Anda di halaman 1dari 55

Pelanggaran-Pelanggaran Kode Etik

Jurnalistik
Senin, 29 Maret 2010 17:27

Wina Armada Sukardi

Walaupun pers dituntut harus selalu tunduk dan taat kepada Kode Etik Jurnalistik,
pers ternyata bukanlah malaikat yang tanpa kesalahan. Data yang ada
menunjukkan bahwa pada suatu saat pers ada kalanya melakukan kesalahan atau
kekhilafan sehingga melanggar Kode Etik Jurnalistik.

Berbagai faktor dapat menyebabkan hal itu terjadi. Dari pengalaman hampir
seperempat abad dapat disimpulkan bahwa peristiwa tersebut dapat terjadi antara
lain karena faktor-faktor sebagai berikut:

Faktor Ketidaksengajaan

1. Tingkat profesionalisme masih belum memadai, antara lain meliputi:


- Tingkat upaya menghindari ketidaktelitian belum memadai.
- Tidak melakukan pengecekan ulang.
- Tidak memakai akal sehat.
- Kemampuan meramu berita kurang memadai.
- Kemalasan mencari bahan tulisan atau perbandingan.
- Pemakaian data lama (out of date) yang tidak diperbarui.
- Pemilihan atau pemakian kata yang kurang tepat.
2. Tekanan deadline sehingga tanpa sadar terjadi kelalaian.
3. Pengetahuan dan pemahaman terhadap Kode Etik Jurnalistik memang masih
terbatas.

Faktor Kesengajaan

1. Memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang Kode Etik Jurnalistik, tetapi sejak
awal sudah ada niat yang tidak baik.
2. Tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman yang memadai tentang Kode Etik
Jurnalistik dan sejak awal sudah memiliki niat yang kurang baik
3. Karena persaingan pers sangat ketat, ingin mengalahkan para mitra atau
pesaing sesama pers secara tidak wajar dan tidak sepatutnya sehingga sengaja
membuat berita yang tidak sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik.
4. Pers hanya dipakai sebagai topeng atau kamuflase untuk perbuatan kriminalitas
sehingga sebenarnya sudah berada di luar ruang lingkup karya jurnalistik.

Jika pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik karena faktor ketidaksengajaan,


termasuk dalam pelanggaran kategori 2, artinya masih dimungkinkan adanya ruang
yang bersifat toleransi. Tak ada gading yang tak retak. Tak ada manusia yang
sempurna. Sehebat-hebatnya satu media pers, bukan tidak mungkin suatu saat
secara tidak sengaja atau tidak sadar melanggar Kode Etik Jurnalistik. Dalam kasus
seperti ini, biasanya setelah ditunjukkan kekeliruan atau kesalahannya, pers yang
bersangkutan segera memperbaiki diri dan melaksanakan Kode Etik Jurnalistik
dengan benar, bahkan kalau perlu dengan kesatria meminta maaf.
Memang, pers yang baik bukanlah pers yang tidak pernah tersandung masalah
pelanggaran Kode Etik Jurnalistik. Tetapi, pers yang setelah melakukan
pelanggaran itu segera menyadarinya dan tidak mengulangi lagi serta kalau perlu
meminta maaf kepada khalayak.

Sebaliknya, pelanggaran Kode Etik Jurnalistik yang disengaja dan termasuk dalam
pelanggaran kategori 1 merupakan pelanggaran yang berat. Sebagian
pelanggarnya bahkan tidak segera mengakui pelanggaran yang telah dibuatnya
setelah diberitahu atau diperingatkan tentang kekeliruannya. Berbagai macam
argumentasi yang tidak relevan sering mereka kemukakan. Hanya setelah
mendapat ancaman sanksi yang lebih keras lagi, sang pelanggar dengan tepaksa
mau mengikuti aturan yang berlaku.

Contoh-Contoh Kasus

Berikut ini contoh-contoh kasus yang pernah terjadi dan mengapa kasusnya terjadi.

1. Sumber Imajiner

Sumber berita dalam liputan pers harus jelas dan tidak boleh fiktif. Satu harian di
Medan melaporkan bahwa dalam suatu kasus dugaan korupsi di Partai Golkar
Sumatera Utara, Kepolisian Daerah Sumut telah mengeluarkan Surat Perintah
Penghentian Penyelidikan (SP3). Menurut harian ini, sumber berita adalah
Komisaris Besar A. Nainggolan dari Hubungan Masyarakat Polda Sumut yang
diumumkan dalam sebuah konferensi pers. Ternyata pertemuan itu tidak pernah
ada. Begitu pula petugas humas yang dimaksud itu juga tidak pernah
mengeluarkan pernyataan seperti itu. Dengan kata lain, sumber beritanya fiktif.
Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik yang dilakukan oleh wartawan harian ini karena
telah membuat berita dengan sumber imajiner alias tidak ada atau fiktif.

2. Identitas dan Foto Korban Susila Anak-Anak Dimuat

Sesuai dengan asas moralitas, menurut Kode Etik Jurnalistik, masa depan anak-
anak harus dilindungi. Oleh karena itu, jika ada anak di bawah umur, baik sebagai
pelaku maupun korban kejahatan kesusilaan, identitasnya harus dilindungi.

Masih di Medan, satu harian lainnya menemukan adanya pencabulan atau


pelecehan seksual oleh seorang pejabat setempat terhadap seorang anak di bawah
umur. Koran ini sampai tiga kali berturut-turut menurunkan berita tersebut. Di
judul berita pun nama korban susila di bawah umur itu disebut dengan jelas. Tidak
hanya itu. Selain memuat identitas berupa nama korban, foto korban pun
terpampang dengan jelas dan menonjol karena ingin membuktikan bahwa kejadian
itu memang benar.

Pemuatan nama dan pemasangan foto korban susila di bawah umur inilah yang
melanggar Kode Etik Jurnalistik.

3. Tidak Paham Makna "Off the Record"

Menurut Kode Etik Jurnalistik, wartawan wajib menghormati ketentuan tentang off
the record. Artinya, apabila narasumber sudah mengatakan bahan yang diberikan
atau dikatakannya adalah off the record, wartawan tidak boleh menyiarkannya.
Kalau wartawan tidak bersedia terikat dengan hal itu, sejak awal ia boleh
membatalkan pertemuan dengan narasumber yang ingin menyatakan
keterangan off the record.

Begitu pula off the record tidak berlaku bagi informasi yang sudah menjadi rahasia
umum.

Satu lagi, terdapat tradisi jurnalis bahwa off the record tidak berlaku untuk opini.
Dengan kata lain, off the record lebih diutamakan untuk hal-hal yang berkaitan
dengan data dan fakta. Tetapi, kalau wartawan sudah bertemu dengan narasumber
yang menyatakan keterangannya off the record, ia terikat dengan kesepakatan ini.
Apabila keterangan off the record disiarkan juga, maka seluruh berita tersebut
menjadi tangggung jawab wartawan atau pers yang bersangkutan. Dalam hal ini
narasumber dibebaskan dari segala beban tangung jawab karena pada prinsipnya
keterangan off the recordharus dipandang tidak pernah dikeluarkan oleh
narasumber untuk disiarkan. Pemberitaan sesuatu yang off the recordsepenuhnya
menjadi tangung jawab pers yang menyiarkannya.

Tetapi, justru inilah yang tidak dilakukan oleh wartawan satu harian di Yogyakarta.
Seorang narasumber dari kantor Telekomunikasi setempat mengungkapkan bahwa
ada pungutan tidak resmi oleh Asosiasi Warung Telepon di Yogyakarta antara Rp5
juta - Rp25 juta. Keterangan tersebut dengan jelas dan tegas dinyatakan
sebagai off the record. Tetapi, ternyata oleh wartawan surat kabar ini keterangan
tersebut tetap disiarkan. Ini jelas merupakan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik,
yakni menyiarkan berita yang sebenarnya off the record.

Akibatnya, narasumber yang tadinya begitu percaya kepada wartawan, merasa


dikhianati. Apalagi kemudian dari segi yuridis atau hukum narasumber tersebut
dituduh mencemarkan nama baik. Di tingkat Pengadilan Negeri ia kalah. Alasannya,
menurut hakim, yang boleh mengatakan off the record hanyalah pejabat tertentu!
Orang pada posisi setingkat narasumber itu, seorang yang cuma memiliki jabatan
kepala, tidak boleh atau tidak berhak mengeluarkan pernyataan off the record, kata
hakim. (Pendapat demikian, dilihat dari sudut pandang Kode Etik Jurnalistik,
tentulah sangat keliru).

