Anda di halaman 1dari 5

RANGKUMAN BAB 5

Kendala Menghimpun Berita

DECEMBER 28, 2015


KHOIRUL NUR FALAH
Ilmu Komunikasi
Dalam era reformasi setelah tumbangnya pemerintahan rezim orde baru, pers pun belum luput
dari tekanan. Kita mau tidak mau harus mengakui bahwa sejak Negara kita menganut system ekonomi
pasar bebas di zaman orde baru, media massa bukan lagi alat perjuangan melainkan sudah tegas-tegas
menjadi bisnis pengejar laba. Ini bukan berarti pers sudah lupa akan fungsinya untuk memperjuangkan
kepentingan public, membela keadilan, atau melindungi hak-hak sipil sesama bangsanya.

Kendala Internal

Pengekangan terhadap kebebasan pers pada praktik sehari-hari tidak semata datang dari
pemerintah, tetapi tidak jarang terjadi karena kepentingan penerbit pers situ sendiri. Gejala terjadinya
kendala internal hamper terjadi disetiap penerbitan pers di Indonesia, dalam skala dan bentuk yang
berbeda-beda, bahkan dimedia elekronik lebih terlihat dengan kassat mata. Untuk mengoperasikan
suatu bisnis diperlukan uang, dan orang-orang yang menguasai uang memiliki kepentingan dan nilai
budaya yang sama.

Lebih lanjut dikatakan bahwa tak seorang pun percaya, kepemilikan atas media tidak pernah
mewarnai pemilihan berita. Sejak dulu, di Amerika memang telah timbul keprihatinan di antara para
wartawan dan reddaktur tentang “Kekuasaan di ruang redaksi,” yakni kekuasaan dalam menetapkan
kebijakan pemberitaan. Pers bawah tanah yang kurang professional dan bersikap memberontak pada
tahun 1960-an yang berkembang menjadi pers alternative tahun 1970-an lahir akibat perasaan berang
terhadap konservatisme kaum Maoan ini selain kerena tuntutan moral.

Monopoli Kepemilikan

Demokrasi tergantung dari banyak suara, dari terdengarnya tiap sisi dari setiap berita.
Kecenderungan monopoli kepemilikan juga nyaris terjadi di Indonesia. Ini ditandai dengan munculnya
suatu surat kabar yang kurang kuat di suatu kota, kemudian surat kabar tersebut menerbitkan lagi surat
kabar-surat kabar lainnya di kota yang sama. Di tingkat nasional pun kecenderungan monopoli
kepemilikan ini sudah mulai terlihat sejak dua decade lalu dengan munculnya inisiatif dari surat kabar-
surat kabar besar di Jakarta seperti kelompok Kompas-Gramedia untuk menerbitkan surat kabar daerah
di ibukota provinsi.

Tetapi, untuk masalah ini barang kali kita ada baiknya berkaca pada pengalaman yang
berlangsung di Negara-negara lain, terutama di Negara yang sedikit banyaknya dianggap paling
demokratis, yaitu Amerika Serikat. Dari pengalaman di Amerika itu disimpulkan bahwa tidak semua
surat kabar monopoli memanfaatkan posisinya yang kuat itu, tetapi tingkat performa surat kabar disana
baru mencapai puncak kehebatannya pada sekitar sepertiga bagian abad ke-20 lalu. Selain itu, surat
kabar yang kuat secara finansial akan selalu kuat pula dalam mempertahankan independensinya.

Di Indonesia ada 2 media yang masih mempertahankan standar pemberitaan dan pelayanan
redaksionalnya, seperti Kompas dan Tempo. Contoh independensi Tempo misalnya, terlihat ketika
mereka tetap memuat ihwal bereta negative dari perusahaan kelompok PT Pembangunan Jaya, meski
konglomerat properti Ciputra punya kaitan kepemilikan saham di majalah tersebut.

Kendala Iklan
Jadi, bagi anda yang kelak ingin menjadi wartawan, jika anda menemukan berita-berita yang
diperkirakan bakal merupakan kendala atau bakal tidak membuat nyaman pemasangan iklan, sebaiknya
anda konsultasikan dulu dengan redaktur anda untuk memastikan berita anda itu bisa dimuat atau tidak.
Siapa tau surat kabar anda ingin menunjukkan independensinya.

