Anda di halaman 1dari 105

Pergolakan Pemikiran: Catatan Harian Muslim Jerman

oleh Murad Wilfred Hoffman


Gema Insani Press, 1998
Jl. Kalibata Utara II No.84 Jakarta 12740
Tel.(021) 7984391-7984392-7988593
Fax.(021) 7984388
kumpulan posting sdr Hamzah ( hamzahtd@mweb.co.id ) di milis is-lam@isnet.org

Alur pemikiran yang diungkapkan Hoffman dalam


Catatan Hariannya ini memberikan deskripsi jelas terhadap jejak-jejak pendekatannya
terhadap Islam, yaitu proses yang berlangsung sepanjang tahun dan mencapai titik
kulminasi dengan ketegasannya menganut Islam pada tahun 1980.

Buku ini, seperti dikatakan oleh pengarangnya sendiri, Murad Wilfred Hoffman, adalah
"pergolakan dalam dirinya" yang didorong oleh karakter Jermannya yang cenderung
tenggelam dalam kajian kasus-kasus etika, perilaku dan seni.

Pemberontakannya terhadap peradaban teknologi modern yang materialistis, juga


stagnasi pemikiran psikologi Barat yang mengingkari seluruh nilai esoterisme (yang
bersifat khusus) dalam diri manusia. Hal itu mendorongnya untuk menyelidiki hubungan
antara bentuk-bentuk seni dalam dunia Islam dan teori keagamaan pemeluknya.
Penyelidikan inilah yang kemudian menjelaskan kepadanya relevansi Islam dan akidah
Islam.

Pada tanggal 11 September 1980, di Bonn, setelah lama ia


rasakan pergolakan pemikiran dalam dirinya yang makin
mendekatkan dirinya kepada keimanan, dengan terharu ia
mengungkapkan dalam memoarsnya (edisi bahasa Indonesia:
Pergolakan Pemikiran): "Aku harus menjadi seorang
Muslim!" Maka pada tanggal 25 September 1980, di Islamic
Center Colonia, ia dengan pasti mengucapkan dua kalimat
syahadat. Ia memilih nama baru nama baru bagi dirinya:
"Murad".
Daftar Isi
1. Toleransi Sampai Mengingkari Eksistensi Diri (1)
2. Kecelakaan Dahsyat
3. Imajinasi Tidak Utuh
4. Toleransi Sampai Mengingkari Eksistensi Diri (2)
5. Bahasa Allah yang Khusus?
6. Alkohol Demi Jerman
7. Aku Temukan Jawabannya
8. Reaksi Kaum Muslimin
9. Gila Harta
10. Di Altar Uskup Arios
11. Menyisipkan Sifat Pokok dalam Toleransi
12. Puasa dengan Suatu Tujuan
13. Tanpa Wahyu, Kita akan Terus Tersesat (Buta)
14. Segelas Besar Air
15. Ketinggian Roh dan Kepedihan Tubuh
16. Pertandingan Balet dan Pertandingan dalam Agama
17. Qadha dan Qadar, Bukan Alasan untuk Pasrah
18. Pertunjukan Kaum Darwisy
19. Paus Paulus Pembuat Klenik
20. Etika Muamalah Islam
21. Tiga Kali, Bukan Empat
22. Road to Mecca
23. Keselamatan dalam Islam
24. Penutup Nabi-Nabi
25. Islam Sekehendak Hati?
26. Aku Harus Masuk Islam
27. Laa Ilaaha Illa Allah, Muhammadur-Rasulullah
28. Mengapa Tidak Ada Caturnitas?
29. Darwisy Konya yang Berputar
30. Daya Tahan Islam
31. Undang-Undang Internasional Islam
32. Kesalahan Fatal Perancang Mode
33. Ibnu Khaldun adalah Bukan Karl Marx
34. Konsili Nicaea I
35. Gereja Bukan Masjid
36. Yang Amat Aneh
37. Masyarakat Alkohol, Nikotin, dan Daging Babi
38. Ukhuwah dalam Islam
39. Haji ke Mekah
40. Kembali ke Ibrahim
41. Di Sisi Makam Nabi saw.
42. Kejadian Mengecewakan di Hotel
43. Tenggelam dalam Shalat
44. Refleksi Seputar Keselamatan Shalat
45. Islam dan Era Boom Minyak
46. Ketika Seseorang Berserah Diri Melalui Pikirannya kepada Allah
47. Kemenangan bagi Islam
48. Bersih, Lebih Bersih, dan Paling Bersih
49. Umat Islam Jerman
50. Tipuan Bahasa
51. Ada yang Aneh dalam Hal Ini
52. Pluralisme dalam Islam
53. Nabi Amerika
54. Khitan
55. Anekdot
56. Istigfar Ketika Menang
57. Sekilas tentang Deonisius
58. Mereka Pikir Aku Bergurau
59. Wanita Menurut Islam
60. Mengapa Para Sufi Tergelincir
61. Dalil Injil
62. Rasionalisme, Kebebasan, dan Cinta
63. Seandainya Tuan Hakim Tidak Mempermainkan Kata-kata
64. Demokrasi Islam
65. "Katakanlah, 'Tidak Akan Menimpa kepada Kita Kecuali Sesuatu yang Telah
Digariskan Allah kepada Kita'..."
66. Ajakan
67. Catatan Pelanggaran
68. Empat Burung Bulbul dari Istambul
69. Cinta Persaudaraan sebagai Pengganti Ukhuwah
70. Dia Tidak Bodoh, namun Anehnya Dia Muslim
71. Al-Qur'an, Bibel, dan Sains Modern
72. Islam dan Stres
73. Yang Mulia Attaturk dan Keajaiban-keajaiban
74. Ketika Hening Merebak di Oscodar
75. Bagaimana Menghadapi Maut?
76. Menemui Muhammad Asad
77. Jangan Kau Sentuh Al-Qur'an!
78. Sejarah Panjang Organisasi-organisasi Islam di Amerika
79. Makmum Berkulit Hitam dan Imam Berkulit Putih
80. Apa yang Semestinya Tidak Jadi Kenyataan?
81. Selamat Datang Pantheisme Hegelianisme, dan Gnostisisme
82. Pandanganku, Pandanganmu (Tanpa Malu-malu)
83. Mitos-mitos
84. Islam dan Hak Asasi Manusia
85. Khurafat dalam Kajian Misteri Angka-angka
86. Apakah Nomor 19 Merupakan Kunci Rahasia?
87. Teguh Memegang Prinsip ala Dr. Kung
TENTANG PENULIS

Beberapa buku Wilfred Hoffman (atau berganti nama menjadi Murad Hoffman, setelah ia
memeluk Islam) telah dipublikasikan di Indonesia, termasuk sebagian buku yang Anda
sebutkan itu. Sepengetahuan saya, buku-buku Murad Hoffman yang telah dan akan
dipublikasikan adalah sebagai berikut:

1. Trend Islam 2000. Diterbitkan oleh GIP pada tahun 1997 M.


2. Pergolakan Pemikiran: Catatan Harian Muslim Jerman. Diterbitkan oleh GIP pada
tahun 1998 M.
3. Jalan Menuju Mekkah. Akan diterbitkan oleh GIP dalam waktu dekat.

Yang menarik dari Murad Hoffman adalah, ketika ia sedang menjadi duta besar Jerman
di Maroko, pada tahun 1992, ia mempublikasikan bukunya yang menggegerkan
masyarakat Jerman: Der Islam als Alternative (Islam sebagai Alternatif). Dalam buku
tersebut, ia tidak saja menjelaskan bahwa Islam adalah alternatif yang paling baik bagi
peradaban Barat yang sudah kropos dan kehilangan justifikasinya, namun ia secara
eksplisit mengatakan bahwa alternatif Islam bagi masyarakat Barat adalah suatu
keniscayaan.

Seperti ia ungkapkan dalam prakata bukunya tersebut: "Islam tidak menawarkan dirinya
sebagai alternatif yang lain bagi masyarakat Barat pasca industri. Karena memang hanya
Islamlah satu-satunya alternatif itu!" Oleh karena itu, tidak aneh ketika buku itu belum
terbit saja telah menggegerkan masyarakat Jerman. Mulanya adalah wawancara televisi
saluran I dengan Murad Hoffman; dan dalam wawancara tersebut, Hoffman bercerita
tentang bukunya yang --ketika itu-- sebentar lagi akan terbit itu.

Saat wawancara tersebut disiarkan, seketika gemparlah seluruh media massa dan
masyarakat Jerman. Dan serentak mereka mencerca dan menggugat Hoffman, hingga
sebelum mereka membaca buku tersebut. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh media massa
murahan yang kecil, namun juga oleh media massa yang besar semacam Der Spigel.
Malah pada kesempatan yang lain, televisi Jerman men-shooting Murad Hoffman saat ia
sedang melaksanakan shalat di atas sejadahnya, di kantor Duta Besar Jerman di Maroko,
sambil dikomentari oleh sang reporter: "Apakah logis jika Jerman berubah menjadi
Negara Islam yang tunduk terhadap hukum Tuhan?"

Murad Hoffman terlahir pada 6 Juli 1931, dengan nama Wilfred Hoffman, dari sebuah
keluarga Katholik, di Jerman. Pendidikan Universitasnya dilalui di Union College, New
York. Pada tahun 1957 ia meraih gelar gelar Doktor dalam bidang Undang-undang
Jerman, dari Universitas Munich. Dan pada tahun 1960, ia meraih gelar magister dari
Universitas Harvard dalam bidang Undang-undang Amerika. Ia kemudian bekerja di
kementerian luar negeri Jerman, semenjak tahun 1961 hingga tahun 1994. Ia terutama
bertugas dalam masalah pertahanan nuklir. Ia pernah menjadi direktur penerangan NATO
di Brussel, Duta Besar Jerman di Aljazair dan terakhir Duta Besar Jerman di Maroko,
hingga tahun 1994. Kini bersama isterinya, seorang muslimah asal Turki, ia menikmati
masa-masa pensiun di Istambul. Sambil berpikir dan mengarang buku.

Pengalamannya sebagai duta besar dan tamu beberapa negara Islam mendorongnya untuk
mempelajari Islam, terutama Al Quran. Dengan tekun ia mempelajari Islam dan belajar
memperaktekkan ibadah-ibadahnya. Pada tanggal 11 September 1980, di Bonn, setelah
lama ia rasakan pergolakan pemikiran dalam dirinya yang makin mendekatkan dirinya
kepada keimanan, dengan terharu ia mengungkapkan dalam memoarsnya (edisi bahasa
Indonesia: Pergolakan Pemikiran): "Aku harus menjadi seorang Muslim!" Maka pada
tanggal 25 September 1980, di Islamic Center Colonia, ia dengan pasti mengucapkan dua
kalimat syahadat.

Ia memilih nama baru nama baru bagi dirinya: "Murad". Muhammad Asad, seorang
Muslim Austria, yang sebelumnya bernama Leopold Weist, dalam pengantarnya terhadap
memoar Murad Hoffman, yang telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul
Pergolakan Pemikiran, lebih jauh menjelaskan makna filosofis nama tersebut: "Murad
artinya 'yang dicari', dan pengertiannya yang lebih luas adalah 'tujuan', yaitu tujuan
tertinggi hidup Willfred Hoffman."

Murad Hoffman telah menulis beberapa buku tentang Islam. Pada tahun 1985 ia menulis
memoarnya, yang diterbitkan pada bahasa Inggris pada tahun 1987, dalam bahasa
Perancis pada tahun 1990, dalam bahasa Arab pada tahun 1993, dan bahasa Indonesia
pada tahun 1998 (dengan judul Pergolakan Pemikiran: Catatan Harian Muslim Jerman).

Bukunya yang menggegerkan; Der Islam als Alternative, juga telah diterbitkan dalam
edisi bahasa Inggris dan bahasa Arab, pada tahun 1993. Annie Marie Schimmel dengan
hangat memberikan kata pengantar dalam buku tersebut, dan dengan antusias menutup
pengantarnya itu sambil menyitir Goethe: "Jika Islam berarti ketundukan dengan penuh
ketulusan, maka atas dasar Islamlah selayaknya kita hidup dan mati!" Memang, menurut
pengamatan Murad Moffman, sebentar lagi Schimmel akan terus terang memeluk Islam.

Dalam buku Trend Islam 2000, Murad Hoffman mencoba menatap potensi futuristik
peradaban Islam. Dengan tujuh bagian kajian, ia memulai dengan melihat tiga sikap
kaum Muslimin terhadap masa depan mereka.

Pertama: kelompok yang pesimis, yang melihat bahwa perjalanan sejarah pada dasarnya
selalu menurun.

Kedua: kelompok yang melihat sejarah umat Islam seperti gelombang yang terdiri dari
gerakan naik turun. Dan

Ketiga: kelompok yang amat optimis, yang melihat bahwa sejarah Islam terus menuju
kemajuannya.
Ketiga kelompok tersebut, masing-masinng mempunyai sandarannya dari teks agama
Islam.

Hoffman mengajak kita untuk bersikap optimis, menatap mentari esok dengan semangat
dan usaha. Maka ia mulai mencari faktor-faktor yang mendorong optimisme tersebut,
kemudian dibandingkan dengan situasi agama Kristen dan Yahudi, sambil membaca
hubungan Islam dan Barat. Kemudian ia kembali bertanya, apakah mungkin
membangkitkan Islam kembali? Untuk menjawab itu, ia mengajukan skala prioritas
pembaruan yang harus dilaksakanakan sebagai prasyarat kebangkitan itu, yaitu:
perbaikan mutu pendidikan dan teknologi, melepaskan belenggu kaum perempuan,
perbaikan dalam hak-hak asasi manusia, merumuskan teori negara dan ekonomi,
memberikan sikap tegas terhadap sihir dan khurafat, dan memperbaiki sarana transportasi
dan komunikasi di dunia Islam. Sambil dengan tegas membedakan antara: Islam sebagai
agama dan sebagai peradaban, sunnah yang sahih dan yang tidak, syari'ah dan
pemahaman fuqaha (fiqh), serta al Quran dan as Sunnah. Ia terutama memberikan
prioritas pada perbaikan pendidikan dan kemampuan teknologi. Karena masa depan kita,
ia menambahkan, diciptakan dari dua bidang ini.

Namun setelah menyaksikan kondisi negara-negara Islam atau negara yang berpenduduk
mayoritas Muslim, ia tampak kecewa, karena mendapati mereka ternyata masih jauh dari
kesiapan untuk melakukan perbaikan-perbaikan itu. Hal itulah, barangkali yang
menyebabkan ia menulis dalam pengantar buku Trend Islam 2000: "Jika aku telah
berhasil mengemukakan sesuatu, maka sesuatu itu adalah suatu realitas yang pedih!"

"Dengan kondisi negara-negara Islam seperti itu", tambahnya pada penutup buku Trend
Islam 2000, "kita justru menjumpai kesuburan dan vividitas peradaban yang diperlukan
untuk membangkitkan Islam telah berpindah dari pusat-pusat tradisional ke tempat-
tempat seperti Los Angeles, Washington, Leichter, Oxford, atau Colon dan Paris. Oleh
karena itu, tidak aneh jika nanti gerakan kebangkitan dan pembaruan Islam justru
dipimpin oleh pemikir-pemikir Islam dari negara-negara non-Muslim!"

Saat ini Murad Hoffman sudah aktif ikut dalam konferensi-konferensi Islam Internasional
yang diadakan oleh organisasi-organisasi Islam. Jadi sudah dikelompokkan sebagai tokoh
Islam Internasional. Dan setahun lepas, ia mendapatkan bintang penghargaan dari
pemerintah Mesir atas jasa-jasanya dalam pemikiran Islam.

Abdul Hayyie al Kattani


Dept. of Islamic Philosophy
Fact. of Darul Ulum
Cairo Univeristy
Egypt 202-2706483
Toleransi Sampai Mengingkari Eksistensi Diri (1)

(New York, 17 Mei 1951)

Sudah lewat setahun aku mempelajari ilmu sosial di Universitas Union College, yang
terletak dekat sungai Mohock, di dataran tinggi negara bagian New York. Metode
pengajaran mata kuliah yang digunakan adalah empiris an-sich. Oleh karena itu, kajian
tentang tugas sosiologis manusia dan perilakunya tidak beranjak dari gambaran-
gambaran yang mengkristal secara filosofis dan teologis dari tabiat esensial manusia dan
tujuannya, sehingga pertimbangan-pertimbangan nilai tidak diperkenankan karena
dianggap "tidak ilmiah". Itu dilakukan demi kepentingan segi-segi kuantitas. Interaksi
sosial antara lelaki dan wanita diletakkan dalam statistik angka-angka. Oleh karena itu,
penelitian hanya berfokus pada tugas dan peran yang dimainkan keduanya dalam
kehidupan berdasarkan tingkat prestasi keduanya dalam mewujudkan kesempurnaan dan
kepentingan sosial. Sejalan dengan teori yang populer dari Sigmund Freud dalam ilmu
jiwa mengenai individu, dan anggitan materi dan mekanis yang berkembang tentang
kehidupan dan intelektualitas.

Tampaknya, metodologi perilaku ini serupa dengan metode yang diaplikasikan oleh Karl
Von Prietz dalam menentukan tingkat kecerdasan tawon dan sifat-sifat bawaannya.

Semenjak beberapa tahun, sebelum Vans Packard menulis "Jenjang Bersusun Piramid",
"Open Nationality", dan "Agitator Terselubung", dan sebelum Concard Lawrence
menulis "Tentang Permusuhan", aku telah berusaha menemukan hukum-hukum yang
mempengaruhi aktivitas seluruh manusia dan masyarakat. Meskipun aku belum meneliti
bias nilai yang ditimbulkan oleh riset sosiologis: setiap kali manusia melihat hasil
statistik mengenai sesuatu yang dianggap biasa, maka ia akan melakukan conditioning
dirinya dengan ukuran nilai itu. Sehingga sosiologi berubah menjadi prediksi pencipta
kepribadian. Rupanya, rekan-rekanku sesama mahasiswa dalam kelompok persaudaraan
(di C-Obselon) menjadi korban kecenderungan conditioning diri secara total dengan
ukuran nilai ini.

Yang jelas, metodologi seperti ini dipergunakan untuk melihat hakikat kemanusiaan,
tampak tidak seirama dengan antropologi yang berasaskan filsafat. Juga sosiologi
agnostisisme yang memberi perhatian pada ilmu etika, akan membawa manusia jauh dari
pedoman-pedoman tradisional dalam melihat etika-etika yang berkembang, yang
mendukung sebuah bangunan sosial.

Yang paling representatif mendeskripsikan keruntuhan metodologis dalam memandang


batasan-batasan etika adalah trend olahraga seks yang memalukan yang berkembang di
lingkungan pendidikan. Jika social-conditioning co-existensi dianggap sebagai tujuan
terbesar yang diharapkan dari semua kegiatan sosial dan ekonomi manusia, maka segala
apa yang diharapkan dari semua kegiatan sosial dan ekonomi manusia, ada dalam realitas
sosial tersebut adalah nisbi belaka. Sehingga manusia mengerjakan apa yang orang-orang
lain duga akan ia kerjakan. Atau, seperti yang dikatakan oleh George Schimmel,
"Manusia tanpa kepribadian adalah manusia yang menjadi budak nurani sosialnya secara
total."

Model sosiologi ini dianggap bukan ideologi, bahkan bertentangan dengan ideologi. Pada
kenyataannya, ia hampir menjadi agama palsu yang memakai topeng dan menyelusup di
bawah slogan salah satu ilmu-ilmu biologi yang diragukan kebenarannya.

Seorang yang menolak untuk membuang pertanyaan-pertanyaan esensial mengenai


manusia, seperti: dari mana, akan ke mana, mengapa? Atau ia meremehkannya, bukankah
itu sikap ideologis? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang membuat tokoh filosof dan ahli
teologi sepanjang masa tidak mampu berbuat lain, kecuali mencampakkannya.

Ilmu pendidikan yang berada di bawah pengaruh sosiologi, dan berusaha mewujudkan
kesesuaian hingga pada batas persamaan terkecil, bukankah itu hasil dari teori world
view?

Benar, jenis sosiologi ini akan melewati konklusinya yang terdahulu. Ia tidak hanya
menganggap sebagai sebuah fenomena yang harus diterima. Jika hal itu telah menjadi
world view bagi masyarakat Amerika. Ia juga menjadi world view masyarakat Eropa.

Selanjutnya, bagaimana kita dapat mengingkari agama imitasi, seperti Marxisme


"Ilmiah", jika kita juga menganggap ateisme sebagai salah satu corak hidup, sambil
menolak sistem nilai Barat karena bias kuat agnostisisme. Karena itu, ia berkompetensi
meluruskan nilai.

Toleransi Sampai Mengingkari Eksistensi Diri


(New York, 17 Mei 1951)

Sudah lewat setahun aku mempelajari ilmu sosial di Universitas Union College, yang
terletak dekat sungai Mohock, di dataran tinggi negara bagian New York. Metode
pengajaran mata kuliah yang digunakan adalah empiris an-sich. Oleh karena itu, kajian
tentang tugas sosiologis manusia dan perilakunya tidak beranjak dari gambaran-
gambaran yang mengkristal secara filosofis dan teologis dari tabiat esensial manusia dan
tujuannya, sehingga pertimbangan-pertimbangan nilai tidak diperkenankan karena
dianggap "tidak ilmiah". Itu dilakukan demi kepentingan segi-segi kuantitas. Interaksi
sosial antara lelaki dan wanita diletakkan dalam statistik angka-angka. Oleh karena itu,
penelitian hanya berfokus pada tugas dan peran yang dimainkan keduanya dalam
kehidupan berdasarkan tingkat prestasi keduanya dalam mewujudkan kesempurnaan dan
kepentingan sosial. Sejalan dengan teori yang populer dari Sigmund Freud dalam ilmu
jiwa mengenai individu, dan anggitan materi dan mekanis yang berkembang tentang
kehidupan dan intelektualitas.
Tampaknya, metodologi perilaku ini serupa dengan metode yang diaplikasikan oleh Karl
Von Prietz dalam menentukan tingkat kecerdasan tawon dan sifat-sifat bawaannya.

Semenjak beberapa tahun, sebelum Vans Packard menulis "Jenjang Bersusun Piramid",
"Open Nationality", dan "Agitator Terselubung", dan sebelum Concard Lawrence
menulis "Tentang Permusuhan", aku telah berusaha menemukan hukum-hukum yang
mempengaruhi aktivitas seluruh manusia dan masyarakat. Meskipun aku belum meneliti
bias nilai yang ditimbulkan oleh riset sosiologis: setiap kali manusia melihat hasil
statistik mengenai sesuatu yang dianggap biasa, maka ia akan melakukan conditioning
dirinya dengan ukuran nilai itu. Sehingga sosiologi berubah menjadi prediksi pencipta
kepribadian. Rupanya, rekan-rekanku sesama mahasiswa dalam kelompok persaudaraan
(di C-Obselon) menjadi korban kecenderungan conditioning diri secara total dengan
ukuran nilai ini.

Yang jelas, metodologi seperti ini dipergunakan untuk melihat hakikat kemanusiaan,
tampak tidak seirama dengan antropologi yang berasaskan filsafat. Juga sosiologi
agnostisisme yang memberi perhatian pada ilmu etika, akan membawa manusia jauh dari
pedoman-pedoman tradisional dalam melihat etika-etika yang berkembang, yang
mendukung sebuah bangunan sosial.

Yang paling representatif mendeskripsikan keruntuhan metodologis dalam memandang


batasan-batasan etika adalah trend olahraga seks yang memalukan yang berkembang di
lingkungan pendidikan. Jika social-conditioning co-existensi dianggap sebagai tujuan
terbesar yang diharapkan dari semua kegiatan sosial dan ekonomi manusia, maka segala
apa yang diharapkan dari semua kegiatan sosial dan ekonomi manusia, ada dalam realitas
sosial tersebut adalah nisbi belaka. Sehingga manusia mengerjakan apa yang orang-orang
lain duga akan ia kerjakan. Atau, seperti yang dikatakan oleh George Schimmel,
"Manusia tanpa kepribadian adalah manusia yang menjadi budak nurani sosialnya secara
total."

Model sosiologi ini dianggap bukan ideologi, bahkan bertentangan dengan ideologi. Pada
kenyataannya, ia hampir menjadi agama palsu yang memakai topeng dan menyelusup di
bawah slogan salah satu ilmu-ilmu biologi yang diragukan kebenarannya.

Seorang yang menolak untuk membuang pertanyaan-pertanyaan esensial mengenai


manusia, seperti: dari mana, akan ke mana, mengapa? Atau ia meremehkannya, bukankah
itu sikap ideologis? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang membuat tokoh filosof dan ahli
teologi sepanjang masa tidak mampu berbuat lain, kecuali mencampakkannya.

Ilmu pendidikan yang berada di bawah pengaruh sosiologi, dan berusaha mewujudkan
kesesuaian hingga pada batas persamaan terkecil, bukankah itu hasil dari teori world
view?

Benar, jenis sosiologi ini akan melewati konklusinya yang terdahulu. Ia tidak hanya
menganggap sebagai sebuah fenomena yang harus diterima. Jika hal itu telah menjadi
world view bagi masyarakat Amerika. Ia juga menjadi world view masyarakat Eropa.
Selanjutnya, bagaimana kita dapat mengingkari agama imitasi, seperti Marxisme
"Ilmiah", jika kita juga menganggap ateisme sebagai salah satu corak hidup, sambil
menolak sistem nilai Barat karena bias kuat agnostisisme. Karena itu, ia berkompetensi
meluruskan nilai.

Kecelakaan Dahsyat
(Holly Springs, Mississippi, 28 Juni 1951)

Setelah dua minggu penuh, saat sedang melintasi jalan bypass (bebas hambatan), sambil
membawa perbekalan lebih dari cukup bagi seorang pekerja logistik --setidaknya sebagai
pembantu bagian logistik-- dari New York Timur melalui jalan New Jersey dan
California Selatan menuju Florida dan kembali lagi ke Georgia. Saat ini, aku telah
berkhayal sampai di Memphis-Tennessee dan melintas di bawah jembatan Mississippi.
Tiba-tiba aku dikejutkan sebuah bayangan di depan mobil ketika sopir menginjak pedal
rem, namun kedua sisi rem tersebut tidak berfungsi sama sekali.

Pada pagi hari esoknya, koran lokal menampilkan judul berita utamanya "Kecelakaan
Tabrakan Mobil". Koran itu memberitakan bahwa beberapa mobil saling bertabrakan dari
arah yang berlawanan, di jalan raya. Ketika dokter mendiagnosa aku di rumah sakit,
mereka mendapatkan rahangku bagian atas patah, bibir bagian bawah pecah, sembilan
belas buah gigiku pecah, lengan kananku bergeser dari tempatnya, dan lutut kananku
berlubang besar. Namun, aku tidak mengalami gegar otak, juga tidak goncangan jiwa.

Dua mobil --keduanya jenis Chevrolet-- bertubrukan dengan kedua bagian depannya
dalam kecepatan kira-kira 95 mil per jam. Kesempatanku untuk selamat dari kecelakaan
tersebut adalah sebanding dengan jika aku melompat dari lantai lima sebuah gedung.

Ketika para ahli bedah berusaha mengoperasi wajahku yang luka-luka dan
mengembalikannya ke bentuk aslinya, mereka saling bertanya dengan nada tinggi tentang
gambar wajahku sebelum kecelakaan. Dengan gerakan kepala, aku memberi isyarat
kepada mereka bahwa ada paspor di kantong celana jeansku yang berlumuran darah,
untuk melihat fotoku. Dokter tampak membandingkan antara foto di pasporku dan
wajahku yang luka-luka. Kemudian mereka berkata bahwa operasi kecantikan baru bisa
dilakukan setelah beberapa tahun.

Sambil menyuntikkan satu dosis morfin pada malam pertamaku di rumah sakit, dokter
berbisik kepadaku, "Tuan, jarang orang selamat dari kecelakaan seperti ini, mungkin
Allah menghendaki sesuatu bagimu di kemudian hari nanti." Setelah 29 tahun, yaitu pada
tanggal 25 Desember 1970, aku baru dapat mengungkap makna kejadian tersebut.
Imajinasi Tidak Utuh
(Granada, Cordoba, 7 Juli 1958)

Para ahli Jerman di bidang kesenian dan bangunan Islam, seperti Ernest Coneil, Caterina
Ottodorn, dan Alfred Reinz, menemukan kesulitan luar biasa untuk mendefinisikan
spesialisasi mereka. Menurut Olwieg Graper --mewakili pendapat yang paling tepat--
metode seniman muslim karena pengalaman pribadi mereka dan pergesekan dengan
peradaban-peradaban Suria, Byzantine, Parsi, dan suku-suku Turki, tampak mempunyai
keunikan tersendiri. Hal itu di dalamnya hanya tampak satu unsur sebagai tanda yang
memberi ciri khas metode kesenian Islam, yaitu penggunaan kaligrafi Arab ornamental.

Sampai-sampai anak kecil sekalipun bisa menilai dengan tepat keunikan kesenian Islam,
karena ia mempunyai ciri tersendiri.

Tentunya, tidak ada gerakan seni yang telah ada semenjak zaman dulu. Demikian juga
seni Islam yang tidak mulai dari nol, namun ia menyerap seni-seni lain dalam masa
perkembangannya. Selama itu, Islam dapat menerjemahkan segi-segi tertentu teologis
menjadi kaidah-kaidah seni.

Oleh karena itu, tidak heran jika bangunan-bangunan Islam dalam ornamen interior dan
eksteriornya --meskipun mempunyai perbedaan yang besar-- memberikan image tentang
tempat dengan karakteristik Islam tertentu, mencakup eksterior maupun detailnya.

Hal ini bisa disaksikan sebagai contoh pada struktur dan ruangan Istana Merah di
Granada, atau pada masjid-masjid tertentu. Seperti yang terdapat di Cordoba, Qairawan,
Kairo, dan Istambul, terutama Masjid Sulaimaniyyah, Masjid Sultan Ahmad Rustam
Basya, dan Sukulu Muhammad Basya. Juga taman al-Hambra, dan daerah Haram di
Mekah.

Keunikan kesenian Islam ini berpulang pada beberapa unsur, yaitu sebagai berikut.

1. Ilustrasi-ilustrasi tertentu tentang kesederhanaan pada bagian luar istana Islam


--yang tampak mengisyaratkan akan perempuan muslimah yang cantik yang
menutup hijab wajahnya ketika meninggalkan rumah.
2. Karakter demokrasi Islam yang tidak berkasta yang tecerminkan pada tempat
ibadah Islam.
3. Abstraksi yang tinggi, sesuai dengan pandangan umat Islam bahwa Allah SWT
tidak bisa dilukiskan.
4. Dimensi-dimensi manusiawi dalam membentuk kerangka bangunan yang
mencerminkan kecenderungan Islam pada ekuilibrium, keseimbangan, dan
metode moderat dalam memecahkan masalah-masalah.
5. Mengosongkan tempat shalat dari suasana magis --yang mengisyaratkan tidak
adanya ritus-ritus dan rahasia-rahasia yang disucikan.
6. Membangun kebun-kebun dengan inspirasi sifat-sifat surga dalam Al-Qur'an.
Betapa besarnya perasaan keagungan dengan segala pengertiannya yang menguasai
seseorang ketika berada di tempat-tempat tersebut. Orang yang tidak mampu shalat di
masjid seperti ini, tidak akan pernah belajar sembahyang di Katedral.

Juga tidak adanya gambar dan patung alami yang melukiskan manusia atau Allah (dan
perbuatan itu amat terkutuk) dalam lingkungan Islam, lebih didorong oleh kekhawatiran
terjerumus terhadap penyembahan patung dan kecenderungan paganisme, dibandingkan
larangan Al-Qur'an. Begitu juga abstraksi yang tercermin dalam bentuk saling
berhubungan tanpa akhir pada ornamen Arab (arabesk) melepaskan ikatan rasio untuk
menfokuskan diri pada Allah Yang disucikan, Yang tidak bisa disifati, didefinisikan dan
diukur.

Oleh karena itu, gambar-gambar bukanlah perangkat terpuji untuk menyuburkan inspirasi
metafisis, namun sebaliknya, ia adalah cerminan imajinasi yang tidak utuh.

Toleransi Sampai Mengingkari Eksistensi Diri (2)


(Cambridge, Massachussetts, 4 Juni 1960)

Ketika aku sedang menyelesaikan ujian semester akhir di Fakultas Hukum, Universitas
Harvard, aku memutuskan diri untuk beristri. Singkat cerita, acara perkawinan tersebut
kemudian dilaksanakan di altar Harvard oleh seorang pendeta yang mengimani keesaan
Tuhan dan menolak Trinitas. Sebelum acara dilaksanakan, ia bertanya kepadaku,
"Apakah aku telah terbebas dari kecenderungan penyimpangan seksual yang terpendam
dalam diriku."

Di koridor yang memanjang di depan tempat penyembelihan, di sana terukir nama-nama


seperti ini: Budha, Kong Hu Chu, Kristen, Musa, dan Muhammad. Aku pikir, ini dapat
memenuhi keinginan semua manusia. Menyenangkan sekali, karena ia memberikan
toleransi hingga melupakan eksistensi diri. Namun, masalahnya sama sekali bukan seperti
itu, karena ada permainan dalam kronologi sejarah, sehingga menempatkan nama
Almasih di tengah nama-nama itu. Yang menggelikan, nama Muhammad dengan jelas
ditulis di akhir rentetan nama-nama itu, sehingga menjadi akhir nabi, dan tentunya
penutup nabi-nabi.

Perhatianku terhadap simbol-simbol ini menguasai kesadaranku. Saat aku seharusnya


mencurahkan semua konsentrasi untuk mengucapkan lafal akad perkawinan dengan
bahasa Inggris ningrat yang sulit. Oleh karena itu, aku sedikit gagap ketika diminta untuk
mengulang perkataan, "Dan aku berjanji kepadamu bahwa aku sungguh-sungguh akan
setia."
Bahasa Allah yang Khusus?
(Gradigh, 9 April 1962)

Di lobi satu-satunya hotel di Oasis, kebetulan tempat dudukku berada di samping seorang
pria dari daerah Mozabeth. Pria itu tampak menggigil kedinginan menahan hawa dingin
yang keluar dari AC, meskipun ia menggunakan jas panjang yang terbuat dari wol tebal.
Kami berdua kemudian terlibat dalam pembicaraan, sambil menghindari berbicara
mengenai Perang Aljazair yang mengenaskan dan sedang menjadi pembicaraan dunia.

Namun, ketika aku mengatakan bahwa aku baru saja selesai membaca terjemahkan Al-
Qur'an dalam bahasa Perancis (AW. Pitckhal/Ahmad Tijany. Al-Qur'an. Paris, 1954), ia
cepat-cepat membungkam mulutnya dan mulai menampakkan keraguan.

Aku menyadari bahwa pria itu --akibat dari kecenderungannya memegang penafsiran
Islam dengan kaku-- seperti lazimnya tradisi penduduk Mozabeth, menyangka aku telah
menciptakan sebuah bid'ah, seperti mereka yang meremehkan risalah Allah. Karena Nabi
Muhammad saw menerima Al-Qur'an melalui Malaikat Jibril dengan bahasa Arab, bukan
bahasa yang lain.

Sekarang --setelah menyaksikan reaksi keras atas sekadar usaha menerjemahkan Al-
Qur'an-- aku juga menemukan perkara lain. Sambil berjalan sepanjang jalan Gradigh
yang sempit yang berhembus angin. Telingaku menangkap suara ayat-ayat Al-Qur'an
dengan bahasa Arab dibacakan anak-anak yang mungkin tidak memahami maknanya,
lebih-lebih karena mereka tidak berbicara dengan bahasa tersebut.

Usaha memelihara Al-Qur'an dengan bahasa Arab asli, bukanlah taklid primitif sama
sekali. Sebaliknya, ia tampak logis jika seseorang mengimani bahwa Al-Qur'an adalah
catatan wahyu Allah yang utuh, dalam bentuk asli, sebagaimana ia diturunkan. Dengan
karakteristik ini, Al-Qur'an menempati kedudukan tersendiri di antara kitab-kitab langit
yang lain, termasuk di dalamnya satu bagian dari teks-teks yang terkenal dengan
Perjanjian Baru. Analogi antara keduanya seperti perbedaan antara karya sastra asli dan
sastra plagiat.

Dengan latar belakang ini dan pengalaman yang mengecewakan dalam usaha
menerjemahkan Injil dari bahasa Aramiyah melalui bahasa Yunani dan Latin, ke dalam
bahasa Inggris, Perancis, dan Jerman. Apakah mengherankan jika umat Islam
menampakkan kekhusyukan ketika membaca bagian terkecil, kecuali dengan tangan dan
badan yang suci?

Seharusnya orang mengetahui bahwa para filosof muslim --dengan logika Aristoteles--
telah mencapai bahwasanya Allah Azali Yang Mahasempurna, Tetap, dan Maha
Mengetahui. Maka, risalah (firman)-Nya pun telah ada semenjak azali, hingga sebelum
turun wahyu dan hadir dalam sejarah manusia.
Perbedaan pendapat tentang apakah Al-Qur'an makhluk atau bukan telah menyebabkan
perpecahan di antara para ulama. Seperti terpecahnya umat Kristen dalam polemik
seputar apakah alam adalah diciptakan atau ia telah ada semenjak azali.

Sebenarnya, orang tidak perlu meyakini secara elementer bahwa bahasa Allah adalah
bahasa Arab.

Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dengan bahasa Arab karena logika
sederhana. Yaitu, karena beliau tidak mengetahui bahasa selain bahasa Arab. Karena
beliau seorang Arab dan akan menyampaikan ajarannya kepada manusia dengan bahasa
Arab.

Tidak ada alasan untuk menganggap terjemahan Al-Qur'an sebagai pelecehan selama
terjemahan tersebut tidak dianggap sebagai ganti atau sama dengan yang asli.

Oleh karena itu, usaha-usaha penerjemahan yang dilakukan umat Islam biasanya
dipublikasikan dengan judul: "Makna-makna Al-Qur'an". Dan teks bahasa Arab akan
tetap ditulis di sisi makna terjemahannya.

