Jurnalistik
Senin, 29 Maret 2010 17:27
Walaupun pers dituntut harus selalu tunduk dan taat kepada Kode Etik Jurnalistik,
pers ternyata bukanlah malaikat yang tanpa kesalahan. Data yang ada
menunjukkan bahwa pada suatu saat pers ada kalanya melakukan kesalahan atau
kekhilafan sehingga melanggar Kode Etik Jurnalistik.
Berbagai faktor dapat menyebabkan hal itu terjadi. Dari pengalaman hampir
seperempat abad dapat disimpulkan bahwa peristiwa tersebut dapat terjadi antara
lain karena faktor-faktor sebagai berikut:
Faktor Ketidaksengajaan
Faktor Kesengajaan
1. Memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang Kode Etik Jurnalistik, tetapi sejak
awal sudah ada niat yang tidak baik.
2. Tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman yang memadai tentang Kode Etik
Jurnalistik dan sejak awal sudah memiliki niat yang kurang baik
3. Karena persaingan pers sangat ketat, ingin mengalahkan para mitra atau
pesaing sesama pers secara tidak wajar dan tidak sepatutnya sehingga sengaja
membuat berita yang tidak sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik.
4. Pers hanya dipakai sebagai topeng atau kamuflase untuk perbuatan kriminalitas
sehingga sebenarnya sudah berada di luar ruang lingkup karya jurnalistik.
Sebaliknya, pelanggaran Kode Etik Jurnalistik yang disengaja dan termasuk dalam
pelanggaran kategori 1 merupakan pelanggaran yang berat. Sebagian
pelanggarnya bahkan tidak segera mengakui pelanggaran yang telah dibuatnya
setelah diberitahu atau diperingatkan tentang kekeliruannya. Berbagai macam
argumentasi yang tidak relevan sering mereka kemukakan. Hanya setelah
mendapat ancaman sanksi yang lebih keras lagi, sang pelanggar dengan tepaksa
mau mengikuti aturan yang berlaku.
Contoh-Contoh Kasus
Berikut ini contoh-contoh kasus yang pernah terjadi dan mengapa kasusnya terjadi.
1. Sumber Imajiner
Sumber berita dalam liputan pers harus jelas dan tidak boleh fiktif. Satu harian di
Medan melaporkan bahwa dalam suatu kasus dugaan korupsi di Partai Golkar
Sumatera Utara, Kepolisian Daerah Sumut telah mengeluarkan Surat Perintah
Penghentian Penyelidikan (SP3). Menurut harian ini, sumber berita adalah
Komisaris Besar A. Nainggolan dari Hubungan Masyarakat Polda Sumut yang
diumumkan dalam sebuah konferensi pers. Ternyata pertemuan itu tidak pernah
ada. Begitu pula petugas humas yang dimaksud itu juga tidak pernah
mengeluarkan pernyataan seperti itu. Dengan kata lain, sumber beritanya fiktif.
Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik yang dilakukan oleh wartawan harian ini karena
telah membuat berita dengan sumber imajiner alias tidak ada atau fiktif.
Sesuai dengan asas moralitas, menurut Kode Etik Jurnalistik, masa depan anak-
anak harus dilindungi. Oleh karena itu, jika ada anak di bawah umur, baik sebagai
pelaku maupun korban kejahatan kesusilaan, identitasnya harus dilindungi.
Pemuatan nama dan pemasangan foto korban susila di bawah umur inilah yang
melanggar Kode Etik Jurnalistik.
Menurut Kode Etik Jurnalistik, wartawan wajib menghormati ketentuan tentang off
the record. Artinya, apabila narasumber sudah mengatakan bahan yang diberikan
atau dikatakannya adalah off the record, wartawan tidak boleh menyiarkannya.
Kalau wartawan tidak bersedia terikat dengan hal itu, sejak awal ia boleh
membatalkan pertemuan dengan narasumber yang ingin menyatakan
keterangan off the record.
Begitu pula off the record tidak berlaku bagi informasi yang sudah menjadi rahasia
umum.
Satu lagi, terdapat tradisi jurnalis bahwa off the record tidak berlaku untuk opini.
Dengan kata lain, off the record lebih diutamakan untuk hal-hal yang berkaitan
dengan data dan fakta. Tetapi, kalau wartawan sudah bertemu dengan narasumber
yang menyatakan keterangannya off the record, ia terikat dengan kesepakatan ini.
