Anda di halaman 1dari 47

Pers Lakukan Pelanggaran Kode Etik

JAKARTA, KOMPAS.com - Media diingatkan untuk tetap mengedepankan kode etik


dalam melakukan peliputan dan pemberitaan mengenai kasus video porno yang diduga
melibatkan sejumlah artis. Dewan Pers menilai, belakangan media seperti terjebak dalam
pusaran kepentingan ekonomi dalam melakukan kegiatan jurnalistiknya.
<a href='http://ads3.kompasads.com/new/www/delivery/ck.php?
n=a3126491&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE' target='_blank'><img
src='http://ads3.kompasads.com/new/www/delivery/avw.php?
zoneid=951&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE&amp;n=a3126491' border='0'
alt='' /></a>
"Pers harus tetap berpegang pada kode etik jurnalistik dalam segala situasi dan semua kasus,
termasuk pemberitaan kasus video cabul. Pemberitaan dan peliputan mutlak dilakukan
dengan menghormati hak privasi narasumber," kata Ketua Dewan Pers Bagir Manan dalam
konferensi pers di Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Jumat (25/6/2010).
Menurut Bagir Manan, insan media seharusnya tidak terpengaruh tekanan kepentingan
ekonomi dibalik pemberitaan suatu kasus. Mulai dari jajaran pemimpin redaksi hingga awak
media di lapangan, tetap harus mengedepankan etika jurnalistik.
Hal ini, menurut Bagir tidak terlepas dari kebebasan pers yang dimiliki media. Kebebasan
pers harus tetap dijaga dengan sikap bertanggung jawab. Dia mengatakan, perilaku dalam
peliputan dan pemberitaan yang tidak berpegang pada kode etik bisa membawa masalah bagi
insan media ke depannya.
Dalam kasus video cabul, kata Bagir Manan, awak media di lapangan seharusnya tetap
menghormati hak-hak narasumber. "Semua pihak boleh berharap ketiga artis itu bicara, tapi
semua pihak tidak punya hak untuk memaksa mereka bicara atau mengakui sesuatu yang
bersifat privat," tegas Bagir.

media seperti melupakan ekses negatif dari pemberitaan video cabul tersebut bagi para
pengakses media.

Dia mengingatkan, jika awak media tetap bersikap memaksa narasumber tanpa memerhatikan
kode etik, maka hal tersebut justru bisa membuat media terkena perkara hukum. "Karena itu
bisa jadi dasar pers diperkarakan. Kemerdekaan pers adalah hal prinsipil, maka harus disertai
tanggung jawab," paparnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers
Agus Sudibyo menyoroti banyaknya pelanggaran etika jurnalistik oleh awak media terkait
kasus video cabul.
Menurutnya, media seperti melupakan ekses negatif dari pemberitaan video cabul tersebut
bagi para pengakses media. Sementara sikap awak media di lapangan, kata Agus, banyak
tidak mengindahkan kode etik.
"Beberapa media massa bertindak terlalu jauh. Bahkan sampai terjadi insiden seorang
kameramen melaporkan Ariel. Di situ sebenarnya telah terjadi pelanggaran kode etik dengan
memegang bagian tubuh narasumber dan menghalanginya. Memang bisa jadi tidak sengaja,
tapi hendaknya jurnalis Indonesia profesional dan imparsial," tegasnya.
Lebih lanjut, Agus mengatakan, semua insan media harus menempatkan ruang media sebagai
ruang publik sosial untuk mendiskusikan hal-hal yang benar-benar penting dan relevan
dengan kepentingan publik. "Harus dihindarkan perdebatan yang terlalu jauh memasuki ranah
privat atau domain pribadi seseorang tanpa memperhatikan relevansi untuk kepentingan
publik," tandasnya.
Contoh Pelanggaran Terhadap Kode Etik Jurnalistik
Maria Goretti – 07120110002
Jurnalistik UMN

Bab 1
Abstraksi

Pada awal kemunculannya, media berfungsi mulia, yaitu sebagai alat untuk
menyebarkan nilai-nilai keagamaan yang menjadi landasan moral hidup
bermasyarakat hingga sekarang. Seiring perkembangan zaman, fungsi lain
ditemukan, yaitu sebagai alat untuk menyebarkan informasi. Waktu berlalu dan
penyebaran informasi yang tadinya hanya satu arah berkembang menjadi dua
arah, konsumen media dapat memberikan feedback. Media lalu tumbuh menjadi
industri. Kini, ukuran kesuksesan sebuah media dalam industri adalah kuota
iklan, rating dan share.
Pada masa inilah, muncul penyimpangan dalam dunia media, dunia jurnalistik.
Untuk memperoleh kuota iklan, rating, dan share yang baik, media seringkali
melakukan hal yang berlebihan. Hal tersebut bertujuan untuk menarik minat
pengiklan dan konsumen media. Sebagai upaya mencegah terjadinya
penyimpangan dalam dunia jurnalistik, dibentuklah sebuah Kode Etik Jurnalistik
(KEJ).
Dalam karya tulis ini, penulis akan menganalisis beberapa kasus yang terjadi
dalam dunia pers nasional. Kasus tersebut melibatkan para jurnalis dan
perbuatannya yang emlanggar Kode Etik Jurnalistik serta merugikan konsumen
media.

Bab 2
Landasan Teori

Kode Etik Jurnalistik yang berlaku di Indonesia disusun oleh para jurnalis yang
bernaung di bawah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers, pada
tahun 2006. Pada bab ini, penulis akan mencantumkan beberapa pasal dalam
Kode Etik Jurnalistik yang berkaitan dengan analisis kasus pada bab berikutnya.

Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia


yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk
memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki
dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan
kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan
bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma
agama.

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati


hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk
dikontrol oleh masyarakat.

Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk


memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan
moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga
kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar
itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:

Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat,
berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Penafsiran
a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara
hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain
termasuk pemilik perusahaan pers.
b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa
terjadi.
c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata
untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan
tugas jurnalistik.

Penafsiran
Cara-cara yang profesional adalah:
a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
b. menghormati hak privasi;
c. tidak menyuap;
d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara
dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara
berimbang;
f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar,
foto, suara;
g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain
sebagai karya sendiri;
h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita
investigasi bagi kepentingan publik.

Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang,
tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas
praduga tak bersalah.

Penafsiran
a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran
informasi itu.
b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada
masing-masing pihak secara proporsional.
c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda
dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan
atas fakta.
d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Penafsiran
a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan
sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat
buruk.
c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar,
suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan
waktu pengambilan gambar dan suara..

Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers.
Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh
organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.

Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006

Bab 3
Analisis Kasus

Pada bab ini, penulis akan menjabarkan beberapa pelanggaran terhadap Kode
Etik Jurnalistik yang dilakukan oleh jurnalis di Indonesia.

1. Pemberitaan kasus Antasari yang melibatkan wanita bernama Rani oleh TV


One

Menurut Penasehat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Tribuana Said,


Selasa, saat diskusi Bedah Kasus Kode Etik Jurnalistik di Gedung Dewan Pers,
indikasi pelanggaran tersebut dapat dilihat dari pemberitaan yang kurang
berimbang karena hanya menggunakan pernyataan dari pihak kepolisian saja.
Selain itu, Tribuana menambahkan, narasumber yang dipakai hanya narasumber
sekunder saja, misalnya keluarga Rani dan tetangga Rani, bukan dari
narasumber utama.

Pasal yang dilanggar oleh divisi berita TV One dalam menyiarkan pemberitaan
Antasari – Rani adalah Pasal 3: Wartawan Indonesia selalu menguji informasi,
memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang
menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Dalam kasus di atas,
wartawan TV One hanya menggunakan pernyataan dari pihak kepolisian, tidak
menggunakan data dari narasumber utama yaitu Antasari atau Rani.

2. Kasus wawancara fiktif terjadi di Surabaya. Seorang wartawan harian di


Surabaya menurunkan berita hasil wawancaranya dengan seorang isteri Nurdin
M Top. Untuk meyakinkan kepada publiknya, sang wartawan sampai
mendeskripsikan bagaimana wawancara itu terjadi. Karena berasal dari sumber
yang katanya terpercaya, hasil wawancara tersebut tentu saja menjadi perhatian
masyarakat luas. Tetapi, belakangan terungkap, ternyata wawancara tersebut
palsu alias fiktif karena tidak pernah dilakukan sama sekali. Isteri Nurdin M Top
kala itu sedang sakit tenggorokkan sehingga untuk berbicara saja sulit, apalagi
memberikan keterangan panjang lebar seperti laporan wawancara tersebut.
Wartawan dari harian ini memang tidak pernah bersua dengan isteri orang yang
disangka teroris itu dan tidak pernah ada wawancara sama sekali.

Wartawan dalam kasus di atas melanggar Kode Etik Jurnalistik Pasal 2 dan Pasal
4. Pasal 2 bernunyi: Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional
dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Pasal 4 berbunyi: Wartawan Indonesia
tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Wartawan tersebut tidak
menggunakan cara yang professional dalam menjalankan tugasnya. Ia tidak
menyebarkan berita yang faktual dan tidak menggunakan narasumber yang
jelas, bahkan narasumber yang digunakan dalah narasumber fiktif. Wawancara
dan berita yang dipublikasikannya merupakan kebohongan. Tentu ini merugikan
konsumen media. Pembaca mengkonsumsi media untuk memperoleh
kebenaran, bukan kebohongan. Kredibilitas harian tempat wartawan tersebut
bekerja juga sudah tentu menjadi diragukan.

3. Kasus bentrok saptol PP dengan warga memperebutkan makam Mbah Priok


belum usai. Banyak hal bisa dilihat dari kasus ini, di antaranya soal bagaimana
televisi menyiarkan kasus ini. Saat terjadi bentrok, banyak televisi menyiarkan
secara langsung. Adegan berdarah itupun bisa disaksikan dengan telanjang
mata tanpa melalui proses editing.

Penyiaran langsung gambar korban bentrokan di Koja, Tanjung Priok, merupakan


pelanggaran Kode Etik Jurnalistik Pasal 4: Wartawan Indonesia tidak membuat
berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Gambar korban berdarah-darah dikategorikan sebagai berita sadis, dan tidak


semua konsumen media dapat menerimanya. Pihak keluarga korban yang
kebetulan sedang menonton televise pun bisa menerima dampak psikologis atau
traumatis jika melihat kerabatnya mengalami luka yang mengenaskan.

4. Selain kasus bentrokan di Koja, pemberitaan lain yang memuat gambar sadis
dan melanggar Pasal 4 Kode Etik Jurnalistik adalah pemberitaan tentang ledakan
bom di Hotel Ritz-Carlton dan JW Mariott, Kuningan, bulan Juli tahun lalu. Pada
siaran langsung suasana tenpat kejadian beberapa saat setelah bom meledak,
Metro TV memuat gambar Tim Mackay, Presiden Direktur PT Holcim Indonesia,
yang berdarah-darah dan tampak tidak beradaya, di jalanan. Penanyangan
gambar tersebut tentu tidak sesuai dengan Kode Etik Jurnalisitk dan dapat
menimbulkan dampak traumatis bagi penonton yang melihat.

Pelanggaran-Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik

Senin, 29 Maret 2010 17:27


Wina Armada Sukardi

Walaupun pers dituntut harus selalu tunduk dan taat kepada Kode Etik Jurnalistik, pers
ternyata bukanlah malaikat yang tanpa kesalahan. Data yang ada menunjukkan bahwa pada
suatu saat pers ada kalanya melakukan kesalahan atau kekhilafan sehingga melanggar Kode
Etik Jurnalistik.

Berbagai faktor dapat menyebabkan hal itu terjadi. Dari pengalaman hampir seperempat abad
dapat disimpulkan bahwa peristiwa tersebut dapat terjadi antara lain karena faktor-faktor
sebagai berikut:

Faktor Ketidaksengajaan

1. Tingkat profesionalisme masih belum memadai, antara lain meliputi:


- Tingkat upaya menghindari ketidaktelitian belum memadai.
- Tidak melakukan pengecekan ulang.
- Tidak memakai akal sehat.
- Kemampuan meramu berita kurang memadai.
- Kemalasan mencari bahan tulisan atau perbandingan.
- Pemakaian data lama (out of date) yang tidak diperbarui.
- Pemilihan atau pemakian kata yang kurang tepat.
2. Tekanan deadline sehingga tanpa sadar terjadi kelalaian.
3. Pengetahuan dan pemahaman terhadap Kode Etik Jurnalistik memang masih terbatas.
Faktor Kesengajaan

1. Memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang Kode Etik Jurnalistik, tetapi sejak awal
sudah ada niat yang tidak baik.
2. Tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman yang memadai tentang Kode Etik Jurnalistik
dan sejak awal sudah memiliki niat yang kurang baik
3. Karena persaingan pers sangat ketat, ingin mengalahkan para mitra atau pesaing sesama
pers secara tidak wajar dan tidak sepatutnya sehingga sengaja membuat berita yang tidak
sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik.
4. Pers hanya dipakai sebagai topeng atau kamuflase untuk perbuatan kriminalitas sehingga
sebenarnya sudah berada di luar ruang lingkup karya jurnalistik.

Jika pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik karena faktor ketidaksengajaan, termasuk
dalam pelanggaran kategori 2, artinya masih dimungkinkan adanya ruang yang bersifat
toleransi. Tak ada gading yang tak retak. Tak ada manusia yang sempurna. Sehebat-hebatnya
satu media pers, bukan tidak mungkin suatu saat secara tidak sengaja atau tidak sadar
melanggar Kode Etik Jurnalistik. Dalam kasus seperti ini, biasanya setelah ditunjukkan
kekeliruan atau kesalahannya, pers yang bersangkutan segera memperbaiki diri dan
melaksanakan Kode Etik Jurnalistik dengan benar, bahkan kalau perlu dengan kesatria
meminta maaf.
Memang, pers yang baik bukanlah pers yang tidak pernah tersandung masalah pelanggaran
Kode Etik Jurnalistik. Tetapi, pers yang setelah melakukan pelanggaran itu segera
menyadarinya dan tidak mengulangi lagi serta kalau perlu meminta maaf kepada khalayak.

Sebaliknya, pelanggaran Kode Etik Jurnalistik yang disengaja dan termasuk dalam
pelanggaran kategori 1 merupakan pelanggaran yang berat. Sebagian pelanggarnya bahkan
tidak segera mengakui pelanggaran yang telah dibuatnya setelah diberitahu atau diperingatkan
tentang kekeliruannya. Berbagai macam argumentasi yang tidak relevan sering mereka
kemukakan. Hanya setelah mendapat ancaman sanksi yang lebih keras lagi, sang pelanggar
dengan tepaksa mau mengikuti aturan yang berlaku.

Contoh-Contoh Kasus

Berikut ini contoh-contoh kasus yang pernah terjadi dan mengapa kasusnya terjadi.

1. Sumber Imajiner

Sumber berita dalam liputan pers harus jelas dan tidak boleh fiktif. Satu harian di Medan
melaporkan bahwa dalam suatu kasus dugaan korupsi di Partai Golkar Sumatera Utara,
Kepolisian Daerah Sumut telah mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3).
Menurut harian ini, sumber berita adalah Komisaris Besar A. Nainggolan dari Hubungan
Masyarakat Polda Sumut yang diumumkan dalam sebuah konferensi pers. Ternyata
pertemuan itu tidak pernah ada. Begitu pula petugas humas yang dimaksud itu juga tidak
pernah mengeluarkan pernyataan seperti itu. Dengan kata lain, sumber beritanya fiktif.

Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik yang dilakukan oleh wartawan harian ini karena telah
membuat berita dengan sumber imajiner alias tidak ada atau fiktif.

2. Identitas dan Foto Korban Susila Anak-Anak Dimuat

Sesuai dengan asas moralitas, menurut Kode Etik Jurnalistik, masa depan anak-anak harus
dilindungi. Oleh karena itu, jika ada anak di bawah umur, baik sebagai pelaku maupun korban
kejahatan kesusilaan, identitasnya harus dilindungi.

Masih di Medan, satu harian lainnya menemukan adanya pencabulan atau pelecehan seksual
oleh seorang pejabat setempat terhadap seorang anak di bawah umur. Koran ini sampai tiga
kali berturut-turut menurunkan berita tersebut. Di judul berita pun nama korban susila di
bawah umur itu disebut dengan jelas. Tidak hanya itu. Selain memuat identitas berupa nama
korban, foto korban pun terpampang dengan jelas dan menonjol karena ingin membuktikan
bahwa kejadian itu memang benar.

Pemuatan nama dan pemasangan foto korban susila di bawah umur inilah yang melanggar
Kode Etik Jurnalistik.

3. Tidak Paham Makna "Off the Record"

Menurut Kode Etik Jurnalistik, wartawan wajib menghormati ketentuan tentang off the
record. Artinya, apabila narasumber sudah mengatakan bahan yang diberikan atau
dikatakannya adalah off the record, wartawan tidak boleh menyiarkannya. Kalau wartawan
tidak bersedia terikat dengan hal itu, sejak awal ia boleh membatalkan pertemuan dengan
narasumber yang ingin menyatakan keterangan off the record.

Begitu pula off the record tidak berlaku bagi informasi yang sudah menjadi rahasia umum.

Satu lagi, terdapat tradisi jurnalis bahwa off the record tidak berlaku untuk opini. Dengan kata
lain, off the record lebih diutamakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan data dan fakta.
Tetapi, kalau wartawan sudah bertemu dengan narasumber yang menyatakan keterangannya
off the record, ia terikat dengan kesepakatan ini. Apabila keterangan off the record disiarkan
juga, maka seluruh berita tersebut menjadi tangggung jawab wartawan atau pers yang
bersangkutan. Dalam hal ini narasumber dibebaskan dari segala beban tangung jawab karena
pada prinsipnya keterangan off the record harus dipandang tidak pernah dikeluarkan oleh
narasumber untuk disiarkan. Pemberitaan sesuatu yang off the record sepenuhnya menjadi
tangung jawab pers yang menyiarkannya.

