Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PRINSIP DASAR BANK SYARIAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah : Akuntansi Bank Syariah 1


Dosen Pembimbing : Rozi Andrini, M.E

DISUSUN OLEH KELOMPOK 2 :


1. AHMAD HEIRI MADANI (12020511057)
2. FENILONA RAHAYU (12020525644)
3. HARIZ RAMADHAN (12020511108)
4. PUTRI MAHARANI (12020525519)
5. SITI NURHALIMAH (12020525643)
6. TIMBUL HAGABEAN PLN. (12020511163)
KELAS D

JURUSAN EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM
RIAU
2022/2023
KATA PENGANTAR

Bismilahirahmanirahim, Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat tuhan


yang maha esa, Syukur alhamdulillah, merupakan satu kata yang sangat pantas
penulis ucapkan kepada Allah Swt, yang karena bimbingan nya lah maka penulis
bisa menyelesaikan sebuah makalah berjudul "Prinsip Dasar Bank Syariah".
solawat bernada salam, kami sanjung sajikan kepada kepangkuan nabi besar
Muhammad SWT, dengan adanya rasulullah, alhamdulillah sampai saat ini kami
dapat menyusun makalah ini. Yang pertama kami ucapkan terima kasih kepada
dosen kami, yaitu ibu Rozi Andrini, M.E, yang telah membimbing kami dalam
pembuatan makalah.
Serta kami menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan yang
mendasar pada makalah ini. Oleh karna itu kami meminta maaf kepada pembaca
yang sudah membaca makalah ini, dan kami mengundang pembaca untuk
memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu
pengetahuan ini.

Pekanbaru, 12 September 2022

Penulis,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 2

1.3 Tujuan Masalah ...................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 3

2.1 Identifikasi prinsip dasar bank syariah ........................................................ 3

2.2 Larangan terhadap transaksi yang mengandung barang atau jasa yang
diharamkan ........................................................................................................ 7

2.3 larangan terhadap transaksi yang diharamkan system dan prosedur


perolehan keuntungannya .................................................................................. 8

2.4 larangan terhadap transaksi yang tidak sah akadnya ................................. 15

BAB III PENUTUP ........................................................................................... 18

3.1 Kesimpulan ........................................................................................... 18

3.2 Saran ..................................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 20

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Prinsip syariah yang harus diperhatikan dalam pengelolaan suatu bank
syariah mengacu pada prinsip-prinsip hukum muamalah yang disepakati oleh
mayoritas ulama. Relevansi ini adalah sebagai landasan untuk memahami
berbagai transaksi yang dilarang dalam agama Islam terkait dengan aktivitas
ekonomi antar-individu.
Dalam ibadah kaidah hukum yang berlaku adalah bahwa semua hal
dilarang, kecuali adanya ketentuan berdasarkan Al Quran dan Hadis.
Sedangkan dalam urusan muamalah, semua diperbolehkan kecuali ada dalil
yang melarangnya. Ketika suatu transaksi baru ada dan belum dikenal
sebelumnya dalam hukum Islam, maka transaksi tersebut dianggap dapat
diterima, kecuali terdapat implikasi dari dalil Al-Quran dan Hadis yang
melarangnya, baik secara eksplisit maupun implisit. Dengan demikian, dalam
bidang muamalah, semua transaksi dibolehkan kecuali yang diharamkan.
Oleh karna itu, pembaca diharapkan untuk dapat memahami prinsip-
prinsip hukum muamalah pada transaksi yang dilarang karena zatnya,
transaksi-transaksi yang dilarang bukan karena zatnya, serta transaksi yang
dilarang karena ketidakabsahan akad. Tidak hanya itu, diharapkan juga dapat
mengembangkan penalarannya dengan mengevaluasi boleh atau tidaknya
suatu transaksi yang ada di masyarakat dilakukan dalam sudut pandang
syariah. Peraturan dan ketentuan Islam dalam bidang ekonomi tidak
mencakup seluruh kegiatan ekonomi, melainkan Islam hanya mengatur
kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan tata cara perolehan harta (konsep
kepemilikan), tata cara pengelolaan harta mulai dari pemanfaatan (konsumsi)
hingga pengembangan kepemilikan (investasi), dan tata cara pendistribusian
harta di tengah-tengah masyarakat.

1
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat diambil dari malakah ini yaitu
sebagai berikut :
1. Bagaimana mengindetifikasi prinsip dasar bank syariah?
2. Apa saja larangan terhadap transaksi yang mengandung barang atau jasa
yang diharamkan?
3. Apa saja larangan terhadap transaksi yang diharamkan system dan
prosedur perolehan keuntungannya ?
4. Apa saja larangan terhadap transaksi yang tidak sah akadnya?