Pertanyaan kemungkinan berhasilnya seseorang manusia, pada suatu masa setelah


berusaha keras dan terus-menerus, menerjemahkan sesuai dengan Al-Qur'an yang asli,
terkadang cukup menggelitik.

Namun, banyak yang akan menentang pemikiran seperti itu.

Alkohol Demi Jerman


(Aljazair, 3 Mei l962)

Beberapa orang teman-temanku dari Jerman, yang sedang mengekplorasi minyak di


Padang Sahara Aljazair, hampir kehilangan semangatnya. Sebagian mereka mengancam
dan meninggalkan kompleks tempat tinggalnya. Hal itu tidak aneh, karena perang
kemerdekaan Aljazair makin merembet ke kawasan mereka, dan berkembang desus-
desus akan terjadi pembunuhan niassal setelah pasukan penjaga keamanan Prancis ditarik
mundur.

Karena sebab itu, Sigfried Von Notsch, konsuler umum Jerman di Aljazair (di ibu kota)
memerintahkan kepadaku untuk berusaha memompa kembali semangat para pekerja
tersebut untuk kepentingan Jerman. Oleh karena itu, alkohol itu pun demi Jerman pula.

Aku terbang melintasi badai yang menakutkan di atas Pegunungan Atlas, didampingi
direktur perusahaan minyak Jerman, dalam pesawat jenis DC-3, peninggalan Perang
Dunia II.
Dua kotak whisky diletakkan di lantai dekat tempat dudukku, namun keduanya tidak
diikat dengan tali pengaman. Aku terus mencoba dengan sia-sia menahannya agar tetap
di tempatnya setiap kali pesawat menukik tajam di salah satu daerah berudara tipis,
sehingga kedua kotak tersebut melonjak ke udara hingga setinggi tangan kursi, juga
setiap kali ia bergerak dan jatuh di lantai ketika pesawat telah menemukan
keseimbangannya.

Aku tahu betul, tanpa whisky, usahaku akan gagal. Jika tidak ada alkohol, tidak mungkin
membangkitkan semangat mereka.

Ruang pesawat telah dipenuhi bau alkohol, sehingga memuakkan sekali. Namun, dengan
menelan obat, aku terhindar dari mabuk udara.

Di kompleks para pekerja, kami disambut dengan sedikit hati-hati dan perasaan takut,
meskipun masih ada beberapa botol whisky yang selamat dan dibagi-bagikan kepada
mereka, seperti dalam film koboi. Aku tekankan kepada teman-teman senegaraku bahwa
kondisi di ibu kota Aljazair telah genting, sering terjadi perang gerilya di dalam kota
setiap hari. Dan aku berjanji kepada mereka untuk mengungsikan mereka pada waktu
yang tepat, jika diperlukan.

Ketika aku sedang mengatakan hal itu meskipun aku tidak begitu yakin aku terus
memikirkan nasib mengenaskan tentara-tentara Aljazair yang tergabung dalam Angkatan
Bersenjata Prancis, yang menjaga kompleks ini. Mereka terlihat berdiri tenang
menjalankan komando mereka dan tenggelam dalam renungan mereka. Keyakinan
mereka tumbuh dari iman mereka, dan semata dari iman Islam mereka.

Sedangkan para pekerja Jerman, mereka butuh alkohol untuk mengangkat semangat
mereka. Oleh karena itu, alkohol ini demi Jerman.

Aku Temukan Jawabannya


(Aljazair, 28 Mei 1962)

Ketika aku bekerja pada Konsulat Jenderal Jerman di ibu kota Aljazair. Aku
menyaksikan kriminalitas yang mengerikan dan menakutkan selama sembilan bulan.
Hampir tidak ada malam berlalu tanpa diwarnai ledakkan bom-bom plastik, yang bisa
mencapai seratus ledakan atau lebih, dalam satu malam.

Di ibu kota Aljazair sendiri, dalam beberapa bulan, telah meninggal sekitar seribu orang
karena ditembak, dan mayoritas dari jarak dekat. Gerakan Pembebasan Nasional
berperang melawan Prancis untuk mewujudkan kemerdekaan Aljazair.
Penduduk Prancis dan Spanyol, di tanah jajahan Aljazair yang dinamakan "telapak-
telapak kaki hitam", mereka juga membantu Paris, dan berusaha untuk terus tinggal di
negeri ini di bawah pemerintahan Prancis dengan harga berapa pun.

Tentara rahasia mereka yang terkenal dengan "dinas tentara rahasia" yang bertanggung
jawab mengirimkan truk-truk bensin yang menyala ke perkampungan-perkampungan di
Aljazair dan memburu mereka seperti kelinci. Dari apartemenku, di daerah al-Biar, aku
dapat menyaksikan puing-puing sebuah kampung di daerah pegunungan setelah diserang
oleh tentara Prancis dengan menggunakan bom napalm. Ketika aku pergi menuju Rumah
Sakit Mushthafa untuk mencari korban orang Jerman. Aku melihat korban-korban baru
yang berdatangan sekitar satu orang setiap dua puluh menit. Luka mereka sama, ditembak
di kepala atau kadang-kadang dari belakang.

Sekarang, setelah dilakukan gencatan senjata dan perjanjian tersebut dihormati oleh
Prancis dan Gerakan Pembebasan Nasional Aljazair, setelah mereka mengukir sejarah
kemerdekaan Aljazair. Dinas tentara rahasia yang di alamnya tergabung orang-orang
yang melakukan desersi dari kesatuan tentara Jerman, melakukan upaya pengacauan
dengan melakukan teror untuk mendorong orang-orang Aljazair melakukan tindakan
balasan, sehingga mereka membatalkan gencatan senjata dengan Prancis tersebut.. Dan
kemerdekaan dapat ditunda, mungkin untuk waktu yang tidak ditentukan.

Untuk melaksanakan taktik jahanam ini, komandan-komandan yang tergabung dalam


dinas tentara rahasia melakukan pembersihan terhadap pemuda-pemuda Aljazair
terpelajar di universitas-universitas, juga membunuh wanita Aljazair yang sedang pergi
ke pasar, yang sebenarnya dilarang menyentuh mereka hingga pada saat seperti itu
sekalipun.

Pada hari berikutnya, ketika anak-anak tetangga kami kembali, mata mereka
menampakkan ketakutan setelah menyaksikan kebuasan yang dilakukan tentara Prancis
terhadap orang Aljazair. Ibu mereka berusaha menenangkan mereka dengan mengatakan,
"Sudahlah, mereka kan tak lebih dari sekadar orang Arab."

Selama masa tersebut, aku selalu menyiapkan senjataku, Walter PK. Kaliber 7,65 mm,
yang siap ditembakkan. Aku berulangkali mencari rahasia yang membuat bangsa Aljazair
mampu menanggung semua penghinaan ini, buruknya perlakuan, dan hukuman.

Akhirnya, aku menemukan kunci rahasianya, ketika aku sedang membaca ayat 153 surat
al-Baqarah, Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat
sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar."

Reaksi Kaum Muslimin


(Bonn, 17 Oktober 1964)
Selama dua tahun ini, aku mendapat pekerjaan sebagai penanggung jawab hubungan
diplomatik antara Jerman dan India, Pakistan, Ceylon, Nepal, Buthan, dan Sekem.
Sehubungan dengan pekerjaanku di bagian politik kementerian luar negeri.

Meskipun aku sering berhubungan dengan orang-orang Hindu dan Budha di India dan
Ceylon, aku tetap tidak dapat memprediksikan dengan tepat reaksi mereka. Sebaliknya,
aku merasa mampu memahami dengan tepat reaksi umat Islam Pakistan dan India,
hingga mereka yang tinggal di daerah Bengali. Mudah untuk memprediksi reaksi mereka.

Fenomena ini tidak semata hasil dari adanya ikatan yang kuat antara dua bangsa Jerman
dan India. Namun karena adanya penafsiran yang lebih tepat dari itu. Yaitu, karena umat
Islam menganut agama yang mengambil ajarannya dari kitab samawi yang sesuai dengan
kajian hukum, artinya mereka juga termasuk Ahli Kitab.

Kesimpulan ini diutarakan oleh Prof. Muhammad Hamidullah. Ia adalah seorang


ilmuwan India muslim yang menguasai beberapa bahasa. Ketika ia menemukan dalam
riset yang dilakukannya --pada tahun 1941-- bahwa undang-undang negara Madinah yang
dideklarasikan oleh Muhammad saw. pada tahun pertama Hijrah, adalah undang-undang
pertama yang tertulis dalam sejarah kenegaraan.

Kita berhutang kepada Ibnu Ishaq yang menyampaikan teks undang-undang yang
mencengangkan tersebut kepada kita. Berisi 52 materi dengan sempurna. Materi-materi
itu mengatur ko-eksistensi sosial dan ekonomi dengan kaum Muhajirin dari Mekah dan
hubungan perundang-undangan antara beberapa suku Yahudi dan bangsa Arab yang
bersatu, kaidah-kaidah yang saling membantu, perjanjian-perjanjian perang, pengadilan,
dan pemberian suaka politik (Muhammad Hamidullah, Awalu Dusturun Maktubun
fil-'Aalami, cet. 3, Lahore 1975).

Dari perjanjian tersebut, didapatkan sesuatu yang mencengangkan sekali. Para diplomat
Barat dan muslim yang mempunyai ilmu hukum yang tinggi tidak akan mampu
menciptakan suatu wilayah bersama di antara mereka segera setelah mereka bertemu.

Gila Harta
(Hongkong, 16 Juni 1971)

Dalam perjalanan udaraku yang panjang ke Tokyo dan Kyoto untuk mengikuti
perundingan yang akan ditandatangani oleh petugas administrasi strategi politik Jerman
dan Jepang. Aku tinggal bersama pimpinanku, Dr. Dirk Ongkin, di Hongkong.

Ketika kami terbang melintas udara Vietnam, kami dapat menyaksikan serangan udara
terhadap salah satu regu pasukan Ho Chi Minh yang terlihat jelas sekali. Saat itu,
pramugari penerbangan Perancis menghidangkan kepada kami --kontras sekali dengan
realitas yang kami saksikan-- hidangan mewah dari Rumah Makan Ritz.
Selama itu, koloni Kerajaan Inggris, Hongkong, tampak menjadi salah satu contoh basis
kekuatan garis belakang sebagai "wilayah bersantai". Salah seorang dari mereka berteriak
dengan lantang dan jelas, "Wahai turis, kemarilah bersenang-senang bersama kami!"

Sebagai turis Barat, aku terpaksa menolak tawaran beberapa perempuan kecil, ketika aku
sedang mengelilingi pusat kota. Mereka seperti sekumpulan laron. Aku amat terharu
sekali mendapatkan seorang gadis kecil Cina yang bergelantungan kepadaku dan dengan
memelas berkata, "Satu dolar saja tuan!" Gadis-gadis itu, jika mereka ingin mendapatkan
lebih dari satu dolar, mereka harus melakukan lebih dari biasanya; melakukan seks brutal
model Cina dengan anal seks.

Tidak heran, jika Angkatan Bersenjata Amerika di sana, lama sebelum ditemukan
penyakit kehilangan daya tahan tubuh (AIDS), telah diserang penyakit yang menyerang
organ reproduksi. Kerugian yang dialami sebanding dengan kerugian di medan perang
sebenarnya.

Setiap kali pelanggaran seksual menyebabkan problem massa, reaksi umat Kristen dapat
diduga. Sebenarnya, sudah ada peringatan terhadap perbuatan amoral, sehingga sebagian
mereka menganggap pelanggar seksual dan pecandu obat bins sebagai korban kutukan
Tuhan yang pantas.

Setelah itu, berdasarkan penafsiran-penafsiran kedokteran yang lebih ilmiah, analisa


metafisika ini, yang tidak rasional, dan ditolak. Bahkan sebagian orang Kristen
menganjurkan untuk berlaku baik dengan tetangga mereka yang terkena penyakit
tersebut.

Umat Islam melihat hal tersebut dengan lebih dewasa. Mereka mengetahui bahwa kaidah-
kaidah yang telah disyariatkan Allah SWT, bagi kehidupan manusia tidak dibuat untuk
kepentingan Allah. Namun, sebaliknya untuk kemaslahatan manusia. Apakah manusia
melakukan aturan nilai dan etis tersebut atau tidak, Allah SWT tidak akan dirugikan.
Sesuai dengan perkataan Ibnu Arabi, "Bahwa Allah SWT tidak butuh kepada makhluk-
Nya."

Jika manusia menghormati norma-norma ini, maka ia sebenarnya melakukan itu untuk
kemaslahatan dirinya sendiri. Sebaliknya, jika manusia tidak melakukannya, ia tidak
lebih hanya merugikan dirinya sendiri.

Aku ambil contoh pengemudi mabuk yang menabrak pohon, atau seorang homoseksual
yang terkena AIDS, dan menularkannya kepada istrinya yang tidak mencurigainya;
sehingga penularan itu terjadi secara otomatis. Masalah ini bukanlah masalah turunnya
azab. Namun, itu adalah akibat-akibat alami murni dalam kehidupan, akibat
ketidakteraturan, dan melanggar fitrah yang telah ditentukan.

Cocok sekali jika undang-undang perilaku islami (syariat) dinamakan "jalan".


Umat Islam seringkali meminta dalam doanya agar tetap berada dalam jalan ini setiap
kali mereka membaca surat al-Fatihah; meminta hidayat untuk terus berada di jalan yang
lurus (sirathal Mustaqim).

Di Altar Uskup Arios


(Vienna, 2 Nopember 1974)

Pengembara Inggris, Sir Richard Burton (1821-1890), tidak lama sekembalinya dari
perjalanan ibadah haji yang melelahkan dan berbahaya ke Madinah dan Mekah, pada
tahun 1853, menulis buku tentang perjalanannya tersebut dengan amat terperinci.
Sehingga hampir menjadi sebuah deskripsi bergambar perjalanan tersebut. Dalam
bukunya "Catatan Pribadi tentang Ibadah Haji ke Madinah dan Mekah", dan menjadi
buku acuan yang tidak ada tandingannya tentang situasi daerah Hijaz pada masa itu.

Hal tersebut hanya menimbulkan sedikit keheranan masyarakat Viktoria, karena mereka
menyangka bahwa pengakuan keislaman Burton hanyalah kebohongan besar belaka, dan
pengkritik lainnya mengatakan sebaliknya: apakah Burton tidak berlebihan dalam
memerankan dirinya sebagai muslim?

Sebenarnya Burton menguasai akidah, sejarah, bahasa, dan peradaban Islam sampai batas
yang belum pernah dicapai oleh orang sebelumnya.

Burton tidak hanya memeluk Islam, ia juga tampak seperti seorang sufi pengikut tarekat
Sayyidi Abdul Qadir Jailani.

Kenyataan itu diungkapkan olehnya secara implisit pada cetakan ketiga bukunya tersebut,
tahun 1879. Dengan roh "Wihdaniyah Tasawuf"-nya. Burton mengatakan bahwa umat
Islam yang menghormati Ibrahim, seperti umat Kristen Klenik (pengikut Uskup Arios).
Mereka lebih dekat dengan ajaran-ajaran Almasih dibandingkan dengan umat Kristen
yang mengikuti penafsiran Paus Paulus dan Uskup Ignatius setelah itu. Yang jelas, umat
Islam lebih tercerahkan, lebih toleran, dan terikat dengan tali persaudaraan dari mayoritas
orang-orang Kristen.

Tentunya, mustahil bagi Burton mengalahkan mekanisme pertahanan tradisional, yaitu


usaha Barat untuk memalsukan fakta-fakta yang tidak sesuai dengan fanatisme mereka
dalam menentang Islam.

Sekat jiwa ini --penghalang fungsi intuisi-- saat ini hampir sama seperti pada masa
Perang Salib, dengan mengesampingkan usaha kontemporer sikap Vatikan terhadap
agama-agama langit lainnya.
Menyisipkan Sifat Pokok dalam Toleransi
(Sofia, 26 Juli 1976)

Ketika aku kembali dari menyaksikan Perlombaan Balet Internasional ke-8 yaitu
perlombaan olimpiade international seni tari tidak resmi yang berlangsung di kota Parna,
di pesisir Bulgaria di laut hitam. Aku menemukan sebuah gereja kecil yang dibangun
lebih rendah dari jalan raya di Sofia, sehingga tampak telah terperosok ke dalam sebuah
lubang. Bangunan gereja tersebut amat aneh, biasa disebut dengan Gereja Kuno Petra
Smariniska. Ia adalah salah satu museum kesenian yang indah di ibu kota Bulgaria yang
dibangun ketika negeri itu menjadi salah satu bagian wilayah dinasti Utsmaniyyah.
Pemanduku menjelaskan letak gereja yang aneh itu, yaitu sebagai petunjuk atas
perbedaan yang dilakukan oleh umat Islam terhadap minoritas umat Kristen. Namun aku
melihat hal itu dari sudut pandang lain.

Aku mengetahui, umat Kristen Spanyol --setelah mereka berhasil merebut negeri mereka
kembali-- menghancurkan masjid-masjid, dari Malqa hingga Granada dan dari Sevilla
hingga Thalitali dengan cara biadab. Bangunan megah (Istana Merah) di Cordoba, bisa
selamat dari perusakan itu, semata karena ia bisa diubah menjadi gereja. Pada masa
selanjutnya, pada abad 19, Masjid Jumat di Aljazair (di ibu kota) mengalami nasib
serupa.

Aku juga tahu, sia-sia saja mencari satu masjid dari ratusan masjid yang dibangun di
Serbia dan Yunani pada masa kekuasaan Utsmani. Di Beograd hanya didapati sebuah
masjid kecil yang tidak mempunyai nilai seni arsitektur sama sekali, tidak dihancurkan
bersama masjid-masjid lainnya.

Tampak kontradiksi yang mencolok sekali. Tentara-tentara Islam tidak hanya


memberikan kebebasan kepada agama Kristen untuk tetap menjaga gereja mereka saja,
bahkan lebih dari itu umat Islam juga memberikan izin untuk membangun gereja baru di
bawah lindungan kekuasaan Islam. Apa yang lebih menakjubkan bagi turis asing dari
museum arsitektur seperti gereja Byzantium Chura (Karikami) yang terkenal, dan gereja-
gereja Ortodoks Romawi dan Arman di Istambul?

Apa yang mungkin akan tinggal sampai sekarang, berdiri dengan megahnya seperti
seminari-seminari dan gereja-gereja Serbia di daerah Lake, Hread, Grakanika, Dikani,
Sobokani, Beck, Studinika, dan Aya Sofia yang mentereng di Istambul, seandainya umat
Islam bertindak seperti seekstrem umat Kristen?

Perbedaan yang jelas antara ekstremitas kristen dan toleransi Islami bersumber dari
ajaran-ajaran Al-Qur'an yang mengharuskan untuk menunjukkan toleransi terhadap orang
beriman dari Ahli Kitab. Ajaran itu berkembang menjadi hukum yang tersusun secara
terperinci untuk menjadi minoritas dan orang asing. Ayat 256 dalam surat al-Baqarah
menerangkan dengan jelas yaitu, "tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)."
Pluralitas agama dibolehkan dalam ayat 38 surat al-Maa'idah sebagai cara untuk
perlombaan orang mukmin mencapai kebaikan kepada Allah. Dan ayat kedelapan dari
surat asy-Syuura lebih menjelaskan dengan mengatakan, "Dan kalau Allah menghendaki
niscaya Allah menjadikan mereka satu umat."

Toleransi seperti ini dapat lebih dipahami dengan baik jika seseorang mengetahui bahwa
umat Islam memandang Yesus (Isa a.s.) sebagai nabi umat Yahudi yang terbesar "... dan
apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa, dan Isa." (asy-Syuura: 13).

Di bawah lindungan hukum Islam yang bebas yang mengatur hak-hak minoritas dan hak-
hak mereka. Islam memberikan toleransi bagi umat Kristen untuk mengatur masalah-
masalah kelompok mereka dan melakukan ibadah mereka di gereja. Orang-orang
nonmuslim dibebaskan dari kewajiban militer sebagai kompensasi dari membayar jizyah
yang adil, sebelum timbul pemikiran, "menolak wajib militer karena panggilan hati,"
sejak zaman lalu.

Begitu juga kelompok-kelompok Yahudi dalam kekuasaan Kristen, ahluz-zimmah di


negeri-negeri Islam diharuskan memakai pakaian tertentu. Mereka tidak diperkenankan
untuk memangku jabatan pemerintahan atau militer. Namun, mereka diperbolehkan
untuk bersaing di pasar (berdagang), menciptakan karya seni, memproduksi,
mengkonsumsi daging babi, dan meminum anggur.

Sesuai dengan fikih Islam --begitu juga undang-undang Romawi-- disyariatkan prinsip
menunaikan perjanjian tanpa memperhatikan agama rekan bisnis.

Sayangnya, Perang Salib telah menyebabkan banyak kekeliruan dalam praktiknya,


bertolak belakang dengan prinsip-prinsip teoretis, sehingga terjadi kemerosotan yang
jelas pada institusi-institusi Kristen di bawah kekuasaan Islam. Akibatnya, --dari perang-
perang ini-- tidak diperbolehkan bagi nonmuslim pada masa-masa akhir zaman
pertengahan membangun gereja lebih tinggi dari masjid yang dekat dengannya. Oleh
karena itu, Gereja Petra Samariniska dibangun rendah. Juga benar para ahli fikih mazhab
Syafi'i mengharamkan membunyikan bel gereja.

Namun, apa nilai perbedaan seperti ini dibandingkan dengan kenyataan bahwa penguasa-
penguasa Kristen tidak hanya mengharamkan azan untuk shalat, bahkan mereka
mengharamkan Islam.

Puasa dengan Suatu Tujuan


(Beograd, Ramadhan, 1977)

Tukang kebun yang bekerja untukku adalah seorang Albania dari daerah Kosovo Serbia
yang terletak di barat daya Yugoslavia. Ia seorang pria kurus kering seperti sebuah
tongkat. Ia adalah seorang muslim yang wara. Ia berusaha melakukan puasa pada bulan
Ramadhan satu bulan penuh sehingga cocok dengan namanya "Ramadhani, Ramadhan",
tanpa mengurangi satu pun dari kewajiban pekerjaannya. Setelah ia berbuka puasa
dengan makanan ringan, pada waktu yang telah ditentukan pada sore hari. Ia kemudian
berjalan sejauh tiga mil menuju masjid satu-satunya di Beograd, dekat dari kebun
"Kalyumjidan", untuk melakukan shalat isya bersama teman-temannya --orang-orang
Albania, teman-temannya dari Sarejevo, Mostar, serta lainnya. Kota-kota yang terjalin di
negeri Islam yang bergabung dengan negara ateis Yugoslavia: Bosnia-Herzegovina.

Berkali-kali, kami mengundang Ramadhani, untuk berbuka puasa bersama kami. Ini
adalah kesempatan kami satu-satunya, karena ia menolak makan bersama kami,
walaupun hanya sekadar segelas kopi pada pagi hari, jika telah tampak garis putih fajar.

Aku juga menyaksikan kejadian serupa, pada waktu lain, bersama seorang muslim lain
yang sedang puasa, dalam perjalanan udara dari Yugoslavia ke Istambul. Ia terus melihat
jam tangannya berkali-kali tanpa menyentuh makanannya, dan menolak ketika pramugari
mengambilnya hingga datang waktu berbuka.

Jika tujuan di balik itu adalah semata-mata untuk menurunkan berat badan, mengobati
tubuh dengan membersihkannya, atau menguatkan semangat dengan melakukan latihan
olahraga akal, maka tidak penting kapan puasa dimulai dan kapan berhenti.

Semua hasil itu tidak lebih dari sekadar hasil sampingan, karena sorang muslim harus
melakukan puasa bulan Ramadhan. Hal itu tidak untuk apa-apa, semata-mata karena
Allah SWT mewajibkannya kepadanya.

Tanpa Wahyu, Kita akan Terus Tersesat (Buta)


(Beograd, 28 Maret 1978)

Aku terbiasa membaca dua buku sekaligus secara bergantian, berpindah dari suatu topik
sulit ke topik lainnya. Sekarang ini aku masih menggunakan metode ini dalam membaca
karya-karya klasik filsafat Islam, yang dihasilkan pada abad ke-10 sampai abad ke-13.
Seperti kitab, Tahafutut-tahafut karya Ibnu Rusyd yang diterjemahkan oleh Simon Van
Den Berg (London, 1969).

Sesuai dengan kebiasaan para ilmuwan Barat hingga kurun waktu awal abad ke-19 dan
selama abad itu dalam mendiskusikan masalah dialektika, Ibnu Rusyd menggunakan
metoda penghinaan dan mencerca musuh bebuyutannya yang terkenal: Abu Hamid al-
Ghazali Tahafutul Falasifah, hingga akhir paragrafnya sambil mengkritik semua
pemikiran tersebut. Ia mengawali kritiknya itu dengan redaksinya yang membingungkan
yaitu, "Sedangkan saya berkata...."
Pada masa-masa awal abad pertengahan, para filosof muslim telah terpancing pada
pertanyaan-pertanyaan yang sama yang diceritakan oleh guru-guru mereka dari Yunani.
Oleh karena itu, mereka menggunakan metode Plato, Aristoteles, Plotinus, dan Brukies.
Sehingga para filosof Persia dan Arab hanya mengkaji masalah-masalah fisik kosmos
(atau penciptaannya), hubungan antara maujud, kemungkinan, dan sifat roh. Karena
kekaguman para ilmuwan muslim tersebut terhadap ilmu kosmos, dan mereka terus
bertanya-tanya apakah Allah adalah Penggerak Pertama? Apakah Dia kausa berputarnya
materi-materi langit sesuai dengan putarannya dan tidak sebaliknya? Dan berapa jumlah
malaikat?

Sedangkan masalah yang paling hangat dalam wacana kajian filsafat sekarang ini, seperti
kausalitas dan eksistensi, tidak mendapat perhatian secukupnya dari mereka pada masa
itu. Mereka hanya mendekati kajian ini jika bersentuhan dengan pertanyaan seputar:
apakah Allah SWT telah menyelesaikan kemauan-Nya ketika menciptakan semesta?
Ataukah Aristoteles telah meletakkan ular ini, pada akal para filosof muslim itu sehingga
kajian fisafat mereka hanya terbatas pada filsafat zaman lain saja? Ataukah mereka telah
menyadari bahwa usaha mereka yang berlebihan dalam mencari motif-motif Tuhan,
adalah tidak terpuji? Lebih-lebih karena hal itu menimbulkan kekafiran?

Zaman telah menyimpan hasil karya banyak pemikir-pemikir muslim, dengan kecerdasan
luar biasa mereka, digores oleh pena para tokoh pemikir seperti ar-Razi, al-Kindi, al-
Farabi, Ibnu 'Arabi, dan Ibnu Sina, dan pemikir-pemikir yang telah disebutkan
sebelumnya.

Masalah yang paling banyak menarik perhatianku --saat ini-- kita baru menyadari bahwa
menundukkan masalah metafisika pada metode penafsiran logika, tidak akan
mengantarkan kita kecuali kepada hasil-hasil nonlogis. Sebenarnya para tokoh filsafat
tersebut tidak berdalil dengan pasti, kecuali atas satu masalah saja. Yaitu, kita --dengan
logika manusiawi kita-- tidak akan mampu menangkap hakikat yang terpendam dengan
yakin.

Bagi Allah SWT tidak ada wujud pada masa lalu atau masa yang akan datang, dan sifat
wujud-Nya tercerminkan pada keberadaan-Nya sejak zaman azali. Itu berarti keberadaan-
Nya di luar batasan ruang dan waktu, maka apa yang akan kita dapati dari pertanyaan-
pertanyaan kita yang rasional dan tidak logis itu?

Di belakang teka-teki wujud ini, hingga fenomena-fenomena yang bisa diketahui dengan
indra kita, seperti yang kita ketahui dengan penciuman, sentuhan atau penglihatan, masih
tetap sulit dipahami. Dengan kata lain, tanpa wahyu kita memang akan terus tersesat dan
buta.

Segelas Besar Air


(Beograd, Ramadhan 1978)
Aku memutuskan untuk mencoba berpuasa pada tahun ini, dan akan menjalankan apa
yang wajib bagi seorang muslim secara literal pada masalah ini. Ada sedikit catatan, yaitu
berbeda dengan tradisi yang berkembang di negara-negara Islam. Aku tidak berusaha
mengganti pada malam hari --dengan meninggalkan tidur-makanan yang tidak aku makan
pada siang harinya-- apakah ini sesuai dengan semangat larangan makan daging pada
hari-hari perkumpulan, pada saat umat Katolik mengadakan acara memakan laut pada
hari-hari itu?

Yang jelas, catatan terpenting adalah orang yang mau melakukan ibadah puasa agar
minum sepuas-puasnya sebelum memulai puasanya tersebut --namun tidak perlu
mengkomparasikan manusia dengan unta yang diberikan penampungan air alami oleh
Allah SWT.

Dua hari pertama adalah hari-hari yang paling sulit, karena orang yang puasa akan
mengalami pusing-pusing. Namun demikian, aku menyarankan agar meneruskan
puasanya hingga batas yang dibolehkan syara' untuk membatalkan puasanya, seperti jika
berada dalam perjalanan.

Sepanjang siang, orang hendaknya mempersiapkan diri untuk menggunakan kemampuan


biologisnya yang tertinggi ketika mencapai puncak reaksinya. Oleh karena itu, aku
membagi pekerjaanku menjadi: kelompok pekerjaan yang harus dilakukan, pekerjaan
yang sebaiknya dilakukan, dan kelompok pekerjaan yang boleh dilakukan.

Aku terus melakukan pekerjaan yang harus aku lakukan ketika tekanan darah mencapai
puncak alami tertingginya, sekali pada pagi hari, dan lainnya pada waktu siang. Ketika
menyetir mobil, saat berkurangnya kandungan gula dalam darah atau berkurangnya
tekanan darah, aku berusaha keras agar tidak membahayakan kehidupan orang lain
(begitu juga hidupku). Karena kecelakaan-kecelakaan yang mematikan akibat
keteledoran dan hilangnya kesadaran telah terjadi ribuan kali.

Ketika seseorang berpuasa di Yugoslavia, ada sesuatu yang akan ia catat, yaitu ia tampak
asing bagi tempat itu. Misalnya, ketika ia bekerja pada Kementrian Luar Negeri di Kniza
Milusya. Ia terpaksa menolak ungkapan penghormatan tradisional yang diberikan
kepadanya, berupa kopi Turki, juice, dan air.

Namun, ketika aku menolak dengan hormat keteledoran ini pada bulan Ramadlan,
mereka cukup memahami bahkan menghormati. Ini terjadi karena negara ateis tersebut
melindungi penduduk muslim yang berjumlah sekitar 1 juta orang.

Selesai melaksanakan puasa selama seminggu --tidak kurang dari delapan belas jam
sehari jika Ramadhan bertepatan dengan musim panas-- seseorang mencapai tahap
merasa terbiasa berekonomis dalam bergerak dan berbicara. Gerakanku bertambah
lambat dan aku tidak merasa perlu berbicara, kecuali jika sangat penting. Aku
memperhatikan apa yang terjadi di seputarku, yaitu fenomena-fenomena berlebihan dan
pemborosan dengan pandangan dingin. Dari hari ke hari aku merasa lebih bebas dan lebih
arif.
Ketika aku mulai menyantap makananku, pada sore hari setelah gelap dengan zaitun dan
segelas besar air, seperti tradisi yang berlangsung, aku merasa seperti sedang duduk di
depan hidangan yang penuh dengan makanan-makanan yang lezat.

Kemudian, tubuh hampir sama dengan tumbuhan yang baru disiram setelah lama
kehausan. Baginya cukup sedikit kadar makanan untuk mengembalikan vitalitasnya
dengan cepat. Itu karena aku mencoba nikmatnya makanan vegetarian yang ringan.

Hari demi hari, perasaan religius akan semakin meningkat, juga keyakinan pada
kemampuannya untuk mengatur urutan prioritasnya.

Pada analisa terakhir, bukankah tujuan pokok puasa adalah menguatkan daya tahan
manusia menghadapi godaan yang dinamakan syirik. Atau dengan kata lain, melawan
kecenderungan menuhankan semua hal yang tidak penting sama sekali dalam kehidupan
manusia.

Ketinggian Roh dan Kepedihan Tubuh


(Adorno, 12 Juli 1978)

Sannan Kabir, arsitek Sultan Suleiman al-Kabir --sejak tahun 1539-- mencapai puncak
karier seninya ketika membangun Masjid Sulaimaniyyah di Aderna, antara tahun 1567
hingga tahun 1574.

Hanya sejumlah kecil pengunjung masjid ini saja yang mengetahui bahwa ia dapat
membuat tiga tangga berbeda sekaligus di dalam satu menara yang tinggi. Ketiga tangga
ini saling berkelindan satu sama lain tanpa berbenturan, kecuali pada tempat masuk, dan
tempat keluar bersama.

Tidak seperti lazimnya, penjaga masjid mempersilakan aku untuk menaiki tangga
tersebut. Aku merasa sangat tegang ketika berusaha keras menaiki tangga dalam
kegelapan pekat yang membuat terkejutnya walet-walet dan burung-burung --mereka
juga membuat aku terkejut dengan gerakan mereka. Aku terus melangkah ke depan
melalui tangga yang miring sekali itu. Di depanku tidak ada jalan lain untuk bergerak di
dalam lingkaran tangga yang sempit ini. Tiba-tiba lututku bergetar, namun aku tidak
berpikir untuk kembali, karena aku tidak bisa memutar tubuhku.

Meskipun situasi tersebut amat berat, aku merasakan sesuatu yang dalam. Aku tidak tahu
kapan akan selesai menaiki tangga ini, meskipun aku tahu itu pasti dan akan terjadi. Aku
telah memilih satu jalan dan mengambil sikap yang tidak bisa dicabut kembali.

Ketika aku turun, tubuhku telah dikotori berbagai macam kotoran. Perasaan capai
menggelayutiku dan pegal-pegal begitu terasa. Aku merasa telah melakukan sesuatu yang
besar, yaitu menggapai ketinggian rohani dengan menanggung kepedihan tubuh.
Pertandingan Balet dan Pertandingan dalam Agama
(Beograd, 26 Januari 1979)

Sebagai pengacara muda, kritikus seni balet, dan sekretaris pelaksana klub balet di
Munich, aku bisa mengadakan pesta tari setiap tahun di Opera Gartiner Blatz, di kota
tersebut. Acara itu selalu diisi dengan pertunjukan yang dilakukan oleh sekolah-sekolah
balet khusus, dan tidak dihadiri oleh para pengawas.

Tujuanku sebenarnya, dari pelaksanaan acara tersebut, adalah aku ingin membuktikan
kepada penguasa sederhana, dan para pelajar balet bahwa ada perbedaan yang besar
antara sekolah-sekolah balet di kota itu. Sebagian dari mereka meningkat peringkatnya
hingga mencapai level sempurna, dan sebagian lain lagi melorot peringkatnya sehingga
perlu ditangisi.

Aku berharap dengan mengikutsertakan kelompok kedua ini --yang masih lemah (pen)--
bersama kelompok berlevel sempurna, maka akan mendorong mereka untuk
meningkatkan dirinya.

Gerhard Zeisney, diam-diam, telah melakukan tindakan yang sama, dengan tujuan yang
sama, ketika ia mempublikasikan hasil jajak pendapat akademis antara para agamawan
Katolik, Protestan, Budha, Islam, dan Yahudi (Die Antwort, der Religionen", Rororro
1971, first edition, 1964).

Apa pun hakikat tujuan panitia yang sebenarnya, yang paling menyedihkan adalah
membaca jawaban-jawaban tidak jelas dan mengejek yang diberikan oleh dua orang
utusan agama Kristen. Kontradiksi dengan jawaban Muhammad Asad dari agama Islam
dan Kirt Wilhem dari agama Yahudi, yang ringkas, padat, dan fair.

Profesor penganut Protestan, Ernest Wolf, mengkaji hubungan antara hakikat yang
dicapai dan indra. Dan yang dicapai bukan dengan indra --dalam beberapa halaman
artikelnya. Namun, ia tidak pernah menyebut Tuhan, sekalipun dalam artikelnya itu.

Aku ingin menunjukkan betapa Prof. Katolik Johan Baptista Mitz telah begitu panjang
lebar menjelaskannya. Ia berkata, "Selama masih ada keyakinan bahwa wahyu yang
diturunkan melalui Yesus Almasih adalah kejadian satu-satunya, sehingga pertanyaan
mengenai eksistensi manusia mendapatkan jawaban historis yang jelas dan kuat, maka
jawaban tersebut harus terus mantap, meyakinkan, dan dapat dipahami manusia
sepanjang sejarah. Hal itu dapat benar-benar diwujudkan dengan petunjuk kitab suci.
Meskipun wahyu yang tertulis itu diturunkan di tengah-tengah bangsa yang telah
memiliki kitab suci historis yang pasti." Apakah itu?

Sebaliknya, Muhammad Asad dengan tenang berkata, "Islam tidak melihat hakikat
dengan sudut pandang ganda. Oleh karena itu, orang tidak akan menemukan kontradiksi
antara 'hakikat yang lain' dan 'hakikat menurut kami.' Karena berbicara mengenai segi-
segi yang diketahui dan tidak diketahui hanya boleh dilakukan dari satu hakikat yang
holistis."

Ia berkata lagi, "Ilmu-ilmu alam sendiri tidak dapat membantu kita membongkar seluruh
hakikat, sehingga Allah SWT memberikan kita hidayat penting yang tidak mungkin
diberikan oleh ilmu pengetahuan. Dia memberikan hidayat tersebut kepada kita dalam
bentuk wahyu yang diberikan kepada orang-orang yang telah dipersiapkan dengan
kemampuan tertentu untuk menerima wahyu tersebut. Mereka dikenal sebagai nabi-nabi."
Itulah konklusi pembicaraannya.