Tetapi, justru inilah yang tidak dilakukan oleh wartawan satu harian di Yogyakarta. Seorang
narasumber dari kantor Telekomunikasi setempat mengungkapkan bahwa ada pungutan tidak
resmi oleh Asosiasi Warung Telepon di Yogyakarta antara Rp5 juta - Rp25 juta. Keterangan
tersebut dengan jelas dan tegas dinyatakan sebagai off the record. Tetapi, ternyata oleh
wartawan surat kabar ini keterangan tersebut tetap disiarkan. Ini jelas merupakan pelanggaran
Kode Etik Jurnalistik, yakni menyiarkan berita yang sebenarnya off the record.

Akibatnya, narasumber yang tadinya begitu percaya kepada wartawan, merasa dikhianati.
Apalagi kemudian dari segi yuridis atau hukum narasumber tersebut dituduh mencemarkan
nama baik. Di tingkat Pengadilan Negeri ia kalah. Alasannya, menurut hakim, yang boleh
mengatakan off the record hanyalah pejabat tertentu! Orang pada posisi setingkat narasumber
itu, seorang yang cuma memiliki jabatan kepala, tidak boleh atau tidak berhak mengeluarkan
pernyataan off the record, kata hakim. (Pendapat demikian, dilihat dari sudut pandang Kode
Etik Jurnalistik, tentulah sangat keliru).

Pada tingkat Pengadilan Tinggi, narasumber tersebut dibebaskan. Tetapi, di tingkat kasasi,
Mahkamah Agung menghukum narasumber dengan dua bulan penjara. Pengajuan
"Peninjauan Kembali" oleh narasumber ditolak dengan alasan tidak memenuhi alasan formal.
(Sebagai bentuk kekecewaan, narasumber sempat mengiris nadi tangannya untuk bunuh diri,
tetapi jiwanya dapat diselamatkan).

Ketidakpahaman terhadap makna off the record juga terjadi pada wartawan satu terbitan pers
di Surabaya. Suatu saat ada briefing dari seorang petinggi Tentara Nasional Indonesia tentang
berbagai hal yang dinilai sensitif bagi perkembangan pertahanan dan keamanan negara.
Perwira tinggi itu sebelum memulai keterangannya sudah mengatakan bahan-bahan yang
diberikannya bersifat off the record. Apa yang kemudian terjadi? Salah seorang wartawan
yang hadir di sana memberitakan seluruh isi briefing tersebut dengan lengkap. Malahan di
bagian akhir laporannya diberitakan bahwa keterangan itu bersifat off the record.

Ini pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik. Pelanggaran semacam ini menurunkan
kredibilitas pers, sebab jika hal seperti ini sering terjadi maka narasumber tidak akan lagi
percaya kepada pers.

4. Tidak Memperhatikan Kredibilitas Narasumber

Berita ini tidak main-main. Judulnya: "Dua Jenderal Berebut Seorang Janda." Adapun yang
dimaksud dengan dua jenderal pun tidak tanggung-tanggung, yaitu dua tokoh militer
Indonesia: Try Sutrisno, mantan panglima TNI dan juga mantan wakil presiden, serta Edy
Sudrajat yang juga mantan panglima TNI. Tetapi, berita ini merupakan contoh bagaimana
pers sering kurang memperhatikan kredibilitas narasumber.

Kisahnya bermula dari seorang wartawan di satu harian ibu kota. Suatu hari sang wartawan
berjumpa dengan Nani, seorang pramuria di Bar King di Jakarta. Berceritalah Nani dengan
bangganya bahwa ia diperebutkan oleh dua jenderal sekaligus, masing-masing Try Sutrisno
dan Edy Sudrajat. Berita ini semula sempat diturunkan di harian tempat wartawan itu bekerja.
Tetapi, karena pertimbangan jurnalistik, terbitan pers itu menolak menyiarkannya.

Sesudah masa Reformasi, sang wartawan menjadi pemimpin redaksi dan sekaligus pemimpin
umum satu tabloid. Ia merasa bahwa kisah ini akurat karena didengarnya langsung dari mulut
seorang pramuria. Ia mengaku "ingin membela orang tertindas dan demi kemanusiaan." Ia
juga mengaku sudah tiga kali mencoba mendatangi rumah Try Sutrisno, tetapi ditolak oleh
penjaganya.

Pemberitaan ini melanggar Kode Etik Jurnalistik. Pertama, karena wartawan tidak
memperhatikan kredibilitas narasumbernya. Walaupun mendengar sendiri pengakuan tersebut,
ia tidak memperhatikan siapakah yang menceritakan kisahnya. Biasanya sudah lumrah bahwa
para pramuria bercerita tentang kehebatan para "kliennya" untuk menunjukkan daya tarik
mereka. Soal kebenarannya, tentu saja lain perkara. Semua keterangan seperti ini pada
awalnya tentulah harus diragukan. Di sinilah wartawan tersebut tidak meneliti kembali
kebenaran berita yang akan disiarkannya.

Dalam kasus seperti ini seharusnya wartawan atau pers wajib lebih dahulu meragukan atau
skeptis terhadap informasi semacam itu, sampai dapat dibuktikan kebenarannya sebelum
boleh disiarkan. Tanpa fakta yang benar, berita seperti itu belum layak disiarkan.

Dari segi hukum, Try Sutrisno berkeberatan untuk melakukan kompromi. Ia mengadukan
sang wartawan ke penegak hukum, dan memang oleh pengadilan wartawan tersebut akhirnya
dihukum penjara enam bulan.
5. Melanggar Hak Properti Pribadi

Merasa ada berita affair atau perselingkuhan yang menarik antara anak mantan presiden
Indonesia dengan seorang polisi, seorang wartawan majalah mingguan di Jakarta nekad
masuk ke rumah seorang narasumber dengan melompati pagar rumah narasumber tersebut.
Ketika melakukan hal itu, sang wartawan tidak sedang dalam penyamaran dan sudah
diperingatkan oleh pemilik rumah untuk tidak boleh masuk. Perbuatan ini merupakan
pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik yang mengharuskan wartawan menghormati hak-
hak pribadi orang lain, kecuali bila ada kepentingan umum.

Walaupun wartawan dalam menjalankan tugasnya dilindungi oleh hukum, tidak berarti
wartawan dibolehkan untuk tidak menghormati hak-hak hukum yang dimiliki pihak lain.
Wartawan sebagai warga negara mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum. Batas-
batas kemerdekaan wartawan, dalam situasi umum, adalah batas hak-hak hukum yang dimiliki
oleh pihak lain. Wartawan juga harus menghormati hak tersebut karena rumah adalah milik
pribadi orang lain yang keberadaannya sah dan diakui oleh perundang-undangan. Maka
apabila pemilik rumah ingin mempertahankan hak-hak yang dimilikinya terhadap siapa pun,
termasuk wartawan itu, hal tersebut diakui dan dilindungi oleh hukum.

Oleh sebab itulah maka memasuki rumah seseorang tanpa izin merupakan pelanggaran, dan
risiko yang ada menjadi tanggung jawab wartawan itu sepenuhnya. Di Amerika Serikat,
apabila ada pihak yang tidak dikehendaki memasuki rumah orang lain dan tidak mau pergi,
kalau ditembak, maka pihak yang masuk ke rumah itulah yang dianggap bersalah.

Seharusnya wartawan menunggu saja di luar pagar. Kalaupun tetap merasa memiliki
kepentingan umum dalam kasus ini, seharusnya wartawan melakukan peliputan dengan teknik
investigative reporting. Sebab, dalam peliputan investigatif, menurut mekanisme pers,
ketentuan hukum yang berlaku dapat memperoleh pengecualian untuk diterobos---dengan
catatan bahwa segala risiko tetap menjadi tangung jawab pers.

6. Menyiarkan Gambar Ilustrasi Sembarangan

Pemasangan foto atau penyiaran gambar ilustrasi dalam pers harus memperhatikan relevansi
sosial serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Pemasangan foto atau penyiaran gambar
illustrasi yang sembarangan dapat diterima dengan makna yang jauh berlainan, dan karena itu
dapat menjadi pelanggaran terhadap Kode Etik jurnalistik.

Satu majalah membuat berita tentang banyaknya remaja putri yang menjadi wanita panggilan
atau menjajakan seks bebas. Pemuatan berita tersebut disertai satu foto ilustrasi yang
menggambarkan aktivitas sekelompok remaja puteri di suatu pusat perbelanjaan. Para remaja
puteri yang ada dalam foto ilustrasi itu sama sekali bukan pelaku yang menjadi bahan laporan
dan tidak ada kaitannya dengan pelaku. Dalam caption atau teks gambar diterangkan, "Para
remaja puteri di sebuah pusat perbelanjaan."

Orang tua remaja puteri yang ada dalam foto itu langsung memprotes keras pemuatan foto
anaknya di majalah tersebut. Dengan adanya foto itu seakan-akan kelompok remaja puteri
penganut seks bebas yang diceritakan dalam berita itu termasuk anaknya. Padahal, tidak benar
sama sekali. Redaksi majalah itu pun mengakui bahwa foto itu tidak dimaksudkan sebagai
pelaku dalam laporan ini, melainkan hanya sebagai ilustrasi.

Pemuatan foto semacam ini melanggar Kode Etik Jurnalistik karena menyiarkan berita yang
menyesatkan. Ilustrasi foto yang dimuat itu seakan-akan menunjukkan atau merujuk kepada
tulisan bahwa itulah para remaja puteri yang "menjual diri" atau melakukan seks bebas.

Kasus serupa ini jugs terjadi pada satu stasiun televisi di Jakarta. Ketika melakukan penyiaran
laporan investigatif tentang kawin kontrak antara gadis-gadis desa Indonesia dengan warga
negara asing, khususnya dengan warga dari Timur Tengah, stasiun itu menyiarkan upacara
perkawinan di daerah tersebut. Padahal, ternyata peristiwa itu adalah upacara perkawinan
yang sebenarnya, bukan upacara kawin kontrak sebagaimana yang dimaksud oleh stasiun
televisi tersebut.

Penyiaran berita suatu peristiwa tanpa dicek dahulu kebenarannya merupakan pelanggaran
terhadap Kode Etik Jurnalistik karena mungkin tidak akurat, tidak melakukan pengecekan
terhadap sumber informasi, dan cenderung menjadi fitnah. Setelah mengetahui kesalahannya,
stasiun televisi itu segera meralat dan meminta maaf atas kesalahannya.

7. Wawancara Fiktif

a. Untuk mengejar eksklusivitas, ada wartawan yang akhirnya melakukan kesalahan fatal.
Untuk membuktikan kehebatannya, sebagian wartawan sampai menipu masyarakat dengan
wawancara yang sebenarnya tidak pernah ada alias fiktif. Satu harian di Jakarta memuat
wawancara dengan seorang tokoh dalam bentuk tanya jawab yang cukup panjang.

Setelah dimuat, barulah diketahui bahwa narasumber wawancara itu sebenarnya sudah
meninggal dua tahun sebelum laporan ini disiarkan. Dengan kata lain, wawancara tersebut
fiktif alias tidak pernah dilakukan dengan narasumber yang sebenarnya.

Jelas ini merupakan pelanggaran berat terhadap Kode Etik Jurnalistik karena melakukan
pemberitaan bohong. Tetapi, harian tersebut tidak pernah meminta maaf.

b. Kasus wawancara fiktif juga terjadi di Surabaya. Seorang wartawan harian di Surabaya
menurunkan berita hasil wawancaranya dengan seorang isteri dari seseorang yang baru saja
dituduh sebagai teroris. Untuk meyakinkan kepada publiknya, sang wartawan sampai
mendeskripsikan bagaimana wawancara itu terjadi. Karena berasal dari sumber yang katanya
terpercaya, hasil wawancara tersebut tentu saja menjadi perhatian masyarakat luas.

Tetapi, belakangan terungkap, ternyata wawancara tersebut juga palsu alias fiktif karena tidak
pernah dilakukan sama sekali. Isteri orang yang dituduh teroris kala itu sedang sakit
tenggorok sehingga untuk bercakap-cakap saja sudah sulit, apalagi memberikan keterangan
panjang lebar seperti laporan wawancara tersebut. Tetapi, yang terutama adalah bahwa
wartawan dari harian ini memang tidak pernah bersua dengan isteri orang yang disangka
teroris itu dan tidak pernah ada wawancara sama sekali.

Ini juga jelas merupakan pelanggaran berat terhadap Kode Etik Jurnalistik karena melakukan
pemberitaan bohong dan fitnah.

8. Tidak Memakai Akal Sehat (Common Sense)

Banyak wartawan yang dalam menyiarkan berita melupakan unsur akal sehat. Berita pers
pada dasarnya tetap harus mengacu kepada akal sehat atau common sense. Apabila ada berita
yang berada di luar akal sehat, harus dilakukan pengecekan berkali-kali sampai terbukti
apakah berita itu benar atau tidak. Prinsip yang dipakai dalam hal ini adalah, pertama-tama,
wartawan harus lebih dahulu bersikap skeptis atau cenderung tidak percaya terhadap berita
yang tidak masuk akal, sampai memang terbukti sebaliknya bahwa berita itu benar adanya.

a. Dalam suatu kasus penculikan antarkelompok di Jakarta, beberapa harian secara bersama-
sama memberitakan bahwa salah satu pihak yang diculik telah "dibor kepala dan lengannya"
oleh orang yang menculik. Kendati begitu, orang yang "dibor" itu ternyata tidak mengalami
luka yang berarti.

'Sebenarnya berita ini bersumber dari petugas resmi Kepolisian Daerah Metro Jaya. Para
wartawan berasumsi bahwa semua bahan yang dikeluarkan dari pihak resmi, seperti
Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya, pasti benar adanya. Namun, belakangan pihak yang
dituduh melakukan "pengeboran kepala dan lengan" dalam berita tersebut melakukan protes.

Sewaktu dimintai konfirmasi kepada para wartawan yang memberitakan soal pengeboran itu,
ternyata mereka tidak dapat membuktikan adanya "pengeboran kepala dan tangan korban."
Ketika ditanyakan oleh Dewan Pers kepada salah seorang wartawan yang memberitakan
peristiwa tersebut, ia menjawab, "Yah, mungkin dicolek-colek sedikit dengan bor." Tetapi,
pengeboran itu sendiri rupanya tidak pernah terjadi.

Terlepas dari kenyataan bahwa pihak yang melakukan penculikan memang bersalah, dan
berita yang diperoleh berasal dari sumber resmi seperti Humas Polda, tetapi berita yang
dibumbui dengan "pengeboran kepala dan tangan" ini oleh Dewan Pers dinyatakan melanggar
Kode Etik Jurnalistik. Berita semacam ini tidak akurat dan wartawannya tidak mengecek
kebenaran peristiwanya.

Dalam hal ini wartawan tetap dituntut untuk memakai akal sehat. Jika menurut akal sehat
tidak dapat diterima, maka menjadi kewajiban wartawan untuk melakukan pengecekan
berulang-ulang sampai kebenaran tentang apa yang terjadi pada kasus itu terbukti.
Mengabaikan akal sehat dapat menyebabkan wartawan melanggar Kode Etik Jurnalistik.

b. Terlupakannya pemakaian akal sehat juga menyebabkan satu majalah berita di Jakarta
terpeleset melanggar Kode Etik Jurnalistik. Dalam pemberitaan majalah ini dengan jelas
dikatakan bahwa Kongres Wanita Indonesia (Kowani) mendukung perkawinan poliandri, atau
perkawinan wanita dengan lebih dari satu lelaki, serta perkawinan sesama jenis kelamin.

Majalah ini memang sudah melakukan pemberitaan yang berimbang, yakni dengan
mewawancarai juga pihak Kowani. Dalam wawancara itu Kowani sudah tegas membantah
mendukung perkawinan sejenis, apalagi perkawinan poliandri.

Dari sudut asas keberimbangan, majalah itu memang tidak melanggar Kode Etik Jurnalistik.
Tetapi, karena melalaikan pentingnya akal sehat dalam pers, majalah ini akhirnya melanggar
Kode Etik Jurnalistik. Walaupun sudah jelas Kowani membantah, masih juga ditulis bahwa
organisasi ini mendukung poliandri dan perkawinan sejenis, Selain itu, majalah ini juga
melupakan akal sehat karena di dunia ini yang melakukan perkawinan poliandri teramat
sangat sedikit. Poliandri antara lain terdapat pada suku Eskimo, Todas di India, dan sebagian
masyarakat di Tibet.

Apakah mungkin organisasi wanita semacam Kowani mendukung poliandri untuk masyarakat
Indonesia? Ini tidak masuk akal. Oleh karena itulah berita tersebut melanggar Kode Etik
Jurnalistik karena tidak akurat dan mengandung fitnah.
9. Sumber Berita Tidak Jelas

a. Dalam liputan pers, sumber berita harus jelas. Ketika pesawat Adam Air jatuh di laut
Majene, Sulawesi Barat, pada Januari 2007, hampir semua pers melakukan kesalahan fatal.
Hanya beberapa jam setelah pesawat itu jatuh, sebagian besar pers mewartakan bahwa
pesawat tersebut jatuh di daerah tertentu. Tak hanya itu, ada pula pers yang langsung
memberitakan bahwa rangka pesawat telah ditemukan. Lebih dahsyat lagi sampai ada yang
memberitakan bahwa "sembilan korban ditemukan masih hidup."

Ini luar biasa. Kenapa? Karena setelah setahun peristiwa itu terjadi, ternyata semua berita
tentang di mana jatuhnya pesawat itu dan jumlah korban yang hidup sama sekali tidak benar.
Di mana pesawat jatuh pun tidak diketahui. Nasib korban juga tidak diketahui. Tetapi, saat itu
ada pers yang sampai berani mengatakan bahwa "para korban sedang dievakuasi." Black box
pesawat ini baru ditemukan setahun kemudian di bawah kedalaman 2.000 meter laut. Itu pun
setelah ada pencarian khusus dengan bantuan Amerika Serikat.