1.3 Tujuan Masalah


Makalah ini disusun selain untuk memenuhi tugas mata kuliah ekonomi
islam, juga untuk menambah wawasan kita mengenai prinsip dasar bank
syariah itu hukumnya wajib dan dapat direalisasikan dalam kehidupan sehari-
hari. Serta kita dapat mengambil manfaatnya dari makalah ini yaitu:
1. Untuk memahami tentang identifikasi prinsip dasar bank syariah.
2. Untuk mempelajari tentang larangan terhadap transaksi yang mengandung
barang atau jasa yang diharamkan.
3. Untuk mengetahui tentang larangan terhadap transaksi yang diharamkan
system dan prosedur perolehan keuntungannya.
4. Untuk mengetahui tentang larangan terhadap transaksi yang tidak sah
akadnya.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Identifikasi prinsip dasar bank syariah1
Bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan Prinsip-Prinsip
Syariah. Implementasi prinsip syariah inilah yang menjadi pembeda utama
dengan bank konvensional. Pada intinya prinsip syariah tersebut mengacu
kepada syariah Islam yang berpedoman utama kepada Al Quran dan Hadist.
Islam sebagai agama merupakan konsep yang mengatur kehidupan manusia
secara komprehensif dan universal baik dalam hubungan dengan Sang
Pencipta (HabluminAllah) maupun dalam hubungan sesama manusia
(Hablumminannas).
Ada tiga pilar pokok dalam ajaran Islam yaitu :
Aqidah : komponen ajaran Islam yang mengatur tentang keyakinan atas
keberadaan dan kekuasaan Allah sehingga harus menjadi keimanan seorang
muslim manakala melakukan berbagai aktivitas dimuka bumi semata-mata
untuk mendapatkan keridlaan Allah sebagai khalifah yang mendapat amanah
dari Allah.
Syariah : komponen ajaran Islam yang mengatur tentang kehidupan seorang
muslim baik dalam bidang ibadah (habluminAllah) maupun dalam bidang
muamalah (hablumminannas) yang merupakan aktualisasi dari akidah yang
menjadi keyakinannya.
Akhlaq : landasan perilaku dan kepribadian yang akan mencirikan dirinya
sebagai seorang muslim yang taat berdasarkan syariah dan aqidah yang
menjadi pedoman hidupnya sehingga disebut memiliki akhlaqul karimah
sebagaimana hadis nabi yang menyatakan “Tidaklah sekiranya Aku diutus
kecuali untuk menjadikan akhlaqul karimah”
Cukup banyak tuntunan Islam yang mengatur tentang kehidupan
ekonomi umat yang antara lain secara garis besar adalah sebagai berikut:

1
OJk, “Prinsip dan Konsep Dasar Perbankan Syariah”, diakses dari
https://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/tentang-syariah/Pages/Prinsip-dan-Konsep-PB-
Syariah.aspx, pada tanggal 14 September 2022 pukul 12.15 WIB.

3
• Tidak memperkenankan berbagai bentuk kegiatan yang mengandung
unsur spekulasi dan perjudian termasuk didalamnya aktivitas ekonomi
yang diyakini akan mendatangkan kerugian bagi masyarakat. Islam
menempatkan fungsi uang semata-mata sebagai alat tukar dan bukan
sebagai komoditi, sehingga tidak layak untuk diperdagangkan apalagi
mengandung unsur ketidakpastian atau spekulasi (gharar) sehingga yang
ada adalah bukan harga uang apalagi dikaitkan dengan berlalunya waktu
tetapi nilai uang untuk menukar dengan barang.
• Harta harus berputar (diniagakan) sehingga tidak boleh hanya berpusat
pada segelintir orang dan Allah sangat tidak menyukai orang yang
menimbun harta sehingga tidak produktif dan oleh karenanya bagi mereka
yang mempunyai harta yang tidak produktif akan dikenakan zakat yang
lebih besar dibanding jika diproduktifkan. Hal ini juga dilandasi ajaran
yang menyatakan bahwa kedudukan manusia dibumi sebagai khalifah
yang menerima amanah dari Allah sebagai pemilik mutlak segala yang
terkandung didalam bumi dan tugas manusia untuk menjadikannya
sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan manusia.
• Bekerja dan atau mencari nafkah adalah ibadah dan waJib dlakukan
sehingga tidak seorangpun tanpa bekerja – yang berarti siap menghadapi
resiko – dapat memperoleh keuntungan atau manfaat(bandingkan dengan
perolehan bunga bank dari deposito yang bersifat tetap dan hampir tanpa
resiko).
• Dalam berbagai bidang kehidupan termasuk dalam kegiatan ekonomi
harus dilakukan secara transparan dan adil atas dasar suka sama suka tanpa
paksaan dari pihak manapun.
• Adanya kewajiban untuk melakukan pencatatan atas setiap transaksi
khususnya yang tidak bersifat tunai dan adanya saksi yang bisa dipercaya
(simetri dengan profesi akuntansi dan notaris).
• Zakat sebagai instrumen untuk pemenuhan kewajiban penyisihan harta
yang merupakan hak orang lain yang memenuhi syarat untuk menerima,
demikian juga anjuran yang kuat untuk mengeluarkan infaq dan shodaqah