Qadha dan Qadar, Bukan Alasan untuk Pasrah


(Bonn, 27 Februari 1980)

Buku sejarah karangan Muhammad Asad --Road to Mecca (Frankrut;1955)--


mengajariku satu segi yang amat menarik, yaitu bahwa determinisme Timur tidaklah
bermakna menentukan sikap bagi masa depan. Namun terhadap masa lalu, jika benar apa
yang aku pahami.

Penyerahan diri dengan takdir (nasib) bukanlah alasan untuk pasrah. Sebaliknya, itu
adalah keimanan bahwa Allah-lah yang telah menentukan semua yang telah terjadi, kita
senang atau tidak.

Yang menarik perhatianku adalah pendapat yang diungkapkan oleh Muhammmad Asad.
Intinya bahwa permusuhan dualisme terhadap syahwat "tubuh" yang dibawa oleh Paus
Paulus bagi gereja Kristen telah merendahkan kemuliaan manusia sebagai satu eksistensi
yang utuh. Akibatnya, ajaran Mazdaisme menyusup dengan topeng Kristen, membuat
pemisah --sampai saat ini-- antara yang dianggap "sakral" dan "profan". Pemikiran
seperti itu amat asing bagi pandangan Islam yang komprehensif terhadap manusia.

Asad kembali menarik perhatian, ketika ia mengungkapkan fakta --yang sampai saat ini
masih jarang diketahui-- yaitu bahwa Muhammad saw telah melakukan revolusi dalam
sistem nilai masyarakat Arab pada masa itu. Maka, beliau memperkenalkan pemahaman
politik yang baru sekali, yaitu tentang masyarakat yang menggantikan ikatan-ikatan
kesukuan yang kepentingannya mengalahkan semua kepentingan orang lain --seperti
kecenderungan nasionalisme pada zaman sekarang. Kemudian beliau menyatukan
umatnya dengan ikatan solidaritas agama saja.

Shalat yang diajarkan Nabi Muhammad saw juga telah mencabut akar kesombongan dan
kebanggaan pada jiwa kaum Badui Quraisy, dan menggantinya dengan sujud mereka
yang khusyu ketika shalat.
Pertunjukan Kaum Darwisy
(Konia, 13 Juli 1980)

Dari hotel, aku dapat menyaksikan pemandangan yang mengagumkan, kubah hijau
makam Maulana Jalaludin Ar-Rumi, yang merupakan tiruan kubah Masjid Nabi saw. di
Madinah Munawwarah. Tarekat Ibnu Rumi yang terkenal dengan darwisy-darwisy
berputarnya (tarekat Maulawiyyah) masih terus hidup, meskipun telah dilarang oleh
Kemal Attaturk, pada 13 Desember 1925 --seperti jemaah Jesuit yang dilarang oleh Paus
pada tahun 1773, dan berlangsung selama empat puluh satu tahun.

Sekarang, para darwisy mempertunjukkan tariannya sebagai pertunjukan hiburan seni


rakyat. Namun, pertunjukan-pertunjukan itu menunjukkan bahwa sebenarnya pergelaran
itu adalah salah satu bentuk ritus-ritus keagamaan yang berkembang dalam Islam. Karena
tampak dengan jelas, gerakan berputar terus-menerus yang dilakukan oleh para darwisy
bukanlah satu jenis tarian yang aneh, namun ia adalah cara untuk menenggelamkan diri
dalam meditasi.

Pembimbing yang mengajariku meniup serunai adalah darwisy yang sangat bersemangat.
Ia berusaha mendorongku --sebelum mempelajari Al-Qur'an-untuk membaca buku sastra
karangan gurunya, Ibnu Rumi, yang tebal bernama: al-Matsnawie, yang merangkum
kumpulan syair-syair sufi yang besar.

Tidak aneh jika guruku tersebut sangat tertarik dengan syair sufi Ibnu Rumi, karena ia
bermuatan cinta dan kerinduan yang meluap-luap, yang melebur semua perbedaan
dogmatis.

Para darwisy menuntun pengikutnya menuju kesatuan dalam Islam, di bawah bayangan
mazhab wihdatul-wujud. Apakah ini yang dimaksud dengan tarekat?

Paus Paulus Pembuat Klenik


(Istambul, 20 Juli 1980)

Tidak seorang pun yakin bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai berapakah


tinggi Almasih? Apa warna kesukaannya? Apakah ia lebih menyukai madu atau bawang
putih? Dan sepatu sebelah mana yang ia pakai pertama kali pada waktu pagi?

Sebenarnya, semua masalah tersebut hanyalah masalah sekunder dalam kehidupan


manusia yang agung. Namun, yang patut dicatat, kita mengetahui semua detail tersebut,
dan tentang Nabi Muhammad saw.. Sementara, Almasih tampak dalam Kitab Injil seperti
sosok mitos yang tidak jelas wujudnya.
Ada penafsiran yang lebih baik tentang banyaknya hadits yang dikumpulkan dan
dipelajari dengan seksama pada periode awal Islam. Kemudian hadits-hadits tersebut
sampai kepada kita dalam kumpulan hadits-hadits agung yang diriwayatkan oleh orang-
orang terpercaya saja dari para saksi langsung. Sedangkan Kitab-kitab Injil sendiri tidak
lebih dari kumpulan yang dilakukan pada abad-abad selanjutnya yang dicatat dari desas-
desus.

Kita tidak pernah mendengar sebuah ucapan-ucapan dari Yesus yang ia riwayatkan
sendiri. Sebaliknya, yang kita baca adalah penafsiran-penafsiran orang lain tentang
perkataan-perkataannya.

Karena Perjanjian Baru adalah sumber sekunder bukan sumber pokok langsung, maka ia
sama sekali tidak pantas diletakkan sejajar dengan Al-Qur'an. Mungkin lebih tepat jika ia
dikomparasikan dengan kumpulan hadits-hadits yang diragukan kesahihannya (hadits
dha'if).

Yang paling sulit adalah jika prinsip-prinsip kajian historis Islam dipraktekkan atas
Perjanjian Baru, sehingga seluruh surat-surat Paus Paulus harus dibuang, karena ia sama
sekali tidak pernah melihat, bertemu atau berbicara dengan Almasih.

Karena kuatnya pengaruh penafsiran-penafsiran yang diberikan oleh Paus Paulus


terhadap kejadian-kejadian seputar Almasih, dalam perkembangan ideologi Kristen,
maka Kristen sekarang ini --berbeda dengan penganut Kristen awal dari umatYahudi--
lebih cocok dinamakan sebagai "pengikut Paulus", bukan "pengikut Almasih".

Sebenarnya, seluruh bentuk-bentuk klenik dalam agama Kristen: seperti penuhanan


Almasih, Trinitas yang disucikan, dan menambahkan bentuk Roh Kudus terhadap tubuh,
diawali oleh Saul Paulus.

Etika Muamalah Islam


(Istambul, 22 Juli 1980)

Ketika aku mendatangi lokasi pasar tertutup Istambul Timur (al-Kabali Syarasy), aku
berhenti sebentar di depan tempat penjualan hadiah-hadiah suvenir. Saat itu tidak ada
seorang penjaga pun, tiba-tiba penjaga toko sebelah menghampiriku, dan menawarkan
barang-barang milik tetangga tokonya itu --tidak berusaha membujukku untuk membeli
di tempatnya, dan tidak berusaha menjual demi keuntungannya.

Di tempat lain, aku membayar tunai harga baju kulit yang telah dibuatkan bonnya dan
akan dikirirnkan kepadaku sesampaiku di Jerman --aku tahu, aku akan menerima
barangku itu, meskipun aku sama sekali belum pernah menjumpai pedagang itu
sebelumnya.
Pada kesempatan lain, istriku meminta pedagang perhiasan untuk menentukan harga
permata murni miliknya. Pedagang itu kemudian mengambil perhiasan tersebut dan
menghilang ke dalam selama setengah jam. Selama itu, ia menghubungi temannya yang
lebih berpengalaman darinya dalam masalah perhiasan --dan kami tidak merasa gelisah,
karena kami percaya bahwa kami akan mendapatkan kembali permata tersebut, bukan
gantinya.

Bagaimana menjelaskan prinsip-prinsip etika muamalah ini; seorang pedagang bersikap


mementingkan pedagang lain, bukannya menampakkan dorongan kompetisi berdarah?
Apakah sikap ini telah meningkat ke dalam dunia kasat mata di pasar Timur? Ataukah
etika ditanamkan oleh prinsip-prinsip akhlak yang mulia lainnya yang berkembang pada
kelompok-kelompok profesi dalam era sistem pemerintahan yang lama?

Ataukah ia adalah hasil mazhab Qadariyyah dalam memandang proyek ekonomi? Atau
ungkapan dari rasa persaudaraan kuat yang tercermin dalam dunia usaha?

Etika muamalah Islam dihiasi muatan hakiki. Anda akan menyesal meletakkan sistem
perekonomian Islam hanya sebagai alternatif pengganti. Meskipun etika semacam ini
banyak kita temukan --terutama yang berkaitan dengan sistem bank nirlaba-- namun kita
tidak menemukan satu pun contoh sistem dunia usaha yang bercorak Islam secara utuh.

Salah satu sebab utama keadaan ini adalah tidak adanya sistem formal muamalah Islam
yang telah tersusun dan sempurna, seperti bentuk Undang-Undang Dasar Republik
Persatuan Jerman dan Undang-Undang Amerika Serikat. Al-Qur'an dan al-Hadits telah
menggariskan, dalam banyak tempat, nilai-nilai pokok kerangka sistem ekonomi pasar
yang bersendikan kepemilikan pribadi dan tanggung jawab sosial.

Sedangkan kaidah-kaidah yang lebih terperinci yang telah ada, cakupannya hanya
terbatas dalam masalah transaksi dan penentuan pajak, yang melarang riba dan muamalah
yang mengandung unsur perjudian/spekulasi.

Oleh karena itu, kita bisa menemukan substansi etika muamalah Islam dalam perintah-
perintah moral Al-Qur'an yang berhubungan dengan masalah tersebut. Ia tidak banyak
berbeda dengan dasar-dasar perekonomian Kristen.

Sebenarnya, kita temukan bahwa Islam mampu melakukan perbaikan-perbaikan dalam


perilaku dunia usaha. Setidak-tidaknya dengan melakukan perbaikan pelaku usaha
tersebut. Karena pada akhirnya yang terpenting bukanlah sistem, namun rasio ekonomi,
moralitas produsen, konsumen, grosir, dan pengecer yang mempunyai rasa
kesetiakawanan sosial.

Tiga Kali, Bukan Empat


(Istambul, 29 Juli, 1980)
Udara di Istambul amat lembab dipenuhi dengan uap air. Saat itu, aku sedang melakukan
pertempuran lalu-lintas dengan menggunakan mobil, dan kedua kaki yang mulai
kesakitan. Aku berencana mengunjungi beberapa teman yang aku sempat hubungi lewat
telepon.

Aku tekan tombol bel pintu, dan sekali sebentar kemudian aku tekan yang ketiga kalinya,
namun tetap tidak ada yang membalas. Aku berputar untuk kembali dengan tenang, aku
tidak ingin menekan bel yang keempat kalinya karena itu tidak boleh.

Kebiasaanku berlaku seperti itu, tanpa sadar telah mengikuti Sunnah Rasulullah saw.,
padahal aku lakukan itu semata mengikuti tradisi di negeri Islam. Etika tersebut dapat
disandarkan pada hadits yang mengatur norma-norma etika, seperti dalam kitab susunan
al-Bukhari, kitab ke-74. Kitab itu berisikan sekumpulan hadits-hadits dan terkenal dengan
nama Shahih al-Bukhari.

Pada hadits nomor 261, yang diriwayatkan oleh Malik bin Anas bahwa Nabi Muhammad
saw. ketika meminta izin untuk masuk, hanya mengucapkan salam sebanyak tiga kali,
tidak lebih. Jika pintu tetap tertutup, maka Nabi dapat berkesimpulan bahwa tuan rumah
sedang pergi, atau mereka enggan menerima tamu.

Ini hanyalah satu dari sekian contoh yang menunjukkan atas Sunnah Nabi Muhammad
saw. yang lebih tertransformasi menjadi perilaku hidup umat seluruhnya. Tiap kali aku
mempelajari kumpulan hadits-hadits yang tebal, terutama hadits-hadits yang
dikumpulkan oleh Bukhari dan Muslim, aku menemukan hakikat-hakikat sosiologi baru.
Dan aku menyadari betapa besar kekayaan peradaban Islam.

Road to Mecca
(Bonn, 18 Agustus 1980)

Menjelang akhir abad dua puluh, kita bisa mengatakan bahwa dalam kurun waktu seratus
tahun terakhir ini, tidak ada seorang pun yang mampu menandingi jasa seorang Austria,
yaitu Muhammad Asad --sebelumnya bernama Leopold Weist dan berasal dari keturunan
Yahudi-- dalam menjelaskan dan menyebarkan Islam di Barat.

Pengaruhnya yang kuat tidak hanya karena otoritas keilmuan dan kearifannya saja.
Namun, juga didukung oleh perilaku muslim yang tangguh ini sehingga mendapatkan
penghargaan yang pantas.

Muhammad Asad dilahirkan pada tahun 1900 M. Ia hidup dalam kehidupan yang penuh
petualangan yang memberikan kepadanya banyak kesempatan untuk menunjukkan
kemampuannya yang banyak pula.
Ketika Asad menginjak usia 14 tahun, ia lari dari rumahnya untuk bergabung dalam
perang dunia pertama. Ia dapat meyakinkan tentara Austria untuk memasukkannya dalam
barisan tentara. Pada usia 19 tahun, ia bekerja sebagai pembantu Doktor Mornoe.
Kemudian, setelah itu pada Maks Rainhart. Kedua lelaki tersebut adalah produser film
terkenal pada masa awal perfilman.

Pada usia 22 tahun, ia telah menjadi koresponden koran Jerman yang paling terkenal
"Frankfurt Zeitung" untuk wilayah Timur Dekat. Setelah memeluk Islam, pada tahun
1926, ia menjadi sahabat Raja Ibn Sa'ud dan Muhammad Iqbal.

Pada akhir Perang Dunia II, ia sedang berada di India. Dan ketika negara Pakistan
didirikan, ia menjabat sebagai pembantu menteri luar negeri untuk urusan Timur Dekat,
di kementerian luar negeri negara yang masih bayi tersebut. Kemudian mengirimnya ke
New York sebagai perwakilan tetap mereka di PBB.

Itu hanya sebagian dari peran penting yang dimainkannya pada masa hidupnya yang
pantas dikagumi. Ia menggabungkan pemikiran dengan perbuatan, filsafat dengan agama,
dan seni dengan politik dalam format keislaman yang hakiki. Dengan demikian, Asad
dapat dianggap sebagai tokoh kebangkitan Islam.

Saat ini, seluruh buku-bukunya dapat digolongkan dalam kelompok klasik asli. Bukunya:
"Islam di Persimpangan Jalan" (1934), banyak berperan dalam mengembalikan
kemuliaan dan keyakinan dunia Islam terhadap kebudayaannya sendiri setelah kehilangan
kepercayaan terhadap dirinya sendiri di hadapan perang kemajuan teknologi Barat.
Semenjak lebih 50 tahun yang lalu, di New Delhi, ia telah menulis dengan pandangan
yang jauh dan mengagumkan sambil memprediksi sebagai berikut, "Tampaknya
berkembangnya kegelisahan sosial dan ekonomi, juga mungkin terjadinya rentetan
Perang Dunia dengan dimensi yang sebelumnya tidak diketahui, dan bermacam ketakutan
yang diciptakan dunia, akan menjebloskan terpaksa mencari kembali ketenangan dan
hakikat rohani. Pada saat itulah dakwah Islam akan banyak mendapat sambutan."

Dalam otobiografinya yang terkenal "Road to Mecca", Muhammad Asad menjelaskan


proses ia memeluk agama Islam.

Dalam buku karangannya: "Dasar-dasar Negara dan Pemerintahan dalam Islam" (1961),
Muhammad Asad mengakui, tanpa keraguan, bahwa tidak ada satu pun negara Islam
yang sebenarnya pada masa pasca-Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, keempat khalifah
yang memerintah di Madinah. Ia juga berpendapat bahwa Al-Qur'an dan As-Sunnah
hanya menjelaskan amat sedikit dasar-dasar pembentukan negara dan masyarakat Islam.

Dalam karangannya tersebut, ia telah menarik kesimpulan-kesimpulan yang amat


penting, antara lain sebagai berikut. Pertama, menteri fikih Islam dalam
perkembangannya selama delapan abad telah menjadi jauh lebih besar dari asal pokoknya
(syariat Al-Qur'an).
Kedua, dalam kerangka undang-undang (tasyri') yang merupakan refleksi dari dasar
pokoknya ini, negara Islam mendapatkan beberapa ciri yang amat mirip dengan
demokrasi parlementer dan hukum positif, termasuk di antaranya Dewan Kepresidenan
dan Mahkamah Agung Amerika.

Ketiga, oleh karena itu, pergerakan Islam tidak perlu menuntut untuk mengembalikan
pemerintahan agama kembali.

Di Madinah al-Munawwarah, di bawah beberapa kesulitan, Asad dapat menyelesaikan


karyanya yang paling cemerlang. Ia menerjemahkan dan memberi komentar atas juz
pertama kumpulan hadits Bukhari: Shahih al-Bukhari, Tahun-tahun Pertama Keislaman
(1938) dan menerjemahkan Al-Qur'an seluruhnya: "Risalah al-Qur'an" (1980).

Terjemahan yang agung ke dalam bahasa Inggris, dengan bahasa Shakespeare ini
mewujudkan karya sastra, ilmiah, dan sejarah yang penting. Asad, dalam memberi
catatan kaki terhadap Al-Qur'an, banyak berhutang pada reformer besar Mesir Syekh
Muhammad Abduh, dengan bukunya "Risalah Tauhid". Ia mengikuti Abduh dalam
syarah-syarahnya dan dengan metode rasional yang langsung menuju pokok masalah.

Dalam karyanya itu, ia selalu menyesuaikan dengan penemuan terbaru dalam ilmu bahasa
dan ilmu-ilmu alam. Juga menghindari pemberian penghormatan imitatif atas tindakan
yang menipu dan mitos-mitos yang menutupi substansi hakiki Islam, sehingga menolak
untuk dikaji secara rasional.

Tokoh agung ini, dalam pembelaannya terhadap nilai-nilai rohani dan etikanya, setelah
mencapai usia delapan puluh tahun, berpindah dari Madinah ke Tonja. Dari sana ia
pindah ke Lisabon, selanjutnya ke Spanyol, untuk membuktikan kepada semua orang
bahwa Muhammad Asad tetap jujur dengan dirinya: sebagai kritikus, penggerak, dan
tetap energik.

Keselamatan dalam Islam


(Bonn, 25 Agustus 1980)

Pemikiran tentang dapat dibelinya pengampunan, dengan mengorbankan seorang pria,


wanita, atau hewan, tampak populer pada masa lalu dan melekat dalam paganisme.
Pemikiran seperti itu tentunya ada sebelum mengenal Allah Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang. Ketika kaum dogmatis dari umat Kristen melegitimasi penyaliban
Almasih sebagai "korban wajib dengan kematiannya", mereka sebenarnya berdalih
dengan logika yang sama digunakan paganisme dalam berkorban.

Mereka berkata bahwa Tuhan harus mengorbankan diri-Nya sehingga mampu memberi
ampunan? Baiklah, aku bertanya, siapa yang bisa memaksa Tuhan untuk melakukan itu,
dan mengharuskan syarat ini atas diri-Nya? Bukankah itu jelas melecehkan?
Deskripsi tentang Allah SWT, yang dipresentasikan Al-Qur'an kepada kita dalam surat
al-Fatihah dan ayat Kursi (al-Baqarah:255), amat jauh berbeda dengan deskripsi tentang
bentuk manusia, dan jauh lebih tinggi dari pemahaman Kristen tentang Allah.

Yang amat penting dicatat dalam Al-Qur'an bahwa Al-Qur'an tidak mengakui adanya
perantara dalam hubungan antara Tuhan dan hamba-Nya; "Tiada yang dapat memberi
syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya" (al-Baqarah: 255).

Tidak seorang pun boleh ikut campur tangan dalam hubungan ini, apakah ia khalifah,
imam, atau Paus, berdasarkan pemahaman Kristen bagi oknum ketiga, yaitu "perantara."
Dengan kata lain, semenjak abad ketujuh Masehi, umat Islam yang beriman telah
terbebas dari ritus pengorbanan dan senantiasa dalam hubungan langsung,dengan Allah.

Ini adalah hubungan yang jauh lebih cocok bagi manusia modern dan manusia yang
tercerahkan.

Penutup Nabi-Nabi
(Bonn, 27 Agustus 1980)

Perkembangan kematangan berpikir manusia akan mencapai pemahaman tentang Allah


Yang Esa, dalam keyakinan politeisme susunan tuhan-tuhan akan terbentuk seperti
jenjang piramida. Dengan meletakkan tuhan suku yang terkuat di jenjang teratas.
Pemikiran ini nantinya akan berkembang dengan mengakui adanya derajat yang tertinggi
dari sekalian tuhan-tuhan.

Hal itu yang membuat umat Yahudi mampu sampai ke teologi monoteisme, karena
keyakinan mereka bahwa Yahweh adalah tuhan suku mereka.

Yesus telah mengoreksi pemahaman yang salah ini. Meskipun risalah "anak tuhan" ini
diselewengkan, ketika pengikutnya menafsirkan hubungannya dengan Allah secara
literal.

Oleh karena itu, harus ada nabi lain untuk memberikan berita tentang wujud Allah Yang
Maha Esa, untuk sekalian manusia. Inilah prestasi akhir Islam yang gemilang dalam
perkembangan rohani manusia. Memang, tidak ada lagi tempat untuk menambah-
nambahkan kesempurnaan dan hakikat. Sehingga betullah Muhammad saw adalah
"penutup nabi-nabi seluruhnya."

Islam Sekehendak Hati?


(Bonn, 2 September 1980)

Hingga orang yang sebelumnya menganut mazhab "agnostisisme" dan menyokong


Ludwig Wittgenstein, terperosok menggunakan metode selektif dalam melihat Islam.
Sebagian orang berusaha memisahkan kandungan Al-Qur'an, antara teks-teks yang
berkaitan dengan ushuludin/pokok agama --yang harus valid sepanjang masa-- dan
norma-norma perilaku kehidupan sehari-hari yang dipengaruhi zaman. Mereka
mengatakan dengan keliru bahwa orang hendaklah bersikap rasional dan tidak
berlebihan, sehingga melupakan segi-segi yang telah usang dalam Al-Qur'an dan tidak
layak lagi.

Bagaimana dengan shalat lima kali dalam sehari? Puasa selama sebulan? Larangan
minum alkohol dan tidak mengambil bunga bank? Menurut mereka itu semua boleh-
boleh saja, namun sudah tidak cocok lagi bagi masyarakat teknologi modern.

Sikap yang salah ini menunjukkan bahwa manusia telah mulai memilah-milah Al-Qur'an
dan memilih sekehendak hatinya, mana yang ingin ia serahkan kepada kehendak Allah.

Orang-orang yang mendapat petunjuk Islam akan tampak menikmati perasaan mendapat
petunjuk menuju jalan lurus, tenang, dan nyaman. Oleh karena itu, diri mereka tampak
seirama dengan lingkungan mereka.

Selanjutnya, bagaimana orang dapat merasakan kenikmatan yang diberikan Islam, jika
orang tersebut tidak menyerahkan dirinya kepada Allah secara total?

Aku Harus Masuk Islam


(Bonn, 11 September 1980)

Semenjak beberapa lama sampai kini, aku berusaha membuat artikel yang metodologis
agar lebih fair dan ringkas, yaitu mengenai semua hakikat filsafat yang menurut
pandanganku diyakini tanpa skeptisisme logis sedikit pun. Hasil usaha kerasku ini akan
aku jadikan hadiah yang tidak biasanya bagi ulang tahun anakku Alexander. [1]

Selama melakukan usaha penulisan tersebut, aku menemukan bahwa sikap pemikiran
penganut agnostisisme, membutuhkan intelektualitas. Manusia tidak bisa dengan
sederhana lari dari keimanan. Segala hal di seputar kita jelas diciptakan. Dan tidak
diragukan lagi bahwa ada perpaduan terbesar yang dapat dilakukan antara Islam dan
hakikat holistis.

Itulah yang aku ketahui. Aku telah digetarkan oleh kebenaran. Tanpa sadar aku terus
melangkah mengikuti perasaan dan pemikiranku.

Tinggal satu langkah lagi, yaitu mengumumkan keislamanku secara resmi.


[1] Buku tersebut telah dicetak dalam 16 halaman saja, yaitu berjudul "Metoda Filsafat
Menuju Islam", dalam bahasa Jerman tahun 1981 dan 1983, dan dalam bahasa Inggri
tahun 1983, (pent.)

Laa Ilaaha Illa Allah, Muhammadur-Rasulullah


(Bonn, 25 September 1980)

Aku mengucapkan dua kalimat syahadat di Islamic Center Colonia, "Tidak ada Tuhan
kecuali Allah, Muhammad adalah Pesuruh Allah." Aku memilih satu nama di antara
sekian nama Islam bagi diriku, yaitu Murad Fred.

Sejak hari ini aku telah menjadi seorang muslim. Berarti aku telah mencapai muradh-
tujuanku.

Mengapa Tidak Ada Caturnitas?


(Bonn, 26 September 1980)

Jika orang, dapat membayangkan adanya Trinitas, mengapa tidak membayangkan adanya
caturnitas tuhan? Jika teori "kelahiran yang pertama", atau teori "emanasi" dalam
penciptaan dunia mempunyai tabiat yang sama dengan teori kausa-prima, mengapa tidak
"emanasi kedua" tidak ikut campur dalam tabiat ini?

Apakah pemikiran Trinitas yang disucikan dapat berkembang jika para pendeta gereja
mengetahui filosof yang datang setelah masa Plato, seperti Plotinus dan Brukless yang
membedakan dalam bukunya Liber de Causis antara "wujud" (bapak?), "sebab" (roh
kudus?) dan "roh" (anak?) bahwa caturnitas "emanasi" persis sama dengan rohani
"Gnosticism", dan ia adalah kepercayaan Kristiani.

Darwisy Konya yang Berputar


(Bonn, 9 Oktober 1980)

Di Aula Bethoven di Bonn, diselenggarakan pertunjukan "Darwisy Konya yang


Berputar", sehingga mereka tampak seperti kelompok tari panggung. Oleh karena itu,
banyak penonton menduga akan menyaksikan putaran pembukaan, jika bukan
kegaduhan, seperti yang dilakukan para penari pada pesta-pesta Dyonisius Yunani,
bukannya pertunjukan rohani yang mendalam yang mereka saksikan ini. Para penari
mereka adalah orang-orang modern, teratur, tekun ibadah, dan telah berkeluarga
menyajikan syair agama klasik dengan iringan musik dari Turki. Pertunjukan tersebut
dimulai dengan nyanyian pujian Parsi karangan Jalaludin ar-Rumi, dibawakan oleh
syeikh (penyanyi yang hafal) dan buta, yang mengaku sebagai Kani Karaka, dengan suara
menggetarkan, lemah, dalam, dan merajuk.

Para darwisy, kemudian masuk ke panggung pertunjukan dengan asesoris selendang


mereka yang penuh dengan lambang-lambang. Peci mereka yang berbentuk menjulang
menampakkan situasi kubur, jubah hitam mereka mengisyaratkan kegelapan kubur, dan
yang mereka pakai di bawahnya: baju dan celana putih mengisyaratkan putih kain kafan.

Pertama kali, para darwisy memutari panggung, sebanyak tiga kali dengan langkah tidak
teratur, dan berat. Setiap kali mendekati syeikh mereka di tempatnya, mereka akan
berputar dan membungkuk satu sama lain. Bungkuk mereka makin menurun ketika
mereka mencium tangan syeikh mereka yang membungkuk sedikit untuk mencium peci
mereka.

Kali itu saja mereka berputar. Kemudian, mereka menjalin lengan-lengan mereka dengan
bentuk silang dan meletakkan tangan-tangan mereka di pundak-pundak mereka pada
awalnya. Kemudian, dengan cepat mereka memisahkan lengan-lengan mereka, sambil
mengangkat telapak tangan kanan mereka menuju langit dan menurunkan telapak tangan
kiri mereka ke arah bumi --untuk menunjukkan bahwa segala sesuatu adalah dari Allah,
dan semua yang diterima para darwisy ia berikan kepada rekannya dengan senang hati.
Kemudian, para darwisy mulai berputar dengan gaya yang sama, tenang, menyenangkan,
di tempat mereka atau ketika mereka bergerak.

Bagi kritikus balet, dapat menilai bahwa gerakan mereka adalah gerakan ke kiri menuju
bagian dalam, dan berlangsung dalam empat hitungan. Perubahan langkah mereka selesai
pada hitungan keempat di atas kaki kanan.

Para darwisy tersebut terus bergerak dalam situasi seperti itu selama antara 20 sampai 25
menit dengan bentuk yang menakjubkan, tanpa meneteskan keringat, kelelahan, atau
mengacaukan nafas mereka. Kadang-kadang, para sufi itu dijuluki sebagai matras putih,
terkadang juga planet-planet yang berputar sekitar pusat rohani.

Tidak aneh, siapa yang dapat melihat mereka tanpa tertawan dengan putaran mereka yang
tenang dalam gelombang-gelombang teratur? Orang, dengan cara fisikal yang tinggi itu,
dapat mencapai intuisi agama dengan nama Islam.

Syeikh mereka yang tua, bernama Salman Tauzan --disebabkan kedudukannya yang
tinggi-- tampak tampil berbeda dalam panggung. Langkah-langkahnya tegap dan lambat
seperti masih muda. Ia mempunyai pengaruh besar pada para pengunjung. Peneliti
mengatakan bahwa ini bukanlah pertunjukan penari tua yang tidak mau mengundurkan
diri.
Yang kami saksikan adalah salah satu segi kebintangan (karisma) yang tidak mengenal
ketuaan dan timbul dari kezuhudan.

Daya Tahan Islam


(Bonn, 26 Februari 1981)

Ketika umat Islam mengkomparasikan antara bahaya yang diciptakan oleh dunia ateis
dan bahaya yang diciptakan oleh dunia Barat terhadap mereka, banyak dari mereka lebih
takut terhadap dekonstruksi rohani Barat daripada mereka digencet oleh ateisme secara
materiil. Ini dapat dilihat dari kegagalan usaha propaganda ateis Uni Soviet di negara-
negara Islam Uni Soviet di Asia, atau kegagalan tank-tank Uni Soviet di Afghanistan,
untuk mencabut akar Islam hingga saat ini.

Ditangkapnya syekh-syekh dan para pernuka agama, melarang pelaksanaan ritus-ritus


agama, dan menyita kitab-kitab suci, tidak akan banyak menyulitkan Islam. Ada ribuan
penghafal Soviet yang sudah menghafal Al-Qur'an di luar kepala.

Umat Islam dapat shalat sendiri jika situasi menuntut itu, dengan menggunakan alas apa
pun yang suci dan di mana saja. Inilah mungkin letak rahasia kekuatan Islam sehingga
mampu bertahan selama masa yang panjang di bawah kekuasaan pemerintah diktator. Itu
pula yang dapat menafsirkan hakikat mencengangkan masih adanya jutaan umat Islam di
Cina yang tetap teguh menganut Islam, selama masa kekuasaan Mao Ze Dong dan
terjadinya revolusi kebudayaan. Dan, itu pula yang dapat menafsirkan tetap adanya
beberapa ratus keluarga muslim Spanyol dengan keislaman mereka, tidak saja setelah
hilangnya Andalus, namun juga pada masa kekuasaan Fransisco Franco.

Sayangnya, Islam tidak dapat setahan itu dalam menghadapi proyek kristenisasi yang
tidak begitu santer dan bermetode. Artinya, borok busuk yang didapatkan dari
kekuatannya bukan karena usaha umat Kristen semata, namnun dengan pengaruh
konspirasi dan penjaja peradaban teknologi Barat.

Oleh karena masyarakat industri Barat mempunyai efek meracuni terhadap semua agama,
termasuk agama mereka sendiri. Dengan menyebarkan nilai-nilai yang dibangun atas
hipotesis-hipotesis materialis an-sich. Pemikiran memanfaatkan dan meraih keuntungan
sebanyak-banyaknya, ibadah menambah produksi secara terus-menerus, mitos-mitos
kemajuan tanpa batas, antagonisme ahli-ahli ilmu alam yang berubah menjadi filosof-
filosof. Kemudian, berkembangnya filsafat "agnostisisme" dan netralisasi nilai-nilai etika
bagi para pelajar, semua itu secara total membentuk kecenderungan ala Barat, yaitu
menyematkan karakter rasional terhadap semua fenomena hidup yang membentuk
permusuhan sengit terhadap agama-agama.

Masyarakat teknokratis, tempatku hidup di Barat, dengan penyembahan individual dan


etika yang berprinsip "biarkan dia berbuat dan biarkan ia berlalu". Sebenarnya
menciptakan dekonstruksi total terhadap pokok-pokok etika tempat masyarakat tersebut
tumbuh. Atau, nilai-nilai dan perilaku hidup yang tercerabut dari keimanan kakek-kakek
kita terhadap Allah.

Turki dapat dijadikan contoh jelas proses ini. Dilihat dari usahanya menelanjangkan diri
dari ciri-ciri keislamannya. Karena, Attaturk melihat agama rakyatnya sebagai sandungan
modernisasi, disebabkan kecenderungan kembalinya keterbelakangan yang katanya
diajarkan Islam. Islam telah benar-benar dikubur di beberapa kota Turki pada masa
penyembahan kemajuan, kesenangan, dan solusi ilmiah terhadap semua problema itu,
setidak-tidaknya tampak pada kaum terpelajar dari dua golongan elit dan menengah di
daerah-daerah modern, karena mereka tampak lebih menyembah ilmu pengetahuan
dibandingkan menyembah Pencipta mereka.

Sementara itu, sebagian hasil pencerahan Turki sekuler ini adalah mereka senang
mengulang-ulang pernyataan, "Benar, saya tidak melaksanakan ajaran-ajaran Islam,
namun saya beriman kepada Allah dari lubuk hati yang paling dalam. Iman alami saya ini
lebih baik dari shalat lima kali sehari." Kata-kata itu --dengan embel-embel lain-- sering
terdengar dari sebagian orang-orang Islam, yang pengetahuannya amat kurang terhadap
agama bapak-bapak mereka. Itu sebatas sisi-sisi aneh dan parsial yang dituturkan kepada
mereka oleh kakek-kakek mereka.

Jika Attaturk tidak menguburkan pengajaran agama, dapat diduga bahwa para kaum
terpelajar Turki akan mengetahui dengan lebih baik. Ia --hingga aliran sufignostis Islam--
hanya menyangka bahwa agama adalah masalah hati saja.

Dapat diduga bahwa umat Islam "modernis" itu akan mengakui bahwa Islam tunduk
kepada Allah, berarti secara implisit mengikuti cara, ajaran, dan hukum-hukumnya.

Dengan latar berbelakang ini, amat ironis sekali jika Kementerian Urusan Agama Turki,
saat ini melakukan usaha membendung pengaruh-pengaruh negatif ketidaktahuan
terhadap Islam dalam periode yang panjang, yang dengan jelas merintangi usaha negara
untuk menegaskan kepribadiannya pada zaman modern.

Beberapa imam dan guru yang dididik oleh negara dan diberikan gaji telah dikirim ke
luar negeri sampai ke Jerman. Mereka menanggung beban berat, yaitu menguasai
jaringan luas tidak resmi sekolah-sekolah agama, masjid-masjid, dan kelompok-
kelompok sufi yang berkembang di kalangan pekerja Turki, sebagai reaksi terhadap
politik Attaturk dalam menerapkan sekularisme.

Undang-Undang Internasional Islam


(Bonn, 12 Maret 1981)
Istilah undang-undang internasional mengandung adanya pengakuan dunia terhadap
undang-undang itu. Sementara, aktivitas undang-undang bangsa-bangsa selalu ditentukan
oleh sejauh mana penghormatan dan pelaksanaannya pada tataran negara.

Pada masa modern ini, kita harus mengetahui sekali lagi kemungkinan adanya undang-
undang internasional khusus bagi suatu regional, meskipun hal ini tampak kontradiksi.

Secara faktual, fenomena regional dalam undang-undang bangsa-bangsa tidak terbatas


hanya pada Amerika Latin dan dunia komunis, yang dikuasai oleh pemikiran bangsa-
bangsa proletar yang pesimis dengan dikeluarkannya apa yang mereka namakan dengan
prinsip Brezhnev. Sementara dunia Islam, hingga akhir perang dingin tidak turut serta
merancang undang-undang internasional bersama negara-negara Kristen.

Dari segi prinsip, kondisi itu tidak mungkin lagi dibiarkan. Karena syariat Islam tidak
mengakui pemikiran undang-undang konvensional dan kemungkinan mengadakan
perjanjian damai antara negara-negara Islam dan bukan Islam.

Sebaliknya, Undang-Undang Islam, bukannya turut memperkaya pemikiran romantis


adanya "keluarga bangsa-bangsa", malah dengan amat tegas membedakan antara
kelompok umat Islam (darul-islam) dan non muslim yang berada di luar kelompok umat
Islam (darul-Harb).

Patut diingatkan bahwa teori undang-undang Islam menganggap bahwa seluruh umat
Islam disatukan oleh satu kesatuan (ummah). Oleh karena itu, ia menolak pemikiran
banyak negara. Sebagai implikasi dari hal itu, Undang-undang Islam (syariat), hingga
saat ini masih menolak birokrasi hubungan antar masyarakat Islam seperti hubungan
biasa dengan negara-negara.

Seperti yang dijelaskan oleh Hans Crose --dalam bukunya, yaitu "Islamiche
Volkerrechtslehre" (second edition)-- meskipun seperti itu, undang-undang Islam dapat
mengikuti fakta-fakta konflik internasional yang keras.

