Anda di halaman 1dari 7

Artikel Penelitian

Stres Kerja dan Berbagai Faktor yang Berhubungan pada Pekerja Call Center PT. X di Jakarta

Rinda Ismar* Zarni Amri* Danardi Sostrosumihardjo**


*Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta **Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Abstrak: Pekerja call-center melayani nasabah melalui telepon dan, pada saat yang bersamaan, menggunakan peralatan layar monitor yang dapat berisiko pada terjadinya berbagai masalah kesehatan termasuk stres kerja. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi stres kerja pada pekerja call center dan berbagai faktor yang berhubungan. Penelitian menggunakan desain potong lintang dan pengumpulan data dilakukan melalui pengisian kuesioner dan pemeriksaan lingkungan kerja. Subjek penelitian sebanyak 73 responden adalah pekerja call center yang telah bekerja minimal 6 bulan. Stres kerja dikategorikan sedang sampai tinggi berdasarkan hasil pengisian kuesioner self rating survei diagnostik stres. Prevalensi stres kerja sedang sampai tinggi terbesar (87,7%) ditemui pada kelompok stresor pengembangan karir. Faktor pekerjaan yang berhubungan dengan stres kerja adalah masa kerja pada stresor beban kerja berlebih kuantitatif (ORsuaian 0,22; CI 0,05-0,90 dan p=0,03). Faktor kebiasaan tidak berhubungan dengan stres kerja. Faktor lingkungan kerja yang berhubungan dengan stres kerja adalah persepsi subjektif terhadap bising pada stresor tanggung jawab terhadap orang lain (ORsuaian 5,39; CI 1,43-20,24 dan p=0,01). Kata kunci: call center, stresor kerja, survei diagnostik stres.

Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 1, Januari 2011

13

Stres Kerja dan Berbagai Faktor yang Berhubungan pada Pekerja Call Center

Work Stress and Related Risk Factors in Call Center Workers at X Company Rinda Ismar* Zarni Amri* Danardi Sostrosumihardjo**
*Departement of Community Medicine, Faculty of Medicine University of Indonesia, Jakarta **Departement of Psychiatry, Faculty of Medicine University of Indonesia, Jakarta

Abstract: Call center workers respond to the telephone calls while simultaneously using display screen equipment that may lead to various health conditions, including work stress. This study was conducted to know the prevalence of work stress among call center workers and to identify the related risk factors. A cross sectional study was conducted and data was collected from questionaires and assessment of the physical environment. The respondents were 73 call center workers whom had worked for minimum of six months. Work stress was categorized as medium to high stress, based on the self rating survey diagnostic stress questionaire. The highest prevalence of medium to high work stress among call center workers was 87.7% for the career development stressor. Work factor that was associated with work stress was years of work for the quantity work load stressor (adjusted OR 0.22, CI 0.05-0.90; p=0.03). Habitual factors were not associated with work stress. Physical environment factor that was associated with work stress was the subjective perception of noise for the responsiblity to other people stressor (adjusted OR 5.39, CI 1.43-20.24; p=0.01). Key words: call center, work stressor, survey diagnostic stress

Pendahuluan Stres adalah konsekuensi yang tidak terhindarkan dari kehidupan modern. Perkembangan industri, tekanan di daerah perkotaan, pertumbuhan populasi, dan berbagai macam persoalan hidup adalah beberapa sebab terjadi peningkatan stres. Salah satu faktor dominan dalam dunia pekerjaan yang selalu berubah hingga saat ini adalah perkembangan komputer dan teknologi informasi, termasuk industri call center. Call center, menurut HSE/local authority circular (LAC), adalah lingkungan kerja yang bisnis utamanya dilakukan melalui telepon dan menggunakan peralatan display screen secara bersamaan. 1 Bisnis call center tumbuh pesat secara internasional. Sekitar 5% dari seluruh pekerja di Amerika Serikat dan 2% di Eropa bekerja di unit call center. Call center dikatakan merupakan penyedia lapangan pekerjaan yang semakin tumbuh di Eropa saat ini. Sekitar 37% dari semua pekerjaan baru di Eropa selama beberapa tahun terakhir adalah pekerja call center. Diperkirakan pertumbuhan tahunan call center di Asia Tenggara dan India adalah 50%.1 Prevalensi kasus stres kerja pada pekerja call center terbilang tinggi.1 Berdasarkan kepustakaan, stres merupakan masalah kesehatan dan keselamatan kerja yang paling banyak diketahui di call center.1 Sebuah penelitian mengenai masalah kesehatan akibat penggunaan komputer pada 200 pekerja