4
sebagai manifestasi dari pentingnya pemerataan kekayaan dan memerangi
kemiskinan.
• Sesungguhnya telah menjadi kesepakatan ulama, ahli fikih dan Islamic
banker dikalangan dunia Islam yang menyatakan bahwa bunga bank
adalah riba dan riba diharamkan.
Dalam operasionalnya, perbankan syariah harus selalu dalam koridor-
koridor prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Keadilan, yakni berbagi keuntungan atas dasar penjualan riil sesuai
kontribusi dan resiko masing-masing pihak
2. Kemitraan, yang berarti posisi nasabah investor (penyimpan dana), dan
pengguna dana, serta lembaga keuangan itu sendiri, sejajar sebagai mitra
usaha yang saling bersinergi untuk memperoleh keuntungan
3. Transparansi, lembaga keuangan Syariah akan memberikan laporan
keuangan secara terbuka dan berkesinambungan agar nasabah investor
dapat mengetahui kondisi dananya
4. Universal, yang artinya tidak membedakan suku, agama, ras, dan golongan
dalam masyarakat sesuai dengan prinsip Islam sebagai rahmatan lil
alamin.
Apabila dibandingkan dengan bank nonsyariah, bank syariah memiliki
perbedaan yang sangat mencolok. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dilihat
dari berbagai hal di bawah ini:2
1. Bank syariah tidak menerapkan sistem bunga, tetapi sistem loss and profit
sharing. Dengan prinsip ini, maka bank syariah tidak menetapkan tingkat
bunga tertentu bagi para penabung dan para debitur. Hal ini merupakan
perbedaan utama antara bank syariah dan bank nonsyariah. Sistem loss
and profit sharing relatif lebih rumit apabila dibandingkan dengan sistem
bunga. Dengan sistem ini, masyarakat nasabah seolah berada dalam
2
Achmat Subekan, “Mengenal Prinsip Dasar Bank Syariah”, diakses dari
https://bppk.kemenkeu.go.id/content/berita/balai-diklat-keuangan-malang-mengenal-
prinsip-dasar--bank-syariah-2019-11-05-6bc7816c/, pada tanggal 14 September 2022
pukul 16.30 WIB.

5
ketidakpastian terhadap keuntungan yang akan diperoleh apabila mereka
menabung di bank syariah. Demikian juga para debitur, tidak
mendapatkan beban bunga dengan nilai nominal yang tetap apabila
mereka mengambil kredit atau pinjaman pada bank syariah.
2. Bank syariah lebih menekankan pada pengembangan sektor riel. Karena
diharamkannya bunga, maka bank syariah mencari strategi lain untuk
menghasilkan keuntungan. Strategi ini dapat berupa pengembangan sektor
riel untuk dibiayainya ataupun jual beli dalam pemenuhan kebutuhan
konsumsi nasabah. Penekanan bank syariah pada investasi sektor riel ini
berdampak sangat positif bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat pada
umumnya. Masyarakat nasabah tidak dididik untuk konsumtif, tetapi lebih
dididik untuk mengembangkan usaha sektor riel yang dijalankannya
3. Bank syariah hanya bersedia membiayai investasi yang halal. Bank syariah
lebih selektif dalam memiliki investasi yang akan dibiayainya. Faktor yang
menjadi ukuran untuk dapat dibiayai oleh bank syariah bukan hanya faktor
keuntungan, tetapi juga faktor kehalalan bidang usaha yang akan dibiayai.
Bidang usaha yang haram, misalnya usaha perjudian dan prostitusi, tidak
akan dapat dibiayai dari bank syariah. Sekalipun bidang usaha tersebut
sangat menguntungkan, bank syariah tetap tidak mau membiayainya. Hal
ini berbeda dengan bank nonsyariah yang tidak memedulikan mengenai
halal-tidaknya bidang usaha yang akan dibiayainya.
4. Bank syariah tidak hanya profit oriented, tetapi juga berorientasi pada
falah, sedangkan bank nonsyariah hanya berorientasi pada keuntungan.
Falah memiliki cakupan yang sangat luas, yakni kebaikan hidup di dunia
dan akhirat. Bahkan, kebaikan hidup tersebut bukan hanya untuk bank
syariah bersangkutan, tetapi juga bagi nasabahnya. Orientasi pada falah ini
pada akhirnya menuntun bank syariah untuk peduli terhadap usaha/bisnis
yang dilaksanakan oleh nasabah sehingga antara keduanya dapat sama-
sama mendapatkan manfaat atau keuntungan.
5. Hubungan antara Bank syariah dan nasabah adalah atas dasar kemitraan
(ta’awun). Dengan hubungan kemitraan ini maka tidak terdapat pihak

6
yang merasa dieksploitasi oleh pihak lain. Pihak nasabah tidak
tereksploitasi karena harus membayar bunga dalam jumlah tertentu seperti
halnya hubungan antara nasabah dengan bank nonsyariah. Bahkan bank
syariah ikut peduli terhadap kinerja dunia usaha/bisnis yang dilaksanakan
oleh nasabah (apalagi jika akad yang disepakati adalah musyarakah dan
mudharabah). Pihak bank syariah juga tidak merasa tereksploitasi oleh
penabung karena harus membayar bunga seperti yang diperjanjikan (misal
dalam deposito). Imbalan yang diberikan kepada penabung adalah sesuai
dengan keuntungan yang dihasilkan pihak bank dalam mengelola dana
nasabah tersebut. Antara nasabah dan bank syariah berada dalam kondisi
saling menolong dan bekerja sama (ta’awun).
6. Seluruh produk dan operasional bank syariah didasarkan pada syariat.
Produk bank syariah harus merupakan produk perbankan yang halal.
Operasional bank syariah pun harus sesuai dengan syariat Islam, misalnya
etika pelayanan dan pakaian yang dikenakan para pegawai bank Islam juga
harus sesuai dengan syariat Islam. Untuk menjaga agar produk dan
operasional bank Islam tetap berada dalam koridor syariat, maka bank
syariah dilengkapi/diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah. Dewan ini
merupakan internal control untuk menjaga kehalalan produk dan
operasional bank syariah. Di samping itu, secara nasional juga terdapat
Dewan Syariah Nasional yang menjadi rujukan bagi dewan syariah pada
bank dalam melakukan pengawasan terhadap bank syariah.