Pada tingkat Pengadilan Tinggi, narasumber tersebut dibebaskan. Tetapi, di tingkat


kasasi, Mahkamah Agung menghukum narasumber dengan dua bulan penjara.
Pengajuan "Peninjauan Kembali" oleh narasumber ditolak dengan alasan tidak
memenuhi alasan formal. (Sebagai bentuk kekecewaan, narasumber sempat
mengiris nadi tangannya untuk bunuh diri, tetapi jiwanya dapat diselamatkan).

Ketidakpahaman terhadap makna off the record juga terjadi pada wartawan satu
terbitan pers di Surabaya. Suatu saat adabriefing dari seorang petinggi Tentara
Nasional Indonesia tentang berbagai hal yang dinilai sensitif bagi perkembangan
pertahanan dan keamanan negara. Perwira tinggi itu sebelum memulai
keterangannya sudah mengatakan bahan-bahan yang diberikannya bersifat off the
record. Apa yang kemudian terjadi? Salah seorang wartawan yang hadir di sana
memberitakan seluruh isi briefing tersebut dengan lengkap. Malahan di bagian akhir
laporannya diberitakan bahwa keterangan itu bersifat off the record.

Ini pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik. Pelanggaran semacam ini


menurunkan kredibilitas pers, sebab jika hal seperti ini sering terjadi maka
narasumber tidak akan lagi percaya kepada pers.

4. Tidak Memperhatikan Kredibilitas Narasumber


Berita ini tidak main-main. Judulnya: "Dua Jenderal Berebut Seorang Janda."
Adapun yang dimaksud dengan dua jenderal pun tidak tanggung-tanggung, yaitu
dua tokoh militer Indonesia: Try Sutrisno, mantan panglima TNI dan juga mantan
wakil presiden, serta Edy Sudrajat yang juga mantan panglima TNI. Tetapi, berita
ini merupakan contoh bagaimana pers sering kurang memperhatikan kredibilitas
narasumber.

Kisahnya bermula dari seorang wartawan di satu harian ibu kota. Suatu hari sang
wartawan berjumpa dengan Nani, seorang pramuria di Bar King di Jakarta.
Berceritalah Nani dengan bangganya bahwa ia diperebutkan oleh dua jenderal
sekaligus, masing-masing Try Sutrisno dan Edy Sudrajat. Berita ini semula sempat
diturunkan di harian tempat wartawan itu bekerja. Tetapi, karena pertimbangan
jurnalistik, terbitan pers itu menolak menyiarkannya.

Sesudah masa Reformasi, sang wartawan menjadi pemimpin redaksi dan sekaligus
pemimpin umum satu tabloid. Ia merasa bahwa kisah ini akurat karena
didengarnya langsung dari mulut seorang pramuria. Ia mengaku "ingin membela
orang tertindas dan demi kemanusiaan." Ia juga mengaku sudah tiga kali mencoba
mendatangi rumah Try Sutrisno, tetapi ditolak oleh penjaganya.

Pemberitaan ini melanggar Kode Etik Jurnalistik. Pertama, karena wartawan tidak
memperhatikan kredibilitas narasumbernya. Walaupun mendengar sendiri
pengakuan tersebut, ia tidak memperhatikan siapakah yang menceritakan
kisahnya. Biasanya sudah lumrah bahwa para pramuria bercerita tentang
kehebatan para "kliennya" untuk menunjukkan daya tarik mereka. Soal
kebenarannya, tentu saja lain perkara. Semua keterangan seperti ini pada awalnya
tentulah harus diragukan. Di sinilah wartawan tersebut tidak meneliti kembali
kebenaran berita yang akan disiarkannya.

Dalam kasus seperti ini seharusnya wartawan atau pers wajib lebih dahulu
meragukan atau skeptis terhadap informasi semacam itu, sampai dapat dibuktikan
kebenarannya sebelum boleh disiarkan. Tanpa fakta yang benar, berita seperti itu
belum layak disiarkan.

Dari segi hukum, Try Sutrisno berkeberatan untuk melakukan kompromi. Ia


mengadukan sang wartawan ke penegak hukum, dan memang oleh pengadilan
wartawan tersebut akhirnya dihukum penjara enam bulan.

5. Melanggar Hak Properti Pribadi


Merasa ada berita affair atau perselingkuhan yang menarik antara anak mantan
presiden Indonesia dengan seorang polisi, seorang wartawan majalah mingguan di
Jakarta nekad masuk ke rumah seorang narasumber dengan melompati pagar
rumah narasumber tersebut. Ketika melakukan hal itu, sang wartawan tidak sedang
dalam penyamaran dan sudah diperingatkan oleh pemilik rumah untuk tidak boleh
masuk. Perbuatan ini merupakan pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik yang
mengharuskan wartawan menghormati hak-hak pribadi orang lain, kecuali bila ada
kepentingan umum.

Walaupun wartawan dalam menjalankan tugasnya dilindungi oleh hukum, tidak


berarti wartawan dibolehkan untuk tidak menghormati hak-hak hukum yang dimiliki
pihak lain. Wartawan sebagai warga negara mempunyai kedudukan yang sama di
mata hukum. Batas-batas kemerdekaan wartawan, dalam situasi umum, adalah
batas hak-hak hukum yang dimiliki oleh pihak lain. Wartawan juga harus
menghormati hak tersebut karena rumah adalah milik pribadi orang lain yang
keberadaannya sah dan diakui oleh perundang-undangan. Maka apabila pemilik
rumah ingin mempertahankan hak-hak yang dimilikinya terhadap siapa pun,
termasuk wartawan itu, hal tersebut diakui dan dilindungi oleh hukum.

Oleh sebab itulah maka memasuki rumah seseorang tanpa izin merupakan
pelanggaran, dan risiko yang ada menjadi tanggung jawab wartawan itu
sepenuhnya. Di Amerika Serikat, apabila ada pihak yang tidak dikehendaki
memasuki rumah orang lain dan tidak mau pergi, kalau ditembak, maka pihak yang
masuk ke rumah itulah yang dianggap bersalah.

Seharusnya wartawan menunggu saja di luar pagar. Kalaupun tetap merasa


memiliki kepentingan umum dalam kasus ini, seharusnya wartawan melakukan
peliputan dengan teknik investigative reporting. Sebab, dalam peliputan
investigatif, menurut mekanisme pers, ketentuan hukum yang berlaku dapat
memperoleh pengecualian untuk diterobos---dengan catatan bahwa segala risiko
tetap menjadi tangung jawab pers.

6. Menyiarkan Gambar Ilustrasi Sembarangan

Pemasangan foto atau penyiaran gambar ilustrasi dalam pers harus memperhatikan
relevansi sosial serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Pemasangan foto
atau penyiaran gambar illustrasi yang sembarangan dapat diterima dengan makna
yang jauh berlainan, dan karena itu dapat menjadi pelanggaran terhadap Kode Etik
jurnalistik.
Satu majalah membuat berita tentang banyaknya remaja putri yang menjadi
wanita panggilan atau menjajakan seks bebas. Pemuatan berita tersebut disertai
satu foto ilustrasi yang menggambarkan aktivitas sekelompok remaja puteri di
suatu pusat perbelanjaan. Para remaja puteri yang ada dalam foto ilustrasi itu
sama sekali bukan pelaku yang menjadi bahan laporan dan tidak ada kaitannya
dengan pelaku. Dalam caption atau teks gambar diterangkan, "Para remaja puteri
di sebuah pusat perbelanjaan."

Orang tua remaja puteri yang ada dalam foto itu langsung memprotes keras
pemuatan foto anaknya di majalah tersebut. Dengan adanya foto itu seakan-akan
kelompok remaja puteri penganut seks bebas yang diceritakan dalam berita itu
termasuk anaknya. Padahal, tidak benar sama sekali. Redaksi majalah itu pun
mengakui bahwa foto itu tidak dimaksudkan sebagai pelaku dalam laporan ini,
melainkan hanya sebagai ilustrasi.

Pemuatan foto semacam ini melanggar Kode Etik Jurnalistik karena menyiarkan
berita yang menyesatkan. Ilustrasi foto yang dimuat itu seakan-akan menunjukkan
atau merujuk kepada tulisan bahwa itulah para remaja puteri yang "menjual diri"
atau melakukan seks bebas.

Kasus serupa ini jugs terjadi pada satu stasiun televisi di Jakarta. Ketika melakukan
penyiaran laporan investigatif tentang kawin kontrak antara gadis-gadis desa
Indonesia dengan warga negara asing, khususnya dengan warga dari Timur
Tengah, stasiun itu menyiarkan upacara perkawinan di daerah tersebut. Padahal,
ternyata peristiwa itu adalah upacara perkawinan yang sebenarnya, bukan upacara
kawin kontrak sebagaimana yang dimaksud oleh stasiun televisi tersebut.