Apabila keterangan off the record disiarkan juga, maka seluruh berita tersebut
menjadi tangggung jawab wartawan atau pers yang bersangkutan. Dalam hal ini
narasumber dibebaskan dari segala beban tangung jawab karena pada prinsipnya
keterangan off the recordharus dipandang tidak pernah dikeluarkan oleh
narasumber untuk disiarkan. Pemberitaan sesuatu yang off the recordsepenuhnya
menjadi tangung jawab pers yang menyiarkannya.
Tetapi, justru inilah yang tidak dilakukan oleh wartawan satu harian di Yogyakarta.
Seorang narasumber dari kantor Telekomunikasi setempat mengungkapkan bahwa
ada pungutan tidak resmi oleh Asosiasi Warung Telepon di Yogyakarta antara Rp5
juta - Rp25 juta. Keterangan tersebut dengan jelas dan tegas dinyatakan
sebagai off the record. Tetapi, ternyata oleh wartawan surat kabar ini keterangan
tersebut tetap disiarkan. Ini jelas merupakan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik,
yakni menyiarkan berita yang sebenarnya off the record.
Ketidakpahaman terhadap makna off the record juga terjadi pada wartawan satu
terbitan pers di Surabaya. Suatu saat adabriefing dari seorang petinggi Tentara
Nasional Indonesia tentang berbagai hal yang dinilai sensitif bagi perkembangan
pertahanan dan keamanan negara. Perwira tinggi itu sebelum memulai
keterangannya sudah mengatakan bahan-bahan yang diberikannya bersifat off the
record. Apa yang kemudian terjadi? Salah seorang wartawan yang hadir di sana
memberitakan seluruh isi briefing tersebut dengan lengkap. Malahan di bagian akhir
laporannya diberitakan bahwa keterangan itu bersifat off the record.
Kisahnya bermula dari seorang wartawan di satu harian ibu kota. Suatu hari sang
wartawan berjumpa dengan Nani, seorang pramuria di Bar King di Jakarta.
Berceritalah Nani dengan bangganya bahwa ia diperebutkan oleh dua jenderal
sekaligus, masing-masing Try Sutrisno dan Edy Sudrajat. Berita ini semula sempat
diturunkan di harian tempat wartawan itu bekerja. Tetapi, karena pertimbangan
jurnalistik, terbitan pers itu menolak menyiarkannya.
Sesudah masa Reformasi, sang wartawan menjadi pemimpin redaksi dan sekaligus
pemimpin umum satu tabloid. Ia merasa bahwa kisah ini akurat karena
didengarnya langsung dari mulut seorang pramuria. Ia mengaku "ingin membela
orang tertindas dan demi kemanusiaan." Ia juga mengaku sudah tiga kali mencoba
mendatangi rumah Try Sutrisno, tetapi ditolak oleh penjaganya.
Pemberitaan ini melanggar Kode Etik Jurnalistik. Pertama, karena wartawan tidak
memperhatikan kredibilitas narasumbernya. Walaupun mendengar sendiri
pengakuan tersebut, ia tidak memperhatikan siapakah yang menceritakan
kisahnya. Biasanya sudah lumrah bahwa para pramuria bercerita tentang
kehebatan para "kliennya" untuk menunjukkan daya tarik mereka. Soal
kebenarannya, tentu saja lain perkara. Semua keterangan seperti ini pada awalnya
tentulah harus diragukan. Di sinilah wartawan tersebut tidak meneliti kembali
kebenaran berita yang akan disiarkannya.
Dalam kasus seperti ini seharusnya wartawan atau pers wajib lebih dahulu
meragukan atau skeptis terhadap informasi semacam itu, sampai dapat dibuktikan
kebenarannya sebelum boleh disiarkan. Tanpa fakta yang benar, berita seperti itu
belum layak disiarkan.
Oleh sebab itulah maka memasuki rumah seseorang tanpa izin merupakan
pelanggaran, dan risiko yang ada menjadi tanggung jawab wartawan itu
sepenuhnya. Di Amerika Serikat, apabila ada pihak yang tidak dikehendaki
memasuki rumah orang lain dan tidak mau pergi, kalau ditembak, maka pihak yang
masuk ke rumah itulah yang dianggap bersalah.
