Anda di halaman 1dari 9

Aspek psikososial dan kerusakan temporomandibular pada mahasiswa FKG .

Cibele Oliveira de Melo Rocha

Obyektif

Mahasiswa FKG memiliki tingkat kecemasan yang tinggi di dimana hal itu dapat menyebabkan bukan
hanya turunnya prestasi akademik tetapi juga meningkatkan resiko untuk terkena penyakit lain.
Dipercaya bahwa hal ini dapat meningkatkan insidens nyeri orofacial kronik pada penyakit
temporomandibular (TMD) yang bisa memberi dampak pada kwalitas hidup dan subyek bagi
kesehatan secara umum. Tujuan penelitian adalah untuk mengevaluasi prevalensi TMD pada
mahasiswa FKG dan hubungannya dengan kesehatan secara umum, kwalitas hidup dan kecemasan.

Materi & metodologi

90 mahasiswa dievaluasi dengan 4 pertanyaan untuk menentukan prevalensi dan tingkat keparahan
TMD (Kusioner Fonseca) dan untuk menghitung kesehatan secara umum (Kuesioner Kesehatan
secara Umum –GHQ), kwalitas hidup (WHO Quality of Life – versi Brief – WHOQOL-brief) dan tingkat
kecemasan (State-Trait Anxiety Index-STAI).

Hasil

Hampir 58,9% mahasiswa FKG menderita TMD. Di antara indicator kesehatan umum, stress
psikologi (P=,010), ketidakpercayaan pada diri sendiri (P=,012), dan gangguan psikosomatis
(P=,020) menunjukkan perbedaan statistik yang signifikan dengan TMD yang biasanya. 4
area yang dipilih pada kuesioner mengenai kwalitas hidup, seperti fisik (P=,016), mental
(P<,001),sosial (P=,045) dan lingkungan (P=,017) faktor-faktor juga menunjukkan perbedaan
signifikan dengan TMD sebelumnya.

Konklusi

Suatu prevalensi tinggi dari TMD telah diamati di antara mahasiswa FKG. Sebagai tambahan
bahwa beberapa domain psikologis adalah indikator psikologik yang penting yang
berhubungan dengan TMD sebelumnya.

TMD termasuk suatu kondisi klinis yang bisa melibatkan temporomandibular joint (TMJ),
otot masticatory, dan struktur terkait dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda.
Tanda dan gejala TMD sangat umum pada populasi, ditandai dengan nyeri pada TMJ, di otot
mastication atau area periauricular, suara TMJ, dan perubahan pada pergerakan mandibula.

Etiologi TMD adalah multi faktor dan dapat berhubungan dengan stress emosi, occlusal
interferences, malocclusion, gigi tanggal, perubahan postural, disfungsi otot masticatory dan
struktur yang berdekatan, kondisi depresi, kecemasan, dan/atau kombinasi beberapa faktor.
Di sisi lain hubungan antara TMD dan gangguan tidur, perubahan postural dan ergonomik
(dari literatur dikatakan bahwa posisi kepala antero dapat menyebabkan kelelahan dan
ketidaknyamanan dari bahu, kepala dan otot leher).

Suatu kondisi nyeri yang sudah ada sebelumnya dan hubungannya dengan jenis kelamin
perempuan ditemukan sebagai faktor resiko yang mungkin. Sebagai tambahan, kenaikan
insiden nyeri orofasial kronik pada subyek TMD dan dampaknya pada kwalitas hidup dan
kesehatan pada umumnya diperhatikan pada penelitian ini.

Pada konteks ini, etiologi TMD menyisakan kontroversi. Riset epidemiologi menunjukkan
bahwa lebih dari 50% populasi menunjukkan setidaknya 1 atau lebih tanda TMD, namun
hanya 3,6% sampai 7% dari individu ini yang memerlukan beberapa jenis pengobatan.