Penyiaran berita suatu peristiwa tanpa dicek dahulu kebenarannya merupakan


pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik karena mungkin tidak akurat, tidak
melakukan pengecekan terhadap sumber informasi, dan cenderung menjadi fitnah.
Setelah mengetahui kesalahannya, stasiun televisi itu segera meralat dan meminta
maaf atas kesalahannya.

7. Wawancara Fiktif

a. Untuk mengejar eksklusivitas, ada wartawan yang akhirnya melakukan


kesalahan fatal. Untuk membuktikan kehebatannya, sebagian wartawan sampai
menipu masyarakat dengan wawancara yang sebenarnya tidak pernah ada alias
fiktif. Satu harian di Jakarta memuat wawancara dengan seorang tokoh dalam
bentuk tanya jawab yang cukup panjang.

Setelah dimuat, barulah diketahui bahwa narasumber wawancara itu sebenarnya


sudah meninggal dua tahun sebelum laporan ini disiarkan. Dengan kata lain,
wawancara tersebut fiktif alias tidak pernah dilakukan dengan narasumber yang
sebenarnya.

Jelas ini merupakan pelanggaran berat terhadap Kode Etik Jurnalistik karena
melakukan pemberitaan bohong. Tetapi, harian tersebut tidak pernah meminta
maaf.

b. Kasus wawancara fiktif juga terjadi di Surabaya. Seorang wartawan harian di


Surabaya menurunkan berita hasil wawancaranya dengan seorang isteri dari
seseorang yang baru saja dituduh sebagai teroris. Untuk meyakinkan kepada
publiknya, sang wartawan sampai mendeskripsikan bagaimana wawancara itu
terjadi. Karena berasal dari sumber yang katanya terpercaya, hasil wawancara
tersebut tentu saja menjadi perhatian masyarakat luas.

Tetapi, belakangan terungkap, ternyata wawancara tersebut juga palsu alias fiktif
karena tidak pernah dilakukan sama sekali. Isteri orang yang dituduh teroris kala
itu sedang sakit tenggorok sehingga untuk bercakap-cakap saja sudah sulit, apalagi
memberikan keterangan panjang lebar seperti laporan wawancara tersebut. Tetapi,
yang terutama adalah bahwa wartawan dari harian ini memang tidak pernah bersua
dengan isteri orang yang disangka teroris itu dan tidak pernah ada wawancara
sama sekali.

Ini juga jelas merupakan pelanggaran berat terhadap Kode Etik Jurnalistik karena
melakukan pemberitaan bohong dan fitnah.

8. Tidak Memakai Akal Sehat (Common Sense)

Banyak wartawan yang dalam menyiarkan berita melupakan unsur akal sehat.
Berita pers pada dasarnya tetap harus mengacu kepada akal sehat atau common
sense. Apabila ada berita yang berada di luar akal sehat, harus dilakukan
pengecekan berkali-kali sampai terbukti apakah berita itu benar atau tidak. Prinsip
yang dipakai dalam hal ini adalah, pertama-tama, wartawan harus lebih dahulu
bersikap skeptis atau cenderung tidak percaya terhadap berita yang tidak masuk
akal, sampai memang terbukti sebaliknya bahwa berita itu benar adanya.

a. Dalam suatu kasus penculikan antarkelompok di Jakarta, beberapa harian secara


bersama-sama memberitakan bahwa salah satu pihak yang diculik telah "dibor
kepala dan lengannya" oleh orang yang menculik. Kendati begitu, orang yang
"dibor" itu ternyata tidak mengalami luka yang berarti.

'Sebenarnya berita ini bersumber dari petugas resmi Kepolisian Daerah Metro Jaya.
Para wartawan berasumsi bahwa semua bahan yang dikeluarkan dari pihak resmi,
seperti Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya, pasti benar adanya. Namun,
belakangan pihak yang dituduh melakukan "pengeboran kepala dan lengan" dalam
berita tersebut melakukan protes.

Sewaktu dimintai konfirmasi kepada para wartawan yang memberitakan soal


pengeboran itu, ternyata mereka tidak dapat membuktikan adanya "pengeboran
kepala dan tangan korban." Ketika ditanyakan oleh Dewan Pers kepada salah
seorang wartawan yang memberitakan peristiwa tersebut, ia menjawab, "Yah,
mungkin dicolek-colek sedikit dengan bor." Tetapi, pengeboran itu sendiri rupanya
tidak pernah terjadi.

Terlepas dari kenyataan bahwa pihak yang melakukan penculikan memang


bersalah, dan berita yang diperoleh berasal dari sumber resmi seperti Humas Polda,
tetapi berita yang dibumbui dengan "pengeboran kepala dan tangan" ini oleh
Dewan Pers dinyatakan melanggar Kode Etik Jurnalistik. Berita semacam ini tidak
akurat dan wartawannya tidak mengecek kebenaran peristiwanya.

Dalam hal ini wartawan tetap dituntut untuk memakai akal sehat. Jika menurut
akal sehat tidak dapat diterima, maka menjadi kewajiban wartawan untuk
melakukan pengecekan berulang-ulang sampai kebenaran tentang apa yang terjadi
pada kasus itu terbukti. Mengabaikan akal sehat dapat menyebabkan wartawan
melanggar Kode Etik Jurnalistik.

b. Terlupakannya pemakaian akal sehat juga menyebabkan satu majalah berita di


Jakarta terpeleset melanggar Kode Etik Jurnalistik. Dalam pemberitaan majalah ini
dengan jelas dikatakan bahwa Kongres Wanita Indonesia (Kowani) mendukung
perkawinan poliandri, atau perkawinan wanita dengan lebih dari satu lelaki, serta
perkawinan sesama jenis kelamin.

Majalah ini memang sudah melakukan pemberitaan yang berimbang, yakni dengan
mewawancarai juga pihak Kowani. Dalam wawancara itu Kowani sudah tegas
membantah mendukung perkawinan sejenis, apalagi perkawinan poliandri.

Dari sudut asas keberimbangan, majalah itu memang tidak melanggar Kode Etik
Jurnalistik. Tetapi, karena melalaikan pentingnya akal sehat dalam pers, majalah ini
akhirnya melanggar Kode Etik Jurnalistik. Walaupun sudah jelas Kowani
membantah, masih juga ditulis bahwa organisasi ini mendukung poliandri dan
perkawinan sejenis, Selain itu, majalah ini juga melupakan akal sehat karena di
dunia ini yang melakukan perkawinan poliandri teramat sangat sedikit. Poliandri
antara lain terdapat pada suku Eskimo, Todas di India, dan sebagian masyarakat di
Tibet.

Apakah mungkin organisasi wanita semacam Kowani mendukung poliandri untuk


masyarakat Indonesia? Ini tidak masuk akal. Oleh karena itulah berita tersebut
melanggar Kode Etik Jurnalistik karena tidak akurat dan mengandung fitnah.

9. Sumber Berita Tidak Jelas

a. Dalam liputan pers, sumber berita harus jelas. Ketika pesawat Adam Air jatuh di
laut Majene, Sulawesi Barat, pada Januari 2007, hampir semua pers melakukan
kesalahan fatal. Hanya beberapa jam setelah pesawat itu jatuh, sebagian besar
pers mewartakan bahwa pesawat tersebut jatuh di daerah tertentu. Tak hanya itu,
ada pula pers yang langsung memberitakan bahwa rangka pesawat telah
ditemukan. Lebih dahsyat lagi sampai ada yang memberitakan bahwa "sembilan
korban ditemukan masih hidup."

Ini luar biasa. Kenapa? Karena setelah setahun peristiwa itu terjadi, ternyata
semua berita tentang di mana jatuhnya pesawat itu dan jumlah korban yang hidup
sama sekali tidak benar. Di mana pesawat jatuh pun tidak diketahui. Nasib korban
juga tidak diketahui. Tetapi, saat itu ada pers yang sampai berani mengatakan
bahwa "para korban sedang dievakuasi." Black box pesawat ini baru ditemukan
setahun kemudian di bawah kedalaman 2.000 meter laut. Itu pun setelah ada
pencarian khusus dengan bantuan Amerika Serikat.

