Anda di halaman 1dari 14

Perjuangan Para Dokter

Oleh Prof. Dr. Nina Herlina L., M.S.

Enam puluh tiga tahun sudah kita merdeka. Agar kita tetap punya semangat menuju keadaan yang lebih baik, ada baiknya kita mengingat kembali awal kemerdekaan negeri tercinta ini, menghentikan waktu sejenak dan menoleh ke belakang. Kalau kita tahu betapa berat kemerdekaan negeri ini diperjuangkan oleh para pejuang, para pahlawan, mungkin kita akan sungkan untuk menggerogotinya, apalagi meruntuhkannya dengan cara-cara yang kurang beradab. Siapakah yang telah memperjuangkan kemerdekaan republik kita ini? Ada banyak pejuang, mulai dari para pemuda, pelajar, tentara, ulama, seniman, dan juga para dokter. Untuk golongan yang terakhir ini, jarang dibincangkan orang, padahal mereka berjuang sejak awal pergerakan kemerdekaan melalui Boedi Oetomo. Ya, siswa-siswa STOVIA (Sekolah Pendidikan Dokter Pribumi) yang mendirikan Boedi Oetomo itu. Oleh karena itu, marilah kita kenang sejenak perjuangan para dokter, terutama yang terjadi pada awal perang kemerdekaan tahun 1946.

Para pahlawan
Dalam buku Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia Jilid 1 (1978:221) dilampirkan daftar dokter yang gugur, tewas, atau hilang selama masa pendudukan Jepang dan masa perang kemerdekaan. Tercatat 36 dokter yang gugur di berbagai daerah di Indonesia. Mereka adalah Ismangil, Prof. A. Mochtar, Marah Achmad, Soelaiman Siregar, Kayadu, Kariadi, Susilo, Rubini, Achmad Diponegoro, Sunaryo, Agusdjam, Ismail, Tumangkol, J.J. Dungus, Kanuyoso, Lukardi, D. Pesik, Gurojo, Moh. Goro, Usmani, Dustira, Prof. Abdul Rahman saleh, Supraun, Hadiono Singgih, Ridwan, Muwardi, Susanto Mangun Supontjo, Loekmono Hadi, Suwandar, Purnomo, Pratiknyo, Sudjono Purwosuprodjo, Subandi, Djasamin Saragih, G. Tobing, dan Piet Ali.

Para dokter yang gugur tersebut adalah pahlawan yang diabadikan namanya

menjadi nama jalan (di Bandung misalnya ada nama Jalan dr. Susilo, Jln. dr. Rubini), ada juga yang diabadikan menjadi nama rumah sakit (misalnya Rumah Sakit Dustira di Cimahi dan Rumah Sakit dr. Kariadi di Semarang). Nama para dokter yang sudah diangkat sebagai pahlawan nasional (dari kalangan pergerakan) juga diabadikan menjadi nama rumah sakit, selain nama jalan. Misalnya RS Tjipto Mangunkusumo di Jakarta dan RS dr. Sutomo di Surabaya. Ada juga dokter yang gugur dalam tugas memberantas penyakit, misalnya dr. Slamet, yang terkena penyakit pes yang sedang ditanganinya di Garut sehingga namanya diabadikan menjadi nama RSU di Garut dan nama jalan di Bandung

Ada dua nama yang menarik untuk diketengahkan perjuangannya kali ini, yaitu dr. Dustira dan dr. Kariadi. Kedua dokter ini gugur pada masa awal perang kemerdekaan. Marilah kita kenali siapa mereka ini.