Mahasiswa FKG memiliki tingkat kecemasan yang tinggi yang dapat menyebabkan bukan
hanya prestasi akademik yang turun tetapi juga meningkatnya resiko penyakit lain. Oleh
sebab itu, adalah penting untuk memperoleh data epidemiologi untuk melakukan estimasi
proporsi dan distribusi penyakit ini pada keseluruhan populasi. Demikian juga, tujuan
penelitian ini untuk melakukan verifikasi epidemiologi TMD pada mahasiswa FKG dan
melakukan analisa hubungannya dengan faktor psikososial seperti kesehatan pada
umumnya, kwalitas hidup dan kecemasan. Ini membatalkan hipotesa bahwa tidak ada
perbedaan antara adanya TMD dan (1) kesehatan pada umumnya (2) kwalitas hidup (3)
kecemasan pada mahasiswa FKG.

METODA & MATERI

Desain Study

Manuskrip ini melaporkan hasil dari cross-sectional study termasuk pada mahasiswa FKG.
Protocol lengkap disetujui oleh Research Ethics Committee from Federal University of Rio
Grande do Norte – UFRN, Natal, Brazil (protocol no. 186/10-P).

Subyek

Subyek penelitian diambil dari mahasiswa FKG (dari tahun pertama sampai dengan tahun ke
5) Universitas Federal Rio Grande do Norte. Estimasi ukuran sample menunjukkan untuk
ukuran sample minimal dari keseluruhan 322 mahasiswa FKG. Parameter yang dipakai pada
perhitungan ini : prevalensi 53,21 %, tingkat signifikan 5 %, dan power 90% (β=,10). Didasari
beberapa parameter, ukuran sample 74 mahasiswa ditentukan mencukupi untuk
mendeteksi perbedaan yang relevan.

Pada mulanya 107 mahasiswa diseleksi untuk penelitian ini dengan gambaran random,
menggunakan proses sampling probability systemik. Untuk itu, 322 mahasiswa
dikelompokkan per 3 orang, dan 1 orang di setiap kelompok dipilih secara random untuk
menyusun sample, menghasilkan pada total 107 mahasiswa (Fig 1). Pengecualian kriteria
termasuk :

 Kuesioner tidak terjawab atau jawaban salah


 Adanya penyakit sistemik seperti penyakit neurologis, fibromyalgia, neuralgia atau
sakit kepala, dan nyeri telinga
 Penggunaan obat oleh sebab apa pun
 Mahasiswa yang mendapatkan operasi sebelumnya (untuk menghindari keraguan
dengan gejala TMD).

Semua mahasiswa FKG yang terpilih dijelaskan tentang jalannya penelitian ini dan menerima
instruksi tentang bagaimana menjawab kuesioner yang tepat. Setelah menandatangani
formulir informed consent tertulis, mahasiswa terpilih akan didaftarkan pada penelitian ini.
Setelah terdaftar, peserta akan menyiapkan data tentang umur, jenis kelamin, dan tahun
lulus.

Assesmen

Setiap mahasiswa terpilih menerima satu amplop tertutup dengan sehelai formulir consent
dan 4 kuesioner. Mahasiswa diminta untuk menjawab kuesioner pada : Kuesioner Fonseca
(tingkat keparahan TMD), Kuesioner Kesehatan pada Umumnya – GHQ (Kesehatan secara
Umum), WHO Kwalitas Hidup - WHOQOL-versi Brief (kualitas hidup), dan State-Trait Anxiety
Inventory – STAI (kecemasan).

