Anda di halaman 1dari 6

Biografi

Prof. Dr. Gerrit A. Siwabessy (lahir di Ullath, Saparua, Maluku Tengah, Maluku, 19 Agustus 1914 –
meninggal di Jakarta, 11 November 1982 pada umur 68 tahun) adalah Menteri Badan Tenaga Atom
Nasional pada 27 Agustus 1964 dan Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1966 hingga
1978 pada masa pemerintahan Presiden Soekarno hingga Presiden Soeharto.

Masa kecil

Gerrit Augustinus Siwabessy terlahir sebagai bungsu dari empat bersaudara pada 19 Agustus 1914 di
negeri Ullath, Pulau Saparua, Kabupaten Maluku Tengah. Ia adalah keturunan keluarga besar fam
atau marga Siwabessy dari Ullath. Enoch Siwabessy, ayahnya adalah seorang petani Cengkih yang
meninggal dunia ketika Gerrit baru berusia satu tahun.

Ibundanya Naatje (Baca: Nace) Manuhutu, merupakan seorang putri keluarga petani Cengkih di
kampung Haria. Naatje (Baca: Nace) Manuhutu merupakan keturunan keluarga besar fam atau
marga Manuhutu yang merupakan fam pemangku jabatan raja di Haria.

Setelah meninggalnya ayahanda dari Gerrit, ibunya kemudian menikah lagi dengan seorang dari
Ambon Yakub Leuwol, seorang guru sekolah dasar terpandang. Hal ini memungkinkan Gerrit
menjalani pendidikan dasar dan menengah dengan baik. "Beta selalu menyertai tuan guru Leuwol
yang berturut-turut ditempatkan sebagai guru di Larike, Tawiri, dan Lateri," begitu tulis Siwabessy
dalam memoarnya.

Upuleru

Siwabessy kecil harus menempuh perjalanan yang cukup jauh ke sekolah. Karena itu Yonathan
Siwabessy dan Obed Siwabessy, kedua kakaknya, sering bergantian menggendong kakak
perempuannya, Mien Siwabessy, dan Siwabessy kecil untuk menempuh perjalanan jauh ke sekolah.
Begitu juga dengan keempat adik perempuan dari pernikahan kedua ibunya dengan Yakub Leuwol,
yaitu Lien, Mengky, Teddy dan Enny, semuanya memperoleh pendidikan yang baik.

Pada 1931, Siwabessy berhasil menyelesaikan pendidikannya di (MULO) (Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs) di kota Ambon. Kemudian Siwabessy menerima beasiswa untuk meneruskan pendidikan
kedokteran ke NIAS Nederlandsch Indische Artsen School, Surabaya. Siwabessy muda memang
sangat menonjol dalam bidang akademik. Tetapi pendidikan tinggi bagi banyak pemuda pada masa
penjajahan tidak mungkin diikuti tanpa beasiswa.

Di NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School) Siwabessy banyak bersahabat dengan pemuda dari
pelbagai suku bangsa, antara lain Ibnu Sutowo, Rubiono Kertopati, Mohammad Imam di samping
sahabat-sahabatnya dari Maluku seperti Jan Usmany, Karel Staa, Syuurt Latupeirissa, Chris Mailoa.
Pergaulannya dengan teman-teman barunya itulah yang membuka cakrawala Siwabessy tentang
Indonesia. Selain serius dalam studi, Siwabessy juga aktif dalam organisasi mahasiswa Maluku.

Di NIAS Nederlandsch Indische Artsen School inilah Siwabessy dipanggil dengan julukan Upuleru,
yang dalam bahasa tana (tanah, asli) Maluku Tengah artinya “dewa” atau ”pelindung”. Sebutan ini
terus dipakai oleh teman-temannya semasa perjuangan 1945. Itu sebabnya ketika Siwabessy menulis
memoarnya yang diterbitkan oleh Gunung Agung pada 1979, disepakati judul memoar tersebut
”Upuleru”.