Dokter Dustira
Pada 1887 telah didirikan Rumah Sakit Militer (Militaire Hospital) di Cimahi. Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), rumah sakit ini dipergunakan sebagai tempat perawatan tawanan tentara Belanda dan perawatan tentara Jepang. Pada 1945-1947, rumah sakit ini dikuasai NICA. Setelah pengakuan kedaulatan RI oleh pemerintah Kerajaan Belanda (1949), Militaire Hospital diserahkan oleh militer Belanda kepada TNI yang diwakili Letkol Dr. Rd. K. Singawinata (pangkat terakhir kolonel). Sejak saat itu, Militaire Hospital diubah namanya menjadi Rumah Sakit Territorium III dan Letkol. Dr. Rd. K. Singawinata diangkat sebagai kepala rumah sakit itu. Pada 19 Mei 1956, dalam rangka Hari Ulang Tahun Territorium III/Siliwangi yang ke-10, Rumah Sakit Territorium III diberi nama Rumah Sakit Dustira oleh Panglima Territorium III, Kolonel Kawilarang, sebagai penghargaan terhadap jasa-jasa Mayor dr. Dustira Prawiraamidjaya. Siapakah dokter yang berjasa ini?

Dustira dilahirkan di Tasikmalaya pada 25 Juli 1919, sebagai anak Rd. S. Prawiraamidjaya. Pendidikan yang ditempuhnya dimulai di Europeesche Lagere School (ELS) Bandung, kemudian dilanjutkan ke Hogere Burger School (HBS), lima tahun di Bandung. Selanjutnya ia menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta (Geneeskundige Hogeschool, kemudian pada zaman pendudukan Jepang disebut Ika Daigaku).

Pada 1945, semua mahasiswa tingkat akhir Ika Daigaku, termasuk di antaranya Dustira Prawiraamidjaya, menyatakan ingin turut berjuang di Front Surabaya yang sedang memanas, yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa 10 November 1945. Namun, keinginan tersebut ditolak dan diperintahkan menunggu perkembangan selanjutnya. Para mahasiswa tingkat akhir itu lulus dan diberikan ijazah dokter lalu dilatih kemiliteran di Tasikmalaya sekitar dua minggu. Selesai pendidikan kemiliteran, dr. Dustira ditugaskan ke Resimen 9 Divisi Siliwangi yang menguasai Front Padalarang, Cililin, dan Batujajar.

Waktu itu, semua serba kekurangan, baik personel maupun obat-obatan. Dokter Dustira berusaha siang malam menolong korban di front-front tersebut. Melihat banyaknya korban yang jatuh, baik dari kalangan masyarakat sipil maupun para pejuang kemerdekaan, dr. Dustira merasa sedih sekali karena tidak bisa memberikan pertolongan dengan sebaik-baiknya. Ketika terjadi kecelakaan kereta api di Padalarang dengan korban ratusan penumpang, dr. Dustira berusaha memberikan pertolongan, namun obat-obatan yang ada sangat terbatas. Melihat begitu banyak korban, tanpa dapat memberikan pertolongan yang memuaskan hatinya sebab kekurangan obat, mengakibatkan tekanan mental yang luar biasa bagi dr. Dustira. Akhirnya karena kelelahan fisik dan juga kelelahan mental, dr. Dustira jatuh sakit. Ia dirawat di Rumah Sakit Immanuel di Situ Saeur Bandung. Namun jiwanya tidak tertolong lagi dan pada 17 Maret 1946, ia dikebumikan di Pemakaman Umum Astana Anyar Bandung. Pada 8 Maret 1973, kerangka dr. Dustira dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Cikutra Bandung.

Dokter Kariadi
Kariadi lahir di Kota Malang, pada 15 September 1905. Pendidikannya dimulai di Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Malang dan ditamatkan di HIS Sidoardjo, Surabaya, lulus pada 1920. Pada 1921, ia berhasil memasuki Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) atau Sekolah Kedokteran untuk Pribumi di Surabaya dan lulus pada 1931. Begitu lulus, dr. Kariadi bekerja sebagai asisten tokoh pergerakan, dr. Soetomo, di Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting (CBZ) di Surabaya. Setelah berdinas tiga tahun, dr. Kariadi ditugaskan ke Manokwari, Tanah Papua.