Kuesioner yang digagas Fonseca dipakai untuk mengklasifikasi keparahan TMD, tergantung
pada ketinggian efisiensi data epidemiologi yang didapatkan. Sebagai tambahan, index ini
menunjukkan bahwa 95% korelasi dengan index anamnestik Helkimo pada pasien dengan
TMD. Kuesioner Fonseca terdiri dari 10 pertanyaan untuk melakukan evaluasi keadaan dari
mengunyah yang berhubungan dengan nyeri dari daerah sendi temporomandibular, kepala ,
dan leher, sebaik kebiasaan parafunctional, keterbatasan pergerakan, sendi clicking
(berbunyi), persepsi maloklusi, dan rasa stress emosional. Setiap pertanyaan harus dijawab
pada 3 skala poin : ya (10 poin), kadang-kadang (5 poin), tidak (0 poin) dan hanya satu
jawaban yang diperbolehkan di setiap pertanyaan. Total skor akan dikalkulasi dengan
menambahkan skor untuk 10 pertanyaan dan untuk digunakan untuk mengkategorikan
peserta sebagai bebas TMD (0 sampai 15 poin), TMD ringan (20 sampai 40), TMD sedang (45
sampai 65), dan TMD parah (70 sampai 100).
Kuesioner Kesehatan secara umum (GHQ), diciptakan oleh Goldberg pada tahun 1972 dan
divalidasi di Brazil oleh Pasquali et al, dipakai untuk evaluasi kesehatan secara umum.
Kuesioner ini mengevaluasi kesehatan mental melalui ada-tidaknya gangguan psikiatri non
psikotik (gangguan minor psikiatri). GHQ berisi 60 pertanyaan, dibagi dalam 6 domain (10
pertanyaan untuk setiap domain): stress psikologik, keinginan mati, ketidakpercayaan diri,
gangguan tidur, gangguan psikosomatis, dan gangguan kesehatan secara umum. Setiap
pertanyaan dijawab dalam 4 skala poin dari 1 (tidak parah) sampai 4 (lebih parah). Total skor
untuk setiap domain terdiri dari mean 10 pertanyaan dan dapat dirange dari 1 sampai 10.
Skor tinggi menunjukkan keparahan gangguan psikiatrik.

WHOQOL-versi Brief digunakan sebagai indikator kwalitas hidup. Kuesioner ini


diadaptasikan dari WHOQOL-100 dan digunakan sebagai instrumen untuk melakukan
evaluasi secara spesifik. WHOQOL-brief terdiri dari 24 pertanyaan dibagi dalam 4 domain (6
pertanyaan untuk setiap domain): fisik, psikologik, sosial, dan lingkungan. Setiap pertanyaan
harus dijawab dengan suatu skala analog dari 0 (kwalitas hidup yang buruk) sampai 100
(kwalitas hidup lebih baik) dan total skor dari setiap domain “determined by the syntax”
dibuat oleh Fleck et al. Karena itu, skor lebih tinggi menunjukkan kwalitas hidup yang lebih
baik.

Kuesioner STAI swa laporan digunakan untuk korelasi tingkat kecemasan terhadap
kelompok. Indeks STAI terdiri dari 2 bagian, bagian kecemasan karena sifat (STAI-T) dimana
mengevaluasi kepribadian, dan bagian kecemasan keadaan (STAI-S), di mana mengevaluasi
sifat yang ada. Setiap bagian terdiri dari 20 pertanyaan, dan setiap pertanyaan dinilai dalam
skala 4 poin dari 1 (tidak sama sekali) sampai 4 (sangat), di mana ditambahkan untuk
memperoleh kesimpulan skor dari 20 sampai 80. Skor semakin tinggi menunjukkan tingkat
kecemasan semakin tinggi.

Analisa Statistik

Variabel demografi dianalisa menggunakan “Student t” (umur) dan uji “chi-squared” (jenis
kelamin dan tahun lulus). Uji Chi Squared dilakukan jika variabel dikenal sebagai data
kategori (keparahan TMD). Untuk data numerik, perbedaan antara mean dievaluasi oleh Uji
Student t, setelah distribusi analisa Gaussian (kesehatan secara umum, kwalitas hidup, dan
kecemasan). Semua analisa dilakukan dengan Statistical Package for Social Sciences (versi
17.0; IBM) menggunakan tingkat signifikan pada 5% (α < ,05).