2.2 Larangan terhadap transaksi yang mengandung barang atau jasa yang
diharamkan3
Larangan terhadap transaksi yang mengandung barang atau jasa yang
diharamkan sering dikaitkan dengan prinsip muamalah yang ketiga, yaitu
keharusan menghindar dari kemudaratan. Alquran dan Sunah Nabi
Muhammad SAW, sebagai sumber hukum dalam menentukan keharaman
suatu barang atau jasa, menyatakan secara ekplisit berbagai jenis bahan yang

3
Adiwarman A. Karim, Bank islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Cet IV, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2011), h. 30.

7
dinyatakan haram untuk dimakan, diminum, maupun dipakai oleh seorang
muslim. Diantaranya adalah meminum khamar dan menggunakan bangkai
atau hewan yang dilarang seperti babi, binatang bertaring untuk dimakan atau
dipakai untuk kosmetik. Alquran dan Sunah Nabi SAW juga secara eksplisit
melarang dilakukannya berbagai jenis jasa atau tindakan, antara lain tindakan
prostitusi, mempertontonkan aurat, merusak akidah, menganiaya orang lain,
dan sebagainya. Seiring dengan perkembangan zaman, terdapat cukup banyak
variasi makanan, minuman, dan tindakan yang secara substansi sama dengan
barang dan jasa yang secara eksplisit dilarang Alquran dan Assunah.
Dalam hal ini, mayoritas ulama sepakat utnuk menerapkan hukum yang
sama, yaitu mengharamkan segala sesuatu yang memiliki substansi sama
dengan zat yang diharamkan dalam Alquran dan Sunah Nabi. Seperti dalam
transaksi jual beli minuman keras adalah haram, meskipun akad jual belinya
sah, sebagaimana firman Allah:
Yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khamar, berjudi, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan
keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maidah: 90)
Dengan demikian, apabila terdapat nasabah yang mengajukan
pembiayaan pembelian minuman keras kepada bank dengan menggunakan
akad murabahah, maka walaupun akadnya sah tetapi transaksi ini haram
karena objek transaksinya haram.

2.3 larangan terhadap transaksi yang diharamkan system dan prosedur


perolehan keuntungannya
Selain melarang transaksi yang haram zatnya, agama Islam juga
melarang transaksi yang diharamkan sistem dan prosedur perolehan
keuntungannya. Beberapa hal yang masuk kategori transaksi yang
diharamkan karena sistem dan prosedur perolehan keuntungan tersebut
adalah: 1. Tadlis (ketidaktahuan suatu pihak) 2. Gharar ( ketidaktahuan

8
kedua pihak) 3. Ikhtikar (rekayasa pasar dalam pasokan) 4. Bai’ najasy
(rekayasa pasar dalam permintaan) 5. Maysir (judi), dan 6. Riba.
a) Tadlis (Penipuan)4
Setiap transaksi dalam islam harus didasarkan pada prinsip
kerelaan antara kedua belah pihak. Mereka harus mempunyai
informasi yang sama sehingga tidak ada pihak yang merasa dicurangi
ataupun ditipu karena terdapat kondisi di mana salah satu pihak tidak
mengetahui informasi yang diketahui pihak lain. Dalam bahasa fiqih,
penipuan semacam itu disebut dengan tadlis, dan dapat terjadi dalam
empat hal, yakni dalam kuantitas, kualitas, harga, dan barang.
Pertama, tadlis kuantitas adalah penipuan dalam kuantitas. Contohnya
adalah pedagang yang mengurangi takaran (timbangan) barang yang
dijualnya. Sebagaimana firman Allah dalam kitab Al Quran:
Yang artinya : “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang,
(yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain
mereka memin dipenuhi dan apabila mereka menakar atau
menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (QS. Al
Muthaffifin, 83: 1-3)
Kedua, tadlis kualitas yaitu dalam penipuan dalam kualitas seperti
penjual yang menyembunyikan cacat barang yang ditawarkan. Seperti
penjual buah-buahan dalam keranjang. Penjual meyakinkan pembeli
bahwa buah yang dijualnya dalam keranjang dalam keadaan segar,
akan tetapi setelah pembeli membeli buah tersebut dan membukanya
setelah sampai dirumah, kenyataan yang didapatkan yaitu buah yang
segar hanya pada buah yang tampak dari luar, dan buah yang ada di
dalamnya sudah tidak layak lagi untuk dimakan.
Ketiga, tadlis harga yaitu penipuan dalam harga seperti
memanfaatkan ketidaktahuan pembeli akan harga pasar dengan
menaikkan harga produk di atas harga pasar. Contohnya seorang
tukang becak yang menawarkan jasanya kepada turis asing dengan