Pelanggaran kode etik yang dilakukan di sini adalah karena pers yang memberitakan kasus ini
tidak mengecek lebih dahulu dari mana asal usul sumber berita itu. Ketika dimintai
konfirmasinya, dari mana sumber berita itu--yang mempunyai data yang keliru, ternyata
sumber berita tersebut imajiner alias tidak jelas. Pelanggaran kedua, tidak pernah ada
permintaan maaf dari pers terhadap peristiwa ini. Padahal, menurut Kode Etik Jurnalistik,
apabila pers mengetahui bahwa berita yang disiarkannya keliru, maka mereka harus segera
meralat dan meminta maaf.

b. Kemajuan perkembangan teknologi informasi juga sering menggoda wartawan untuk


memakai narasumber yang belum jelas dan yang masih memerlukan pengecekan akan
kebenaran berita tersebut. Tanpa pengecekan lebih lanjut, berita yang sumbernya tidak jelas
dapat menyebabkan pers melanggar Kode Etik Jurnalistik. Ini terjadi pada tiga surat kabar dan
satu majalah di Jakarta.

Kisah ini berasal dari berita yang tersebar melalui pesan pendek SMS bahwa Laksamana
Sukardi, mantan menteri Badan Usaha Milik Negara dan bendahara Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP), "kabur membawa duit 125 juta US$."

Berita yang tidak jelas asal usulnya itu langsung "dimakan" oleh tiga surat kabar dan satu
majalah di Jakarta. Merasa mendapat "berita hebat", terbitan pers itu membuat judul-judul
bombastis seakan-akan berita itu sudah mereka cek kebenarannya. Salah satu harian menulis
judul provokatif: "Laks Pantas Ditangkap." Sedangkan majalah itu menulis: "Kalau Mau
Aman, Ia memang Harus Lari."

Laksamana, yang merasa berita itu sepenuhnya tidak benar dan hanya fitnah, mengadu ke
Dewan Pers. Dari pemeriksaan Dewan Pers terbukti, Laksamana tidak melarikan diri dengan
membawa uang sebagaimana diberitakan. Faktanya, Laksamana pergi ke Australia untuk
menemani anaknya yang sakit dan telah meminta izin kepada Presiden Megawati
Sukarnoputri.

Berdasarkan hasil pemeriksaannya, Dewan Pers mengeluarkan putusan bahwa keempat


terbitan itu tidak melakukan pekerjaan yang dilandasi profesionalitas jurnalistik dan telah
melanggar Kode Etik Jurnalistik. Menurut Dewan Pers, terbitan-terbitan itu "melanggar
ketentuan untuk menghormati asas praduga tidak bersalah, tidak mencampurkan opini dan
fakta, harus berimbang, dan selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan
plagiat." Sebagian dari terbitan itu sekarang sudah berhenti beredar.

Pelanggaran ini terjadi karena wartawan mengandalkan narasumber yang sama sekali tidak
jelas, dalam hal ini SMS yang tidak diketahui asal muasalnya, dan tidak mengecek lagi
kebenaran berita itu. Akibatnya, selain tidak akurat juga melanggar prinsip asas praduga tidak
bersalah. Seharusnya seluruh bahan berita tersebut dicek kembali kebenarannya.

10. Tidak Melayani Hak Jawab Secara Benar

Hak Jawab merupakan hal yang sangat penting dalam mekanisme kerja pers. Begitu
pentingnya Hak Jawab sehingga soal ini diatur baik dalam tingkat undang-undang maupun
dalam Kode Etik Jurnalistik. Hak Jawab memiliki dimensi demokratis dalam pers. Adanya
Hak Jawab menyebabkan publik memiliki akses kepada informasi pers dan sekaligus sebagai
sarana untuk membela kepentingan mereka terhadap informasi yang merugikan mereka atau
kelompoknya. Maka baik menurut undang-undang maupun Kode Etik Jurnalistik, pers wajib
melayani hak jawab. Pers yang tidak melayani hak jawab melanggar Kode Etik Jurnalistik
(dan juga undang-undang).

Tetapi, dari pengalaman selama seperempat abad terakhir, salah satu pelanggaran terhadap
Kode Etik Jurnalistik yang sering terjadi justru dialami pada pelaksanaan Hak Jawab ini.
Masih ada pers yang tidak memahami makna Hak Jawab sehingga terjadi berbagai
pelanggaran terhadap Hak Jawab. Adapun bentuk dan alasan pelanggaran ini antara lain
sebagai berikut:

a. Tidak mengetahui bahwa Hak Jawab harus dilayani sehingga menolak pemuatan Hak
Jawab.
b. Hak Jawab baru dilayani setelah ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan ke
Dewan Pers atau Dewan Kehormatan organisasi wartawan.
c. Menilai Hak Jawab sebagai salah satu bentuk iklan yang harus dibayar oleh pihak yang
mengirimkan tanggapan itu. Oleh sebab itulah terdapat terbitan yang setelah memuat Hak
Jawab segera mengirim kuitansi penagihan dengan keterangan "untuk pemasangan
advertorial." Padahal, sudah jelas bahwa Hak Jawab wajib dilayani pers dan pemuatan atau
penyiarannya harus gratis.
d. Dapat terjadi editing atau penyuntingan yang kurang atau tidak akurat atau tidak
profesional terhadap Hak Jawab sehingga mengubah substansinya. Bahwa terhadap Hak
Jawab boleh dilakukan editing memang betul, tetapi pelaksanaan editing itu harus memenuhi
kaidah profesional dan akurasi, antara lain tidak boleh sampai mengubah maknanya.
e. Sengaja menunda waktu pelaksanaan Hak Jawab tanpa alasan yang kuat. Sesuai dengan
ketentuan, Hak Jawab harus diberi peluang sesegera mungkin. Dalam artian bahwa Hak
Jawab harus dipenuhi pada kemungkinan kesempatan pertama sejak Hak Jawab itu diterima.

11. Membocorkan Identitas Narasumber

Dalam kasus tertentu wartawan mempunyai Hak Tolak, yakni hak untuk tidak
mengungkapkan identitas narasumber. Hak ini dipakai karena pada satu sisi pers
membutuhkan informasi dari narasumber yang ada, tetapi pada sisi lain keselamatan
narasumber (dan juga mungkin keluarganya) dapat terancam kalau informasi itu disiarkan.

Untuk menghadapi keadaan seperti itulah maka kemudian ada Hak Tolak. Pers dapat meminta
informasi dari narasumber, tetapi narasumber dapat pula meminta kepada wartawan agar
identitasnya tidak disebutkan. Kalau ada yang menanyakan sumber informasi ini, pers berhak
menolak menyebutkannya. Inilah yang dimaksud dengan Hak Tolak.

Sekali pers memakai Hak Tolak, maka pers wajib untuk terus melindungi indentitas
narasumbernya. Dalam keadaan ini seluruh tanggung jawab terhadap isi informasi beralih
kepada pers. Pers yang membocorkan identitas narasumber yang dilindungi Hak Tolak
melanggar hukum dan kode etik sekaligus. Tetapi, dalam praktik, karena takut akan ancaman
atau tidak mengerti makna kerahasiaan di balik Hak Tolak, masih ada terbitan yang
membocorkan identitas narasumber yang seharusnya dirahasiakan, baik yang dilakukan secara
terbuka maupun secara diam-diam.*

Wina Armada Sukardi adalah Anggota Dewan Pers dan pengajar LPDS

PELANGGARAN-PELANGGARAN KODE ETIK JURNALISTIK DALAM


PENULISAN BERITA DI SURAT KABAR RIAU MANDIRI
PELANGGARAN-PELANGGARAN KODE ETIK JURNALISTIK DALAM PENULISAN BERITA DI
SURAT KABAR RIAU MANDIRI

A. Latar belakang

Wartawan adalah sebuah profesi. Dengan kata lain, wartawan adalah seorang profesional, seperti halnya dokter,
bidan, guru, atau pengacara. Sebuah pekerjaan bisa disebut sebagai profesi jika memiliki empat hal berikut,
sebagaimana dikemukakan seorang sarjana India, Dr. Lakshamana Rao:

1. Harus terdapat kebebasan dalam pekerjaan


2. Harus ada panggilan dan keterikatan dengan pekerjaan itu.
3. Harus ada keahlian (expertise).
4. Harus ada tanggung jawab yang terikat pada kode etik pekerjaan. (Assegaf, 1987).

Terkait peran, tugas dan tanggung jawab pers terhadap bangsa dan negara, maka tepatlah apa yang dikatakan
Claud Adrian Helvetius (1715-1771) seorang filsuf Perancis, bahwa: ”to limit the press is to insult the nation; to
prohibit reading of certain books is to declare the inhabitants to be either fools or salves. Artinya, membatasi
pers berarti menghina bangsa dan membatasi membaca buku-buku tertentu, berarti menyatakan rakyat adalah
orang-orang bodoh atau budak.

Felix Frankfurter (1882-1965) mantan hakim agung Amerika Serikat, yaitu: ”Freedom of the press is not a end
in itself but a means to the end of free society”, kebebasan pers bukan untuk kepentingan pers itu sendiri
melainkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan masyarakat yang bebas.

Tugas dan peran pers yang sangat luar biasa sehingga dijadikan pilar ke empat demokrasi negera Indonesia.
Karena dengan pers informasi penting bagi masyarakat sepeti korupsi, penyalahgunaan wewenang, illegal
logging, penggelapan pajak, mafia kasus (markus) dan sebagainya. Sebagai bentuk kontrol pers , dan juga
informasi lain yang bersifat menghibur dapat disampaikan kepada publik sebagaimana fungsi dan peran pers
yang telah diatur dalam UU No. 40 tahun 1999 pasal 3 dan pasal 6. Informasi ini tidak akan sampai kepada
masyarakat tanpa ada kinerja dari pencari berita/wartawan. Dengan demikian wartawan menjadi sangat penting
dalam profesionalisme /skill jurnalistiknya, baik cara mencari, mengolah dan menyampaikan berita dalam
menyambut kebebasan pers sebagai ciri khusus negara demokrasi.

Istilah jurnalistik erat kaitannya dengan istilah pers dan komunikasi massa. Jurnalistik adalah seperangkat atau
suatu alat madia massa. Pengertian jurnalistik dari berbagai literature dapat dikaji definisi jurnalistik yang
jumlahnya begitu banyak. Namun jurnalistik mempunyai fungsi sebagai pengelolaan laporan harian yang
menarik minat khalayak, mulai dari peliputan sampai penyebarannya kepada masyarakat mengenai apa saja
yang terjadi di dunia. Apapun yang terjadi baik peristiwa factual (fact) atau pendapat seseorang (opini), untuk
menjadi sebuah berita kepada khalayak.

Roland E. Wolseley dalam Understanding Magazines (1969:3), jurnalistik adalah pengumpulan, penulisan,
penafsiran, pemprosesan, dan penyebaran informasi umum, pendapat pemerhati, hiburan umum secara
sistematis dan dapat dipercaya untuk diterbitkan pada surat kabar, majalah, dan disiarkan di stasiun siaran.
Menurut Ensiklopedi Indonesia, jurnalistik adalah bidang profesi yang mengusahakan penyajian informasi
tentang kejadian dan atau kehidupan sehari-hari (pada hakikatnya dalam bentuk penerangan, penafsiran dan
pengkajian) secara berkala, dengan menggunakan sarana-sarana penerbitan yang ada.

Dilihat dari perihal di atas bahwa jurnalistik selalu berkaitan dengan pemberitaan, baik dalam proses maupun
alat penyebarannya. Tentunya tidak lepas dari siapa yang bekerja dalam pemberitaan tersebut. Hal ini melekat
pada orang yang bekerja di dalam institusi pers tersebut tiada lain adalah wartawan. Wartawan bekerja dalam
hal mencari, menggali, mencari gagasan, dan menulis berita dan menyampaikannya dengan surat kabar (pers
cetak) atau televisi atau radio,dan web site (pers elektronik). Wartawan sebagai pencari berita dan proses
penulisan adalah subyek hukum dalam hal pemberitaan.

Karena wartawan adalah subyek hukum, maka wartawan yang merupakan bagian penting dari pers mempunyai
tanggungjawab terhadap publik dengan mematuhi peraturan perundang-undang yang berlaku dan kode etik
jurnalistik. Karena wartwan yang taat dengan kode etik dan undang-undang itu kemudian muncul wartawan
profesional yang tidak mudah terjerat hukum, baik pidana maupun perdata.

Dengan demikian produk jurnalistik adalah berita, tulisan, suara, gambar yang ditampilkan melalui media cetak
maupun elektronik, yang mempunyai cara-cara dalam mencari membuat, dan menampilkan hasil karya
jurnalistik tersebut, yang mengacu pada UU Pers No 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik
(KEJ) tahun 2006.

Pelanggaran hukum oleh wartawan dalam karyanya (karya jurnalistik) apabila melanggar UU Pers dan KEJ
dalam hasil karyanya. Kondisi sekarang dalam praktek pelanggaran hukum atas karya jurnalistik nyatanya bisa
dituntut secara perdata maupun pidana dengan KUHP. Tuntutan pidana mengacu pada KUHP, UU ITE dan
akan di ancam dengan perundang-undangn yang sekarang sudah menjadi RUU yaitu RUU TIPITI (Tindak
Pidana Teknologi Informasi) yang bisa menjerat wartwan yang dalam prosesnya menggunakan hukum acara
KUHAP.

Maka dari itu penulis sangat tertarik untuk meneliti tentang pelenggaran-pelanggaraan kode etik jurnalistik
dalam penulisan berita di salah satu surat kabar di pekanbaru. Namun sebelum penulis meneliti tentang
pelanggaran-pelanggaran tersebut, penulis mencantumkan kode etik jurnalistik yang sah menurut UU yaitu
tahun 2006 sebagai berikut:

KODE ETIK JURNALISTIK

Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-
Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana
masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan
meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga
menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma
agama.

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena
itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.

Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar,
wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga
kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia
menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:

Pasal 1

Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad
buruk.

Penafsiran

a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur
tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.

c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.

d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian
pihak lain.

Pasal 2

Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Penafsiran
Cara-cara yang profesional adalah:

a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;

b. menghormati hak privasi

c. tidak menyuap;

d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya

e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan
tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang

f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;

g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri

h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan
publik.

Pasal 3

Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan
opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Penafsiran

a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.

b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara
proporsional.

c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif,
yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.

d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

Pasal 4

Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Penafsirana.

a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai
dengan fakta yang terjadi.

b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.

d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang
semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.

e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan
suara.

Pasal 5

Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak
menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Penafsiran

a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain
untuk melacak.

b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.

Pasal 6

Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Penafsiran

a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi
yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.

b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi
independensi.

Pasal 7

Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas
maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai
dengan kesepakatan.

Penafsiran

a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan
narasumber dan keluarganya.

b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.

c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau
diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.

d. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau
diberitakan.

Pasal 8

Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap
seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak
merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

Penafsiran

a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.

b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.


Pasal 9

Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan
publik.

Penafsiran

a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.

b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan
kepentingan publik.

Pasal 10

Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai
dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

Penafsiran

a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari
pihak luar.

b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.

Pasal 11

Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional

Penafsiran

a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan
terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers,
baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.

Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers.
Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh
organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.

Setelah mengetahui tentang kode etik jurnalistik maka penulis mengangkat judul penelitian yaitu :
PELANGGARAN-PELANGGARAN KODE ETIK JURNALISTIK DALAM PENULISAN BERITA PADA
SURAT KABAR RIAU MANDIRI.

B. Alasan pemilihan judul

Adapun alas an penulis memilih judul tentang pelanggaraan-pelanggaran kode etik jurnalistik dalam penulisan
berita pada surat kabar Riau Mandiri antara lain :

a. Judul yang penulis berhubungan dengan jurusan yang penulis yaitu limu komuniksi pada konsentrasi
jurnalistik. Dimana kajian tersebut menyangkut ketaatan seluruh jurnalis dengan perundang-undangan yang ada
di Indonesia ( kode etik jurnalistik)

b. Menurut penulis judul ini perlu diteliti supaya semua orang tau terutama jurnalis agar tidak salah dalam
menulis sebuah berita dan menjadi wartawan yang professional.
C. Rumusan masalah

Menyimak dari latar belakang yang penulis buat tentu dapat ditarik sebuah pokok permasalahan yang akan
penulis teliti yaitu :

1. Bagaimana bisa, terjadi pelanggaran-pelanggaran dalam penulisan berita di surat kabar?

D. Batasan masalah

Masalah yang penulis teliti dalam karya ilmiah ini adalah tentang pelanggaran-pelanggaran kode etik jurnalistik
dalam penulisan berita pada surat kabar Riau Mandiri maka penulis membatasi masalah yang akan diteliti yaitu
bagaimana pelanggaran-pelanggaran kode etik jurnalistik pada penulisan berita di surat kabar diharian riau
mandiri.

E. Tujuan dan kegunaan penelitian

1.tujuan pennelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui bagaimana pembuat berita mentaati kode etik jurnalistik yang berlaku dan sejauh mana
pemahaman jurnalis dengan kode etik jurnalistik itu sendiri

b. Untuk mengetahui berapa banyak tingkat pelanggaran kode etik jurnaalistik pada surat kabar Riau
Mandiri.

2. Kegunaan penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah :

a. Sebagai salah satu sumbangan pemikiran pada pihak yang berkepantingan dalam dunia jurnalistik.

b. Sebagai wadah bagi penulis untuk memahami dan mengaplikasikan ilmu yang selama ini penulis peroleh.

c. Untuk melengkapi dan memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar sarjana pada FAKULTAS
DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UIN SUSKA RIAU

F. Kerangka tioritis

1. Pelanggaran

Pelanggaran adalah segala sesuatu yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.