Hasil

Mulanya 107 mahasiswa FKG dipilih untuk asesmen dengan random, menggunakan
sampling proses sistematik kemungkinan. Di antara itu, 17 mahasiswa FKG dikeluarkan dari
penelitian karena mereka tidak menjawab kuesioner (n=11) atau merespon salah (n=6).
Total 90 mahasiswa yang dialokasikan untuk assesmen (Fig 1). Angka respon dari penelitian
adalah 89,72%.
Mean umur mahasiswa FKG di sample (n=90) bahwa 19,9 ± 1,9 tahun (range = 17 ke 25).
Prevalensi TMD adalah 58,9% (n=53). Perempuan yang paling terdampak (n=29; 32,2%);
namun, tidak ada perbedaan statistic yang signifikan ditemukan antara kedua jenis kelamin
(P=,571). Sebagai tambahan, adanya TMD menurut tahun kelulusan tidak menunjukkan
sebuah perbedaan statistik yang signifikan (P=,900) (Tabel 1).

Indeks TMD Fonseca menunjukkan 39 (73,6%) mahasiswa dengan ringan, 11 (20,8%) dengan
sedang, dan 3 (5,7%) dengan berat TMD (Tabel 2). Perbedaan statistik signifikan diamati
antara adanya TMD dan indek kesehatan umum pada hampir semua domain, seperti stress
psikologik (P=,010), tidak percaya diri (P=,012), dan gangguan psikosomatis (P=,020), sebaik
faktor kesehatan umum, sebagai representasi semua pertanyaan pada kuesioner
(P<,001)(Tabel 3).

Kwalitas hidup berhubungan dengan adanya TMD di setiap domain, fisik (P=,016), psikologik
(P<,001), sosial (P=,045), dan lingkungan (P=,017), menunjukkan bahwa adanya TMD
berhubungan dengan kwalitas hidup yang buruk (Tabel 4).

Mempertimbangkan STAI, kecemasan sifat (berdasarkan pada bagaimana perasaan orang


selama hidupnya) dan kecemasan keadaan (berdasarkan pada bagaimana perasaan orang
pada saat tertentu) juga menunjukkan perbedaan statistik yang signifikan menurut adanya
TMD (P<,05) (Tabel 5).

Diskusi

The Research Diagnostic Criteria for TMD (RDC/TMD) yang paling lengkap dan alat yang
efektif untuk diagnosa TMD. Namun, RDC/TMD cukup sebagai suatu alat asesmen yang
tidak praktis yang dibutuhkan orang untuk disajikan dengan alasan untuk memberikan
diagnosa TMD, dan itu sulit dipakai pada sample yang banyak. Suatu kuesioner yang diisi
sendiri seperti indeks Fonseca diusulkan sebagai berbiaya rendah dan yang mudah dilakukan
alat TMD alternatif asesment, menjadi mudah dipakai oleh dokter umum atau ahli
epidemiologi. Sebuah literatur menguji keandalan menggunakan kuesioner untuk mengenali
keparahan TMD oleh Campos et al rekomendasi penggunaan kuesioner Fonseca untuk
kesederhanaannya, kecepatan, dan biaya efektifnya. Kuesioner juga menyediakan sebuah
indek keparahan dengan lebih sedikit dipengaruhi si penguji dan variabilitas yang lebih
sedikit pada pengukuran.

Karena itu, suatu diagnosa awal TMD menggunakan protokol Fonseca dilakukan pada
penelitian sebelumnya, tergantung pada ketinggian efisiensi untuk memperoleh data
epidemilogi. Selanjutnya, kuesioner ini memungkinkan untuk mengumpulkan informasi
dalam kwantitas besar pada waktu yang relative pendek. Beberapa penelitian menggunakan
pemeriksaan fisik sebagai sebuah alat untuk asses TMD dan beberapa hanya mengandalkan
kuesioner saja. Metoda apa pun juga yang dipakai untuk mendiagnosa TMD, penelitian
menunjukkan kesamaan range prevalensi dari 50% ke 70%, kecuali untuk penelitian oleh
Wahid et al, yang melakukan pengamatan sebuah prevalensi dari 92,1% pada mahasiswa FK.

