel mahasiswa, terlihat bahwa kesulitan sampel mahasiswa dalam
membuktikan terletak pada dua hal, yaitu (1) penguasaan substansi yang tercermin dari kemampuan
menemukan pernyataan-pernyataan yang dapat diturunkan menjadi pernyataan yang hendak
dibuktikan dan (2) melakukan proses penyimpulan dari serangkaian pernyataan yang telah terbukti
kebenarannya menjadi pernyataan yang akan dibuktikan.
Justifikasi adalah proses pembuktian suatu pernyataan. Berbeda dengan deduksi yang
menekankan pada suatu pernyataan matematika yang telah diketahui kebenarannya menjadi suatu
pernyataan lain yang ingin dibuktikan, dalam justifikasi penekanannya justru pada pernyataan yang
akan dibuktikan. Untuk membuktikan suatu pernyataan tersebut, dalam justifikasi, digunakan
berbagai definisi, teorema, atau lemma yang telah terbukti. Kesulitan mahasiswa dalam pembuktian
matematika terjadi karena mahasiswa tidak memiliki banyak perbendaharaan definisi, teorema, dan
lemma yang terkait dengan pernyataan yang hendak dibuktikan. Jika mahasiswa dapat
mengidentifikasi (melalui validasi atau konjektur) definisi, teorema, atau lemma yang terkait, kesulitan
lainnya adalah kemampuan untuk deduksi atau justifikasi untuk membuktikan.
Dari pembahasan disimpulkan bahwa kompetensi pembuktian matematika terdiri dari
kompetensi penguasaan perbendaharan matematika dan kompetensi penalaran. Kompetensi
perbendaraharaan matematika yang meliputi penguasaan terhadap definisi, teorema, atau lemma

131
Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Voume 7, Nomor 2, September 2006, 121-133

yang terkait dengan pernyataan yang dibuktikan. Kompetensi penalaran mencakup validasi,
konjektur, deduksi, dan justifikasi. Kesulitan mahasiswa dalam salah satu atau ke dua kompetensi
tersebut mengakibatkan kesulitan mahasiswa dalam pembuktian.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Masalah matematika rutin ialah masalah yang terkait dengan penyelesaian prosedural.
Dalam masalah rutin, penghalang (blocking) utama adalah mengakses suatu prosedur atau rumus
yang sudah baku untuk kemudian menggunakannya untuk menghasilkan solusi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sampel mahasiswa UT memiliki skor yang tidak berbeda dengan sampel
mahasiswa UNJ dalam kemampuan pemecahan masalah matematika yang bersifat rutin. Sementara
itu, ke dua populasi mahasiswa tersebut berbeda secara nyata untuk kemampuan pemecahan
masalah yang bersifat non-rutin, dalam hal ini diwakili oleh masalah pembuktian matematika.
Dengan demikian mahasiswa pendidikan jarak jauh tidak berbeda dalam kemampuan memecahkan
masalah yang bersifat rutin tetapi memiliki kemampuan yang lebih rendah dalam pemecahan
masalah yang besifat non-rutin.
Perbedaan masalah matematika yang bersifat rutin dengan yang non-rutin adalah pada
komponen strategi pemecahan masalah. Pada masalah rutin strategi blocking terhadap pemecahan
masalah terletak pada prosedur atau rumus yang baku dan perhitungan dan pengurutan untuk
menerapkannya, sedangkan pada masalah matematika yang bersifat non-rutin (dalam hal ini
masalah pembuktian matematika) terletak pada pilihan teknik pembuktian dan penerapan logika.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa pendidikan jarak jauh memiliki kemampuan yang
lebih rendah dalam mengidentifikasi teknik pembuktian yang akan digunakan sebagai strategi
pemecahan masalah.
Pembuktian bukan merupakan materi yang tercantum dalam tubuh pengetahuan matematika
sendiri tetapi merupakan metoda. Pembuktian tidak terletak pada kawasan ontologi matematika
tetapi terletak pada kawasan epistemologi matematika. Pembuktian diajarkan secara implisit pada
pendidikan tatap muka melalui demonstrasi. Mahasiswa dan pengajar dapat berdialog mengenai
langkah pembuktian. Pada pendidikan jarak jauh pengajaran pembuktian matematika perlu lebih
eskplisit karena dialog antar pembelajar dan pengajar bersifat minimal. Oleh karena itu, perlu bahan
ajar khusus yang mengajarkan tentang kompetensi penalaran matematika, khususnya mengenai
pembuktian matematika. Dengan bahan ajar khusus ini, bahan ajar lain yang mengajarkan
kompetensi penguasaan substansi matematika menjadi lebih memiliki kemudahan untuk dipelajari
secara mandiri. Bahan ajar tersebut perlu memuat secara eksplisit langkah pembuktian yang
meliputi: (1) penjajagan situasi masalah, (2) konjektur, (3) pemeriksaan informasi yang tersedia untuk
menyelesaikan masalah, (4) rancangan pembuktian, (5) pembuktian konjektur,dan (6) pemeriksaan
kembali semua argumentasi.

REFERENSI
Buxkemper, A.C. & Hartfiel, D.J. (1995). Problem solving: Discovery stage format, dalam
International Journal of Mathematics Education In Science And Technology, 26 (6),
November-December, hal. 887-893. London: Taylor & Francis.
Henderson, K. B. & Pingry, R. E. (1953). Problem solving in mathematics, dalam H. F. Fehr (Ed.) The
learning of mathematics: Its theory and practice (21st Yearbook of the National Council of
Teachers of Mathematics) (hal. 228-270). Washington, DC: National Council of Teachers of
Mathematics.

132
Tarhadi, Perbandingan Kemampuan Penyelesaian Masalah Matematika Mahasiswa

Kantowski, MG (1977). Processes involved in mathematical problem solving. Journal for Research in
Mathematics Education, 8, hal. 163-180.
http://jwilson.coe.uga.edu/EMT725/PSsyn/PSsyn.html, diakses pada 29 September 2004.
Koichu, B., Berman, A., & Moore, M. (2003). Changing beliefs about students heuristic in problem
solving. http://edu.tecnion.ac.il/course/Math3Point/Heuristic.html, diakses pada 29
September 2004.
Lesh, R. (1981). Applied mathematical problem solving. Educational Studies in Mathematics,12 (2),
hal. 235-265. New York: Springer Publications.
Polya, G. (1957). How to solve it. California: Princenton University Press.
Schoenfeld, A.H. (1985). Mathematical problem solving. Orlando, FL: Academic Press
Sugilar & Isfarudi. (2002). Penguasaan materi dasar dan prestasi belajar matematika dalam
pendidikan jarak jauh. Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, 3 (2), hal. 23-28.
Verschaffel, L., De Corte, E., Lasure, S., Van Vaerenbergh, G., Bogaerts, H., & Ratinckx, E. (1999).
Learning to solve mathematical application problems: A design experiment with fifth graders.
Mathematical Thinking and Learning, 1, hal. 195-229.
Wilson, JW., Fernandez, M.L., & Hadaway, N. (1993) . Mathematical problem solving. Di dalam P.S
Wilson (Ed.). Research Ideas for the Classroom: High School Mathematics, hal. 121-127.
New York: MacMillan.

133

Anda mungkin juga menyukai