2. Kode etik jurnalistik

Kode Etik Jurnalistik adalah acuan moral yang mengatur tindak-tanduk seorang wartawan. Kode Etik Jurnalistik
bisa berbeda dari satu organisasi ke organisasi lain, dari satu koran ke koran lain, namun secara umum dia berisi
hal-hal berikut yang bisa menjamin terpenuhinya tanggung-jawab seorang wartawan kepada publik
pembacanya:

Tanggung-jawab.

Tugas atau kewajiban seorang wartawan adalah mengabdikan diri kepada kesejahteraan umum dengan memberi
masyarakat informasi yang memungkinkan masyarakat membuat penilaian terhadap sesuatu masalah yang
mereka hadapi. Wartawan tak boleh menyalahgunakan kekuasaan untuk motif pribadi atau tujuan yang tak
berdasar.
Kebebasan.

Kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat adalah milik setiap anggota masyarakat (milik publik) dan
wartawan menjamin bahwa urusan publik harus diselenggarakan secara publik. Wartawan harus berjuang
melawan siapa saja yang mengeksploitasi pers untuk keuntungan pribadi atau kelompok.

Independensi.

Wartawan harus mencegah terjadinya benturan-kepentingan (conflict of interest) dalam dirinya. Dia tak boleh
menerima apapun dari sumber berita atau terlibat dalam aktifitas yang bisa melemahkan integritasnya sebagai
penyampai informasi atau kebenaran

Kebenaran.

Wartawan adalah mata, telinga dan indera dari pembacanya. Dia harus senantiasa berjuang untuk memelihara
kepercayaan pembaca dengan meyakinkan kepada mereka bahwa berita yang ditulisnya adalah akurat,
berimbang dan bebas dari bias.

Tak memihak.

Laporan berita dan opini harus secara jelas dipisahkan. Artikel opini harus secara jelas diidentifikasikan sebagai
opini.

Adil dan Ksatria (Fair).

Wartawan harus menghormati hak-hak orang dalam terlibat dalam berita yang ditulisnya serta
mempertanggungjawab-kan kepada publik bahwa berita itu akurat serta fair. Orang yang dipojokkan oleh
sesuatu fakta dalam berita harus diberi hak untuk menjawab.

Kode Etik Jurnalistik seringkali hanya bersifat umum.

Itu sebabnya seringkali masih menyisakan sejumlah pertanyaan, misalnya: apakah etis memata-matai
kehidupan publik seorang tokoh, atau bolehkah menjadi anggota partai politik tertentu? Di sini, biasanya
seorang wartawan memiliki Kode Etik Pribadi (Personal Code

3. berita

Berita berasal dari bahsa sansekerta "Vrit" yang dalam bahasa Inggris disebut "Write" yang arti sebenarnya
adalah "Ada" atau "Terjadi".Ada juga yang menyebut dengan "Vritta" artinya "kejadian" atau "Yang Telah
Terjadi".Menurut kamus besar,berita berarti laporan mengenai kejadian atau peristiwa yang hangat.
Berita adalah laporan tercepat mengenai fakta atau ide terbaru yang benar, menarik dan atau penting bagi
sebagian besar khalayak, melalui media berkala seperti surat kabar, radio, televisi, atau media on-line internet

.News (berita) mengandung kata new yang berarti baru. Secara singkat sebuah berita adalah sesuatu yang baru
yang diketengahkan bagi khalayak pembaca atau pendengar. Dengan kata lain, news adalah apa yang surat
kabar atau majalah cetak atau apa yang para penyiar beberkan.

Menurut Dean M. Lyle Spencer : Berita adalah suatu kenyataan atau ide yang benar yang dapat menarik
perhatian sebagian besar dari pembaca.

Menurut Willard C. Bleyer : Berita adalah sesuatu yang termasa ( baru ) yang dipilih oleh wartawan untuk
dimuat dalam surat kabar. Karena itu ia dapat menarik atau mempunyai makna bagi pembaca surat kabar, atau
karena iklan dapat menarik pembaca - pembaca tersebut.

Menurut William S Maulsby : Berita adalah suatu penuturan secara benar dan tidak memihak dari fakta yang
mempunyai arti penting dan baru terjadi, yang dapat menarik perhatian pembaca surat kabar yang memuat berita
tersebut.

Menurut Eric C. Hepwood : Berita adalah laporan pertama dari kejadian yang penting yang dapat menarik
perhatian umum
Menurut Dja’far H Assegaf : Berita adalah laporan tentang fakta atau ide yang termasa ( baru ), yang dipilih
oleh staff redaksi suatu harian untuk disiarkan, yang dapat menarik perhatian pembaca. Entah karena luar biasa,
entah karena pentingnya, atau akibatnya, entah pula karena ia mencakup segi – segi human interest seperti
humor, emosi dan ketegangan.

Menurut J.B. Wahyudi : Berita adalah laporan tentang peristiwa atau pendapat yang memilki nilai penting,
menarik bagi sebagian khalayak, masih baru dan dipublikasikan melalui media massa periodik.

Menurut Syarifuddin : Berita adalah suatu laporan kejadian yang ditimbulkan sebagai bahan yang menarik
perhatian publik media massa.

Dari sekian definisi atau batasan tentang berita itu, pada prinsipnya ada beberapa unsur penting yang harus
diperhatikan dari definisi tersebut. Yakni: Laporan kejadian atau peristiwa atau pendapat yang menarik dan
penting disajikan secepat mungkin kepada khalayak luas.

G. Konsep operasional

Untuk memudahkan peneliti dalam melakukan penelitian tentang pelanggaran-pelanggaran kode etik jurnalistik
maka berdasarkan latar belakang dan kerangka tioritis penulis membuat konsep oerasional sebagaai tolak ukur
dalam penulisan supaya tidak terjadi kesalahan dalam melanjutkan ke jenjang skripsi.

Pelanggaran kode etik jurnalistik yaitu semua yang bertentangan dengan peraturan yang telah tercantum dalam
kode etik jurnalistik yang di resmikan pada tahun 2006. Maka dari itu indicator-indikator yang di gunakan
dalaam penelitian ini adalah isi dari kode etik jurnalistik itu sendiri.

H. Metode penelitian

1. Lokasi penelitian

Penelitian karya ilmiah ini di laksanakan di harian Riau mandiri/haluan Riau yang berada di JL nangka.

2. Subjek dan objek

a. Subjek dalam peeneelitian ini adalah wartawan,dan redaktur sebagai pembuat berita di harian Riau
Mandiri/haluan Riau

b. Objek dalam penelitian ini adalah pelanggaran-pelanggaran kode etik jurnalistik pada penulisan berita di
harian Riau mandiri / Haluan riaan edisi 1-31 februari 2011.

3. Populasi dan sampel penelitian

a. Populasi (universe)

Adalah jumlah keseluruhan dari unit analisa yang cirri-cirinya akan diduga.(arikunto 2002;108).populasi pada
penelitian ini adalah berita yang di buat oleh surat kabar Riau mandiri / Haluan Riau. Edisi 1-30 februari 2011.

b. Sampel adalah sebagai atau yang mewakili yang diteliti. Berdasarkan keteerbatasan waktu tenaga dan dana
maka sampel yang di ambil adalah berita-berita utama edisi 1-30februari 2011. Dan data hasil interview.

4. Tehnik pengambilan data.

Dalam penelitian ini tehnik pengumpulan data yang menjadi objek kajian karya ilmah ini adalah bersumber dari:

1. Interviw (wawancara)

Melakukan wawancara atau melakukan Tanya jawab pada wartawan riau mandiri / haluan riau atau pada orang
yang berkaitan dengan tulisan tersebut.

2. Study dokumentasi
Dengan menghimpun dokumen-dokumen pada harian riau mandiri yang berkaitan dengan penelitian. Tehnik ini
untuk mengetahuai berapa sering kode etik jurnalistik tersebut di langgar oleh jurnalis. Dalam penulisan berita.

• Beranda
• Kegiatan Nababan
• Konsultasi
• Logo Marga Nababan
• MARGA NABABAN
• Nababan Tarutung
• Nababan Dunia
• Nababan Lumbantongtonga
• Nababan Palembang
• Pengurus PBMNBB 2011-2015
• Pesan Nababan
• Saran tu PBMNBB
• Ucapan Selamat
• ULOS NabAbAN
Top of Form

Search... Cari

Bottom of Form

Dipo Alam di Lantik Jadi Seskab


06 Jan 2010 Tinggalkan sebuah Komentar
by BORSAK MANGATASI NABABAN in Berita Nasional
Jakarta (Nababan) – Enam orang pejabat tinggi negara pada Rabu (6/1) akan dilantik
Presiden SBY. Satu orang pejabat setingkat menteri sedangkan lima orang lainnya adalah
wakil menteri.
“Yang dilantik seskab dan para wakil menteri,” kata Jubir Kepresidenan Julian Aldrin Pasha
di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (5/1).
Menurut rencana prosesi pelantikan berlangsung pada pukul 14.00 WIB. Acara yang
dipimpin Presiden SBY itu akan digelar di Istana Negara, Jakarta.
Enam tokoh yang besok dilantik adalah;
1. Dipo Alam (Sekretaris Kabinet)
2. Anggito Abimanyu (Wakil Menkeu)
3. Sjafrie Sjamsoeddin (Wakil Menhan)
4. Fazli Djalal (Wakil Mendiknas)
5. Fahmi Idris (Wakil Menkes)
6. Lukita Dinarsyah Tuwo (Wakil Menteri PP/Kepala Bappenas).
Ketika dikonfirmasi atas enam nama di atas, Julian tidak membantahnya meski mengaku
tidak hapal benar. “Saya tidak ingat benar karena kan penyebutannya harus berikut gelar
masing-masing,” ujarnya.
Sedangkan Mendiknas M Nuh yang ditemui terpisah mengaku belum tahu bahwa besok
dirinya akan mendapatkan wakil. Dia merasa sangat terbantu bila memang Presiden SBY
pada akhirnya resmi melantik Wakil Mendiknas.
“Oh ada toh? Kalau ada wakil tentunya akan sangat membantu pekerjaan di Depdiknas,” ujar
mantan Rektor ITS ini. (SIB/detikcom)
Krisis Media Dalam Perspektif Konvergensi Telematika: Wacana Media
untuk Penyempurnaan UU Pers.
Oleh: Edmon Makarim

A. Pendahuluan
Mungkin akan timbul suatu pertanyaan kenapa kita perlu memperhatikan penyempurnaan UU
Pers dari sudut pandang hukum telematika, karena terkesan hukum telematika hanya akan
lebih banyak mengkaji keberadaan segala aspek hukum yang terkait dengan perkembangan
teknologi telekomunikasi dan informatika. Tambahan lagi telah banyak pihak yang sudah
terlanjur berkonotasi bahwa lingkup pembicaraan hukum telematika adalah identik dengan
istilah ”cyber law” hukum yang terkait dengan keberadaan dunia maya ataupun internet. Hal
ini tidaklah sepenuhnya benar, karena jika kita cermati lebih dalam justru karena hasil dari
perkembangan konvergensi telekomunikasi dan informatika itu sendiri maka belakangan
semua orang baru menyadari bahwa telah terlahir suatu media baru yang bersifat multimedia
(teks, suara, gambar/grafis, dan film) yang pada akhirnya menjadi pembelajaran bagi kita
semua untuk merenungkan kembali konsepsi hukum tentang informasi dan komunikasi
sebagai akar dasar semua perkembangan itu tanpa harus terkunci kepada pembedaan
karaktersitik setiap media baik cetak maupun elektronik. Keberadaan jaringan computer
global sebagai Jalan Raya Informasi (information superhighway) telah memudarkan garis
batas antara media tradisional dengan media komunikasi modern. Hal ini akan sangat baik
baik disiplin ilmu hukum itu sendiri agar sistematikanya menjadi lebih tertib dan konsisten
dalam memetakan ketentuan-ketentuan hukum media. Ada benang merah yang saling
terhubung dengan semua media itu, yakni hukum terhadap informasi dan komunikasi itu
sendiri. Bahkan, mungkin saja di belakang hari semua benang merah tersebut dapat dirajut
menjadi satu kodifikasi hukum media yang mampu mengakomodir semua karakteristik media
yang ada. Oleh karena itu, tulisan ini diharapkan dapat melengkapi perspektif hukum yang
selama ini telah berkembang dibenak masyarakat.

B. Konsepsi Umum dan Analisa Kritis Media

Sebagai langkah pertama, kita perlu mengkaji kembali istilah Media itu sendiri dan melihat
padanannya dengan Pers. Tampaknya sudah menjadi istilah umum bahwa insan pers sering
mengidentikan dirinya sebagai Media, sementara istilah Pers itu sendiri sepertinya tidak
sebangun atau sepadan dengan istilah Media. Pers mungkin salah satu bagian dari Media tapi
Media itu sendiri tidak identik dengan Pers, karena Pers akan berkonotasi kepada aktivitas
jurnalistik sementara media adalah wujud penyelenggaraannya sebagai alat sistem
komunikasi untuk mendiseminasikan informasi kepada publik.

Dilihat dari asal usul katanya, Media adalah bentuk jamak dari Medium yang berasal dari
bahasa latin yang artinya adalah sesuatu yang berada ditengah-tengah dan/atau sesuatu yang
bersifat netral [Webster Dictionary]. Media juga berarti suatu alat penghantar berkomunikasi.
Penekanan dari kata Media disini adalah keberadaan obyek, jadi pendekatannya haruslah
obyektif bukan subyektif. Sebagai suatu alat maka obyek tentunya tidak akan dapat
bertanggung jawab atau dimintakan pertanggung jawabannya sendiri sehingga yang dapat
dimintakan pertanggung jawabannya adalah pihak-pihak yang menyelenggarakan media itu
sendiri. Penyelenggara harus menjaga sifat netralitasnya dan mempertanggung jawabkan efek
dari komunikasi itu kepada publik baik terhadap kepentingan personal maupun komunal atau
bahkan kepada norma masyarakat itu sendiri.

Berbicara tentang Pers, umumnya para pakar komunikasi masa akan merujuk kepada prinsip
dasar Hak Azasi Manusia untuk memperoleh informasi dari semua saluran komunikasi yang
tersedia dan kemerdekaan mengemukakan pendapat di depan umum. Ada dua hal yang perlu
dicatat disini yakni, kebebasan berekspresi itu sendiri dan tindakan mengumumkannya
kepada publik. Sebagai pembandingnya, banyak orang yang merujuk kepada First
Amendment dalam konstitusi AS dimana Congress tidak boleh membuat hukum untuk
menghalangi pelaksanaan hak itu.

Amendment 1: Religious and political freedom:


Congress shall make no law respecting an establishment of religion, or prohibiting the free
exercise thereof; or abridging the freedom of speech, or of the press; or the right of the people
peaceably to assemble, and to petition the Government for redress of grievances.

Dari uraian kata-kata tersebut, banyak pihak yang mempersepsikannya sebagai suatu
kebebasan yang absolut karena congress yang berwenang membuat hukum itu sendiri saja
bahkan tidak diperkenankan oleh konstitusi untuk membatasi kebebasan pers. Sementara,
hanya segelintir pakar yang mengemukakan bahwa dalam prakteknya di AS yang
perkembangan hukumnya didominasi oleh Jurisprudensi (Judge make law), kebebasan itu
kini menjadi tidak absolute lagi sebagaimana dipersepsikan oleh kalangan awam.

Selain akibat multipersepsi atas kata “speech” dan “abridging” itu sendiri, perbedaan
pendapat dikalangan para Jurist (judges and scholars) sebenarnyaa juga dikarenakan secara
historis kata-kata itu memang merupakan produk politik pada masa itu, dimana ada
pertentangan antara Federalist dengan State. Sehingga, semula kata-kata yang diusulkan
adalah ”No state shall violate…etc” menjadi ”Congress shall make no law…etc”. Para juris
di AS, telah menyadari bahwa legal nature dari kata-kata itu dengan sendirinya adalah
menjadi tidak absolute, sehingga dengan sendirinya jurisprudensi lah yang menjadi
pembimbing atau pedoman dalam menerapkan ketentuan itu agar menjadi fair bagi semua
pihak. Bahkan untuk menentukan tujuan dan fungsinya saja, hal itu baru lebih jelas pada saat
Justice Brandeis mengemukakan pendapatnya dalam putusannya pada kasus Whitney vs.
California 71 L.Ed.1095, 1105-06 (1927).

Dalam perkembangannya lebih lanjut ternyata freedom of speech dan of the press diturunkan
menjadi “expression” dan “action”. Amendement pertama jelas melindungi kebebasan
berekspresi tetapi tidak selalu untuk “communicative conduct” sehingga berkembanglah “a
hierarchy of protected communicative conduct” dimana tidak semua hal termasuk dalam
protected speech. Karenanya berkembanglah apa yang dinamakan sebagai “unprotected
class” atau dikenal sebagai “unfree speech” atau komunikasi yang tidak dilindungi oleh
amendemen pertama tersebut, antara lain meliputi; fighting words, obscenity, publication of
state secrets, incitement to crime, defamation, subliminal communications dan commercial
speech. Demikian pula halnya dengan konsep ‘abridgement’ dimana dalam
perkembangannya “law” sebagai produk congress jelas tidak mengurangi kewenangan
pemerintah untuk memberikan pembatasan dan kejelasan dalam ”regulation” demi untuk
melindungi kepentingan publik itu sendiri.

Lebih lanjut, pemikiran tentang access to the channels of communication juga mengakibatkan
berkembangnya teori pembedaan atau pengkategorisasian ruang public (public forum) dan
ruang private (private forum). Walhasil, para juris telah mengembangkan kerangka
berpikirnya untuk melakukan pendekatan prosedural (procedural approaches) dalam
menentukan hal-hal apa saja yang dapat dilindungi berdasarkan amandemen pertama itu.