informasi teknologi (IT) di Delhi, India tahun 2006 mengemukakan bahwa frekuensi stres pada pekerja call center sebesar 43%.2 Perkembangan industri call center yang cepat semakin menambah jumlah pekerja call center yang berisiko mengalami stres kerja. Stres kerja merupakan permasalahan kesehatan kerja yang semakin meningkat dan menyebabkan manifestasi dari morbiditas yang dapat mengganggu kesehatan dan produktivitas pekerja. Sebuah penelitian memperlihatkan bahwa stres timbul akibat pekerjaan call center yang bersifat intensif (terfokus pada satu permasalahan dalam waktu yang singkat) dan tuntutan pencapaian target produksi yang tidak realistis. Stres juga dikaitkan dengan posisi kerja yang monoton (selalu berada di meja kerja), traffic peak yang tidak dapat diprediksi, siklus kerja yang cepat, dan tingginya pemantauan di lingkungan kerja. Tekanan berhadapan dengan pelanggan secara terus-menerus juga merupakan masalah, khususnya ketika pekerja harus meghadapi kekasaran dan serangan verbal dari klien tanpa memiliki waktu untuk menenangkan diri.3 Penelitian oleh Luce dan Juravich4 mengenai stres pada pekerja call center yang dilakukan di Universitas Massachusetts tahun 2002 mendapatkan bahwa di antara skala 110, sekitar 32% responden melaporkan tingkat stres mereka

