Anda di halaman 1dari 8

Syair Orang Lapar

Lapar menyerang desaku Kentang dipanggang kemarau Surat orang kampungku Kuguratkan kertas Risau Lapar lautan pidato Ranah dipanggang kemarau Ketika berduyun mengemis Kesinikan hatimu Kuiris Lapar di Gunungkidul Mayat dipanggang kemarau Berjajar masuk kubur Kauulang jua Kalau

1964 Sumber : Tirani dan Benteng

Sebuah Jaket Berlumur Darah


Sebuah jaket berlumur darah Kami semua telah menatapmu Telah pergi duka yang agung Dalam kepedihan bertahun-tahun Sebuah sungai membatasi kita Di bawah terik matahari Jakarta Antara kebebasan dan penindasan Berlapis senjata dan sangkur baja Akan mundurkah kita sekarang Seraya mengucapkan Selamat tinggal perjuangan Berikara setia kepada tirani Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan? Spanduk kumal itu, ya spanduk itu Kami semua telah menatapmu Dan di atas bangunan-bangunan Menunduk bendera setengah tiang Pesan itu telah sampai kemana-mana Melalui kendaraan yang melintas Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa Prosesi jenazah ke pemakaman

Mereka berkata Semuanya berkata

1966 Sumber: Tirani dan Benteng

Bayi Lahir Bulan Mei 1998


Dengarkan itu ada bayi mengea di rumah tetangga Suaranya keras, menangis berhiba-hiba Begitu lahir ditating tangan bidannya Belum kering darah dan air ketubannya Langsung dia memikul hutang di bahunya Rupiah sepuluh juta Kalau dia jadi petani di desa Dia akan mensubsidi harga beras orang kota Kalau dia jadi orang kota Dia akan mensubsidi bisnis pengusaha kaya Kalau dia bayar pajak Pajak itu mungkin jadi peluru runcing Ke pangkal aortanya dibidikkan mendesing Cobalah nasihati bayi ini dengan penataran juga Mulutmu belum selesai bicara Kau pasti dikencinginya

1998 Sumber: Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia

Jamaah Baytl-Maqdis
kuda itu telah ditambatkan di luar Masjid Paling Jauh Ke Utara malam pun terselubung di atas terjal Dinding Al-Buraq di atas Bethlehem yang pulas para nabi dan rasul dalam waktu jang lebur mengelukan lelaki berkuda itu mereka berpandangan rindu dan erat berjabat tangan dengan nostalgia mengulurkan titipan tarikhi insan yang semesta Ibrahim menyilakan lelaki itu memimpin ibadat shalat dua rakaat seluruh nabi dan rasul bersaf-saf dalam jamaat Rohianiat meluluh abad demi abad dan berangkatlah Muhammad diapit Jibril dan Mikail. 1966

Palestina, Bagaimana Bisa Aku Melupakanmu


Ketika rumah-rumahmu diruntuhkan bulldozer dengan suara gemuruh menderu, serasa pasir dan batu bata dinding kamartidurku bertebaran di pekaranganku, meneteskan peluh merah dan mengepulkan debu yang berdarah.

Ketika luasan perkebunan jerukmu dan pepohonan apelmu dilipat-lipat sebesar saputangan lalu di Tel Aviv dimasukkan dalam fail lemari kantor agraria, serasa kebun kelapa dan pohon manggaku di kawasan khatulistiwa, yang dirampas mereka. Ketika kiblat pertama mereka gerek dan keroaki bagai kelakuan reptilia bawah tanah dan sepatusepatu serdadu menginjaki tumpuan kening kita semua, serasa runtuh lantai papan surau tempat aku waktu kecil belajar tajwid Al-Quran 40 tahun silam, di bawahnya ada kolam ikan yang air gunungnya bening kebiru-biruan kini ditetesi air mataku. Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu Ketika anak-anak kecil di Gaza belasan tahun bilangan umur mereka, menjawab laras baja dengan timpukan batu cuma, lalu dipatahi pergelangan tangan dan lengannya, siapakah yang tak menjerit serasa anak-anak kami Indonesia jua yang dizalimi mereka tapi saksikan tulang muda mereka yang patah akan bertaut dan mengulur kan rantai amat panjangnya, pembelit leher lawan mereka, penyeret tubuh si zalim ke neraka. Ketika kusimak puisi-puisi Fadwa Tuqan, Samir AlQassem, Harun Hashim Rashid, Jabra Ibrahim Jabra, Nizar Qabbani dan seterusnya yang dibacakan di Pusat Kesenian Jakarta, jantung kami semua berdegup dua kali lebih gencar lalu tersayat oleh sembilu bambu deritamu, darah kami pun memancar ke atas lalu meneteskan guratan kaligrafi Allahu Akbar! dan Bebaskan Palestina! Ketika pabrik tak bernama 1000 ton sepekan memproduksi dusta, menebarkannya ke media cetak dan elektronika, mengoyaki tenda-tenda pengungsi di padang pasir belantara, membangkangit resolusi-resolusi majelis terhormat di dunia, mem-