Pemasangan foto atau penyiaran gambar ilustrasi dalam pers harus memperhatikan
relevansi sosial serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Pemasangan foto
atau penyiaran gambar illustrasi yang sembarangan dapat diterima dengan makna
yang jauh berlainan, dan karena itu dapat menjadi pelanggaran terhadap Kode Etik
jurnalistik.
Satu majalah membuat berita tentang banyaknya remaja putri yang menjadi
wanita panggilan atau menjajakan seks bebas. Pemuatan berita tersebut disertai
satu foto ilustrasi yang menggambarkan aktivitas sekelompok remaja puteri di
suatu pusat perbelanjaan. Para remaja puteri yang ada dalam foto ilustrasi itu
sama sekali bukan pelaku yang menjadi bahan laporan dan tidak ada kaitannya
dengan pelaku. Dalam caption atau teks gambar diterangkan, "Para remaja puteri
di sebuah pusat perbelanjaan."
Orang tua remaja puteri yang ada dalam foto itu langsung memprotes keras
pemuatan foto anaknya di majalah tersebut. Dengan adanya foto itu seakan-akan
kelompok remaja puteri penganut seks bebas yang diceritakan dalam berita itu
termasuk anaknya. Padahal, tidak benar sama sekali. Redaksi majalah itu pun
mengakui bahwa foto itu tidak dimaksudkan sebagai pelaku dalam laporan ini,
melainkan hanya sebagai ilustrasi.
Pemuatan foto semacam ini melanggar Kode Etik Jurnalistik karena menyiarkan
berita yang menyesatkan. Ilustrasi foto yang dimuat itu seakan-akan menunjukkan
atau merujuk kepada tulisan bahwa itulah para remaja puteri yang "menjual diri"
atau melakukan seks bebas.
Kasus serupa ini jugs terjadi pada satu stasiun televisi di Jakarta. Ketika melakukan
penyiaran laporan investigatif tentang kawin kontrak antara gadis-gadis desa
Indonesia dengan warga negara asing, khususnya dengan warga dari Timur
Tengah, stasiun itu menyiarkan upacara perkawinan di daerah tersebut. Padahal,
ternyata peristiwa itu adalah upacara perkawinan yang sebenarnya, bukan upacara
kawin kontrak sebagaimana yang dimaksud oleh stasiun televisi tersebut.
7. Wawancara Fiktif
Jelas ini merupakan pelanggaran berat terhadap Kode Etik Jurnalistik karena
melakukan pemberitaan bohong. Tetapi, harian tersebut tidak pernah meminta
maaf.
Tetapi, belakangan terungkap, ternyata wawancara tersebut juga palsu alias fiktif
karena tidak pernah dilakukan sama sekali. Isteri orang yang dituduh teroris kala
itu sedang sakit tenggorok sehingga untuk bercakap-cakap saja sudah sulit, apalagi
memberikan keterangan panjang lebar seperti laporan wawancara tersebut. Tetapi,
yang terutama adalah bahwa wartawan dari harian ini memang tidak pernah bersua
dengan isteri orang yang disangka teroris itu dan tidak pernah ada wawancara
sama sekali.
Ini juga jelas merupakan pelanggaran berat terhadap Kode Etik Jurnalistik karena
melakukan pemberitaan bohong dan fitnah.
Banyak wartawan yang dalam menyiarkan berita melupakan unsur akal sehat.
Berita pers pada dasarnya tetap harus mengacu kepada akal sehat atau common
sense. Apabila ada berita yang berada di luar akal sehat, harus dilakukan
pengecekan berkali-kali sampai terbukti apakah berita itu benar atau tidak. Prinsip
yang dipakai dalam hal ini adalah, pertama-tama, wartawan harus lebih dahulu
bersikap skeptis atau cenderung tidak percaya terhadap berita yang tidak masuk
akal, sampai memang terbukti sebaliknya bahwa berita itu benar adanya.
'Sebenarnya berita ini bersumber dari petugas resmi Kepolisian Daerah Metro Jaya.
Para wartawan berasumsi bahwa semua bahan yang dikeluarkan dari pihak resmi,
seperti Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya, pasti benar adanya. Namun,
belakangan pihak yang dituduh melakukan "pengeboran kepala dan lengan" dalam
berita tersebut melakukan protes.