14

Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 1, Januari 2011

Stres Kerja dan Berbagai Faktor yang Berhubungan pada Pekerja Call Center mencapai angka 10, 30% mengatakan bahwa stres sering memengaruhi mereka secara fisik dan emosi, serta 24% mengatakan bahwa stres timbul akibat mereka tidak dapat beristirahat. Faktor risiko yang memiliki kontribusi paling bermakna terhadap timbulnya stres adalah pelanggan yang penuntut, tekanan waktu, pemantauan berkala, dan tekanan untuk menghadapi panggilan telepon.5 Penelitian oleh Setiawan Z6 pada pekerja redaksi di suatu perusahaan media cetak di Jakarta mendapatkan 18% pekerja mengalami stres kerja yang tinggi pada stresor pengembangan karir. Sedangkan penelitian lain oleh Purwanto7 mengenai berbagai faktor yang memengaruhi insomnia pada pekerja di suatu perusahaan semen di Bogor mendapatkan tingkat stres kerja yang tinggi pada beban kerja berlebih kualitatif (62%). Di Indonesia, penelitian mengenai stres kerja pada pekerja call center belum pernah dilakukan. Dalam penelitian ini, akan dilihat permasalahan khusus pada pekerja call center di PT. X, Jakarta dalam kaitannya dengan stres kerja. Diharapkan penelitian ini dapat menyumbangkan suatu kejelasan terhadap beberapa permasalahan terkait stres kerja pada pekerja call center, membantu terciptanya ketentuan lebih lanjut pada masalah yang bersangkutan, dan menjadi sumber ide untuk penelitian yang lebih lanjut. Metode Penelitian ini menggunakan metode potong lintang pada komunitas pekerja call center PT. X di Jakarta. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober-Desember 2007 pada seluruh pekerja call center dari PT. Y yang dipekerjakan di PT. X di Jakarta dan telah bekerja minimal selama 6 bulan. Dari 242 pekerja, 102 orang bersedia berpartisipasi. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara convenience sampling dan mendapatkan 73 pekerja yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Data dikumpulkan dengan pengisian kuesioner, meliputi kuesioner data umum dan baku survei diagnostik stres yang terdiri atas 30 pertanyaan. Pengambilan data kuesioner dilakukan pada saat jam kerja berakhir. Dilakukan juga pengukuran lingkungan fisik, meliputi bising, suhu, dan penerangan, yang diambil dua kali pada siang dan malam hari. Bising lingkungan yang diteliti adalah persepsi subjektif responden mengenai bising, misalnya suara dari blower air conditioner pada siang hari dan pada jam kerja sehingga terdengar suara berdengung dari pembicaraan agen yang sedang melayani nasabah di telepon. Sebagian besar air conditioner dimatikan pada pukul 18:00. Bising lainnya adalah pembicaraan antar agen yang sedang tidak melayani nasabah. Hasil pengukuran bising di ruang call center pada empat titik, yaitu 57,9 dbA, 57,4 dbA, 57,7 dbA, 58,4 dbA saat siang, dan 53,7 dbA, 55,1 dbA, 50,7 dbA, 53,2 dbA saat malam. Semua hasil pengukuran berada di bawah 85dbA yang merupakan standard nilai ambang batas kebisingan.8 Semua data dianalisis dengan uji bivariat menggunakan uji chi-square atau fischer exact. Variabel dengan nilai p<0,25 kemudian dianalisis dengan uji multivariat menggunakan binary logistic regression untuk melihat hubungan beberapa variabel bebas terhadap variabel terikat dengan menggunakan metode enter. Hasil Dari 102 pekerja yang bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini, 73 orang memenuhi kriteria penelitian.
Tabel 1. Sebaran Responden Berdasarkan Karakteristik Sosiodemografik dan Faktor Pekerjaan Variabel Umur 20-25 tahun >25-30 tahun Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Status Perkawinan Menikah Belum menikah Status Pendidikan S1 Akademi/D3 Jenis Pekerjaan Team leader Call center officer Masa Kerja 6 bulan-2 tahun >2 -3 tahun Lama Kerja 8jam/hari > 8 11 jam/hari Jumlah panggilan/hari 20-200 >200-220 Kerja shift malam Tidak Ya Kepuasan pengaturan shift kerja Ya Tidak n=73 %

44 29 27 46 7 66 59 14 1 72 60 13 70 3 58 15 3 70 38 35

60,3 39,7 37 63 9,6 90,4 80,8 19,2 1,4 98,6 82,2 17,8 95,9 4,1 79,5 20,5 4,1 95,9 52,1 47,9

Karakteristik sosiodemografik dapat dilihat pada tabel 1. Responden terbanyak berusia 20-25 tahun (60,3%) dengan usia paling muda 21 tahun dan paling tua 29 tahun. Perbandingan jenis kelamin laki-laki dan perempuan adalah 1:2. Sebagian besar responden adalah sarjana (S1). Mayoritas responden (90,4%) berstatus belum menikah. Sebagian besar responden (82,2%) memiliki masa kerja antara 6 bulan sampai 2 tahun dengan masa kerja paling lama adalah dua tahun delapan bulan. Sekitar 20,5% responden menerima panggilan lebih dari 200 panggilan per hari. Hampir semua (95,9%) responden pernah bekerja shift malam, hal ini dikarenakan peraturan shift kerja yang berlaku di call center tersebut. Pekerja laki-laki maupun perempuan mendapat shift kerja yang

Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 1, Januari 2011

15

Stres Kerja dan Berbagai Faktor yang Berhubungan pada Pekerja Call Center sama, yaitu shift pagi, siang, sore, dan malam. Namun, khusus untuk pekerja perempuan waktu yang ditentukan untuk shift kerja malam maksimum jam 01.00 WIB.
Tabel 2. Sebaran Responden Berdasarkan Lingkungan Kerja Variabel Merasa bising di tempat kerja Tidak Ya Suhu di tempat kerja Nyaman Tidak nyaman Pencahayaan Nyaman Tidak nyaman n = 73 % Tabel 4. Analisis Multivariat Stres Kerja dengan Karateristik Sosidemografik dan Pekerjaan Variabel Beban Kerja Berlebih Kuantitatif - Masa kerja - Merasa bising saat kerja Beban Kerja Berlebih Kualitatif - Status pendidikan - Suhu saat kerja Pengembangan Karir - Status perkawinan - Kepuasan pengaturan shift kerja Tanggung Jawab Terhadap Orang - Masa kerja - Lama kerja - Jumlah panggilan/hari - Merasa bising saat kerja **tdd = tidak dapat dihitung ORsuaian 95%CI Nilai p

0,22 3,23

0,05- 0,90 0,74-13,96

0,05 0,11

61 12 60 13 69 4

83,6 16,4 82,2 17,8 94,5 5,5

Tdd** Tdd** 2,38 3,26 Lain 0,70 0,22 9,16 7,24

Tdd** Tdd** 0,36-15,56 0,60-17,56

0,99 0,99 0,36 0,16

Untuk kondisi lingkungan dan stresor kerja di call center, terlihat pada tabel 2 bahwa 16,4% responden merasa bising di lingkungan kerja. Definisi bising dalam penelitian ini adalah penilaian subjektif kebisingan akibat berbagai pembicaraan dari pekerja lain, baik antara pekerja dengan nasabah melalui panggilan telepon, maupun antar pekerja saat tidak sedang menerima panggilan. Suara bising juga berasal dari nasabah yang melakukan panggilan di jalan, sehingga terdengar suara kendaraan yang berada di sekitar jalan tersebut, serta suara dari beberapa blower air conditioner yang berada dekat meja pekerja. Ketidaknyamanan akibat suhu dirasakan oleh 17,1% responden, baik karena suhu ruangan terlalu panas ataupun terlalu dingin. Ketidaknyamanan akibat pencahayaan dirasakan oleh 5,3% responden.
Tabel 3. Sebaran Responden Berdasarkan Hasil Survei Diagnostik Stres dengan Kategori Stres Rendah dan Stres Sedang-Tinggi Stresor Kerja Tingkat Stres Rendah Sedang-Tinggi n % n % 9 10 13 17 20 21 12,3 13,7 17,8 23,3 27,4 28,8 64 63 60 56 53 52 87,7 86,3 82,2 76,7 72,6 71,2

0,15-3,23 0,01-3,57 0,93-89,70 1,63-32,10

0,65 0,29 >0,05 <0,01

yang bermakna (p<0,05), yakni stresor beban kerja berlebih kuantitatif dan stresor tanggung jawab terhadap orang lain. Diskusi Hasil survei diagnostik stres menunjukkan bahwa stres sedang sampai tinggi paling banyak dialami oleh responden pada stresor pengembangan karir, yaitu 87,7%. Promosi merupakan stresor yang potensial. Dari sebuah penelitian di Amerika Serikat, target karir yang tidak tercapai dan underpromotion dihubungkan dengan peningkatan perawatan gangguan mental.9 Jumlah karyawan di unit call center PT. X sebanyak 365 orang, dengan 20 orang team leader yang masing-masing membawahi sekitar 17-20 agen. Hal tersebut akan memperkecil peluang terjadinya promosi agen untuk menjadi team leader, sehingga memungkinkan terjadinya stres pengembangan karir. Seluruh responden adalah karyawan outsourcing dari PT.Y dengan status karyawan kontrak. Kondisi ini dapat menimbulkan perasaan job insecurity atau ketidakpastian pekerjaan yang akhirnya berpotensi menjadi stresor pengembangan karir. Menurut Gellerman,10 para pekerja muda pada umumnya mempunyai tingkat harapan dan ambisi yang tinggi. Mereka mempunyai tantangan dalam pekerjaan dan menjadi bosan dengan tugas rutin. Status menjadi sesuatu yang penting, sehingga mereka tidak puas dengan kedudukan yang kurang berarti.2 Stres kerja sedang-tinggi kedua dan ketiga terbesar yang dialami oleh responden adalah pada stresor beban kerja berlebih kualitatif (86,3%) dan beban kerja berlebih kuantitatif (82,2%). Team leader seorang agen akan memantau pembicaraan agen dengan nasabah secara langsung (call tabbing) untuk memastikan bahwa agen memberikan informasi yang tepat kepada nasabah, Team leader juga menilai apakah agen telah mencapai berbagai kriteria, misalnya apakah agen
Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 1, Januari 2011

