Anda di halaman 1dari 3

BUOY SEBAGAI ALAT PENDETEKSI TSUNAMI

Indonesia merupakan negara yang rawan terhadap tsunami, terutama


kepulauan yang berhadapan langsung dengan pertemuan lempeng, antara lain
Barat Sumatera, Selatan Jawa, Nusa Tenggara, Utara Papua, Sulawesi dan
Maluku, serta Timur Kalimantan. Tsunami di Indonesia pada umumnya adalah
tsunami lokal, dimana waktu antara ter-jadinya gempa bumi dan datangnya
gelombang tsunami antara 20 sampai dengan 30 menit. Berdasarkan data yang
diperoleh dari Intergovernmental Ocea-nographic Commision of UNESCO,
International Tsunami Information Centre, dan Jakarta Tsunami Information
Centre, Indonesia pernah mengalami teletsunami atau tsunami yang berasal dari
sumber yang jangkauannya lebih dari 1.000 km. Tsunami yang jarang terjadi
namun memiliki daya rusak tinggi ini pernah menerpa daratan Indonesia pada 27
Agustus 1883 di Krakatau. Peristiwa tsunami yang menimpa Aceh dan sekitarnya
pada 26 Desember 2004 lalu yang menghancurkan hampir lebih dari 80% sarana
infrastruktur dan bangunan yang ada di sana. Bahkan hantaman gelombang
tsunami yang berasal dari gempa ber-kekuatan 9,3 skala Richter ini memakan
lebih dari 250.000 korban jiwa dari beberapa negara kawasan Samudera Hindia,
seperti Thailand, Srilanka, Somalia, Myanmar, India, Maladewa, hingga Afrika
Selatan. Dan peristiwa tsunami yang terjadi di Mentawai bulan Oktober kemarin,
yaitu tsunami yang berkekuatan lebih dari 7 skala richter memporak-porandakan
Kepulauan Mentawai dan sekitarnya.

Merujuk dari data tersebut, sudah menjadi keharusan bagi negeri ini untuk
memiliki suatu sistem peringatan dini tsunami (Tsunami Early Warning
System/TEWS) yang terintegrasi. Gempa dahsyat disertai gelombang tsunami
yang terjadi di Sumatera Utara dan Aceh beberapa waktu yang lalu memberikan
pelajaran yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia betapa hebatnya daya lumat
gelombang tsunami. Sebagaimana telah tersebut di atas bahwa perlu waktu
sekitar 20-30 antara terjadinya gempa dan datangnya tsunami mencapai daratan.
Diantara waktu itu, sesungguhnya sangat memungkinkan digunakan untuk
memberi peringatan kepada penduduk di sekitar pantai akan adanya bahaya,
sehingga mereka bisa menjauh secepatnya. Sayangnya ini tidak dilakukan,
masyarakat hanya menggunakan cara tradisional yaitu dengan melihat pasang
surut air laut untuk kemudian berteriak jika terjadi ancaman tsunami, beberapa
warga pergi ke bibir pantai untuk selanjutnya memberikan informasi kepada
warga lainnya dengan berteriak memberitahukan warga secepatnya. Tentu saja
cara ini tidak efektif untuk mengurangi jumlah korban tsunami.

Saat ini telah ditemukan teknologi modern yang merupakan bagian dari
skema TEWS (Tsunami early warning System)yang berfungsi sebagai alat
pendeteksi datangnya gelombang tsunami yaitu “Buoy”. Pemerintah Indonesia
kini telah bekerja sama dengan pemerintah Amerika Serikat meluncurkan Buoy di
Jakarta. Peluncuran Buoy pendeteksi tsunami dilakukan di atas kapal riset Baruna
Jaya III di Tanjungpriok, Jakarta. Buoy tersebut berjenis Deep Ocean Assesment
and Reporting of Tsunami (DART) yang dibuat oleh National Oceanic and
Atmospheric Administration dari Amerika Serikat. Selain Buoy DART, Kapal
Baruna Jaya III juga akan meluncurkan buoy Atlas yang berfungsi untuk
memantau kondisi kelautan dan iklim.(dilansir dari beritanasional.com)

Sistem kerja Buoy disandingkan dengan perangkat OBU (Ocean Bottom


Unit) yang terpasang di dasar laut. OBU dipasang bersama seismometer untuk
mendeteksi kekuatan gempa di dasar laut. Ketika terjadi getaran gempa, OBU
akan mengirimkan informasi kekuatan gempa ke Buoy yang dilengkapi dengan
penerima GPS (Global Positioning System) untuk memberikan data tentang posisi
derajat lintang dan derajat bujur unit yang terapung. Kemudian, Buoy secara real-
time memancarkan informasi lewat satelit pemancar untuk diteruskan ke master
station yang ada di daratan. Jika kekuatan gempa mengindikasikan tsunami maka
pihak terkait yang berada di master station langsung memberikan informasi ke
beberapa institusi untuk memberikan peringatan dini kepada masyarakat berupa
alarm maupun penyiaran darurat radio dan televisi. Dan cara ini merupakan cara
yang paling efektif untuk menyelamatkan ribuan nyawa manusia saat gejala
gelombang tsunami muncul.

Berikut skema komunikasi realtime TEWS

Di dalam kajian study Geografi dipelajari tentang GPS (Global Positioning


Ststem), sehingga dalam hal ini jelaslah peran ilmu geografi dalam upaya mitigasi
bencana, dalam hal ini bencana Tsunami.
Sumber Referensi:

http://www.majalaheindonesia.com/seluler-tsunami.htm

http://tempointeraktif.com

Jurnal “Mengendus Tsunami dengan Sensor Laser”

oleh Bambang Widyatmoko ( Pusat Penelitian Fisika LIPI)

Anda mungkin juga menyukai