Dalam hal ini wartawan tetap dituntut untuk memakai akal sehat. Jika menurut
akal sehat tidak dapat diterima, maka menjadi kewajiban wartawan untuk
melakukan pengecekan berulang-ulang sampai kebenaran tentang apa yang terjadi
pada kasus itu terbukti. Mengabaikan akal sehat dapat menyebabkan wartawan
melanggar Kode Etik Jurnalistik.
Majalah ini memang sudah melakukan pemberitaan yang berimbang, yakni dengan
mewawancarai juga pihak Kowani. Dalam wawancara itu Kowani sudah tegas
membantah mendukung perkawinan sejenis, apalagi perkawinan poliandri.
Dari sudut asas keberimbangan, majalah itu memang tidak melanggar Kode Etik
Jurnalistik. Tetapi, karena melalaikan pentingnya akal sehat dalam pers, majalah ini
akhirnya melanggar Kode Etik Jurnalistik. Walaupun sudah jelas Kowani
membantah, masih juga ditulis bahwa organisasi ini mendukung poliandri dan
perkawinan sejenis, Selain itu, majalah ini juga melupakan akal sehat karena di
dunia ini yang melakukan perkawinan poliandri teramat sangat sedikit. Poliandri
antara lain terdapat pada suku Eskimo, Todas di India, dan sebagian masyarakat di
Tibet.
a. Dalam liputan pers, sumber berita harus jelas. Ketika pesawat Adam Air jatuh di
laut Majene, Sulawesi Barat, pada Januari 2007, hampir semua pers melakukan
kesalahan fatal. Hanya beberapa jam setelah pesawat itu jatuh, sebagian besar
pers mewartakan bahwa pesawat tersebut jatuh di daerah tertentu. Tak hanya itu,
ada pula pers yang langsung memberitakan bahwa rangka pesawat telah
ditemukan. Lebih dahsyat lagi sampai ada yang memberitakan bahwa "sembilan
korban ditemukan masih hidup."
Ini luar biasa. Kenapa? Karena setelah setahun peristiwa itu terjadi, ternyata
semua berita tentang di mana jatuhnya pesawat itu dan jumlah korban yang hidup
sama sekali tidak benar. Di mana pesawat jatuh pun tidak diketahui. Nasib korban
juga tidak diketahui. Tetapi, saat itu ada pers yang sampai berani mengatakan
bahwa "para korban sedang dievakuasi." Black box pesawat ini baru ditemukan
setahun kemudian di bawah kedalaman 2.000 meter laut. Itu pun setelah ada
pencarian khusus dengan bantuan Amerika Serikat.
Pelanggaran kode etik yang dilakukan di sini adalah karena pers yang
memberitakan kasus ini tidak mengecek lebih dahulu dari mana asal usul sumber
berita itu. Ketika dimintai konfirmasinya, dari mana sumber berita itu--yang
mempunyai data yang keliru, ternyata sumber berita tersebut imajiner alias tidak
jelas. Pelanggaran kedua, tidak pernah ada permintaan maaf dari pers terhadap
peristiwa ini. Padahal, menurut Kode Etik Jurnalistik, apabila pers mengetahui
bahwa berita yang disiarkannya keliru, maka mereka harus segera meralat dan
meminta maaf.
Kisah ini berasal dari berita yang tersebar melalui pesan pendek SMS bahwa
Laksamana Sukardi, mantan menteri Badan Usaha Milik Negara dan bendahara
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), "kabur membawa duit 125 juta
US$."
Berita yang tidak jelas asal usulnya itu langsung "dimakan" oleh tiga surat kabar
dan satu majalah di Jakarta. Merasa mendapat "berita hebat", terbitan pers itu
membuat judul-judul bombastis seakan-akan berita itu sudah mereka cek
kebenarannya. Salah satu harian menulis judul provokatif: "Laks Pantas
Ditangkap." Sedangkan majalah itu menulis: "Kalau Mau Aman, Ia memang Harus
Lari."
Laksamana, yang merasa berita itu sepenuhnya tidak benar dan hanya fitnah,
mengadu ke Dewan Pers. Dari pemeriksaan Dewan Pers terbukti, Laksamana tidak
melarikan diri dengan membawa uang sebagaimana diberitakan. Faktanya,
Laksamana pergi ke Australia untuk menemani anaknya yang sakit dan telah
meminta izin kepada Presiden Megawati Sukarnoputri.