Pengembangan karir (CD) Beban kerja berlebih kualitatif (OQL) Beban kerja berlebih kuantitatif (OQN) Konflik peranan (CO) Ketaksaan Peran (AM) Tanggung jawab terhadap orang lain (RE)

Pada tabel 3 terlihat bahwa stres sedang-tinggi terbanyak 250 timbul pada stresor pengembangan karir sebesar 87,7%.bp Variabel bebas dengan nilai p<0,25, masuk ke dalam analisis multivariat, yaitu karakteristik sosiodemografik, pekerjaan, dan lingkungan kerja pada keenam stresor yang diteliti. Dari analisis multivariat (tabel 4), terdapat dua variabel
16

Stres Kerja dan Berbagai Faktor yang Berhubungan pada Pekerja Call Center mendengarkan nasabah, berbicara dengan baik, dan menggunakan pengetahuan produk secara efektif. Agen juga sangat berisiko terhadap stres kerja jika diberikan tugas yang terlalu banyak dalam waktu yang ditentukan atau tidak terlatih untuk melakukan pekerjaannya. Bila pekerja merasa terlalu banyak yang harus dilakukan, maka mereka tidak dapat menggunakan waktu istirahat mereka dengan baik. Jumlah panggilan per hari responden bervariasi dan telah ditargetkan oleh perusahaan dari 50 panggilan sampai lebih dari 200 panggilan per hari bergantung pada segmennya. Semakin tinggi tingkat kesulitan menghadapi tuntutan nasabah, maka jumlah panggilannya semakin sedikit namun dengan durasi panggilan yang lebih lama. Sebaliknya, pada segmen yang diperkirakan memiliki tingkat kesulitan tuntutan nasabah rendah, maka jumlah panggilan menjadi lebih banyak dengan durasi panggilan yang lebih pendek. Apabila target panggilan per hari tidak terpenuhi, maka agen harus menggantinya dengan mengejar target panggilan telepon yang lebih banyak dari yang telah ditentukan. Konflik peranan merupakan stresor terjadinya stres sedang-tinggi sebesar 76,7% Konflik peranan dapat menjadi stresor pada pekerja call center karena menggambarkan tekanan pada pemberian pelayanan yang baik kepada nasabah. Agen memerlukan waktu cukup lama untuk mengidentifikasi dan mengatasi permasalahan nasabah, namun dalam satu kali panggilan agen harus dapat memberikan layanan yang memuaskan pada nasabah dalam waktu singkat dengan interval antarpanggilan yang pendek. Manajemen call center selalu menekankan bahwa mutu pelayanan nasabah merupakan prioritas utama, namun lebih mudah mengevaluasi performa kerja melalui jumlah panggilan, dibandingkan dengan kualitas pelayanan. Ketaksaan peranan menempati urutan kelima stresor responden yang memiliki tingkat stres sedang sampai tinggi (72,6 %). Agen dituntut untuk berbicara dengan nasabah melalui telepon dan mengoperasikan komputer pada saat yang bersamaan. Sebelumnya agen telah mendapatkan pelatihan awal mengenai pemahaman produk dan cara menghadapi nasabah, serta cara penggunaan headset dan program computer, namun tidak menutup kemungkinan bahwa masih terdapat ketidakjelasan mengenai sasaran kerja, kesamaran tanggung jawab dan mengenai apa yang diharapkan oleh orang lain, dan kurang feedback atau ketidakpastian tentang performa kerja. Stresor tanggung jawab terhadap orang lain merupakan stres kerja paling kecil pada responden dalam penelitian ini, namun prevalensinya tetap tinggi (71,2%). Pekerjaan agen adalah memastikan nasabah puas dengan informasi yang didapatkan melalui telepon, sehingga bertanggung jawab untuk dapat memuaskan pertanyaan ataupun permintaan nasabah dengan cepat, tepat, efektif, dan efisien. Pada analisis bivariat, status perkawinan berhubungan bermakna dengan stresor ketaksaan peranan, yaitu responden yang belum menikah mempunyai risiko terjadi stres kerja lebih dari delapan kali dibandingkan dengan responden yang sudah menikah. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Azizah11, yang melaporkan bahwa responden yang tidak menikah lebih berisiko untuk mengalami stres kerja. Namun, pada analisis multivariat, status perkawinan tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan stres kerja. Hal yang sama juga ditemukan untuk status pendidikan. Pada analisis bivariat, status pendidikan memiliki hubungan bermakna dengan stres kerja pada stresor konflik peranan dengan nilai p=0,03, namun setelah dilakukan analisis multivariat, didapatkan bahwa status pendidikan tidak berhubungan bermakna dengan stres kerja. Konflik peranan yang dialami oleh responden adalah tekanan akibat tingginya target panggilan per hari yang harus dicapai, namun agen dituntut untuk dapat memberikan layanan yang memuaskan pada setiap nasabah dalam waktu singkat dengan interval antarpanggilan yang pendek. Liebert & Neakeref berpendapat bahwa tingkat pendidikan memengaruhi pemilihan pekerjaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka keinginan untuk melakukan pekerjaan dengan tingkat tantangan yang tinggi semakin kuat. Harapan dan ide kreatif akan dituangkan dalam usaha penyelesaian tugas yang sempurna (Caplow, dalam Asad, ref). Ide yang kreatif merupakan simbol aktualisasi diri yang membedakan dirinya dengan orang lain dalam penyelesaian tugas serta kualitas yang dihasilkan.13 Agen dengan pendidikan D3 yang sifat pendidikannya adalah praktis mungkin tidak merasakan kesulitan dalam menjalankan tugas hariannya. Lain halnya dengan agen berpendidikan S1 yang memiliki sifat pendidikan lebih analitis/manajerial, sehingga dalam menjalankan tugas hariannya merasa tertantang untuk menyeimbangkan antara kualitas dan kuantitas panggilan. Terdapat hubungan bermakna antara masa kerja dan stresor beban kerja berlebih kuantitatif pada uji statistik analisis bivariat dan multivariat. Masa kerja lebih dari 2 tahun bersifat protektif terhadap stres kerja (risiko 0,22%) dibandingkan dengan masa kerja 6 bulan sampai 2 tahun, dengan nilai p=0,03 dan CI 0,05-0,90. Hal ini mungkin terjadi karena selama 2 tahun pertama, pekerja masih berada dalam tahap penyesuaian dengan kondisi lingkungan kerja, sehingga mekanisme coping terhadap stres belum optimal. Namun, setelah masa kerja 2 tahun, penyesuaian pekerja terhadap kondisi lingkungan kerja menjadi lebih baik dan mekanisme coping terhadap stres kerja telah optimal. Temuan yang sama didapatkan pada penelitian oleh Sharma dan Khandekar6 pada tahun 2003 mengenai permasalahan kesehatan sehubungan dengan penggunaan komputer pada profesi IT di Delhi. Dikatakan bahwa stres timbul dalam beberapa tahun pertama bekerja menggunakan komputer (bermakna secara statistik). Penelitian oleh Ivancevich14 mengemukakan hasil yang berbeda, yaitu stres kerja menjadi semakin meningkat dengan bertambahnya masa kerja (didapatkan hubungan bermakna pada tahun kedua sampai kelima bekerja dan pada kelompok masa kerja di atas 11 tahun).
17

Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 1, Januari 2011

Stres Kerja dan Berbagai Faktor yang Berhubungan pada Pekerja Call Center Jumlah panggilan melebihi 200 panggilan per hari berdasarkan hasil uji statistik bivariat menunjukkan hubungan bermakna dengan stresor tanggung jawab terhadap orang lain (OR 7,36; CI 0,90-60,15). Dengan demikian, responden yang menerima panggilan melebihi 200 sampai 220 panggilan per hari berisiko mengalami stres kerja lebih dari tujuh kali dibandingkan dengan responden yang menerima kurang dari 200 panggilan per hari. Namun, setelah dilakukan uji multivariat, jumlah panggilan perhari tidak menunjukkan hubungan bermakna dengan stres kerja. Hal ini mungkin dikarenakan pada stresor tanggung jawab terhadap orang lain, jumlah responden yang menerima lebih dari 200 panggilan per hari yang mengalami stres rendah hanya satu responden, sehingga pada analisis bivariat yang sebelumnya memperlihatkan hasil berhubungan bermakna. Setelah faktor confounding dihilangkan dengan melakukan analisis multivariat, hasil yang didapatkan berbeda dengan hasil sebelumnya, yaitu tidak terdapat hubungan. Secara teori, jumlah panggilan per hari yang tinggi merupakan faktor risiko beban kerja yang berpotensi menimbulkan stres kerja.15 Untuk kondisi lingkungan kerja, faktor yang berhubungan bermakna dengan stres kerja adalah bising. Dari penelitian ini terlihat bahwa kebisingan pada malam hari lebih rendah dibandingkan dengan pagi hari, karena beberapa air conditioner dimatikan setelah pukul 18.00 WIB, sehingga suara dari blower menjadi berkurang. Selain itu, suara bising yang berasal dari lalu lintas di luar gedung juga sudah berkurang. Nilai hasil pengukuran bising di ruangan call center melebihi nilai standar bising di ruangan perkantoran (quiet business office), yaitu 50 dbA, namun masih berada di bawah nilai standar bising karena pembicaraan (conversational speech - 1 meter), yaitu 60 dbA.16 Background noise atau bising latar belakang di lingkungan kerja, misalnya suara mendadak (sudden noise), suara manusia, suara telepon, mesin foto kopi, dan faksimili, akan menarik fokus perhatian. Penataan ruangan call center yang terbuka memudahkan pajananan bising latar belakang tersebut. Bising latar belakang juga dapat berasal dari lingkungan lokasi nasabah melakukan panggilan, misalnya suara lalu lintas jalan raya. Berdasarkan uji statistik bivariat, bising merupakan faktor protektif terhadap stres kerja. Setelah dilakukan uji statistik multivariat didapatkan bahwa responden yang merasa lingkungan kerjanya bising berisiko mengalami stres kerja lebih dari tujuh kali untuk dibandingkan dengan responden yang tidak merasa bising. Melihat tingginya nilai OR, yaitu 7,24, harus diingat bahwa bising yang dirasakan oleh responden bersifat subjektif, dan mengingat tugas pekerja call center dalam melayani nasabah menggunakan headset, maka kemungkinan bising yang dirasakan meliputi suara dari peralatan headset tersebut, sehingga harus dikonfirmasikan kembali apakah headset yang digunakan berbunyi tidak nyaman atau tidak, dan apabila berbunyi tidak nyaman, peralatan headset sebaiknya diganti dengan yang lebih baik. Bising dapat menimbulkan ketidaknyamanan dalam
18

melayani nasabah dan pembicaraan agen dengan nasabah dapat terganggu karena agen kurang jelas mendengarkan keluhan nasabah, sehingga harus lebih berkonsentrasi untuk mendengarkan pembicaraan melalui telepon yang dapat menyebabkan mental fatigue.17 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian terhadap 73 orang pekerja call center di PT. X, Jakarta, disimpulkan bahwa prevalensi stres kerja berkaitan dengan faktor-faktor stresor pengembangan karir; beban kerja berlebih kualitatif; beban kerja berlebih kuantitatif; konflik peranan; ketaksaan peran; dan tanggung jawab. Faktor pekerjaan yang berhubungan dengan stres kerja adalah masa kerja > 2-3 tahun pada stresor beban kerja berlebih kuantitatif. Faktor lingkungan kerja yang berhubungan dengan stres kerja adalah persepsi subjektif terhadap bising pada stresor tanggung jawab terhadap orang lain. Faktor kebiasaan tidak berhubungan dengan stres kerja. Daftar Pustaka
Sprigg CA, Smith PR, Jackson PR. Psychosocial risk factors in call centers: An evaluation of Work design and well-being. Kota terbit: Penerbit; 2003. 2. Khandekar J, Sharma AK, Khera S.Computer related health problems among information technology professionals in Delhi. Indian J of Comm Med. 2006;31:36-8. 3. Hannif ZN. Occupation health and safety in the New Zealand call centre industry. Kota terbit: New Castle University; 2005. 4. Luce S, Juravich T. Stress in the call center: A report on the worklife of call center representatives in the utility industry. Kota terbit: Utility Workers Union of America, Massachusetts University; 2002. 5. Sama dengan no 4? Luce S, Juravich T. Stress in the call center: A report on the worklife of call center representatives in the utility industry. Utility Workers Union of America:Massachusetts Univ.; 2002. 6. Setiawan ZY. Hubungan antara stres kerja dengan kecenderungan gejala gangguan mental emosional pada pekerja redaksi harian PT.RMM di Jakarta [Tesis]. Jakarta: Program Studi Magister Kedokteran Kerja, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. 7. Purwanto D. Kerja gilir dan insomnia serta faktor yang mempengaruhi ada pekerja industri semen PT I [Tesis]. Jakarta: Program Studi Magister Kedokteran Kerja, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2005. 8. Yanri Z, Harjani S, Yusuf M. Peraturan Menteri Perburuhan no. 7 tahun 1964. Dalam: Editor. Himpunan peraturan perundangan kesehatan kerja, ed.2. Jakarta: Penerbit; 1999.h.87-97. 9. Seward JP. Occupational stress. Dalam: Ladou J,editor. Occupational and environment medicine. Edisi 2. USA: Appleton&Lange; 1997.h.603-18. 10. Ginting EDJ. Hubungan persepsi terhadap program pengembangan karir dengan kompetisi kerja. Kota terbit: Program studi psikologi. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2003. 11. Sama dengan no 10? Ginting EDJ. Hubungan persepsi terhadap program pengembangan karir dengan kompetisi kerja. Program studi psikologi. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2003. 12. Azizah MH. Hubungan antara stres kerja dengan gangguan mental pada pekerja offshore perusahaan X di laut Cina Selatan [Tesis]. Jakarta: Program Studi Magister Kedokteran Kerja, Fakultas 1.

Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 1, Januari 2011

Stres Kerja dan Berbagai Faktor yang Berhubungan pada Pekerja Call Center
Kedokteran Universitas Indonesia; 2004. 13. Sama dengan no 10? Ginting EDJ. Hubungan persepsi terhadap program pengembangan karir dengan kompetisi kerja. Program studi psikologi. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2003. 14. Ivancevich JM, Napier HA, Wetherbe JC. Stress in the information systems profesional. Kota terbit: University of Houston. 1983 15. Munandar AS. Stres dan keselamatan kerja. Dalam: Munandar AS, editor. Psikologi industri dan organisasi. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia; 2001.h.370-410. 16. Bashiruddin J. Noise induced hearing loss (perkuliahan): Bagian THT FKUI/RSCM; 2003. 17. WorkCover NSW. Health and safety guidelines for call centres in NSW. New South Wales: Penerbit; 2003. ES/SO

Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 1, Januari 2011

19

Anda mungkin juga menyukai