Berdasarkan sejarah dan evolusi yang terjadi di AS tersebut, maka Indonesia sebagai negara
yang lebih diwarnai oleh Eropa Kontinental ketimbang Anglosaxon/Common Law, menjadi
tidak haram jika mencoba memformulasikan pembatasannya dalam produk legislatifnya
(UU). Hal ini adalah karena di Indonesia, UU sebagai produk legislative itulah yang dapat
memberikan pedoman awal bagi perkembangan sistem hukum kita. Jurisprudensi nyatanya
masih belum berfungsi dengan baik di negara kita untuk memberikan benang merah keadilan
dalam perkembangan sistem hukum nasional.

Jadi, hakikinya adalah sama saja baik di AS maupun di Indonesia bahwa kebebasan itu
memang tidak pernah absolute. Bahkan, secara hukum fisika saja telah dinyatakan bahwa
terhadap suatu aksi tentunya akan terjadi friksi dan hasilnya mengakibatkan suatu reaksi.
Meskipun di angkasa, ternyata suatu benda juga tidak pernah lepas dari gaya-gaya yang ada
di semesta alam ini. Oleh karena itu, konsep kebebasan tanpa batas jelas akan sangat
menyesatkan dan bertentangan dengan hukum alam dan juga pemikiran manusia yang sehat.

Selain itu, sesuai dengan perkembangan wacana negara demokratis, banyak pihak juga akan
merujuk kepada pemikiran yang menyatakan bahwa Pers adalah pilar keempat (fourth estate)
dalam negara demokrasi. Namun, dalam praktek dan perkembangannya, publik Amerika juga
melihat bahwa ini adalah jargon semata karena meskipun pers itu bebas dari kepentingan
pemerintahnya ternyata ia tidak bebas dari kepentingan komersialnya dan bahkan para
pemilik dan/atau penyelenggara media juga cenderung berselingkuh dengan para politikus
dalam menyiarkan suatu informasi kepada publik. Walhasil, wacana tentang eksistensi
kebebasan media terlanjur disodorkan kepada publik untuk dilegitimasi kehadirannya tidak
lagi sebagai penyaji fakta melainkan juga sebagai pembentuk opini dan disahkan sebagai
industri informasi dengan semangat komersialismenya.

Idealnya, dalam suatu negara demokratis yang berdasarkan atas hukum, maka kepentingan
hukum masyarakat untuk memperoleh informasi publik (right to know) adalah menjadi
prioritas tertinggi. Hal ini menjadi dasar legitimasi bagi semua pihak ingin mencari dan
menyampaikannya kepada publik, khususnya kalangan jurnalis yang begitu giat dan gagah
berani berupaya mencari fakta/data, mengolahnya menjadi informasi dan/atau berita, dan
kemudian disampaikannya kepada masyarakat. Lebih jauh lagi, bahkan hal itu dirasakan
sebagai sesuatu yang diamanatkan oleh hukum kepada mereka.

Sebagai kompensasinya, dalam rangka memenuhi kepentingan hukum masyarakat tersebut


maka diperlukan suatu perlindungan hukum bagi para pihak yang jelas-jelas beriktikad baik
melaksanakan fungsi itu, khususnya bagi pihak yang secara professional mencarinya dan
menyelenggarakan media komunikasinya kepada public. Namun pada sisi yang lain, publik
juga perlu mendapatkan perlindungan dari kekotoran ataupun sisi negatif informasi yang
disampaikannya. Oleh karena itu, diperlukanlah suatu ketentuan hukum dalam suatu produk
legislatif (UU) sebagai kesepakatan public untuk melindungi semua pihak yang terkait
dengan itu secara adil. Pada prinsipnya, tanpa terkecuali setiap orang yang bertindak
mengungkapkan informasi untuk kepentingan publik tentunya jelas harus dilindungi oleh
hukum, terlepas apakah ia jurnalis ataupun tidak. Dalam prakteknya, penerapan hukum itu
harus digantungkan kepada Hakim sebagai pejabat penerap keadilan bagi masyarakat agar
sesuai dengan lingkup kasus yang ada.

Sesuai dengan sejarahnya, Pers yang lahir dari aktivitas jurnalistik kepentingan hukumnya
adalah menginginkan kebebasan untuk memperoleh data dan mengolahnya menjadi suatu
informasi serta berhak menyampaikannya kembali (freedom of speech) kepada publik sesuai
pendapatnya. Pada satu sisi, sistem hukum Hak Kekayaan Intelektual (Hak Cipta) telah
melindungi keberadaan informasi itu sebagai suatu karya cipta yang harus dilindungi
(protected works) demi kepentingan hak moral dan hak ekonomis individu si penciptanya dan
melindungi kemerdekaan/kebebasan untuk berekspresi itu sendiri. Namun pada sisi lain,
sesuai dengan perspektif hukum komunikasi, si intelektual tersebut seharusnya juga
memperhatikan efek atau dampak komunikasi tersebut kepada publik. Oleh karena itu, suatu
penyampai informasi selayaknya harus dapat dimintakan pertanggung jawabnya manakala
efek komunikasi itu ternyata merugikan atau berpengaruh buruk kepada kepentingan hukum
individual manusia (HAM) dan juga kepada norma dan ketertiban masyarakat (protected
communication dan protected community). Jadi selain adanya apresiasi yang diberikan oleh
hukum ia juga harus mampu mengemban tanggung jawab dari setiap apa yang telah
ditimbulkannya.

Singkatnya, penyajian informasi kepada publik diharuskan seobyektif mungkin meskipun


secara naturalianya ia tetap bersifat subyektif karena sebenarnya terlahir dari ekspresi ide dari
seseorang. Perspektifnya terhadap sesuatu peristiwa tentu akan tetap melekat dalam penyajian
informasi yang disampaikannya. Oleh karena itu, suatu berita tidak dapat dikatakan obyektif
dari awalnya sehingga dengan sendirinya ia tidak bebas nilai atau tidak bebas dari
kepentingan subyektif orang yang menuliskannya. Disinilah netralitas media menjadi sangat
relevan untuk menjadi suatu persyaratan hukum (requirement of neutrality). Untuk itu
diperlukan suatu standar obyektifitas untuk menentukan apakah ia layak dikatakan sebagai
suatu karya jurnalistik. Perlindungan hukum yang diberikan kepada si pencari dan penyampai
informasi hanyalah ditujukan bagi setiap pihak yang memang menghargai dan tunduk dengan
etika jurnalistik, bukan kepada pihak-pihak yang ”sembarangan” dalam menguntai kata-kata.

Dalam rangka memenuhi nilai-nilai obyektifitas itu, sebagai upaya preventif maka secara
prosedural suatu informasi sebelum disampaikan kepada publik, selayaknya secara internal ia
perlu diinteraksikan dengan pihak lain dan/atau paling tidak yang bersangkutan dapat
menjelaskan dan menjamin bahwa informasi yang diberikannya adalah berdasarkan atas data
atau fakta yang diperolehnya secara halal dan benar serta disajikannya secara fair. Disinilah
suatu penyelenggara media harus dianggap ikut bertanggung jawab untuk menanggung
akibat/dampak penyampaian suatu informasi kepada publik, karena atas kuasanya informasi
itu dikomunikasikan kepada publik.

Dari pemaparan tersebut di atas, terlihat jelas perbedaan makna antara Pers dengan Media.
Istilah media adalah keberadaan obyek atau alat untuk berkomunikasi yang harus bersifat
netral, sementara Pers adalah kegiatan jurnalistik yang kaya akan perspektif-perspektif
jurnalisme. Tentunya, yang akan membuat media itu menjadi tidak netral adalah orang yang
menyelenggarakannya. Oleh karena itu, wajarlah jika seorang pakar komunikasi Prof Abdul
Muis mengingatkan kita bahwa ada dua pendekatan hukum dalam konteks ini yaitu aspek
Hukum Media dan aspek Hukum Komunikasi. Namun, menurut hemat saya akan lebih tepat
jika kita melihatnya dalam satu kesatuan yakni Hukum Komunikasi. Keberadaan Media
sepatutnya adalah bagian yang tidak dipisahkan dari proses komunikasi itu sendiri karena
tidak mungkin terjadi suatu komunikasi antara si penyampai informasi (originator) dengan si
penerima informasi (recipient) tanpa kehadiran suatu Media. Ringkasnya, kita harus
memandang Media itu sendiri sebagai suatu sistem komunikasi yang terpadu dimana
obyektifitasnya dan netralitasnya akan ditentukan kepada sejauh mana sistem
penyelenggaraannya diselenggarakan dengan baik.

Melengkapi pandangan tersebut, walau bagaimanapun harus diletakkan pemahaman kepada


publik bahwa suatu informasi yang merupakan obyek komunikasi tersebut jelas tidak akan
lepas dari aliran pandangan si pembuatnya, sehingga pandangan suatu aliran tentunya akan
terlihat jelas dari karakteristik informasi yang disajikannya tersebut. Jika si intelektual
tersebut beraliran kapitalis maka tentunya ia tidak akan menulis tentang kebaikan aliran
sosialis yang berlawanan dengannya, demikian juga sebaliknya. Demikian juga jika si
intelektual tersebut ternyata non religius maka ia akan menuliskan bahwa ketentuan
keagamaan adalah suatu kemunafikan dan demikian pula sebaliknya. Walhasil, jelas
dirasakan adanya suatu perang informasi terhadap suatu kepentingan, dan demi obyektifitas
maka semestinya masyarakat tidak boleh langsung percaya terhadap suatu informasi yang
disampaikan oleh satu sumber saja, melainkan juga perlu melihatnya dari banyak sumber.
Kebenaran akan dapat terlihat dari apa yang lahir ditengah-tengah pertentangan wacana itu
sendiri. Akhirnya, yang menjadi permasalahan disini adalah konflik ideologi antara informasi
yang disajikan dengan ideologis bangsanya. Tidak heran jika ada sebagian masyarakat yang
ternyata malah menjadi bingung atau bahkan akan marah dengan keberadaan aliran-aliran
media itu sendiri.

Lebih lanjut, sesuai dengan perkembangannya maka terbangunlah suatu mekanisme hukum
antara publik dengan medianya, dengan cara memberikan kewajiban kepada penyelenggara
untuk melayani Hak jawab dan Hak Koreksi dari masyarakat. Namun, hal ini masih dirasakan
seperti terlalu mensimplifikasi efek komunikasi yang ditimbulkan kepada kepentingan hukum
lain. Sekiranya suatu berita yang menghancurkan nama baik seseorang (character
assasination) ternyata berakibat serangan jantung sehingga meninggalnya seseorang, apakah
masih relevan Hak Jawab dan Hak Koreksi sebagai upaya pemulihan haknya. Tambahan lagi,
dalam kehidupan sehari-hari dapat dikatakan bahwa kata-kata bisa lebih tajam dari pedang,
sehingga naturalianya efek dari kata-kata akan selalu berbekas dalam hati si penerimanya.
Dimaafkan atau tidak itu kembali kepada hak si orang tersebut, yang jelas Hukum tidak dapat
memaksakan seseorang harus menerima maaf dari orang lain. Seorang hakim juga sepatutnya
juga tidak boleh membatasi hak orang lain untuk harus menjelmakan hak jawab dan hak
koreksinya terlebih dahulu, karena hal ini berarti hakim telah berpihak hanya kepada
kepentingan si penyelenggara media.

Selain itu, dalam hal penerimaan informasi, umumnya informasi pertama seringkali lebih
berbekas ketimbang informasi yang berikutnya. Sehingga terlepas apakah ia langsung
percaya atau tidak percaya, yang jelas secara informasi telah berdampak kepada sesorang
”the damage has been done”. Ada suatu ”ruang kerugian” disini yang tidak cukup terjawab
hanya dengan hak jawab dan hak koreksi. Sepatutnya, semakin intelektual seseorang jelas
akan semakin tinggi pula amanat yang harus diembannya untuk memperhitungkan segala
sesuatu yang dapat terjadi dari karya intelektualnya tersebut. Oleh karena itu, pertanggung
jawaban bagi seseorang ahli komunikasi masa yang berdasarkan keilmuannya sepatutnya
tahu sejauhmana efek dari kata-katanya, jelas juga harus diimbangi dengan beban sanksi yang
relatif lebih berat ketimbang orang awam. Jika hal ini tidak ada, maka jelaslah bahwa
segelintir orang akan senang mempelintir kata-kata dan mungkin pula akan berakibat
timbulnya mafia dalam media.

C. Internet sebagai Media Komunikasi Baru

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, konvergensi TELEMATIKA (Telekomunikasi,


Media dan Informatika) mau tidak mau telah mengabsorbsi keberadaan kata Media yang
terwujud dalam penyelenggaraan sistem informasi global. Suatu jaringan sistem informasi
dan komunikasi yang lahir akibat keterpaduan perkembangan teknologi informasi dan
telekomunikasi telah berfungsi sebagaimana sebagaimana layaknya suatu Media komunikasi
masa. Hal mana sebelumnya kurang begitu disadari karena semula penerapan teknologi
informasi adalah untuk kepentingan personal atau untuk kepentingan internal organisasinya
saja. Demikian juga halnya dengan telekomunikasi yang memang semula digunakan hanya
untuk kepentingan komunikasi antara para pihak, bukan untuk komunikasi masa. Akhirnya,
sekarang kita ternyata tidak dapat mengatakan bahwa penyelenggaraan telekomunikasi akan
terlepas dalam lingkup kajian hukum media modern dewasa ini.

Dengan melihat kepada platform sistem informasi dan komunikasi elektronik global yang
berbasiskan teknologi komputer (computer based information system), maka ada beberapa
hal yang perlu dilihat sehubungan dengan komputer sebagai alat pengolah informasi dan alat
untuk menyebarkan informasi tersebut. Sistem Komputer pada hakekatnya mempunyai
fungsi-fungsi Input, Proses, Output, Strorage dan Communication. Ia juga paling tidak terdiri
atas 5 komponen penting, yakni; hardware, software, procedure, brainware dan content dari
informasi itu sendiri. Semua komponen itu harus berkerja dengan baik itu dan saling
terintegrasi agar dapat melakukan fungsi-fungsi sebagaimana yang diharapkan. Data sebagai
input untuk menghasilkan suatu informasi yang berdayaguna ditentukan oleh kehandalan
brainware dalam menciptakan procedures yang selanjutnya akan dikonkritkan dengan
kehadiran software yang sesuai agar hardware dapat bekerja untuk mengolah dan
menampilkan informasi sebagaimana yang ditentukan atau diharapkan.
Selanjutnya agar ia dapat berkomunikasi dengan komputer yang lain, maka ia harus satu
bahasa dimana pembangunan jaringan kerjanya adalah harus sesuai dengan protokol
komunikasi yang dipakai oleh para pihak, seperti antara lain Electronic Data Interchange/EDI
(proprietary system) dan Internet protocol (open system). Dan oleh karena sistem tersebut
saling terintegrasi dan terhubung secara online, maka hubungan komunikasinya menjadi
bersifat real-time kesemua anggota dan seakan hadir dimana-mana secara ”ubiquotus”.

Sesuai dengan karakteristiknya yang elektronik itu, tampaknya keberadaan suatu sistem
informasi sebagai Media berkomunikasi relatif akan lebih mudah diatur ketimbang Pers.
Lihat saja pada kenyataan teknisnya bahwa semua anggota jaringannya sepakat untuk
menggunakan protokol komunikasi TCP/IP. Semua komputer yang terhubung hanya bisa
terhubung dengan aturan komunikasi yang sama dalam lapisan 4 layers. Sebagai suatu sistem
informasi jelas ia telah ditetapkan sebagai suatu Media yang netral, sehingga ia dapat ditulisi
apa saja oleh pihak pihak yang berkenan untuk itu. Ia dapat ditentukan akan hidup ataukah
akan mati tergantung kepada arus listriknya. Keberadaan akses informasinya pun dapat
dibatasi atau restriktif berdasarkan otorisasi yang diberikannya dalam network tersebut.
Dalam konteks ini, sepanjang memang ada ”political will” untuk itu sepatutnya
penyelenggara media akan menjadi relatif lebih mudah untuk diatur.

Ada satu hal yang sangat menarik untuk dilihat dari keberadaan suatu sistem informasi
elektronik sebagai suatu Media yakni keberadaan informasi sebagai keluarannya adalah
ditentukan kepada sejauhmana sistem security-nya dikembangkan baik secara tehnik,
manajemen maupun hukum. Keterpercayaan terhadap isi akan sangat ditentukan oleh
sejauhmana kehandalan dan validitas pemrosesannya yang tercermin dalam keberadaan
setiap procedures dan juga softwarenya, serta kejelasan subyek hukum yang bertanggung
jawab atasnya. Setelah dapat diyakini bahwa sistem informasi itu layak dipercaya, barulah
kita dapat menyatakan bahwa jika memang sistem telah berjalan sebagaimana mestinya maka
selayaknya informasinya menjadi layak untuk dipercaya. Dengan sendirinya, jika data yang
dimasukkan adalah salah, maka hasil keluarannya juga akan menjadi salah ”Garbage In
Garbage Out,” bukan sistemnya lagi yang dipersalahkan (malfunction) melainkan ”human
error” manusianya yang mengerjakan sistem itu. Implikasi hukumnya adalah, sepanjang
sistem telah dibangun dan diselenggarakan dengan baik (best practices), maka pihak si
pengembang dan si penyelenggara berhak mendapatkan perlindungan hukum berupa
pembatasan dalam pertanggung jawabannya.

Patut juga dicermati bahwa persyaratan security tersebut adalah berbanding lurus dengan
nilai kekuatan pembuktian secara hukum, bahkan dapat dikatakan bahwa ”no security, no
deals”. Hal ini harus menjadi perhatian utama para pihak, karena teoritisnya Internet memang
tidak didesain sebagai infrastruktur informasi publik yang secured. Justru kepentingan negara
industri itu sendiri lah yang ingin menawarkan dan menumbuhkan jasa security-nya, baik
dalam hal penjualan perangkat keras maupun software untuk berjalannya computer security
maupun communication security itu sendiri.