Pertama, para pakar Islam --seperti teman-teman mereka di Barat-- mengajarkan


wajibnya menghormati.transaksi-transaksi dan perjanjian-perjanjian tanpa
memperhatikan agama pihak kedua. Tidak ada perbedaan praktis jika para ahli hukum
Islam mendasarkan sakralitas perjanjian-perjanjian ini pada perintah Tuhan dalam Al-
Qur'an, bukannya pada kaidah-kaidah undang-undang internasional konvensional atau
tradisional. Yang terpenting, umat Islam dalam melaksanakan undang-undang dalam
negeri mereka, harus juga menjaga perjanjian-perjanjian internasional --yang dihormati
oleh non-muslim sebagai pelaksanaan mereka terhadap undang-undang intenasioanal.

Kedua, para ahli hukum Islam berhasil menciptakan solusi hukum yang cerdas, yang
membuat mereka mampu, dengan perangkat itu, menyelaraskan antara fakta-fakta keras
dan teori undang-undang yang berlevel tinggi. Dengan demikian, mereka dapat
melegitimasi apa yang tidak diperkenankan dalam mengadakan hubungan damai
permanen antara negara-negara Islam dan non-Islam, atas dasar perjanjian damai yang
secara implisit diperbolehkan.

Kesalahan Fatal Perancang Mode


(Istambul, awal Agustus 1981)

Hari ini adalah Idul Fitri, hari raya terbesar dalam Islam. Secara kebetulan, aku
berkesempatan melihat tiga wajah berbeda agama Islam.

Pada pagi hari, aku ikut melaksanakan shalat-shalat yang panjang yang memisahkan
antara akhir puasa Ramadhan dan acara "Hari Raya manis-manisan dan kue-kue", yang
berlangsung selama tiga hari.

Masjid di Tsiviky tampak penuh sesak dengan manusia. Banyak dari mereka membawa
sajadah sendiri untuk shalat. Namun, seperti mayoritas yang lain, aku melaksanakan
shalat di halaman depan masjid, di atas selembar kertas koran pagi.

Pada waktu siang, kami mengunjungi Masjid Sultan Ayyub yang terletak di dataran
tinggi daerah Tanduk Emas. Semenjak bangunan itu didirikan di atas kuburan Ayyub
"pembawa bendera Muhammad", yang ditemukan secara mengejutkan pada saat
pengepungan Turki pada tahun 1453. Mitos-mitos dan legenda memenuhi masjid ini, di
samping letaknya yang memikat.

Tempat ini termasuk tempat yang paling dekat ke tempat perziarahan umat Kristen.
Apalagi yang dapat aku katakan mengenai tradisi minum dari empat keran yang terletak
di empat pojok pagar yang melingkari sebuah pohon di dekat masjid, setelah semua keran
pertama kali dibuka semua kemudian ditutup satu per satu?

Para pecinta, orangtua, pelajar, tentara, dan semua orang yang mempunyai hajat,
memberikan makan 1001 burung dengan satu kilogram jagung, sambil menyimpan
beberapa biji untuk ditanam setelah cita-citanya terkabul.

Dari pasar yang dekat, para pelancong lain berdatangan membawa hewan-hewan untuk
dikurbankan. Diserahkan kepada fakir miskin yang berdiam di samping Masjid Sultan
Ayyub. Tentunya, gerombolan manusia di Masjid Sultan Ayyub menampakkan ciri khas
masing-masing. Anak-anak memakai pakaian jenderal, admiral, dan raja-raja, bersiap-
siap untuk dikhitan pada hari berikutnya --acara seperti ini dilakukan bagi anak laki-laki,
begitu juga bagi anak-anak wanita ketika akan menikah.

Yang jelas, kaum Wahabi akan memberikan kata putus yang tegas atas fenomena-
fenomena folklor dan khurafat masyarakat Islam ini. Sehingga mereka tidak
membolehkan kegaduhan apa pun, atau kegiatan investasi dekat Masjid Nabawi untuk
menjaga kelayakan, meskipun hal itu merugikan warna tempat dan hiburan rakyat.
Pada sore hari, aku menghadiri pameran pakaian. Pada pameran tersebut, aku melihat
pakaian terbuat dari kain sutra hitam. Pakaian itu adalah pakaian yang paling menarik,
namun sebenarnya ada "kesalahan fatal" di sana, yaitu hiasan peraknya tersusun dari
ayat-ayat Al-Qur'an ditulis dalam bahasa Arab dengan cara Barat. Keindahan bordir baju
tersebut mendapatkan tepuk tangan hangat dari penonton. Mereka akan takut seandainya
dapat memahami tulisan Arab itu. Dalam satu generasi pasca-Attaturk, tulisan Arab,
seperti huruf Cina, telah menjadi asing bagi manusia yang terbiasa membaca dan menulis
dengan bahasa Arab.

Inikah yang dimaksud dengan kemajuan?

Konsili Nicaea I
(Iznik, 21 Juli 1982)

Semua orang yang meyakini hasil-hasil yang timbul dari keputusan-keputusan sejarah,
muslim, atau Kristen, tidak akan mampu terbebas dari tekanan perasaan emosional yang
dirasakannya ketika mengunjungi kota Iznik --dulunya Nicaea-- yang terkenal tidak jauh
dari Istambul.

Karena tidak lama setelah kaum Salib menyerang kota Konstantine Kristen (tahun 1204
M), kota tersebut menjadi pangkalan agresor. Dan, tidak lama kemudian menjadi ibu kota
kerajaan Romawi, di luar wilayah negaranya. Di tempat itu juga ditentukan masa depan
agama manusia dengan bentuk final, pada tahun 325 M.

Hingga saat ini, orang masih bisa menentukan tempat berkumpulnya sekelompok besar
uskup untuk menghadiri Muktamar Nicaea Masconi I --19 Juni sampai 25 Agustus 325
M-- yang menetapkan aliran Nicaea asli dengan bentuk pasti. Yaitu, mazhab yang
berpendapat telah bersatunya Tuhan (Bapak) dengan Almasih secara alamiah.

Meskipun demikian, aliran oposisi, yang dipimpin oleh Pendeta Alexandria Bapak Arios
(260-336 M), masih menjadi aliran resmi negara, pada masa berkuasanya Constantine
yang agung (337-361 M). Sebenarnya, aliran ini terus dipeluk dengan kuat, terutama oleh
suku Jermaniyah, hingga masa setelah aliran Arios dianut kedua kalinya pada tahun 381
M. Ia adalah mazhab yang mengatakan bahwa meskipun ada tiupan Tuhan dalam
penciptaan Almasih, namun ia tetap bukan sekutu, dan tidak kekal seperti Bapak.
Kejadian dramatis ini telah hilang dari kesadaran umat Kristen Barat seperti hilangnya
ajaran-ajaran Pendeta Nestorian Petrick Constantine (381-451 M), yang mengatakan
bahwa Tuhan dan Almasih, keduanya hidup terpisah dalam satu diri, setelah dilarang oleh
konsili Aphysus pada tahun 431 M.

Sebenarnya --sepanjang masa lima ratus tahun pertama sejarah Kristen-- orang bisa
menjadi umat Kristen yang utuh tanpa harus terpaksa beriman terhadap aliran bersatunya
Almasih dengan tuhan. Menurut kaca mata Islam, umat Kristen Arios dan Nestorian bisa
dianggap sebagai umat Islam, tidak kurang.

Sebenarnya, kalaulah beberapa uskup dari 125 orang bersatu menentang pemikiran
ekstrem yang mengatakan persatuan Almasih dan tuhan --pada tahun 325 M-- niscaya
sikap mereka akan mampu melenyapkan perbedaan teologi substansial antara Yahudi,
Kristen, dan Islam.

Orang hanya bisa terkejut, ketika menyadari bagaimana beberapa orang uskup di Nicaea
telah menanggung tanggung jawab besar dalam perjalanan manusia.

Gereja Bukan Masjid


(Burso, 22 Juli, 1982)

Di Burso, Ibu Kota Kerajaan Utsmaniyah yang antik, orang bisa bermain ski di Gunung
Olodag, juga bisa bersuka-ria berenang di Laut Marmarah. Namun, Masjid Ulu Kami
(masjid agung), yang terletak tepat di jantung kota, adalah salah satu keistimewaannya
yang paling termasyhur, karena dinding-dindingnya bagian dalam laksana museum
kaligrafi Arab. Hal itu setelah bangsa Turki memberikan suatu sentuhan pada modelnya
hingga mencapai kesempurnaan.

Tidak kurang dari itu adalah air mancur yang terletak di tengah masjid. Di sana para
penduduk kota terkadang mengadakan pertemuannya. Di sana pula para turis dapat
beristirahat setelah melaksanakan dua rakaat shalat tahiyat masjid. Para pelajar dengan
lembut dan mendayu membaca Al-Qur'an dan para pelancong lain terlihat sedang
mengambil air wudhu.

Di samping mihrab, terlihat beberapa orang Islam sedang hanyut dalam renungan
mereka, dan tenggelam dalam munajat kepada Allah SWT. Tidak jauh dari mereka
terlihat beberapa orang sedang tidur pulas pada siang hari, sambil menunggu waktu shalat
asar.

Pemandangan seperti ini mungkin akan mengejutkan turis Barat yang terbiasa
menyaksikan gereja hanya dipergunakan untuk ibadah saja --kemudian pintunya ditutup
setelah itu. Mereka juga tidak tahu bahwa di dalam masjid tidak ada tempat sembelihan
atau kuil yang di kelilingi orang-orang suci. Ia tidak lebih dari tempat orang-orang
berkumpul melaksanakan shalat.

Selama manusia menyadari hal itu, ia akan segera mengetahui fungsi lengkap yang
dimainkan masjid, sebagai pusat sosial-politik. Pada banyak kesempatan, sering terlihat
dapur umum di sana. Juga perpustakaan, kamar mandi, sekolah, dan kuburan.
Yang Amat Aneh
(Bonn, 19 September 1982)

Aku disambut oleh menteri konsultan di Kedutaan Arab Saudi, ketika aku sedang
mengurus administrasi untuk mendapatkan visa haji. Tidak sebagaimana lazimnya para
diplomat asing pada masa sekarang, ia tidak menanyakan padaku sedikit pun tentang
keputusan NATO dalam meletakkan rudal-rudal nuklir jarak menengah di Eropa.
Sebaliknya, ia mencurahkan semua perhatiannya pada masalah lain yang berbeda sekali,
yaitu berkaitan tentang peran Almasih dan Muhammad saw. Dan hubungan antara
keduanya, sebelum dan setelah hari kiamat. Tuan rumahku tahu semua hal yang berkaitan
dengan masalah yang patut direnungkan ini dari hadits Nabi.

Keherananku yang terbesar dalam hal ini adalah pada abad 20 ini, ada negara yang
diplomatnya memberi prioritas pada masalah-masalah agama daripada masalah-masalah
politik. Ini amat aneh.

Masyarakat Alkohol, Nikotin, dan Daging Babi


(Pesawat Lufthansa, Penerbangan No.624, Desember 1982)

Ketika pesawat kami, Lufthansa, mendekati Jedah dari Frankfurt, mayoritas


penumpangnya orang-orang Jerman. Mereka adalah para wanita dan anak-anak yang
membawa pohon-pohon Natal di kabin, berteriak meminta dan menenggak whisky
semampu mereka, sebelum pesawat mendarat. Karena inilah kesempatan terakhir mereka.
Jika roda pesawat telah menyentuh landasan bandara udara, mereka akan memulai
kehidupan yang menjengkelkan tanpa alkohol, bersama suami atau bapak mereka, di
pusat-pusat pembangunan.

Fenomena ini amat memilukan. Kami --bangsa Barat-- hidup dalam lingkungan bunuh
diri dengan alkohol. Dengan bahasa lain, dalam masyarakat alkohol, nikotin, dan daging
babi. Pemandangan itu membuatku berkhayal, seandainya pesawat yang aku naiki ini
tidak menyediakan minuman. Berapa banyak bencana yang dapat dihindari seperti
kecelakaan mobil, perceraian,dan pengerutan lever --jika orang mau menaati hukum Al-
Qur'an yang mengharamkan alkohol; setidaknya aku tidak akan kehilangan gigiku pada
peristiwa tabrakan, tahun 1951.

Ketika aku telah berpengalaman mencicipi bermacam-macam jenis minuman keras,


sehingga aku mampu membedakan jenis-jenis anggur matang Green Cry tanpa kesalahan
sedikit pun, hanya dengan ujung lidah. Anggur itu adalah anggur merah yang paling
mewah. Dibuat di Coth Door Burgundi, Shampartan, Musini, Clo Fozo, Rumani, Isyuzu,
dan Corton yang kebun anggurnya memanjang dari Bonn ke Diegon.
Bahkan, hingga pada masa awal masuk Islam, aku masih kesulitan tidur apabila tanpa
meneguk satu sloki anggur merah di waktu sore. Namun kini, aku dapat tidur lebih baik
dari sebelumnya, karena perangkat aliran darah dan hati dalam tubuhku akan beristirahat
melakukan tugasnya ketika aku sedang tidur nyenyak.

Orang Barat tidak mempercayai ada kebahagian dan kesenangan dalam pesta tanpa
suguhan alkohol. Sebaiknya, mereka menyaksikan pesta perkawinan orang Islam.

Mayoritas dari mereka mengetahui hasil-hasil negatif akibat kecanduan bangsa Barat
terhadap alkohol, seperti melorotnya kesehatan secara umum, penurunan hasil kerja,
bahaya keselamatan dalam pekerjaan, di jalan raya, dan menghabiskan hasil pemasukan.
Namun, mereka butuh suatu tekad kuat untuk memerangi "candu bangsa" ini.

Nabi Muhammad saw. telah mengharamkan semua yang memabukkan dan membius,
ketika nabi berada di Madinah, meskipun itu amat sulit karena kontradiktif dengan
kecenderungan saat itu. Namun, umat Islam di Madinah, serentak dengan taat
menumpahkan semua minuman keras mereka yang terbuat dari kurma, ke tanah. Itu
menunjukkan bahwa apa yang sebelumnya dibenci akan menjadi sesuatu yang disenangi
jika diperintahkan oleh pemimpin yang mempunyai karisma.

Ukhuwah dalam Islam


(Jedah, 18 Desember 1982)

Di pos pemeriksaan paspor, petugas muda Saudi di bagian paspor memperhatikan dengan
teliti beberapa kali visa haji dan wajahku, sehingga aku merasa khawatir jika ada sesuatu
yang tidak beres. Aku kemudian melihat tetes-tetes air mata jatuh di pelupuk matanya,
dan tanpa menunggu ia melompat turun dari counter dan memelukku, karena
menganggapku sebagai saudaranya dalam Islam.

Beberapa kali aku menyaksikan air mata bahagia ini di wajah umat Islam Timur yang
bersinar ketika mereka mengetahui bahwa aku adalah orang Islam.

Jika umat Kristen mampu memahami perasaan seperti ini, mereka akan memahami lebih
baik, sebab gagalnya usaha kristenisasi pada umat Islam.

Seorang muslim --meskipun tidak kaya, buta huruf, atau hanya hafal surat al-Fatihah dan
al-Ikhlas-- akan senantiasa merasa bahwa mereka jauh lebih mempunyai pengetahuan-
pengetahuan pokok daripada nonmuslim. Terutama mereka yang menganut pemikiran
syirik, seperti "anak tuhan", "ibu tuhan", "Trinitas: bapak, anak, dan roh kudus", selamat
dengan pengorbanan zat tuhan, dan rahasia-rahasia sakral.
Seorang muslim yang miskin dan tidak bisa baca tulis, ketika mengucapkan la Ilaha illa
Allah. Ia akan merasa gembira karena percaya, dengan demikian berarti ia telah melewati
masa jahiliah, meskipun hal itu belum tentu dirasakan oleh yang lainnya.

Haji ke Mekah
(Mekah, 29 Desember 1982)

Aku masuk ke Masjidil Haram dengan memakai pakaian ihram putih yang ringan,
menuju Ka'bah yang berada di tengah ruang lapang yang luas. Ini adalah saat-saat yang
sebelumnya tidak berani aku impikan.

Ketika orang melihat dengan mata kepalanya bentuk bangunan ini, yang biasa ia lihat di
gambar-gambar dan film-film. Ia akan merasa terpesona sekali ketika menyaksikan
langsung, bukan dalam khayalan. Di sini, suasananya berbeda sekali.

Tidak ada hiruk-pikuk pasar, juga tidak ada suasana magis yang sakral. Segala sesuatu
tampak sederhana, penuh keagungan dan perasaan seni yang tinggi. Gelombang jemaah
haji yang banyak tidak menyebabkan kerumunan atau sesak pada tempat tawaf.
Sebaliknya, ada keteraturan yang apik ketika melaksanakan shalat jamaah, dalam
kesenyapan, sehingga orang dapat menjaga kebebasan pribadinya. Ada puluhan ribu
jemaah haji dan peziarah sedang melakukan tawaf dalam kesunyian. Hal itu amat
menggetarkan nurani.

Aku merasakan sambutan dan perasaan amat aman di antara rekan-rekan jemaah haji. Di
sana, aku mendapati makna ucapan "Assalamu'alaikum" yang berdenyut hidup.

Ketika kemuliaan terkristal, keindahan, iman, dan internasionalisme. Aku merasa seperti
sebuah titik atom pada sebuah kesatuan kosmos yang besar, karena di Mekah semua
perbedaan bangsa terlebur. Hanya ketika aku sedang ruku dalam shalat saja aku dapat
melihat telapak-telapak kaki yang berlainan warna, semua bangsa, dan benua terwakili di
sini.

Ka'bah adalah pelambang segala sesuatu tiga dimensi, dalam kesederhanaannya. Ini
adalah sikap Islam yang terpuji untuk memenuhi kebutuhan pada pelambang terlihat atas
Tuhan. Jika Allah SWT --menurut istilah Ibnu Sina-- adalah puncak keserdehanaan,
maka bentuk persegi empat dan kosong dari hiasan apa pun ini, adalah pelambang yang
terbaik bagi Allah dari pelambang bangunan lain manapun.

Ka'bah sebagai titik tetap dan kiblat (arah semua orang shalat) mengisyaratkan pelabuhan
pelambang agama internasional yang mengetahui dengan yakin bahwa Allah tidak di
timur atau di barat, namun Dia melampaui ikatan-ikatan zaman dan tempat.
Dibandingkan dengan bangunan "rumah Allah" ini, semua Katedral yang dibangun dalam
bentuk Quthi, dan semua gereja yang dibangun dengan model Paroki mengerdil menjadi
perhiasan kecil dan hina.

Setelah aku tawaf tujuh putaran seputar Ka'bah, di bawah atap langit yang berhiasan
bintang --adakah agama lain yang mencapai kesederhanaan seperti ini hingga
pelaksanaan ibadahnya di tempat yang terbuka?-- aku berhenti di Hajar Aswad, yang
diletakkan di tempatnya oleh Muhammad saw. Di sana orang antre mencium dan
menyentuhnya.

Tradisi ini bisa menimbulkan banyak risiko bagi Islam, bagi mereka yang tidak
merenungkan sama sekali bahwa penciuman bekas telapak kaki Petrus yang tidak jelas
oleh peziarah Kristen di Roma menyebabkan sesuatu yang berlebihan sehingga mereka
menyembah sepotong benda keras.

Tidak ada seorang pun yang berprasangka seperti itu ketika melihat jemaah haji di Mekah
--meskipun sebelumnya berkembang penyembahan patung yang terbuat dari batu di
negeri-negeri Arab pada masa pra Islam. Meskipun pelambang-pelambang bisa
dibebaskan dari pemikiran-pemikiran yang tersembunyi di belakangnya, namun itu tidak
harus dilakukan. Karena setiap takbir, "Allahu Akbar" --sebagaimana diterjemahkan oleh
Laurence Arab, "Allah-lah satu-satunya Yang Besar"-- adalah petunjuk kuat yang
menghapus prasangka menyembah Hajar Aswad yang sederhana.

Kembali ke Ibrahim
(Mekah, 20 Desember 1982)

Aku melaksanakan Sa'i --sejarahnya bermula pada zaman Nabi Ibrahim a.s. (Siti Hajar
mencari air untuk anaknya, Ismail a.s.)-- yaitu lari-lari kecil sebanyak tujuh kali antara
dua bukit kembar Shafa dan Marwah, yang terletak di samping Masjidil Haram dan
menjadi bagian masjid tersebut dengan bantuan muthawif Saudi. Ia mungkin kesulitan
memperdengarkan kepadaku ketika aku berusaha melafalkan doa-doa bahasa Arab
dengan dialekku yang menakutkan ini.

Ketika aku telah menyelesaikan manasik umrah, seorang anak membantuku memotong
sejumput rambutku sebagai pokok kembalinya aku melaksanakan kehidupan biasa
(tahallul dari ihram). Dengan demikian, sekarang aku bisa mengganti pakaian ihram
dengan pakaian biasa.

Pada hari selanjutnya, aku berharap bisa berada sendirian di Masjidil Haram ini,
walaupun hanya sekali. Oleh karena itu, aku berusaha bangun pagi sekali, sekitar jam tiga
pagi, dan sebelum azan yang pertama.
Namun keinginan itu tidak terjadi, karena ada ratusan muslim yang terus berdatangan
siang-malam tanpa berhenti melakukan thawaf, atau antre menunggu kesempatan untuk
menyentuh atau mencium Hajar Aswad untuk kesekian kali.

Orang-orang Islam itu, ketika melakukan hal tersebut, menguatkan kembali getaran
hubungan pribadi mereka. Tidak hanya dengan jutaan orang umat Islam yang datang ke
tempat ini, sebelum mereka (dan yang akan hadir di masa mendatang, insya Allah),
namun semata karena Nabi Muhammad saw. Karena, ketika Ka'bah dibangun sekaligus
diperbaiki kembali setelah diterjang banjir, Nabi Muhammad saw --sebagai penengah di
antara suku yang bertikai-- meletakkan tangannya di Hajar Aswad, sekarang
posisi/tempatnya di pojok timur Ka'bah.

Kesadaran sejarah ini amat pantas bagi agama yang syiar-syiar hajinya berasal dari Nabi
Ibrahim a.s. --dari masa sepanjang lebih dari 3800 tahun-- dengan syarat bahwa pelaku
ibadah haji tersebut mengetahui betul kandungan sejarah dan pelambangan ritus-ritus
yang dilakukannya.

Gereja-gereja Kristen tidak dengan mudah mengakui ajaran-ajaran Yahudi dan


Paganisme yang terkandung dalam ritus-ritus mereka, sedangkan Islam tidak merasa
keberatan mengakui akar-akar lama ritus-ritusnya. Muhammad saw tidak mengaku
bahwa beliau membawa agama baru, namun risalahnya adalah pembaruan dan
penyempurnaan agama Allah yang satu, yaitu penyerahan dan penundukan, artinya Islam
menyerahkan diri semenjak zaman azali.

Di Sisi Makam Nabi saw.


(Madinah, 23 Desember 1982)

Barangsiapa yang pernah menyaksikan perayaan Maulid Nabi saw.perayaannya amat


bersemangat di malam hari, di masjid-masjid yang diterangi lampu, di dalam dan di
luarnya, ditambah lagi dengan ritus-ritus yang menyerupai ritus kependetaan. Maka, ia
akan menyaksikan dengan terhenyak tindakan para polisi agama Arab Saudi di Madinah,
pada malam maulid itu yang terus mengontrol untuk memastikan tidak ada seorang pun
yang melaksanakan shalat menghadap makam Nabi. Kewaspadaan mereka ditunjukkan
dengan melarang orang shalat pada hari maulidnya dekat kuburnya, selain shalat-shalat
sunnah.

Orang tidak perlu mengkritik perlakuan ini, jika ia mengetahui bahwa apa yang terjadi
setelah wafatnya Almasih adalah dimulai dengan ketakjuban padanya diikuti dengan
menuhankannya.

Islam berusaha menekan kecenderungan semacam ini, sebelum tersebar.


Kejadian Mengecewakan di Hotel
(Madinah, 24 Desember 1982)

Pada tahun ini, hari Jumat sore, adalah hari Natal yang bertepatan dengan peringatan
Maulid Nabi Muhammad saw. Ketika aku masuk ruang makan di Hotel Sheraton,
Madinah, untuk menikmati hidangan, seorang pelayan Pakistan menghampiriku dengan
tersenyum dan mengucapkan dengan perkataan halus, "Selamat hari Natal." Jelas ia
menyangka bahwa aku adalah pemeluk agama Kristen, karena hotel tersebut berada di
luar wilayah Haram. Oleh karena itu, boleh saja bagi nonmuslim untuk mengunjunginya.

Ketika aku membalasnya dengan mengucapkan, ". Alhamdulillah, saya orang Islam,"
maka pelayan tersebut bersama temannya kaget dan tampak ketakutan.

Secepatnya direktur hotel mendatangiku dan memohon agar hidangan juga teh asli,
dibayar oleh hotel, sebagai ganti ringan atas penghinaan yang aku terima.

Sebenarnya, orang Islam tidak dituntut untuk memuliakan Nabi Almasih, juga tidak
diperintahkan untuk beriman dengan kebenaran turunnya Al-Kitab. Hal ini menunjukkan
minimnya pengetahuan umat Islam kalangan bawah tentang Perjanjian Baru, seperti
minimnya pengetahuan umat Katolik atas Perjanjian Lama.

Tenggelam dalam Shalat


(Madinah, 26 Desember 1982)

Kami terlambat beberapa menit untuk keluar dari masjid setelah shalat. Tampak ada
sesuatu yang menghambat di pintu utama. Persis di tengah-tengah pintu, ada seorang
muslim sedang tenggelam total dalam shalatnya. Mungkin dia datang terlambat sebelum
rakaat terakhir, dan sekarang dia sedang menyempurnakan rakaatnya. Dia tampak
tenggelam dalam shalatnya sampai-sampai melupakan semua yang ada di sekelilingnya.

Semua jemaah menjauhi daerah shalatnya, khawatir mengganggu kekhusyuan shalatnya.


Tidak seorang pun yang mengkritik keterlambatannya yang menyebabkan pemandangan
ini. Ini karena si muslim sedang menunaikan kewajiban agamanya. Tidak lebih dari itu.

Pemandangan semacam ini tidak mungkin terjadi ketika para penziarah Kristen
menyesaki Gereja St. Petrus di Roma. Perbedaan ini disebabkan karena ritus-ritus
keagamaan Kristen hanya mengenal misa suci yang dipimpin oleh seorang pendeta
sebagai simbol agama resmi. Islam tidak mengenal hal semacam itu. Yang ada hanya satu
kewajiban (shalat) yang mesti ditunaikan oleh semua umat Islam. Adapun kepemimpinan
imam dalam shalat hanyalah untuk menunaikan tepat pada waktunya.
Shalat mendapat tempat dan kedudukan yang tinggi dalam Islam, sampai-sampai pasal-
pasal tentang shalat memenuhi kitab-kitab fikih. Seperti, kitab monumental karya
Muhyiddin Abu Zakariya al-Anshari, yaitu Minhaj ath-Thalibin, yang dirilis pada abad
ke-13. Di antara kitab yang paling mengagumkan adalah al-Muwattha' karya Imam Malik
bin Anas yang mengkhususkan 14 bab awalnya hanya untuk menerangkan syarat-syarat
dan kaidah-kaidah shalat.

Sesuai dengan kaidah-kaidah ini, wajib bagi setiap muslim untuk menghormati penuh
ketenangan orang yang sedang shalat. Juga tidak dibenarkan melanggar daerah shalat,
baik yang tertentu atau tidak --selembar sajadah shalat atau hanya dengan meletakkan
kaca mata di depannya-- dalam kondisi apa pun.

Jika si muslim menguasai kaidah dasar shalat --seperti yang terjadi di setiap negeri.
Islam-- maka mudah saja baginya secara relatif tenggelam dalam shalat, baik di pompa
bensin, di trotoar, atau di atas menara yang tinggi. Sungguh kekuatan "Harakah
Islamiyah", yang seringkali dipandang sebagai teka-teki oleh Barat, yang dilahirkan dan
dihasilkan dari kekuatan dalam shalat.

Refleksi Seputar Keselamatan Shalat


(Badar, 27 Desember 1982)

Dalam perjalanan pulang dari Madinah ke Jedah, kami berziarah ke Badar, suatu tempat
di mana perjalanan Islam berlangsung pada tahun 642M, dalam suatu konflik bersenjata.
Pimpinan rombongan sebentar-sebentar memperhatikan posisi matahari. Ketika matahari
melewati ubun-ubun kepala dengan jelas --tidak ada alasan untuk takut menyembah
matahari (shalat zuhur)-- lalu kami berhenti memanggil semua penumpang untuk shalat
zuhur berjamaah.

Ketika kami sudah berbaris satu shaf sepanjang jalan, orang India asal Afrika Selatan
menasihatiku dengan sopan agar aku mencopot kacamata hitam yang kukenakan. Jika
tidak, ketika sujud dahi dan hidungku tidak bisa menyentuh bumi, seperti yang
seharusnya kulakukan. Dari kejadian ini bisa ditarik beberapa pelajaran.

Pertama, ada sesuatu yang asing bagiku yang menampakkan nuansa persaudaraan yang
kental atas keselamatan shalatku. Tanpa terkesan menggurui, sesungguhnya ia telah
mengamalkan salah satu ajaran Islam yang esensial, amar ma'ruf nahi munkar.

Kedua, ia telah menunjukkan kepadaku bahwa informasi-informasi mendetail tentang


kaidah dasar shalat adalah sesuatu yang biasa di kalangan umat Islam di seluruh negeri,
baik tingkatan maupun profesi. Ketiga, ia menjelaskan kepadaku bahwa shalat menurut
Islam adalah suatu kegiatan dinamis antara roh dan jasad sekaligus.
Sehubungan dengan ini, seorang mualaf akan sering mengalami kelelahan fisik. Shalat
seorang muslim yang bijak, yang merefleksikan pandangannya yang menyeluruh, dan
mencerminkan kepribadiannya, adalah ajakan persaudaraan dan persatuan atas dasar
persamaan antara manusia. Islam adalah sujud. Sujud adalah Islam.

Islam dan Era Boom Minyak


(Jedah, 28 Desember 1982)

Keberuntungan menimpa bangsa Arab dua kali dalam sejarah. Pertama, pada abad ke-7
M, ketika Islam menjadikan Mekah sebagai kiblat dunia. Kedua, setelah tahun 1973,
ketika harga minyak membumbung tinggi. Ketika Allah memerintahkan Nabi lewat
firman-Nya, "Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan", sesungguhnya Ia
menganugerahi Nabi suatu kenikmatan yang langgeng. Kemudian, penemuan minyak
membawa keberkahan.

Jika seseorang berasal dari Hijaz, maka dua momen yang mencengangkan ini cukup
memberi indikasi bahwa Muhammad menginduk ke "bangsa terpilih" yang memiliki
karakter Arab yang khas.

Walaupun begitu, sahabat mudaku dan kawan-kawannya tidak terpengaruh oleh


kemewahan yang menimpa mereka. Orang-orang Saudi dengan penuh bangga menyebut
bahwa warisan klan-klan Badui yang bebas lebih mahal daripada deposito. Mereka lebih
tertarik mendiskusikan masalah-rnasalah agama daripada membicarakan dolar, bursa
efek, atau masalah kebebasan seksual diramalkan oleh Herbert Marcus.

Tiap pagi mereka saling menelepon untuk memastikan bahwa di antara mereka tidak ada
yang ketinggalan shalat subuh. Di Barat, seseorang sering mempertanyakan sejauh mana
kemampuan perilaku yang ketat ini dalam memegang teguh tujuan-tujuan luhur dalam
menghadapi serangan hedonisme. Ia juga tidak mampu menggambarkan bagaimana ia
menjauhi fenomena dalam kerangka kekayaan yang berlimpah.

Orang-orang Saudi tentu saja belum melewati keseluruhan fase-fase dalam era
industrialisasi. Mereka dikejutkan gempita era teknologi di pasca-era-industrialisasi.
Pertanyaan sekarang adalah apakah fenomena ini menambah atau mengurangi bahaya-
bahaya yang menghadang agama akibat meningkatnya taraf kehidupan.

Sebelum seseorang menghamburkan ramalan-ramalannya lebih jauh dari itu, seyogianya


kita mengakui kepada diri kita dengan pendekatan Marxisme terhadap sistem ini. Apakah
kita sudah benar-benar terlena dalam lautan materialisme sampai pada tingkat yang
menjadikan kita tidak mampu untuk mengkhayalkan sesuatu yang lebih besar dari
"bangunan atas" (seperti yang disebut Marx), sesuatu yang lebih besar dari cerminan
situasi-situasi ekonomi sekarang.
Secara realita, Islam lebih dari sekadar penggolongan tingkatan dan pendapatan per
kapita. Sungguh, agama ini mampu membentengi manusia dalam melawan harta dan
kemewahan.

Seorang muslim yang saleh tidak akan bekerja menurut prioritas berdasarkan
pertimbangan pasar. Ia memproduksi semaksimal mungkin dan memperbesar
keuntungan.

Pada saat yang sama, umat Islam tidak menganggap pemilikan pribadi, perdagangan,
keuntungan, dan kekayaan sebagai keburukan, tidak juga mencelanya. Seorang muslim
yang saleh keadaannya seperti direktur bisnis Kristen dari sekte "beramal karena Tuhan."
[2] Ia tidak merasa asing dengan dunia ekonomi juga tidak mengerahkan seluruh tenaga
dalam menaati azas manfaat.

Atas dasar ini, ada harapan bahwa Islam mampu --dengan menjauhi lintas silang dua
peradaban Kapitalisme dan Marxisme-Lenmisme-- untuk menjadi alternatif terbaik
(alternatif yang berwajah insani).

[2] Sekte "Amal Karena Tuhan" (Opus Dei) adalah Ikatan Katolik Internasional yang
didirikan oleh seorang Spanyol pada tahun 1928 yang mencakup kaum sekularis dan
misionaris, yang lewat profesi dan pekerjaan mereka di masyarakat berupaya
menyebarkan Kristen.

Ketika Seseorang Berserah Diri Melalui Pikirannya


kepada Allah
(Aachen, 5 Februari 1983)

Di tengah-tengah pertemuan tahunan yang digelar pada musim semi oleh umat Islam
Jerman di Masjid Bilal, Aachen --salah seorang peserta mengkritik hubungan jabatanku
sebagai Direktur Penerangan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dengan akidah
yang kuanut, yaitu Islam. Walaupun begitu, hal itu tidak menjadi hambatan yang berarti.
Jika terdapat kesempatan mengembangkan Islam di Barat, maka Barat seyogianya
sebelum segala sesuatunya merasa aman dari ancaman Soviet. Dalam hal ini, NATO
telah berhasil menjinakkan bahaya yang dianggap momok eksternal terbesar, di samping
Islam.

Dan, aku sungguh mengakui bahwa Uni Soviet dalam kapasitasnya sebagai pemimpin
tunggal komunisme internasional dianggap sebagai ideologi yang tingkat bahayanya
lebih kecil terhadap Islam daripada agnotisisme, materialisme, dan teknologi Barat. Ini
karena ateisme Barat yang "ilmiah" menyusup dengan perlahan seperti langkah-langkah
kucing kecil (meminjam istilah Robert Frost). Sedangkan, ateisme Soviet memaksakan
ideologi dengan kekerasan lewat tank-tank, tentara merah, seperti yang terjadi di
Afghanistan.

Walau demikian, masih benar bahwa kebangkitan rohaniah apa pun di Barat dengan
segala potensinya untuk memeluk Islam memprioritaskan keamanan material melawan
infiltrasi Soviet. Karenanya, maka kepentingan-kepentingan politik antara NATO dan
negara-negara Islam pada saat ini selalu sama.

Bisa ditebak, aku juga menjelaskan pengalaman pribadiku "Jalan Menuju Mekah".
Berikut, adalah rangkumannya.

"Ketika aku membaca Al-Qur'an pertama kali, aku langsung terpesona. Bahkan, aku
mengambil pelajaran dari ayat 164 surat al-An'am, "Dan seorang yang berdosa tidak akan
memikul dosa orang lain." Aku memahami suatu kesalahan dalam ajaran Kristen tentang
dosa warisan. Konsep yang benar adalah laki-laki dan perempuan berdiri di hadapan
Sang Pencipta secara langsung tanpa perantara "Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi
Allah tanpa izin-Nya" (bagian dari ayat kursi, surat al-Baqarah:255). Dan, surat al-An'am
ayat 164, pada gilirannya membawa makna esensial lain, yaitu pengingkaran konsep dosa
pertama Adam.

Jika seorang tidak memulai dengan suatu hipotesis bahwa kita sangat membutuhkan
"pemurnian", maka ia tidak akan mencari "pemurni" dan tak mungkin ia akan
mendapatkannya. Karenanya, penjelasan Al-Qur'an ini memainkan peranan besar yang
dapat menyeret Kristen menuju kesesatan.

Setelah aku memahami hal itu, sekarang aku meyakini bahwa Islam bukanlah suatu
langkah mundur ke belakang, melainkan sebuah langkah yang mengantarkan manusia
maju ke depan dan menuju tingkat yang lebih maju dari apa yang telah dicapai setelah
Almasih. Jika, kita boleh mengunakan istilah-istilah Hegel dan Marx, maka kita bisa
mengatakan bahwa Islam telah menghentikan Kristen di atas kakinya sendiri, setelah
sebelumnya Kristen berdiri di atas kepalanya sendiri.

Sementara kalangan Agnostis berasumsi bahwa kita tidak mungkin mengenal sesuatu
yang tidak ditangkap oleh pancaindra secara yakin, maka mereka berpendapat kepada
penegasan kemungkinan ketiadaan wujud hakikat di balik indra-indra itu.

Ini bukanlah sikap yang membutuhkan kecerdasan, melainkan lebih kepada alasan atau
justifikasi, dan bercirikan pemihakan. Mungkin lebih dekat kepada kejujuran dengan
dasar kemampuan pemikiran manusia terhadap investigasi --suatu pengakuan bahwa kita
tidak mampu sekalipun memberikan kemungkinan-kemungkinan terhadap sesuatu yang
gaib.