Dokter Kariadi menikah dengan drg. Soenarti, lulusan STOVIT (Sekolah Kedokteran Gigi) di Surabaya. Soenarti lulus sebagai dokter gigi pribumi pertama di Hindia Belanda. Setelah bertugas selama tiga tahun di Manokwari, dr. Kariadi kemudian dipindahkan ke Kroya (Banyumas). Baru dua tahun bertugas di sini, dr. Kariadi ditugaskan lagi ke luar Jawa, yaitu ke Martapura dan selesai bertugas 15 Mei 1942. Setelah itu, tepatnya 1 Juli 1942, dr. Kariadi ditugaskan sebagai Kepala Laboratorium Malaria di RS Pusat Rumah Sakit Rakyat (Purusara) di Semarang

Perang kemerdekaan terjadi tidak lama setelah proklamasi dikumandangkan, termasuk di Semarang. Para pemuda terus berusaha merebut persenjataan milik tentara Jepang. Pada 13 Oktober 1945 suasana di Semarang sangat mencekam. Tanggal 14 Oktober, Mayor Kido menolak penyerahan senjata sama sekali. Para pemuda pun marah dan rakyat mulai bergerak sendiri-sendiri. Aula Rumah Sakit Purusara dijadikan markas perjuangan. Para pemuda rumah sakit pun tidak tinggal diam dan ikut aktif dalam upaya menghadapi Jepang.

Pada Minggu, 14 Oktober 1945, pukul 6.30 WIB, pemuda-pemuda rumah sakit mendapat instruksi untuk mencegat dan memeriksa mobil Jepang yang lewat di depan RS Purusara. Mereka menyita sedan milik Kempetai dan merampas

senjata mereka. Sore harinya, para pemuda ikut aktif mencari tentara Jepang dan kemudian menjebloskannya ke Penjara Bulu. Sekitar pukul 18.00 WIB, pasukan Jepang bersenjata lengkap melancarkan serangan mendadak sekaligus melucuti delapan anggota polisi istimewa yang waktu itu sedang menjaga sumber air minum bagi warga Kota Semarang Reservoir Siranda di Candilama. Kedelapan anggota Polisi Istimewa itu disiksa dan dibawa ke markas Kidobutai di Jatingaleh. Sore itu tersiar kabar tentara Jepang menebarkan racun ke dalam reservoir itu. Rakyat pun menjadi gelisah.

Selepas Magrib, ada telefon dari pimpinan Rumah Sakit Purusara, yang memberitahukan agar dr. Kariadi segera memeriksa Reservoir Siranda karena berita Jepang menebarkan racun itu. Dokter Kariadi, yang bertugas sebagai Kepala Laboratorium Rumah Sakit Purusara pun dengan cepat memutuskan harus segera pergi ke sana. Suasana sangat berbahaya karena tentara Jepang telah melakukan serangan di beberapa tempat termasuk di jalan menuju ke Reservoir Siranda. Isteri dr. Kariadi, drg. Soenarti mencoba mencegah suaminya pergi mengingat keadaan yang sangat genting itu. Namun dr. Kariadi berpendapat lain, ia harus menyelidiki kebenaran desas-desus itu karena menyangkut nyawa ribuan warga Semarang. Akhirnya drg. Soenarti tidak bisa berbuat apa-apa.

Tengah malam telefon berdering di rumah dr. Kariadi. Soenarti mengangkat telefon itu, ternyata dari Rumah Sakit Purusara: dr. Kariadi ditembak tentara Jepang dan tidak tertolong lagi nyawanya. Soenarti pun menangis. Hingga keesokan harinya, keluarga dr. Kariadi kebingungan karena tidak bisa datang ke rumah sakit, di mana jasad dr. Kariadi terbaring penuh luka karena suara tembakan terus terdengar di luar rumah.

Ternyata dalam perjalanan menuju Reservoir Siranda itu, mobil yang ditumpangi dr. Kariadi dicegat tentara Jepang di Jalan Pandanaran. Bersama tentara pelajar yang menyopiri mobil yang ditumpanginya, dr. Kariadi ditembak secara keji. Ia sempat dibawa ke rumah sakit sekitar pukul 23.30 WIB. Ketika tiba di kamar bedah, keadaan dr. Kariadi sudah sangat gawat. Nyawa dokter muda itu tidak dapat diselamatkan. Ia gugur

dalam usia 40 tahun satu bulan.

