Beberapa dokter Belanda berpartisipasi dalam perdebatan tentang masa depan Nusantara. P.M.
van Wulfften Palthe, yang sikap militannya makin mengeras selama pendudukan Jepang, sangat
menentang Republik Indonesia.
Pada akhir tahun 1945, dia merumuskan interpretasi psikososialnya mengenai perjuangan
kemerdekaan Indonesia, tetapi pihak berwenang dalam militer Belanda segera
membungkamnya.
Dia berpendapat bahwa kebencian orang Indonesia terhadap Jepang dipindahkan kepada
Belanda setelah menyerahnya Jepang, yang terjadi begitu saja tanpa usaha atau pergumulan apa
pun. Karena perasaan benci yang tersisa ini tidak menemukan jalan keluar, mereka tumbuh
semakin intensif. Sebagai konsekuensinya, menurutnya, orang-orang indonesia secara kolektif
mengalami kemunduran ke dalam keadaan primitif dan emosional yang pada akhirnya meledak
dalam bentuk 'amok' (mengamuk) kolektif, dengan kekerasan meledak-ledak yang disalah
arahkan pada Belanda. Van Wulfften Palthe memadukan gagasan politik reaksioner dan
pemikiran psikoanalitik
Menjelang akhir Agresi Militer I, Kementrian Luar Negeri Belanda menerima permintaan untuk
mengirim dokter ke Indonesia. Pada bulan Oktober 1947, dokter E.Kits van Waveren, pendiri dan
Ketua Medical Coordination Committee, yang dibentuk oleh Royal Dutch Association of
Physicians untuk mengkoordinasikan bantuan medis ke Indonesia, pergi ke Nusantara untuk
memperkirakan tenaga medis yang dibutuhkan.
Dalam laporannya, dia membandingkan rumah sakit yang dikelola oleh Belanda ("bersih […]
terorganisasi dengan baik, penuh pasien") dan yang dikelola oleh Indonesia ("kelalaian,
disorganisasi, kesalahan manajemen yang buruk, kotor, hampir kosong")
Namun demikian, dokter Belanda yang diwawancarai oleh Kits van Waveren malah
menghubungkan kondisi ini dengan kelemahan karakter para kolega dokternya dari Indonesia
Mereka tidak inisiatif, orisinalitas, motivasi, dan kekuatan mental dan kapasitas organisasional
yang lebih tinggi dari orang-orang Barat. [..] Para dokter dan mahasiswa (indonesia) tidak
mampu berpikir secara independen sampai tingkat yang memadai, mereka adalah pelajar yang
baik dan terkadang sangat baik dalam menghafal, tetapi sering kali tidak berdaya saat
menghadapi situasi dan masalah yang solusinya belum diajarkan.
Agresi Militer Belanda II ini berakhir tanggal 5 Januari 1949 setelah kecaman terus terang dari Dewan
Keamanan. Belanda telah menghabiskan dana tersebut untuk kepentingan militernya untuk berperang di
Indonesia di bantu oleh Amerika Serikat. Seminggu kemudian, Dewan Keamanan menuntut pembebasan
kabinet Republik. Pemerintahan Belanda akhirnya menerima bahwa mereka tidak memiliki pilihan selain
melepaskan semua klaim atas bekas koloninya. Agustus sampai Novemver 1949, rincian peralihan
kedaulatan dibahas di Belanda.
Banyak dokter dan mahasiswa kedokteran bergabung dengan pasukan gerilya. Pada tanggal 7 Mei 1949,
pendidikan kedokteran di lanjutkan di yogyakarta. Sultan Hamngku Buwono IX menyediakan tempatnya di
Keraton. Sardjito, yg memimpin penderian pusat baru untuk pendidikan kedokteran. Dapat di simpulkan
bahwa keadaan saat itu stuasinya kurang ideal. Blokade Belanda di Jawa Tengah telah menyebabkan
terjadinya kekurangan hampir seua bahan. Para mahasiswa, pengusaha dan staff harus mampu jadi
penyelundup. Kondisi yg di hadapi saat pemindahan barang menjadi nyata ketika kita membayangkan
bahwa jalan utama antara Jogjakarta dan Klaten-yg berjarak 32 km-dirusak oleh gerilyawan Indonesia.
Pada tanggal 19 desember 1949, tepat satu tahun setelah dimulainya serangan Belanda II, Universitas
Gadjah Mada berdiri. Pada tangal 27 Desember 1949, Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatanya
kepada Republik Indonesia Serika (RIS).
Penyebaran Tenaga Dokter selama Revolusi Indonesia
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, banyak mahasiswa kedokteran dan dokter muda menjadi perwira militer,
wartawan, politisi, pengusaha, atau pejabat pemerintah. Jumlah profesi medis jadi berkurang. Karir
beberapa mahasiswa kedokteran lulusan Ika Daigaku dapat menajdi cerminan bagaimana mudah
berubahnya situasi setelah Proklamasi Kemerdekaan.
Salah satunya Soedjatmoko, Soedjatmoko sangat menentang orientasi feodal masyarakat Jawa .
Pada tahun 1940, setelah mendaftar di fakultas kedokteran Batavia, Soedjatomoko prihatin akan rezim fasis
Jepang.
Peristiwa pemotongan rambut pada tahun 1943 di Ika Daigaku memperkuat sikap anti jepang Soedjatmoko.
Dia dan Soedarpo menjadi pemimpin demostrasi. Setelah Soedjatmoko di penjarakan oleh Kenpeitai
selama empat minggu dan di keluarkan dari sekolah kedokteran, dia menjadi sangat kritis terhadap
Soekarno, Hatta, dan pemimpin politik Indonesia lainya lantaran kolaborasi mereka dengan jepang
Soedjatmoko kembali ke Jakarta dan bersama Soedarpo. Mereka bekerja untuk publikasi berbahasa Inggris.