53 mahasiswa FKG (58,9%) menunjukkan beberapa tingkatan TMD dan, meskipun tidak ada
perbedaan statistik yang signifikan diamati antara jenis kelamin, 29 mahasiswa (54,7% di
dalam kelompok TMD) adalah perempuan dan 24 adalah pria (45,3% dalam kelompok
TMD). Habib et al. Menemukan prevalensi 46,8% pada mahasiswa laki-laki. Mirip, penelitian
sebelunmnya menunjukkan bahwa 49,7% dari mahasiswa memiliki paling tidak satu tanda
atau gejala TMD, dan yang paling umum ditemukan adalah “clicking” dan nyeri di atau
sekitar telinga/dagu. Persentase lebih besar (74,5%) diamati di penelitian yang melibatkan
perawat profesional.

Menurut jenis kelamin, beberapa penelitian menunjukkan prevalensi yang lebih besar tanda
dan gejala TMD pada perempuan. Penemuan ini dikaitkan kepada hormon reproduksi
perempuan dan faktor emosional. Agerberg dan Sandstrom percaya bahwa perempuan
punya lebih banyak kesulitan untuk mengatasi stressor sehari-hari, memegang jumlah
terbanyak penyakit fungsional. Menurut Jerjes et al, teori lain disebutkan bahwa prevalensi
TMD pada perempuan disebabkan oleh susunan genetik perempuan, di mana berhubungan
dengan TMD. Sebagai tambahan, dilaporkan bahwa ada signifikan antara semakin tingginya
tingkat nyeri (P=,004) dan kelembutan otot pada palpitasi (P=,001) pada pasien TMD
perempuan.

Nyeri wajah, walaupun biasanya ringan mengenai frekuensi dan keparahannya, dan
biasanya banyak berdasarkan pengalaman, di masa kecil, tetapi meningkat prevalensi dan
intensitas di dewasa muda. Beberapa peneliti melengkapi kenaikan ini dengan beberapa
kebiasaan “parafungsional” pada kelompok umur ini. Berdasarkan itu, maka Mejersjo et al
meneliti frekuensi tindik mulut dan parafungsi (mengunyah permen dan menggigit kuku)
dalam hubungannya dengan gejala TMD. Peneliti-peneliti ini menggambarkan bahwa tanda
dan gejala indikatif TMD secara statistik terhubung dengan tindik mulut (sakit kepala dan
kekakuan otot pada palpitasi), gigit kuku (sakit kepala dan “dental wear”), dan penggunaan
permen karet (sakit kepala, kesulitan membuka lebar, kekakuan TMJ sampai palpitasi, dan
melengkapi penemuan ini pada aktifitas otot mulut yang meningkat serta “overloading”.