Sekitar pukul 3.oo WIB, 15 Oktober 1945, Mayor Kido memerintahkan sekitar 1.000 tentaranya untuk melakukan penyerangan ke pusat Kota Semarang. Sementara itu, berita gugurnya dr. Kariadi yang dengan cepat tersebar, menyulut kemarahan warga Semarang. Hari berikutnya, pertempuran meluas ke berbagai penjuru kota. Korban berjatuhan di mana-mana. Pada 17 Oktober 1945, tentara Jepang minta gencatan senjata, namun diam-diam mereka melakukan serangan ke berbagai kampung.

Sementara itu, karena kesibukan yang luar biasa dan situasi yang sangat gawat, jenazah dr. Kariadi belum dapat dimakamkan. Barulah pada 17 Oktober 1945, jenazah dimakamkan di halaman rumah sakit. Pemakaman berlangsung khidmat dengan naungan bendera Merah Putih meskipun sering terganggu dengan tembakan musuh. Anak-anak dr. Kariadi hadir di pemakaman, sedangkan istrinya merasa tidak mampu menyaksikan.

Pada 19 Oktober 1945, pertempuran terus terjadi di berbagai penjuru Kota Semarang. Pertempuran ini berlangsung lima hari dan memakan korban 2.000 orang Indonesia dan 850 orang Jepang. Di antara yang gugur, termasuk dr. Kariadi dan delapan karyawan RS Purusara.

Pada 5 November 1961, kerangka dr. Kariadi dipindahkan dari halaman RS Purusara ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal Semarang. Menurut putrinya, Prof. Dr. Sri Hartini K.S. Kariadi, dr., Sp.PD-KEMD, ketika kerangka ayahandanya dipindahkan itu, ia sempat ikut memeriksa tulang-belulang ayahandanya. Sebagai mahasiswa kedokteran (waktu itu) ia melihat di tengkorak terdapat retakan membentuk celah, yang menunjukkan bekas pukulan benda tajam (mungkin dipukul dengan sangkur, sebelum ditembak).

Sebagai penghargaan atas jasa-jasa dr. Kariadi, pada 1964, RSUP Purusara (yang sejak 1949 menjadi RSUP Semarang), diganti namanya menjadi "Rumah Sakit Dokter Kariadi", dan pada Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1968,

dr. Kariadi dianugerahi Satyalencana Kebaktian Sosial oleh Presiden Soeharto, secara Anumerta. Sebenarnya dr. Kariadi juga telah menghasilkan karya besar di bidang pemberantasan penyakit malaria melalui dan menemukan minyak "Oleum Pro-microscopieKar" yang sangat penting dalam menangani penyakit malaria dan filariasis yang berjangkit di berbagai daerah di Indonesia.

Penutup

Masih banyak kisah perjuangan para dokter lainnya yang bisa diungkapkan, namun dua contoh itu setidaknya memberikan gambaran bahwa perjuangan menuju kemerdekaan dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang sudah didapat itu, ternyata bukan hanya milik tentara atau laskar pejuang. Di samping perjuangan bersenjata, ada juga perjuangan kemanusiaan, yang juga ditebus dengan darah dan air mata. Kalau memang kita punya nurani, masihkah kita tidak mau menghargai mereka yang sudah mengorbankan jiwanya untuk mendirikan negara ini dengan memelihara negeri yang sudah diperjuangkan itu?***

Penulis, Guru Besar Ilmu Sejarah Unpad, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat, Ketua Pusat Kebudayaan Sunda Fakultas Sastra Unpad.