Menyebut Merk Dagang

Merk dagang juga terkadang menjadi kendala dalam penulisan berita. Sebagian surat kabar dan
media melarang wartawannya menulis berita dengan menyebutkan merk dagang sesuatu perusahaan
atau produk. Di Amerika sebelum tahun 1965, ungkapan “ small foreign-made car” hampir dapat
dipastikan bahwa yang dimaksud adalah mobil Volkswagen. Tetapi, seletah produk Jepang masuk
Amerika, ungkapan itu pun sudah tidak ada artinya lagi.

Akan halnya stasiun televise atau radio di Indonesia nampaknya mereka sudah tidak
memperhatikan hal ini sejak awal berdirinya. Apalagi, kegiatan jurnalistik media elektronik dalam batas-
batas tertentu tampak lebih larut dalam segi bisnisnya ketimbang idealism persnya.

Jurnalisme Uang

Dalam jurnalisme uang bukan sumber berita yang membberikan hadiahh atau amplop berisi
uang kepada wartawan atau media, tetapi wartawn atau media yang memberikan uang kepada sumber
beritanya. Contohnya adalah dalam hal peliputan berita pertandingan sepakbola. Kalau kita
memperhatikan tayangan-tayangan pertandingan sepak bola yang di siarkan langsung oleh televisi, kita
pasti bertanya-tanya kenapa stasiun tv A hanya menayangkan liga Italia dan televise B menayangka liga
Inggris. Itu semua dikarnakan adanya “ hak siar eksklusif” oleh sesuatu media atau beberapa media yang
dibeli dari sumber beritanya, dalam hal ini sumber beritanya adalah organizer dari event-event tersebut.

Kode Etik Jurnalistik

Kendala lain dalam menghimpun berita dating dari ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam
kode etik jurnalistik yang merupakan undang-undangnya profesi wartawan. Kode etik yang mengatur
profesi wartawan Indonesia anggota PWI adalah kode etik jurnalistik PWI yang untuk pertama kalinya
disahkan dalam kongres PWI pada bulan februari 1947. Kemudian beberapa kali mengalami perubahan
dan terakhir disahkan Kongres XXI PWI, 2-5 Oktober 2003 di palangkaraya, Kalimantan Tengah. Dengan
demikian, tegaknya professional code ini sangat mengandalkan pada “kata hati” atau “ hati nurani”
wartawan sendiri.

Embargo

Salah satu yang ditetapkan dalam Kode Etik Jurnalistik adalah lembaga Embargo dan Off-the-
Record. Kedua lembaga ini sebenarnya hampir tidak dapat dibedakan. Pasal 14 kode Etik jurnalistik PWI
berbunyi “Wartawan Indonesia menghormati Embargo bahan latar belakang, dan tidak menyiarkan
informasi yang oleh sumber berita tidak dimaksudkan sebagai bahan berita serta tidak menyiarkan
keterangan ‘Off-the-Record’ atas kesepakatan dengan sumber berita.” Menurut penjelasan tersebut,
Embargo “yaitu permintaan menunda penyiaran suatu berita sampai batas waktu yang ditetapkan oleh
sumber berita, wajib dihormati.”

Off-the-Record
Istilah ‘off-the-record’, meskipun pengertiannya hampir sama dengan embargo, yaitu sama-
sama permintaan dari sumber berita untuk tidak menyiarkan keterangan yang diberikan oleh sumber
berita, tetapi menurut penjelasan pasal 14 tersebut bentuknya lain. Off-the-record terjadi berdasarkan
perjanjian antara sumber berita dan wartawan yang bersangkutan untuk tidak menyiarkan informasi
yang telah diberikan oleh sumber berita.

Pada praktiknya acapkali terjadi, bahwa hal yang diminta untuk diberlakukan sebagai off-the-
record sudah diketahui oleh si wartawan sebelumnya. Dalam hal demikian, si wartawan dapat
menjelaskan kepada sumber yang meminta off-the-record, bahwa informasi yang diberikan sudah
diketahui lebih dahulu. Karena itu ia menolak pemberlakuan off-the-record.