Pelanggaran kode etik yang dilakukan di sini adalah karena pers yang
memberitakan kasus ini tidak mengecek lebih dahulu dari mana asal usul sumber
berita itu. Ketika dimintai konfirmasinya, dari mana sumber berita itu--yang
mempunyai data yang keliru, ternyata sumber berita tersebut imajiner alias tidak
jelas. Pelanggaran kedua, tidak pernah ada permintaan maaf dari pers terhadap
peristiwa ini. Padahal, menurut Kode Etik Jurnalistik, apabila pers mengetahui
bahwa berita yang disiarkannya keliru, maka mereka harus segera meralat dan
meminta maaf.

b. Kemajuan perkembangan teknologi informasi juga sering menggoda wartawan


untuk memakai narasumber yang belum jelas dan yang masih memerlukan
pengecekan akan kebenaran berita tersebut. Tanpa pengecekan lebih lanjut, berita
yang sumbernya tidak jelas dapat menyebabkan pers melanggar Kode Etik
Jurnalistik. Ini terjadi pada tiga surat kabar dan satu majalah di Jakarta.

Kisah ini berasal dari berita yang tersebar melalui pesan pendek SMS bahwa
Laksamana Sukardi, mantan menteri Badan Usaha Milik Negara dan bendahara
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), "kabur membawa duit 125 juta
US$."

Berita yang tidak jelas asal usulnya itu langsung "dimakan" oleh tiga surat kabar
dan satu majalah di Jakarta. Merasa mendapat "berita hebat", terbitan pers itu
membuat judul-judul bombastis seakan-akan berita itu sudah mereka cek
kebenarannya. Salah satu harian menulis judul provokatif: "Laks Pantas
Ditangkap." Sedangkan majalah itu menulis: "Kalau Mau Aman, Ia memang Harus
Lari."

Laksamana, yang merasa berita itu sepenuhnya tidak benar dan hanya fitnah,
mengadu ke Dewan Pers. Dari pemeriksaan Dewan Pers terbukti, Laksamana tidak
melarikan diri dengan membawa uang sebagaimana diberitakan. Faktanya,
Laksamana pergi ke Australia untuk menemani anaknya yang sakit dan telah
meminta izin kepada Presiden Megawati Sukarnoputri.

Berdasarkan hasil pemeriksaannya, Dewan Pers mengeluarkan putusan bahwa


keempat terbitan itu tidak melakukan pekerjaan yang dilandasi profesionalitas
jurnalistik dan telah melanggar Kode Etik Jurnalistik. Menurut Dewan Pers, terbitan-
terbitan itu "melanggar ketentuan untuk menghormati asas praduga tidak bersalah,
tidak mencampurkan opini dan fakta, harus berimbang, dan selalu meneliti
kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat." Sebagian dari terbitan itu
sekarang sudah berhenti beredar.

Pelanggaran ini terjadi karena wartawan mengandalkan narasumber yang sama


sekali tidak jelas, dalam hal ini SMS yang tidak diketahui asal muasalnya, dan tidak
mengecek lagi kebenaran berita itu. Akibatnya, selain tidak akurat juga melanggar
prinsip asas praduga tidak bersalah. Seharusnya seluruh bahan berita tersebut
dicek kembali kebenarannya.

10. Tidak Melayani Hak Jawab Secara Benar

Hak Jawab merupakan hal yang sangat penting dalam mekanisme kerja pers.
Begitu pentingnya Hak Jawab sehingga soal ini diatur baik dalam tingkat undang-
undang maupun dalam Kode Etik Jurnalistik. Hak Jawab memiliki dimensi
demokratis dalam pers. Adanya Hak Jawab menyebabkan publik memiliki akses
kepada informasi pers dan sekaligus sebagai sarana untuk membela kepentingan
mereka terhadap informasi yang merugikan mereka atau kelompoknya. Maka baik
menurut undang-undang maupun Kode Etik Jurnalistik, pers wajib melayani hak
jawab. Pers yang tidak melayani hak jawab melanggar Kode Etik Jurnalistik (dan
juga undang-undang).

Tetapi, dari pengalaman selama seperempat abad terakhir, salah satu pelanggaran
terhadap Kode Etik Jurnalistik yang sering terjadi justru dialami pada pelaksanaan
Hak Jawab ini. Masih ada pers yang tidak memahami makna Hak Jawab sehingga
terjadi berbagai pelanggaran terhadap Hak Jawab. Adapun bentuk dan alasan
pelanggaran ini antara lain sebagai berikut:

a. Tidak mengetahui bahwa Hak Jawab harus dilayani sehingga menolak pemuatan
Hak Jawab.
b. Hak Jawab baru dilayani setelah ada pengaduan dari pihak yang merasa
dirugikan ke Dewan Pers atau Dewan Kehormatan organisasi wartawan.
c. Menilai Hak Jawab sebagai salah satu bentuk iklan yang harus dibayar oleh pihak
yang mengirimkan tanggapan itu. Oleh sebab itulah terdapat terbitan yang setelah
memuat Hak Jawab segera mengirim kuitansi penagihan dengan keterangan "untuk
pemasangan advertorial." Padahal, sudah jelas bahwa Hak Jawab wajib dilayani
pers dan pemuatan atau penyiarannya harus gratis.
d. Dapat terjadi editing atau penyuntingan yang kurang atau tidak akurat atau
tidak profesional terhadap Hak Jawab sehingga mengubah substansinya. Bahwa
terhadap Hak Jawab boleh dilakukan editing memang betul, tetapi pelaksanaan
editing itu harus memenuhi kaidah profesional dan akurasi, antara lain tidak boleh
sampai mengubah maknanya.
e. Sengaja menunda waktu pelaksanaan Hak Jawab tanpa alasan yang kuat. Sesuai
dengan ketentuan, Hak Jawab harus diberi peluang sesegera mungkin. Dalam
artian bahwa Hak Jawab harus dipenuhi pada kemungkinan kesempatan pertama
sejak Hak Jawab itu diterima.

11. Membocorkan Identitas Narasumber

Dalam kasus tertentu wartawan mempunyai Hak Tolak, yakni hak untuk tidak
mengungkapkan identitas narasumber. Hak ini dipakai karena pada satu sisi pers
membutuhkan informasi dari narasumber yang ada, tetapi pada sisi lain
keselamatan narasumber (dan juga mungkin keluarganya) dapat terancam kalau
informasi itu disiarkan.

Untuk menghadapi keadaan seperti itulah maka kemudian ada Hak Tolak. Pers
dapat meminta informasi dari narasumber, tetapi narasumber dapat pula meminta
kepada wartawan agar identitasnya tidak disebutkan. Kalau ada yang menanyakan
sumber informasi ini, pers berhak menolak menyebutkannya. Inilah yang dimaksud
dengan Hak Tolak.

Sekali pers memakai Hak Tolak, maka pers wajib untuk terus melindungi indentitas
narasumbernya. Dalam keadaan ini seluruh tanggung jawab terhadap isi informasi
beralih kepada pers. Pers yang membocorkan identitas narasumber yang dilindungi
Hak Tolak melanggar hukum dan kode etik sekaligus. Tetapi, dalam praktik, karena
takut akan ancaman atau tidak mengerti makna kerahasiaan di balik Hak Tolak,
masih ada terbitan yang membocorkan identitas narasumber yang seharusnya
dirahasiakan, baik yang dilakukan secara terbuka maupun secara diam-diam.*
Kode Etik Jurnalistik
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi
manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia PBB.
Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan
berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas
kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers
itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung
jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati
hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk
dikontrol oleh masyarakat.
Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk
memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan
moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga
kepercayaan publik dan menegakkan integritas, serta profesionalisme. Atas
dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:
[sunting]Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat,
berimbang, dan tidak beritikad buruk.
[sunting]Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam
melaksanakan tugas jurnalistik.
[sunting]Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang,
tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas
praduga tak bersalah.
[sunting]Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
[sunting]Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban
kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku
kejahatan.
[sunting]Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
[sunting]Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak
bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai
ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan
kesepakatan.
[sunting]Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita
berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar
perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, danbahasa, serta tidak
merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat
jasmani.
[sunting]Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan
pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
[sunting]Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang
keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca,
pendengar, dan atau pemirsa.
[sunting]Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