http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=28874

Suatu perjuangan kebangsaan yang ditandai dengan berdirinya organisasi Boedi Oetomo, pada 20 Mei 1908 oleh dr. Soetomo beserta beberapa pelajar Stovia (School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen). Pantaskah kita melupakannya? Momentum seratus tahun Kebangkitan Nasional ini tidak bisa dipisahkan dari kiprah dokter. Sejarah Indonesia mencatat, dokter adalah pelopor pergerakan kebangsaan dan nasionalisme

yang berupaya menaikkan harkat martabat dan kehormatan rakyat Indonesia. Perjuangan para dokter kala itu, unik, tanpa letusan bedil. Mereka berserikat melalui jalur pendidikan untuk mencerdaskan rakyat yang tertindas dan terbelakang akibat belenggu penjajahan. Perjuangan mereka berlanjut pada fase perjuangan, revolusi, dan mengisi kemerdekaan. Seperti dikatakan DR.dr. Fachmi Idris, M.Kes, kala itu para dokter berperan tidak hanya mengobati penyakit (agent of treatment), tapi juga sosok agent of change, dan agent of development. Karena dokter adalah figur yang mengabdikan profesinya, tanpa terpengaruh pertimbangan-pertimbangan agama, kedudukan sosial, jenis kelamin, suku dan politik kepartaian. Artinya, dalam pekerjaan keprofesiannya dokter sarat dengan nilai kesetaraan. Jadi, tidak mengherankan kelompok pertama yang memiliki semangat nasionalisme adalah dokter. Bila benar begitu adanya, mungkin bangsa ini, kembali mengutip kata dr. Fachmi, tidak sedang sakit secara fisik-mental-sosial, mengingat saat ini jumlah dokter dan ilmu kedokteran, jauh lebih maju ketimbang tempo dulu. Dimanakah salahnya? Para pakar kesehatan telah berulang kali membicarakannya. Majalah Farmacia, pada Edisi Khusus 100 tahun Kedokteran Indonesia ini, tidak menurunkan ulasan para pakar dalam menjawab kondisi bangsa yang carut marut ini. Tapi pada edisi ini, kami coba menyentuh essensi yang paling dalam dengan menurunkan kilas balik seratus tahun pergerakan kebangsaan yang dipelopori oleh mahasiswa kedokteran untuk mengangkat kehormatan bangsa ini. Kami berharap edisi khusus kali ini dapat berkontribusi dalam menata sistem pelayanan kesehatan yang ideal, sehingga bangsa ini menjadi bangsa yang sehat dalam konteks sesungguhnya. Semoga!

Menghidupkan Nasional

Kembali

Sejarah

Kedokteran

Kapal perang RI dengan tulisan "GM", yang merupakan kependekan dari Gadjah Mada, di lambungnya, merapat ke sebuah kapal Belanda di Perairan Cirebon. Tak lama,