Menyembunyikan Identitas Sumber berita

Keterangan off-the-road biasanya diberikan tidak dengan syarat mutlak harus tidak dimuat,
tetapi seringkali dengan embel-embel seperti berikut dari sumber berita : “silahkan saja jika anda ingin
memuatnya, tetapi jangan menyebut saya sebagai sumbernya.” Nah, waspadalah, taktik ini biasanya
digunakan sumber berita untuk melepaskan diri dari tanggung jawab jika ada ketidakcermatan dalam
faktanya atau memang sengaja dia memberikan informasi bohong, informasi yang akhirnya
mengakibatkan timbulnya delik pers, atau informasi itu dimuati kepentingan pribadi.

Delik Pers

Delik berasal dari bahasa belanda delict yang artinya tindak pidana atau pelanggaran. kata pers
yaitu mengacu pada pengertian komunikasi yang dilakukan dengan perantaraan barang cetakan. Tetapi
sekarang, pengertian pers itu termaksud juga kegiatan komunikasi yang dilakukan melalui media
elektronik seperti televise dan radio. Jadi delik pers artinya semua tindak pidana atau pelanggaran yang
dilakukan melalui media massa. Padanan untuk delik pers dalam bahasa inggris adalah libel.

Memang ada perbedaan prinsip antara pengertian libel dan delik pers. Perbedaan ini terletak
pada perbedaan tujuannya. Hokum yang menyangkut libel yang berasal dari barat yang system
politiknya bersifat liberal itu tujuannya terutama untuk melindungi individu-individu warganegaranya.

Public Libel

Jiwa colonial yang masih tersisa dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
menyangkut delik pers ini dapat dilihat misaknya dari beberapa pasalnya yang bukan saja mengatur
pelanggaran yang merugikan orang perorangan(private libel), tetapi juga ada pula pasal-pasal yang
mengatur pelanggaran atau kejahatan oleh pers terhadap Negara dan pejabat Negara serta terhadap
masyarakat(public libel).

Yang termasuk public libel antara lain “membocorkan rahasia Negara”(pasal 322 KUHP),
“penghinaan terhadap presidan dan wakilnya”(pasal 134 KUHP),”menodai bendera lambang
Negara”(pasal 154a KUHP),”melanggar kesusilaan/pornografi”(pasal 282 KUHP), DLL.

Private Libel
Delik pers yang dapat digolongkan menjadi private libel yaitu, delik pers terhadap orang
perorangan, diatur dalam pasal-pasal KUHP mulai pasal 310 sampai pasal 315. Contoh delik pers yang
menyerang pribadi orang perorangan ini adalah dalam kasus pimimpin redaksi Harian Rakyat Merdeka,
Karim Paputungan, ia dijatuhi hukuman lima bulan penjara oleh Hakim Pengadilan negeri Jakarta Selatan
gara-gara pemuatan parody Akbar Tanjung di Harian Rakyat Merdeka edisi 8 Januari 2002. Ia dianggap
bersalah karna melanggar Pasal 310 ayat (2) KUHP.

Haatzaai Artikelen

Adalah pasal-pasal yang paling terkenal di zaman colonial belanda di kalangan para wartawan
dan surat kabar-surat kabar pribumi. Pasal-pasal yang menyangkut ini menjadi terkenal karena sifat
karetnya. Delik pers yang dikategorikan Haatzaai ini menyangkut kepentingan penguasa colonial di
negeri jajahannya, sehingga ia harus dapat dilenturkan agar bisa menjerat para intelektual kita yang
mengkritik penguasa colonial melalui tulisan.

Haatzaai-artikelen berasal dari dua kata bahasa Belanda yang artinya masing-masing:
Haat=(benih)kebencian; zaaien=menabur, menanam benih (perselisihan, kebencian); artikel=tulisan atau
karangan, bentuk jamaknya adalah artikelen. Jika diterjemahkan secara bebas, haatzaai-artikelen ini bisa
disalin dengan “karangan-karanagn yang menabur benih kebencian.” Pasal yang mengatur haatzaai-
artikelen adalah pasal 154-157 dan 207.

Pasal yang menyangkut delik pers dalam KUHP sebaiknya tidak diberlakukan lagi. Kerena
undang-undang pers no. 40 tahun 1999 yang mengaatur kehidupan pers merupakan lex specialis,
sehingga sepatutnya undang-undang inilah yang mengatur kebebasan pers. Sekarang ini hak-hak
kebebasan berfikir dan mengeluarkan pendapat pun memperoleh jaminan lebih rincilagi dalam
amandemen ke-2 UUD 1945.

Anda mungkin juga menyukai