Anda di halaman 1dari 3

Cerpen Herumawan P A (Kedaulatan Rakyat, 13 Agustus 2017)

Pahlawan ilustrasi Joko Santoso - Kedaulatan Rakyat.jpg


Pahlawan ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
AKU bingung hendak memakai kostum pahlawan siapa di upacara 17 Agustus di balai
kota esok hari. Lalu kuputuskan memakai kostum seperti Pangeran Diponegoro. Semua
atribut kostum Pangeran Diponegoro segera aku beli.

Tapi keesokan harinya, aku malah bangun kesiangan. Kulihat jarum panjang di jam
dinding kamar sudah menunjuk angka sepuluh.

“Waduh, tidak sempat dandan ala Pangeran Diponegoro.” Aku panik. Lalu kuputuskan
memakai kostum pejuang rakyat biasa. Aku mengambil sarung, menyampirkannya ke kaos
putih yang kupakai. Tidak lupa, aku mencoret-coret wajahnya dengan spidol warna
hitam, dan memakai ikat kepala warna merah putih.

Dengan segala atribut dadakan itu, berangkatlah aku ke balai kota. Tapi setibanya
di sana, upacara 17 Agustus sudah usai. Kuputar tubuhku, meninggalkan balai kota.
Tapi seorang teman memanggilku. Aku pun menengok.

Tampak ia tersenyum padaku. Lalu bertanya, “Kamu pakai kostum pahlawan siapa?”
Rupanya ia heran melihat kostum pahlawan yang kupakai. “Pejuang rakyat biasa.”
jawabku. Ia terkekeh mendengarnya.

“Lho memangnya kenapa?” tanyaku heran.

“Ah tidak, tadinya aku kira kamu itu pahlawan kesiangan dalam arti sebenarnya.” Ia
menjawab seraya juga mengejekku. Aku tidak mau menyahutinya. Kutinggalkan dia yang
sedang menertawai kostum yang kupakai ini. Berjalan menuju perempatan jalan,
menunggu bus yang akan membawaku pulang ke rumah.

Begitu bus datang, kulambaikan tangan kiri. Bus berhenti sebentar dan aku segera
naik. Di dalam bus, kulihat kursi di sebelah seorang kakek berseragam veteran
tampak kosong. Aku segera duduk di situ.

“Mas, ongkosnya.” Kernet bus mengingatkanku. Aku merogoh saku kostum pejuangku.
Kuambil uang lima ribuan yang kucel dan banyak lipatannya. Lalu kuberikan pada
kernetnya. Uang kembalian dua ribuan kertas diberikannya padaku.

Kupandangi uang kertas dua ribuan kembalian kernet bus. Tertera sebuah tulisan
“AWAS INI UANG PALSU!!!!” pada lembaran uangnya. Lalu di depan angka 2000
ditambahkan angka satu menggunakan pulpen hitam jadi tertulis Rp 12000. Dan gambar
kumis Pangeran Antasari ditebalkan memakai pulpen hitam.

Pada awalnya, aku tidak begitu menghiraukannya. Tapi karena kakek yang duduk di
sebelahku juga terus memandangi uang yang sedang kupegang, lidah ini kelu untuk tak
bertanya.

“Kenapa Kakek ikut memandangi uang ini?” Aku lalu bertanya.

“Benar-benar tidak menghargai.” jawab si kakek. Rona wajahnya tiba-tiba berubah


sedih.

“Memangnya kenapa, Kek?” tanyaku lagi. Si kakek terdiam. Tampak setetes air mata
turun membasahi pipinya yang mulai keriput.

“Itu gambar salah satu Pahlawan yang turut berjuang mengusir penjajah tapi wajahnya
dicoret-coret begitu, seperti tidak menghargai jasa dan perjuangannya saja.” Si
kakek menjawab panjang lebar.
“Lalu bagaimana baiknya, Kek?” aku kembali bertanya. Lagi-lagi, tampak rona
kesedihan terpancar di wajah si kakek.