sejumlah tokoh Belanda berpindah ke kapal GM, yang kemudian membawa mereka mendarat di Pelabuhan Cirebon. Tokoh-tokoh Belanda itu ternyata delegasi yang akan menghadiri perundingan di Desa Linggarjati, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, pada November 1946. "Rekaman film ini saya peroleh dari Belanda," ungkap Rushdy Hoesein, menjelaskan asalmuasal dia memiliki penggalan dokumentasi peristiwa bersejarah Perundingan Linggarjati. Peristiwa sejarah 50 tahun silam yang terekam dalam film hitam putih dengan durasi tak lebih dari 15 menit itu tampak jernih, seperti layaknya film DVD di masa sekarang. "Saya masih ada beberapa koleksi film dokumentasi, sudah ada yang dalam bentuk DVD," kata Rushdy, saat ditemui di rumahnya, di Kompleks Dokter RS Harapan Kita, Jakarta, suatu malam, pekan lalu. Cukilan rekaman film dokumentasi yang dipertontonkannya melalui layar laptop itu merupakan salah satu fakta sejarah yang tak banyak diketahui publik. Pelajaran sejarah di sekolah tak pernah menceritakan bahwa kapal Belanda yang membawa delegasi Perundingan Linggarjati, dilarang merapat ke wilayah daratan Indonesia. Belanda menurut larangan itu. Alhasil, delegasi dijemput oleh kapal "GM", dan kapal Belanda menunggu di lepas pantai Cirebon. "Fakta itu sekaligus menunjukkan pemerintah kita waktu itu sangat berwibawa. Belanda tunduk pada aturan kita," ucapnya. Tertarik Sejarah Berbicara soal sejarah perjuangan Bangsa Indonesia di masa lampau, bukan hal yang asing bagi dr Rushdy Hoesein MHum (61). Menilik gelar kesarjanaannya, dia memang se- orang dokter yang sehari-hari bergelut dengan urusan medis. Namun, sejak lama dia sangat gandrung pada sejarah. Sejak 1990, pria kelahiran Jakarta itu sudah akrab dengan Legiun Veteran Indonesia. Ketertarikan di bidang sejarah akhirnya diwujudkan dengan menempuh studi magister di Universitas Indonesia (UI), pada 1999, dan lulus pada 2003 dengan tesis mengenai kebijakan Kabinet Sutan Sjahrir. "Sekarang saya sedang merampungkan studi doktoral di bidang sejarah. Disertasi saya mengenai Perundingan Linggarjati. Pernah terlintas untuk meneliti sejarah kedokteran nasional, tetapi hingga saat ini belum ada promotor untuk di-sertasinya," ia menjelaskan. Rushdy termasuk sosok yang unik. Meskipun seorang dokter, namun dia lebih memilih disebut sebagai sejarawan, seperti yang tertera di kartu namanya. Baginya, mempelajari sejarah tak ubahnya mendiagnosis penyakit pasien. "Sebelum memeriksa, biasanya ada dialog antara dokter dan pasien. Dari dialog itu saya mulai ada

gambaran apa kira-kira penyakitnya, baru kemudian saya jamah dia untuk memeriksa secara fisik, dan terakhir saya mengambil diagnosis. Lama-lama saya berpikir, mengapa tidak mencoba mendiagnosa masyarakat melalui sejarah," tuturnya mengenai awal ketertarikannya terhadap sejarah. Meski kini fasih berbicara mengenai sejarah sosial dan politik, namun dia tetap memiliki obsesi untuk meletakkan kemampuannya di bidang sejarah itu di dalam bingkai ilmu kedokteran. Sebab, baginya sejarah adalah ilmu tua yang sifatnya metodologis, yang menjadi dasar bagi banyak bidang. Apalagi, menurutnya, kedokteran di Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan patut dibanggakan. "Sejak 1856 sudah berdiri sekolah kedokteran Jawa. Lantas banyak dokter kita di zaman dulu yang mengambil bagian dalam periode perjuangan kemerdekaan. Di bidang kedokteran sendiri, banyak hal penting yang terjadi di sini," ungkapnya. Dia mencontohkan, seorang dokter militer Belanda, Christiaan Eijkman, pernah meneliti mengenai penyakit beri-beri dengan diagnosis awal infeksi akibat bakteri. Suatu hari dia mendengar ada penelitian yang dilakukan Rumphius (George Edward Rumphius, Red), peneliti ilmiah dari Ambon yang juga berkebangsaan Belanda. Rumphius memberi makan kacang hijau kepada pasien berpenyakit dengan gejala mirip beri-beri. "Eijkman lantas meneliti juga, dan dia berbalik dari penelitian bakteriologi ke defisiensi akibat kekurangan vitamin. Hasilnya, obatnya ada di kulit beras yang warna merah. Pada 1937 dia mendapat hadiah Nobel. Itu suatu peristiwa besar di bidang kedokteran kita. Tidak mungkin penelitian itu dilakukan di luar Indonesia, penyakitnya tidak ada di sana," papar Rushdy.

Budaya Kedokteran
Berkaca pada sejarah kedokteran di masa lampau, dia pun merasa prihatin dengan dunia kedokteran di Indonesia masa kini. Dia berpendapat, hal itu ada kaitannya dengan tak diajarkannya sejarah kedokteran di perkuliahan. "Apakah karena kita (dokter) ini seorang praktisi, lantas menjadi orang yang hanya melihat kekinian, merasa tidak perlu menengok ke belakang? Tetapi akibatnya, kita menjadi pengikat setia pemikiran kedokteran Barat," ucapnya prihatin. Rushdy berhasrat suatu saat akan tumbuh budaya kedokteran Indonesia. Salah satunya diwujudkan melalui hubungan dokter-pasien tidak semata-mata bersifat bisnis.