Ketika aku memegang pendapat ini, selama beberapa waktu, aku bisa mengira bahwa
suatu hari batas-batas sesuatu yang dapat kita ketahui bukanlah batas-batas hakikat. Hal
itu adalah keputusanku disertai keimanan. Dan, karena menyadari keterbatasan kita
dalam mengetahui segala sesuatu dengan yakin, karenanya aku memilih sikap jiwa yang
rendah hati daripada sikap sombong dan bodoh yang dilakoni oleh penganut
Agnotisisme, yang mementingkan keberanian dan kepuasan diri, dan orang-orang yang
biasanya hidup dalam keterasingan diri yang kaku dan picik.

Dengan penuh kesadaran, aku menyerahkan diriku dan pikiranku kepada hakikat yang
lebih agung, yang aku rasakan bahwa aku tiada lain hanyalah bagian kecil darinya. Aku
serahkan diriku kepada Zat yang lebih besar dari para pembesar dunia; Allah Yang
Mahabesar dari segala apa yang mungkin kita bayangkan."

Ketika aku mengatakan hal ini, sungguh aku tidak ingin menggiring seorang pun ke
dataran licin dengan berusaha mengenalkan Allah dengan sifat-sifat manusia. Jumlah
bilangan al-Asmaul Husna, yaitu 99 itu adalah satu persoalan. Sedangkan, terperosok
dalam dataran waham (asumsi) bahwa nama-nama metaforis (majaz) yang dibentuk
dalam bahasa manusia yang bisa menyifati atau meringkas karakter dan Zat-Nya adalah
persoalan lain. Dengan kadar bahwa kita adalah tawanan dari kamus yang kita buat
sendiri, dengan kadar yang jelas dari kemampuan kita --sekalipun dibantu wahyu-- nama-
nama itu tidak mampu diketahui kecuali beberapa percik dari hakikat Allah yang
menyeluruh.

Apa pun yang kukatakan, sesungguhnya hanyalah sedikit dari yang banyak.

Kemenangan bagi Islam


(Bonn, 4 Juni 1983)

Ada suatu peristiwa paling utama bagi Islam di Jerman akhir-akhir ini, ketika guru besar
teologi Protestan, Dr. Paul Schwartznow, menyusun sebuah buku bertitel "Al-Qur'an
Sebagai Petunjuk Bagi Umat Kristen", Stuttgart, 1982. Dalam bukunya, ia mengakui
kebenaran Al-Qur'an, sekalipun ketika terjadi kontroversi dengan injil.

Ia yang banyak berhutang budi terhadap pikiran-pikiran Karl Gustav Young dalam
bidang psikoanalisis, mengakui bahwa Al-Qur'an telah berhasil dalam mendatangkan
contoh-contoh asli yang bersesuaian dengan konsep "alam bawah sadar sosial". Hal ini
membawa ia untuk menegaskan bahwa Al-Qur'an adalah benar, sebuah wahyu murni
bukan buatan manusia. Al-Qur'an sekalipun tidak lepas dari kejadian-kejadian sejarah
yang melingkupinya, namun ia tetap independen dari konteks sejarah apa pun; tidak
dibatasi waktu dan mengandung hakikat inti. Paul mengumpamakan Al-Qur'an sebagai
bola kristal yang merefleksikan cahaya Tuhan dalam spektrum-spektrum yang tak
terhingga.

Ringkasnya, ia mendapat hidayah bahwa Islam adalah agama dan akidah pertama dalam
mentauhidkan Allah dan karenanya yang paling tua dan paling dinamis --dan jika tidak
ada komentar lain pun, sungguh ini sudah cukup untuk menjadikan Profesor Kristiani ini
telah menyadarkan umat Islam akan hakikat agamanya.
Sudah barang tentu, ia tidak menerima konsep Trinitas yang mengimplikasikan persatuan
Almasih secara jasmaniah dengan Tuhan. Akan tetapi, ia berujar, "Sesungguhnya Yesus
yang dikenal sejarah tak mungkin menoleri penuhanan atas dirinya."

Menurut sang pakar, dalam konteks ini kitab Perjanjian Baru telah mengalami tahrif
(distorsi) melalui penyelewengan penafsiran, jika bukan pemalsuan. Apa ada yang lebih
utama dari peristiwa tersebut, pada masa ini?

Bersih, Lebih Bersih, dan Paling Bersih


(Aachen, 16 Agustus 1983)

Tidak sekali seseorang merasa begitu jijik terhadap seseorang yang berasal dari bangsa
lain atau akidah lain, kecuali ia mengetahui bahwa ia bisa membedakan baunya orang ini,
tepatnya betapa busuknya si musuh ini.

Inilah perasaan orang Jerman terhadap orang Polandia dan Yahudi. Walaupun banyak
bukti di antaranya hasil polling pendapat yang menyatakan bahwa kebersihan orang
Jerman lebih dihubungkan dengan kebersihan trotoar jalanan dan jendela rumah daripada
kebersihan gigi mereka.

Pada saat ini, orang Jerman melakukan tindakan rasial terhadap buruh-buruh Turki.
Mereka (orang Jerman) melihat orang Turki berbeda dengan mereka. Ringkasnya,
menurut mereka, orang Turki kotor dan kumuh.

Orang Turki pun begitu. Mereka juga terjebak dalam kedengkian jiwa yang sama.
Mereka dengan penuh arogan memandang turis-turis Arab kaya yang "kotor" memenuhi
kamar-kamar hotel mewah di sepanjang selat Bosporus.

Sungguh, penyakit membanggakan ras ini menjadi bahan ejekan yang menarik, terlebih
jika umat Islam yang menjadi sasaran. Itu karena Islam sangat memperhatikan
kebersihan. Kenyataan bahwa seorang muslim diwajibkan shalat lima waktu, sehari
semalam. Itu mengisyaratkan ia mesti bersuci lima kali sehari --kain penutup kepala yang
biasa dikenakan wanita Turki sesuai dengan syariat Islam, ia mesti, mencuci rambutnya
beberapa kali dalam seminggu.

Dengan jujur aku katakan, sungguh sudah seringkali kutemui orang-orang yang membuat
aku flu karena bau mereka yang menyengat di opera Paris, Lincoln Center (New York),
atau di Teater Nasional Munich. Sebaliknya, aku tidak pernah menemui orang-orang
yang semacam ini di masjid. Apakah ini tidak berarti bahwa orang Islam jauh lebih bersih
ketimbang orang Jerman?
Umat Islam Jerman
(Bonn, 14 September 1983)

Untuk yang kedua kalinya, Sekolah Diplomat Departemen Luar Negeri Jerman, di Bonn,
menggelar seminar tentang Islam dari berbagai sisi. Tema "Muhammad sebagai Rasul"
pernah diangkat dalam sebuah muktamar pada tahun 1980.

Pada tahun ini panitia seminar mengundang tiga tokoh muslim anak negerinya. Mereka
adalah Muhammad A. Hoboum, Rolf Abdullah Bernard, dan aku sendiri. Dalam
presentasi yang kuajukan, aku bersandar kepada salah satu buku dari dua buah buku
karanganku tentang peran filsafat Islam (Cologne 1985, ISBN 3-8217-0043-2).

Ketika istirahat makan siang, kami membuat sedikit masalah karena menampik menu
daging babi. Apakah mereka masih tidak tahu bahwa mengkonsumsi daging babi
berbahaya dari segi kesehatan, karena daging itu tidak steril dari cacing pita. Ia juga bisa
meningkatkan kolesterol dan memperlambat proses pencernaan makanan dalam tubuh
--yang pada gilirannya bisa menimbulkan kanker lambung. Serta menyebabkan tumor,
luka eksim, dan rematik? Bukankah kita sudah cukup menyadari bahwa virus influenza
yang berbahaya itu bisa hidup di musim panas berkat keramahan daging babi?

Amma ba'du, pada tahun 1985, dengan angka 80 juta, produksi daging babi mencapai
angka tertinggi dalam sejarah pasar-pasar Eropa Bersatu.

Jika seseorang tidak berhenti mengkonsumsi daging babi selama beberapa waktu, ia akan
kehilangan nafsu makan, dan akhirnya mual karena bau daging ini. Sebaliknya, jika ia
tidak makan daging babi maka mungkin perutnya akan kesakitan.

Bukankah aneh bila Muhammad yang ummi, tidak pernah mendapat pengajaran dan
hidup di lingkungan yang berbeda, bisa memprediksikan itu semua? Tak ragu lagi ia
memiliki periwayat yang lebih pandai.

Tipuan Bahasa
(Bonn, 19 November 1983)

Seringkali kalangan fundamentalis Islam dituduh sebagai orang-orang yang suka


mendebat dan terlalu tekstual dalam menafsirkan Al-Qur'an. Otomatis tuduhan bahwa
kaum muslimin mengabaikan hakikat bahwa bagian besar dari Al-Qur'an tidak bisa
dipahami secara tekstual adalah dusta belaka. Mereka sungguh mengetahui bahwa
hakikat metafisika tidak sampai kepada kita, kalaupun sampai, itu hanya dalam simbol-
simbol bahasa yang bersandar dari pengetahuan intuitif yang sangat terbatas sekali.
Sesungguhnya pengakuan bahwa wacana-wacana yang berhubungan dengan persoalan-
persoalan alam kauniyah dan ushuludin (teologi) dalam Al-Qur'an mesti bersifat
metaforis (kiasan) adalah suatu persoalan. Sedangkan, sangkaan bahwa setiap orang bisa
memahami makna-makna metaforis ini yang terdapat dalam wahyu dengan yakin adalah
persoalan lain. Kaum muslimin tentu saja menolak adanya kemungkinan ini.

Menjadi jelas sekarang lewat para pakar analisis bahasa, seperti Fertez Mottner dan
Ludwig Fitzgenstein bahwa seluruh pikiran, mimpi, dan perasaan kita --yang datang dari
jalan intuisi atau ilham-- hanyalah sempurna jika itu terjadi dalam kerangka-kerangka dan
asosiasi-asosiasi yang dibatasi oleh bahasa kita. Karenanya, tiada keraguan bahwa kata
apa pun dari kata-kata bahasa sampai yang kita sebut sebagai istilah "abstrak" sekalipun
adalah hasil intuisi kita yang ditransfer ke dalam kamus bahasa kita. Begitu seterusnya,
sampai kita tidak dapat mengatakan apa yang tidak mampu kita gambarkan, atau
memikirkan sesuatu yang tidak mampu kita capai dengan intuisi kita.

Dengan latar belakang seperti ini, kaum muslimin mempercayai bahwa hakikat-hakikat
metafisika tidak mungkin kita transfer sebagai bagian dari wahyu kecuali dalam simbol
majas (metaforis) dan tidak ada jalan yang kuat baik melalui logika atau tasawuf untuk
menembus makna-makna di balik teks-teks wahyu.

Kesimpulannya, jika di antara petunjuk kecerdasan adalah menghormati keterbatasan


intuisi manusia yang sempit --seperti yang dianut oleh pakar-pakar kontemporer-- maka
tidak bisa dikatakan bodoh kehati-hatian seseorang dengan keraguan yang sama terhadap
penafsiran metafisika apa pun seperti yang dilakukan kaum muslimin.

Dalam menghadapi problema menghancurkan (tabdid) yang samar, yang bertentangan


(paradoks), dan makna-makna simbolis yang melingkupi sebagian teks Al-Qur'an, maka
kaum muslimin --dengan gaya filosofis-- adalah para pengkritik secara mutlak terhadap
perkara-perkara gaib para penganut aliran agnostisisme dan para penganjur aliran
semantik. [3] Hanya saja mereka mengakui bahwa solusi filosofis dan intuisi-intuisi
sufistis terhadap persoalan-persoalan metafisika tidak lebih dari hasil kekurangan kamus
bahasa kita; itu hanyalah main-main.

Dan, jika kita menilai kaum muslimin dari sisi ini, apakah mereka tidak dianggap orang-
orang yang berpandangan jauh ke depan, bervisi jelas, dan berhiaskan hikmah?

[3] Adalah aliran filsafat yang mengatakan bahwa istilah-istilah abstrak atau kulliyat
tidak mempunyai wujud yang hakiki. Ia hanyalah persoalan penamaannya, lainnya tidak.

Ada yang Aneh dalam Hal Ini


(Bonn, 29 Desember 1983)
Betapa banyak orang yang berusaha menelusuri kehidupan Muhammad saw. dan sejarah
perjalanannya dari tahun 570 sampai 632 M. Dalam konteks ini, kita dapati dua kitab
yang menarik dari sejumlah kitab sirah (biografi Rasulullah). Pertama, kitab klasik Sirah
Rasulillah karya Ibnu Ishaq yang di-tahqiq oleh Ibnu Hisyam pada tahun 200 H
--diterjemahkan oleh Prof. Gouyum, Oxford 1955. Yang satu lagi buku kontemporer
yaitu Muhammad dan Kehidupannya yang disusun dari referensi-referensi klasik (New
York, 1983) karya Martin Lings.

Jika kita cermati dari pengaruh kecenderungan terhadap penilaian masalah dalam
kerangka mukjizat, selain lewat tuntutan-tuntutan loyalitas politik, maka jelas bagi kita
bahwa Nabi Muhammad --dari referensi-referensi ini-- adalah seorang politikus yang
hebat, berkepribadian kuat, berkarisma tinggi, dan memiliki kemampuan taktis yang
cemerlang.

Hal ini terbukti jika dilihat dari rentang waktu antara hijrahnya ke Madinah dan futuh
Mekah. Beliau adalah seorang jenderal yang prestasinya melebihi Karl Von Clausewitz.
[4] Pada saat itu, Muhammad berhasil --dengan kecerdasannya yang luar biasa--
menerapkan dasar-dasar peperangan, baik dari segi ekonomi maupun mental prajurit.
Beliau juga sukses menggunakan negosiasi gencatan senjata sebagai alat politik luar
negeri.

Penerimaan beliau terhadap Perjanjian Hudaibiyah yang sempat menimbulkan


kekhawatiran di kalangan para sahabat merupakan manuver diplomasi tingkat tinggi.
Karena itu, orang-orang Mekah segera menyadari bahwa mereka telah menjerumuskan
diri mereka ke dalam penyerahan pada masa yang akan datang.

Dengan kejeniusan yang sama, Muhammad berhasil mempersatukan dua kekuatan


Madinah, Islam dan Yahudi dalam "Deklarasi Madinah" yang terkenal itu.

Jika seseorang mengambil pelajaran dari kesuksesan beliau di bidang perdagangan,


kebijaksanaannya sebagai hakim, kemampuan retorikanya, dan ketinggian sastranya,
maka ia dengan segera akan mendapatkan dirinya tak mampu menjelaskan bagaimana
hal-hal itu menghiasi diri pribadi seorang Arab, yang tak pernah mendapat pengajaran
(ummi) dan berdomisili di masyarakat yang dianggap terbelakang?

Ada yang aneh dalam hal ini. Tampaknya, ada campur tangan Illahi.

[4] Karl Von Clausewitz adalah seorang Jendral Prusia. Ia pernah menjabat sebagai
Direktur Akademi Militer di Berlin. Bukunya yang bertitel Tentang Perang mendapat
penghargaan tinggi dan dianggap sebagai referensi militer utama.

Pluralisme dalam Islam


(Luterzbach, 16 Februari 1984)
Sudah lewat setahun sejak Ahmad Von Denver menerbitkan "Beberapa Risalah Untuk
Saudara-saudaraku" yang berisi 12 risalah. Dalam risalah "Menuju Masyarakat Muslim",
ia mengkomparasikan antara ajakan untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam dan akidah,
sebagai prioritas utama dan usulan-usulan terbatas tentang bagaimana sampai secara
individual, langkah demi langkah, menuju taraf kesempurnaan dalam masyarakat Islam
(atau bisa juga disebut ukhuwah islamiyah).

Tema yang difokuskan oleh Ahmad, sebagaimana terdapat dalam Al-Qur'an berkaitan
dengan fenomena munafik.

Upaya-upaya ini punya akar yang dalam. Sepanjang sejarah Islam, pemuda muslim
mendirikan organisasi-organisasi rahasia yang kadang-kadang menjalankan gerakan tutup
mulut dan menggunakan sistem kelompok.

Karena kenaifan manusia dan mengakarnya rasa ego, maka tidak mudah mewujudkan
kemajuan di bidang agama, pada saat Ignatius Alioly dan Vladimir A. Lenin sukses
menguasai dunia dengan menciptakan krisis-krisis.

Sungguh bertambahnya kesempatan-kesempatan Islam di Barat, tidak hanya terhenti


dalam tataran pengalaman ajaran-ajaran agama secara kaffah saja, namun lebih dari itu,
juga menuntut keahlian-keahlian manajemen, khususnya di bidang pangan, organisasi,
dan transportasi.

Hari ini kami bertemu dalam suatu lesehan di Darul Islam, di desa kecil yang terletak di
selatan Frankfurt, untuk mendiskusikan bagaimana mengusahakan pengakuan Islam
secara resmi di Jerman.

Pengakuan resmi merupakan syarat penting untuk menyebarkan pengajaran Islam di


sekolah-sekolah dan untuk mengumpulkan pajak-pajak, seperti yang didapatkan gereja
melalui instansi keuangan negara. Dalam merealisasikan syarat penting ini, Islam dituntut
untuk bersatu di Jerman.

Seseorang tidaklah bersalah dalam memahami keinginan pemerintah Jerman dalam


berinteraksi dengan satu mitra yang kuat. Inilah letak masalahnya.

Umat lslam --seperti halnya orang Arab-- mewakili kelompok-kelompok yang masing-
masing berkeinginan keras untuk independen dan memainkan pluralisme dengan cara
yang tidak mungkin ditolerir atau dibiarkan oleh gereja. Bisa jadi, rasa tidak senang ini
timbul karena Islam tidak mengenal praktik ritus-ritus suci. Hal ini seperti yang terdapat
dalam agama Kristen, sekaligus dengan tuntutan-tuntutan kependetaan dan keuskupan
--praktik-praktik ritus suci dan hierarki kependetaan seringkali digunakan untuk
memperkuat persatuan dan kedisplinan.

Islam menyatakan meskipun hal itu dalam sistem khilafah --sampai beberapa waktu
setelah PD II usai-- toleransi yang besar dalam masalah-masalah penafsiran dan yang
berkaitan dengan ushuluddin (teologi).
Sudah tentu, vonis murtad terhadap seorang muslim selama berpegang teguh terhadap
dasar-dasar Islam dan mengakui keislamannya adalah di antara faktor-faktor penting
yang mempengaruhi terciptanya situasi ini.

Karena, jarang kita temui pelarangan kegiatan-kegiatan kelompok yang


mengatasnamakan Islam secara resmi, seperti yang terjadi terhadap kelompok
Ahmadiyah di Pakistan.

Umat Islam selalu memandang kemajemukan mereka sebagai sumber kekuatan, bukan
sumber kelemahan. Hal itu bisa dipahami, karena latar belakang lahirnya empat mazhab,
tarekat-tarekat sufi (seperti Qadiriyah, Baktasyiah, dan Naqsyabandiah) dan kelompok-
kelompok keagamaan (seperti Syiah dengan segala ordonya).

Di Barat friksi umat Islam menjadi beberapa kelompok, semakin bertambah atas dasar
keanggotan ganda dan bahasa. Hasilnya adalah kombinasi acak-acakan dari oraganisasi-
organisasi, budaya-budaya, dan akidah-akidah Islam di bawah kubah besar Islam.

Jika kelompok-kelompok ini memperhatikan saran Ahmad Denver, maka umat Islam di
seluruh negara. Eropa dan Amerika Utara akan segera menyadari bahwa mereka
menumpang kapal yang sama dan menuju arah yang sama.

Nabi Amerika
(Washington, 26 Mei 1984)

Ketika konferensi musim semi Menteri-menteri Luar Negeri NATO berlangsung, kami
menginap di Hotel Marriot Washington, milik keluarga Mormon. Itulah sebabnya
terdapat "Kitab Mormon Gereja Yesuit Untuk Pendeta-pendeta Kontemporer" di laci
meja samping tempat tidur. Semestinya teks-teks yang tertulis dalam bahasa Taurat, yang
ditemukan oleh Joseph Smith di Almira, New York, pada tahun 1830 disalin di atas
lembaran-lembaran emas (lantas lenyap segera setelah ditulis).

Hari ini kami dapati berjuta-juta manusia mengimani "wahyu Amerika" ini, ditambah
dalil baru bahwa tidak ada sesuatu yang begitu bodoh, kecuali ia telah menemukan orang
yang mengimaninya.

Tentu saja kita tidak membandingkan antara Islam yang hanif dan dongeng-dongeng
khayalan tersebut. Oleh karena, Islam tidak pantas dibanding-bandingkan.

Kitab itu aku kembalikan ke tempatnya semula, lalu kuhamparkan sajadah yang kubeli
dari Kenya. Kemudian, segera kulaksanakan shalat isya sebelum aku terlelap dalam tidur
yang nyenyak, setelah perjalanan sepuluh jam melintasi benua yang melelahkan.
Khitan
(Istambul, 9 Juli 1984)

Sungguh operasi khitan buat orang dewasa bukanlah hal yang mudah, walaupun yang
menjalankan operasi adalah ahli bedah rumah sakit modern di Nesantas.

Pada saat yang sama, khitan mengandung makna simbolis yang dalam yang membawa
seseorang melintasi rangkaian zaman yang panjang kembali ke masa Nabi Ibrahim, 3000
tahun yang silam. Khitan mencerminkan bahwa memeluk Islam adalah keputusan yang
tidak bisa diutak-atik. Keadaannya sama seperti keadaan anggota tubuh lainnya yang
berarti manusia tidak berhak untuk mengubahnya.

Tradisi khitan tidak diisyaratkan dalam Al-Qur'an. Ia adalah tradisi yang dibumikan oleh
Taurat, lalu tradisi ini dipelihara oleh Islam dalam kerangka adat kebiasaan yang sehat
dan terpuji, seperti memotong rambut dan kuku. Karenanya, kewajiban dalam
memasyarakatkan tradisi khitan mempunyai akar yang panjang dan dalam.

Adapun alasan-alasan yang dikemukakan orang-orang tua zaman sekarang tidak lebih
dari alasan praktis, kesehatan, dan seksual --selain alasan-alasan lahir.

Anekdot
(Istambul, 15 Juli 1984)

Walaupun Islam memerangi segala bentuk klenik, namun seseorang pasti sedang berilusi,
jika ia meyakini bahwa negeri-negeri Islam tidak mengenal "mata kedengkian", kekuatan
sihir, dan para penyihir wanita yang menghembuskan buhul-buhul, sebagaimana
diisyaratkan dalam surat al-Falaq.

Sesungguhnya pengharaman Al-Qur'an terhadap ramalan terhadap hal-hal gaib tidak


melemahkan adat membaca nasib orang dari dasar "cangkir kopi" yang kebanyakan orang
hampir mempercayainya.

Sekalipun kebanyakan orang-orang sekuler Turki telah jauh dari Islam, namun mereka
tidak mampu mengatasi kelemahan mereka dalam menghadapi praktik-praktik khurafat.
Seakan mereka menegaskan ungkapan, "Di mana iman lenyap, di situlah khurafat eksis."

Anehnya, sebagian praktik --yang mendekati sihir-- telah menyusup ke dalam tubuh
Islam sendiri, akibat kerancuan pemahaman terhadap surat Yasin di mana termasuk yang
diyakini bahwa membacanya --terlebih lewat seorang perantara baik dihadiahkan untuk
yang hidup maupun yang telah mati-- mempunyai faedah yang mujarab. Tetapi,
bagaimana keadaannya jika seseorang menjadikan surat ini atau ayat lain sebagai jimat?
Bukankah hal ini dianggap menghadapi qadar sebagai senjata melawan kehendak Tuhan?

Di Turki ada beberapa wanita yang mengasamkan susu yang telah dijampi dengan surat
Yasin dan menjadikannya sebagai obat atau penolak hasad seseorang (mata kedengkian).

Manusia menurut tabiatnya cenderung kepada hal-hal yang tidak mengenal kata "capek"
untuk mempermainkan nasibnya dan nasib orang lain, mengetahui keadaan masa depan,
dan untuk menundukkan kekuatan gaib.

Sayang sekali Islam belum mampu memberantas kerusakan ini. Apakah Al-Qur'an mesti
mengulang lebih dari yang ia telah lakukan bahwa tidak ada seorang pun yang
mengetahui kapan kiamat terjadi. Dia-lah yang membalas dan menghukum dengan
kehendak-Nya dan tak ada yang mampu memberi syafaat tanpa seizin-Nya?

Apakah sebagian orang memandang agama Islam telah berlebih-lebihan dalam


rasionalitasnya? Apakah sebagian umat Islam merindukan melihat tuhan Bizantium yang
dilukis pada dinding mosaik emas? Atau, tuhan disalib yang bisa disentuh? Atau, tuhan
anak yang tidur di keranjang bayi? Auzubillah, aku berlindung kepada Allah.

Istigfar Ketika Menang


(Roma, 15 Oktober 1984)

Di tengah-tengah perjalanan pulang dari ceramah yang kusampaikan di akademi


pertahanan yang berada di bawah naungan NATO tentang "Opini Umum dan
Pertahanan", aku mendapatkan waktu luang di Bandara Fiomichino untuk menelaah surat
al-Nashr (surat ke-110). Dulu aku pernah mengenal teks dan makna surat ini, namun aku
khawatir salah mengucapkannya. Lain, aku segera menemui lelaki yang bertopi tarbusy
ala Tunisia di ruang pemberangkatan sambil mengucap salam, "Assalamu'alaikum."

Ketika ia mengetahui maksudku, ia segera membaca surat al-Nashr, "Jika datang


pertolongan Allah dan kemenanganNya....", seakan-akan ia sudah menunggu permintaan
ini dariku.

Sesuai dengan ayat terakhir surat ini, Allah memerintahkan umat Islam agar tidak diliputi
rasa bangga yang berlebihan saat kemenangan menghampiri, bahkan diperintahkan agar
beristigfar dengan penuh khusyu.

Betapa mencengangkan prinsip ini. Sejarah diplomasi akan berbeda seandainya para
politikus memegang teguh nasihat ini, "Bukankah Perang Dunia II bisa dihindari, apabila
Clemenso dan Juan Care sungguh-sungguh melaksanakan isi surat al-Nashr pada tahun
1919 daripada membalas dendam kepada Jerman?"
Sekilas tentang Deonisius
(London, 24 Oktober 1984)

Paman Hugo Paul, pendiri aliran "Dadaism" [5] di Zurich, setelah Perang Dunia II usai,
tidak menyandarkan kemasyhurannya dalam kapasitasnya sebagai penyair yang memakai
metode persesuaian rima semata. Namun lebih dari itu, ia melakukan kritik sastra yang
mendalam terhadap masyarakat masa lain dan masa kini. Di antara karyanya, "Kritik
terhadap Kalangan Cendikiawan Jerman" (Bern 1919), "Hasil-hasil Reformasi" (Munich
1924), dan "Lari dari Zaman" (Munich 1927).

Termasuk yang sering disebut adalah sumbangannya yang berharga dalam teologi lewat
bukunya Kristen Bizantium yang dirilis pada tahun 1923 di Munich (edisi kedua tahun
1979).

Buku ini menceritakan Deonisius, seorang pendeta aneh penyusun ketuhanan malaikat,
yang dianggap orang-orang pada zaman pertengahan semasa dengan Pendeta Petrus dan
pada gilirannya saksi pertumbuhan Kristen. Karena sebab ini dan sebab pengaruh tulisan-
tulisannya, maka ia mendapat persetujuan (justifikasi) dari Pendeta Thomas Aquaweiney.

Pada saat pengetahuan kita terhadap pribadi Deonisius berkurang --yang kemudian
disebut Deonisius terdakwa-- pengetahuan kita bertambah terhadap sumber-sumber
tulisannya lebih dari yang disampaikan oleh Pendeta Thomas Aqueney. Siapa pun
Deonisius ini, ia hidup di pengujung abad ke-5 dan awal abad ke-6. Dia sangat
terpengaruh oleh Brocleus, sampai-sampai ia menjadi pendukung aliran neo-Platonisme
dan menempuh metode Gnostisisme.

Deonisius telah menyembunyikan "ketuhanan batin" dan yang mengandung renungan-


renungannya dalam lapisan bangunan alam --pihak gereja segera menerimanya di antara
ajaran-ajaran pertamanya 600 tahun setelah wafatnya Almasih.

Deonisius, sebagai sufi Yunani, mempunyai kepentingan khusus bagi para pelajar akidah
Islam, jika mereka ingin mendalami beberapa segi sufisme Islam dan mazhab Syiah,
khususnya pada konsep-konsep yang berkaitan dengan "cahaya", "ilham", "TuhanYang
Mahatinggi", "jiwa sufi" dan "persatuan dengan Allah".

Sebagai penghormatan terhadap Deonisius, kita kutip dialognya yang pertama kepada
Gaeos, "Sesungguhnya konsep hakiki terhadap Allah adalah penyerahan diri akan
ketidaksanggupan dalam menggambarkan-Nya", dan "Jika seseorang mengklaim bahwa
ia telah melihat Allah dan mampu memahami apa yang ia lihat, maka sebenarnya ia tidak
melihat-Nya, karena zat-Nya jauh dari pencapaian segala pengetahuan dan semua wujud.
Ia melampaui di atas pengetahuan dan pemikiran keadaan-Nya karena zat-Nya lebih
luhur dari segala makhluk. Karenanya, ketidaksanggupan yang sempurna dalam
menggambarkan-Nya (tashawur) adalah tashawur hakiki baginya."
Hugo Paul juga berhasil membuktikan bahwa Deonisius telah menyelesaikan banyak
teori dan konsep yang diambil dari sihir teori Gnostisisme, serta mempercayai kekuatan
tersembunyi, dan menundukkannya untuk dikuasai manusia. Di antara ritual-ritual
penyembahan cahaya ala Persia yang menyerupai ibadah-ibadah rahasia yang dalam,
yang berkembang ke teori-teori alam yang asing, khususnya yang berhubungan dengan
karakter, kedudukan, jumlah, tugas, dan tingkatan-tingkatan piramida malaikat.

Pandangan ini memberi pengaruh yang membekas terhadap dunia Kristen-sampai saat ini
--apalagi bertolak dari asumsi bahwa materi secara umum dan aspek esoteris (rasa) dalam
diri manusia secara khusus. Ia mencerminkan sisi yang merosot, bahkan yang jelek dari
manusia. Konsep "Mani" ini dan penambahan karakter setan atas alam sebagai titik tolak
konsep (tashawur) adalah tangga-tangga tertinggi atas tingkatan-tingkatan yang lebih
luhur yang bisa dicapai oleh manusia menuju kemurnian dan kesucian.

Sungguh semua teori-teori tersebut mendekati penafsiran-penafsiran yang dikemukakan


oleh Abu Hamid al-Ghazali yang didasarkan atas surat an-Nur ayat 35, sedangkan "alim
besar" ini sendiri adalah cahaya abad ke-11.

Banyak kalangan yang mengomentari kitab-kitab filosof yang multibakat ini sebagai ahli
hukum, serta pakar teologi yang memberantas pemikiran metafisika "kerancuan para
filosof" dan yang sangat berharga, yaitu Ihya Ulumuddin dan yang berbau rasional
i'tirafat (pengakuan-pengakuan). Kitabnya yang berjudul Misykat an-Nur menunjukkan
bahwa al-Ghazali adalah seorang sufi.

Hari ini, kutemukan edisi terjemahan kitab ini di pameran kitab-kitab Islam di Seven
Sisters Road London, yang dilakukan oleh W. Gerdner yang memberiku inspirasi di
ruang tunggu Bandara Heathrow.

Al-Ghazali, melalui ketajamannya terhadap pandangan-pandangan Gnostisisme dan neo-


Platonisme yang mirip dengan pemikiran Deonisius, telah berhasil menafsirkan kata-kata
yang samar dan pelik dalam Al-Qur'an.

Dari sini kata roh, apakah ia dipahami sebagai jiwa atau makhluk rohani, ilham ilahi,
ataukah roh itu berjasad sebagai roh suci?

Kata mutha, apakah ia berarti Jibril yang oleh Plato diartikan pencipta alam materi
--artinya yang melaksanakan perintah Allah dalam penciptaan alam, bukan yang
menguasai atas makhluk semata-- ataukah ia emanasi pertama?

Kata al-Kalimah, bisa diambil dari makna literalnya, yakni kalimat atau personifikasi
kata Allah, roh alam, ataupun emanasi.

Kata al-Amr, apakah yang dimaksud dengannya perintah Allah atau perintah penggerak
pertama dalam penciptaan alam dengan izin Allah?
Kata an-Nur, apakah ia 'cahaya' menurut makna literalnya; ia berarti 'zat' Allah;
Muhammad atau pencipta alam materi menurut neo-Platonisme?

Dalam upaya penafsiran istilah-istilah Al-Qur'an, konsep ini tampak menjadi pusat
pertemuan aliran Gnostisisme dan neo-Platonisme dalam upaya men-tashawur-kan Allah
SWT sebagai yang teragung, yang tidak berubah dan yang lebih luhur dari yang
menyibukkan diri dalam proses penciptaan itu sendiri. Ia hanya diikat ke tingkatan yang
paling rendah sebagai "penggerak pertama".

Hal ini tidak menuntut banyak khayalan untuk mengetahui bahwa penglihatan-
penglihatan batin al-Ghazali melalui pengujian aspek kosmologi telah membawa ia dekat
dengan konsep "anak Tuhan", yang hampir-hampir merusak dasar Islam yang terpenting,
tauhid, yakni memastikan pengesaan Allah.

Al-Ghazali telah menampakkan sementara waktu seakan-akan ia menyepelekan kaidah


dasar dalam penafsiran istilah-istilah Al-Qur'an, sebagaimana yang diisyaratkan dalam
surat Ali lmran, ayat 7.

Allah berfirman, "Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur'an) kepada kamu. Di


antaranya (isinya) ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur'an dan
yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong
kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk
menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang
mengetahui takwilnya melainkan Allah... "

Dan, jika Anda memberitahukan padaku tentang hubungan antara seorang sufi muslim,
penganut aliran neo-Platonisme Yunani-Persia, dan penganut aliran Gnostisisme, maka
aku akan memberitahukan keyakinanku kepada Anda pandangan-pandangan mereka
semua.

[5] Dadaism adalah aliran dalam seni dan sastra. Tersebar di Swiss dan Prancis sekitar
tahun 1916-1920. Aliran ini berciri khaskan kebebasan format lepas dari ikatan-ikatan
tradisional.

Mereka Pikir Aku Bergurau


(Brussel, 27 November 1984)

Hari ini, dalam kapasitasku sebagai Ketua Konferensi Tahunan NATO untuk Direktur-
direktur Penerangan di Kementerian Pertahanan, aku mempresentasikan secara detail
kepada para peserta tentang arah-arah opini umum pada golongan menengah.

Aku berupaya menuju titik-titik perubahan bertahap dalam sadar, khususnya di antara
generasi mendatang. Aku banyak menilai di antara mereka memegang teguh idealisme,
cenderung pesimistis, dan mereka mendukung nilai-nilai masa era pasca materialisme.
Mereka juga mengungkap kebutuhan mendesak mereka, khususnya terhadap
kebersamaan dan persiapan untuk mengikuti secara moral terhadap kepemimpinan-
kepemimpinan yang kuat. Hal ini tampak jelas pada rasa menyerah di setiap pementasan
musik yang diisi dengan dansa rock 'n roll.

Mayoritas anak-anak muda itu melukiskan bahwa mereka terkena depresi dan mengalami
kegoncangan emosi. Kepercayaan mereka terhadap demokrasi, lembaga-lembaga
pemerintahan, kekuasaan-kekuasaan umum dan khusus, secara umum terguncang. Itulah
sebabnya pandangan masa depan mereka diliputi keraguan yang membahayakan.

Dalam presentasiku, kutunjukan bahwa fenomena-fenomena ini hanyalah puncak gunung


es yang di bawahnya tersembunyi kebobrokan-kebobrokan sosial, dan kultural yang
diprediksi sejak lama oleh para pemerhati sosial yang sadar di Universitas Harvard,
seperti Daniel Bell dalam bukunya "Paradoks Kebudayaan dalam Kapitalisme", dan
Profesor Leo Mollan dari Belgia dalam bukunya "Konspirasi Eropa".

Aku memperkuat analisis-analisis mereka tentang era sekarang, yaitu era ledakan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Disebutkan, "Sesungguhnya masyarakat Barat yang
bercirikan demokrasi, undang-undang, dan kemajuan teknologi, artinya masyarakat yang
telah mencapai era industrialisasi dan kapitalisme hanyalah berhutang budi dalam
perkembangannya dalam menghormati nilai-nilai Yahudi-Kristen, dan penerapannya
dengan cara yang telah dipengaruhi oleh faktor-faktor humanisme dan liberalisme. Nilai-
nilai ini menemukan kaidah-kaidah dasarnya dalam ideologi-ideologi dan teori-teori
agama yang satu bentuk dalam jiwa kemanusiaan, persaudaraan, dan Kristus, "wasiat
Tuhan" untuk memakmurkan bumi dan keutamaan-keutamaan. Hal itu seperti kerja
keras, hemat, dan dana penangguhan.

Jelaslah sekarang bahwa kemajuan ekonomi di Barat hampir memusnahkan atau


meracuni dirinya sendiri setiap kali mencapai kesuksesan. Karena, setiap kali taraf
kehidupan meninggi dan kemakmuran bertambah, maka sistem ini berjalan menuju erosi
fundamen-fundamen yang sampai saat ini masih mampu meneguhkan pilar-pilar
pendukungnya.

Dalam proses ini, nilai-nilai yang telah mengakar menuju penyimpangan. Bisa saja
individu menuju alienasi diri (terasing), stabilitas menuju kekacauan, toleransi menuju
marginalisasi nilai-nilai, keseimbangan menuju memegang teguh tradisi, kemakmuran
menuju pemujaan materi, kerja keras menuju konsumerisme berlebihan, hemat menuju
gila kerja, kompetisi menuju persaingan abadi, perasaan menuju kegelisahan,
persaudaraan menuju keseluruhan, persamaan menuju perendahan, rasa percaya kepada
Tuhan menuju rasionalisme yang butuh untuk disegerakan.