[sunting]Penafsiran Pasal Demi Pasal


[sunting]Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat,
berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Penafsiran
a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara
hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain
termasuk pemilik perusahaan pers.
b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata
untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
[sunting]Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam
melaksanakan tugas jurnalistik.
Penafsiran
Cara-cara yang profesional adalah:
a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
b. menghormati hak privasi;
c. tidak menyuap;
d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara
dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara
berimbang;
f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar,
foto, suara;
g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain
sebagai karya sendiri;
h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita
investigasi bagi kepentingan publik.
[sunting]Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang,
tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas
praduga tak bersalah.
Penafsiran
a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran
informasi itu.
b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada
masing-masing pihak secara proporsional.
c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda
dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas
fakta.
d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
[sunting]Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Penafsiran
a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan
sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat
buruk.
c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar,
suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan
waktu pengambilan gambar dan suara.
[sunting]Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban
kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku
kejahatan.
Penafsiran
a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang
yang memudahkan orang lain untuk melacak.
b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.
[sunting]Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalah-gunakan profesi dan tidak menerima suap.
Penafsiran
a. Menyalah-gunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil
keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum
informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari
pihak lain yang mempengaruhi independensi.
[sunting]Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak
bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan
embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan
kesepakatan.
Penafsiran
a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan
narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan
permintaan narasumber.
c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber
yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.
d. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak
boleh disiarkan atau diberitakan.
[sunting]Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan
prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku,
ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa, serta tidak merendahkan
martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Penafsiran
a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum
mengetahui secara jelas.
b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.
[sunting]Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan
pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Penafsiran
a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.
b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya
selain yang terkait dengan kepentingan publik.
[sunting]Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang
keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca,
pendengar, dan atau pemirsa.
Penafsiran
a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada
maupun tidak ada teguran dari pihak luar.
b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi
pokok.
[sunting]Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Penafsiran
a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan
tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan
nama baiknya.
b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi
yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.
Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers.
Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan
dan atau perusahaan pers.
Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006
Kami atas nama organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers
Indonesia:
1. Aliansi Jurnalis Independen (AJI)-Abdul Manan
2. Aliansi Wartawan Independen (AWI)-Alex Sutejo
3. Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI)-Uni Z Lubis
4. Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia (AWDI)-OK. Syahyan Budiwahyu
5. Asosiasi Wartawan Kota (AWK)-Dasmir Ali Malayoe
6. Federasi Serikat Pewarta-Masfendi
7. Gabungan Wartawan Indonesia (GWI)-Fowa'a Hia
8. Himpunan Penulis dan Wartawan Indonesia (HIPWI)-RE Hermawan S
9. Himpunan Insan Pers Seluruh Indonesia (HIPSI)-Syahril
10. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)-Bekti Nugroho
11. Ikatan Jurnalis Penegak Harkat dan Martabat Bangsa (IJAB HAMBA)-Boyke
M. Nainggolan
12. Ikatan Pers dan Penulis Indonesia (IPPI)-Kasmarios SmHk
13. Kesatuan Wartawan Demokrasi Indonesia (KEWADI)-M. Suprapto
14. Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI)-Sakata Barus
15. Komite Wartawan Indonesia (KWI)-Herman Sanggam
16. Komite Nasional Wartawan Indonesia (KOMNAS-WI)-A.M. Syarifuddin
17. Komite Wartawan Pelacak Profesional Indonesia (KOWAPPI)-Hans Max
Kawengian
18. Korp Wartawan Republik Indonesia (KOWRI)-Hasnul Amar
19. Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI)-Ismed hasan Potro
20. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)-Wina Armada Sukardi
21. Persatuan Wartawan Pelacak Indonesia (PEWARPI)-Andi A. Mallarangan
22. Persatuan Wartawan Reaksi Cepat Pelacak Kasus (PWRCPK)-Jaja Suparja
Ramli
23. Persatuan Wartawan Independen Reformasi Indonesia (PWIRI)-Ramses
Ramona S.
24. Perkumpulan Jurnalis Nasrani Indonesia (PJNI)-Ev. Robinson Togap
Siagian-
25. Persatuan Wartawan Nasional Indonesia (PWNI)-Rusli
26. Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat- Mahtum Mastoem
27. Serikat Pers Reformasi Nasional (SEPERNAS)-Laode Hazirun
28. Serikat Wartawan Indonesia (SWI)-Daniel Chandra
29. Serikat Wartawan Independen Indonesia (SWII)-Gunarso Kusumodiningrat.
30. Persatuan Jurnalis Indonesia (PJI)-Darwin Hulalata,SH. (Disunting oleh
Asnawin)
Kode Etik Jurnalistik
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi
manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia PBB.
Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan
berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas
kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers
itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung
jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati
hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk
dikontrol oleh masyarakat.
Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk
memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan
moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga
kepercayaan publik dan menegakkan integritas, serta profesionalisme. Atas
dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:
[sunting]Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat,
berimbang, dan tidak beritikad buruk.
[sunting]Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam
melaksanakan tugas jurnalistik.
[sunting]Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang,
tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas
praduga tak bersalah.
[sunting]Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
[sunting]Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban
kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku
kejahatan.
[sunting]Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
[sunting]Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak
bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai
ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan
kesepakatan.
[sunting]Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita
berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar
perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, danbahasa, serta tidak
merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat
jasmani.
[sunting]Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan
pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
[sunting]Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang
keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca,
pendengar, dan atau pemirsa.
[sunting]Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

[sunting]Penafsiran Pasal Demi Pasal


[sunting]Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat,
berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Penafsiran
a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara
hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain
termasuk pemilik perusahaan pers.
b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata
untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
[sunting]Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam
melaksanakan tugas jurnalistik.
Penafsiran
Cara-cara yang profesional adalah:
a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
b. menghormati hak privasi;
c. tidak menyuap;
d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara
dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara
berimbang;
f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar,
foto, suara;
g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain
sebagai karya sendiri;
h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita
investigasi bagi kepentingan publik.
[sunting]Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang,
tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas
praduga tak bersalah.
Penafsiran
a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran
informasi itu.
b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada
masing-masing pihak secara proporsional.
c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda
dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas
fakta.
d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
[sunting]Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Penafsiran
a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan
sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat
buruk.
c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar,
suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan
waktu pengambilan gambar dan suara.
[sunting]Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban
kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku
kejahatan.
Penafsiran
a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang
yang memudahkan orang lain untuk melacak.
b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.
[sunting]Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalah-gunakan profesi dan tidak menerima suap.
Penafsiran
a. Menyalah-gunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil
keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum
informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari
pihak lain yang mempengaruhi independensi.
[sunting]Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak
bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan
embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan
kesepakatan.
Penafsiran
a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan
narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan
permintaan narasumber.
c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber
yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.
d. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak
boleh disiarkan atau diberitakan.
[sunting]Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan
prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku,
ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa, serta tidak merendahkan
martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Penafsiran
a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum
mengetahui secara jelas.
b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.
[sunting]Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan
pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Penafsiran
a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.
b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya
selain yang terkait dengan kepentingan publik.
[sunting]Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang
keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca,
pendengar, dan atau pemirsa.
Penafsiran
a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada
maupun tidak ada teguran dari pihak luar.
b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi
pokok.
[sunting]Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Penafsiran
a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan
tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan
nama baiknya.
b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi
yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.
Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers.
Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan
dan atau perusahaan pers.
Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006
Kami atas nama organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers
Indonesia:
1. Aliansi Jurnalis Independen (AJI)-Abdul Manan
2. Aliansi Wartawan Independen (AWI)-Alex Sutejo
3. Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI)-Uni Z Lubis
4. Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia (AWDI)-OK. Syahyan Budiwahyu
5. Asosiasi Wartawan Kota (AWK)-Dasmir Ali Malayoe
6. Federasi Serikat Pewarta-Masfendi
7. Gabungan Wartawan Indonesia (GWI)-Fowa'a Hia
8. Himpunan Penulis dan Wartawan Indonesia (HIPWI)-RE Hermawan S
9. Himpunan Insan Pers Seluruh Indonesia (HIPSI)-Syahril
10. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)-Bekti Nugroho
11. Ikatan Jurnalis Penegak Harkat dan Martabat Bangsa (IJAB HAMBA)-Boyke
M. Nainggolan
12. Ikatan Pers dan Penulis Indonesia (IPPI)-Kasmarios SmHk
13. Kesatuan Wartawan Demokrasi Indonesia (KEWADI)-M. Suprapto
14. Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI)-Sakata Barus
15. Komite Wartawan Indonesia (KWI)-Herman Sanggam
16. Komite Nasional Wartawan Indonesia (KOMNAS-WI)-A.M. Syarifuddin
17. Komite Wartawan Pelacak Profesional Indonesia (KOWAPPI)-Hans Max
Kawengian
18. Korp Wartawan Republik Indonesia (KOWRI)-Hasnul Amar
19. Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI)-Ismed hasan Potro
20. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)-Wina Armada Sukardi
21. Persatuan Wartawan Pelacak Indonesia (PEWARPI)-Andi A. Mallarangan
22. Persatuan Wartawan Reaksi Cepat Pelacak Kasus (PWRCPK)-Jaja Suparja
Ramli
23. Persatuan Wartawan Independen Reformasi Indonesia (PWIRI)-Ramses
Ramona S.
24. Perkumpulan Jurnalis Nasrani Indonesia (PJNI)-Ev. Robinson Togap
Siagian-
25. Persatuan Wartawan Nasional Indonesia (PWNI)-Rusli
26. Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat- Mahtum Mastoem
27. Serikat Pers Reformasi Nasional (SEPERNAS)-Laode Hazirun
28. Serikat Wartawan Indonesia (SWI)-Daniel Chandra
29. Serikat Wartawan Independen Indonesia (SWII)-Gunarso Kusumodiningrat.
30. Persatuan Jurnalis Indonesia (PJI)-Darwin Hulalata,SH. (Disunting oleh
Asnawin)
KEJ dan Undang-Undang Pers
Kode Etik Jurnalistik
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia
yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia PBB.

Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan


berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas
kehidupan manusia.

Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari


adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat,
dan norma-norma agama.

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati


hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk
dikontrol oleh masyarakat.

Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk


memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan
moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga
kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme.

Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik
Jurnalistik:

Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat,
berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Penafsiran:

a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara


hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain
termasuk pemilik perusahaan pers.
b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.

c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.

d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata
untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam
melaksanakan tugas jurnalistik.

Penafsiran:

Cara-cara yang profesional adalah:

a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;

b. menghormati hak privasi;

c. tidak menyuap;

d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;

e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara


dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara
berimbang;

f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar,


foto, suara;

g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain


sebagai karya sendiri;

h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita


investigasi bagi kepentingan publik.
Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang,
tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas
praduga tak bersalah.

Penafsiran:

a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran


informasi itu.

b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada


masing-masing pihak secara proporsional.

c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda
dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas
fakta.

d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Penafsiran:

a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan


sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.

b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat
buruk.

c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.

d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar,
suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.

e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan


waktu pengambilan gambar dan suara.
Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban
kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku
kejahatan.

Penafsiran

a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang
yang memudahkan orang lain untuk melacak.

b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.

Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Penafsiran

a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil


keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum
informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.

b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari
pihak lain yang mempengaruhi independensi.

Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak
bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan
embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan
kesepakatan.

Penafsiran:

a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan
narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.

b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan


permintaan narasumber.

c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber
yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.

d. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak
boleh disiarkan atau diberitakan.

Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan
prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku,
ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan
martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

Penafsiran:

a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum


mengetahui secara jelas.

b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.

Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan
pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

Penafsiran:

a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.

b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya


selain yang terkait dengan kepentingan publik.

Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang
keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca,
pendengar, dan atau pemirsa.
Penafsiran:

a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada
maupun tidak ada teguran dari pihak luar.

b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi


pokok.

Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Penafsiran:

a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan
tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan
nama baiknya.

b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi
yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.

Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers.
Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan
dan atau perusahaan pers.

Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006

Kami atas nama organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers


Indonesia:

1. Aliansi Jurnalis Independen (AJI)-Abdul Manan


2.Aliansi Wartawan Independen (AWI)-Alex Sutejo
3.Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI)-Uni Z Lubis
4.Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia (AWDI)-OK. Syahyan Budiwahyu
5.Asosiasi Wartawan Kota (AWK)-Dasmir Ali Malayoe
6.Federasi Serikat Pewarta-Masfendi
7.Gabungan Wartawan Indonesia (GWI)-Fowa’a Hia
8.Himpunan Penulis dan Wartawan Indonesia (HIPWI)-RE Hermawan S
9.Himpunan Insan Pers Seluruh Indonesia (HIPSI)-Syahril
10.Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)-Bekti Nugroho
11.Ikatan Jurnalis Penegak Harkat dan Martabat Bangsa (IJAB HAMBA)-Boyke
M. Nainggolan
12.Ikatan Pers dan Penulis Indonesia (IPPI)-Kasmarios SmHk
13.Kesatuan Wartawan Demokrasi Indonesia (KEWADI)-M. Suprapto
14.Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI)-Sakata Barus
15.Komite Wartawan Indonesia (KWI)-Herman Sanggam
16.Komite Nasional Wartawan Indonesia (KOMNAS-WI)-A.M. Syarifuddin
17.Komite Wartawan Pelacak Profesional Indonesia (KOWAPPI)-Hans Max
Kawengian
18.Korp Wartawan Republik Indonesia (KOWRI)-Hasnul Amar
19.Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI)-Ismed hasan Potro
20.Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)-Wina Armada Sukardi
21.Persatuan Wartawan Pelacak Indonesia (PEWARPI)-Andi A. Mallarangan
22.Persatuan Wartawan Reaksi Cepat Pelacak Kasus (PWRCPK)-Jaja Suparja
Ramli
23.Persatuan Wartawan Independen Reformasi Indonesia (PWIRI)-Ramses
Ramona S.
24.Perkumpulan Jurnalis Nasrani Indonesia (PJNI)-Ev. Robinson Togap Siagian-
25.Persatuan Wartawan Nasional Indonesia (PWNI)-Rusli
26.Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat- Mahtum Mastoem
27.Serikat Pers Reformasi Nasional (SEPERNAS)-Laode Hazirun
28.Serikat Wartawan Indonesia (SWI)-Daniel Chandra
29.Serikat Wartawan Independen Indonesia (SWII)-Gunarso Kusumodiningrat

UU 40/1999 Tentang Pers


Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor: 40 TAHUN 1999 (40/1999)
Tanggal: 23 SEPTEMBER 1999 (JAKARTA)
--------------------------------------------------------------------------------

Tentang: PERS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

a. bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan
menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga
kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum
dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 harus dijamin;

b. bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang


demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati
nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang
sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran,
memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa;

c. bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi,


dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban,
dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang
profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta
bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun;

d. bahwa pers nasional berperan ikut menjaga ketertiban dunia yang


berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial;

e. bahwa Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun
1967 dan diubah dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 sudah tidak
sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c,
d, dan e, perlu dibentuk Undang-undang tentang Pers;

Mengingat:

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 28 Undang-Undang
Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor


XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia;

Dengan persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERS.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan:

1. Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang


melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan,
suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk
lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis
saluran yang tersedia.

2. Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan


usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor
berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan,
menyiarkan, atau menyalurkan informasi.
3. Kantor berita adalah perusahaan pers yang melayani media cetak, media
elektronik, atau media lainnya serta masyarakat umum dalam memperoleh
informasi.

4. Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan


jurnalistik.

5. Organisasi pers adalah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.

6. Pers nasional adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers


Indonesia.

7. Pers asing adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers asing.

8. Penyensoran adalah penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh


materi informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan, atau tindakan teguran atau
peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun, dan atau kewajiban
melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan
jurnalistik.

9. Pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah penghentian penerbitan dan


peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum.

10. Hak Tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak
mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus
dirahasiakannya.

11. Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan
tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan
nama baiknya.

12. Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan
kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik *9980 tentang dirinya
maupun tentang orang lain.

13. Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap
suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah
diberitakan oleh pers yang bersangkutan.

14. Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan.

BAB II ASAS, FUNGSI, HAK, KEWAJIBAN DAN PERANAN PERS

Pasal 2

Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan
prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.

Pasal 3

(1) Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan,


hiburan, dan kontrol sosial.

(2) Di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi
sebagai lembaga ekonomi.

Pasal 4

(1) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.

(2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau


pelarangan penyiaran.

(3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari,
memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

(4) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan


mempunyai Hak Tolak.

Pasal 5

(1) Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan


menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas
praduga tak bersalah.
(2) Pers wajib melayani Hak Jawab.

(3) Pers wajib melayani Hak Koreksi.

Pasal 6

Pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:

a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;


b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi
hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan;
c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat,
dan benar;
d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal *9981
yang berkaitan dengan kepentingan umum;
e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

BAB III Wartawan

Pasal 7

(1) Wartawan bebas memilih organisasi wartawan.

(2) Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.

Pasal 8

Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.

BAB IV PERUSAHAAN PERS

Pasal 9

(1) Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan
pers.
(2) Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.

Pasal 10

Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan


pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta
bentuk kesejahteraan lainnya.

Pasal 11

Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal.

Pasal 12

Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab


secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers
ditambah nama dan alamat percetakan.

Pasal 13

Perusahaan pers dilarang memuat iklan:

a. yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu


kerukunan hidup antarumat beragama, serta bertentangan dengan rasa
kesusilaan masyarakat;
b. minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok.

Pasal 14

Untuk mengembangkan pemberitaan ke dalam dan ke luar negeri, setiap warga


negara Indonesia dan negara dapat mendirikan kantor berita.

BAB V DEWAN PERS

Pasal 15
(1) Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan
kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen.