Jalan Terhormat

Pada akhir 1941 diberlakukan Keadaan Darurat Perang akibat ekspansi Jepang ke Asia Tenggara dan
Pasifik. Pemerintah Hindia Belanda tiba-tiba sangat membutuhkan tenaga-tenaga dokter. Para
mahasiswa NIAS Nederlandsch Indische Artsen School yang telah lulus ujian ”Semi Arts” (setara drs.
med. atau sekarang Sarjana Kedokteran) dan telah menyelesaikan co-schaap (praktik kepaniteraan
klinik) sebelum maju untuk ujian ”Arts” (dokter), dikerahkan memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan
sangat tergesa-gesa mereka diberangkatkan.

Siwabessy mendapat tugas istimewa di pusat pengeboran perusahaan minyak Belanda BPM
(Bataavishe Petroleum Maatshapij), Cepu, Jawa Tengah. Di sana Siwabessy bahkan dipekerjakan
sebagai seorang dokter penuh dengan fasilitas sangat memadai. Dr. Smit, direktur rumah sakit,
memperlakukan Siwabessy sebagai kolega terhormat. Rupanya hal ini tidak terlalu disukai oleh
Zuster den Helder, seorang Belanda berperawakan tinggi besar. Ia tidak bisa menerima bahwa
seorang inlander berkulit hitam, berambut keriting dan berperawakan kecil menjadi pimpinannya.
Setiap perintah Siwabessy selalu mendapatkan komentarnya sampai akhirnya timbul pertengkaran
terbuka. Hanya dengan perantaraan Dr Smit saja maka persoalan ini dapat diatasi. Zuster den Helder
diperingatkan bahwa Siwabessy adalah seorang dokter yang kompeten dan diakui oleh Pemerintah
Hindia Belanda maupun BPM. Sejak peristiwa itu Siwabessy bisa bekerja dengan tenang.

Pada Maret 1942 tentara Jepang memasuki Indonesia sehingga timbullah kekacauan. Semua orang
Eropa dan para dokter yang berdinas di BPM Cepu harus mengungsi ke Surabaya. Di kota itu
Siwabessy bertemu dengan Dr Sutjahyo, kawan lamanya di NIAS yang memegang kedudukan
penting di Bagian Radiologi dan Bagian Paru-paru Rumah Sakit Simpang, Surabaya. Ia meminta
bantuan Siwabessy untuk memimpin bagian radiologi. Keahlian Siwabessy pada bidang radiologi di
kemudian hari juga terasah oleh para seniornya, Dr RM Notokworo dan Dr Abdul Rachman Saleh.

"Sebetulnya beta tidak terlalu tertarik pada radiologi. Semasa mahasiswa beta lebih banyak tertarik
pada bidang fisika, dan karena hubunganku dengan dr. Latumeten, kepala Rumah Sakit Jiwa Lawang,
beta tertarik pula pada bidang psikiatri (ilmu jiwa klinis). Namun demi kelangsungan hidup, beta rela
bekerja dalam bidang radiologi. Dengan demikian beta masuk ke bidang yang sama sekali baru
bagiku. Tidak kuduga ketika itu, bahwa keputusan yang kuambil secara terpaksa ini akan
menentukan jalan hidup kemudian, baik pada masa krisis pada pendudukan Jepang maupun dalam
masa revolusi dan masa merdeka," tulis Siwabessy dalam memoarnya "Upuleru".

Bapak Atom Indonesia

Sementara itu atas informasi Dr Aziz Saleh, Siwabessy mengetahui bahwa di Sekolah Tinggi
Kedokteran Universitas Indonesia di Batavia akan diadakan ujian Arts. Siwabessy bersama beberapa
rekan dari NIAS yang sudah lulus Semi Arts, segera berangkat ke Batavia. Siwabessy lulus sebagai
dokter penuh pada 15 Desember 1942.

Setelah kemerdekaan RI, Siwabessy makin giat lagi dalam kegiatan organisasi kebangsaan dan pada
tahun-tahun inilah ia dipertemukan dengan banyak tokoh penting nasional.

Pada 1949 dr Leimena, menteri kesehatan RI saat itu, merekomendasikan agar Siwabessy
melanjutkan pendidikan di bidang radiologi. Sebelumnya dr Johanes telah memberikan kepadanya
brevet (surat tanda bukti keahlian) sebagai ahli radiologi. Dengan rekomendasi kedua dokter ini,
Siwabessy berhasil mendapatkan beasiswa dari British Council untuk studi lanjutan di Universitas
London. Termasuk study trip ke pusat radiologi dan pusat kedokteran nuklir berbagai kota di Inggris:
Manchester, Leeds, Edinburg dan Glasgow.