Beranalogi dengan hal tersebut, maka jika kita ingin mengatakan Pers adalah suatu Media
harus ada suatu standar kelayakan bagi si penyelenggara jasa yang mengkelola Media itu. Ia
baru layak dikatakan sebagai suatu Media jika ia telah memenuhi standar tertentu dalam
penyelenggaraannya agar lebih jernih dalam merefleksikan kepentingan masyarakat bukan
kepentingan si penyelenggaranya. Ia juga dapat membatasi tanggung jawabnya terhadap
akibat substansi informasi yang disampaikannya sepanjang ia telah berupaya sebaik mungkin
(best practices). Bahkan sekiranya ia telah mengemukakan standar prosedur
pengoperasiannya bahwa ia tidak melakukan sensor apapun, tanggung jawab sepenuhnya
justru akan kembali kepada si penulis. Dan pihak yang merasa berkeberatan dapat langsung
seketika itu juga memasukkan koreksi dan hak jawabnya pada tempat yang sama dengan
informasi itu. Disini, para pembaca akan langsung dapat mencerna bahwa informasi itu
tengah dipersengketakan validitasnya. Dalam konteks ini, tidak sedetikpun ia akan dirugikan,
kecuali atas kelambanannya sendiri dalam merespon suatu informasi.

Sehubungan dengan itu pula, ada juga satu pelajaran hukum yang selayaknya dapat kita ambil
dari kasus Napster di Amerika. Meskipun keberadaan situs tersebut sebenarnya hanya sebagai
suatu media komunikasi bagi para anggotanya (peer to peer communication) untuk saling
bertukar koleksi lagu-lagu yang diperolehnya, namun sekiranya ia bertentangan dengan
sistem hukum yang ada khususnya Hak Cipta maka keberadaannya dapat dihentikan (shut-
down). Kesalahannya adalah memfasilitasi tukar menukar lagu dimana ia mempunyai model
bisnis didalamnya, padahal tanpa harus ia fasilitasi masing-masing orang dapat
berkomunikasi secara langsung. Hal ini berakibat bahwa model bisnis napster menjadi
sebagaimana layaknya tukang tadah di pasar-pasar gelap. Demi hukum, pengadilan terpaksa
harus menghentikannya.

Jika memang Amerika adalah menjadi tolok ukur dalam penegakan freedom of speech di
dunia, saya melihat bahwa demi ”kepentingan hukum”, harus tetap ada satu kemungkinan
bahwa suatu Media dapat dimungkinkan untuk dihentikan atau ditutup oleh putusan
pengadilan jika si penyelenggara media membuat keberadaan Medianya menjadi
bertentangan dengan hukum yang ada. Dalam negara demokratis, ini tidaklah salah, karena
supremasi hukum adalah hal yang tertinggi, bukan kepentingan bisnis media itu, dan juga
bukan didasarkan atas diskresi lembaga eksekutif (pemerintah).

Demi menjaga kepentingan semua pihak maka harus dipahami bahwa sepatutnya asas strict
liability juga melekat terhadap informasi itu dan juga pihak manajemen dari organisasi yang
melakukan sistem penyelenggaraan Media tersebut. Sepertinya bukan lah suatu hal yang
berlebihan sekiranya azas “good governance” juga perlu diterapkan dalam penyelenggaraan
Media, paling tidak si penyelenggara harus mengeluarkan “best effort” nya untuk menjaga
obyektifitas dan netralitas tersebut.

Oleh karena itu, jika Pers ingin dikatakan berfungsi sebagai media, saya pikir tentunya ia
harus berfungsi sebagaimana layaknya sistem informasi elektronik yang didasarkan atas
trustworthy suatu proses. Jika memang sistem penyelenggaraan media nya yang sudah tidak
mau taat hukum, maka hasil output informasinya tentunya juga akan berhadapan dengan
hukum.

Ringkasnya sesuai dengan paradigma sistem informasi, maka paling tidak Pers akan terdiri
dari komponen (i) content informasi, (ii) Wartawan dan (iii) prosedur-prosedur dalam
Organisasi dan Manajemen Penyelenggara Media itu sendiri. Dalam hal ini, paling tidak
dapat dilihat adanya tiga lingkup standar agar membuat sistem pers menjadi sehat, yakni (i)
standarisasi brainware/wartawan, (ii) standarisasi karya jurnalistik atau pemberitaan, dan (iii)
standarisasi penyelenggaraan media itu sendiri. Boleh jadi sebagai lingkup yang paling luas,
standarisasi penyelenggaraan media itu sendiri akan mencakup kedua lingkup sebelumnya
karena ia akan menentukan standar minimum wartawan yang akan digunakannya dan
bagaimana sistem operasi dan prosedur yang dianutnya dalam mengemukakan suatu
pemberitaan kepada publik. Semakin tinggi standar yang dianutnya maka semakin tinggi pula
validitas pemberitaannya dan relatif semakin aman pula ia dalam melakukan pertanggung
jawaban hukumnya.

D. Krisis Media Akibat Perilaku Bermasalah dan Kepentingan Bisnis Media

Ditinjau lebih luas lagi sesuai dengan perspektif ilmu perundang-undangan, mungkin
penyebab kenapa kondisi Pers sekarang ini seperti ini adalah juga didasari sejauhmana
keefektifan aturan main yang ditetapkan dalam UU Pers. Jika memang mekanismenya adalah
sebebas-bebasnya maka insan pers jadi bertindak sebebasnya. Dan sedikit janggal rasanya
bahwa pemerintah dinihilkan sama sekali dalam proses penerapannya sementara lembaga
pelaksananya Dewan Pers juga tidak mempunyai kekuatan yang dapat memaksa pihak pers
untuk bertindak sebagaimana mestinya. Ia hanya merupakan wadah untuk penetapan Kode
Etik, alternatif penyelesaian sengketa, serta pengkajian hukum dan kebijakan saja. Sementara
pada sisi yang lain, peranan masyarakat juga belum dapat dikatakan cerdas menyikapi segala
sesuatu dan mampu berpartisipasi aktif sebagaimana yang diharapkan. Tambahan lagi setiap
orang tentunya akan berpikir ulang untuk berhadapan dengan media. Walhasil, akhirnya
dijumpai terjadinya premanisme dalam pers, terkadang pers menjadi obyek premanisme
namun sering juga ia menjadi subyeknya. Contohnya adalah penyajian informasi
entertainment, dimana pers terkesan memaksa untuk memperoleh informasi yang berkenaan
dengan privasi seseorang. Pers memang telah begitu galak, bahkan berani masuk ke wilayah-
wilayah yang sebenarnya sudah menyentuh batasan harkat dan privacy seseorang.
Menghambat jalan seseorang untuk berjalan kemobilnya sendiri demi mendapatkan suatu
pemberitaan sudah menjadi pandangan kita sehari-hari yang kita lihat dalam peliputan
pemberitaan di TV.

Sebagaimana layaknya para wakil rakyat dalam fungsi legislative, para insan pers juga sangat
meyakini dirinya adalah bertindak atas aspiratif rakyat. Namun ada sedikit perbedaan, dimana
para wakil rakyat harus berinventasi untuk meraih simpati dan suara rakyat dalam proses
pemilihan umum sehingga dapat dikatakan legitimate menyampaikan suara rakyat. Sementara
kalangan pers dengan inisiatif sendiri dan dengan dibawah naungan UU Pers dilegitimasikan
sebagai aspiratif rakyat tanpa harus ada kejelasan standarisasi profesi kewartawanan yang
ketat.

Jika kita membaca informasi yang disampaikan dalam beberapa surat khabar harian yang
ternyata berbahasa terlalu berani dalam mengekspose sex dan kekerasan, dan juga berani
memberikan tempat untuk iklan yang bernada-nada serupa, mungkin masyarakat juga akan
menjadi semakin kebingungan apakah memang hal ini sebenarnya informasi yang
dibutuhkannya ataukah memang hal tersebut yang sebenarnya aspiratif rakyat. Sex dan
kekerasan memang merupakan fakta hidup, dan juga merupakan informasi yang menarik
untuk dibaca, tapi apakah ini aspiratif rakyat atau memang sengaja dicekoki kepada rakyat.

Dalam prakteknya sekarang ini, ada pers yang telah secara elegan menyajikan informasi dan
ada juga pers yang justru membuat galau dan resah hati masyarakat. Bagaimana tidak, karena
sepertinya memang tidak ada satu tindakan apapun yang dapat dikenakan kepada sebagian
insan pers tersebut. Siapa yang dapat menyadarkan kalangan pers untuk secara jernih
memandang apa yang sesungguhnya terjadi dalam kehidupan ini. Apakah memang
”kemerdekaan pers” diartikan sebagai kebebasan yang sebebas-bebasnya tanpa batasan
normatif. Bahkan akibat pendapat yang mengatakan bahwa semestinya UU Pers adalah lex
specialis dengan berbagai macam alasan, KUHP dinyatakan tidak berlaku lagi. Sementara,
dalam UU Pers ketentuan pidana dirasakan tidak begitu berimbang. Barang siapa yang
menghalangi pers harus dipidana penjara dan denda, sementara pers hanya dipidana denda
saja. Lantas bagaimana halnya dengan insan pers yang ternyata mengganggu hak orang lain,
apakah memang sudah ada dalam UU Pers ataukah memang hal seperti itu sepatutnya tidak
masuk dalam lingkup UU Pers. Jadi, apakah UU Pers telah cukup mengatur semua tindak
pidana yang mungkin terkait dengan Pers.

Selain itu, dalam hubungan kerja antara Wartawan sebagai profesi, apakah ia telah cukup
dilindungi karena kenyataannya ia adalah buruh dari suatu perusahaan pers, dimana status
kewartawanannya sangat tergantung oleh perusahaan itu. Apakah ada sanksi bagi perusahaan
pers yang tidak memberikan bagian sahamnya kepada karyawan dan apakah wartawan telah
mendapatkan bagian yang layak terhadap keuntungan perusahaan.

Seiring dengan era reformasi untuk mengarah kepada perbaikan di segala bidang, kalangan
pers telah memperoleh kelonggaran yang dicita-citakannya untuk memperoleh informasi
namun ternyata bukan kemerdekaannya dalam arti yang hakiki. Dulu Pers begitu dikekang
oleh pemerintah dan sekarang begitu merdekanya tanpa ada kebutuhan untuk mendapatkan
pembinaan atau pengawasan dari pemerintah lagi. Semua seakan sepakat bahwa pengawasan
pers adalah langsung dari rakyat, sementara masyrakatnya saja tidak semuanya dapat
bernasib baik mengenyam pendidikan sehingga belum dapat secara kritis mengkontrol pers.
Apalagi dalam kenyataan hidup ini, tak ada orang yang hidup tanpa salah dan dosa,
sementara pers jelas dapat mengkemukakan semua salah dan dosa seseorang sesuai agenda
dan kepentingannya. Sehingga akankah ada anggota masyarakat biasa yang akan berani
berhadapan dengan pers? Semua tentunya akan berpikir dua kali.

Walhasil sepertinya kita memang harus duduk kembali untuk membicarakan hal ini, apakah
UU Pers memang sudah efektif menyelesaikan perilaku bermasalah. Dulu pemerintah yang
membuat masalah, sekarang justru Pers sendiri yang sekarang menjadi sumber dari perilaku
bermasalah terhadap kemerdekaan pers itu sendiri. Sudah layakkah pers dikatakan sebagai
media jika ia tidak menjelmakan upaya terbaiknya untuk bersifat netral dan obyektif.

Dari berbagai pemaparan di atas, paling tidak kita dapat melihat adanya krisis dalam dunia
media yang mungkin akan mencakup seluruh komponennya, antara lain;
o Krisis perilaku insan media dalam mencari berita, membuat sumber ataupun obyek
informasi menjadi tidak berharkat atau terganggu privasinya;
o Krisis substansi media, mengungkapkan informasi tanpa etika dan standar jurnalistik;
o Krisis komitmen untuk menjalankan seluruh fungsi media yang diamanatkan oleh UU;
o Krisis komitmen untuk cita-cita reformasi, khususnya untuk ikut memajukan pendidikan,
karena tidak ada jamina bahwa semua media telah menjalankan fungsi pendidikannya dengan
baik;
o Krisis standar penyelenggaraan manajemen suatu Media;
o Krisis masyarakatnya yang terkesan kurang begitu kritis dan agresif dalam menyikapi suatu
pemberitaan.

Dipandang dari sisi bisnis, karena informasi adalah suatu komoditi yang merupakan
kebutuhan hidup masyarakat informasi, maka bisnis untuk menjadi penyedia informasi
adalah peluang bisnis yang cukup menggiurkan. Hal ini tentunya menjadi suatu ancaman
tersendiri bagi pengharagaan akan nilai-nilai “kemerdekaan pers” terutama nilai-nilai
netralitas dan obyektifitas itu sendiri. Sejauhmana kepentingan pemodal tidak akan
mengendalikan kepentingan media itu sendiri. Padahal sudah pasti bahwa si Pengurus adalah
bertugas untuk menjaga kepentingan si pemodal yang ingin memperoleh keuntungan dari
bisnis itu.

Adalah suatu hal yang sangat lumrah dalam hukum investasi, bahwa konsekwensi dari
adanya suatu investasi adalah adanya kendali dalam perusahaan itu. Dari sisi pemodal
tentunya akan menjadi sangat begitu indah jika informasi yang disampaikan adalah sesuai
dengan kepentingannya dan dapat menaikkan tiras atau oplahnya di masyarakat dan
memberikan tempat yang cukup ditakuti oleh penyelenggara negara. Dari sisi si pemilik
media mungkin jelas ia merasa berhak untuk bisa menampilkan dirinya dalam satu halaman
penuh dari sekian banyak halaman yang dikelolanya, tapi demi obyektifitas dan netralitas
media, apakah hal itu dapat dikatakan etis ataukah tidak? Karena walau bagaimanapun, si
penyelenggara media sepatutnya memperlihat upaya yang semaksimal mungkin untuk tidak
memperlihatkan kepentingannya pribadi dalam media yang dikelolanya itu. Dan jika kita
berbicara tentang etis, apakah pelanggaran terhadap hal itu ada sanksinya dari kalangan
masyarakatnya. Demikian pula jika ada hukumnya apakah ada sanksi hukumnya? Jika
ternyata tidak, saya pikir ini merupakan indikasi ketidak netralan itu, dan berarti Pers tidak
layak untuk disebut Media.

E. Penutup

Sesuai dengan kepentingan publik dalam Negara Demokrasi, maka dalam lingkup media
komunikasi paling tidak terlihat beberapa kepentingan hukum yang dapat diidentifikasi antara
lain sebagai berikut;

Intelektual
(Jurnalis professional) Penyelenggara Media
(Investor/
Pengusaha) Masyarakat
(kolektif) Individual (anggota masyarakat) Penyelenggara Negara
• Karya intelektual
• Obyektifitas Karya jurnalistik
• Kemerdekaan Berekspresi
• Obyektifitas dan Netralitas
• Tanggung jawab penyelenggaraan Media yang baik (good information governance)
• Tidak menjadi suatu alat yang bertentangan dengan hukum dan perasaan keadilan serta
norma masyarakat
• Mencari profit untuk usaha • Hak mengetahui masyarakat atas sistem penyelenggaraan
negara yang baik
• Hak masyarakat atas ketertiban umum dan perasaan aman
• Hak masyarakat atas peradaban yang sesuai etika dan dinamika kebudayaan
• Hak atas kebebasan berinformasi dan berkomunikasi
• Hak atas privasi
• Hak untuk tidak menjadi obyek penelitian dan pemberitaan • Kegiatan yang baik dan
bertanggung jawab untuk memberikan kontrol ataupun feedback kepada pemerintah
• Kewajiban memberikan informasi publik dan kerahasiaan informasi untuk kepentingan
publik.

Setelah mencermati, apakah itu Media, apakah itu Pers dan bagaimana kelayakannya. Jika
memang Pers memang tidak mempunyai suatu prosedur untuk memperlihatkan
kelayakannya, rasanya sulit mengatakan bahwa Pers adalah suatu media. Patut diacungkan
jempol bagi insan Pers yang sadar akan apa konsekwensi dari penggunaan kata Media itu,
dimana sebagai penyelenggara Media mereka berupaya untuk mengembangkan sistem
operasi dan prosedur didalam manajemen penyelenggaraannya agar informasi yang
disampaikannya terjamin obyetifitasnya dan validitasnya. Tetapi sangat disayangkan akibat
ada sebagian Pers yang berperilaku buruk dan tak ada mekanisme yang dapat
menghentikannya secara self-regulation-regime atau komunitas pers sekan lepas tanggung
jawab dan tidak dapat memberhentikannya lewat mekanisme komunalnya, maka Pers
sepertinya kurang mendapat simpati rakyat. Akibatnya seorang idealis pers boleh jadi malah
terjerat hukum sementara seorang komersialis pers malah terlindungi dengan baik. Cukup
ironis sekali.

Berkenaan dengan UU Pers yang menjelaskan ada fungsi-fungsi dalam media, sepatutnya ada
mekanisme kontrol yang harus memaksakan perusahaan pers untuk menjalankan ke semua
fungsi media itu. Selain itu, perlu juga dipikirkan apakah suatu media yang orang-orangnya
tidak perduli dengan hukum dan tidak mau terikat kepada suatu etika jurnalistik akan
dibiarkan terus sehingga membuat kebingungan bagi masyarakat tentang etika pers dan
medianya.

Semua orang tentunya akan sepakat bahwa media masa adalah backbone dari
penyelenggaraan negara yang baik. Sesuai dengan perpesktif fourth estate yang meletakkan
Media setara dengan Pemerintah, maka logikanya jika memang ada hukum untuk
menyelenggarakan sistem pemerintahan yang baik, sepatutnya juga ada standar dalam
menyelenggarakan sistem media yang baik. Sehingga akan sangat adil bagi semua pihak, dan
refleksi yang dihasilkan oleh pers untuk demokrasi tentunya juga akan menjadi semakin
jernih dan netral untuk kepentingan kita semua, serta Pers dapat lebih mencitrakan diri dalam
harkat dan martabatnya sebagai honorable profession ditengah masyarakat.