(2) Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut:

a. melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain; b. melakukan


pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers; c. menetapkan dan
mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik; d. memberikan pertimbangan dan
mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang
berhubungan dengan pemberitaan pers; e. mengembangkan komunikasi antara
pers, masyarakat, dan pemerintah; f. memfasilitasi organisasi-organisasi pers
dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas
profesi kewartawanan; g. mendata perusahaan pers.

(3) Anggota Dewan Pers terdiri dari:

a. wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan; b. pimpinan perusahaan pers


yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers; c. tokoh masyarakat, ahli di bidang
pers dan atau komunikasi, dan bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi
wartawan dan organisasi perusahaan pers.

(4) Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers dipilih dari dan oleh anggota.

(5) Keanggotaan Dewan Pers sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

(6) Keanggotaan Dewan Pers berlaku untuk masa tiga tahun dan sesudah itu
hanya dapat dipilih kembali untuk satu periode berikutnya.

(7) Sumber pembiayaan Dewan Pers berasal dari:

a. organisasi pers; b. perusahaan pers; c. bantuan dari negara dan bantuan lain
yang tidak mengikat.

BAB VI PERS ASING


Pasal 16

Peredaran pers asing dan pendirian perwakilan perusahaan pers asing di


Indonesia disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

BAB VII PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 17

(1) Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan


pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.

*9983 (2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:

a. memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika, dan


kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers; b. menyampaikan
usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan
kualitas pers nasional.

BAB VIII KETENTUAN PIDANA

Pasal 18

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan
tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan
Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2),
serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).

(3) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12
dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
BAB IX KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 19

(1) Dengan berlakunya undang-undang ini segala peraturan perundang-


undangan di bidang pers yang berlaku serta badan atau lembaga yang ada tetap
berlaku atau tetap menjalankan fungsinya sepanjang tidak bertentangan atau
belum diganti dengan yang baru berdasarkan undang-undang ini.

(2) Perusahaan pers yang sudah ada sebelum diundangkannya undang-undang


ini, wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan undang-undang ini dalam waktu
selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak diundangkannya undang-undang ini.

BAB X KETENTUAN PENUTUP

Pasal 20

Pada saat undang-undang ini mulai berlaku:

1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok


Pers (Lembaran Negara Tahun 1966 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2815 ) yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 21
Tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor
52, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3235);

2. Undang-undang Nomor 4 PNPS Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap


*9984 Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban
Umum (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2533), Pasal 2 ayat (3) sepanjang menyangkut ketentuan mengenai
buletin-buletin, surat-surat kabar harian, majalah-majalah, dan penerbitan-
penerbitan berkala; dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 21

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 23 September 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 23 September 1999

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

MULADI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 166

PENJELASAN ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999


TENTANG PERS

I. UMUM

Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kemerdekaan berserikat dan


berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Pers yang meliputi
media cetak, media elektronik dan media lainnya merupakan salah satu sarana
untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan tersebut. Agar pers
berfungsi secara maksimal sebagaimana diamanatkan Pasal 28 Undang-Undang
Dasar 1945 maka perlu dibentuk Undang-undang tentang Pers. Fungsi maksimal
itu diperlukan karena kemerdekaan pers adalah salah satu perwujudan
kedaulatan rakyat dan merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis.
Dalam kehidupan yang demokratis itu pertanggungjawaban kepada rakyat
terjamin, sistem penyelenggaraan negara yang transparan berfungsi, serta
keadilan dan kebenaran terwujud.

Pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi


*9985 juga sangat penting untuk mewujudkan Hak Asasi Manusia yang dijamin
dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, antara lain yang menyatakan bahwa
setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi sejalan dengan
Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19 yang
berbunyi : "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan
pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa
gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan
buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas
wilayah".

Pers yang juga melaksanakan kontrol sosial sangat penting pula untuk
mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi,
nepotisme, maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya.

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati


hak asasi setiap orang, karena itu dituntut pers yang profesional dan terbuka
dikontrol oleh masyarakat.

Kontrol masyarakat dimaksud antara lain : oleh setiap orang dengan dijaminnya
Hak Jawab dan Hak Koreksi, oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti
pemantau media (media watch) dan oleh Dewan Pers dengan berbagai bentuk
dan cara. Untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih, undang-undang
ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas
Pasal 2

Cukup jelas

Pasal 3

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Perusahaan pers dikelola sesuai dengan prinsip
ekonomi, agar kualitas pers dan kesejahteraan para wartawan dan karyawannya
semakin meningkat dengan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya.

Pasal 4

Ayat (1) Yang dimaksud dengan "kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi
warga negara" adalah bahwa pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan,
dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin.
Kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan
pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan,
dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam Kode Etik Jurnalistik serta
sesuai dengan hati nurani insan pers. Ayat (2) Penyensoran, pembredelan, atau
pelarangan penyiaran tidak berlaku pada media cetak dan media elektronik.
Siaran yang bukan merupakan bagian dari pelaksanaan kegiatan jurnalistik
diatur dalam ketentuan undang-undang yang berlaku. *9986 Ayat (3) Cukup jelas
Ayat (4) Tujuan utama Hak Tolak adalah agar wartawan dapat melindungi
sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber
informasi. Hak tersebut dapat digunakan jika wartawan dimintai keterangan oleh
pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi di pengadilan. Hak Tolak dapat
dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan negara atau ketertiban umum
yang dinyatakan oleh pengadilan.

Pasal 5

Ayat (1) Pers nasional dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau
membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang
masih dalam proses peradilan, serta dapat mengakomodasikan kepentingan
semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut. Ayat (2) Cukup jelas Ayat
(3) Cukup jelas.
Pasal 6

Pers nasional mempunyai peranan penting dalam memenuhi hak masyarakat


untuk mengetahui dan mengembangkan pendapat umum, dengan
menyampaikan informasi yang tepat, akurat dan benar. Hal ini akan mendorong
ditegakkannya keadilan dan kebenaran, serta diwujudkannya supremasi hukum
untuk menuju masyarakat yang tertib.

Pasal 7

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan "Kode Etik Jurnalistik"
adalah kode etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh
Dewan Pers.

Pasal 8

Yang dimaksud dengan "perlindungan hukum" adalah jaminan perlindungan


Pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi,
hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Pasal 9

Ayat (1) Setiap warga negara Indonesia berhak atas kesempatan yang sama
untuk bekerja sesuai dengan Hak Asasi Manusia, termasuk mendirikan
perusahaan pers sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pers nasional mempunyai fungsi dan peranan yang penting dan
strategis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh
karena itu, negara dapat mendirikan perusahaan pers dengan membentuk
lembaga atau badan usaha untuk menyelenggarakan usaha pers. Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 10

*9987 Yang dimaksud dengan "bentuk kesejahteraan lainnya" adalah


peningkatan gaji, bonus, pemberian asuransi dan lain-lain. Pemberian
kesejahteraan tersebut dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara
manajemen perusahaan dengan wartawan dan karyawan pers.

Pasal 11

Penambahan modal asing pada perusahaan pers dibatasi agar tidak mencapai
saham mayoritas dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 12

Pengumuman secara terbuka dilakukan dengan cara : a. media cetak memuat


kolom nama, alamat, dan penanggung jawab penerbitan serta nama dan alamat
percetakan; b. media elektronik menyiarkan nama, alamat, dan
penanggungjawabnya pada awal atau akhir setiap siaran karya jurnalistik; c.
media lainnya menyesuaikan dengan bentuk, sifat dan karakter media yang
bersangkutan. Pengumuman tersebut dimaksudkan sebagai wujud
pertanggungjawaban atas karya jurnalistik yang diterbitkan atau disiarkan. Yang
dimaksud dengan "penanggung jawab" adalah penanggung jawab perusahaan
pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi. Sepanjang menyangkut
pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.

Pasal 13

Cukup jelas

Pasal 14

Cukup jelas

Pasal 15

Ayat (1) Tujuan dibentuknya Dewan Pers adalah untuk mengembangkan


kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas serta kuantitas pers nasional. Ayat
(2) Pertimbangan atas pengaduan dari masyarakat sebagaimana dimaksud ayat
(2) huruf d adalah yang berkaitan dengan Hak Jawab, Hak Koreksi, dan dugaan
pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup
jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas

Pasal 16

Cukup jelas

Pasal 17

Ayat (1) Cukup jelas *9988 Ayat (2) Untuk melaksanakan peran serta
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dapat dibentuk lembaga atau
organisasi pemantau media (media watch).