Hak Jawab merupakan hal yang sangat penting dalam mekanisme kerja pers.
Begitu pentingnya Hak Jawab sehingga soal ini diatur baik dalam tingkat undang-
undang maupun dalam Kode Etik Jurnalistik. Hak Jawab memiliki dimensi
demokratis dalam pers. Adanya Hak Jawab menyebabkan publik memiliki akses
kepada informasi pers dan sekaligus sebagai sarana untuk membela kepentingan
mereka terhadap informasi yang merugikan mereka atau kelompoknya. Maka baik
menurut undang-undang maupun Kode Etik Jurnalistik, pers wajib melayani hak
jawab. Pers yang tidak melayani hak jawab melanggar Kode Etik Jurnalistik (dan
juga undang-undang).
Tetapi, dari pengalaman selama seperempat abad terakhir, salah satu pelanggaran
terhadap Kode Etik Jurnalistik yang sering terjadi justru dialami pada pelaksanaan
Hak Jawab ini. Masih ada pers yang tidak memahami makna Hak Jawab sehingga
terjadi berbagai pelanggaran terhadap Hak Jawab. Adapun bentuk dan alasan
pelanggaran ini antara lain sebagai berikut:
a. Tidak mengetahui bahwa Hak Jawab harus dilayani sehingga menolak pemuatan
Hak Jawab.
b. Hak Jawab baru dilayani setelah ada pengaduan dari pihak yang merasa
dirugikan ke Dewan Pers atau Dewan Kehormatan organisasi wartawan.
c. Menilai Hak Jawab sebagai salah satu bentuk iklan yang harus dibayar oleh pihak
yang mengirimkan tanggapan itu. Oleh sebab itulah terdapat terbitan yang setelah
memuat Hak Jawab segera mengirim kuitansi penagihan dengan keterangan "untuk
pemasangan advertorial." Padahal, sudah jelas bahwa Hak Jawab wajib dilayani
pers dan pemuatan atau penyiarannya harus gratis.
d. Dapat terjadi editing atau penyuntingan yang kurang atau tidak akurat atau
tidak profesional terhadap Hak Jawab sehingga mengubah substansinya. Bahwa
terhadap Hak Jawab boleh dilakukan editing memang betul, tetapi pelaksanaan
editing itu harus memenuhi kaidah profesional dan akurasi, antara lain tidak boleh
sampai mengubah maknanya.
e. Sengaja menunda waktu pelaksanaan Hak Jawab tanpa alasan yang kuat. Sesuai
dengan ketentuan, Hak Jawab harus diberi peluang sesegera mungkin. Dalam
artian bahwa Hak Jawab harus dipenuhi pada kemungkinan kesempatan pertama
sejak Hak Jawab itu diterima.
Dalam kasus tertentu wartawan mempunyai Hak Tolak, yakni hak untuk tidak
mengungkapkan identitas narasumber. Hak ini dipakai karena pada satu sisi pers
membutuhkan informasi dari narasumber yang ada, tetapi pada sisi lain
keselamatan narasumber (dan juga mungkin keluarganya) dapat terancam kalau
informasi itu disiarkan.
Untuk menghadapi keadaan seperti itulah maka kemudian ada Hak Tolak. Pers
dapat meminta informasi dari narasumber, tetapi narasumber dapat pula meminta
kepada wartawan agar identitasnya tidak disebutkan. Kalau ada yang menanyakan
sumber informasi ini, pers berhak menolak menyebutkannya. Inilah yang dimaksud
dengan Hak Tolak.
Sekali pers memakai Hak Tolak, maka pers wajib untuk terus melindungi indentitas
narasumbernya. Dalam keadaan ini seluruh tanggung jawab terhadap isi informasi
beralih kepada pers. Pers yang membocorkan identitas narasumber yang dilindungi
Hak Tolak melanggar hukum dan kode etik sekaligus. Tetapi, dalam praktik, karena
takut akan ancaman atau tidak mengerti makna kerahasiaan di balik Hak Tolak,
masih ada terbitan yang membocorkan identitas narasumber yang seharusnya
dirahasiakan, baik yang dilakukan secara terbuka maupun secara diam-diam.*
Kode Etik Jurnalistik
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi
manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia PBB.
Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan
berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas
kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers
itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung
jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati
hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk
dikontrol oleh masyarakat.
Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk
memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan
moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga
kepercayaan publik dan menegakkan integritas, serta profesionalisme. Atas
dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:
[sunting]Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat,
berimbang, dan tidak beritikad buruk.
[sunting]Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam
melaksanakan tugas jurnalistik.
[sunting]Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang,
tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas
praduga tak bersalah.
[sunting]Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
[sunting]Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban
kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku
kejahatan.
[sunting]Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
[sunting]Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak
bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai
ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan
kesepakatan.
[sunting]Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita
berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar
perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, danbahasa, serta tidak
merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat
jasmani.
[sunting]Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan
pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
[sunting]Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang
keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca,
pendengar, dan atau pemirsa.
[sunting]Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik
Jurnalistik:
Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat,
berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Penafsiran:
d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata
untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam
melaksanakan tugas jurnalistik.
Penafsiran:
c. tidak menyuap;
Penafsiran:
c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda
dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas
fakta.
Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Penafsiran:
b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat
buruk.
d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar,
suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
Penafsiran
a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang
yang memudahkan orang lain untuk melacak.
b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.
Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Penafsiran
b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari
pihak lain yang mempengaruhi independensi.
Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak
bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan
embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan
kesepakatan.
Penafsiran:
a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan
narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber
yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.
d. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak
boleh disiarkan atau diberitakan.
Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan
prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku,
ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan
martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Penafsiran:
Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan
pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Penafsiran:
Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang
keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca,
pendengar, dan atau pemirsa.
Penafsiran:
a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada
maupun tidak ada teguran dari pihak luar.
Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Penafsiran:
a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan
tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan
nama baiknya.
b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi
yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers.
Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan
dan atau perusahaan pers.
Tentang: PERS
Menimbang:
a. bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan
menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga
kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum
dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 harus dijamin;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 28 Undang-Undang
Dasar 1945;
Dengan persetujuan
MEMUTUSKAN:
Pasal 1
7. Pers asing adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers asing.
10. Hak Tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak
mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus
dirahasiakannya.
11. Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan
tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan
nama baiknya.
12. Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan
kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik *9980 tentang dirinya
maupun tentang orang lain.
13. Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap
suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah
diberitakan oleh pers yang bersangkutan.
Pasal 2
Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan
prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Pasal 3
(2) Di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi
sebagai lembaga ekonomi.
Pasal 4
(3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari,
memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Pasal 5
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
(1) Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan
pers.
(2) Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.
Pasal 10
Pasal 11
Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal.
Pasal 12
Pasal 13
Pasal 14
Pasal 15
(1) Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan
kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen.
(4) Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers dipilih dari dan oleh anggota.
(5) Keanggotaan Dewan Pers sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(6) Keanggotaan Dewan Pers berlaku untuk masa tiga tahun dan sesudah itu
hanya dapat dipilih kembali untuk satu periode berikutnya.
a. organisasi pers; b. perusahaan pers; c. bantuan dari negara dan bantuan lain
yang tidak mengikat.
Pasal 17
*9983 (2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
Pasal 18
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan
tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan
Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2),
serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
(3) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12
dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
BAB IX KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 19
Pasal 20
Pasal 21
MULADI
PENJELASAN ATAS
I. UMUM
Pers yang juga melaksanakan kontrol sosial sangat penting pula untuk
mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi,
nepotisme, maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya.
Kontrol masyarakat dimaksud antara lain : oleh setiap orang dengan dijaminnya
Hak Jawab dan Hak Koreksi, oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti
pemantau media (media watch) dan oleh Dewan Pers dengan berbagai bentuk
dan cara. Untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih, undang-undang
ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Perusahaan pers dikelola sesuai dengan prinsip
ekonomi, agar kualitas pers dan kesejahteraan para wartawan dan karyawannya
semakin meningkat dengan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya.
Pasal 4
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi
warga negara" adalah bahwa pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan,
dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin.
Kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan
pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan,
dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam Kode Etik Jurnalistik serta
sesuai dengan hati nurani insan pers. Ayat (2) Penyensoran, pembredelan, atau
pelarangan penyiaran tidak berlaku pada media cetak dan media elektronik.
Siaran yang bukan merupakan bagian dari pelaksanaan kegiatan jurnalistik
diatur dalam ketentuan undang-undang yang berlaku. *9986 Ayat (3) Cukup jelas
Ayat (4) Tujuan utama Hak Tolak adalah agar wartawan dapat melindungi
sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber
informasi. Hak tersebut dapat digunakan jika wartawan dimintai keterangan oleh
pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi di pengadilan. Hak Tolak dapat
dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan negara atau ketertiban umum
yang dinyatakan oleh pengadilan.
Pasal 5
Ayat (1) Pers nasional dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau
membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang
masih dalam proses peradilan, serta dapat mengakomodasikan kepentingan
semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut. Ayat (2) Cukup jelas Ayat
(3) Cukup jelas.
Pasal 6
Pasal 7
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan "Kode Etik Jurnalistik"
adalah kode etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh
Dewan Pers.
Pasal 8
Pasal 9
Ayat (1) Setiap warga negara Indonesia berhak atas kesempatan yang sama
untuk bekerja sesuai dengan Hak Asasi Manusia, termasuk mendirikan
perusahaan pers sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pers nasional mempunyai fungsi dan peranan yang penting dan
strategis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh
karena itu, negara dapat mendirikan perusahaan pers dengan membentuk
lembaga atau badan usaha untuk menyelenggarakan usaha pers. Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 10
Pasal 11
Penambahan modal asing pada perusahaan pers dibatasi agar tidak mencapai
saham mayoritas dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 12
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1) Cukup jelas *9988 Ayat (2) Untuk melaksanakan peran serta
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dapat dibentuk lembaga atau
organisasi pemantau media (media watch).
Pasal 18
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Dalam hal pelanggaran pidana yang dilakukan oleh
perusahaan pers, maka perusahaan tersebut diwakili oleh penanggungjawab
sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 12. Ayat (3) Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
“Filsafat di bidang moral pers, yaitu bidang yang mengenai kewajiban–kewajiban pers
dan tentang apa yang merupakan pers yang baik dan pers yang buruk, pers yang benar
dan pers yang salah, pers yang tepat dan pers yang tidak tepat.”
Lalu, “Etika pers adalah ilmu atau studi tentang peraturan-peraturan yang mengatur
tingkah laku pers; atau, dengan perkataan lain, etika pers itu berbicara tentang apa
yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang terlibat dalam kegiatan pers.” Dan,
“Etika pers mempermasalahkan bagimana pers itu dilaksanakan agar dapat memenuhi
fungsinya dengan baik.” (Sobur, 2001:146)
Namun, walau etika telah ada, hukum telah ditetapkan, kasus pelanggaran kode etik
jurnalistik masih tetap terjadi. Kejadiannya terkadang melibatkan sisi
ketidakprofesionalan para jurnalis. Dengan kata lain jurnalis yang malas. Salah satu
contoh dari kegiatan malas itu contohnya.
Kasus pelanggaran kode etik jurnalistik Indy Rachmawati dan TV one dalam kasus
Makelar Kasus. Indy melakukan fabrifikasi berita dengan menghadirkan narasumber
palsu yang disuap uang dengan isi berita nonfaktual dan direkayasa, Andris. Walau Indi
melakukan pembelaan bahwa Andris pun sering tampil sebagai narasumber palsu di
stasiun TV lainnya, hal itu tidak bisa dikategorikan lumrah. Karena Indy melanggarkode
etik jurnalistik pasal kedua:
Untuk kasus ini Indy, mendapatkan skorsing dari tugasnya. Sementara bagi televisi,
diberi peringatan keras oleh Dewan Pers, karena tidak menggunakan prinsip cover both
side.
Lantas ada kasus pelanggarang kode etik jurnalistik lainnya, kali ini melakukan
penyebaran berita bohong. Hal ini terjadi pada tayangan Silet, di mana skrip yang
dibacakan pembawa acara, mengangkat komentar paranormal, dalam kasus
meletusnya gunung Merapi.