Jika kita semua memang ingin ada ”trust” oleh masyarakat kepada pelaku media, jangan
biarkan mekanisme itu terjadi tanpa prosedur yang kuat. Security untuk mendapatkan trust
memang harus dibangun dengan cara best effort, dengan kata lain harus ada standar untuk
good information governance dalam media, hal itulah yang akan dapat membatasi tanggung
jawab bagi segenap insan media. Semuanya ini dikembalikan kepada kesadaran dan semangat
kita semua untuk menyelamatkan karakteristik bangsa ini di masa depan.

Akhirnya, diharapkan bahwa UU sebagai pedoman sikap tindak Pers dan Masyarakatnya
dapat melindungi kepentingan pada idealis media masa yang berupaya sekuat mungkin untuk
menyajikan informasi yang baik kepada masyarakat dan juga bisa menghentikan orang-orang
dan media yang tidak bertanggung jawab kepada masyarakat. Mudah-mudahan harkat dan
martabat serta budaya masyarakat tidak terpuruk hanya karena kepentingan segelintir
kapitalis media. Jika memang benar-benar kita ingin menyelamatkan para idealis media,
maka tidak ada kata lain kita harus mau membuka diri bahwa demi kepentingan hukum harus
diperkenankan bahwa suatu media yang bertentangan dengan hukum harus dapat dihentikan
ataupun ditutup agar tidak mengkontaminasi publik.

Dr Mansyur Semma, Idealisme, Bisnis, dan Pers


Ask the Tribun Timur Editor

Dr Mansyur Semma, Idealisme, Bisnis, dan Pers

Dahlan,
Pemimpin Redaksi Tribun Timur, Makassar

ALMARHUM Dr Mansyur Semma sangat produktif menulis justru ketika beliau mengalami
masalah serius pada pengelihatannya. Salah satu bukunya, Media dan Perubahan Politik
Represif, yang diluncurkan ke publik hari ini di kampus Universitas Hasanuddin (Unhas),
Makassar, memuat kumpulan tulisan almarhum di berbagai media massa antara Januari 2004
hingga akhir hayatnya, Maret 2008. Buku ini cukup tebal, 476 halaman.

Dr Mansyur Semma dikenal tidak hanya sebagai dosen ilmu komunikasi, tapi juga
penceramah, penulis yang produktif, dan aktivis Islam.
Perjalanan masa lalunya yang tidak selalu mulus, cobaan berat yang memaksanya harus
kehilangan penglihatan untuk selama-lamanya, tidak membuat Dr Mansyur kehilangan
semangat.
Justru di tengah kesulitan, ia menemukan jalan menjadi manusia mulia: Memberikan apa
yang dia punya untuk masyarakat dengan penuh ketulusan dan keikhlasan. Ia mengajar,
membagi ilmu kepada mahasiswa, dan turun dari menara gading kampus untuk memberikan
pencerahan kepada publik melalui berbagai topik tulisan di media massa dan menjadi
penceramah di berbagai acara seminar dan diskusi.
Buku Media dan Perubahan Politik Represif memuat beragam tema, terutama terkait masalah
politik aktual dan pers.
Tulisan-tulisan itu menggambarkan minat dan perhatian Dr Mansyur, juga posisinya terhadap
suatu masalah.
Dr Mansyur terlihat sangat merisaukan dominasi kapitalis dalam industri pers yang
cenderung hanya mencari keuntungan tapi mengabaikan fungsi pendidikan masyarakat.
Sebagai intelektual, terlihat jelas pemihakan Dr Mansyur terhadap masyarakat. Karena itu, ia
tidak segan-segan mengeritik pers, juga tidak takut mengeritik wartawan. Ia, misalnya,
mengeritik pers yang cenderung mengabaikan hak jawab masyarakat (halaman 242) dan
mempersoalkan ketiadaan empati wartawan dan pers pada korban dan bencana (halaman 273-
302).
Terhadap masalah klasik hubungan pers dengan idealisme, Dr Mansyur mengatakan: ”Sulit
membayangkan sebuah media tetap eksis dan mampu bersaing bila hanya mengandalkan
idealisme” (halaman 224).

***

DENGAN idealisme, kita sering mengacu pada pertentangannya dengan pragmatisme. Dalam
politik, pragmatisme mengacu pada gejala mencari kekuasaan. Sedangkan dalam bisnis,
pragmatisme mengacu pada gejala mencari laba.
Idealisme seringkali lebih dekat dengan kekuatan moral dalam masyarakat. Kekuatan moral
dimaksudkan sebagai kekuatan dalam masyarakat yang berjuang tanpa pamrih politik
maupun bisnis. Kekuatan moral lahir dari dorongan nurani, sedangkan kekuatan politik
maupun bisnis lahir dari pusat ego.
Perjuangan moral bersifat jangka panjang dan mengabdi kepada masyarakat. Sedangkan
perjuangan politik dan bisnis mengabdi kepada kepentingan pribadi ataupun kelompok dan
bersifat jangka pendek.
Dr Mansyur, dalam konteks itu, adalah perlambang kekuatan moral. Perjuangannya lahir
untuk memenuhi kebutuhan jiwa dan nurani, bukan untuk memenuhi ambisi politik dan
bisnis. Ia mengabdi kepada masyarakat, tujuannya jangka panjang.
Soalnya adalah apakah pers yang mengabaikan idealisme, apakah pers yang mengabaikan
perannya sebagai kekuatan moral demi tujuan bisnis dan politik, akan tetap eksis dan mampu
bersaing?
Saya percaya bahwa idealisme dalam industri pers adalah instrumen bisnis menuju pers di
arus mainstream (pers berpengaruh). Independensi, sebagai buah dari idealisme, merupakan
salah satu alat bisnis pers yang utama. Ia bahkan terkadang lebih penting dari instrumen
bisnis pers lainnya seperti content (isi) dan design (cara penyajian).
Pers, beda dari bisnis lainnya, menjual kata-kata. Masalahnya, pers menghadapi kenyataan
bahwa tidak semua kata-kata laku dijual. Hanya kata-kata yang memiliki trust dan
kredibilitas yang layak jadi komoditas.
Terutama di media cetak, pasar terbesarnya berada di kelas menengah atas dan well educated.
Itu sekaligus menegaskan pentingnya trust dan kredibilitas pada kata-kata surat kabar.
Trust dan kredibilitas hanya dapat dibangun di atas pondasi idealisme: idealisme pers sebagai
lembaga maupun idealisme individu pengelola pers.
Itulah salah satu yang menjelaskan, mengapa kekuatan masyarakat yang bergerak di domain
kekuatan moral dan idealisme selalu bersentuhan erat dengan pers mainstream. Itu juga
menjelaskan mengapa karya-karya kritis Dr Mansyur Semma mendapat tempat yang layak di
media massa, kendati beliau secara lugas mengeritik tidak hanya pers sebagai lembaga tapi
juga wartawan sebagai individu pengelola pers.
Memang, idealisme saja tidak cukup menjadi modal bagi pers untuk tidak hanya eksis, tapi
juga berada di jalur media mainstream, terutama karena aspek bisnis pers semakin rumit,
persaingan semakin ketat, dan masyarakat berikut kebutuhannya terus berubah. Masa depan
pers tidak hanya tergantung pada kemampuannya mempertahakan posisi di jalur idealisme
dan domain kekuatan moral, tapi juga kemampuannya memahami masyarakat, memahami
perubahan masyarakat, dan memahami perubahan kebutuhan masyarakat.
Secara lebih tajam lagi, memahami saja tidak cukup, melainkan harus mampu menyajikan
produk (isi maupun desain) yang pas dengan kebutuhan masyarakat.
Dengan melihat secara demikian, kepergian almarhum Dr Mansyur Semma bukan hanya
kehilangan besar bagi keluarga maupun almamaternya. Ada ruang kosong yang ditinggalkan
almarhum, terutama dalam perannya sebagai intelektual, sebagai kekuatan moral, yang
membawa misi pencerahan masyarakat melalui tulisan di media massa dan perannya sebagai
pembicara di berbagai acara seminar dan diskusi. Saya kira, masyarakat dan pers
membutuhkan banyak sosok yang bisa berperan seperti almarhum.***

Hubungan Pemerintah dan Media di Indonesia:


Antara Quality dengan Yellow Journalism

Oleh:
Afdal Makkuraga Putra

Abstrak
Artikel ini bermaksud membahas Pandangan Ithel De Sola Pool tentang hubungan
pemerintah dan media di Indonesia. Menurut Pool hubungan pemerintah dan media sangat
diametral dalam posisi yang saling berhadap-hadapan. Pool dengan nada provokatif
mengandaikan hubungan pemerintah dengan media layaknya sebagai musuh (adversary
relationship). Pemerintah disebut sebagai St. George (orang suci) sedangkan media dijuluki
sang naga (dragon
Untuk kasus Indonesoa hubungan antara pemerintah dan media massa yang bersifat
adversary relationship terjadi pada media yang sehat secara bisnis. Sedangkan hubungan
yang bersifat cronie relatioship terjadi pada media yang tidak sehat secara bisnis.

Keyworld: Press System, adversary relationship


Latar Belakang

Berbicara tentang hubungan Pemerintah dan media tidak bisa dilepaskan dari sistem
pers yang dianut dalam suatu negara. Pengertiannya ialah bahwa sistem pers yang dianut
dalam suatu negara merupakan bagian atau susbsistem dari sistem komunikasi. Sedangkan
sistem komunikasi itu sendiri merupakan bagian suatu sistem sosial dan politik . Oleh karena
itu untuk mengetahui hubungan pemerintah dan media kita tidak bisa lepas dari bentuk sistem
sosial dan bentuk pemerintahan suatu negara dimana sistem pers itu berada dan berfungsi.
(Rahmadi: 1990: 29)
Siebert et.al (1986) mengatakan bahwa, jika ingin mengatahui realitas pers di suatu
negara secara lebih mendalam, terlebih dahulu harus dikaji asumsi-asumsi filosofis (dasar dan
hakiki) yang diyakini dan digunakan dalam negeri tersebut dalam menyusun tata kehidupan
kenegaraan dan kemasyarakatan, terutama yang menyangkut perihal hakikat manusia,
hakikat negara dan masyarakat, hubungan manusia dengan negara serta hakikat pengetahuan
dan kebenaran. Hal ini karena pers selalu mengambil bentuk dan warna yang sesuai dengan
asumsi-asumsi filosofis yang diyakini dan digunakan oleh negeri di mana pers tersebut
berada.
Dengan demikian, hanya dengan mengkaji ketentuan-ketentuan konstitusioal,
peraturan-peraturan hukum positif, ideologi resmi negara atau mengkaji pemikiran-pemikiran
formal serta retorika-retorika politik para pejabat tinggi negara maka dengan mudah dapat
dikenali wajah bentuk serta penampilan pers negeri itu.
Siebert et.al kemudian mengajukan empat sistem pers, yakni: sistem pers otoritarian,
libertarian, komunisme dan pertanggung jawaban sosial.
Menurut Siebert, dalam sistem pers otoritarian, pers diletakkan sebagai pelayan
negara, yang bertanggung jawab kepada negara. Sistem pers ini membenarkan adanya
sensor pendahuluan dan hukuman atas penyimpangan dari pedoman yang ditetapkan secara
eksternal yang khususnya cenderung berlaku bagi hal-hal yang bersifat politis atau segala
sesuatu yang memiliki implikasi ideologi yang jelas. Penguatan sistem pers ini dilakukan
melalui, peraturan perudang-undangan, pengendalian produksi secara langsung oleh
pemerintah, pajak dan sanksi ekonomi, pengendalian impor, hak pemerintah untuk
mengangkat staf redaksi.
Sistem pers libertarian berasumsi bahwa pers dianggap sebagai mitra dalam mencari
kebenaran, sehingga pers bukan lagi menjadi perkakas penguasa, melainkan sarana individu
untuk mencari kekuasaan. Agar kebenaran dapat menampakkan diri, semua pendapat harus
mendapatkan kesempatan yang sama untuk didengar melalui pasar idea yang bebas (free
market of idea).
Sistem pers komunis menempatkan pers sebagai alat partai yang berkuasa, dan arena
itu pers merupakan pelayan negara seperti dalam pers otoritarian. Media massa dalam sistem
pers ini sepenuhnya dimiliki oleh Negara, sehingga tidak ada surat kabar yang boleh
diterbitkan oleh swasta. Justru itu surat kabar sama sekali tidak mengenal tujuan untuk
mencari keuntungan (bisnis).
Adapun sistem pers pertangungjawaban sosial menyebutkan bahwa kekuasaan dan
kedudukan orang-orang yang memonopoli media menimbukan kewajiban dan tanggung
jawab kepada masyarakat. Meraka harus menjamin bahwa semua pihak terwakili dan bahwa
masyarakat dapat memperoleh informasi yang cukup untuk mengambil keputusan. Jika media
tidak mau menerima tanggung jawab itu dipandang perlu ada pemaksaan untuk itu oleh
lembaga publik independent dalam masyarakat termasuk pemerintah.
Pendekatan sistem pers dengan model berbeda dipekenalkan oleh J. Herbert Altschull.
Altschull dalam artikelnya yang berjudul Agent of Power (1984) menggunakan pendekatan
ekonomi untuk menata sistem pers. Ia membagi tiga sistem pers, yakni: Market (first world),
Marxist (second world) dan advancing (third world).[1] Berikut matriksnya:
Market Marxist Advancing
Journalist seek truth Journalist seek truth Journalist serve truth
Journalist are socially Journalist are socially Journalist are socially
responsible responsible responsible
Journalist inform in a non Journalist educated in a Journalist educated in a
political way political way political way
Journalist serve the people Journalist serve the people Journalist serve the people
impartially and support by demanding support for and government by
capitalism socialism seeking change
Journalist serve as Journalist mould view and Journalist serve as
watchdogs of government change behaviour instrument of peace
The press is free from The press teaches worker The press unifies: it does
outside interference class consciousness not divide
The press serves the The press serves the needs The press works for social
public’s right to know of people change
The press seeks ad learn The press facilitates The press is an instrument
and present the truth effective change of social justice
The press reports fairly The press reports fairly The press is a vehicle for
and objective and objective about the two way exchange
reality
A free press means that A free press reports all A free press means
journalist are free of all opinion not only that of freedom of conscience of
outside controls the rich journalist
A free press is not servile A free press is required to Press freedom is less
to power or manipulated counter oppression important than the
by power visibility of the nation
A free press does not need A free press requires a A national press policy is
a national press policy to national press policy in needed to safeguard
remain free order to be correct freedom.

Selain pendekatan tersebut di atas terdapat pula pendekatan lain yang disebut,
pendekatan struktur fungsional. Pendekatan ini diperkenalkan oleh Talcot Parson. Asumsi
yang dikemukakan oleh pendekatan ini berkenaan dengan fenomena dan relaitas pers adalah;
eksistensi, realitas dan dinamika, orientasi serta posisi pers di suatu negara sangat ditentukan
oleh kondisi struktural masyarakat negara di mana pers itu berada.
Kondisi struktural yang dimaksud disini menampikan wujud nyatanya, terutama
dalam bentuk status dan dinamina hubungan berbagai kekuatan sosial, ekonomi dan politik.
Ahmad Zaini Abar (1995) menjelaskan bahwa terdapat dua kutub untuk melihat
hubungan pers, masyarakat dan negara. Yang pertama adalah apabila negara menempat posisi
doniman, berarti masyarakat mempati posisi yang sub-ordinasi, maka pers cenderung
berorientasi ke negara. Kutub yang lain mengatakan bahwa apabila masyarakat menempati
posisi “dominasi” dan negara menempati posisi “sub-ordinasi”, maka pers lebih cenderung
berorientasi ke masyarakat.
Abar yang kemudian meminjam matriks yang dikembangkan oleh McQuail untuk
melihat hubungan antara pers, masyarakat dan negara.

Model Alternatif Kekuasaan Media


Unsur Dominatif Pluralistik
Sumber masyarakat Kelas penguasa Berbagai kelompok
politik, sosial, dan budaya
yang saling bersaing.
Media Dimiliki segelintir Banyak dan independen
orang:tipenya seragam satu sama lain
Produksi Distandarisasi, rutin dan Kreatif, bebas dan asli
dikontrol
Isi dan cara pandang Selektif, dan saling Berbagai pandangan dan
berkaitan dan ditentukan saling bersaing; tanggap
dari “atas” terhadap keinginan
khalayak
Khalayak Dependen, pasif dan Terpisah-pisah, selektif,
diorganisasi dalam skala reaktif dan aktif
besar
Efek Besar; mempertegas Beraneka ragam; tidak
tatanan sosial yang sudah konsisten dan tanpa
mapan keteramalan
(prediktibilitas) arah, tetapi
sering kali „tanpa efek“
Dikutip dari McQuail, 1989: 85
Dalam model dominatif, biasanya distribusi kekuasaan memusat ke negara atau elit
ekonomi politik yang berkuasa dan biasanya media hanya dimiliki oleh mereka yang
mempunyai akses pada elit politik (sumber kekuasan). Hal ini membawa implikasi pada
berorientasi media, menjadi lebih cenderung ke negara.
Sebaliknya, dalam model pluralistik, biasanya kekuasaan terdistribusi ke berbagai
kelompok sosial politik non negara, selain sebagian juga ke negara, dan pemilik media
terbesar ke berbagai kelompok masyarakat serta tanpa ada hambatan regulasi perijinan.
Karena itu orientasi media pun lebih ke masyarakat atau paling tidak beragam dan plural.
Apabila kita menempatkan pers ke dalam kedudukannya sebagai pelaku dan kekuatan
sosial politik masyarakat yang berhadapan dengan kekuatan politik negara, maka orientasi
ini media dilihat dalam kerangka posisi politik terhadap negara. Dalam arti posisi politiknya
kuat atau lemah terhadap kekuasaan negara. Ukuran yang dipakai untuk menilai kuat
lemahnya posisi pers adalah sejauh manakah pers mempunyai peran/pengaruh dalam
pembentukan kebijakan politik.
Terdapat dua proposisi yang dapat dilihat disini. Pertama, Apabila kedudukan politik
negara dominan/kuat, maka pers berserta kekuatan-kekuatan politik non negara yang lainnya
menjadi sub-ordinan/lemah dalam pembentukan kebijakan politik. Artinya posisi politik pers
lemah. Kedua, apabila kedudukan politik masyarakat, termasuk pers, dominan/kuat dalam
pembentukan kebijakan politik tertentu, maka negara menjadi “sub-ordinan”/”lemah”.
Artinya poisisi politik pers kuat.
Hubungan Pemerintah dengan Media

Pandangan Ithel De Sola Pool tentang hubungan pemerintah dan media sangat
diametral dalam posisi yang saling berhadap-hadapan. Sola Pool dengan nada provokatif
mengandaikan hubungan pemerintah dengan media layaknya sebagai musuh (adversary
relationship). Pemerintah disebut sebagai St. George (orang suci) sedangkan media dijuluki
sang naga (dragon).