“Tidak tahu.”

“Kakek tidak tahu caranya atau…” Kata-kata terputus. Aku tidak tahu harus ngomong
apa lagi.

“Para pejuang seperti Kakek dan juga beliau tidak pernah minta dihormati apalagi
dihargai, kami berjuang tanpa pamrih. Tapi jangan lantas melupakan begitu saja
jasa-jasa kami.” Si kakek menjawab terbata-bata. Aku mengangguk pelan.

“Siapa nama Kakek?” Aku mencoba ingin mengenal si kakek lebih dekat.

“Bardi Wirakusuma.” Jawab si kakek.

“Heru.” Aku menjabat tangannya yang tampak mulai keriput. Si kakek hanya manggut-
manggut. Lalu melepaskan jabat tanganku.

“Kakek tadi darimana?” tanyaku.

“Ikut peringatan 17 Agustus di Istana Negara, Nak.” jawab si kakek. Aku manggut-
manggut. Lalu tanpa diminta, si kakek menceritakan tentang dirinya. Hingga
perjuangannya melawan penjajah. Tapi belum tuntas ceritanya kudengarkan, kernet
angkot sudah meneriakkan tujuan dimana aku turun.

“Saya turun disini dulu ya, Kek.” pamitku.

“Hati-hati ya, Nak.” Pesan si kakek. Aku tersenyum mendengarnya memanggilku Nak
padahal kami berdua belum lama saling mengenal satu sama lainnya.

“Kiri, Pak.” teriakku. Bus berhenti lalu aku turun dengan kaki kiri terlebih dulu.
Dari luar, aku melihat si kakek berdiri melambaikan tangan. Aku balas lambaian
tangannya. Sejenak kupandangi tubuh si kakek dari kejauhan. Sosok yang masih tampak
tegap meski usianya kuperkirakan sudah menginjak tujuh puluh tahun.

***

Kutelusuri jalan kampung. Berpapasan dengan dua orang remaja putri tanggung.

“Mas, wajahnya kok dicoret-coret, mirip orang stres.” celethuk salah satunya ketika
melihat wajahku. Aku langsung menunjuk ikat kepala warna merah putih yang
kukenakan.

“Oooo.. jadi Pahlawan tho.” koor keduanya serempak. Kulanjutkan langkahku. Tapi
baru beberapa langkah, aku berhenti. Sayup-sayup kudengar kedua remaja putri
tanggung itu sedang berbincang tentang tugas sekolahnya.

“Kamu sudah dapat bahan buat tugas sekolah siapa sosok superheromu?”

“Belum, aku masih bingung. Kamu bagaimana?”

“Belum juga, kira-kira siapa ya?”

“Batman, Superman, Iron Man, Wonder Woman, Captain America bagus juga ya.” Entah
kenapa, aku jadi ingin nimbrung dalam perbincangan keduanya.

“Bagaimana kalau superheronya para Pahlawan nasional yang gagah berani mengusir
penjajah dalam perjuangan meraih kemerdekaan Indonesia. Mereka tak punya kemampuan
khusus apalagi peralatan canggih. Hanya bambu runcing.” Keduanya kaget mendengar
aku yang tiba-tiba ikut campur. Lalu melenggos dan pergi berlalu tanpa berucap
sepatah kata pun.

Aku mengurut dadaku sendiri. Membayangkan banyak generasi mendatang yang tak lagi
menghargai apalagi mau mencintai para pahlawan negeri sendiri yang sudah berjuang
melawan penjajah. Dan malah memuja-muja pahlawan ciptaan luar negeri.

“Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa Pahlawannya,”
batinku sambil melepas ikat kepala warna merah putih lalu memandanginya lekat-
lekat. Kuhela napas panjang. Kukembali melangkah tapi kali ini berbalut kesedihan
di hati. q –

Anda mungkin juga menyukai