Singkat kata, aku menguraikan karakter-karakter asosiasi paradigma yang menyusupi


dunia barat. Dan, aku mempertanyakan seandainya instrumen-instrumen demokrasi kita
menikmati kedinamisan dalam menghadapi perubahan-perubahan ini? Apakah Barat
menjadi korban keelastisannya sendiri?
Ketika para direktur penerangan "pemberani" yang sedang mengelilingi meja tidak
mampu menjawab, mereka dilanda kesunyian yang panjang dan menyulitkan. Mereka
tidak berjanji untuk mendengar analisis problem hubungan masyarakat yang menjadikan
penguasaan atas kebobrokan agama di Barat sebagai topik utama.

Salah seorang wakil mengumpulkan keberaniannya, dan bertanya apa ada kesempatan
agama bangkit kembali di Barat? Aku menjawabnya, aku tidak melihat kesempatan yang
memungkinkan bahwa gereja-gereja saat ini memanfaatkannya untuk mengembalikan
kepercayannya di hadapan generasi muda. Aku juga menafikan kemungkinan
pembentukan ideologi baru yang bersandar pada instrumen-instrumen sosiologi semata.

Kutambahkan, "Sebagaimana kubuktikan dakwaan apa yang dituduhkan terhadap 'gereja-


gereja pemuda rahasia' dan kelompok-kelompok pemuda, maka sebenarnya generasi ini
merasakan kebutuhan yang mendesak terhadap pilar-pilar ideologi dan agama. Harapan
ini masih hilang pada saat ini --karena pemuda masih pesimis terhadap alternatif-
alternatif Marxisme dan aliran figur legendaris. Bersamaan dengan itu, maka tidak jauh
bila kebutuhan mendesak akan pengamalan agama menemukan sesuatu yang pernah
mereka rasakan. Mereka menemukan terapi penyembuhan dari kejahatan-kejahatan
materialisine, pengikat rasa persaudaraan, penghapus lapisan otoritas keagamaan
(Kristen), dan yang mampu dengan kewajarannya bahwa yang menjadi agama fitrah
adalah Islam."

Para peserta konferensi menganggap apa yang kusampaikan tadi sebagai guyonan
walaupun aku sendiri tidak main-main.

Wanita Menurut Islam


(Luterzbach, 24 Desember 1984)

Para pemuda muslim Jerman yang baru saja memeluk Islam berkumpul di Darul Islam,
sebagai persiapan untuk menunaikan ibadah umrah. Situasi tampak tegang karena
Kedutaan Arab Saudi belum memberikan visa masuk untuk beberapa wanita. Alasannya,
mereka belum bersuami atau tidak di dampingi mahram, karena orangtua dan saudara-
saudara mereka belum memeluk Islam.

Penolakan pemberian visa masuk mereka oleh pihak Kedutaan Arab Saudi didasari
kekhawatiran pergaulan bebas antara pria dan wanita.

Juga karena manasik haji dan umrah tidak membolehkan keikutsertaan wanita lajang
selama tidak di dampingi oleh mahram. Kaidah tersebut mempunyai alasannya sendiri
mengingat kondisi yang sulit dalam hal transportasi, konsumsi, dan iklim sewaktu haji.
Adapun situasi zaman sekarang, kaidah dasar ini kehilangan salah satu rukun
terpentingnya --para pakar fikih zaman dulu belum memprediksikan adanya seorang
wanita sendirian yang akan berangkat haji dalam keluarganya.
Kementerian Luar Negeri Arab Saudi --berkat bantuan Muhammad Shiddiq al-Duubah,
seorang imam yang kini berkewarganegaraan Jerman dan pernah belajar di Madinah--
berhasil menemukan jalan keluar dari krisis ini dengan memberikan izin kepada sebagian
calon haji wanita yang sudah lanjut usia, setelah beberapa kali penundaan untuk
bergabung dengan jemaah di Mekah.

Orang-orang nonmuslim seperti biasa tidak yakin akan kemungkinan pemberian izin bagi
wanita untuk masuk ke dalam masjid atau pergi haji. Bahkan, seseorang kadang-kadang
menemui orang-orang yang mempercayai mitos tentang menurunnya gairah dan
kebugaran wanita muslim.

Betapa jauhnya orang ini dari kebenaran. Aneh sekali mitos-mitos ini masih eksis,
bahkan berhadapan dengan dalil-dalil yang menyingkapkan kesalahannya.

Sungguh wanita dalam Islam tidak hanya menikmati kegairahan saja. Ia berdiri
berdampingan dengan pria dalam posisi yang sama menurut agama. Karenanya, wajib
baginya jika mampu melaksanakan ibadah haji. Jika benar bahwa wanita tidak boleh
bercampur dengan pria selama mendirikan shalat di masjid, maka situasi demikian mirip
dengan posisi wanita Katolik yang duduk di barisan kiri bangku-bangku gereja.

Menurut David Lung, penyusun buku "Ibadah Haji Hari Ini" (Albania, New York, 1979),
pada tahun 1972, jumlah umat Islam yang menunaikan haji mencapai 479.399 jiwa,
sedangkan 170.864 jiwa, atau 34,6% diantaranya adalah wanita.

Di bidang-bidang yang lain seperti hukum --wanita telah menikmati-- menurut syariat
Islam sejak 1400 tahun yang lalu, kedudukan hukum yang tidak diperoleh oleh saudari-
saudari mereka dari Eropa, kecuali dengan susah payah pada abad ke-20 ini.

Sebagai contoh mengenai nikah. Nikah menurut Islam tidak mengandung pengaruh
negatif apa pun terhadap hak-hak milik istri. Hal itu karena, ia sendirilah yang
bertanggung jawab dalam mengatur barang miliknya sebelum nikah, dan
mendayagunakan dengan cara yang ia sukai. Sungguh, perbedaan antara barang milik
suami-istri -sebagai ganti dari perlindungan suami-- yang dianggap sebagai prestasi baru
di Eropa telah mencerminkan kedudukan hukum dalam rentang waktu yang panjang
dalam syariat Islam.

Jika benar bahwa anak lelaki mendapatkan bagian yang lebih besar daripada wanita
dalam kasus waris, hal ini karena hanya suami yang dituntut untuk memberi nafkah
keluarganya. Dan, jika sang istri tidak mampu menyusui bayinya, maka ia berhak
memaksa suaminya untuk memakai jasa wanita pemberi susuan. Istri adalah pemilik
keputusan akhir dalam pendidikan anaknya. Ia juga bisa menuntut talak dari suaminya.

Seorang wanita muslimah juga tidak terlarang --dari segi prinsip dasar-- bekerja di
bidang-bidang yang sesuai dan proporsional. Para muslimah tempo dulu ikut berperang
sebagai pembantu dalam Perang Uhud (tahun 627 M). Bahkan, Siti Aisyah (istri Rasul)
memimpin Perang Jamal (656M).
Ada beberapa topik yang terbuka untuk didiskusikan seputar persamaan wanita dalam
Islam, walaupun aku yakin wajib atas si pengkritik melihat fakta-fakta yang aku tolak
sebelum secara frontal menyerang Islam dengan dalih pembebasan wanita.

Mengapa Para Sufi Tergelincir


(Aschaffenburg, 26 Desember 1984)

Idris Shah menyadari, sama halnya dengan para sufi bahwa hanya dengan membaca
buku-buku (tentang sufi, pen.) tidak membuka pintu bagi seseorang untuk berjalan di
jalan tasawuf. Namun demikian, ia berhasil menyusun buku demi buku yang bermanfaat
tentang hikmah para Darwisy dan Majusi. Tulisannya juga mampu menyingkap tarekat-
tarekat tasawuf yang terkenal melebihi susunan para pakar sejarawan tasawuf, khususnya
buku "Dimensi-dimensi Tasawuf dalam Islam" (Shebi Hall;1975) karangan orientalis
Barat spesialis bidang ini, Prof. Annemarie Schimmel (guru besar Universitas Bonn dan
Harvard).

Sungguh bisa dianggap baik, pendapat yang mewajibkan agar para pengkaji tasawuf
bersikap skeptis total terhadap Allah dalam validitas logika manusia, dan pemikiran
rasional sebagai instrumen untuk pengetahuan metafisika. Pada saat yang sama, maka
pintu masuk yang buntu bukan alternatif masuknya lorong buntu. Dan, menerima bahwa
penggunaan pendekatan rasional untuk memecahkan problematika alam wujud tidak
representatif, tidak lain berarti penggunaan pendekatan irasional menjadi lebih banyak.

Sebaliknya, konsep tasawuf tidak berhasil pada bidang yang intuisi gagal mencapainya.
Karena konsep tasawuf, pada gilirannya, tidak lain daripada hasil produk pengetahuan
intuitif.

Tidak ada manfaat yang bisa diharapkan dari baik pengalaman yang cukup selama kita
tidak mampu mengartikulasikannya dengan bahasa kita. Oleh karena itu, sampai suasana-
suasana ilham yang timbul dari kalbu seseorang sufi tidak mungkin dibatasi, atau
ditetapkan kejadiannya, kecuali dalam batas-batas kerangka sempit pemahaman-
pemahaman kebahasaan yang bersumber dari pengalaman intuitif kita. Dengan ungkapan
lain, jalan kesufian bukan alternatif sama sekali.

Tidak ada jalan di hadapan kita di luar batas-batas instrumen intuisi kita. Juga tidak ada
rasional atau irasional yang lepas dari intuisi. Juga tidak ada ilham yang bebas dari
asosiasi-asosiasi makna yang terbatas sebelumnya --yang timbul dari kosakata-kosakata
bahasa yang kita buat sendiri.

Walhasil, tidak ada jalan untuk meneliti hakikat fundamental tentang sesuatu yang
diyakini oleh seorang sufi bahwa ia benar-benar melihat dengan mata batinnya atau ia
mendengar dengan telinga batinnya. Para sufi berasumsi bahwa mereka mampu
menyingkap para dajjal dengan mudah, dan manusia pada umumnya. Sambil dituntut
untuk menyingkap obat penawar segala penyakit dan melihat keajaiban-keajaiban.
Mereka membuat sendiri para penghubung mereka --sebutan terhadap wali-wali saleh di
Maroko yang mampu menggantungkan gunting-gunting di atas kuburan mereka; jika para
ahli hikmah karismatik muncul sebenarnya.

Keraguan yang berlebihan menjadi hal biasa setiap kali seorang sufi hendak menyatu
(ittihad) dengan Allah. Karena hal ini bisa membawa dia pada waham (prasangka)
wihdatul wujud dalam dirinya, sementara Allah, menurut Islam, Mahatinggi.

Sungguh, hal ini termasuk syirik yang bersandar pada konsep wihdatul wujud yang
timbul dari keinginan manusia, karena bersatu dalam tataran ilahiah sebelum waktunya,
cukup membangkitkan kekhawatiran. Lebih buruk lagi, para sufi berasumsi bahwa
sebagian mereka --dengan mendisiplinkan diri pada tarekat yang benar dalam beribadah--
mampu mencapai makrifat lewat ilham khusus dengan cara yang lebih utama daripada
wahyu Allah yang diturunkan kepada para nabi. Ini adalah bentuk ekstrem yang bisa
meningkat ke taraf kekufuran.

Sungguh, pria dan wanita --sebagaimana diciptakan oleh Allah yang Mahasempurna.

Dalil Injil
(Gelsenkirchen, 4 Februari 1985)

Shahib Mustaqim Balkhair, dalam karyanya yang berjudul "Dalil Injil" (Fellar Swaist,
1984) berhasil mengumpulkan teks-teks yang terdapat pada Perjanjian Lama dan Baru
yang menunjukkan keautentikan Al-Qur'an, secara umum dan kebenaran risalah Nabi
Muhammad saw secara khusus.

Hanya sedikit para muslim Barat kontemporer yang menggeluti proyek kajian
perbandingan antara Injil dan Al-Qur'an. Itu adalah di luar kesanggupan Islam atau
Kristen dalam membongkar teologi agama lain, seperti yang selalu dilakukan oleh Prof.
Hans Kung --para teolog Kristen, seperti Adolf Von Harnack, Adolf Slater, Paul
Schwartznow mengakui bahwa Al-Qur'an mengandung penjelasan paling autentik
tentang kedudukan, peran, dan karakter Almasih. Karenanya, Al-Qur'an mengingatkan
umat Kristen akan masa lain mereka.

Tampaknya, hanya ada satu hubungan antara Perjanjian Baru dan Al-Qur'an yang
menyibukkan pemikiran para muslimin Barat, yaitu ramalan akan risalah Muhammad
saw dalam Injil Yohana (16:14), (13:166). Umat Islam setuju -juga disetujui oleh Prof.
Hans Kung-- bahwa bacaan yang benar terhadap ayat-ayat tersebut adalah Periklytos
(berarti 'Ahmad' dalam Bahasa Arab) bukan Parakletos menyiratkan kedatangan nabi lain
setelah Almasih dan nabi itu adalah Muhammad saw.
Penting untuk disebut, kesepakatan bahwa kata Parakletos (yang terdapat dalam Injil
Yohana 26:14) [6] tidak menunjuk pada roh kudus. Tampak dengan jelas kontradiksi
antara teks Injil Yohana (13:16) [7] dan yang terdapat dalam cetakan-cetakan Injil yang
lain, semuanya menafsirkan roh kudus. Hal ini terjadi akibat pengaruh konsepsi
Helenisme dan Gnostisisme yang merembes ke dalam teks Injil --yang tentu saja
diragukan keautentikannya. Injil-injil juga itu tidak cukup terjebak dalam distorsi yang
dilakukan oleh pakar-pakar teologi Kristen. Adalah hal logis, jika pertanyaan berikutnya
dimulai dengan, bukankah cukup bagi kita Al-Qur'an sempurna dan pembenar? Apakah
para nabi membutuhkan dalil khusus menurut hawa nafsu mereka? Dan apakah
bermanfaat kita memperkuat Al-Qur'an dengan dokumen-dokumen seperti kebanyakan
Injil-injil, khususnya Injil Yohana, yang ia sendiri sangat membutuhkan orang yang
menjustifikasi keautentikannya?

[6] Ayat tersebut adalah, "Dan aku memohon dari tuhan Bapak, lalu Ia menganugerahkan
kalian seorang penghibur yang agar ia tinggal bersama kalian abadi selamanya." (16:14)

[7] Ayat tersebut yaitu, "Adapun tatkala datang ruh Al-Haq maka ia menunjuki segenap
kebenaran kepada kalian karena ia tidak bicara dari dirinya sendiri akan tetapi segala
yang ia dengar, ia bicarakan dan ia beritakan dengan perkara-perkara ayat-ayatnya."
(13:16)

Rasionalisme, Kebebasan, dan Cinta


(Brussel, 7 Februari 1985)

Marcheile H. Boisot, lewat artikelnya yang berjudul "Sistem Nilai Barat: Sebuah Senjata
Etika"--dalam harian Akademi Militer Eropa di Luxemburg, edisi 3/84-- berhasil
menciptakan kesuksesan mencengangkan dalam menguraikan inti problem. Ia melakukan
analisis terhadap situasi sistem nilai Barat kontemporer. Dia mengakhiri artikelnya
dengan kesimpulan bahwa peradaban-peradaban selalu berjalan menuju krisis jika
mengizinkan, seperti yang dialami Barat sekarang, karena goncangnya tiga nilai utama:
rasionalisme, kebebasan, dan cinta.

Kebebasan yang tidak didasari cinta bisa berubah menjadi kekacauan. Rasionalisme yang
tidak didasari cinta akan berakhir dengan timbulnya kebakaran. Cinta yang tidak
dibarengi rasionalisme bisa menghancurkan dirinya sendiri. Rasionalisme yang kosong
dari kebebasan berubah sifatnya menuju "Kepulauan Gulag." [8]

Anda tinggal mengganti term "cinta" dengan ukhuwah, menghormati ilmu pengetahuan
sebagai ganti rasionalisme, kehormatan individu sebagai ganti dari kebebasan, agar Anda
mengetahui mengapa peradaban Islam yang hakiki mampu menghindari instabilitas yang
kini menimpa nilai-nilai fundamental Barat.
Hari ini, di kantor NATO, aku membagikan naskah-naskah artikel ini kepada para pejabat
Konferensi Pers Nasional, sambil menganjurkan mereka agar melupakan --walau
sejenak-- kesibukan-kesibukan mereka. Hal itu agar mereka merenungi kewajiban
mereka dalam jangka panjang, yaitu menghadapi revolusi kebudayaan yang bisu yang
hampir-hampir kita tidak merasakannya. Dan, ia sedang merayapi fondasi sistem nilai
Barat.

[8] Cerita Solgestein yang masyhur tentang tahanan politik yang mengalami penyiksaan
yang sangat kejam pada masa rezim Soviet yang lama.

Seandainya Tuan Hakim Tidak Mempermainkan Kata-


kata
(Brussel, 8 Februari 1985)

Ketika orang-orang Kristen terperosok ke dalam jurang kekeliruan dalam upaya


pembelaan rasionalitas doktrin trinitas. Pertama, mereka menempuh jalan permainan
bahasa, kemudian berakhir dengan berubah pikiran sambil beralasan bahwa trinitas
adalah rahasia dan karenanya sangat sulit untuk diinterpretasikan.

Seputar topik ini, seorang reporter harian Frankfurt Zeitung, hari ini dalam rubrik
"Catatan Buat Editor", menurunkan sebuah esai kecil yang ditulis oleh Dr. Gerhard
Muller, mantan Kepala Pengadilan Tinggi Buruh di Jerman. Esai itu menyebutkan bahwa
Almasih memiliki karakter yang bercampur. Artinya, setengah tuhan, setengah manusia,
dan hubungan antara tuhan dan manusia (dalam diri Almasih) adalah model unik yang
menyebutkan tidak seorang pun manusia menemukan bandingannya dalam sejarah
agama-agama --tuan Muller telah melakukan kesalahan karena berdalil dengan
revivalisme yang tidak mungkin dihubungkan dengan sesederhana ini.

Muller mengatakan bahwa Almasih selalu dikenal bahwa dialah tuhan, karena statusnya
sebagai anak tuhan yang mendahului wujudnya, ia selalu mencerminkan Allah, dan ia
senantiasa adalah tuhan ketika menerima sifat kemanusiaan dari Maryam. Artinya,
dengan perantara roh tuhan. Peristiwa ini meningkat sampai dianggap sebagai permulaan
baru kemanusiaan yang perjalanannya diungkap oleh Almasih dengan cara yang pasti.

Begitulah, seandainya saja tuan yang mulia mampu menghadapi dorongan keutuhan
kalimat-kalimat yang tidak bermakna sama sekali --apa tidak wajib bagi umat Islam
berutang kepadanya dengan propaganda besar yang tidak terarah ini? Apakah tidak lebih
utama (dan lebih mulia) seseorang mengumumkan kebangkrutan intelektualnya ketika
dihadapkan pada interpretasi konsep trinitas?
Tidak syak lagi, lebih baik tuan kepala pengadilan menyerap sedikit saja dalam sejarah
yang bagus tentang konsep trinitas, baik itu Izis, Osiris, dan Horis. Atau dari Tuhan
Bapak, Maryam, dan Almasih atau dari Tuhan Bapak, Kalimat Tuhan, dan Almasih.

Dalam keadaan seperti ini sebaiknya tuan Muller mengakui --seperti yang dilakukan Paus
Yohanna, Paus Paulus, dan Deonisius sebelumnya--bahwa ia telah menyerahkan dirinya
dalam permainan kata-kata yang dimunculkan pertama kali oleh seseorang, misalnya,
Plato dan penganut aliran Gnostisisme.

Adalah naif pernyataan "rahasia-rahasia agama" sangat tinggi hingga tidak bisa
diinterpretasikan.

Namun, tidak ada yang menahan kita secara mutlak, jika kita menetapkan permulaan
sesuatu. Jika masalahnya bergantung pada rahasia, atau seperti dalam keadaan trinitas:
buatan akal manusia.

Telah lewat masa saat agama Kristen bisa mengambil manfaat dari konsep trinitas,
terlebih jika disebarluaskan di kalangan bangsa-bangsa yang mempercayai tingkatan
piramida tuhan-tuhan.

Adapun hari ini, maka sungguh konsep trinitas tidak lebih dari beban terhadap agama
Kristen.

Demokrasi Islam
(Brussel, 14 Februari 1985)

Orang-orang Saudi sering dituduh sebagai fundamentalis fanatik. Tuduhan ini tampak
mengada-ada, jika dilihat usaha-usaha mereka dalam memerangi khurafat dan dekadensi
moral.

Karena itulah, Pemerintah Saudi meratakan dan menutup makam Siti Hawa di Jedah
untuk umum. Mereka juga memberantas meminta-minta pada kuburan di Baqi', Madinah.

Tuduhan-tuduhan ini aneh sekali jika dilihat usaha mazhab Wahabi dalam memperbaiki
tradisi-tradisi yang ada di Mekah.

Sebagaimana diketahui secara mendetail dari buku Henrich Von Maltsan, "Perjalananku
Menuju Mekah". Ia berhasil menyusup ke Kota Suci, tahun 1860 bahwa Mekah adalah
sarang opium, ganja, dan pencuri.

Akhirnya, bagiku tampak aneh bila melihat gaya hidup rakyat Saudi yang sangat
berkeinginan keras memegang teguh ajaran-ajaran mereka, seperti yang telah dilakukan
oleh umat Kristen zaman dulu. Dan, "fundamentalisme fanatik" berarti hilangnya basa-
basi dan kemunafikan, maka ini adalah benar karena memang terdapat fundamentalisme
semacam ini, di Saudi, dan mereka harus bangga dengan kefundamentalisannya.

Mungkin mereka memahami bahwa kemajuan, dalam kondisi tertentu, seperti kondisi
kita akhir-akhir ini, kadang-kadang menuntut untuk mengambil suatu model percontohan
yang telah teruji dan terbukti kebenarannya di masa silam. Sikap ini yang mencerminkan
proteksi yang konstruktif adalah suatu sikap yang layak dihormati di Barat, dengan syarat
orang yang berpegang teguh itu bukan orang Islam.

Tidak syak lagi bahwa bukan suatu langkah mundur bila membela orang yang
berpendapat bahwa solusi problematika sosial yang ditempuh Muhammad saw dan
Khulafa ar-Rasyidin bisa dirujuk kembali sebagai model yang patut diteladani dalam
memecahkan problem-problem masyarakat pasca-revolusi industri. Dan bukanlah
bersahaja mengambil sikap negatif seperti yang dilakukan sebagian para filosof dan
teolog metafisika dengan gaya yang digariskan oleh aliran filsafat Asy'ariyah (874-933
M).

Apakah kritik mendasar terhadap konsep ilmu wujud yang berbau filosof dan metafisika
ini dianggap primitif hanya karena ia datang sebelum David Heom, Immanuel Kant, dan
Ludwig Fitgenstein, beberapa abad yang lalu?

Kita tinggal mengatakan walaupun para pengkritik fundamentalisme Islam di Barat telah
memfokuskan pada sikap Islam terhadap demokrasi parlementer yang pluralistik ala
Barat. Sesungguhnya, mereka pura-pura tidak mengetahui kenyataan bahwa banyak
orang-orang Liberal dan Marxis Barat hidup di negara kerajaan konstitusional tanpa
kedudukan hukum khusus yang dinikmati oleh agama Kristen di negara-negara ini yang
tidak membuat tidur hati mereka, walaupun hal itu bukan feodalisme. Sementara, Islam
tidak memaksakan hukum otokratisme keagamaan.

Tidaklah benar sama sekali isyarat bahwa sejarah Islam bukan sejarah perkembangan
demokrasi.

Selama orang-orang Kristen menderita akibat kejahatan "hakim-hakim yang mendapat


wangsit", "raja-raja yang tercerahkan", "orang-orang arogan yang takut kepada Tuhan"
dan yang bergelar "bayangan Tuhan di muka bumi". Umat Islam juga banyak menderita
akibat hukum sultan-sultan yang tiran dan amir-amir jahat yang despotis.

Sebenarnya, kita bisa menganggap sejarah konstitusi Islam sebagai kisah perjuangan
yang panjang antara ide yang membebaskan, yakni hukum Al-Qur'an yang memutuskan
hukum di atas nilai-nilai keadilan dan persamaan serta melindungi dari kekuasaan status
quo yang keji, despotis, dan keji. Hal inilah yang mendorong Prof. Karl C. Newman
untuk mempertanyakan di harian Frankfurt Zeitung: apakah hari ini ada suatu negara
yang tidak diktator di kolong langit ini?

Adalah kenyataan bahwa Islam senantiasa memberi sumbangan terhadap kemanusiaan


dengan mengajukan satu bukti yang kuat bahwa negara Islam kontemporer demokrasi
bernuansa agama --ala al-Maududi-- bisa saja dibumikan bukan hanya dalam teori tapi
dalam praktik. Sebuah konstitusi yang ditegakkan atas dasar partisipasi dan kemitraan,
yang bersumber dari Al-Qur'an dan dokumen hak-hak asasi manusia (HAM).

"Katakanlah, 'Tidak Akan Menimpa kepada Kita


Kecuali Sesuatu yang Telah Digariskan Allah
kepada Kita'..."
(Brussel, 25 Februari 1985)

Orang-orang yang berprofesi, selain diplomat, tidak mengalami beratnya gelombang


serangan teroris sebesar yang dialami para diplomat karena dua perjanjian terdahulu.
Karenanya, mereka banyak menerima saran para agen keamanan tentang bagaimana cara
menghindari bom ketika berada di dalam mobil, ketika terjadi penculikan atau
penembakan.

Jika aku mengikuti semua saran mereka, maka jaminan keselamatanku adalah usaha
ekstra ketat selama 24 jam sehari. Dan, ini sungguh pekerjaan sia-sia.

Dengan ketololan ini, sebenarnya aku tidak dapat memperpanjang ajalku walau sedetik.
Keselamatan dengan segala keajaibannya dan peluru yang ditakdirkan mengenai
kepalaku tidak mungkin meleset.

Hal ini bukan berarti seorang muslim tidak perlu mengenal kelebihan pistol model
Heckler dan Colt B 7/14, serta tidak menjadi penembak yang jitu. Namun, pada saat yang
sama, dia tidak boleh punya prasangka bahwa hari-harinya tidak dihitung.
"Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepada-Nya kita kembali." (al-Baqarah:156)
"Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan
yang telah ditentukan waktunya...." (Ali lmran:145).

Izin Allah tampaknya belum menghampiriku tatkala bom-bom Amerika dan Inggris
berjatuhan, lalu meledak di kotaku, tiap dua pekan sekali sewaktu Perang Dunia II
berkecamuk. Izin Allah juga belum tiba, ketika aku selamat dari kecelakaan mobil di
daerah Mississippi, pada tanggal 28 Juni 1951. Juga belum tiba, setelah 14 hari dari
peristiwa itu, tatkala orang gila di Tennessee melepaskan peluru yang menembus kaca
jendela gerbong kereta api yang kutumpangi, hanya meleset beberapa inci dari kepalaku
di tengah-tengah perjalanan pulangku menuju Washington DC.

Izin Allah juga belum tiba untuk berpulang kepada-Nya, ketika para dokter menemukan
tumor di ginjal kiriku, pada tahun 1976, saat aku bertugas sebagai Duta Besar di Jedah.
Ajakan
(Brussel, 9 Maret 1985)

Dalam Pameran Buku Internasional ke-17 di Roger Center, Brussel. Dalam pameran itu
yang menjadi perhatian khalayak adalah buku-buku berbahasa Prancis dan Belanda.
Namun begitu, aku tetap optimis ketika mencari buku baru tentang sastra Islam. Seorang
petugas di bagian informasi dekat pintu masuk menunjukkan stan "islamiat" di dalam
gedung yang khusus menjual buku-buku mengenai perkara-perkara ilmu klenik dan
astrologi. Di antaranya buku-buku tentang para Darwisy yang pusing dan humor-humor
karya Nashrudin Khoja. Aku hanya mendapatkan sedikit buku terbitan Dar el-Maktabah
al Islamiyah, Koln.

Ini sungguh merupakan fenomena yang menyedihkan, jika melihat persaingan keras
dengan kekuatan-kekuatan misionaris lainnya. Persoalannya bukan hanya hadirnya
negara-negara komunis, akan tetapi terdapat banyak sekte-sekte Kristen, seperti sekte
Piala Suci. Dan sekte Heretic muslim, seperti pengikut Dr. Dahisy [9], grup-grup
astrologi dan golongan penganut penyelewengan seksual yang menguasai satu lantai
penuh, di Roger Center. Sebagian wanita Belgia penganut aliran Bahaisme berhasil
menarik perhatian massa lewat jargon yang diteriakkan Frederick Scheller dan Ludwig
Van Bethoven: "saling berpelukanlah wahai jutaan manusia."

Apakah umat Islam membutuhkan fantasi, jiwa petualangan, dan kecakapan


berorganisasi seperti yang ditampakkan aliran Bahaisme? Ataukah tidak etis jika Islam
muncul berdampingan dengan aliran-aliran pinggiran yang skeptis, yang ajaran-ajaran
sesatnya disebarkan secara rahasia --seperti yang dilakukan gereja Katolik di sini?

Sebenarnya Islam tidak membenarkan propaganda yang terprogram dan penuh


permusuhan seperti ini. Islam meletakkan kepercayaannya pada kekuatan daya tarik
terhadap sistem hidup ideal yang mesti dijalani seorang individu muslim.

Gaya propaganda Kristen Katolik itu, tidak sesuai dengan Islam. Karena Islam
memformatkan dirinya sebagai ajakan yang terbuka dan sebuah risalah yang sangat kaya
untuk dijelaskan, karena ia menafsirkan dirinya sendiri. Dengan kata lain, Islam percaya
terhadap pengaruh langsung yang timbul dari kebersahajaan, kegamblangan karakter
fitrahnya, dan keseimbangannya bagi setiap orang yang ingin dan bisa mendengar dan
melihat.

Ini adalah sikap yang mesti disadari bagi orang yang beriman kepada Allah Yang Maha
Esa. Ia akan memberikan hidayah ke jalan yang lurus kepada siapa saja dan dengan cara
apa saja yang ia kehendaki.

Bepijak atas dasar ini, maka tidak ada tempat buat mengobral Islam di sudut-sudut kaki
lima, walaupun disadari bahwa iman adalah satu persoalan dan takdir adalah persoalan
lain. Karena seyogianya, seorang muslim menyadari hakikat bahwa Allah SWT adalah
Pencipta segala sesuatu. Sebagai konsekuensi, ia wajib untuk tidak ragu bahwa ia adalah
bagian dalam hubungan kausalitas yang menuju mengimankan tetangganya.

Ia juga wajib menegakkan "shalat perpisahan" --seakan sebentar lagi akan mati. Pada saat
yang sama, ia merenung dan beramal seakan-akan ia akan hidup lima puluh tahun lagi.

Dalam konteks ini umat Islam bisa belajar dari filsafat Marxist tentang "determinisme
materialisme historis" yang menjadi penghambat sikap-sikap negatif. Sehingga,
datanglah Lenin menginfus komunisme dengan revolusi Bolsyevik, ketika krisis partai
mendukung untuk memobilisasi gerakan sejarah dalam merealisasikan tujuan-tujuan
dalam rangka menyebarkan paham komunisme yang integral ke seluruh dunia.

Karenanya, umat Islam seyogianya menyebarkan dakwah semaksimal mungkin.

[9] Pemikir Lebanon yang mengaku nabi.

Catatan Pelanggaran
(Brussel, 11 Maret 1985)

Dalam sebuah jamuan makan malam diplomatik, ada seorang wanita Spanyol yang
mengetahui bahwa aku seorang muslim. Dengan takjub, ia menoleh kepadaku seraya
berkata, "Oh, jadi Anda ini seorang dari mereka yang selalu menanti kelahiran Allah!"

Segera aku menyadari betapa suksesnya propaganda Kristen setelah pengambilan


Spanyol dalam mendistorsikan gambaran Islam. Aku memilih diam, kemudian aku
sempat berpikir untuk membacakan salah satu ayat dari surat al-Ikhlas kepadanya, "Allah
tidak beranak dan tidak pula diperanakkan."

Sebagai gantinya, aku segera mengganti topik dengan mengatakan, "Sungguh justru
inilah satu-satunya yang.tidak ditunggu-tunggu oleh umat Islam." Bukankah aku pernah
belajar etika bahwa tidak layak membicarakan persoalan politik, agama, dan kesehatan
dalam jamuan makan?

Empat Burung Bulbul dari Istambul


(Brussel, 31 Maret 1985)

Group paduan suara lagu-lagu gereja Protestan yang terletak dekat istana raja akan
menggelar sederetan demonstrasi musik suci agama-agama besar dunia. Yang menarik
acara ini, yaitu pengambilan tema Hugo Paul: seni sungguh lebih dekat kepada agama
daripada ilmu.

Hari ini kami akan menyaksikan pergelaran group tamu "para muazin Turki" yang akan
membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an dan kasidah-kasidah Sulaiman Sulaibi (abad ke-14
M) dalam bahasa Turki yang berisi beberapa penggalan dari perayaan Maulid Nabi oleh
sekte Hanafiyah.

Di awal acara, panitia pelaksana menjelaskan kepada kami akan perbedaan antara musik
dan alat bagi para sufi, dengan dendang kasidah oleh para imam yang menitikberatkan
pada keserasian suara dan langgam lafal terhadap ayat-ayat Al-Qur'an. Ia menutup
pembicaraannya sambil meminta agar kami tidak bertepuk tangan karena tidak mungkin
untuk memisahkan irama musik agama dengan isinya, yaitu berdoa dengan penuh
kerendahan diri.

Keempat burung itu dengan keistimewaan suara mereka yang tinggi, jelas, dan penuh
penghayatan, berhasil menarik simpati. Mereka meninggalkan kesan yang mendalam
pada jiwa khalayak, berkat penampilan mereka yang menghanyutkan, dan penuh
penghayatan. Dua unsur inilah yang paling indah dalam alam seni Islam.

Pada saat yang sama, aku dihinggapi perasaan tidak enak. Karena, apakah layak
mengeksploitasi keindahan lantunan Al-Qur'an hingga seorang bisa menikmati dan
mengapresiasikan saja? Artinya, seni hanya untuk seni saja!

Bukankah Freidrich Neitsze jujur sampai batas terjauh dalam perasaannya ketika ia
menulis "Kelahiran Tragedi" bahwa agama Kristen yang benar menafikan semua nilai-
nilai estetika?

Setelah orang-orang mendengar dua kata Allah dan Muhammad yang sering diulang
penyebutannya, apakah ini tidak memperkuat opini mereka yang salah bahwa umat
Islam, dikiaskan oleh orang Kristen, sebagai Muhammadisme?

Bukankah orang-orang Wahabi tidak benar ketika mereka menentang dalam melagukan
dua panggilan shalat, azan, dan iqamat? Apakah hari ini kita sampai pada batas
mengedepankan seni dan mengebiri shalat, ketika seni menjadi penghalang shalat?

Cinta Persaudaraan sebagai Pengganti Ukhuwah


(Jumat duka, 5 April 1985)

Bisa diterima bila dua harian Frankfurt Zeitung dan De Flit menyediakan rubrik khusus
tentang ajaran Kristen pada Hari Paskah. Akan tetapi, tidak mungkin melewatkan dua
harian tadi dengan begitu saja, karena di sana disinggung bahwa agama Islam adalah
agama yang paling cepat tersebar di seluruh tempat.
Sungguh sayang kesempatan ini lewat begitu saja tanpa penjelasan titik temu antara tiga
agama besar: Yahudi, Kristen, dan Islam. Karl Alfred Odin menulis, "Sungguh yang
memisahkan ketiga agama besar itu adalah konsep pemahaman tentang Tuhan. Tuhan
adalah cinta kasih menurut versi Kristen," (Frankfurt Zeitung, 4 April).

Adalah tepat Odin menggunakan istilah "versi" karena inilah istilah yang lazim dipakai,
tidak lebih dari itu. Walaupun di sisi lain, ia tidak benar dalam menggunakan beberapa
istilah yang terdapat dalam artikelnya, "Sesungguhnya tuhan dengan kematiannya di
tiang salib --merupakan simbol segala penderitaan manusia-- telah menyelamatkan
kemanusiaan setelah menanggung beban derita ini."

Dengan segala kebersahajaan, kita dapat mengatakan bahwa "Tuhan adalah cinta kasih"
menurut Kristen, atau dapat dikatakan Allah yang Maha Pengasih lagi Penyayang atau
bukan tuhan sama sekali.

Analisis pemahaman kata "cinta kasih" menampakkan semua persoalan menurut


hakikatnya. Manusia menghubungkan cinta kasih dengan keinginan mereka dalam
mengorbankan diri mereka kepada orang lain, lalu menyatu dengannya. Cinta kasih yang
kuat membutuhkan respon, yaitu cinta kasih umpan balik. Pada saat masing-masing
pecinta memandang bahwa dia adalah bagian dari pasangannya, maka keduanya saling
mempengaruhi sifat-sifat utama kepada yang lain. Keduanya saling membutuhkan. Cinta
keduanya tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.

Yang jelas bahwa penyifatan Tuhan sebagai "cinta kasih" tidak mungkin dijelaskan
dengan cara seperti ini. Jika tidak, maka Zat Yang Mahamulia lagi Sempurna, Yang
Mahaada, Mengatur lagi Kaya tidak lagi menjadi diri-Nya.

Sungguh sangat kufur, jika Anda beranggapan bahwa Tuhan tanpa Anda atau tanpa
ciptaan-Nya, dapat mengurangi kekuasaan-Nya. Hal itu karena Allah ada sebelum segala
zaman dan segenap makhluk. Ia Mahasempurna.