4
Ibid., h. 31.

9
menaikkan tarif becaknya 10 kali lipat dari tarif normalnya. Hal ini
dilarang karena turis asing tersebut tidak mengetahui harga pasar yang
berlaku. Terdapat dalil yang membahas tentang tadlis semacam itu
diantaranya, Rasulullah bersabda:
ِ ‫ َفإِ ْن َيتَف ََّر َقا َو َبيَّنَا ب‬،‫ار َما َل ْم َيتَف ََّر َقا‬
َ‫ُورك‬ ِ ‫ان ِبلخِ َي‬ ِ ‫ " ال َب ِي َع‬: ‫ قَا َل‬،‫سلَّ َم‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ ‫ع ِن النَّ ِبي‬
َ
" ‫ت بَ َر َكةُ بَ ْي ِه َما‬
ْ َ‫ َوإِ ْن َكت َ َما َو َكذَبَا ُمحِ ق‬،‫لَ ُه َما فِي بَ ْي ِع ِه َما‬
“Dari Nabi SAW berkata: penjual dan pembeli memiliki khiyar
selama belum berpisah. Jika keduanya berpisah dan berlaku
transparan (menjelaskan barang dan harga apa adanya) maka
diberikan berkah dalam jual beli keduanya. Jika keduanya saling
menyembunyikan (cacat) dan berdusta maka itu menghanguskan
berkah jual belinya.” (HR. Al Bukhari, Muslim, Al-Tirmidzi, Abu
Dawud dan Al-Baihaqi)5
Bentuk tadlis yang terakhir adalah tadlis dalam waktu penyerahan.
Contohnya adalah petani buah yang menjual buah di luar musimnya
padahal si petani mengetahui bahwa dia tidak dapat menyerahkan
buah yang dijanjikan itu pada waktunya.

b) Gharar
Gharar memiliki arti secara bahasa adalah khida’ tipuan, gisy
kecurangan. Menurut Wahbah Zuhaili, Jual beli gharar adalah jual beli
yang menyimpan bahaya, yang merugikan salah satu pihak, sehingga
menghilangkan harta pihak pembeli.6 Dalam tadlis, yang terjadi
adalah pihak satu tidak mengetahui apa yang diketahui pihak lainnya.
sedangkan dalam taghrir, baik pihak satu maupun pihak lainnya sama-
sama tidak memiliki kepastian mengenai sesuatu yang ditransaksikan.
Gharar ini terjadi bila kita memperlakukan tidak diperbolehkan dalam
Islam, sebagaimana Hadis riwayat Jabir r.a., ia berkata:

5
Muhammad Ibn Ismail Abu’ Abdillah Al Bukhari, Al Jami’u Al Musnadu Al Shahihu Al Bukhari,
Juz III, (t.k: Dar Al-Najja@h, 1422H), h. 59.
6
Wahbah Zuhaili, al Fiqhu al Islami wa Adillatuh, Juz V, (Damaskus: Dar al fikr al Muassir,
1997), h. 3398.

10
‫ص ََل‬ َ ‫سلَّ َم‬
َ ‫ع ْن َبي ِْع الثَّ َم ِر َحتَّى َي ْبد َُو‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ِ ‫سو ُل‬
َ ‫هللا‬ ُ ‫َن َهى َر‬
ُ‫ُحه‬
“Rasulullah SAW melarang menjual buah-buahan sebelum matang
(enak dimakan).”7

c) Rekayasa Pasar Dalam Supply (Ikhtikar)


Rekayasa pasar dalam supply terjadi bila seorang produsen atau
penjual mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan
cara mengurangi supply agar harga produk yang dijualnya naik. Hal
ini dalam istilah fiqh disebut ikhtikar. Ikhtikar biasanya dilakukan
dengan menghambat produsen atau penjual lain masuk ke pasar, agar
ia menjadi pemain tunggal (monopoli). Karena itu, iktikar disamakan
dengan monopoli dan penimbunan, padahal tidak selalu seorang
monopolis melakukan ikhtikar seperti BULOG. Ikhtikar terjadi bila
syarat-syarat di bawah ini terpenuhi, yaitu : 1. Mengupayakan adanya
kelangkaan barang dengan cara menimpun stock. 2. Menjual dengan
harga yang lebih tinggi dibandingkan harga sebelum munculnya
kelangkaan.sesuatu yang seharusnya bersifat pasti menjadi tidak pasti.
Jual beli macam ini 3. Mengambil keuntungan yang lebih tinggi
dibandingkan keuntungan sebelum komponen 1 dan 2 dilakukan.8
Hal ini tidak dibenarkan dalam syariat Islam, sesuai dengan hadis
riwayat Ibnu Majjah:

،‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫صلَّى‬
َ ‫هللا‬ َ ‫هللا‬ ِ ‫سو َل‬ُ ‫س ِم ْعتُ َر‬َ : ‫ قَا َل‬،‫ب‬ َّ ‫ع َم َر ب ِْن ْالخ‬
ِ ‫َطا‬ ُ ‫ع ْن‬ َ
ِ ْ ‫ض َر َبهُ هللاُ ِب ْل ُجذَ ِام َو‬
‫اْل ْف ََل ِس‬ َ َ‫علَى ْل ْم ْس ِل ِميْن‬
َ ،‫طعَا َم ُه ْم‬ َ ‫َيقُو ُل َم ِن احْ تَ َك َر‬
“Dari Umar ibnu Khattab, Rasulullah SAW berkata : barang siapa
yang menimbun bahan makanan bagi kaum muslimin, maka Allah

7
Muslim ibn Hajaj Abu Hasan, al-Musnad as-Sahihu al-Muhtashiru, juz III, (Beirut: Dar Ihyau
at-taras, t.t), h. 1167.
8
Adiwarman A. Karim, Op.Cit, h. 34.

11
akan menimpakan penyakit lepra dan kebangkrutan.” (HR. Ibnu
Majjah)9

d) Al Ba’i Al Najasyi10
Al ba’i al najasyi yaitu sebuah permintaan palsu, hal ini
diharamkan diharamkan karena penjual melakukan praktik bisnis
dengan cara memuji-muji kualitas dan kuantitas barang-barangnya.
Seolah orang tersebut yang nantinya akan membeli barangnya dengan
harga tinggi. Akibatnya, orang lain yang melihat akan terpengaruh dan
tertipu dengan harga tersebut. Padahal, orang yang memuji dan
membeli barang itu tak lain adalah temannya sendiri. Si penjual hanya
ingin menipu orang lain agar membeli barangnya dengan harga yang
ia inginkan. Hal ini terjadi misalnya, dalam bursa saham, bursa valas,
dann lain-lain. Cara yang ditempuh bias bermacam-macam, mulai dari
menyebarkan isu, melakukan order pembelian, sampai benar-benar
melakukan pembelian pancingan agar tercipta sentiment pasar untuk
ramai-ramai membeli saham (mata uang) tertentu. Bila harga sudah
naik sampai level yang diinginkan, maka yang bersangkutan akan
melakukan aksi ambil untung dengan melepas kembali saham yang
sudah dibeli, sehingga ia akan mendapatkan untung besar. Praktik al
ba’i al najasyi ini dilarang dalam Islam katrena akan melahirkan
permintaan palsu (false demand).

e) Maysir (Perjudian)
Secara sederhana, yang dimaksud dengan maysir atau perjudian
adalah permainan yang menempatkan salah satu pihak harus
menanggung beban pihak yang lain akibat permainan tersebut. Setiap
permainan atau pertandingan harus menghindari kondisi yang

9
Ibnu Majjah Abu, Abdillah Muhammad, Sunan Ibnu Majjah, juz II, (t.k: Dar al- Ikhyaul Kitabi al
Arabi, t.t), h. 729.
10
Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, cet I, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003), h. 127.

12
menempatkan salah satu atau beberapa pemain harus menanggung
beban pemain yang lain. Contohnya, dalam pertandingan sepak bola,
dana partisipasi yang dimintakan dari dana para peserta tidak boleh
dialokasikan untuk pembelian trophy atau bonus para juara. Allah
telah memberi penegasan terhadap keharaman melakukan aktivitas
ekonomi yang mengandung unsure maysir (perjudian). Allah SWT
berfirman:
Yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
meminum khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib
dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.” (QS. Al Maidah, 5:90)
Untuk menghindari terjadinya maysir dalam sebuah pertandingan
misalnya, pembelian hadiah untuk para juara bukan berasal dari dana
yang merasa partisipasi para pemain, melainkan dari para
sponshorship yang tidak ikut bertanding. Dengan demikian, tidak ada
pihak yang merasa dirugikan atas kemenangan pihak yang lain.

f) Riba
Menurut pengertian bahasa berarti az-Ziyadah yang berarti
tambahan. Yang dimaksudkan di sini ialah tambahan atas modal
dengan cara batil, baik penambahan itu sedikit ataupun banyak. Riba
adalah salah satu yang termasuk dosa besar.11 Dan secara jelas Allah
SWT telah mengharamkan riba, firmannya dalam Al Quran:
Yang artinya : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak
dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
setan lantaran ang(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikianitu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah

11
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Kamaludin A Marzuki, al-Fiqhu as-Sunnatu, Jilid 12,
(Bandung: Pustaka, 1997), h. 117.