"Dulu ada yang namanya dokter keluarga, di mana dokter diakui sebagai anggota keluarga besar. Mengapa sekarang tak ada lagi? Apakah karena dokter begitu sibuknya sehingga tidak banyak waktu lagi?" katanya seolah tak percaya. Hal itu, menurut Rushdy, tak lepas dari tidak adanya rekonstruksi sejarah kedokteran nasional, yang lantas ditanamkan melalui bangku kuliah di fakultas kedokteran. "Anda bisa buktikan. Kalau tidak belajar sejarah, ada sesuatu yang hilang, yang tidak teraba lagi. Akhirnya kita asing terhadap budaya kedokteran yang pernah ada di negeri ini," ia mengingatkan. Berangkat dari kenyataan itu, Rushdy bercita-cita ada sebuah lembaga yang merekonstruksi kembali segala peristiwa sejarah di bidang kedokteran, baik penyakit, pengobatan, penelitian, dan penemuan, serta keterlibatan dunia kedokteran nasional dalam sejarah perjuangan Bangsa Indonesia. "Dari situlah saya berharap suatu saat sejarah kedokteran nasional bisa masuk di kurikulum perkuliahan. Selama ini, kalau ada ahli sejarah kedokteran dari luar negeri ingin belajar sejarah kedokteran Indonesia, selalu serba salah. Datang ke sejarawan, nggak

ngerti kedokteran, pergi ke kedokteran nggak ngerti sejarah," ujarnya. Rushdy yakin, dengan belajar sejarah, akan mampu mencapai hal-hal baik yang dulu pernah tercapai. "Ini saya yakini setelah saya bergelut dengan sejarah," katanya. [Pembaruan/Aditya L Djono] http://202.169.46.231/News/2006/08/22/Personal/per01.htm

Dr. Wilhelmus Zakaria Johannes sering juga ditulis dalam ejaan baru Wilhelmus Zakaria Yohannes, (Pulau Rote, 1895 Den Haag, Belanda, 4 September 1952) adalah ahli radiologi pertama di Indonesia. Sebagai dokter Indonesia pertama yang mempelajari ilmu radiologi di Belanda WZ Johannes juga menjadi ahli rontgen pertama yang sangat berjasa dalam pengembangan ilmu kedokteran Indonesia sehingga mendapat gelar Pahlawan Nasional. Namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit umum di Kupang, Nusa Tenggara Timur yakni RSU WZ Johannes. Nama pahlawan ini juga diabadikan menjadi nama sebuah kapal perang TNI-AL yakni KRI Wilhelmus Zakaria Johannes. Ia dimakamkan di Pemakaman Jati Petamburan, Jakarta Pusat.

WZ. Johannes adalah sepupu Prof. Dr. Ir. Herman Johannes, guru besar UGM yang adalah paman dari Helmi Johannes, presenter berita dan produser eksekutif televisi VOA Indone

::::Prof.Dr.Soeharso::::
Lahir di Boyolali pada tanggal 13 Mei 1912, Suharso merupakan lulusan tahun 1939 NIAS (Nederland Indische Artsen School) di Surabaya. Beliau kemudian bekerja di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Surabaya, setelah itu dipindahkan ke Sambas (Kalimantan Barat) karena sering selisih pendapat dengan seorang suster berkebangsaan Belanda. Pada awal pendudukan Jepang, Suharso termasuk dalam daftar orang-orang terpelajar Indonesia yang harus disingkirkan. Setelah mengetahui hal itu, Suharso melarikan diri dari Kalimantan ke Jawa. Kemudian beliau pun bekerja di Rumah Sakit Jebres,Solo. Meskipun masih menjadi Incaran Jepang, Suharso masih dapat menyelamatkan diri hingga Indonesia Merdeka dan bebas dari penjajahan Jepang.