Karenanya, cinta kasih Tuhan kepada hamba-hamba-Nya tidak mungkin digambarkan,


kecuali dengan pemahaman sebagai hubungan tidak seimbang yang tidak mengurangi
kekuasaan-Nya sedikit pun yang tercermin pada zat-Nya, sejak azali. Dengan konsep
seperti ini, maka Allah bisa menjadi Mahamulia, Pengasih lagi Penyayang terhadap
makhlukNya, jika Ia menghendaki. Dia juga bisa Mahaadil dan Mahahebat siksa-Nya,
jika memang itu kehendak-Nya.

Ketika umat Kristen mengatakan bahwa Tuhan adalah cinta kasih, mereka tidak
mengatakan bahwa Ia adalah "tuhan bapak" melainkan Almasih. Dengan kapasitasnya,
sekaligus sebagai manusia, ia menjadi korban, bahkan mengorbankan dirinya sendiri
demi saudara-saudaranya walaupun Allah menerima segala bentuk pengorbanan, namun
Ia Mahakaya dari hal-hal semacam itu. Dan karenanya, maka kebutuhan kepada
mengorbankan dirinya sendiri (Almasih) --atau bagian dirinya-- untuk diri-Nya
bertentangan dengan karakter ketuhanan bagi orang yang menamakan-Nya sebagai
Yehovah, Tuhan atau Allah. Allah bebas memaafkan jika ia berkehendak tanpa syarat
atau prosedur apa pun.

Umat kristen anehnya bangga dengan apa yang mereka namakan "lompatan modern"
yang terwujud dalam konsep "cinta kasih" ini.

Pada hakikatnya konsep ini, jika dilihat dari kacamata filsafat dan teologi, dapat dianggap
sebagai langkah mundur. Karena segenap kemajuan yang telah dicipta oleh para pemikir
Yunani dan nabi-nabi Yahudi menjadi terancam oleh konsep Kristen tentang tuhan yang
menjasad dalam nuansa-nuansa kemanusian. Umat Kristen sungguh telah menghapus
keinginan-keinginan yang timbul dari ketakutan dalam konsep mereka tentang ketuhanan
yang membantu mereka dalam membekukan rasa takut yang timbul dari memandang
Tuhan secara langsung terhijab dari pandangan.

Dan, jika Almasih telah berhasil melakukan lompatan sejarah, maka hal itu timbul akibat
wasiat yang ia tinggalkan bahwa seseorang hendaknya mencintai Allah dan tetangganya,
sebagaimana mencintai dirinya sendiri.

Tapi mengingkari bahwa Islam juga mengandung wasiat yang sama adalah kepalsuan
yang nyata. Sungguh, "cinta persaudaraan" dalam Kristen dan ukhuwah dalam Islam
adalah dua hal yang berbeda.

Dia Tidak Bodoh, namun Anehnya Dia Muslim


(Brussel, 9 April 1985)

Setiap pekan, aku selalu menyelenggarakan jamuan makan siang sekali atau lebih di
kantor NATO untuk para tamu yang diundang oleh divisi penerangan. Seperti biasa,
pelayan meletakkan sebotol air putih di mejaku sebagai ganti anggur. Sebagaimana
mereka dengan penuh kecerdikan mengganti menu yang tersedia dengan menu daging
babi. Banyak para tamu yang memperhatikan manuver ini.

Ketika aku menjelaskan bahwa alasan jadwal makan siangku, karena aku seorang
muslim. Pada mulanya mayoritas tamu menyangka aku sedang guyon, terlebih ketika
mereka mendengarkan penjelasanku yang mendetail tentang topik-topik "Hubungan
Barat dan Timur", "Problematika Pembatasan Senjata", "Strategi-strategi Alternatif" dan
"Opini Publik" --dan aku yakin bahwa mereka berbicara dalam hatinya, "Orang ini
ternyata tidak bodoh sementara dia seorang muslim." Lalu seluruh perhatian menuju ke
bagian selanjutnya, yaitu orang-orang mulai mempertanyakan tentang apa --dengan
tambahan "persetan" seperti kebiasaan mereka-- yang mendorong Anda menjadi seorang
muslim?

Kemudian, diikuti babak ketiga yang tercermin dalam dialog interogatif yang penuh
dengan bias dan kekhawatiran-kekhawatiran yang muncul dari bawah sadar mereka
tentang Islam. Sebagian pertanyaan-pertanyaan itu adalah: Perang Suci? Poligami?
Khomeini?

Dengan penuh kesadaran, aku berusaha menjelaskan bahwa "perang suci" adalah istilah
buatan Barat. Adapun konsep Islam tentang jihad, pada dasarnya tidak lebih dari jihad
mental. Kutunjukkan juga --setelah keterangan singkat tentang perang salib-- bahwa jihad
merujuk kepada surat al-Baqarah ayat 257 bahwa Islam tidak membenarkan pemaksaan
dalam agama.

Aku juga tidak ragu-ragu mengakui bahwa mazhab Sunni dan Syi'i terpecah secara
radikal, dengan cara yang lebih keras dari perbedaan yang terjadi antara Katolik dan
Protestan.

Ketika perbincangan memasuki sikap syariat Islam tentang poligami, kujelaskan kepada
para tamu tentang kemungkinan istri pertama bisa berpisah dengan istri yang lain setelah
akad nikah. Aku tegaskan pula bahwa dalam masyarakat sekarang yang sangat sensitif,
hampir-hampir pemenuhan syarat-syarat yang terdapat dalam Al-Qur'an mengenai
pembolehan poligami adalah pengecualian dari segi operasional. Dalam surat an-
Nisa':129, Allah menegaskan, "Dan kalian tidak akan mampu berbuat adil terhadap istri-
istrimu walau kalian berkeinginan keras."

Dan, wajar jika bincang-bincang makan siang berakhir dengan fair. Sebab, apalagi yang
ingin aku capai yang melebihi respek terhadap Islam?

Pada saat yang sama, aku melihat pencerahan dan antusias para pemuda di antara para
tamu, lewat bagian tertentu dari agama ini, yaitu kemungkinan seorang muslim berdiri di
hadapan Tuhannya sebagai makhluk yang bebas tanpa perantara.

Hal ini tidaklah aneh, jika kita menyadari bahwa para pemuda itu menyimpan kapak
model khusus. Dengan itu, mereka ingin memberantas ritual-ritual (khurafat), aneka
bentuk taklid, dan hierarki birokrasi.

Walaupun kesempatanku telah habis, aku tetap tidak putus asa dalam menyadarkan
sebagian tamuku, di tengah bincang-bincang makan siang ini, akan kedamaian spiritual
dalam Islam yang dapat membawa mereka untuk mengakui bahwa agama ini
merefleksikan puncak pemikiran dan prestasi moral manusia.

Al-Qur'an, Bibel, dan Sains Modern


(Brussel, 11 April 1985)

Kajian Maurice Bucaille dalam "Al-Qur'an, Bibel dan Sains Modern" dalam sub judul
"Kitab-kitab Suci Menurut Tinjauan Pemahaman Modern," mencerminkan pengakuan
dan kesaksian terhadap sumber-sumber Islam (cetakan pertama, Munich 1984).
Sesungguhnya, kita mendapatkan bahwa Yahudi yang paling ortodoks sekalipun tidak
mampu mengetahui sejauh mana nilai Kitab Perjanjian Lama dari segi sastra yang
menjadikan kita mustahil mengambil kesimpulan yang bisa meyakinkan bahwa kitab itu
adalah wahyu.

Hal yang sama bisa ditujukan kepada umat Kristen. Mereka seakan mengalami
kejumudan intelektual ketika mereka menghadapi kenyataan bahwa Perjanjian Baru yang
memuat empat injil itu, tidak bisa dianggap dari berbagai sudut sebagai riwayat yang
autentik. Ia hanyalah komentar terhadap sumber tidak langsung yang dinukil dari mulut
ke mulut. Interpretasi yang dipegang Kristen sebagai model yang ideal hari ini tentang
peranan Almasih adalah yang dibawa oleh para pengikut aliran Pendeta Paulus yang
menyempal dari Helenisme dan dipengaruhi oleh pendapat-pendapat neo-Platonisme dan
Gnostisisme. Sekte ini telah mencapai kesuksesan yang tidak memungkinkan baginya
mengusir musuh-musuh mereka, Yahudi, dan Kristen dari panggung sejarah saja, namun
juga dari ingatan.

Bucaille, pada awalnya, membuat daftar hal-hal yang di dalamnya terdapat kontradiksi
antara kitab suci dan kenyataan-kenyataan, seperti kesinambungan penciptaan, asal-usul
Almasih, dan sejarah kejadian-kejadian yang berkaitan dengannya. Begitu juga, ia
mengulang-ulang kontradiksi yang populer antara versi Injil yang berbeda-beda, seperti
kiamat dan rahasia "jamuan makan malam tuhan."

Ia juga mengakui, ia sangat terkejut ketika pertama kali menyingkap ketidak-mungkinan


mencapai keautentikan AlQur'an dengan dasar titik-titik lemah yang sebanding atau yang
mendekati hal itu. Hal yang sama, ia rasakan ketika mengetahui --berlawanan dengan hal
di atas-- bahwa tidak satu pun keterangan Al-Qur'an yang tidak dapat diuraikan untuk
penelitian ilmiah, baik yang berhubungan realitas-realitas alam, genetika, atau kajian-
kajian tentang kedalaman laut.

Bahkan, sungguh Al-Qur'an telah membuktikan kebenarannya lewat keterangan yang


mendetail tentang pertumbuhan janin, seperti yang kita kenal sekarang yang tidak
mungkin dibuktikan, kecuali dengan menggunakan alat pendeteksi dalam rahim.

Inilah latar belakang yang mendorong Bucaille menegaskan, "Aku yakin tidak ada tafsir
alamiah atas fenomena Al-Qur'an." Dari sisi lain, penyisipan penulis terhadap banyak
hadits dhaif yang sarat dengan kerancuan kedokteran, justru menambah keyakinannya.

Hanya saja sayangnya, Bucaille --seperti yang dialami Iqbal-- terperosok ke dalam
perangkap yang ia buat sendiri. Yaitu, upaya mengeluarkan dalil-dalil tambahan tentang
sebagian hakikat-hakikat ilmiah Al-Qur'an. Ketika ia melihat bahwa surat ar-Rahman:33
mengisyaratkan penjelajahan manusia ke bulan dan angkasa luar, seperti yang kita
saksikan sekarang. Ia tidak menemukan apa-apa, kecuali sesuatu yang ia paksakan sendiri
lewat proses pengulangan redaksi.

Sungguh, bahaya yang terkandung dalam metode ini adalah bisa mendorong pembaca Al-
Qur'an untuk berasumsi bahwa Al-Qur'an berisi kunci-kunci kegaiban, sedangkan mereka
tidak mampu mengingat bahwa hakikat-hakikat yang berhubungan dengan ushuluddin,
bukan hakikat-hakikat ilmiah, adalah tujuan awal wahyu. Dan, bukan dengan elaborasi
penyingkapan ilmiah, kebenaran wahyu hakiki akan tergapai.

Wa ba'du, sesungguhnya Al-Qur'an bukan ringkasan ilmu-ilmu fisika, biologi, atau


kimia.

Islam dan Stres


(Bonn, 14 Juni 1985)

Ketika menerima satu tugas di Bonn, aku tiba-tiba bertemu dengan teman lamaku. Dr.
Alois Martis, Menteri Luar Negeri Jerman. Karena tertawan oleh jadwal-jadwal
protokolernya, ia tergesa-gesa menjauh setelah berbicara denganku, tidak lebih dari dua
menit. Keesokan harinya, ia jatuh meninggal karena penyumbatan pembuluh darah.
Apakah ia terkena stres?

Pada saat ini, seluruh perhatian di Barat terfokus ke istilah ini. Ia adalah bahaya akibat
manusia mengikuti suatu gaya hidup yang merusak kehidupannya.

Contohnya gaya pria modern, seperti direktur yang bekerja tidak lebih berat daripada
orang-orang zaman dulu. Namun, yang baru --yang menyebabkan stres sebagai fenomena
modern-- adalah perasaan manusia atas ketidakmampuannya untuk hidup di bawah
tekanan terus-menerus untuk mewujudkan kesuksesan yang lebih baik. Tampak banyak
orang di Barat yang tidak melihat di depan mereka, kecuali dua alternatif: berjuang total
atau lari dari kenyataan. Mereka tidak lagi mampu melirik alternatif ketiga, yaitu
membebaskan beban-beban berat mereka.

Akhirnya, para eksekutif, dalam perjuangan mereka berkompetisi mengejar harta dan
kesuksesan (melawan waktu, kondisi, dan bos-bos mereka), menempuh cara-cara sampai
melawan batas kemampuan tubuh mereka dengan menggunakan obat-obat terlarang,
seperti: alkohol, rokok, pil penenang, doping, dan pil tidur. Akibatnya bisa ditebak, daya
tahan tubuh mereka merosot, plus kondisi jantung, paru-paru, hati, sirkulasi darah, dan
sistem saraf jadi memburuk.

Karenanya, para dokter menyarankan pasien agar berpantangan terhadap alkohol, rokok,
dan makan yang berlebihan. Selain menyarankan meditasi untuk menenangkan sistem
saraf mereka.

Bagiku, semua fenomena ini memperkuat argumentasi bahwa cara hidup islami sesuai
dengan karakter manusia, seperti yang diidealkan Allah. Dan, Islam adalah solusi ideal
bagi problematika kesehatan akhir-akhir ini.
Sebenarnya, tidaklah berlebihan, apabila aku mengatakan seorang muslim sejati tidak
mungkin terkena stres dan depresi.

Alkohol? Haram hukumnya. Nikotin? Makruh hukumnya karena ada syubhat syirik yang
tersirat dalam segala bentuk kebergantungan.

Kolesterol? Problem yang mudah dipecahkan selama tidak mengkonsumsi daging babi.
Kegemukan? Bisa dikurangi dengan puasa Ramadhan, Takut gagal? Sungguh
proklamasi, "Allahu Akbar" berarti selalu menyerahkan diri terhadap kekuasaan yang
lebih besar, yaitu Allah.

Meditasi? Apa yang bisa melebihi dari shalat lima waktu sehari semalam?

Waktu adalah emas? Tidak bagi seorang muslim. Kebugaran? Shalat memiliki pengaruh
positif dalam hal ini.

Kelancaran sirkulasi darah? Sungguh, wudhu bisa menstimulasi jaringan saraf.

Apa daftar di atas tidak cukup menjadi petunjuk penting bahwa gaya hidup ala Al-Qur'an
dan As-Sunnah adalah yang sehat dan menyehatkan.

Ada satu alasan lagi mengapa aku berkeyakinan bahwa Islam adalah obat penawar yang
berbeda dengan obat bius dalam menghadapi problem-problem utama pada masyarakat
industri modern. Hal itu karena kapasitasku sebagai direktur. Aku tahu betul apa yang
kuucapkan. Aku adalah direktur yang selalu membawa sajadah dalam tas kerjaku."

Yang Mulia Attaturk dan Keajaiban-keajaiban


(Evalik, 19 Juli 1985)

Dari mulut ke mulut beredar cerita bahwa telah terjadi suatu mukjizat. Anda tinggal
menyetir mobil Anda dari Edermit ke laut Ega terus ke Evalik. Dekat Gomes, Anda bisa
melihat dengan mata kepala Anda sendiri bayangan rangkaian gunung-gunung yang
berjejer di sebelah kiri Anda. Di sana terlukis sisi samping wajah Attaturk.

Seseorang tinggallah memberikan penghormatan kepada pendiri Turki modern ini,


setelah melihat panorama alam yang sangat aneh. Sebuah detail raut wajah yang keras.
Sekarang manusia meramalkan bahwa fenomena ini akan terulang di tempat-tempat lain
di seluruh negeri.

Tampaknya, Musthafa Kamal mulai sibuk dengan kedudukannya yang baru, keagungan.
Lalu, apakah akan ada lagi Attaturk agung baru?
Pemahamanku bertambah sekarang akan sikap ketidaktoleransian Islam dalam memahat
patung-patung yang mempersonifikasikan manusia. Itu karena Anda tidak akan sanggup
meramal akhir perjalanan seorang tokoh yang dipertuhankan.

Dekat Evalik, di teluk tertinggi yang hampir tenggelam oleh sebuah laut dan karenanya
mereka menyebutnya "laut mati", para turis berdesak-desakan ingin melihat "mimbar
setan", yaitu sebuah batu besar tempat setan meninggalkan bekas selebar tapak kuda yang
mampu menampung banyak uang logam kecil.

Persoalannya jadi lucu sekali, karena setiap kali mengecil keyakinan manusia terhadap
wujud setan, kesohorannya semakin menjadi-jadi.

Karenanya, Carl Border memuja setan dengan ucapannya, "Sungguh, prestasi terbesar
setan adalah meyakinkan manusia akan ketiadaan eksistensinya," --dan aku yakin bahwa
hal yang sama dapat ditujukan kepada Dinas Rahasia Soviet, KGB.

Tidak syak lagi, seseorang hendaknya mengenal setan, malaikat sesat yang bergelar iblis
ini. Umat Islam menganggapnya sebagai pembangkang, bukan sebagaimana yang
digambarkan oleh mitologi Persia dan Jerman kuno sebagai kekuatan penentang (yang
setara) dengan Allah.

Wajarlah jika bacaan Al-Qur'an --begitu juga shalat-- selalu dimulai dengan doa istiadzah
ini, "Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk."

Dalam perjalanan pulang kami, setelah mandi di Olodanis dengan air yang panasnya
tidak kurang dari 32 celcius, kami hendak berkunjung ke Masjid Evalik yang dulunya
adalah Gereja Katedral Ortodoks Romawi. Namun, berbeda dengan kebiasaan masjid, ia
cenderung ditutup. Memang tidak semestinya, umat Islam di sini, shalat pada waktu
antara pagi/subuh dan shalat zuhur, tetapi untuk bekerja. Hanya saja berbeda dengan
gereja-gereja Protestan pada umumnya, biasanya masjid selalu terbuka pada waktu-waktu
seperti ini.

Hal ini terjadi pada kami --maksudnya kami menemukan masjid yang tertutup-- untuk
pertama kalinya sejak sepekan yang lalu, di Oscodar ketika kami berusaha mengunjungi
Masjid Sineli Kami' yang masyhur itu. Walau tidak ada di tempat yang jelas, sedangkan
bangunannya berplester biru, sejak 400 tahun yang lalu. Alasannya sangat sederhana,
takut kecurian karpet.

Jika kita menerima hal ini, apa pantas pintu-pintu itu tertutup untuk umat Islam? Apakah
tidak lebih bijak, jika masjid itu dikosongkan dari barang-barang berharga dengan
konsekuensi pintunya selalu terbuka?

Ketika Hening Merebak di Oscodar


(Oscodar, 10 Agustus 1985)

Jika seseorang meneruskan pendakiannya ke lembah Bosfor menuju ketinggian yang


cukup dekat Oscodar, maka ia akan melihat suatu bangunan yang indah, rumah ibadah
para darwisy dari Uzbekistan, pengikut tarekat Naqsyabandiyah. Tarekat para darwisy
dari Asia Tengah ini dideskripsikan dengan baik oleh Prof. Dr. Anne Mary Schimmel
dalam bukunya Dimensi-dimensi Tasawuf dalam Islam.

Pada saat ini, rumah ibadah itu adalah milik wakaf yang diurus oleh para ketua syekh
tarekat Naqsyabandiyah yang menamakan diri sebagai "keluarga Uzbek".

Rumah ibadah ini selalu mengalami renovasi. Di sampingnya terdapat tempat menginap
untuk laki-laki dan untuk perempuan --yang masing-masing terpisah. Masjid kecil, dapur
yang luas, halaman yang bernuansa romantis dengan mata air serta telaga, dan kuburan
para darwisy yang luas menyemarakkan perkampungan ini.

Menurutku, tidak ada tempat yang sedamai, dan setenang tempat ini. Kehadiran kita di
sana dapat menimbulkan kontemplasi. Sebab, tempat ini sangat jauh dari kebisingan
dunia. Ia berdiri sendirian di luar batas waktu.

Jiwaku melayang-layang merenungkan bahwa suasana yang penuh kedamaian ini adalah
penjelmaan doa seorang muslim ketika berjumpa dengan saudaranya sesama muslim
yang terkandung dalam sapaan, "Assalamu'alaikum."

Bagaimana Menghadapi Maut?


(Oscodar, 11 Agustus l985)

Kuburan Karaka Ahmad Mezarligi adalah yang terbesar di Timur, jika bukan di dunia. Ia
menutupi dataran yang sangat luas dan ditumbuhi semak-belukar di ketinggian Oscodar.
Di halaman luas yang ditumbuhi pohon-pohon kering itu, Anda hanya melihat kuburan
yang berjejer memanjang sampai beberapa mil. Kuburan ini dirancang sedemikian rupa
sehingga seluruh mayat yang berbaring di atas sisi kiri tubuhnya menghadap kiblat.
Bentuk susunan yang berjajar pada tempat peristirahatan yang membelah lembah itu
membuat suatu lukisan alam yang sangat unik. Seakan ada magnet yang menarik segala
sesuatu menuju Mekah.

Ada perbedaan utama antara kuburan Islam dan kuburan Kristen. Islam tidak mengenal
monumen atau patung yang menunjukkan kemegahan --dalam hal ini, orang Turki lebih
toleran terhadap saudara Arab mereka, menyangkut penggunaan marmer.

Adapun fenomena berkabung dan duka-cita seperti menangis histeris, melolong,


menjambak rambut, mengoyak pakaian, dan membuat ritus-ritus di seputar kuburan, serta
segala bentuk ritual untuk mengangungkan seseorang yang telah wafat, itu semua
bukanlah perilaku Islam.

Hal ini disalahmengertikan oleh Barat bahwa menahan jiwa sebagai ketidak-berperasaan,
sedangkan sabar menghadapi musibah dianggap kebekuan nurani. Pada saat rakyat Arab
Saudi menguburkan raja yang sangat mereka cintai, pada tahun 1953 di pemakaman
umum tanpa tanda pembeda, dipandang sebagai indikasi kemiskinannya.

Hal ini jelas tidak benar. Interpretasi yang sebenarnya, adalah umat Islam dalam sikap
negatif mereka terhadap penyembahan pahlawan dan orang-orang besar yang telah wafat,
menunjukkan keinginan keras mereka untuk tidak tergelincir kepada penyelewangan
tauhid. Karenanya, mereka ingin menegaskan bahwa tak ada peluang sedikit pun bagi
orang-orang hebat, para nabi atau orang-orang suci untuk mempersekutukan Allah dalam
keagungan-Nya setelah mereka wafat, karena Allah berkuasa tanpa sekutu.

Di sisi lain, banyak orang Barat berlebihan dalam menilai perbedaan antara alam semesta
dan iman terhadap hari kiamatnya Kristen dan Islam. Kedua agama ini menerima bahwa
pernyataan, "Setiap kali alam mendekati ujung akhirnya, alam yang lain semakin dekat,"
(Abdul Qadir ash-Shufi). Seorang Kristen yang taat, seperti halnya seorang muslim yang
wara' selalu mempersiapkan dirinya setiap hari menuju perjumpaan dengan maut.
Penantian yang lama ini disimbolkan pada puncak Jabal Arafat, Mekah. Sikap ini
mendapat legitimasi yang istimewa di antara ritus-ritus haji lainnya.

Yang jelas, Al-Qur'an sarat dengan metafora surga dan neraka. Dan, Muhammad saw
telah menambahkan seluk beluk hari kiamat lewat riwayat perjalanannya ke Quds (Isra)
dan kenaikannya menuju langit tujuh (Mikraj).

Tidak cukup sampai di sini --juga jika ada tambahan yang wajib diketahui-- para sufi
terlampau jauh memikirkan detail-detail ilustrasi terhadap makna simbol-simbol dan
metafora-metafora akhirat. Shur, diartikan yang akan ditiup sebelum akhir dunia. Mizan,
diartikan timbangan kebajikan dan kejelekan. Sedang Shirat, diartikan sebagai titian yang
dilewati seseorang menuju surga.

Dalam buku tentang "Kematian dalam Islam" karya Abdul Rahim bin Ahmad al-Qhadi
(1981), sang penulis sangat berani dalam mengembangkan ilustrasi-ilustrasi imajiner
terhadap sesuatu yang ia namakan "peta geografi akhirat".

Sekalipun kerancuan-kerancuan ilustrasi sampai sedemikian rupa, namun tidak membuat


seorang muslim yang berakal berkeyakinan bahwa para penyusun buku itu mengetahui
hakikatyang mereka bicarakan. Sungguh, buku tentang kematian ini dengan segala
muatannya tentang informasi-informasi sejak lepasnya ajal sampai ke alam kebangkitan
(al-Ba'tsu) hanyalah menunjukkan kelemahan kita dalam memahami kehidupan setelah
mati lebih dari apa yang dijelaskan oleh wahyu dengan gamblang.

Sungguh, aku ingin memijakkan kakiku di atas tanah keras. Dan, kitab kematian yang
kupilih adalah surat Yasin (ayat ke36).
Menemui Muhammad Asad
(Lisabon, 21 September 1985)

Di hotel Tripoli Lisabon, kami menunggu dengan penuh harap pertemuan dengan
Muhammad Asad dan istrinya, Paula Hamidah yang berasal dari Amerika. Akhirnya
mereka datang juga.

Dia datang menyetir mobilnya sendiri, padahal umurnya sudah 85 tahun. Pertama, kami
berbincang-bincang dengan bahasa Jerman --bahasa yang ia gunakan semasa muda--
kemudian dengan bahasa Inggris. Pada saat yang sama, ia juga siap berbincang dengan
bahasa Arab, Persia, Prancis, Portugal, Spanyol, dan Urdu.

Aku mengajukan beberapa pertanyaan yang tidak keluar dari batas-batas kesopanan
dengan tujuan mengetahui lebih banyak latar belakang prestasi ilmiah dan sastranya yang
berhasil dicapainya pada abad ini. Tidak lupa aku mengingatkan harapan yang pernah ia
ungkapan pada tahun tiga puluhan, yaitu agar Islam mengisi kekosongan yang
ditinggalkan ateisme Barat dan komunisme dari panggung sejarah kebangkrutan rohani.

Sedikit banyak, prediksinya telah terwujud, ketika dua ideologi itu sedang kolaps. Yang
belum terwujud adalah Islam belum dianggap sebagai alternatif. Itu karena tidak ada
negara Islam yang mampu memajukan dirinya dengan cara yang membuat Barat
melihatnya sebagai model antitesis yang menarik. Bahkan, yang terjadi adalah
sebaliknya.

Namun, Asad dengan segala kerentaannya tidak terlalu tenggelam dalam lamunan.
Matanya tajam dan menyala-nyala. Analisisnya dalam dan logis, seperti kebiasaannya.

Jika ada sesuatu yang kontradiktif pada tuan bersuara lirih dan berjanggut tipis ini, maka
itu adalah kontradiksi yang nyata antara kontribusinya yang mengagumkan dalam
menghidupkan Islam di satu sisi, dengan kerendah-hatiannya yang dalam, sehingga
melupakan diri, dan kebaikannya yang melimpah di sisi lain.

Bukanlah ilusi semata yang mengganggu pikiran Asad bahwa masih banyak sekali tugas
yang harus dikerjakan sampai kemanusian siap menerima tercapainya kemajuan Islam.
Dia katakan, dia ingin melihat saya menanggung selarik dari pertanggungjawaban ini.
"Sungguh Allah beserta orang-orang yang sabar," (al-Baqarah:153). Tidak ada yang
mustahil bagi Allah.

Jangan Kau Sentuh Al-Qur'an!


(Lisabon, 22 September 1985)

Masjid Lisabon yang baru dan megah-gayanya mengikuti aliran Barhaus --mencerminkan
duplikat Masjid Jami' Ibnu Thaulan di Kairo. Masjid ini berhadapan dengan Museum Joe
Lubencian --yang menyimpan sejumlah karya seni Islam yang asli, memikat, dan
karenanya layak diapresiasi.

Di Portugal, saat ini terdapat 1500 muslim yang mayoritas aliran Syiah Islamiyah dari
Mozambik --mereka menjadi mayoritas sejak 700 tahun yang lalu.

Ketika aku mendekati seorang hafizh Al-Qur'an di masjid itu, seorang pemuda
mencegahku. Dia tampak marah karena ia sangka aku adalah turis --bukan muslim yang
suci-- dan karenanya tidak boleh menyentuh Al-Qur'an.

Agar seseorang memahami mengapa reaksi ini terjadi, ia mesti mengerti lebih dulu
bahwa Nabi Muhammad saw. menjadikan kesucian badan sebagai setengah agama.
Dalam konteks ini, sesuai dengan sunnah Nabi, seyogianya umat Islam tidak membaca
Al-Qur'an, apabila ia belum bersuci/berwudhu.

Orang Kristen juga membiasakan memuliakan kitab suci mereka ketika mereka
berinteraksi dengan penghormatan yang sepadan.

Ketika saudara-saudara kami dari Mozambik mengetahui bahwa mereka salah dalam
menilai pribadi kami, lalu mereka segera mohon maaf. Kemudian, berusaha sekuat tenaga
memudahkan urusan kami selama di Lisabon.

Sungguh persaudaraan tiada batasnya.

Sejarah Panjang Organisasi-organisasi Islam di


Amerika
(Dalam pesawat udara No. 815, 9 Oktober 1985)

Dalam perjalanan pesawat yang memakan waktu 15 jam dari Brussel ke San Fransisco
--di mana akan diselenggarakan konferensi NATO-- aku mendapatkan banyak waktu
untuk membaca sejarah perkembangan Islam di Amerika, suatu sejarah yang sarat dengan
distorsi.

Pada tahun 1932, Elija Muhammad "sang nabi" mendirikan organisasi muslim kulit hitam
di Detroit, Sebuah organisasi rasialis saingan kulit putih yang berkarakter militeristis.
Umat Islam dijadikan sebagai tendensi-tendensi politik separatis.
Hanya saja di antara para aktivis politik yang pergi dan belajar di Mekah berubah haluan
dengan cara yang tidak diduga-duga menjadi umat Islam yang saleh dan militan. Hal ini
terjadi pada seorang yang memiliki reputasi baik (atau jelek) seperti Malcolm-X --yang
terbunuh tahun 1965. Dan, seorang radikal yang dulu punya latar belakang kriminal,
seperti Rob Brown --sekarang bernama Gamal Abdullah alAmin-- dan Wallace, putra
Elija Muhammad.

Setelah Wallace Muhammad memegang tampuk kepemimpinan selama sepuluh tahun, ia


mendapat hidayah dan mengejutkan banyak kalangan, sewaktu perayaan sepuluh tahun
kepemimpinannya (20 April 1985). Saat itu, ia memproklamasikan secara bersahaja
bahwa legitimasi organisasinya tidak islami. Lalu, ia meminta saudara-saudaranya untuk
keluar dan bersatu di bawah naungan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai warga negara
Amerika, khususnya, dengan umat Islam umumnya yang mencakup kulit putih dan kulit
hitam.

Bisa diduga, dengan serta-merta mereka menolak ajakannya.

Perjalanan sejarah berubah secara revolusioner sampai-sampai melahirkan gerakan


separatis hitam baru, yaitu ketika Louis Farrakhan mendirikan Umat Islam Baru yang
menganut garis keras.

Tentu saja, perkembangan ini merusak citra Islam di Amerika secara umum. Masa depan
akhirnya memihak mayoritas muslim kulit hitam yang secara perlahan namun pasti,
kembali menuju sumber-sumber Islam yang hakiki. Sampai hari ini saja terdapat 50.000
naskah terjemahan Al-Qur'an dalam edisi bahasa Inggris yang beredar di pasaran dengan
harga murah berkat usaha organisasi (Tahrike, Tarsile) yang didirikan lima tahun lain.

Jika ada yang bertanya, di mana terdapat "percetakan masa kini" yang bisa dianggap
sebagai lembaga terbesar dalam menangani distribusi buku-buku keislaman, dan paling
banyak cabangnya? Jawabannya, tentu ada di Ann Arbor, Michigan. Apa ada di tempat
lain?

Makmum Berkulit Hitam dan Imam Berkulit Putih


(San Fransisco, 10 Oktober 1985)

Di pusat informasi hotel, mereka bertopang dagu ketika aku meminta informasi mengenai
masjid di kota ini. Yang mereka sodorkan justru daftar gereja yang memuat nama 24
sekte yang kebanyakan masih asing bagiku, Islam tentu saja tidak termasuk.

Walau begitu, aku tidak menyerah begitu saja. Segera kami cari di buku telepon. Di
dalamnya tertera: "Islamic Center, Davisador 850 St., shalat tiap hari pukul 1 siang,
sedangkan hari Jumat jam 12 siang." Alangkah anehnya keterangan tersebut, seperti gaya
gereja saja dalam melaksanakan ibadah ritual.
Wajah penjaga pintu menampakkan rasa tidak senang sambil menunjuk ke arah tempat
masjid. Ia hanya berkata, "Jangan jalan kaki ke sana. Sebaliknya, Anda naik taksi dan itu
pun pada siang hari saja." Ungkapan ini adalah kiasan dari, "Hati-hati, daerah kulit
hitam!"

Tentu saja, aku memilih jalan kaki menempuh jarak yang cuma 2-3 mil. Segera aku
menuju arah barat, keluar dari Jalan Grove melewati medan Almoe. Akhirnya aku sampai
ke distrik Missouri, perkampungan kulit hitam. Orang-orangnya ramah dan banyak
bicara. Mereka menemaniku menikmati cuaca yang cerah di bawah kubah langit
California yang biru.

Di Islamic Center, California, ada empat orang hitam yang akan mendirikan shalat.
Seorang di antara mereka sudah tua, rambutnya sudah memutih sedang berusaha keras
membaca Al-Qur'an. Yang kedua, mulutnya sudah tidak bergigi lagi. Yang ketiga,
mengalami luka bakar parah yang menyebabkannya tidak mampu ruku dan sujud.
Beberapa waktu kemudian, baru aku tahu bahwa ia adalah muazin masjid ini. Yang
terakhir, Yusuf Simon, seorang pemuda Syiah yang sangat cerdas dan kini sedang
menggeluti ilmu politik. Dalam dirinya terkumpul tiga sisi yang berbeda; kulit hitam di
antara kulit putih, muslim di antara orang-orang Kristen dan Syiah di antara Sunni.

Ketika sang muazin mengumandangkan azan, ia membuat aku terperangah. Karena ia


memulai dengan iqamat, baru azan. Sungguh, aku tidak ragu bagaimana respon seorang
Bilal, muazin Islam pertama yang berkulit hitam, terhadap azan terbalik seperti ini.
Segera aku mengoreksi kekeliruan ini dengan penuh kesabaran.

Walaupun hasilnya tidak terduga, namun ia memiliki logikanya sendiri. Jamaah kecil ini
memutuskan bahwa akulah muslim yang paling berilmu di antara mereka, karenanya aku
segera ditunjuk --sedangkan aku berkulit putih yang datang tiba-tiba di hadapan mereka
menjadi imam shalat.

Begitulah untuk pertama kali dalam hidupku, aku berdiri langsung menghadap kiblat
untuk shalat berjamaah dengan umat Islam lokal. Aku tidak segera memulai shalat,
setelah aku yakin seperti kebiasaan seorang imam bahwa jamaah yang terdiri dari empat
orang ini telah meluruskan shaf.

Dalam perjalanan pulang dengan bus, aku terlibat dalam diskusi yang hangat dengan
Yusuf tentang sebab-sebab perselisihan pribadi antara Fatimah dan Aisyah, yang pada
akhirnya keduanya berbeda arah, melempangkan jalan terpecahnya Syiah dari tubuh umat
Islam.

Kebingungan melanda para penumpang yang duduk di sekitar kami.Apakah mereka tidak
memahami bahwa penghalang-penghalang utama sebenarnya tidak ada dalam tubuh umat
Islam? Atau, apakah mereka tidak percaya bahwa para muslimah dulu terlibat dalam
peran-peran yang dinamis dan hangat pada masa awal Islam?
Apa yang Semestinya Tidak Jadi Kenyataan?
(Oslo, 28 Oktober 1985)

Aku mendapat kehormatan menyampaikan presentasi dengan tema "NATO sebagai


Masyarakat Bernilai" pada Akademi Militer di Oslo yang dihadiri oleh Yang Mulia Olav
V, Raja Norwegia.

Seperti biasa, panitia penyelenggara membacakan biodataku. Juga seperti biasa, ia tidak
menyebut dua hal, agamaku, dan karya-karyaku tentang pemikiran keislaman.

Kejadian serupa terulang dua pekan lalu, ketika aku menyampaikan presentasi di Denver,
Colorado --di depan gedung Majelis Bidang Internasional- San Paul, Minessotta-- di
depan Komite Hubungan Luar Negeri. Juga di Universitas San John Bennedict,
Mineapolis. Bahkan, pembawa acara di San Paul mengedit biodata yang kuajukan dengan
menyebutkan bahwa aku peduli terhadap Islam.

Ada apa di balik permainan ini? Apakah orang-orang yang mengundangku berkeyakinan
bahwa data aku memeluk Islam hanya sekadar kesalahan ketik? Ataukah mereka
berkeyakinan bahwa agama yang kuanut sekarang sesat sehingga mereka enggan
menyebutnya? Apakah sesuatu yang mestinya tidak terjadi, tidak mungkin terjadi?

Selamat Datang Pantheisme Hegelianisme, dan


Gnostisisme
(Brussel, 25 November 1985)

Tujuh pekan telah berlalu sejak aku membaca dalam majalah Frankfurt Zeitung sebuah
rubrik dialog agama yang berisi kritik terhadap buku Leonardo Bot yang berjudul
"Ketuhanan Kebehasan". Urs Von Baltz meramalkan bahwa Hans Kung --seorang
profesor kondang asal Swiss yang menggeluti bidang Teologi Katolik-- apakah ia
sebenarnya masih Protestan ataukah sudah masuk Islam?