Hal-hal pokok yang dipelajari mencakup radiologi, radioterapi, dan pengetahuan dasar bidang atom.
Lagi-lagi Siwabessy menonjol. Baru tiga bulan mengikuti studi, ia diangkat menjadi asisten. Ini
berarti, Siwabessy dibebaskan dari tugas-tugas rutin perkuliahan seperti mahasiswa lain pada
umumnya. Bahkan diberi kepercayaan memegang sebuah bangsal di Rumah Sakit Hammersmith,
London. Tak hanya itu, seorang sekretaris Inggris juga ditugaskan untuk membantu menyelesaikan
tugas-tugas administrasi. Suatu prestasi yang sangat luar biasa bagi seorang Asia pada saat itu.

Pengalaman penting lainnya selama berada di Inggris, ketika Siwabessy mempelajari sistem
kesejahteraan di bidang kesehatan. Ide inilah yang ia kembangkan di Indonesia dengan nama
Asuransi Kesehatan (Askes) saat menjabat Menteri Kesehatan.

Saat memperdalam bidang radiologi itu, Siwabessy banyak berkenalan dengan para ahli atom dari
bidang terkait, seperti fisika nuklir, kimia, biologi, fisika-radiasi, kimia-radiasi, biologi radiasi, dan
radioterapi. Selain itu Siwabessy juga melihat bahwa pengobatan kanker di London sudah banyak
menggunakan hasil penemuan dan penyinaran atom. Hal-hal inilah banyak memberi wawasan baru
yang kelak kemudian hari diterapkan di Indonesia. Karya Siwabessy kini juga terukir di Departemen
Radioterapi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Sebuah rumah sakit berstandar
internasional dengan peralatan sangat modern yang telah terbukti banyak menolong para penderita
kanker—termasuk kaum papa sekalipun. Demikian juga pengobatan dengan tenaga nuklir yang ada
di RSPAD Gatot Subroto, semuanya dirintis oleh Siwabessy.

Sekembalinya dari London, Siwabessy langsung dipercayai memegang berbagai tugas penting, antara
lain: Guru Besar Luar Biasa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Konsultan Rumah Sakit Pusat
Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta; Direktur Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta. Ia juga mendirikan
Lembaga Radiologi Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Pada 1952 Amerika Serikat berhasil meledakkan bom hidrogen pertama berkode Ivy Mike di Atol
Eniwetok, Kepulauan Marshall, Samudera Pasifik. Bagian dari rangkaian percobaan bom nuklir yang
sudah dimulai sejak 1948 (berakhir 1958; total 43 percobaan) di kepulauan tersebut. Khawatir
terhadap dampak percobaan bom nuklir tersebut bagi Indonesia, Presiden Sukarno menunjuk
Lembaga Radiologi Departemen Kesehatan yang dipimpin oleh Siwabessy untuk mengatasi masalah
ini. Pada 1954, dibentuklah Panitia Penyelidikan Radioaktivitas dan Tenaga Atom yang diketuai
Siwabessy dengan para anggotanya terdiri dari elemen-elemen Angkatan Darat, Angkatan Udara,
Badan Metereologi, (UI), Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung (ITB), dan RSPAD
Gatot Subroto.

Pada 1954 itu juga Siwabessy membentuk Lembaga Tenaga Atom yang berada di bawah Sekretariat
Negara dan Siwabessy sebagai direkturnya. Selain itu negara juga memandang perlu agar didirikan
fakultas yang mempelajari ilmu dasar di bidang fisika, kimia dan matematika untuk menghasilkan
tanaga ahli. Lagi-lagi Siwabessy ditunjuk pemerintah untuk mewujudkannya. Sebagai pendiri
Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam Universitas Indonesia, Siwabessy ditunjuk sebagai Dekan FIPIA UI
pertama (1963-1965).

Tahun 1962 Presiden Sukarno meresmikan berdirinya Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), berada
langsung di bawah( presiden, dan Siwabessy sebagai Direktur Jenderal BATAN pertama. Pada 1965 ia
diangkat sebagai Menteri Badan Tenaga Atom Nasional.