bantai di Shabra dan Shatila, mengintai Yasser Arafat dan semua pejuang negeri anda, aku pun berseru pada khatib dan imam shalat Jumat sedunia: doakan kolektif dengan kuat seluruh dan setiap pejuang yang menapak jalanNya, yang ditembaki dan kini dalam penjara, lalu dengan kukuh kita bacalah laquwwatta illa bi-Llah! Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu Tanahku jauh, bila diukur kilometer, beribu-ribu Tapi azan Masjidil Aqsha yang merdu Serasa terdengar di telingaku. 1989

Malam Seribu Bulan


Malam biru hitam Di planit tua ini Ketika margasatwa Suhu. Suara. Perpohonan Embun mengendapkan intan Angin membisiki hutan Gunung jadi keristal Bisu, Sungai-sungai menahan Napasnya Sumbu bumi berhenti Ketika sangkakala angkasa Ditiup pelahan Dalam suara Firdausi Ketika Mukjizat turun Ketika Sifat Rahim mengalun Di planit tua ini Dan gerbang kosmos Dibuka Dalam angin berkelepakan Sayap-sayap malaikat Dengan cahaya suarga Meluncur-luncur Melinangi bumi Ketika bulan akan sabit Dan berjuta bintang Gemerlap Dan manusia menangis Di bumi

Di bawah Nur Ilahi Pada malam benderang Ketika margasatwa senyap Waktu pun berhenti Embun membasahi dahi Pohon-pohon menunduk Wahai: Mukjizat telah turun Sifat Rahim mengalun Lelaki itu Perempuan itu Menangis dalam syukur Berair mata dalam doa Dalam teduh Mukjizat dan Keampunan Ketika bulan belum sabit Ketika malam seribu bulan. 1965

Doa dalam Lagu


Ibuku karena engkau merahimiku Merendalah tenteram karena besarlah anakmu Ayahku karena engkau menatahku Berlegalah di kursi angguk laki-laki anakmu Tuhanku karena aku karat di kakiMu Beri mereka kesejukan dalam dan biru. 1953

Membaca Tanda-Tanda
Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan dan meluncur lewat sela-sela jari kita Ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas tapi kini kita mulai merindukannya Kita saksikan udara abu-abu warnanya Kita saksikan air danau yang semakin surut jadinya Burung-burung kecil

tak lagi berkicau pagi hari Hutan Ranting Daun Dahan hutan Kita saksikan zat asam didesak asam arang dan karbon dioksid itu menggilas paru-paru Kita saksikan Gunung memompa abu Abu membawa batu Batu membawa lindu Lindu membawa longsor Longsor membawa air Air membawa banjir Banjir membawa air air mata Kita telah saksikan seribu tanda-tanda Bisakah kita membaca tanda-tanda? Allah Kami telah membaca gempa Kami telah disapu banjir Kami telah dihalau api dan hama Kami telah dihujani abu dan batu Allah Ampuni dosa-dosa kami Beri kami kearifan membaca Seribu tanda-tanda Karena ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan dan meluncur lewat sela-sela jari Karena ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas tapi kini kami mulai kehilangan ranting kehilangan daun kehilangan dahan kehilangan

merindukannya. 1982

Anda mungkin juga menyukai