Peristiwa ini menarik sekali. Lalu aku bertanya kepada diriku sendiri; apakah yang
kulihat hanya peristiwa pers --sekadar dialog antara dua orang pakar-- atau aku sedang
menyaksikan terbukanya wawasan keilmuan yang lebih dewasa? Apakah dialog ini
menyiratkan adanya kekosongan keagamaan atau kerinduan massa akan semacam
ketenangan berakidah?

Jika ada orang beranggapan ada suatu indikasi yang berbahaya bahwa orang-orang
Kristen mulai meninggalkan akidah dan gereja mereka, maka anggapan semacam ini
tidaklah mengagetkan. Oleh karena, mantan Presiden Jerman, Prof. Dr. Karl Kartens,
tidak berkeberatan membicarakan fenomena yang mencemaskan ini, di Jenewa pada 29
Agustus 1985. Ketika itu, ia berkata, "Apa pun yang menyangkut perkembangan masa
depan, maka sesuatu yang sangat membuatku cemas bukanlah masalah bom atom,
pencemaran lingkungan, atau ledakan populasi penduduk di dunia ketiga. Namun, yang
sungguh mencemaskan diriku adalah bahwa kita sedang kehilangan peradaban kita,
setelah itu agama kita, dan ini menunjukkan penghabisan kita; manusia menganggap
dirinya bisa memecahkan segala persoalan."

Kemudian ia berbicara tentang fakta-fakta yang menyedihkan yaitu, "Hasil polling


pendapat tentang akidah agama menyatakan hanya 14 persen saja yang menyetujui
memegang teguh agama. Begitulah pemuda Jerman mengalami dekadensi nilai. Hanya 6
persen umat Protestan dan seperempat umat Katolik Jerman yang selalu pergi ke gereja
dengan teratur. Kegiatan nyata yang dilakukan pemuda-pemuda di gereja-gereja Barat
dan utara Eropa umumnya didasari alasan politis.

Dialog di antara orang Kristen tersebut menghasilkan kepentingan lain, sehubungan


dengan umat Islam. Itu karena Bove dan Kung kembali memasukkan jati diri Almasih
dan kemungkinan manusia dan Tuhan tidak terpisah dalam satu diri dalam diskursus
mereka?

Dalam konteks ini, jelas bahwa segala macam justifikasi terhadap trinitas, sampai saat ini
tampak pincang.

Sebagai contoh, kita lihat cetakan terbaru dari buku-buku ajaran-ajaran Katolik yang
ditujukan untuk konsumsi orang dewasa dan menggunakan pendekatan sufistis; yaitu,
"Pengampunan adalah tuhan sendiri melalui tubuh Almasih dengan menyatukan roh
kudus. Sungguh makna signifikan 'pengampunan' dengan segala kedalaman maknanya,
berarti bahwa tuhan akan menerima kita tanpa syarat. Dia akan meridhai dan mencintai
kita lewat ketuhanan Almasih dalam roh kudus.

Kita, melalui cinta akan bersatu dengan total. Dan, kita lewat hubungan pribadi dan
kebenaran kita dengan tuhan akan memberi saham secara pribadi terhadap kehidupan
tuhan." Oleh karena kata-kata idealis-utopis dari teks-teks ateisme di atas, al-Hallaj,
seorang sufi muslim dieksekusi pada tahun 922.

Dalam ungkapan-ungkapan kosong tersebut, hubungan antar kalimat diikat dengan


permainan kata-kata. Ajaran-ajaran ini berusaha menjadikan kedudukan Almasih sebagai
"anak tuhan" yang bersatu dengan-Nya lebih bisa diterima lewat usaha pendekatan semua
manusia terhadap kedudukan ini.

Selamat datang Wihdatul Wujud! Layak disebut juga, Prof. Hans Faldenfels dalam
diskusi kontemporer seputar konsep trinitas (Frankfurt Zeitung edisi November 1985). Ia
berpendapat bahwa inkarnasi tuhan adalah ini hakikat. Karena berubah dan berpindahnya
tuhan kepada manusia berarti ia telah "menanggalkan dirinya dari dirinya". Faldenfells
sampai pada hipotesis yang menakutkan, mungkin malah menjadikan penanya
menyiratkan kengerian, "Sungguh, inkarnasi tuhan telah berpindah ke orang lain."
Selamat datang Hegel! Dalam "catatan buat pemimpin redaksi" keesokan harinya, penulis
mengambil sikap yang menyerupai sikap elit pencerah (Barat) ia menulis, "Sungguh
risalah Almasih tidak ditujukan untuk akal kita, tetapi ditujukan untuk roh dan jiwa kita.
Sungguh tuhan telah menciptakan kita pada asalnya dengan memandang kita sebagai
anak-anak cahaya yang sempurna dan makhluk-makhluk rohani yang suci." Penulis kata-
kata ini tidak memberitahukan kepada kita, bagaimana mungkin risalah-risalah kenabian
bisa sampai ke dalam jiwa tanpa jalan akal.

Selamat datang Gnostisisme! Semua bualan ini belum mencapai puncaknya, lihatlah
buku yang ditulis oleh sejarahwan Prancis, Jean Delimo, yang dirilis baru-baru ini dengan
judul "Inilah yang Kuimani" (Grasset;1985)

Dia benar ketika memulai hipotesisnya bahwa akidah Kristen memiliki karakter
revolusioner radikal dalam konsep tentang tuhan. Dan, hanya sedikit saja yang mampu
menangkap hakikatnya pada suatu waktu.

Tetapi Delimo, setelah itu, memperkuat pendapat Kristen yang salah yang mengatakan
bahwa selama tuhan Almasih adalah tuhan, maka tuhan mungkin akan menjadi lemah,
rendah, dan penyakitan. Sebenarnya, tuhan yang sesuai dengan logika akan senantiasa
menanggung rasa sakit beserta dan melalui orang-orang yang susah dan nestapa ketika
Almasih menyatu dengan mereka. Logika ini membuat Delimo mengungkapkan
harapannya pada kejadian perubahan-perubahan besar menuju yang lebih baik pada saat
manusia menyadari bahwa, "Tuhan merasakan, seperti kita bahkan lebih dari apa yang
kita rasakan, akan kejahatan alam yang keras ini." Apakah keutamaan tersembunyi dalam
perasaan merintih kepada tuhan?

Berlawanan dengan kontradiksi-kontradiksi ini, konsep Islam tentang Tuhan tidak


diimbasi kerancuan, akan tetapi berkarakter logika rasional yang kuat dan jelas. Sungguh
Allah, seperti yang Dia deskripsikan sendiri dalam Al-Qur'an adalah: Yang Mahasatu,
Maha Esa, tidak beranak tidak pula diperanakkan, Maha Pencipta, Mahasempurna, tidak
ada yang menyamainya, Maha Mengatur, Mahamutlak, Mahasuci dari segala
kekurangan, dan Mahakaya. Allah Mahakuasa, pemberi hidayah kepada manusia melalui
nabi-nabi-Nya, tanpa membutuhkan inkarnasi, mengadopsi anak, atau mengorbankan
diri-Nya.

Menghadapi interpretasi-interpretasi yang berhubungan alasan ketuhanan dalam


kemanusiaan Almasih, hendaknya seseorang merenungi isi surat al-Ikhlas, yang selalu
aktual sepanjang 1400 tahun yang lalu. Allah berfirman, "Katakanlah bahwa Allah itu
Esa (Satu). Allah tempat bergantung. Tidak beranak, tidak pula diperanakan. Dan, tidak
ada seorang pun yang menyamai-Nya."

Pandanganku, Pandanganmu (Tanpa Malu-malu)


(Brussel, 29 November 1985)
Selama sepekan, dua majalah Time (edisi 20 Desember 1985) dan Frankfurt Zeitung,
disingkat "FZ" (edisi 30) memuat fenomena penduduk kaum Hasidy [10] di Brooklyn
(Time) dan Distrik Miacharim, Palestina (Frankfurt Zeitung).

Kedua majalah itu melukiskan bagaimana fundamentalis Yahudi Ortodoks yang berasal
dari Eropa Timur ini menjalankan ibadah ritual dan tradisi mereka dengan ketat sampai
ke hal-hal kecil, seperti makanan dan pakaian wanita. Juga dilukiskan masalah pemisahan
antara wanita dan pria ketika melaksanakan ritual keagamaan dan perayaan-perayaan
keluarga, seperti pesta perkawinan. Kedua majalah itu juga memaparkan metode
kekakuan mereka dalam mempelajari Taurat dan Talmud, dalam kerangka pemahaman
yang mirip dengan konsep taklid buta. Dipaparkan juga fenomena-fenomena fanatisme
dan skeptisisme dalam membela gaya hidup mereka yang ortodoks, terutama menyangkut
tradisi hari Sabtu.

Yang menarik perhatian dari tiap tema-tema di atas adalah sikap simpatik kedua majalah
ini dalam mengomentari sikap hidup mereka. FZ menyebutnya sebagai kekuatan positif.
Sedangkan Time, dalam komentarnya, mengutip dari buku Louis Haris, "Hari-hari Suci:
Dunia Klan Handy": "Walaupun sekte 'Lonafitzer' mengabaikan peranan wanita. Haris
memperhatikan aspek kemanusian yang mempengaruhi ikatan persaudaraan, seperti yang
terjadi pada wanita Amazon. Para prianya menghormati istri-istri mereka dan tidak ada
tanda-tanda bahwa mereka akan berkhianat."

Dengan ungkapan lain, pemisahan antara pria dan wanita yang pada situasi lain dianggap
negatif dan kuno --kita lihat simpati pada kedua majalah tersebut sebagai pemisahan
positif antara peran pria dan wanita.

Melihat hal itu, seseorang hampir saja berteriak dengan keras, "Sungguh aneh, tapi
apakah ia bisa menggambarkan komentar semacam: apa yang akan terlontar terhadap
fenomena yang sama dari dua majalah ini, apabila sikap fundamental yang menjadi bahan
laporan mereka bukan Yahudi tapi Islam?" Apabila berlatarbelakang Islam bisa dilihat
bahwa tradisi dan ritual yang sama akan dicap rendah, sempit pandangan, fanatik,
irasional, kuno, melecehkan hak-hak wanita. Semuanya adalah hal-hal yang tidak bisa
diharapkan untuk diperbaiki.

[10] Kaum Hasidy ialah segolongan kaum Yahudi yang tradisional yang muncul di
Polandia, pada tahun 1750 yang berpegang-teguh kepada tradisi-tradisi kuno keagamaan
mereka.

Mitos-mitos
(Di dalam Kereta yang menuju Hamburg, 4 Desember 1985)

Dalam perjalanan untuk menyampaikan presentasi di Akademi Pertahanan Angkatan


Bersenjata Jerman di Hamburg Blanknitz, aku membaca buku karya Kamal Shalibi yaitu,
"Dari Jazirah Arabia, Injil Datang" (London;1985). Ia menggunakan pendekatan analisis
bahasa terhadap nama-nama daerah. Buku yang ditulis oleh Profesor Protestan asal
Libanon ini menyodorkan konsep menarik tentang sejarah timbulnya Israel.

Berbeda dengan para pakar Injil konvensional, ia mengakui keabsahan riwayat-riwayat


historis yang terdapat pada kitab suci (Injil). Hanya saja, ia berbeda dengan mereka
dalam hal daerah geografis tempat kejadian berlangsung.

Metode baru ini membawakannya pada kesimpulan bahwa lokasi sejarah klan-klan
Yahudi --awal sebelum tahun 500 SM-- berada di daerah antara Thaif dan Yaman Utara
(di Provinsi Asir, sekarang Arab Saudi). Ia berhasil membuktikan bahwa rangkaian
huruf-huruf sukun (mati) ratusan nama-nama daerah pemukiman, sungai, dan gunung di
Asir, bersesuaian dengan padanannya yang terdapat dalam Injil. Begitu juga, panjang
jarak yang memisahkan antara satu tempat dan yang lain cocok, seperti yang dilukiskan
dalam Perjanjian Lama. Sebaliknya, Shalibi tidak menernukan bukti kuat yang se
banding dengan Palestina.

Jika benar pernyataan bahwa materi-materi berbahasa Ibrani dalam Injil diambil dari
barat Jazirah Arabia, dalam hal-hal yang berkaitan dengan akidah tauhid dan bahwa Nabi
Ibrahim dulu hidup di sana. Maka, riwayat-riwayat yang dibawa Islam sekitar perintisan
kota Mekah oleh Siti Hajar dan pembangunan dinding Ka'bah pertama oleh Nabi Ibrahim
dan Nabi Ismail mendapat justifikasi (pembenaran) yang mencengangkan.

Wajar jika para pakar Israel berusaha keras membantah pendapat Shalibi ini. Mereka
khawatir dasar perundangan berdirinya negara Israel akan terusik. Penting pula bagi suatu
bangsa yang telah hidup di suatu daerah, lebih dari 2500 tahun, sampai ia mampu
mendirikan suatu negeri yang layak dihormati.

Para pengkritik Shalibi menunjukkan bahwa hanya ada sedikit sekali nama-nama kuno
yang sama di Palestina dan selatan Hijaz. Walaupun bukti ini tidaklah mematikan, karena
adalah hal biasa bila para perantau selalu cenderung menamakan kota-kota baru mereka
dengan nama-nama kota yang pernah mereka tinggali. Contohnya, Bismark, Dakota
Utara, Athena, dan Pennsylvania.

Yang lebih penting bahwa metode Shalibi telah memungkinkan ia membuktikan


kebenaran riwayat-riwayat Al-Qur'an tentang nabi-nabi Yahudi, dan berkesimpulan
bahwa rekaman Al-Qur'an terhadap kejadian-kejadian dalam Injil bukan hanya menukil
isi Taurat yang terserak dan disebarkan dari mulut ke mulut --sebagaimana
kecenderungan sebagian ilmuwan Barat. Shalibi berpendapat bahwa Al-Qur'an
mengandung teks-teks orisinal terhadap kejadian-kejadian dalam Taurat.

Upaya Shalibi bukan hanya berhasil menyingkap lokasi Orshelin I di daerah Asir (al-
Sharim 35 km ke utara dari Nimas) dan 'And (sebuah Oase Janiniyah pada Telaga Wadi
Bisya) semata, akan tetapi juga mampu menemukan lokasi Sodom dan Gomorah, juga
aliran asli sungai Yordan (lembah gunung Sarat).
Jika analisis bahasa ini mampu membuktikan hujahnya, maka Shalibi berhasil
menyingkap banyak rahasia sejarah dalam Injil dan Al-Qur'an yang di dalamnya terdapat
semua tradisi yang menghubungkan akidah Musa dan Islam dengan "Bapak Spiritual",
Ibrahim sebagai penyatu. Apa pun yang terjadi, Shalibi berkeyakinan penuh bahwa
Ibrahim a.s. pernah hidup di daerah Rijal Alama dan di selatan Thaif.

Dengan kata lain, hasil penelitiannya menambah kebenaran ritus-ritus haji (Mekah,
Arafat, Muzdalifah, dan Mina).

Islam dan Hak Asasi Manusia


(Dalam kereta yang menuju Brussel, 5 Desember 1985)

Dalam artikel majalah al-Jazirah al-Arabiyah, edisi November 1985, Fathi Utsman
mengutarakan bahwa pemikiran Islam kontemporer tampak kabur dalam hal konsep hak
asasi manusia (HAM), menurut Islam (hlm. 11). Sungguh, ia tepat dalam hal ini.

Jika setiap kali umat Islam dihadapkan pada pertanyaan tentang prestasi-prestasi
spektakuler Revolusi Amerika dan Prancis pada abad ke-18, reaksi mereka sungguh
kontradiktif dalam bentuk yang tidak jelas.

Pada satu sisi, kita temukan di antara umat Islam terdapat para pemikir cemerlang, seperti
Muhammad Asad dan Fathi Usman --walaupun mereka bukan mujaddid kontemporer--
mengemukakan masalah apa pun dengan gamblang tanpa tedeng aling-aling, selama
Islam dan logika masih sesuai dengan roh kontemporer.

Di sisi lain, kita dapati penulis semacam Ogozan Symsik, dalam majalah Hicret edisi
awal November 1985, menolak demokrasi dengan mengatakan, "Apa itu demokrasi? Ia
tidak islami."

Lebih dari itu, negeri-negeri Islam tidak satu suara dalam melegalisasi HAM, baik yang
berhubungan dengan Deklarasi Internasional HAM yang dikeluarkan oleh Badan Umum
PBB (10 Desember 1948) atau dokumen-dokumen internasional. Hal itu khususnya yang
menyangkut hak-hak pidana, politik, ekonomi, sosial, dan budaya (19 Desember 1966).

Mesir, Irak, Yordania, Libanon, Mali, Maroko, Syria, dan Tunisia segera menjustifikasi
secara semu terhadap dokumen-dokumen ini, sementara yang lainnya ragu-ragu. Di
antara kelompok kedua, Arab Saudi dan Pakistan, sejak 1980 memainkan peranan
penting dalam mengembangkan rancangan HAM yang islami. Hal itu berpulang pada
kenyataan bahwa konsep HAM Barat tidak sesuai dengan syariat Islam. Di antaranya
hukuman terhadap orang-orang murtad, masalah persamaan hak antara wanita dan pria
serta masalah non-muslim yang tidak boleh memegang kekuasaan tertinggi di negara
Islam.
Sebenarnya fikih Islam tidak dapat menutup mata terhadap adanya sistem perbudakan
--yang kini dilegalkan di berbagai tempat. Fikih juga hendaknya menyadari kenyataan,
bahwa Al-Qur'an, dalam banyak ayat, mengelaborasi topik perbudakan. Secara implisit,
Al-Qur'an ingin membatasi praktiknya jika tidak menghapusnya sama sekali.

Pada saat yang sama, kasus murtad adalah lebih sederhana dari yang dibayangkan,
walaupun orang-orang murtad diperangi pada abad pertengahan. Sungguh, bila kita
menengok surat al-Maa'idah:33, hal itu semestinya tidak ditakwil sebagai perubahan
damai terhadap akidah agama. Akan tetapi, kita berkeyakinan bahwa sanksi yang
disebutkan dalam Al-Qur'an, hanya ditegakkan karena pengkhianatan dan konspirasi
jahat terhadap negara Islam. Ini adalah bentuk subversif, yaitu mayoritas negara-negara
modern menjatuhkan hukuman mati.

Mudah juga membela dengan logika akan pelarangan bagi non-muslim untuk memerintah
di negara Islam, khususnya dalam kerangka perlindungan penuh yang dijamin oleh
syariat Islam terhadap minoritas non-muslim, dan sebagainya.

Sesuai dengan Undang-undang Amerika, maka anakku Alexander yang dilahirkan


sebagai warga Amerika tidak bisa menjadi presiden Amerika Serikat karena ia dilahirkan
di luar AS. Jika kaidah ini tidak dikatakan pelanggaran HAM, maka kita harus menerima
--dengan format yang sepadan-- perlindungan posisi-posisi strategis tertentu bagi umat
Islam di negeri --yang mayoritasnya-- muslim.

Hal ini menuntutku kepada kontradiksi antara konsep Barat dan syariat Islam dalam
bidang emansipasi wanita, karena tidak ada alasan mengingkari bahwa syariat Islam
menawarkan antitesis (terhadap alternatif Barat) yang bertolak dari pembagian secara
alamiah terhadap peran dan tugas masing-masing. Bertolak dari sini, syariat Islam
memegang prinsip: persamaan dalam pergaulan tidak diterapkan, kecuali dalam situasi
dan kondisi yang relevan, bukan dalam situasi dan kondisi yang berbeda. Dalam segala
kondisi, syariat Islam berusaha memelihara kehormatan wanita dan mencegah eksploitasi
laki-laki atas kelemahan wanita dalam perbedaan biologis. Begitulah konsep Islam:
persamaan dalam kemuliaan dengan perbedaan beban; persamaan dalam kedudukan
dengan perbedaan peran; dan persamaan dalam nilai dengan perbedaan kemampuan.

Tidaklah tepat jika memperbandingkan bahwa wanita karir di Barat, sebagai konsekuensi
logis kebebasan yang mereka nikmati, telah berhasil mewujudkan keinginan dan
kebahagian mereka, lebih dari yang bisa dicapai oleh saudari mereka yang di Timur.
Banyak yang berpendapat selain itu. Walhasil, keraguan menggelayuti diriku terhadap
sistem hidup yang tidak bisa menjamin kehidupan yang mulia bagi wanita. Karena
persoalan ini bergantung sepenuhnya pada interaksi seseorang dengan orang lain dan
dirinya sendiri.

Sesungguhnya, tolok ukur kebahagian adalah hati. Namun, ada satu hal yang seyogianya
dihormati oleh para pengkritik dari Barat, yaitu umat Islam menjadikan Allah SWT
sebagai Pemegang kata putusan terhadap apa yang berhubungan dengan HAM dan hal ini
termaktub dalam Al-Qur'an.
Khurafat dalam Kajian Misteri Angka-angka
(Brussel, 16 Desember 1985)

Bagi seorang muslim, Al-Qur'an adalah penegasan wahyu Allah SWT untuk
kemanusiaan yang diturunkan dalam bahasa Arab. Itulah latar belakang yang
memungkinkan kita membaca tantangan yang terdapat dalam surat Hud ayat 13, "Apakah
mereka mengatakan, "Dia (Muhammad)-lah yang membuat Al-Qur'an? Katakan (Hai
Muhammad) datangkanlah oleh kalian sepuluh surat yang semisal dengannya (Al-
Qur'an)...." Karena itu, bisa dipahami jika umat Islam berusaha menyingkap "konstruksi
dalam" dari desain bangunan Al-Qur'an, seperti halnya para astronom berupaya
menyingkap misteri jagad raya berserta isinya.

Wajar jika mereka memecahkan rahasia yang dinamakan "teka-teki silang" yaitu
susunan-susunan samar yang terdiri atas beberapa huruf yang terkadang mencapai lima
huruf di muka banyak gambar.

Pembahasan rahasia makna di balik angka, dalam Islam, digunakan sebagai metode
ketangkasan dalam memecahkan simbol-simbol dan problematika penafsiran lainnya.

Metode spiritual yang bersumber dari Qiblaniyah [11] ini berasumsi bahwa kata-kata
keadaannya sama dengan bilangan. Kata bisa mewakili bilangan tertentu, seperti halnya
angka mengandung makna-makna rahasia.

Buktinya, tidak ada nomor 13 di pintu hotel-hotel. Fenomena ini juga tersebar di dunia
Islam. Babus, Pemimpin Qiblaniyah, mendeskripsikan metode ini dengan ungkapan yang
jelas, "Gantilah huruf dengan angka kemudian, balikkan, lalu buatlah proses perhitungan
atas dasar ini," (al-Qiblaniyah; Fesbaden 1983).

Logislah bahwa simbol angka, walaupun dibungkus dengan cara ilmiah, tidak lebih dari
rekaan-rekaan yang disandarkan pada hipotesis-hipotesis yang kosong dari nilai kualitatif
dan kuantitatif huruf-huruf hijaiyah tertentu. Secara realita, kita bisa mengatakan bahwa
aliran Teosofi Qiblaniyah, sebagai bagian dari rumus-rumus kimia atau tasawuf
matematis, berusaha menggapai kekuatan-kekuatan magis.

Yang sangat mencengangkan, salah seorang pendeta Kristen akhir-akhir ini melakukan
analisis angka terhadap Al-Qur'an dengan judul "Muhammad dan Almasih" --teks-teks
yang berhubungan dengan karakter Almasih dalam Al-Qur'an (Wina: 1987). Pendeta ini
bernama Prof. Klaus Scheidle. Ia menggunakan pendekatan memutar angka ala
Qiblaniyah. Dalam buku setebal 500 halaman, ia menghitung, menambah, membuang,
dan mengurut kumpulan angka-angka ganjil dari kiri ke kanan, dari atas ke bawah sampai
ia berkesimpulan, sebagai berikut.

1. Autentisitas Al-Qur'an sangat akurat.


2. Muhammad adalah seniman ulung dan penulis yang mencapai derajat
kesempurnaan.
3. Riwayat Al-Qur'an tentang Almasih sangat mirip dengan yang terdapat dalam
Perjanjian Baru yang mengisyaratkan kesuksesan dialog Islam-Kristen seputar
risalah Almasih --dan bukan kedudukan atau jati dirinya.

Dalam konteks ini, Scheidle cukup jujur mengutip beberapa alinea dari "Karya Para
Nabi" (3:13,26 dan 427,30) agar mengingatkan pembaca bahwa orang Kristen, Yahudi,
dan Syria awalnya berbeda dengan yang berlatar belakang Helenisme dan Latin
--memandang Almasih sebagai hamba Allah saja. Bahkan, ia juga mengakui bahwa
Kristen Semit Asli sama dengan Islam.

Yang membuat optimis, ia sebagai salah seorang pakar teologi Kristen, setelah kajiannya
terhadap sejarah yang menyedihkan terhadap Gereja Nestoris, sampai pada kesimpulan
ini. Sayangnya, berpijak dari khurafat angka-angka, ia mengurangi kredibilitas Nabi
Muhammad dengan menganggapnya sebagai penulis dan seniman ulung. Itu karena,
Allah-lah yang mendesain bangunan Al-Qur'an.

Jujur saja, setelah halaman 34 dari buku ini, tidak ada yang layak dibaca, tatkala ia
berkata, "Dan ketika huruf-huruf adalah angka-angka, maka kita menambahkan nilai-nilai
yang sepadan dengannya."

Sampai batas ini, hilanglah unsur ilmiah dan klenik pun dimulai. Alangkah sombongnya
ia ketika mengatakan bahwa alfabet Ibrani tidak mewakili sistem nilai angka-angka yang
datang dari Allah saja, akan tetapi juga membatasi sistem nilai angka dalam alfabet Arab.

Kalau boleh aku bertanya mengapa huruf alif bernilai 1, huruf ta bernilai 400, dan huruf
ra bernilai 200, pada saat ia hanya bernilai 5? Lagi pula siapa yang memutuskan bahwa
angka 55 menunjuk pada kesempurnaan yang tinggi? Demi Allah, beri aku jawaban.

Sungguh aneh apabila Anda perhatikan cara kerja para pakar linguistik Qiblaniyah. Salah
satu permainan mereka adalah membuat ramalan-ramalan yang keterlaluan, yang kadang
terwujud ketika mereka selalu mengubah gaya dan tolok ukur perhitungan sampai
berhenti pada angka yang memiliki makna simbolis. Ini adalah hasil yang terjamin dari
segi ilmiah, selama penganut-penganut Qiblaniyah memberikan perkiraan nilai simbolis
bagi setiap susunan angka.

Hal berikut mungkin membantu menyingkap metode-metode mereka.

1. Terdapat 86 surat-surat Makiyah (dalam Al-Qur'an), maka konsep yang memaksa


dirinya sendiri adalah bahwa simbol angka memainkan peranannya, karena 86
adalah nilai angka bagi "Ilahim", Allah dalam bahasa Ibrani (hlm. 38).
2. Menurut penilaian kami, bahwa teka-teki rahasia itu adalah ungkapan dari tanda-
tanda "memutar-mutar otak" untuk melindungi ayat-ayat berikutnya. (hlm.205).
Jelaslah bahwa seperti itulah, orang-orang yang bergelut dengan ramalan-ramalan
semacam ini akan maju terus dalam mewujudkan keberhasilannya dalam bidang
kebatinan.

Pengikut Qiblaniyah pada abad ke-20 dan yang mempelajari seni mengolah angka
dengan menggunakan.kalkulator berkeinginan keras menganalisis ayat-ayat Al-Qur'an.
Karenanya, seyogianya kita bersiap-siap menghadapi pencelaan dan pujian semu
terhadap diri pribadi Muhammad dengan huruf-huruf tertentu. Hal ini akan membuka
pintu lebar-lebar terhadap permainan-permainan "mikro elektron" dalam penafsiran Al-
Qur'an, dan memperkuat peribahasa Jerman, "Dimana iman berkurang, bertambahlah
sesuatu selain iman (khurafat)."

[11] Falsafah agama rahasia pada para pendeta Yahudi dan Kristen pada abad
pertengahan yang menafsirkan kitab suci dengan pendekatan sufisme.

Apakah Nomor 19 Merupakan Kunci Rahasia?


(Brussel, 17 Desember 1985)

Dalam surat al-Muddatsir ayat 30 terdapat firman Allah, "Padanya ada sembilan belas."
Banyak sekali upaya-upaya sepanjang zaman dalam menguak rahasia ayat ini. Apakah ia
menunjukkan jumlah bilangan malaikat yang terdapat pada ayat berikutnya? Ataukah ia
menunjukkan jumlah bilangan bintang dan petunjuk-petunjuk ilmu falak (menurut aliran
Gnostisisme)? Ataukah ia menunjuk jumlah fungsi anatomi tubuh dan jiwa, seperti yang
diisyaratkan oleh dokter-dokter muslim pada abad pertengahan? Hanya Allah Yang
Mahatahu.

Dalam buku "Al-Qur'an: Sebuah Mukjizat yang Tampak di depan Mata" (Taxon; 1982),
karangan Rasyid Khalifah, imam Masjid Taxon di wilayah Arizona, berusaha
menyingkap peranan yang dimainkan angka 19 dalam keseluruhan bangunan Al-Qur'an.
Akhirnya, ia berhasil membuktikan bahwa 19 membentuk unsur pembangun, tidak
kurang dari 50 macam, tanpa menggunakan langkah-langkah metafisika. Sebagai contoh
ia memperhatikan: (1) basmalah menjadi pembuka semua surat Al-Qur'an, kecuali surat
at-Taubah yang terdiri dari 19 huruf; (2) lima ayat pertama dalam surat yang pertama kali
turun (al-Alaq) terdiri dari 19 kata; (3) bilangan surat-surat Al-Qur'an adalah hasil
perkalian 19x6 = 114 surat; (4) asma Allah SWT muncul 2698 kali dalam Al-Qur'an,
angka ini bisa dibagi oleh angka 19.

Yang lebih mencengangkan lagi, Rasyid menyingkap bahwa huruf-huruf samar yang
menjadi pembuka beberapa surat; selalu muncul dalam suratnya masing-masing dalam
bilangan yang menjadi kelipatan 19. Dia berpendapat bahwa ia mampu, dengan metode
ini, membuktikan secara materi bahwa Al-Qur'an adalah wahyu Ilahi. Karenanya, ilmu
pengetahuan menjadi alternatif pengganti iman.
Sebenarnya, Rasyid ingin menunjukkan lewat analisisnya terhadap Al-Qur'an bahwa ia
telah berhasil mewujudkan apa yang belum dicapai oleh para filosof sebelum dia.
Maksudnya, dalam menegakkan argumen materiil terhadap wujud Allah.

Ia juga berasumsi bahwa telah dibuktikan bahwa teks-teks Al-Qur'an tidak pernah
berubah dari dulu sampai bentuknya yang sekarang. Ia tidak pernah berpikir bahwa
logikanya itu bukanlah barang baru. Namun, apakah penggunaan angka 19 dengan
metode semacam ini bisa merusak kandungan bahasa dan format bangunan Al-Qur'an di
sisi lain?

Menurutku, metode Rasyid ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lebih dari jawaban-


jawaban yang ada. Apakah dapat diterima bahwa wahyu lingual kontruksi angka?
Apakah dapat, dengan upaya-upaya yang serius dan sepadan, sampai pada bangunan-
bangunan Al-Qur'an yang bersandar pada bilangan-bilangan lain dengan metode yang
sama.

Dari sudut logika saja, apakah peran bangunan angka 19 bisa menjadi dalil yang pasti
atas adanya hubungan antara ayat 30 surat ke-74 ini dan bangunan Al-Qur'an, ataukah hal
ini tidak lebih dari kebetulan belaka?

Apakah kita bisa berasumsi bahwa penerbitan Al-Qur'an (sesuai dengan turunnya wahyu)
--dalam kodifikasinya-- bukan hasil kerja keras manusia semata? Apakah Allah,
misalnya, memerintahkan pemisahan surat ke-113 dengan 114?

Sungguh, aku masih diliputi keraguan dengan interpretasi-interpretasi semacam ini.


Karena kita bersaksi, "Tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya." Kita tidak
melakukan hal yang demikian sebagai pembatasan adanya dalil-dalil materiil atas hal itu.

Yang benar, tidak ada alternatif pengganti dari iman.

Teguh Memegang Prinsip ala Dr. Kung


(Brussel, 15 Januari 1986)

Telah lewat beberapa waktu, sejak terjadi polemik antara pendeta kondang dari Swiss,
Dr. Hans Kung --sekarang menjabat sebagai Direktur Institut Riset Moskow di Tobingen
(Jerman)-dan fundamentalisme Katolik. Kemudian, perbedaan pendapatnya dengan
Roma sampai pada tingkatan-tingkatan baru setelah ia merilis bukunya yang berjudul:
Kristen dan Agama-agama Besar Dunia.

Yang sungguh menarik, Kung mengakui bahwa Muhammad adalah benar-benar nabi.
Bertolak dari sini, Kung menyempurnakan proyek yang telah dimulai oleh Prof. Dr.
Rudolf Baltman di Universitas Hamburg, yaitu memurnikan kitab Perjanjian Baru dari
mitos-mitos. Adalah logis jika Kung mengikutsertakan semua agama besar di dunia
dalam "dialog internasional" yang sebelumnya terbatas pada sekte-sekte dalam agama
Kristen.

Dalam sesi kajian tentang "Dunia Islam antara Tradisi dan Kemajuan" yang digelar di
Stuttgart 1985, Kung mengisyaratkan bahwa gereja sudah cukup membela prinsip
tradisionalnya yang dikukuhkan pada tahun 1442, "Tidak ada kemurnian di luar kerajaan-
Nya." Ia juga menyimpulkan dari perkembangan yang ada sebuah konklusi suplemen
yang membatalkan dogma "Tak ada nabi di luar gereja". Ini berbeda dengan keputusan
yang dikeluarkan Dewan Vatikan ke-2 (1962-1965).

Kung mengisyaratkan --dengan pengakuannya sekarang yang datang terlambat dari


waktunya-- bahwa Islam, seperti janjinya selalu, adalah jalan pemurnian yang hakiki.
Maka, gereja tidak bisa terus-menerus mengingkari kenyataan bahwa Muhammad adalah
penunjuk dan pemimpin jalan ini. Beliau adalah nabi yang hakiki.

Ia juga mengingatkan umat Islam bahwa Perjanjian Baru telah membawa kabar gembira
akan kedatangan nabi yang lain. Ia tidak diliputi keraguan bahwa ada kemiripan
bangunan di antara risalah-risalah kenabian yang terdapat dalam Injil dan Al-Qur'an
(Zeitschrift Fuur Kulturraussch, 1985/3 hlm. 315).

Ia mengajak musuh-musuh yang membencinya dari pihak gereja Katolik agar berupaya
memahami Islam dan melaksanakan kewajiban mereka, walau cuma sekali, terhadap
agama dunia yang lama dilupakan ini (Islam).

Tampaknya, sebagian pendeta Katolik ada yang menyambut ajakannya ketika dua
pendeta yang berafiliasi ke gereja Paris masuk Islam baru-baru ini.

Kesimpulannya, pengamatan Kung bahwa orang-orang Barat hanya mengetahui sedikit


tentang Islam, hal itu adalah tepat. Dengan pengecualian sejumlah kecil cendekiawan dan
artis Barat yang berhasil menemukan Islam seperti Leopold Weiss (Muhammad Asad),
Richard Burton, Marmaduk Pickthall, Martin Lings, Cat Stevens, Louis Massignon,
Rhene Gino, Eva De Vitramirovich, Roger Geraudy, dan Maurice Bucaille.

Walaupun kebanyakan orientalis Barat belum memahami Islam secara mendalam.


Apakah mereka tidak membawa --sadar atau tidak sadar-- kepentingan-kepentingan
kolonialisme sampai batas di mana mereka menilai Islam dengan tolak ukur peradaban
Barat yang mereka yakini keuniversalan dan keabsahan sistem nilainya?

Dalam majalah "Buku Dunia Islam" (Jilid VI, edisi pertama, hlm .5) Parvez Mansur
menukil pengakuan Ignaz Goldziher, "Jika kita menerapkan manhaj Islam terhadap
empat Injil itu, maka apa lagi yang tersisa?"

Sungguh, jawaban yang tepat dan mengena terhadap pertanyaan yang menukik
membutuhkan suatu kajian, bagaimana konteks dan interpretasi kitab Perjanjian Baru
terpengaruh oleh teori-teori filosofis dan mitologis yang berlaku pada masa itu.
Maksudnya hubungan antara: (1) Mitras, anak dewa matahari Persia (dengan ibadah
ritualnya yang tidak jelas) dengan "hari matahari" dalam Kristen-Latin, dan "hari Ahad"
(hari matahari) dalam mitologi kristen; (2) Dewi Mesir, Izis (dewi laut), salah satu dari
tiga dewa Mesir dengan Dewi Romawi Magna Marta (juga dikenal dengan nama Dia Dia
dan Capella), dan ibadah ritual Kristen terhadap Maryam sebagai "ibu tuhan"; (4) tradisi-
tradisi Romawi dalam menuhankan orang-orang besar yang telah wafat dengan keputusan
dari Kongres Romawi dengan keputusan Konsili Nicaea pada tahun 325 dengan
mengangkat Almasih sebagai tuhan.

Sebenarnya jika kita menerapkan kaidah-kaidah analisis historis terhadap sumber-sumber


agama berikut kerangka-kerangka pemahamannya, maka tidak ada sesuatu yang bisa
menimbulkan kekhawatiran terhadap Islam, saat terdapat segala sesuatu yang membuat
khawatir Kristen.

Sungguh, Kung melihat hal itu. Dan ia telah menancapkan kakinya di jalan yang akan
membawa ia --pada akhirnya-- memeluk Islam, insya Allah.

Pergolakan Pemikiran: Catatan Harian Muslim Jerman


oleh Murad Wilfred Hoffman
Gema Insani Press, 1998
Jl. Kalibata Utara II No.84 Jakarta 12740
Tel.(021) 7984391-7984392-7988593
Fax.(021) 7984388
dikumpulkan dari posting sdr Hamzah (hamzahtd@mweb.co.id) di milis is-
lam@isnet.org

Anda mungkin juga menyukai