Di antara mahasiswa FKG yang menderita beberapa tingkatan TMD, 39 (73,6%) tergolong
ringan, 11 (20,8%) tergolong sedang, dan 3 (5,7%) tergolong berat. Hasil serupa ditemukan
juga pada penelitian lain. Nomura et al, dalam sebuah penelitian dengan mahasiswa Brazilia,
melaporkan bahwa TMD pada 67,2% tergolong ringan, 22,5% tergolong sedang, dan 10,3%
tergolong berat. Hasil serupa juga diamati pada sebuah kelompok perawat profesional,
prevalensi lebih tinggi pada TMD ringan (n=66; 55,4%), diikuti TMD sedang (n=39; 32,8%),
dan TMD berat (n=14; 11,8%). Di samping itu, suatu prevalensi sangat tinggi ditemukan
pada TMD sedang (44,3%) di penelitian lain.
Hubungan antara TMD dan faktor psikososial sebelumnya diteliti dan dilaporkan di dalam
literatur dengan mencoba untuk menguraikan efek faktor-faktor ini sebagai inisiator atau
mengabadikan disfungsi. GHQ adalah sebuah instrumen penting yang dipakai untuk
mengukur kesehatan secara umum, dan menganalisa hasil-hasil selama interpretasi dari 6
faktor : stress mental, keinginan mati, tidak percaya diri, gangguan tidur, gangguan
psikosomatis, dan kesehatan secara umum. Hasil dari penelitian ini secara parsial menolak
hipotesa null pertama dan merekomendasikan bahwa stress psikologik, gangguan
psikosomatik, dan ketidakpercayaan diri dapat menstimulasi peningkatan tanda dan gejala
TMD. Di dalam literature dari penelitian sebelumnya dalam hubungan faktor psikologik
dengan keparahan TMD yang menunjukkan bahwa kwalitas hidup menurun sepanjang
keparahan TMD meningkat. Evolusi keparahan TMD biasanya disebabkan oleh morbiditas,
perubahan psikologik, kesulitan dalam kegiatan setiap hari, dan masalah-masalah kesehatan
secara umum. Meskipun tidak ada perbedaan yang diamati pada timbulnya TMD dan
gangguan tidur, penelitian menunjukkan bahwa gangguan tidur berimplikasi sebagai faktor
tetap TMD pada pasien dengan hasil pengobatan yang buruk. Insomnia adalah yang paling
sering terjadi pada pasien TMD, dan perubahan pada gejala keparahan insomnia
menunjukkan meningkatnya nyeri TMD. Ditambahkan oleh Sener dan Guler, dengan
menggunakan suatu indeks yang lebih spesifik untuk menganalisa gangguan tidur (indeks
kwalitas tidur Pittburgh – PSQI), menunjukkan bahwa komponen yang paling terpapar oleh
TMD adalah kwalitas tidur subyektif, “latency” tidur, dan efisiensi kebiasaan tidur.

Asesmen kwalitas hidup seharusnya didasari pada persepsi masing2 orang terhadap status
kesehatannya, termasuk aspek general kehidupan dan kesejahteraan. Instrumen yang
digunakan untuk mengasses kwalitas hidup adalah WHOQOL-brief. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan suatu hubungan signifikan antara semua domain (psikologik, fisik, sosial, dan
lingkungan) dan timbulnya TMD, menolak total hipotesa null kedua dari penelitian ini. Kami
memilih kuesioner ini dari “ the Oral Related Quality of Life Oral (OHRQoL) karena TMD
karakteristiknya oleh gangguan orofacial alamiah. TMD tidak hanya terlibat pada komponen
intraoral tetapi juga otot kepala dan leher (komponen extraoral dan berhubungan dengan
domain-domain fisik, psikologik, sosial, dan lingkungan. Ditambahkan juga bahwa kuesioner
OHRQoL lebih spesifik dan lebih target pada masalah rongga mulut. Namun, beberapa
peneliti melakukan evaluasi kwalitas hidup lewat “the Oral Health Impact Profile” (OHIP)
dan melakukan pengamatan bahwa nyeri myofascial menunjukkan dampak yang lebih besar
dari kwalitas hidup dari pada TMD. Penemuan berbeda dijelaskan oleh Resende et al yang
melaporkan bahwa hubungan statistik yang signifikan antara “disk displacement” dengan
reduksi dan domain sosial. Sebagai tambahan, Rener-Sitar et al menemukan sebuah
hubungan yang erat antara TMD dengan pengurangan indeks OHRQoL.

Karena dasar dari kecemasan adalah respon emosional, dan manifestasinya pada tingkatan
yang berbeda-beda, kelihatannya masuk akal bahwa tanda psiko-emosional ini adalah
endemik pada profesional kesehatan. Hasil penelitian ini juga menolak hipotesa null ke tiga
dan merekomendasikan suatu hubungan yang kuat dengan TMD, disebabkan oleh
ditemukannya signifikan statistik antara timbulnya TMD dan kecemasan peserta (sifat dan
keadaan). Ditemukan hal yang berbeda dengan Oliveira et al, yang menemukan sebuah
hubungan hanya antara timbulnya TMD dan sifat kecemasan (STAI-T; P<,05). Sebagai
tambahan, ketika mereka mengkorelasi keparahan TMD (ringan, sedang, dan berat) dengan
kecemasan, variasi dari keparahan TMD sebagian besar disebabkan oleh keadaan
kecemasan perorangan (STAI-S; P<,05) dan bukan oleh karena kepribadiannya (STAI-T;
P>,05). Gatchel et al mengamati tingginya tingkat gangguan kecemasan pada pasien TMD,
terutama pada TMD akut. Fillingim et al, pada sebuah penelitian kohort prospektif,
mengamati bahwa baik kecemasan sifat maupun kesemasan keadaan berhubungan dengan
kenaikan insidens TMD.

