Anda di halaman 1dari 6

Artikel Penelitian

Stres Kerja dan Kecenderungan Gejala Gangguan Mental Emosional pada Karyawan Redaksi Surat Kabar X di Jakarta
Zackya Yahya Setyawan,* Zarni Amri,* Danardi Sosrosumihardjo**
*Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta **Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Abstrak: Karyawan redaksi merupakan aset utama bagi suatu perusahaan media cetak. Mereka bekerja dengan deadline yang sangat ketat, oleh karena itu mereka harus senantiasa sehat secara fisik, mental dan sosial. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalens stres kerja dan hubungannya dengan kecenderungan gejala gangguan mental emosional (KGGME) menggunakan desain potong lintang dengan analisis perbandingan internal. Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik sosiodemografi, stresor dan stres kerja (menggunakan kuesioner Survey Diagnostic Stress), dan kecenderungan gejala gangguan mental emosional (menggunakan Symptomp Check List 90, SCL-90). Dari 100 responden didapatkan prevalens KGGME sebesar 58% dengan proporsi terbanyak adalah psikotisme (36%), somatisasi dan paranoid (masing-masing 33%), serta obsesif-konpulsif (29%). Terdapat hubungan bermakna antara stres kerja dengan kecenderungan gejala gangguan mental emosional melalui stresor pengembangan karir (p<0,001; OR 13,8; CI 3,7-51,1). Jenis stresor kerja yang dominan terhadap stres kerja adalah beban kerja berlebih kuantitatif (83%). Stres kerja mempunyai hubungan bermakna dengan kecenderungan gejala gangguan mental emosional melalui stresor pengembangan karir. Kata kunci: gangguan mental emosional, stres

278

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 8, Agustus 2008

Stres Kerja dan Kecenderungan Gejala Gangguan Mental Emosional

Work-related Stress and the Tendency of Acquiring Symptoms of Mental Emotional Disorder in Journalists at a Publishing Company in Jakarta, 2008 Zackya Yahya Setyawan,* Zarni Amri,* Danardi Sosrosumihardjo**
*Departement of Community Medicine Faculty of Medicine University of Indonesia **Departement of Psychiatry Faculty of Medicine University of Indonesia

Abstract: The journalists are valuable asset for a publishing company. They work with a very strict deadline, which requires a good state of physical, mental and social health. The aims of study were to obtain the prevalence of work-related stress and its relationship with the tendency of acquiring symptom of mental emotional disorder. A cross sectional study with internal comparison analysis was conducted. The data collected included sosciodemogrhapic characteristics, measurement stressor of work-related stress (measured by using Survey Diagnostic Stress questionnaire), data on the tendencies of acquiring symptom of mental emotional disorder (measured by using Symptom Check List 90, SCL-90). From 100 respondents, the prevalence of the tendency of acquiring symptoms of mental emotional disorder was 58%, with a tendency of psycotism (36%), somatisation and paranoid symptoms (33% each), and obsessive-conpulsive (29%) as the most frequent disorders. There was significant relationship between work-related stress and the tendency of acquiring symptoms of mental emotional disorder on stressor of career development (p<0.001; OR 13.8; CI 3.7-51.1). The dominant stressor was the overload quantitative role (83%). We concluded that work-related stress, especially stress on career development, has a significant relationship with the tendency of acquiring symptom of mental emotional disorder. Key words: mental emotional disorder, stress

Pendahuluan Karyawan di bagian redaksi suatu perusahaan media cetak adalah ujung tombak perusahaan yang paling utama dalam proses produksi, oleh karena itu, kesehatan fisik maupun mental pada karyawan ini harus baik dan mendapat perhatian dari perusahaan agar produktivitas dan kreativitas karyawan dapat ditingkatkan. Kemajuan teknik peliputan dan pemberitaan menuntut kinerja dan keterampilan yang tinggi untuk mampu bersaing dalam meraih pelanggan. Selain kondisi fisik, kondisi kesehatan jiwa sama pentingnya bagi kesehatan seseorang. Dalam mencari dan mengolah berita, karyawan redaksi sering menghadapi tuntutan deadline, kerap kali harus bekerja tak mengenal waktu istirahat, bahkan pada kondisi tertentu harus siap bekerja dalam waktu 24 jam. Mencari informasi dari narasumber adalah hal yang sering dihadapi, yang kerap membuat frustrasi, selain itu benturan dengan berbagai masalah di lingkungan kerja, misalnya jenjang karir, pembagian tugas peliputan, hubungan dengan atasan, dan juga kondisi lingkungan kerja seperti penataan ruangan, suhu, penerangan, kebisingan, kelengkapan peralatan kerja dan lain-lain. Pada penelitian di Swedia di tiga Pusat Kesehatan Kerja dengan menggunakan Hopkins Symptom Check List (HSCL25) didapatkan bahwa stres kerja menyebabkan 33% kasus