Komentar paranormal yang mengatakan gunung merapi akan meletus dalam skala
besar merupakan spekulasi dan tidak terbukti, bisa dikategorkan sebagai hoax atau
berita bohong, kasus ini membuat geger seisi Yogya, di tengah derita menghadapi
bencana.
Media Silet telah melanggar pasal 4 kode etik jurnalistik, yang mengungkap
bahwa: Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan
cabul. Untuk kasus ini, tayangan Silet telah dicabut penayangannya dalam jangka
waktu yang tidak ditetapkan.
Kasus yang juga penting disimak adalah asas praduga tak bersalah yang terkadang
dilakukan oleh pihak jurnalis. Karena secara langsung juga mencederai pasal ketiga
dari kode etik yang berbunyi: Wartawan Indonesia selalu menguji informasi,
memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang
menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Namun, dalam penerapannya terdapat keganjilan. Karena hampir semua pihak yang
bermasalah dengan para jurnalis memanfaatkan pasal ini untuk menyerang balik pers.
Semakin rancu lagi ketika, penggunaan hak jawab yang telah diatur undang-undang
tidak dimanfaatkan oleh terdakwa kasus hukum tertentu. Misalnya kasus kriminalisasi
pers, oleh Raymond yang menuntut tujuh media massa karena menyebutkan namanya
sebagai bandar judi, padahal pengadilan belum memvonisnya.
Meskipun para jurnalis diharuskan mengikuti peraturan kode etik jurnalsitik, tetapi tetap
saja muncul sejumlah kasus pelanggaran kode etik jurnalistik. Ada banyak faktor yang
bisa menyebabkan timbulnya kasus pelanggaran kode etik jurnalistik. Berdasarkan
pengalaman selama kurang lebih seperempat abad, dapat diambil kesimpulan bahwa
kasus pelanggaran kode etik jurnalsitik terjadi karena beberapa faktor berikut.
Kasus pelanggaran kode etik jurnalsitik terjadi karena tingkatprofesionalisme yang tidak
memadai.
Kasus pelanggaran kode etik jurnaliitik terjadi karena tingkatusaha menghindari
ketidaktelitian belum memadai.
Kasus pelanggaran kode etik jurnalistik terjadi karena tidak melakukan pengecekan
ulang.
Kasus pelanggaran kode etik jurnalistik terjadi karena tidak menggunakan akal sehat.
Kasus pelanggaran kode etik jurnalistik terjadi karena kemampuan mengolah berita
kurang memadai.
Kasus pelanggaran kode etik jurnalistik terjadi karena adanya rasa malas mencari
bahan tulisan ataupun perbandingan.
Kasus pelanggaran kode etik jurnalistik terjadi karena memakai data lama (out of date)
yang tidak diperbaharui.
Kasus pelanggaran kode etik jurnalistik terjadi karena pemilihan dan
penggunaan kata yang tidak tepat.
Kasus pelanggaran kode etik jurnalistik terjadi karena adanya tekanan deadline
sehingga muncullah kesalahan yang tidak disengaja.
Kasus pelanggaran kode etik jurnalistik terjadi karenapengetahuan dan pemahaman
terhadap kode etik jurnalistik masih dangkal atau terbatas.
Kasus pelanggaran kode etik jurnalistik terjadi dengan sengaja karena memang sudah
ada niat tidak baik sejak awal walaupun mempunyai pengetahuan dan pemahaman
tentang Kode Etik Jurnalistik.
Kasus pelanggaran kode etik jurnalistik terjadi secara disengaja karena tidak
mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang memadai tentang Kode Etik Jurnalistik.
Selain itu, ada niat tidak baik sejak dari awal.
Kasus pelanggaran kode etik jurnalistik terjadi secara disengaja karena adanya
persaingan pers yang begitu ketat. Akibatnya, muncul keinginan untuk mengalahkan
para saingan di antara sesama jurnalis secara tidak wajar dan tidak pantas. Akhirnya,
terciptalah sebuah berita yang tidak sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik.
Kasus pelanggaran kode etik jurnalistik terjadi secara disengaja karena pers hanya
digunakan sebagai “topeng” atau kamuflase untuk melakukan tindak kriminalitas.
Perbuatan ini sudah berada di luar wilayah jurnalsitik.
Itulah faktor dan kasus pelanggaran kode etik jurnalistik yang terjadi didunia jurnalistik
Indonesia.