Pada konteks ini, model biopsikososial menegaskan bahwa natur multifaktor TMD dan
mempertimbangkan peran kognitif, sosial, dan fator biologis dari etiologi TMD. Ada
konsensus antara periset dan klinisi pada pentingnya asesmen dan mengatur baik faktor
fisik maupun faktor psikologik pasien dari disfungsi. Hasil penelitian ini berhubungan dengan
kesehatan secara umum, kwalitas hidup, dan indicator kecemasan pada TMD) memperkuat
keinginan untuk sebuah pendekatan multi disiplin dari pengobatan TMD. Namun, adalah
penting untuk mengenali dan menangani distress emosional dan gejala fisik, dengan titik
beratnya pada karakter multi disiplin dan bantuan lebih manusiawi.

Di samping itu, hubungan antara TMD dan postural dan alterasi ergonomik sudah dapat
dipastikan. Telah direkomendasikan bahwa suatu posisi anterior dari kepala membutuhkan
hiperaktivitas dari daerah leher posterior dan otot bahu untuk mencegah kepala dari jatuh
ke depan. Fungsi kompensasi otot ini bisa membuat kelelahan, tidak nyaman, dan titik
pemicu aktivasi. Souza et al mengamati bahwa perubahan postural lebih jatuh ke depan
pada subyek dengan TMD dan subyek simptomatik itu ditampilkann dengan distribusi
abnormal tekanan plantar, disimpulkan bahwa TMD mungkin mempengaruhi pada postural
sistem. Sebuah ulasan sistematik dilakukan untuk mengenali penyakit muskuloskeletal yang
paling sering muncul pada pemain violin dan pemain biola profesional menunjukkan bahwa
leher, bahu, dan sendiri temporomandibularnya adalah daerah yang paling sering terpapar
disebabkan oleh flexion berkepanjangan dari kepala dan bahu karena menahan biola.
Demikian juga, mahasiswa FKG dan profesional adalah lebih dicurigai untuk menderita
penyakit akibat pekerjaan oleh karena posture bekerja, dan sering ergonomik terjadi tanpa
disadari di dalam hari ke hari kegiatan rutin mereka. Oleh sebab itu, penelitian yang didesign
dengan baik mengevaluasi sebuah hubungan yang mungkin antara postur kerja dan
ergonomik dan timbulnya TMD pada profesional gigi adalah jarang pada literatur.
Berdasarkan itu maka sebuah metodologi belakangan ini dijelaskan oleh Fuentes Fernandez
et al, untuk mengukur postur badan manusia di bidang frontal dan sagital dan melakukan
evaluasi hubungan pada TMD memperlihatkan keandalan dan validitas yang cukup.

Oleh karena itu, penelitian selanjutnya adalah perlu untuk menentukan yang mana aspek
psikososial yang menjadi penyebab atau konsekwensi dari TMD. Ini juga penting untuk
memahami bagaimana kebiasaan postural dan gangguan tidur dapat mempengaruhi
insidens dari TMD.

Konklusi

Pada konklusi, suatu prevalensi tinggi dari TMD diamati pada mahasiswa FKG. Sebagai
tambahan, seperti domain psikologik, kesehatan secara umum, gangguan psikosomatis,
kecemasan, dan kwalitas hidup adalah indikator-indikator penting yang dapat
mempengaruhi timbulnya TMD.

Anda mungkin juga menyukai