kecenderungan gejala gangguan mental emosional (KGGME).1 Penelitian pada karyawan pengawas perbankan sebuah bank di Jakarta pada 1996 mendapatkan prevalens KGGME sebesar 27,6%.2 Prevalens pada perawat suatu rumah sakit di Jakarta, sebesar 17,7%.3, dan pada pilot dan co-pilot penerbangan sipil di Jakarta tahun 1999 sebesar 39,4%.4. Hasil Plant Survey peserta program studi magister kedokteran kerja, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada suatu perusahaan media cetak di Jakarta menemukan bahwa 39% karyawan redaksi mengalami gangguan stres kerja.5 Salah satu faktor risiko yang berhubungan dengan stres kerja di perusahaan ini antara lain adalah deadline kerja yang sangat ketat dan jam kerja yang lebih dari 40 jam per minggu. Sampai saat ini belum ada penelitian tentang kemungkinan terdapatnya KGGME pada karyawan redaksi perusahaan surat kabar PT X di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: prevalens stres kerja, prevalens dan jenis KGGME pada karyawan redaksi, dan hubungan antara stres kerja dengan KGGME, serta jenis stresor kerja yang dominan pada karyawan redaksi. Metode Penelitian ini dilakukan dengan metode cross sectional pada populasi karyawan redaksi PT X di Jakarta, pada bulan

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 8, Agustus 2008

279

Stres Kerja dan Kecenderungan Gejala Gangguan Mental Emosional April s.d. Juni 2006. Berdasarkan perhitungan besar sampel dengan interval kepercayaan 95%, akurasi 10% dan perkiraan proporsi yang mengalami gangguan mental 50% (belum ada data) dibutuhkan sampel sebesar 96 orang. Data yang dikumpulkan adalah stres kerja sebagai variabel bebas dan KGGME sebagai variabel terikat. Data primer dikumpulkan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner. Stres kerja diukur dengan Survei Diagnosis Stres yang (SDS) terdiri dari 30 pertanyaan yang mencakup macammacam stresor kerja, yaitu ketaksaan peran, konflik peran, beban kerja berlebih kuantitatif, beban kerja berlebih kualitataif, pengembangan karir, tanggung jawab personal.6 Stres kerja diklasifikasikan menjadi tiga kelompok: ringan bila skor antara 0-9, sedang bila skor antara 10-24, dan berat bila skor lebih dari 24. KGGME diukur dengan Symptom Check List 90 (SCL-90) yang berisi 90 pertanyaan mencakup 10 subskala KGGME, meliputi gejala ansietas, depresi, fobia, hostilitas, paranoid, psikotisisme, sensitivitas interpersonal, obsesif-kompulsif, somatisasi, dan gejala tambahan. 7 Penilaian keseluruhan psikopatologi ditentukan dengan nilai batas potong (cut off score) 61; nilai skor sama atau lebih dari 61 dianggap ada psikopatologi. Skor yang didapat dari pertanyaan untuk masing-masing KGGME dikonversi dengan tabel standar T-score, yaitu dengan mengonversikan skor total dan skor subskala ke dalam tabel tersebut.7 Pengumpulan data dilakukan pada waktu karyawan sedang istirahat. Sebelum dilakukan pengisian kuesioner, responden diberi pengarahan terlebih dahulu tentang maksud dan tujuan penelitian, kemudian responden diminta persetujuannya untuk ikut serta dalam penelitian ini dengan menandatangani lembar persetujuan yang tersedia (ethical clearance). Tabulasi data dilakukan dengan menggunakan program SPSS 11.5 berdasarkan tabel yang telah dibuat sebelumnya dan kemudian dilakukan analisis: (1) univariat, untuk mengetahui distribusi frekuensi stres kerja dan KGGME, (2) bivariat, untuk mengetahui hubungan antara stres kerja dan gangguan mental, dengan uji chi square dan menghitung odds ratio, (3) multivariat, untuk mengetahui besarnya peranan stresor yang berhubungan dengan stres kerja terhadap hubungan antara stres kerja dengan gangguan mental emosional. Analisis dilakukan bila pada bivariat didapat nilai p<0,25. Hasil Dari 115 responden (total populasi) yang memenuhi kriteria inklusi dan mengisi kuesioner, 10 orang tidak mengisi kuesioner dengan lengkap dan lima orang tidak mengembalikan kuesioner, sehingga total responden yang ikut serta dalam penelitian ini adalah 100 (87.0%) orang. Sebaran karakteristik responden ditampilkan pada Tabel 1. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden berusia <40 tahun, berpendidikan tinggi, menikah, bekerja sebagai redaktur dan mempunyai masa kerja kurang dari 10 tahun
280 Tabel 1. Sebaran Responden Menurut Karakteristik Sosiodemografi (n=100) Variabel Umur >40 tahun <40 tahun Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Menengah Tinggi Status perkawinan Menikah Tidak menikah Jenis pekerjaan Redaktur Reporter Masa kerja <10 th >10 th n