Pasal 18

Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Dalam hal pelanggaran pidana yang dilakukan oleh
perusahaan pers, maka perusahaan tersebut diwakili oleh penanggungjawab
sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 12. Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 19

Cukup jelas

Pasal 20

Cukup jelas

Pasal 21

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3887


Tahukah Anda kasus pelanggaran kode etik jurnalistik? Sebelum membahas kasus
pelanggaran kode etik jurnalistik, penulis akan menjelaskan seputar
jurnalistik.Jurnalistik adalah profesi publik. Kegiatannya yang menyebarluaskan sesuatu
yang layak dijadikan berita merupakan kegiatan yang dilindungi oleh UU Pers No.40
tahun 1999. Oleh karena negara dan masyarakat mengakui kegiatan ini. Maka insan
pers pun harus sigap dengan menanggapi profesi ini sebagai profesi yang memiliki
etika dan aturan main, sebagaimana profesi hakim, jaksa, dokter, atau polisi.

Kasus Pelanggaran Kode Etik Jurnalsitik - Etika

Etika ini dibuat memang bertujuan melindungi masyarakat dari berbagaikasus


pelanggaran kode etik jurnalistik oleh para jurnalis. Etika itu bahkan bilamana negara
tidak mengakui adanya penyiaran publik, dan masyarakat membencinya, tetap inheren
di dalam kegiatan jurnalistik. Alex Sobur mendefinisikan etika jurnalistik sudah ada
dalam sel-sel filsafat kegiatan jurnalistik itu sendiri:

“Filsafat di bidang moral pers, yaitu bidang yang mengenai kewajiban–kewajiban pers
dan tentang apa yang merupakan pers yang baik dan pers yang buruk, pers yang benar
dan pers yang salah, pers yang tepat dan pers yang tidak tepat.”

Lalu, “Etika pers adalah ilmu atau studi tentang peraturan-peraturan yang mengatur
tingkah laku pers; atau, dengan perkataan lain, etika pers itu berbicara tentang apa
yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang terlibat dalam kegiatan pers.” Dan,
“Etika pers mempermasalahkan bagimana pers itu dilaksanakan agar dapat memenuhi
fungsinya dengan baik.” (Sobur, 2001:146)

Namun, walau etika telah ada, hukum telah ditetapkan, kasus pelanggaran kode etik
jurnalistik masih tetap terjadi. Kejadiannya terkadang melibatkan sisi
ketidakprofesionalan para jurnalis. Dengan kata lain jurnalis yang malas. Salah satu
contoh dari kegiatan malas itu contohnya.

Contoh Kasus Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik

Kasus pelanggaran kode etik jurnalistik Indy Rachmawati dan TV one dalam kasus
Makelar Kasus. Indy melakukan fabrifikasi berita dengan menghadirkan narasumber
palsu yang disuap uang dengan isi berita nonfaktual dan direkayasa, Andris. Walau Indi
melakukan pembelaan bahwa Andris pun sering tampil sebagai narasumber palsu di
stasiun TV lainnya, hal itu tidak bisa dikategorikan lumrah. Karena Indy melanggarkode
etik jurnalistik pasal kedua:

Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas


jurnalistik. Penafsiran cara-cara yang profesional adalah:

a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;


b. menghormati hak privasi;
c. tidak menyuap;
d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi
dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai
karya sendiri;
h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi
bagi kepentingan publik.

Untuk kasus ini Indy, mendapatkan skorsing dari tugasnya. Sementara bagi televisi,
diberi peringatan keras oleh Dewan Pers, karena tidak menggunakan prinsip cover both
side.

Lantas ada kasus pelanggarang kode etik jurnalistik lainnya, kali ini melakukan
penyebaran berita bohong. Hal ini terjadi pada tayangan Silet, di mana skrip yang
dibacakan pembawa acara, mengangkat komentar paranormal, dalam kasus
meletusnya gunung Merapi.

Komentar paranormal yang mengatakan gunung merapi akan meletus dalam skala
besar merupakan spekulasi dan tidak terbukti, bisa dikategorkan sebagai hoax atau
berita bohong, kasus ini membuat geger seisi Yogya, di tengah derita menghadapi
bencana.

Media Silet telah melanggar pasal 4 kode etik jurnalistik, yang mengungkap
bahwa: Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan
cabul. Untuk kasus ini, tayangan Silet telah dicabut penayangannya dalam jangka
waktu yang tidak ditetapkan.

Kasus yang juga penting disimak adalah asas praduga tak bersalah yang terkadang
dilakukan oleh pihak jurnalis. Karena secara langsung juga mencederai pasal ketiga
dari kode etik yang berbunyi: Wartawan Indonesia selalu menguji informasi,
memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang
menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Namun, dalam penerapannya terdapat keganjilan. Karena hampir semua pihak yang
bermasalah dengan para jurnalis memanfaatkan pasal ini untuk menyerang balik pers.
Semakin rancu lagi ketika, penggunaan hak jawab yang telah diatur undang-undang
tidak dimanfaatkan oleh terdakwa kasus hukum tertentu. Misalnya kasus kriminalisasi
pers, oleh Raymond yang menuntut tujuh media massa karena menyebutkan namanya
sebagai bandar judi, padahal pengadilan belum memvonisnya.

Para jurnalis mengakui bahwa mereka mengutip pertanyaan resmikepolisian. Namun


Raymond bersikeras melakukan tuntutan dengan pasal pencemaran nama baik. Semua
tuntutan itu kandas di setiap pengadilan, karena para hakim telah menggunakan UU
Pers dalam memutuskan perkara, dan tidak menggunakan KUHP/KUHAP dalam
perkara pengadilan. Namun hal ini menjadi cerminan bagi jurnalis untuk berhati-hati
dalam melakukan penyebutan narasumber yang bermasalah di mata hukum.

Faktor Terjadinya Kasus Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik

Meskipun para jurnalis diharuskan mengikuti peraturan kode etik jurnalsitik, tetapi tetap
saja muncul sejumlah kasus pelanggaran kode etik jurnalistik. Ada banyak faktor yang
bisa menyebabkan timbulnya kasus pelanggaran kode etik jurnalistik. Berdasarkan
pengalaman selama kurang lebih seperempat abad, dapat diambil kesimpulan bahwa
kasus pelanggaran kode etik jurnalsitik terjadi karena beberapa faktor berikut.

Kasus Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik - Faktor Ketidaksengajaan

 Kasus pelanggaran kode etik jurnalsitik terjadi karena tingkatprofesionalisme yang tidak
memadai.
 Kasus pelanggaran kode etik jurnaliitik terjadi karena tingkatusaha menghindari
ketidaktelitian belum memadai.
 Kasus pelanggaran kode etik jurnalistik terjadi karena tidak melakukan pengecekan
ulang.
 Kasus pelanggaran kode etik jurnalistik terjadi karena tidak menggunakan akal sehat.
 Kasus pelanggaran kode etik jurnalistik terjadi karena kemampuan mengolah berita
kurang memadai.
 Kasus pelanggaran kode etik jurnalistik terjadi karena adanya rasa malas mencari
bahan tulisan ataupun perbandingan.
 Kasus pelanggaran kode etik jurnalistik terjadi karena memakai data lama (out of date)
yang tidak diperbaharui.
 Kasus pelanggaran kode etik jurnalistik terjadi karena pemilihan dan
penggunaan kata yang tidak tepat.
 Kasus pelanggaran kode etik jurnalistik terjadi karena adanya tekanan deadline
sehingga muncullah kesalahan yang tidak disengaja.
 Kasus pelanggaran kode etik jurnalistik terjadi karenapengetahuan dan pemahaman
terhadap kode etik jurnalistik masih dangkal atau terbatas.

Kasus Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik - Faktor Kesengajaan

 Kasus pelanggaran kode etik jurnalistik terjadi dengan sengaja karena memang sudah
ada niat tidak baik sejak awal walaupun mempunyai pengetahuan dan pemahaman
tentang Kode Etik Jurnalistik.

 Kasus pelanggaran kode etik jurnalistik terjadi secara disengaja karena tidak
mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang memadai tentang Kode Etik Jurnalistik.
Selain itu, ada niat tidak baik sejak dari awal.

 Kasus pelanggaran kode etik jurnalistik terjadi secara disengaja karena adanya
persaingan pers yang begitu ketat. Akibatnya, muncul keinginan untuk mengalahkan
para saingan di antara sesama jurnalis secara tidak wajar dan tidak pantas. Akhirnya,
terciptalah sebuah berita yang tidak sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik.
 Kasus pelanggaran kode etik jurnalistik terjadi secara disengaja karena pers hanya
digunakan sebagai “topeng” atau kamuflase untuk melakukan tindak kriminalitas.
Perbuatan ini sudah berada di luar wilayah jurnalsitik.

Itulah faktor dan kasus pelanggaran kode etik jurnalistik yang terjadi didunia jurnalistik
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai