Anda di halaman 1dari 3

Tidak Syar’inya Bank Syari’ah

(Sinopsis Tambahan)

Zaim Saidi

1. Untuk membahas masalah perbankan syariah ini maka, kalau diibaratkan persoalan ini
adalah sebuah pohon, kita harus bicara pada tiga tingkat yang berbeda: yaitu Akar,
Batang, dan Ranting/Daun.

• Akar dari persoalan yang harus dijernihkan adalah masalah batasan dan praktek Riba.
• Batang dari persoalah yang harus didudukkan adalah soal posisi uang kertas.
• Ranting/Daun dari persoalan adalah praktek perbankan syariah itu sendiri.

2. Dengan menelaah persoalan ini dari akar, batang, dan rantingnya, kita dapat sampai pada
pengertian yang lengkap. Dan dengan memahami anatomi persoalan secara demikian kita
menyadari bahwa praktek perbankan syariah itu hanyalah soal ranting-ranting dan daun
saja, bukan persoalan pokok yang lebih penting, yakni menjernihkan pengertian Riba dan
Posisi uang kertas.

3. Pembahasan masalah perbankan syariah, sebagai ranting dari persoalan pohon Riba,
juga harus dilakukan dengan kerangka yang sama, dalam hal ini kerangka hukum Islam
(syariat). Dengan kata lain, dalam hal ini kita harus bersikap legalistik, fundamental,
tetapi kontekstual, dengan melihat latar belakang ekonomi politik, tumbuh dan
berkembangnya perbankan syairah itu sendiri. Kita tahu perbankan syariah adalah sebuah
bid’ah yang baru muncul di kalangan umat Islam kurang lebih dalam 70 tahun terakhir,
bersamaan dengan runtuhnya pilar-pilar syariah yang lain. Perbankan syariah lahir dan
berkembang bukan sebagai bagian dari penegakkan pilar syariah, tetapi sebaliknya
sebagai bagian dari peruntuhan pilar syariah, melalui islamisasi kapitalisme (baca:
penghalalan riba), untuk memastikan Islam tidak pernah kembali diamalkan.

Renungkanlah ini: mengapa bankir-bankir yahudi dan kafirin lainnya saat ini paling
banyak mengembangkan dan mengoperasikan bank syairah. Apakah mereka, kaum
yahudi dan kafirin itu – yang nota bene adalah pencipta, pengembang dan pelestari
sistem riba – itu hendak menegakkan syariat Islam? Ataukah mereka hendak memastikan
Umat Islam, satu-satunya umat yang masih menolak riba – untuk terjebak dan tetap
berada dalam sistem riba mereka?

4. Selain legalistik dan kontekstual, memahami perbankan syariah, haruslah diposisikan


berhadapan dalam cermin muamalat. Artinya pengertian konseptual, dan pemraktekanya
dalam realitas sosial, yang kini disebut ekonomi syariat dan produk par excellen-nya,
perbankan syariah, harus dihadapkan dengan konsep dan pemraktekan muamalat itu
sendiri. Ini bisa dimulai, misalnya saja, mempertanyakan pernyataan dalam berbagai
konsep dan praktek perbankan yang diklaim selalu disebut sebagai “SESUAI DENGAN
PRINSIP-PRINSIP SYARIAH”, dan bukan “SESUAI DENGAN SYARIAH”.
Pertanyaannya sangat elementer: kenapa hal itu tidak dilakukan? Mengapa hanya
menyesuaikan diri dengan “prinsip-prinsip”, dan bukan praksisnya? Rasul SAW
mengatakan “Al dinul al muamalat”: Islam adalah perilaku. Islam adalah amal, bukan
pinsip. Salat lima waktu adalah amal dengan prosedur dan tata cara tertentu, bukan
“prinsip salat”; puasa, zakat, haji, pun demikian, adalah perilaku dengan prosedur dan
tata cara tertentu, bukan “prinsip puasa”, “prinsip zakat”, “prinsip haji”, dst.

Seperti halnya dosa atas riba dikenakan adalah ketika riba itu dilakukan, bukan
dikonseptualisasikan di atas kertas. Daging babi adalah haram ketika di makan atau
diperjual-belikan. Ringkasnya Muamalat pun adalah tindakan, dengan prosedur dan tata
cara tertentu, bukan “prinsip muamalat”. Apalagi syariat Islam. Bagaimana kalau saya
tawarkan “prinsip melacur”, “prinsip minum khamr”, “prinsip makan daging babi”?

5. Mengabstraksikan syariat Islam menjadi prinsip-prinsip membuka lebar semua pintu


penyimpangan atas syariat itu sendiri. Contoh sangat gamblang dan baik adalah apa yang
kita lihat dalam islamisasi ekonomi, dus islamisasi perbankan ini: di sana ada ekonomi,
lalu ada ekonomi islam, ada perbankan lalu ada perbankan islam, ada pasar saham ada
pasar sahan islam, ada kartu kredit ada kartu kredit islam, ada rumah sakit ada rumah
sakit islam, ada sekolah ada sekolah islam, begitu seterusnya.
Lalu yang tidak islam mana?

6. Melalui penalaran yang samalah, para pendukung perbankan syariat memposisikan uang
kertas, sebagai “sesuai dengan prinsip alat tukar”, dan mengabaikan realitas substantifnya
sebagai riba. Uang kertas harus dievaluasi substansinya sebagai alat tukar yang dapat
digunakan untuk memenuhi keadilan bertransaksi atau tidak. Secara legalistik kita harus
konsisten agar rukun bertransaksi, yakni keredhaan (antaradin), kesetaraan (mithlan bi
mithlin), dan keserentakan (yadhan bi yadhin), dapat dipenuhi.

7. Buku Tidak Syarinya Bank Syariah (TSBS) ditulis dengan kerangka tersebut di atas.

a. Posisinya adalah legalistik, penulis tidak mengajukan suatu opini di situ, dasar
argumentasinya adalah hukum Islam.
b. Analisisnya historis kontekstual (untuk memperlihatkan realitas riba sebagai
sistem dan uang kertas sebagai alat utamanya, serta perbankan – termasuk
perbankan syariat – sebagai mesin penggeraknya).
c. Tawarannya adalah solutif: kembali kepada muamalat, dengan menuruti praksis
dari umat Islam terdahulu, sebagaimana dijalankan oleh umat Islam di mana pun,
dalam masa kapanpun, pada saat syariat masih dipegang dan dijalankan oleh
umat Islam, termasuk di bumi Nusantara.
d. Pendekatannya adalah realistik, bukan idealistik, apalagi utopis: melalui
pengamalan kembali Lima Pilar Muamalat, yaitu:

i. Penerapan Kembali Dinar, Dirham dan Fulus;


ii. Pengorganisasian Pasar-Pasar Terbuka;
iii. Penggalangan Pedagang dan Perdagangan;
iv. Pengamalam Kembali Produksi Terbuka (Melalui gilda-gilda); serta
v. Penerapan Kembali Konrtak-kontrak Bisnis dan Komersial (qirad, syirkat,
muzara’ah, dsb) secara benar.

8. Dengan kembalinya pilar-pilar muamalat di atas pilar-pilar penting syariat lainnya yang
kini roboh dapat ditegakkan: penarikan zakat secara benar, penerapan ketetapan tentang
diyat dan hudud, penerapan hukuman dan sanksi secara benar, pengamalan kembali
sunnah-sunnah seperti mahar, sedekah akekah, dan sejenisnya, secara benar pula.

9. Secara terperinci untuk selanjutnya silakan membaca buku Tidak Syari’nya Bank Syariah
dengan hati yang jernih dan niat yang bersih, dengan landasan taqwa. Hilangkan rasa
was-was dan khawatir tentang ini dan itu, karena itu adalah bisikan syetan, karena itu
adalah suara nafs kita sendiri, dan bukan suara hati yang menuruti hidayah dari Allah
SWT. Akan segera berakhirnya perbankan syariah ini, yang akan terjadi bersamaan
dengan runtuhnya sistem riba secara keseluruhan yang melingkupinya, akan membuka
pintu-pintu lain kepada yang halal. Sebab Allah SWT sudah menegaskan kepada kita
“Orang yang makan riba tidak akan dapat berdiri tegak lantaran kerasukan syetan” dan
bahwa “Allah menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba.”

10. Sebagai penutup, renungkan pernyataan dari Prof Ahamed Kameel Mydin Meera, penulis
buku Perampokan Bangsa-Bangsa (Mizan, 2010) berikut ini: ”Alih-alih menjadi
penyedia solusi, bank-bank Islam juga bertanggung jawab terhadap masalah sosial-
ekonomi yang terjadi karena sistem keuangan fiat [riba, pen.],” (lihat uraiannya pada
bab 4 Bank-bank Islam dan Sistem Fiat Moneter buku tsb).

Lebih jauh menurut Prof Kameel: perbankan syariah dan perbankan konvensional itu
bukan cuma bersaudara kembar, tetapi adalah kembar siam! Dan pahamilah bahwa
Prof. Kameel menunjukkan semua itu berdasarkan argumentasi akademis bukan
berdasarkan dalil-dalil fikih – lain hanya dengan posisi TSBS yang memang legalistik.
Artinya, bila argumentasi akademis yang tak terbantahkan ini diterima, sungguh
sangat tidak logis bila dalil-dalil yang mengharamkan perbankan konvensional [yang
dipegang dan dianut oleh para pelaku perbankan syariah] tidak dapat digunakan
untuk mengharamkan perbankan syariah.

Wallahualam bi sawab

Anda mungkin juga menyukai