23 77 76 24 31 69 78 22 67 33 58 42

Tabel 2. Sebaran Responden Menurut Tingkat Stres dan Stresor Stresor Rendah Ketaksaan peran Konflik peran Beban kerja berlebih kuantitatif Beban kerja berlebih kualitatif Pengembangan karir Tanggung jawab terhadap orang lain 30 23 17 19 21 31 Tingkat Stres Sedang 67 71 73 69 61 60

Tinggi 3 6 10 12 18 9

Tabel 2 memperlihatkan bahwa menurut survei diagnosis stres, pada kelompok dengan tingkat stres sedang stresor terbanyak adalah beban kerja berlebih kuantitatif sedangkan pada kelompok dengan tingkat stres tinggi stresor terbanyak adalah pengembangan karier. Pada kedua kelompok tersebut, stresor terbanyak adalah beban kerja berlebih kuantitatif (83%). Sebanyak 58% responden mengalami KGGME. Setelah skor total dan skor subskala dalam kuesioner SCL 90 dikonversikan ke Tabel T score, maka didapatkan kumpulan
Tabel 3. Sebaran Responden Menurut Prevalens KGGME Gejala Gangguan Mental Psikotisme Paranoid Somatisasi Obsesif-konvulsif Ansietas Fhobia Hostilitas Gejala Tambahan Sensitivitas Interpersonal Depresi n 36 33 33 29 28 26 23 23 19 18 % 62,06 56,89 56,89 50 48,27 44,82 39,65 39,65 32,75 31,03

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 8, Agustus 2008

Stres Kerja dan Kecenderungan Gejala Gangguan Mental Emosional gejala dengan sebaran seperti yang terlihat dalam Tabel 3. Kecenderungan gejala psikotisme menempati urutan pertama dan kecenderungan gejala depresi pada urutan terakhir. Jumlah keseluruhan responden berdasarkan kecenderungan gejala yang dialaminya tidak berjumlah 100%, karena pada satu responden didapatkan beberapa gejala sekaligus, seperti terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Sebaran Responden Menurut Jumlah KGGME yang Dialami Jumlah KGGME 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 n 42 10 11 7 5 4 3 5 5 1 7 % 42 10 11 7 5 4 3 5 5 1 7

Tabel 5 memperlihatkan hubungan KGGME dan tingkat stres berdasarkan masing-masing stresor. Responden yang mengalami stres sedang dan tinggi dengan stresor pengembangan karir mempunyai risiko paling tinggi yaitu hampir 14 kali untuk mengalami KGGME dibandingkan dengan responden yang mengalami stres rendah. Responden yang mengalami stres sedang dan tinggi pada stresor beban kerja berlebih kualitatif mempunyai risiko hampir 4 kali mengalami KGGME dibandingkan dengan responden yang mengalami stres rendah. Untuk mengetahui faktor risiko yang paling dominan berhubungan terhadap KGGME, dilakukan analisis multivariat. Variabel yang diikut sertakan adalah yang memiliki nilai p<0.25, yaitu variabel ketaksaan peran, konflik peran, beban kerja berlebih kuantitatif, beban kerja berlebih kualitatif, pengembangan karir. Analisis dengan menggunakan regresi logistik untuk mrelihat interaksi antara faktor terpilih secara bersamaan dan melihat faktor mana yang lebih dominan. Dengan metode forward selection didapatkan stresor yang paling dominan adalah pengembangan karir yang mempunyai nilai OR 13,8 ; 95%CI 36,9-51.1 (p<0,001). Diskusi Berdasarkan hasil survei diagnostik stres didapatkan bahwa sebagian besar kelompok responden yang mengalami stres sedang sampai tinggi mengalami stresor terbanyak berupa beban kerja berlebih kuantitatif. Latar belakang penelitian ini antara lain untuk mengetahui apakah deadline merupakan sumber stresor utama bagi karyawan redaksi. Para responden termasuk yang terbebani oleh ketatnya waktu dalam berproduksi. Berdasarkan hasil penelitian, faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya stres adalah kurangnya waktu untuk istirahat, banyaknya pertemuan yang tidak efektif, dan banyaknya karyawanan yang harus diselesaikan dalam waktu yang bersamaan. Lazarus dan Launier 8 mengemukakan bahwa bila seseorang merasa ada ketidakseimbangan antara tuntutan dan sumber dayanya, kemudian ia merasa tidak mampu menghadapinya, dan tuntutan itu berdampak negatif terhadap dirinya, maka akan timbul stres. Prevalens KGGME pada karyawan cukup tinggi, yaitu 58%. Nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian serupa2-4,9 maupun dengan populasi umum (26,4%), yang didapat dari Survey Kesehatan Rumah Tangga (1998).10 Hasil screening SCL-90 juga memperlihatkan jumlah gejala yang dimiliki oleh masing-masing responden. Ada beberapa responden yang memiliki lebih dari satu gejala bahkan ada yang memiliki sepuluh gejala sekaligus. Prevalens KGGME yang cukup tinggi dan jumlah gejala yang dimiliki oleh masing-masing responden tersebut perlu mendapatkan perhatian dan menjadi langkah awal untuk proses diagnostik melalui pemeriksaan psikiatrik dan spesialistik lainnya. Hal ini penting sebab pada populasi yang normal saja masih mungkin memberikan hasil yang positif

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa 42 orang tidak mengalami KGGME, hanya 10 responden yang mengalami satu jenis, dan tujuh orang responden mengalami 10 jenis.
Tabel 5. Hubungan Stres Kerja Berdasarkan Stresor dengan KGGME Stres Kerja KecendeNormal O R rungan gejala gangguan mental emosional CI 95% p

Ketaksaan peran - Stres Sedang - Tinggi - Stres Rendah Konflik peran - Stres Sedang - Tinggi - Stres Rendah Beban kerja berlebih kuantitatif - Stres Sedang - Tinggi - Stres Rendah Beban kerja berlebih kualitatif - Stres Sedang - Tinggi - Stres Rendah Pengembangan karir - Stres Sedang - Tinggi - Stres Rendah Tanggung jawab terhadap orang lain - Stres Sedang - Tinggi - Stres Rendah

44 14 49 9

26 16 14 14

1.9

0.8-4.6

0.13

2.72 1.04-7.09

0.12

51 7

32 10

2.27 0.78-6.58

0.12

52 6 55 3

29 13 24 18

3.88 1.33-11.31 0.01

13.8

3.7-51.1 <0.001

42 16

27 15

1.50.

6-3.4

0.38

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 8, Agustus 2008

281

Stres Kerja dan Kecenderungan Gejala Gangguan Mental Emosional pada penggunaan suatu alat bantu diagnostik (false positive). Selain itu tidak semua kasus yang dinyatakan mengalami KGGME memiliki gejala yang nyata secara klinis. Kuesioner yang tercakup dalam SCL-90 mengacu pada sekumpulan pernyataan yang sesungguhnya diasumsikan mewakili gejala gangguan tersebut. Secara alamiah setiap manusia baik normal maupun yang terganggu mentalnya mempunyai kecenderungan sifat-sifat seperti yang disebut dalam gejala-gejala yang ada dalam SCL-90, walaupun dalam tingkatan dan kondisi yang berbeda-beda. Hasil screening SCL-90 menunjukkan bahwa dari kesepuluh subskala KGGME yang terbanyak dialami oleh responden adalah psikotisme, somatisasi, paranoid, dan obsesif-kompulsif. Hasil ini berbeda dengan yang disebutkan dalam kepustakaan, bahwa kecenderungan gejala gangguan mental yang paling menonjol akibat stres kerja adalah somatisasi, ansietas dan depresi.11 Demikian juga hasil penelitian dari Bedu AN9 terhadap karyawan pelayaran di Jakarta dengan hasil KGGME terbanyak adalah psikotism, somatisasi dan ansietas diurutan ketiga. Sementara hasil penelitian Wantoro B2 terhadap pengawas perbankan di Jakarta mendapatkan hasil kecenderungan gejala gangguan mental emosional terbanyak adalah somatisasi, kemudian obsesif-kompulsif dan psikotism. Perbedaan ini terjadi antara lain karena gejala utama yang muncul sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi lingkungan kerja di masing-masing perusahaan; lingkungan kerja yang berbeda akan menimbulkan gejala yang berbeda pula. Selain itu ada hal yang paling penting yang tidak dapat diabaikan yaitu faktor kepribadian,12 tetapi tidak diteliti dalam penelitian ini. Sebagaimana yang disebutkan dalam kepustakaan bahwa kepribadian seseorang merupakan faktor predisposisi yang penting dalam menentukan respons tubuh terhadap stres. Individu dengan kepribadian tipe A yang antara lain bercirikan perilaku agresif, berkompetisi, tidak sabaran, tergesa-gesa dan selalu bergelut dengan waktu, bereaksi lebih negatif dan menderita ketegangan yang lebih besar dibanding dengan kepribadian tipe B yang bercirikan perilaku santai (easy going). Hubungan sebab dan akibat antara pajanan terhadap stresor kerja dengan angka kesakitan psikiatris memiliki banyak mata rantai yang kompleks dan saling berhubungan, bukan merupakan suatu garis lurus. Hal ini terkondisi oleh berbagai pengaruh, di lingkungan kerja maupun di luar lingkungan kerja, serta sering terjadi setelah melampaui masa yang cukup lama.8 Menonjolnya kasus psikotism, paranoid, somatisasi dan obsesif-kompulsif pada responden tidak terlepas dari hal tersebut, antara lain terkait dengan respoden sebagai karyawan redaksi yang senantiasa bekerja dengan waktu yang ketat, berkompetisi dalam mengejar berita, individualis, dan sebagainya. Berdasarkan analisis multivariat, stresor kerja yang paling dominan adalah pengembangan karir. Responden yang mengalami stres kerja berhubungan dengan stresor
282

pengembangan karir berisiko 14 kali untuk mengalami KGGME dibandingkan dengan responden yang tidak berambisi mengembangkan karir. Sebagian besar responden (79%) merasa pengembangan karir di perusahaan tempat responden bekerja tidak sesuai dengan harapan, merasa tidak mempunyai kesempatan untuk maju dalam perusahaan, sedikit sekali kesempatan untuk berkembang dan memperoleh pengetahuan serta keterampilan baru dalam bekerja, merasa tak berkembang dalam karir, dan bahkan ada yang merasa dirugikan kemajuan karirnya sendiri. Beberapa orang dari responden mempunyai pendidikan, motivasi, dan prestasi kerja yang baik, serta sudah bekerja di atas tiga tahun, tetapi kondisi ini tidak diimbangi dengan perkembangan karir. Hal ini mungkin disebabkan oleh masalah internal seperti seringnya perusahaan berganti manajemen, sehingga terjadi hambatan dalam melaksanakan kebijakan yang sudah dibuat sebelumnya, termasuk dalam hal promosi jabatan dan kenaikan golongan pada sebagian karyawannya. Terlepas dari faktor-faktor yang ada di dalam lingkungan karyawanan, ada beberapa faktor lain yang ikut berperan dalam mekanisme terjadinya stres kerja dan hubungannya dengan gangguan mental, di antaranya: faktor kepribadian, faktor kesehatan, dukungan sosial, dan faktor lingkungan di rumah. Menurut Cooper dan Marshal, timbulnya stres kerja yang disebabkan oleh stresor pengembangan karier terjadi antara lain karena adanya ketimpangan dari pengaruh (impact) promosi yang berlebihan (overpromotion) atau kurang promosi (underpromotion), ketidakjelasan status (incongruent status), kurangnya jaminan bekerja (lack of job security), cita-cita yang tidak tercapai (thwarted ambition).8 Secara faktual yang sering ditemukan di berbagai perusahaan adalah faktor managerial interest dan faktor budaya eksternal yang dimasukkan ke dalam budaya kerja (internal), yaitu keduanya mempunyai kecenderungan diskriminatif. Managerial interest yang dimaksud adalah adanya pihak yang berkepentingan dalam manajemen perusahaan, sehingga kebijakan dalam mengambil suatu keputusan kerap kali bersifat fleksibel (tidak sesuai dengan standar operasional manajemen perusahaan). Sedangkan faktor budaya eksternal adalah kebiasaan yang sering diterapkan berdasarkan kebiasaan yang ada di luar perusahaan dan menganggap hal tersebut adalah lazim atau biasa untuk diterapkan dalam lingkungan internal perusahaan. Sebagai contoh, terdapat kebiasaan promosi pengembangan karier yang didasarkan budaya suka atau tidak suka (like and dislike) atau atas dasar menguntungkan atau tidak menguntungkan (advantage and disadvantage) bagi kepentingan pribadinya.3 Faktor-faktor tersebut di atas dalam bahasa keseharian dikenal sebagai budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kesimpulan Stresor kerja terbanyak yang menyebabkan stres sedang-tinggi adalah beban kerja berlebih kuantitatif.
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 8, Agustus 2008

Stres Kerja dan Kecenderungan Gejala Gangguan Mental Emosional Prevalens KGGME sebesar 58% dan subskala/jenis yang paling banyak ditemukan adalah psikotisme, paranoid, somatisasi, dan obsesif-kompulsif. Stres kerja mempunyai hubungan bermakna dengan kecenderungan gejala gangguan mental emosional melalui stresor pengembangan karir. Pada pemeriksaan kesehatan pra-kerja dan pemeriksaan berkala hendaknya juga dilakukan screening psikiatrik sehingga indikasi adanya potensi untuk mengalami KGGME dapat diketahui sejak dini. Perlu dipikirkan pengembangan karier karyawan yang berdasarkan kepada prestasi kerja, dedikasi terhadap perusahaan, serta adanya analisais keseimbangan antara beban kerja dan kualitas karyawan. Daftar Pustaka
1. 2. Claxton AJ, Chawla AJ, Kennedy S. Absenteeism among employees treated for depression. J Occup Env Med. 1999;41(7):650-1. Wantoro B. Analisis hubungan stressor kerja dengan gangguan kesehatan jiwa pada karyawan pengawas perbankan sebuah bank di Jakarta [tesis]. Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia Program Studi Kesehatan dan Keselamatan Kerja; 1996. Suwarni E. Analisis hubungan stresor kerja dengan gangguan mental emosional perawat wanita di rumah sakit umum pusat nasional dr. cipto mangunkusumo jakarta [tesis]. Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia Program Studi Kesehatan dan Keselamatan Kerja; 1998. Widyahening IS. Analisis stresor kerja dan status emosional serta keterkaitan di antara keduanya pada pilot dan ko-pilot sipil PT X Jakarta [tesis]. Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia Program Studi Kesehatan dan Keselamatan Kerja; 1999. Purnawati S. Laporan plant survey di perusahaan media cetak PT Republika Media Mandiri, Jakarta. Program Studi Magister Kedokteran Kerja, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta; 2005. 6. Isfandari S. Penelitian instrumen survei diagnosa stress dan stress strait. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular, Jakarta; 1992 7. Herianto M. Penentuan t-score standard normal instrumen psikometrik SCL 90, dan uji coba pada pasien rawat jalan poliklinik jiwa R.S. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta [tesis]. Bagian Psikiatri, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1994. 8. Sutherland VJ, Cooper CL. Models of job stress. In: Thomas JC, Hersen, editors. Handbook of Mental Health in the Workplace. California: Sage Publications; 2002.p.61-7 9. Bedu AN. Pengaruh stres kerja terhadap gangguan mental emosional pada karyawan PT SI Tbk Cab TJP [tesis]. Program Paska Sarjana Kesehatan Keselamatan Kerja Kekhususan Hiperkes Medis, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2002. 10. Sirait AM, Oemiaty R, Turdjai H, et al. Survai gangguan jiwa, hipertensi dan kecelakaan rumah tangga pada penghuni rumah susun di DKI Jakarta. 1989. Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 11. Seward JP. Occupational stress. In: Occupational Medicine. International edition. San Fransisco: Joseph LaDou, Appleton & Lange; 1990. 12. Waughfield C. Mental Health Concepts. 4th edition. San Fransisco: Delmar Publishers; 1998.p.25-8. 5.

3.

4.

EV

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 8, Agustus 2008

283

Anda mungkin juga menyukai