Anda di halaman 1dari 2

Lukisan Matahari Sudah pukul delapan halaman gedung kebudayaan itu mulai sepi.

Malam terus merambat, tidak peduli dengan kegelisahan seseorang yang menunggu sesuatu. Sebab bergulirnya malam sebenarnya juga diharap oleh yang lain. Sukarridi hampir saja minta kepada petugas agar mulai menutup jendela ketika sebuah mobil sedan warna metalik masuk pelan-pelan. Suara mesinnya hampir tidak terdengar. Dua satpam yang sejak tadi duduk terkantuk segera berdiri dan berlari mendekati mobil itu. Yang seorang tangannya cekatan membukakan pintu dari luar. "Selamat malam, Pak Sutomoyo," sapa hormat dua satpam itu begitu lelaki gendut keluar dari mobil. Lelaki itu membalas dengan menganggukanggukkan kepala. Seorang wanita muda berjalan di sampingnya. "Saudara yang bernama Sukamdi?" tanya lelaki bernama Sutomoyo itu pada Sukamdi. Yang ditanya langsung mengangguk penuh hormat. "Mana lukisan 17 matahari itu?" "Di sana, di sana, Pak. Mari kami antar." Sukamdi menggamit tangan Mia. Keduanya membungkuk-bungkuk hormat memandu Sutomoyo dan wanita muda yang berjalan di sampingnya. Ini ... ini lukisannya," tunjuk Sukamdi gugup, campur gembira. "Jujur saja kami akui, Pak, lukisan ini berdasar mimpi." "Mimpi?" tanya Sutomoyo. "Mimpi apa kau?" "Saya mimpi melihat 17 matahari. Tak hanya melihat, malah seolah saya dikelilingi 17 matahari itu." "Hmmm," Sutomoyo mengangguk-angguk. la melirik wanita muda di sampingnya. Sesaat kemudian wajahnya berkerut. "Kubeli lukisan ini, berapa pun harganya. Dengan satu syarat." "Apa itu, Pak?" tanya Sukamdi penuh harap. "Yang berdiri di situ bukan kamu, tetapi aku. Aku berdiri, menatap cakrawala yang memerah dan dikelilingi 17 matahari." Mulut Sukamdi ternganga. "Yang bermimpi saya, Pak," ucapnya kemudian gugup campur takut. "Kubeli mimpimu! Berapa? Lima jpta, sepuluh juta? Oke, sepuluh juta dengan syarat lain. Ganti gambarmu dengan gambarku dalam semalam! Besok pagi sebelum pukul sepuluh, lukisan itu harus sudah jadi dan kauantar ke kantorku. Bisa?" "Kalau saya buat yang baru, yang lebih bagus, Pak? Lukisannya sama. Bapak berdiri dikelilingi 17 matahari." "Kalau lukisan ini masih ada, itu tidak ada artinya. Buat apa mengoleksi lukisan kodian. Pokoknya Cuma ada satu lukisan tentangseseorang yang dikelilingi 17 matahari. Orang itu aku dan lukisan itu Cuma milikku." Sutomoyo menggamit tangan wanita muda di sampingnya. "Luki, berikan cek sebesar 10 juta kepada seniman kita ini." "Sepulluh juta, Pak?" tanya Luki agak ragu. "Ya. Sepuluh juta untuk membeli lukisan sekaligus mimpi aneh senimannya. Aneh memang. Seharusnya kau tidak mimpi seperti itu." Tangan Sukamdi gemetar menerima cek sebesar itu. Tidak pernah ia bermimpi bahwa lukisannya akan dibeli orang seharga 10 juta. Andaikata nanti ada yang mau

membeli lukisannya, berapa rupiah yang akan masuk ke kantongnya? Mia tersenyum sewaktu menerima cek dari suaminya. "Ingat, besok pagi sebelum pukul 10, lukisan itu harus sudah jadi dan kauantar ke kantor," Sutomoyo segera menggamit tangan Luki dan meninggalkan tempat itu. "Kautahu, Luki, hanya orang istimewa bisa mimpi dikelilingi 17 matahari. Ya, kan?" celetuknya ketika sudah tiba di luar. Luki mengangguk dan tersenyum. Malam itu Sukamdi gemetar ketika berdiri di muka lukisan yang sudah dibeli Sutomoyo, orang terkaya di kota ini. 10 juta! Dan ia harus menghapus potret dirinya untuk diganti potret Sutomoyo. Lelaki kaya itu ingin berdiri dikelilingi 17 matahari! Membeli mimpinya 10 juta dan ia tidak berhak memiliki mimpinya sendiri! Edan! Semalaman Sukamdi hanya berdiri memandangi dirinya dalam lukisan itu yang juga berdiri dikelilingi 17 matahari. Kuas yang ada di tangannya tetap bersih. Kalengkaleng cat masih tertutup semua. Potret Sutomoyo tergeletak di samping sandal jepit miliknya. Mas! Mas!" teriak Mia dari luar sambil menggedor pintu gudang. "Sudah pukul 9. Kau harus mengantar lukisan itu sekarang juga!" Sukamdi tergagap. Ketika. ia menyibak gorden jendela, di luar sudah terang. Terang sekali karena sinar matahari langsung menernbus kaca jendela. "Gila!" desisnya sewaktu membuka pintu. Mia menjerit begitu melihat lukisan itu masih utuh. Tidak ada perubahan apa-apa. "Bagaimana, Mas?" tanya wanita itu gugup. "Mana cek itu?" tanya Sukamdi . "Mana?" desaknya kernudian. "Untuk apa? Bukankah lukisan itu harus kau ubah dulu?" "Aku tidak akan mengubah lukisan itu. Aku tidak akan menjual mimpiku sendiri, Aku masih punya harga diri. Apa di negeri ini orang tidak boleh bermimpi? Padahal hanya itu milik kita yang paling berharga. Sekarang mau dirampas. Tidak!" Lelaki itu merebut dompet istrinya dan mengambil selembar cek di dalarnnya. "Aku pergi dulu!" "Ke mana?" Sukamdi tidak menggubris. la berjalan bergegas. Setengah berlari, lalu berlari sambil mengibarkibarkan selembar cek ditangannya. Orang-orang kaget sewaktu lelaki itu berhenti di muka gedung bertingkat yang baru saja diresmikan. Sernua orang itu tahu siapa pemilik gedung pusat perkantoran itu. Sutornoyo, orang paling kaya di kota ini. "Pak Sutornoyo, masih ingat saya?" teriak Sukamdi lantang. "Sayalah pelukis yang bermimpi dikelilingi 17 matahari dan bapaklah yang mau membeli seharga 10 juta. Saya tidak rela. Karena itu, bersarna ini saya kernbalikan cek Bapak. Ini ambillah!" Sukamdi merobek-robek cek itu disaksikan beberapa satparn gedung itu dan puluhan orang lain yang berdiri mengelilinginya. "Ambillah ini!" Robekan cek itu lalu disebar ke udara. Orang-orang itu ternganga melihat pernandangan yang langka. Sukamdi berjalan sambil tertawa meninggalkan tempat itu.

Anda mungkin juga menyukai