Tujuan mereka adalah memberi tahu wartawan asing tentang keadaan di Indonesia. Pada tahun 1947,
Sjahrir mengirim Soedjatmoko ke New York untuk memimpin kampanye diplomatik.
Pada tahun 1951, Soedjatmoko kembali ke Indonesia dan terpilih menjadi anggota parlemen sebagai wakil
partai Sosialis pimpinan Sjahrir pada tahun 1955.
Ketika Soeharto menjadi Presiden, Soedjatmoko menjabat sebagai perwakilan Indonesia di PBB
dan duta besar untuk Amerika Serikat dan terpilih menjadi anggota Dewan Pembina Ford
Foundation. Pada tahun1980, ia menjadi Rektor Universitas PBB di Tokyo. Setelah kematian
Soedjatmoko, istrinya menerbitkan kumpulan esainya yang paling berpengaruh tentang
humanisme dan kosmopolitanisme.
Soedarpo, melali jalur karir yg sangat mirip dengan Soedjatmoko teman dekatnya, sampai 1952.
Pada bulai Mei 1948, Soedarpo menjadi anggota delegasi Indonesia untuk PBB dan membatu
mendirikan kantor konsulat Indonesia di New York. Pada tahun 1950-an, pemerintah Indonesia
mengeluarkan undang-undang yang mewajibkan semua pelayaran internasional untuk membuka
kantor lokal. Soedarpo membangun sebuah perusahaan pelayaran yang besar.
Ibnu Sutowo juga memulai karir bisnisnya selama revolusi selama Revolusi Indonesia. Prestasi
utamanya adalah mengubah perusahaan minyak negara Pertamina menjadi perusahaan yg sangat
mneguntungkan, sebelum akhirnya membawa pertamina ke jurang kehancuran melalui investasi
yg penuh rsiko.
Selama revolusi Indonesia, sejumlah dokter memperoleh reputasi legendaris, diantaranya yaitu
Abdul Rahman Saleh seorang ahli fisiologi yang merupakan sekretaris ika daigaku, penggemar
pesawat terbang dan pelopor radio, beliau tewas pada 29 Juli 1947 saat pesawatnya ditembak
oleh angkatan bersenjata Belanda saat akan mendarat di Yogyakarta.
Selain itu, Andan Kapau Gani yang merupakan dokter, perwira militer, politikus dan bintang film
populer, beliau dikenal sebagai penyelundup utama senjata dan perlengkapan militer melewati
blokade Belanda dan masuk ke republik. Beliau memperoleh uang demi membiayai perlawanan
militer melawan belanda dengan cara menjual minyak dan produk pertanian sumatera seperti
karet dan kopi ke pasar internasional.
Dokter Satrio sebagai perwira militer tahun 1946 dan ditempatkan di Banten, Jawa Barat. Ia
memberi vaksinasi kepada penduduk setempat terhadap cacar air dengan cara menyuntikkan
empat ekor kerbau dengan dua ampul mengandung cacar air yang berhasil ia selundupkan. Pada
tahun 1957, Mayor Jendral Satrio menjadi guru besar di Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, dan pada tahun 1970 – 1982 sebagai ketua Palang Merah Indonesia.
Sejumlah dokter Indonesia terkenal pada masa penjajahan belanda karena keterlibatan dengan
urusan politik, partisipasi dalam pergerakan nasional dan karya jurnalistik mereka.
Pada 20 Mei 1948 Boedi Oetomo didirikan, sebagai hari besar nasional yaitu Hari Kebangkitan
Nasional juga sebagai penghormatan para dokter.
Dengan menyamakan pendirian Boedi Oetomo para pemimpin baru mendukung cita-cita negara
nasional, melemahkan sejarah sarekat islam, dan mengalahkan berbagai basis islam politik yang
mencita-citakan Indonesia sebagai negara Islam. Esai-esai dan buku pun ditulis oleh Sekelompok
pelajar Hindia Belanda sebagai peringatan ulang tahun ke-10 pendiriannya, dan kian penting dari
waktu ke waktu, pendirian Boedi Oetomo mewakili momentum keterlibatan politik oleh para
dokter dan mahasiswa kedokteran di paruh pertama abad ke-20.
Selama Revolusi Indonesia, para dokter menduduki berbagai posisi politik, namun setelah tahun
1950 terjadi kekurangan tenaga dokter yang parah sehingga mereka kembali pada karier
kedokterannya dengan karier politik yang berakhir. Kelompok elite kecil kedokteran di Indonesia
bernasib jauh lebih baik, mereka fokus pada bidang kedokteran dan memberikan pelayanan medis
dalam kondisi sulit.
Setelah kemerdekaan, para elite kedokteran memainkan peran utama dalam pengembangan
infrastruktur medis di Indonesia.
Mereka mengelola Departemen Kesehatan, rumah sakit, klinik, dan sekolah kedokteran yang
baru didirikan di banyak tempat.
Dibawah pemerintahan kolonial Belanda, Perkumpulan Dokter Hindia yang sangat vokal dan aktif
secara politik menjaga agar pelayanan kesehatan dan pendidikan medis tetap ada dalam agenda
politik.
Setelah tahun 1950, elite medis apolitis Indonesia menjadi terkenal akan patriotisme mereka,
dan menuai keuntungan dari reputasi itu, sehingga mampu mengonsolidasikan posisi mereka di
Universitas-universitas dan birokrasi pemerintah di Indonesia.