13
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti
(dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya
dahulu 9sebelum dating larangan) dan urusannya (terserah) kepada
Allah. Orang yang mengulangi, maka orang itu adalah penghuni-
penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Al Baqarah, 2: 275)
Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua.
Masingmasing adalah riba utang piutang dan riba jual beli. Kelompok
pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Adapun
kelompok kedua riba jual beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba
nasi’ah, adapun penjelasannya:12
1. Riba Qardh, yaitu meminjamkan sesuatu dengan syarat ada
keuntungan, atau tambahan bagi orang yang meminjami atau
mempiutangi.
2. Riba Jahiliyyah, yaitu hutang dibayar lebih dari pokoknya karena si
peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang
ditetapkan.
3. Riba Fadhl, yaitu riba yang ditimbulkan akibat pertukaran barang
yang sejenis, tetapi tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya, sama
kuantitasnya, dan sama waktu penyerahan barangnya. Pertukaran
seperti itu mengandung unsure ketidakjelasan nilai barang pada
masing-masing pihak.
4. Riba Nasi’ah, yaitu riba yang ditimbulkan akibat tukar menukar
barang yang sejenis maupun tidak sejenis yang pembayarannya
disyaratkan lebih dengan diakhiri atau dilambatkan oleh yang
meminjam.
g) Risywah13
Risywah adalah perbuatan yang memberi sesuatu kepada pihak lain
untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya atau disebut juga
12
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Cet I, (Jakarta: Gema Insani,
2001), h. 41.
13
Adiwarman A. Karim, Op.Cit, h. 45.

14
dengan suap-menyuap. Suatu perbuatan akan dapat dikatan sebagai
perbuatan risywah jika dilakukan kedua belah pihak secara suka rela.
Jika hanya salah satu pihak yang meminta suap dan pihak yang lain
tidak rela atau dalam keadaan terpaksa atau hanya untuk memperoleh
haknya, hal tersebut tidak termasuk kategori risywah, melainkan
tindakan pemerasan. Allah SWT telah menyinggung praktik suap-
menyuap pada sejumlah ayat Al Quran. Di antaranya adalah:
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang
lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu
membawa urusan harata itu kepada hakim supaya kamu dapat
memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan jalan
berbuat dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah, 2:188)
Rasulullah SAW pun telah member peringatan secara tegas untuk
menjahui praktik risywah (suap-menyuap). Rasulullah SAW bersabda:

َ ‫الم ْرتَ ِش‬


‫ي‬ ِ ‫ي َو‬ َّ ‫سلَّ َم‬
َ ‫الرا ِش‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫صلَّى‬
َ ‫هللا‬ ُ ‫لَ َعنَ َر‬
ِ ‫سو ُل‬
َ ‫هللا‬
“Rasulullah SAW melaknat pemberi dan penerima suap.” (HR.
AlTirmizi)14
Para fuqaha lebih jauh menyatakan bahwa pemberi suap dan
penerima suap sama-sama bias diperkarakan ke pengadilan jika
keduanya terbukti memiliki tujuan dan keinginan yang sama.

2.4 larangan terhadap transaksi yang tidak sah akadnya15


Suatu transaksi, kendati telah menggunakan barang atau jasa yang halal
dan diperoleh dengan mekanisme pemerolehan keuntungan yang dibolehkan
agama, juga harus memenuhi syarat keabsahan suatu akad. Akad secara
bahasa berarti ikatan. Adapun akad menurut istilah adalah keterikatan
keinginan diri dengan keinginan orang lain dengan cara yang memunculkan
adanya komitmen tertentu yang disyariatkan. Hukum fiqih menyatakan

14
Muslim ibn Hajaj Abu H}asan, al-Musnad as-Sahihu al-Muhtashiru, juz III, (Beirut, Dar Ihyau at-
taras, t.t), h. 1167.
15
Adiwarman A. Karim, Op.Cit, h. 45-49.

15
bahwa akad yang sah harus dipenuhi, sedang akad yang tidak sah tidak boleh
dipenuhi. Q.S Al-maidah (5) : 2
Yang artinya : “ Hai orang yang beriman penuhilah akad-akad itu ...”
Faktor ini merupakan transaksi yang tidak masuk dalam kategori haram
lidzatihi maupun haram lighairihi, belum tentu transaksi ini menjadi halal.
Masih ada kemungkinan transaksi tersebut menjadi haram bila akad atas
transaksi itu tidak sah atau tidak lengkap. Suatu transaksi dapat dikatakan
tidak sah atau tidak lenkap akadnya, bila terjadi salah satu (atau lebih) factor-
faktor berikut ini:
a) Rukun dan syarat tidak terpenuhi.16
Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dalam suatu transaksi. Pada
umumnya, rukun dalam bidang ekonomi yaitu: pelaku, objek, dan ijab qabul.
Selain rukun, faktor yang harus ada untuk menjadikan akad menjadi sah
(lengkap) adalah syarat. Syarat adalah sesuatu yang keberadaannya
melengkapi rukun. Contohnya adalah bahwa pelaku transaksi haruslah orang
yang cukup hukum. Bila rukun sudah terpenuhi tetapi syarat tidak dipenuhi,
rukun menjadi tidak lengkap sehingga transaksi tersebut menjadi fasid
(rusak).
b) Terjadi Ta’alluq
Ta’alluq terjadi jika dihadapkan pada dua akad yang saling dikaitkan ,
maka berlakunya akad 1 tergantung pada akad 2. Contohnya, A menjual
barang X seharga Rp. 5.000.000 secara cicilan kepada B, dengan syarat B
harus kembali menjual barang tersebut kepada A secara tunai seharga Rp.
4.000.000. transaksi tersebut haram, karena ada persyaratan bahwa penjual
bersedia menjual barang X ke pembeli asalkan pembeli kembali penjual
kembali menjual barang tersebut kepada pembeli.
c) Terjadi Two in One
Two in One adalah kondisi di mana suatu transaksi diwadahi oleh kedua
akad sekaligus, sehingga terjadi ketidakpastian (gharar) mengenai akad mana
yang harus digunakan. Transaksi dua akad untuk satu transaksi tidak

16
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalah, Cet III, (Jakarta: AMZAH, 2010), h. 47.