Atas jasa-jasanya yang sangat besar dalam memajukan tenaga atom di Indonesia, seperti
membangun reaktor nuklir dan banyak penelitian penting lainnya, Siwabessy yang adalah juga Bapak
Atom Indonesia, menerima Bintang Mahaputera III pada 1976. Namanya juga diabadikan oleh
negara pada sebuah reaktor nuklir terbesar di Asia Tenggara berkekuatan 30 MW yaitu Reaktor
Serba Guna G.A. Siwabessy RSG GA Siwabessy]], berlokasi di Serpong, Tangerang, Jawa Barat, yang
diresmikan Presiden Soeharto pada 20 Agustus 1987.
Menteri Kesehatan

Pada 1966 Siwabessy diangkat Presiden Soekarno menjadi Menteri Kesehatan. Tugas ini diembannya
hingga 29 Maret 1978 semasa pemerintahan Presiden Soeharto. Selama masa jabatannya itu,
Siwabessy merangkap sebagai Ketua Tim Dokter Pribadi Presiden. Pada masa itu banyak sekali
program yang telah Siwabessy lakukan dalam lingkup kesehatan. Mulai dari program Keluarga
Berencana (KB), Puskesmas, Askes, Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA), penanggulangan penyakit
menular seperti malaria, TBC, cacingan, kolera, tifus, disentri, sampai dengan upaya penanggulangan
penyakit kanker. Siwabessy sendiri tercatat sebagai salah seorang pendiri Yayasan Kanker Indonesia.
Kerja keras ini tidak terlepas dari keluwesan diplomasi Siwabessy dengan para sahabatnya yang
berada di luar negeri dan juga dengan berbagai organisasi internasional, antara lain badan-badan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) seperti World Health Organization, UNICEF, United Nations
Development Programme(UNDP), maupun lembaga-lembaga lainnya seperti United States Agency
for International Development (USAID) dan Medicare (menyangkut perawatan kesehatan).
Siwabessy juga tercatat sebagai pelopor kerjasama di bidang kesehatan dengan Amaerika Serikat.
Lembaga-lembaga yang banyak memberikan bantuan teknis maupun keuangan. Untuk jasa-jasanya
di bidang kesehatan, Siwabessy dianugerahi Bintang Mahaputera II pada tahun 1978.

Mengabdi hingga akhir hayat

Selepas tugas sebagai anggota kabinet, Siwabessy diminta menjadi anggota Dewan Pertimbangan
Agung yang bertugas sebagai Penasehat Presiden. Kepercayaan ini dijalani sejak 1978 sampai
akhirnya Siwabessy meninggal di suatu malam yang tenang pada 11 November 1982, Jakarta.

27 tahun setelah Siwabessy berpulang, Universitas Indonesia pada Juni 2009 memberikan menamai
salah satu jalan di kompleks kampus itu di Depok, Jl. Prof. Dr. G.A. Siwabessy sebagai salah satu
begawan ilmu yang telah mengabdi bagi Universitas Indonesia dan Indonesia.

Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/G.A._Siwabessy
Sikap yang dapat diteladani

1. Kemauan untuk terus belajar

Kemauan untuk terus belajar adalah salah satu prinsip hidup dalam diri Gerrit Augustinus Siwabessy
paling inspiratif di mata anak-anak dan cucu-cucunya.

Dengan belajar, Siwabessy tidak harus selalu bergantung pada anak buah. Belajar juga
memampukannya untuk memberikan pengarahan-pengarahan.

“Salah satu contoh ketika ia diangkat menjadi Menteri Kesehatan. Sekalipun ia seorang dokter yang
sudah lama menjalani profesi itu, begitu diangkat sebagai menteri ia tetap belajar karena kesehatan
masyarakat merupakan bidang baru baginya,” kata Bara Lasjkar Siwabessy, putra kedua GA
Siwabessy, tentang ayahnya, seperti tertulis dalam buku Sang Upuleru – Mengenang 100 Tahun Prof
Dr Gerrit Augustinus Siwabessy (1914 – 2014).

Anda mungkin juga menyukai