Jargon ini sangat diyakini ada di antara para wartawan di Washinton DC. Mereka
melihat dirinya sendiri ada dalam suasana perang di dalam mempertahankan kepentingan
orang banyak atas perlakuan para politisi yang hanya berbicara atas kepentingannya sendiri.

Dalam konteks itulah kemudian menurut Nimmo bahwa media memiliki lima fungsi
yaitu:

1. Collection and presentation of objective information, disini media bertindak


mengumpulkan fakta dari peristiwa yang terjadi di sekelilingnya dan menyajikannya ke
publik. Tetapi yang penting ditekankan bahwa dalam melakukan fungsi tersebut
wartawan hendaknya bersikap impartiality dan sedikit mungkin bias.

2. To interpret the news, disini media berperan sebagai interpreter terhadap suatu
peristiwa yang diliputnya. Ia menjelaskan ke publik menyebab dan implikasi dari
peritiwa itu sehingga publik yang tidak terbiasa dengan cara bekerjanya pemerintah
dapat memahami tentang relevansi fakta yang mereka baca. Sebagian pakar menerima
fungsi interpretasi mirip konsep advocacy journalism. Advocacy adalah suatu bentuk
interpretasi yang di dalamnya mampu menjelaskan arti suatu fakta (interpretation)
terhadap sudut pandang tertentu.
3. Responsibility of the press in a democracy, artinya memberi tugas kepada media massa
agar lebih representative atau mewakili publik di dalam melawan pemerintah

4. Responsibility, di sini media dituntut bertanggung jawab untuk menentukan opini


public dan to inform the public & the government tentang iklim suatu informasi (the
climate of opinion). Fungsi keempat ini dianggap sebagai fungsi yang khusus dari
media massa yang mampu menciptakan apa yang disebut a mass society.

5. Partsisipant, artinya bagaimana reporter melihat dirinya sendiri sebagai partisipan di


dalam proses pemerintahan.

Dan Nimmo (1993) selanjutnya mengatakan bahwa wartawan tidak mengumpulkan


berita seperti anak memetik bunga dipadang rumput. Berita politik adalah kreasi gabungan
antara jurnalis yang merakit serta melaporkan berita dan komunikator politik (politikus dan
jurubicara) yang mempromosikannya.
Selanjutnya wartawan berkerja selalu berlandaskan pada nilai berita, news peg dan
kesanggupan memperoleh informasi dari sumber berita. Dan Nimmo (1993:228) mengatakan
bahwa sumber berita dalam elit politik meliputi:
1. pejabat yang dipilih dan ditunjuk dalam posisi pembuat kebijakan, yaitu pejabat
kebijakan seperti presiden, kabinet dan kepala jawatan serta bawahan mereka, anggota
kongres dan pembantu mereka, pejabat yudikatif dan sebagainya.
2. Pejabat yang ditunjuk khusus untuk menangani pers, baik yang tunjuk dari partai
politik maupun pejabat penerangan degan berbagai label seperti sekretaris pers, pejabat
penerangan publik, agen pers, personel hubungan masyarakat dsb
3. jurubicara kepentingan yang termasuk lobbyist, pemimpin kelompok kepentingan
umum, eksekutif koorporasi, ketua dan pejabat partai politik utama.

Selanjutnya Arthur Charity dalam Wisnu Marta Adiputra memperkenalkan model


juranalistik yang disebut sebagai public journalis belive . Esensi jurnalisme publik adalah
peran jurnalis tidak terlepas atau melepaskan diri dari publiknya. Jurnalis bukanlah kelompok
yang terpisah walau kenyataanya mereka memiliki kelas sosial yang berbeda dengan
publiknya. Jurnalisme publik percaya bahwa jurnalisnya memiliki karakter sebagai experts
in public life, public journalist as civic capitalis dan public journalists as fulltime citizens.
Singkatnya, jurnalis dalam jurnalisme publik seperti mata uang dengan warga masyarakat,
yang selalu berinteraksi dan memberikan semacam panduan kepada masyarakat. [2]
Hubungan Pemerintah dan Media di Indonesia
Bagaimana dengan Indonesia, apakah hubungan antara pemerintah dengan media
bersifat adversary relationship? Bagaimana pula dengan wartawan yang menggunakan
praktek event’s oriented journalis dan people oriented journalist?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut mari kita simak dahulu kondisi pers kita dua
tahun terakhir ini. Menurut data Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) bahwa saat ini jumlah
penerbitan pers di Indonesia berjumlah 829 penerbitan. Sebagaian besar (70%) dari
keseluruhan penerbitan pers dalam kondiri tidak sehat bisnis. Kondisi tidak sehat bisnis
berindikator sebagai berikut: perolehan iklannya minim kalau tidak ingin disebut nihil;
kebanyakan jurnalisnya tidak profesional; tidak memiliki visi dan misi; isinya lebih
mengobral seks dan sensasionalisme; wartawannya bergaji minim atau bahkan tidak
menerima gaji[3]
Sebaliknya hanya 30% dari penerbitan pers di Indonesia dikategorikan sehat bisnis.
Sehat bisnis artinya: penerbitan pers tersebut memperoleh iklan yang signifikan; mereka
berorientasi pada quality media; mampu membuat produk pers yang atraktif, mencerahkan
dan taat kode etik; wartawannya cerdas dan profesional dari tulisan; kesejahteraanya
terjamin; SDM-nya rata-rata sarjana (meskipun sebagian besar bukan lulusan sarjana
jurnalistik/publisistik).[4]
Kondisi ini yang selanjutnya menyebabkan kondisi persurat kabaran di Indonesia di
terbagi menjadi dua: yakni quality journaslism dan yellow journalism. [5] Praktek quality
jurnalism umumnya dipraktekkan pada surat kabar yang sehat bisnis sedangkan yellow
jurnalism umumnya digunakan pada surat kabar yang tidak sehat bisnis. Kalau kita melihat
data yang dipaparkan oleh SPS tersebut bisa disimpulkan bahwa Yellow journalism yang saat
ini mengusai jagat pers di Indonesia.
Bisa dimaklumi mengapa Yellow journalism yang berkuasa, itu tak lain karena
pengaruh dari sistem pers otoriter Zaman Orde Baru. Penjelasannya sebagai berikut, pada
masa Orde Baru tidak ada pers yang benar-benar murni menyuarakan realitas yang ada.
Segala yang ditampilkan di media ketika itu merupakan citra bentukan penguasa untuk
melanggengkan kekuasaan. Peran pers sebagai pembentuk opini publik disadari betul oleh
rezim Orde Baru sehingga kontrol terhadap kebebasan pers dilakukan dengan sangat ketat.
Sebagai alat kotrol, pemerintah mewajibkan pers memiliki Surat Isin Usaha
Penerbitan Pers (SIUPP). Untuk mendapat SIUPP pemerintah menetapkan sejumlah
persyaratan. Misalnya setia kepada Pancasila dan UUD 1945 yang penerapannya multi tafsir
sekehendak pemerintah.
Persyaratan tersebut diperkuat dengan ancaman-ancaman retoris, telepon, surat
peringatan dan kemudian pembredelan. Jika pers melanggar kesepakatan yang telah
ditetapkan atau membahayakan kehidupan bernegara maka pemerintah berhak membatalkan
SIUPP dan pers tersebut harus berhenti beroperasi.
Akibatnya, untuk dapat tetap terbit pers Indonesia dipaksa melakukan kebohongan
publik di bawah ancaman sanksi dengan cara-cara yang militeristik. Akibat restriksi seperti
ini jumlah penerbitan pers pun tidak banyak, jumlahnya hanya sekitar 200-an surat kabar. Itu
pun hanya mereka-mereka yang memiliki modal besar dan relasi yang kuat dengan penguasa
serta memiliki group perusahaan yang berbentuk aliansi agar dapat menerbitkan sebanyak
mugkin media cetak.
Keadaan ini berlangsung selama lebih dari 30 tahun. Tentu saja, merupakan waktu
yang cukup lama untuk memasung kebebasan , kreativitas, objektivitas, dan profesionalitas
pers serta menumpulkannya. Oleh karenanya ketika kekuasaan rezim Orde Baru berakhir
insan pers seperti ”kaget”, dan menghasilkan produk pers yang ”kagetan” pula.
Dikatakan demikian karena pada masa reformasi telah terbit ratusan surat kabar baru
dengan isi yang sangat beragam, mulai dari politik, ekonomi, sosial, budaya dengan standar
minimal. Kebanyakan diantara mereka hanya mengejar profit atau mengabdi kepada
kepentingan kelompok tertentu dengan menempatkan dirinya sebagai pers partisan.
Ashadi Siregar dalam Menur Adhiyasasti dan Puji Rianto mengatakan bahwa
institusi pers merupakan institusi sosial dan institusi ekonomi. Sebagai institusi sosial, pers
mempunyai nilai idealisme yang diperjuangkan, sedangkan sebagai institusi ekonomi, pers
layaknya bisnis yang menjual berita sebagai produk ke pengiklan dan masyarakat. Oleh
karenanya, muatan isi media sangat ditentukan oleh permintaan market (pasar) dan
ketersediaan pasar. Dengan demikian, ketika pers dibebaskan untuk terbit tanpa adanya
persyaratan SIUPP maka menghadirkan koran dengan corak jurnalisme kuning (yellow
journalism) dianggap mempunyai market yang menjanjikan sehingga koran-koran dengan
model jurnalisme seperti ini banyak bermunculan. Keinginan para pengelola pers untuk
mengejar keuntungan semata-mata (profit oriented) telah membuat para pekerja media lebih
mementingkan aspek-aspek sensionalisme dibandingkan dengan menyajikan berita yang
mempunyai siginifikan bagi audiens. Mereka tidak lagi peduli apakah berita-berita yang
mereka tampilkan mempunyai dampak buruk terhadap masyarakat ataukah tidak. Sepanjang
berita tersebut mempunyai nilai jual yang tinggi meskipun harus mengeksploitasi seks
kekerasan, dan kehidupan pribadi orang lain, akan tetap mereka sajikan. Pada akhirnya motif
ekonomi telah menegasikan pertimbangan-pertimbangan moral, etika, dan tentu saja
profesionalisme.[6]
Penelitian Dewan Pers, dengan Tema Pers Daerah, Demokratisasi dan
Profesionalisme tahun 2004 juga menunjukkan gejala yang sama dengan sinyalemen Ashadi
Siregar. Hasil penelitian Dewan Pers menunjukkan bahwa media daerah mempunyai
performance yang kurang bagus jika dilihat dari ukuran-ukuran jurnalisme profesional, yang
diukur berdasarkan tingkat relevansi berita bagi audiens. [7]
Media daerah sangat terpengaruh oleh kuatnya modal atas praktik junalisme.
Akibatnya, para wartawan dan pengelola media lebih cenderung mengejar maksimasi
keuntungan melalui oplah dibandingkan dengan melayani kebutuhan masyarakat akan
informasi yang disajikan kurang mempunyai siginifikasi bagi masyarakat. Pers cenderung
memberitakan hal-hal yang lebih bersifat sensasional, provokatif, dan peristiwa-peristiwa
yang sengaja didramatisir atau hanya menyentuh tingkat ketertarikan pembaca.

Berangkat dari kenyataan di atas dapat dijawab pertanyaan yang diajukan dalam
artikel ini bahwa hubungan antara pemerintah dan media massa yang bersifat adversary
relationship terjadi pada media yang sehat secara bisnis. Sedangkan hubungan yang bersifat
cronie relatioship terjadi pada media yang tidak sehat secara bisnis.
Menurut Dewan Pers yang masuk dalam kategori quality journalism adalah misalnya
Kompas, Media Indonesia, Republika, Jawa Pos, dsb. Berdasarkan penelitian Dewan Pers
tahun 2006 terungkap pula bahwa media-media yang menggunakan quality journalisme
selalu memenangkan sebagai pers terbaik di Indonesia.
Fungsi pers seperti yang diungkapkan oleh Nimmo tidak terihat dalam media yang
menerapkan jurnalisme kuning. Sebaliknya fungsi media tersebut dapat tercipta dengan baik
bila media massa menerapkan quality journalism.
Meskipun beberapa sudah memperaktekkan quality journalism, tetapi pada umumnya
media massa kita belum menerapkan public journalisme. Pada kenyataannya media massa
kita masih terjebak pada model jurnalisme konvensional, yakni model jurnalisme yang sangat
dipengaruhi oleh industri media dan intervensi pemilik dan aktor politik dalam dalam
menentukan isi media (event’s oriendted journalism). Ini ditandai misalnya, oleh masih
maraknya media yang menyandarkan beritanya pada omongan narasumber (talking
journalism), tanpa ada usaha untuk melakukan investigasi.

Daftar Pustaka

Crouch, Harold. Militer & Politik Di Indonesia, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1996
Hanazaki, Yasuo. Pers Terjebak, Institut Studi Arus Informasi: Jakarta, 1998
Meril, John C, Global Journalism: Survey of International Communication., Longman
Publisher :USA, 1995.
Mc Quail, Denis. Teori Komunikasi Massa,Erlangga : Jakarta, 1991
—————-, Mass Communication Theories, Sage Publication: 2005
Nimmo, Dan. Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan dan Media, Remaja Rosda
Karya:Bandung, 1999.
Putra, Afdal Makkuraga, Dinamika Pers Politik di Indonesia dalam Jurnal Media Watch The
Habibie Center (MWTHC), November 2006
Rahmadi F, Perbandingan Sistem Pers; Abalisa Deskripsi Sistem Pers di Berbagai Negara.
Gramedia-Jakarta, 1990
Rahayu (editor), Menyingkap Profesionalme Kinerja Surat Kabar di Indonesia.Dewan Pers:
2006.
Sibert, et.al. Empat Teori Pers (terjemahan dari judul Four Theories of the Press). Intermasa:
Jakarta, 1986.
Steele, Janet. Wars Within: The Story of Tempo an Independent Magazine in Soehato’s
Indonesia. Equinox Publishing & Institute Southeast Asian Studies:
Singapore, 2005.
Zaini Abar, Akhmad. Kisah Pers Indonesia 1966 -1974, LKiS: Yogyakarta, 1995
Makka, A Makmur, Office Politik Dalam Pers, dalam Jurnal Media Watch The Habibie
Center, Januari 2006
Gaya Panji Mengungkap Skandal Feisal, dalam jurnal Media Watch The Habibie Center,
April 2000
Catatan Kemerdekaan Media di Indonesia, dalam jurnal Media Watch The Habibie Center,
Mei 2000
400 M Vs 400 M, dalam jurnal Media Watch The Habibie Center, April 2000
[1] Lihat artikel Edmund B. Lambeth, Global Media Philosophies dalam buku John C. Meril, Global
Journalism: Survey of International Communication., Longman Publisher :USA, 1995. hal 16
[2] Lihat Wisnu Marta Adiputra, Melampaui Jurnalisme: Dimensi Evaluatif Berita Surat Kabar Indonesia
(kasus Kompas dan Bernas) dan Agenda Jurnalisme Publik. Dalam Rahayu (editor) Menyingkap
Profesionalme Kinerja Surat Kabar di Indonesia, Dewan Pers: 2006.
[3] Data ini dipresentasikan oleh pengurus Harian SPS. Leo Batubara, dalam sebuah seminar di Jakarta,
Desember 2006.
[4] Ibid
[5] Yellow journalism muncul pertama kali pada tahun 1883 di Amerika Serikat. Kemunculannya melalui
proses yang cukup panjang dan dapat dikatakan evolutif. Dalam wikipedia, disebutkan bahwa Yellow
journalism merupakan suatu tipe jurnalisme yang dimana berita-berita yang mempunyai nilai-nilai
sensaionalisme tinggi lebih ditekankan dibandingkan dengan laporan berita yang bersifat factual. Sedangkan
quality journalism adalah kebalikan dari yellow journalism. Quality journalism suatu tipe jurnalisme dimana
berita-berita ditulis berdaskan fakta disertai dengan analis mendalam dibalik fakta tersebut sehingga tersaji
sebuah berita yang komprehensif.
[6] Lihat artikel Menur Adhiyasasti dan Puji Rianto, Jurnalisme Kuning di Indonesia dan Matinya
Profesionalisme dalam Rahayu (editor) Menyingkap Profesionalme Kinerja Surat Kabar di Indonesia.Dewan
Pers: 2006.
[7] Media daerah yang dijadikan sebagai objek penelitian adalah Kedaulatan Rakyat, Malang Pos, Pikiran
Rakyat, Radar Tasikmalaya, Solo Pos, Suara Merdeka, Radar Bojonegoro, Radar Bromo, Radar Madura dan
Bernas. Lihat Rahayu (editor) Menyingkap Profesionalme Kinerja Surat Kabar di Indonesia.Dewan Pers: 2006.

Anda mungkin juga menyukai