Anda di halaman 1dari 2

PAHLAWAN SEBELUM ERA KEBANGKITAN NASIONAL

NAMA: Soedjono Djoened Poesponegoro


Raden Soedjono Djoened Poesponegoro lahir pada tanggal 14 Juni 1908
di Wiradesa, Pekalongan, Jawa Tengah.[3]

 Pendidikan dasarnya ditempuh di Slawi, Tegal pada tahun 1915-1922, pendidikan menengahnya ditempuh
di Semarang pada tahun 1922-1927, dari situ ia melanjutkan ke pendidikan tinggi di Geneeskundige
Hoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Kedokteran, sebelumnya STOVIA, sekarang Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia) pada tahun 1927-1934. Pada tanggal 18 Agustus 1934 Soedjono
mendapatkan Artsdiploma (ijazah dokter).[3]
 Pada tahun 1928 Soedjono turut berkiprah dalam lahirnya Sumpah Pemuda sebagai Wakil Ketua Kongres
Pemuda II.
 Selanjutnya dr. Soedjono meneruskan pendidikan untuk meraih tingkatan tertinggi akademis di Universitas
Leiden, sebelumnya ia menjalani uitoefening van de geneeskundige practijk (pelatihan lanjutan dalam
rangka penyetaraan praktik dokter) di Geneeskundige Faculteit Universitas Utrecht 1935
 Dokter Soedjono meraih gelar Doctor in de geneeskunde (doktor dalam bidang kedokteran) dari Universitas
Leiden pada tanggal 12 Mei 1938 dengan disertasi berjudul "Het glucose-, melkzuur- en chloridengehalte
van den liquor cerebrospinalis bij meningitides"
 Pada bulan November 1938 setelah studinya di Belanda, ia kembali ke Semarang dan membuka praktik
dokter spesialis anak.
 Pada masa pendudukan Jepang, ketika para dokter Belanda diinternir, banyak profesional pribumi yang
diangkat oleh Jepang untuk mengisi jabatan yang ditinggalkan, termasuk Dr. Soedjono Djoened
Poesponegoro yang diangkat menjadi dokter spesialis anak di Rumah Sakit Umum Semarang pada bulan
Juni 1944 hingga bulan November 1945 hingga Jepang menyerah.
 Pada bulan November 1945-Mei 1947 ia menjadi dokter di Kendal dan Direktur Rumah Sakit Kardinah di
Tegal.
 Pada bulan Mei 1947-Februari 1950 ia diangkat menjadi dokter spesialis anak di Rumah Sakit Pusat
Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo sekaligus mengajar di Universiteit van Indonesie Jakarta yang waktu itu
masih di bawah pengelolaan NICA.
 Pada bulan Februari 1950-Agustus 1951 seiring dengan pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda di
mana Universiteit van Indonesie Jakarta diserahkan kepada RI, Dr. Soedjono Djoened Poesponegoro
diangkat menjadi Lektor (dosen tetap) dan Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Anak di Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
 Pada bulan Agustus 1951 ia dikukuhkan sebagai Guru besar Ilmu Kesehatan Anak (Pediatrik) Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, orasi ilmiah pengukuhannya baru dilaksanakan pada tanggal 7 Februari
1953.[4]
 Pada bulan Maret 1952 Prof. Dr. Soedjono Djoened Poesponegoro diangkat menjadi Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia menggantikan Prof. Wilhelmus Zakaria Johannes[5] hingga Februari 1960.
 Soedjono juga berperan dalam mendirikan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
 Pada tahun 1964 Soedjono turut menginisiasi penyelenggaraan Kongres Pediatrik Asia Afrika Kedua di
Jakarta.
 Seperti juga golongan intelektual pribumi yang pernah mengenyam pendidikan di luar negeri masa itu,
Soedjono menguasai bahasa Indonesia, Inggris, Belanda, Jerman, dan Prancis
PAHLAWAN DI ERA KEBANGKITAN NASIONAL

Salah satu pelajar STOVIA yang pandai berbahasa Jawa adalah Soeradji. Pun Soeradji menjadi perantara di
antara para pelajar yang aktif di perkumpulan Boedi Oetomo dengan masyarakat bumiputera yang sehari-hari
hanya mampu menggunakana bahasa Jawa. Soeradji dilahirkan pada tahaun 1887, di desa Uteran, kabupaten
Ponorogo. Orangtua Soeradji sangat ketat dalam mendidik perilakunya.

Setamat dari Europese Lagere School Soeradji melanjutkan studinya di sekolah kedokteran bumiputera di
Jakarta. Suatu kali ayahnya merasa kecewa karena Soeradji tidak mendapat nilai yang baik, padahal telah
dididik dengan keras sehingga menjadi siswa yang tekun. Melihat situasi tesebut kemudian Dr Wahidin yang
sudah mengenal ssbelumnya, mengulurkan bantuan dengan menanggung semua biaya pendidikan Soeradji
hinga lulus. « Dengan teman saya yang karib, Soeradji namanya datanglah kami berdua mendengarkan cita-
citanya.

Dengan anak-anak sekelas saya dibicarakan maksud perjalanan Tuan Dokter ini dan bantuan saudara-saudara
itu dapatlah didirikan satu perkumpulan pemuda-pemda di seluruh tanah Jawa guna memperhatikan soal
pengajaran terutamanya.» Soeradji berhasil menyelesaikan pendidikannya pada 30 Juli 1912. Pada tahun
1916, atas permintaan Dr Wahidin melalui Sri Sultan Hamengkubuwono VIII, Soeradji dipulangkan ke
Yogyakarta. Pada tahun 1928, Soeradji dipindahkan ke Klaten. Di daerah inipun Soeradji dihadapkan pada
masalah wabah penyakit yang menyerang penduduk yaitu penyakit busung lapar .

Selain aktif sebagai dokter, Soeradji juga ikut dalam perjuangan kemerdekaan serta peduli terhadap
kemanusiaan. Pada masa clash II Soeradji bersama teman- temannya bergerilya. Saat megalami tekanan
tentara NICA, oleh seorang perwira Belanda Soeradji diminta pindah ke kota Klaten dengan iming-iming gaji
yang tinggi, perumahan yang layak dengan kedudukan sebagai dokter. Dengan amat kecewa tentara Belanda
melakukan penembakan membabi buta, dan salah satu korbannya adalah seekor kuda kesayangannya mati
tertembak, padahal kuda tersebut merupakan kendaraan sehari-hari Soeradji ke pelosok- pelosok untuk
memberikan pengobatan kepada masyarakat.

Soeradji memang gemar bekerja, membantu rakyat kecil, dan menghindari publikasi, sehinga jarang keluarga
menemukan foto atau tulisan beliau. Pada hari Minggu, 13 Desember 1959, Dr. RT Soeradji
Tirtonegoro, meninggal dunia. Jiwa nasionalis dan rasa kemanusiaan yang tinggi dalam diri Soeradji tidak perlu
diragukan, meski sesungguhnya ia dididik guna menjadi ambtenaar. Atas jasa-jasa beliau, pada 20 Desember
1997, bersaamaan dengan hari ulang ahun ke-70 RSUP Tegalyoso, Klaten, Soeradji diberi penghargaan.

Penghargaan itu berupa pemberian nama RSUP Tegalyoso menjadi «RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro ».

Anda mungkin juga menyukai