16
dibenarkan. Hal ini disebabkan karena dapat menimbulkan ketidakpastian
terhadap konsekuensi dari akad, misalnya saat transaksi sewa modal (capital
lease), yang merupakan transaksi antara dua pihak untuk menyewakan
sesuatu barang, terjadi pula transfer kepemilikan barang. Dalam transaksi ini
mengandung ketidakjelasan akad mana yang didahulukan, apakah akad sewa
atau akad jual beli.

17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka
penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan Prinsip-
Prinsip Syariah. Implementasi prinsip syariah inilah yang menjadi
pembeda utama dengan bank konvensional. Pada intinya prinsip
syariah tersebut mengacu kepada syariah Islam yang berpedoman
utama kepada Al Quran dan Hadist. Islam sebagai agama merupakan
konsep yang mengatur kehidupan manusia secara komprehensif dan
universal baik dalam hubungan dengan Sang Pencipta
(HabluminAllah) maupun dalam hubungan sesama manusia
(Hablumminannas). Ada tiga pilar dari ajaran islam yaitu : aqidah,
akhlak dan syariah.
2. Larangan terhadap transaksi yang mengandung barang atau jasa yang
diharamkan sering dikaitkan dengan prinsip muamalah yang ketiga,
yaitu keharusan menghindar dari kemudaratan. Alquran dan Sunah
Nabi Muhammad SAW, sebagai sumber hukum dalam menentukan
keharaman suatu barang atau jasa, menyatakan secara ekplisit berbagai
jenis bahan yang dinyatakan haram untuk dimakan, diminum, maupun
dipakai oleh seorang muslim.
3. Selain melarang transaksi yang haram zatnya, agama Islam juga
melarang transaksi yang diharamkan sistem dan prosedur perolehan
keuntungannya. Beberapa hal yang masuk kategori transaksi yang
diharamkan karena sistem dan prosedur perolehan keuntungan tersebut
adalah: 1. Tadlis (ketidaktahuan suatu pihak) 2. Gharar (
ketidaktahuan kedua pihak) 3. Ikhtikar (rekayasa pasar dalam pasokan)
4. Bai’ najasy (rekayasa pasar dalam permintaan) 5. Maysir (judi), dan
6. Riba.

18
4. Faktor ini merupakan transaksi yang tidak masuk dalam kategori
haram lidzatihi maupun haram lighairihi, belum tentu transaksi ini
menjadi halal. Masih ada kemungkinan transaksi tersebut menjadi
haram bila akad atas transaksi itu tidak sah atau tidak lengkap. Suatu
transaksi dapat dikatakan tidak sah atau tidak lenkap akadnya, bila
terjadi salah satu (atau lebih) factor-faktor berikut ini: Rukun dan
syarat tidak terpenuhi, terjadi ta’alluq, dan terjadi two in one.

3.2 Saran
Dalam makalah ini mengandung banyak kekurangan baik dalam segi isi
maupun sistimatika. Oleh karena itu, saya ucapkan sangat berterima kasih
apabila ada kritikan dan saran yang bersifat positf. Semoga dengan makalah
ini dapat menambah pengetahuan tentang prinsip dasar bank syariah.

19
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Karim, Adiwarman. 2011. Bank islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Cet IV.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Muhammad Azzam, Abdul Aziz. 2010. Fiqh Muamalah, Cet III. Jakarta:
AMZAH.
Sabiq, Sayyid. 1997. Fikih Sunnah, Kamaludin A Marzuki, al-Fiqhu as-
Sunnatu, Jilid 12. Bandung: Pustaka.
Zuhaili, Wahbah. 1997. Al Fiqhu al Islami wa Adillatuh, Juz V. Damaskus:
Dar al fikr al Muassir.
Abu Hasan, Muslim ibn Hajaj. al-Musnad as-Sahihu al-Muhtashiru, juz III.
Beirut: Dar Ihyau at-taras.
Ibnu Majjah Abu dan Abdillah Muhammad. Sunan Ibnu Majjah, juz II. t.k: Dar
al- Ikhyaul Kitabi al Arabi.
Hasan, Ali. 2003. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, cet I. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Cet I.
Jakarta: Gema Insani.
B. Website
Ojk. “Prinsip dan Konsep Dasar Perbankan Syariah”, diakses dari
https://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/tentang-syariah/Pages/Prinsip-dan-
Konsep-PB-Syariah.aspx, pada tanggal 14 September 2022 pukul 12.15
WIB.
Subekan, Achmat. “Mengenal Prinsip Dasar Bank Syariah”, diakses dari
https://bppk.kemenkeu.go.id/content/berita/balai-diklat-keuangan-malang-
mengenal-prinsip-dasar--bank-syariah-2019-11-05-6bc7816c/, pada
tanggal 14 September 2022 pukul 16.30 WIB.

Anda mungkin juga menyukai