Setelah Proklamasi, Suharso banyak membantu para pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan dengan menjadi Dokter Palang Merah Indonesia (PMI). Dari sinilah timbul niat mulia dr.Suharso untuk membantu korban perang. Prof Dr.Suharso telah dikenal masyarakat karena jasa-jasanya membantu & menolong orangorang yang cacat fisik. Awalnya, orang-orang yang ditolong merupakan korban perang.Namun dikemudian hari kegiatan ini semakin meluas. Dia mencoba membuat kaki dan tangan palsu untuk mengurangi beban penderita cacat tersebut. Beliau sempat mendalami ilmu Prothesa di Inggris. Sekembalinya, Ia mendirikan pusat Rehabilitasi di Solo yang hingga sekarang masih berdiri sebagai rujukan nasional, RSOP (Rumash Sakit OrthoPedi) Prof.Dr.Suharso. Beliau Wafat di Solo, 27 Februari 1971 dan dimakamkan di kota kelahirannya Boyolali.

Prof.Dr.Soeharso, selama hidupnya secara penuh mengabdikan diri di bidang kemanusiaan. Ketika terjadi perang kemerdekaan Republik Indonesia, Beliau mendirikan RC (Rehabilitasi Centrum) Tahun YPAC Surakarta bagi penyandang 1953, cacat tubuh di Surakarta mendirikan tahun 1952. :

Beliau

RS Orthopedi, Surakarta

Yayasan Sheltered Workshop, Surakarta Pada tahun 1961, Beliau mendapatkan tanda kehormatan Satyalantjana Pembangunan karena mendirikan RC dan YPAC di Surakarta.

Tahun 1969, Prof. Dr. Soeharso dan Nyonya mendapat penghargaan Albert Marry Lasker Award Kedulian Ibu Suharso terhadap penyandang cacat, juga diakui oleh International Society for Rehabilitation of the Disabled Sehingga Beliau diangkat menjadi anggota Dewan periode 1969 hingga 1972. Pada 16 20 Januari 1978, Ibu Soeharso menghadiri Konferensi Internasional II yang diselenggarakan oleh The Philipine Foundation for Rehabilitation for Disabled Person (PFRD) dan di organisir oleh R.I di Manila,Filipina. Konferensi ini membahas mengenai Undang-Undang kecacatan, dimana Presiden Marcos menandatangani Surat Keputusan No.1509 yang menjadi cikal bakal berdirinya National Commission Concerning Disabled Persons (NCCDP). Komisi ini bertugas untuk menyiapkan rencana jangka panjang yang komprehensif mengenai rehabilitasi. Setelah mendapat pengakuan dari berbagai pihak, Prof. Dr. R. Soeharso dan Nyonya mulai menghimbau kepada masyarakat agar tergerak untuk mendirikan yayasan yang secara garis besar prinsip-prinsip pekerjaannya seperti R.C. Perjuangan Prof. Dr. R. Soeharso telah membuahkan hasil dengan berdirinya YPAC di daerah/kota yang dipandang perlu dan memenuhi persyaratan, hingga sekarang telah berkembang dibeberapa daerah/kota yang tersebar di seluruh Indonesia : 1. Surakarta sejak tahun 1953 2. Jakarta sejak tahun 1954 3. Semarang sejak tahun 1954 4. Surabaya sejak tahun 1954 5. Malang sejak tahun 1956 6. Pangkal Pinang sejak tahun 1956 7. Ternate sejak tahun 1956 8. Jember sejak tahun 1958 9. Bandung sejak tahun 1960 10. Palembang sejak tahun 1960 11. Medan sejak tahun 1964 12. Manado sejak tahun 1970

13. Makassar sejak tahun 1973 14. Aceh sejak tahun 1979 15. Bali sejak tahun 1981 16. Sumatera Barat sejak tahun 1991

Anda mungkin juga menyukai