Anda di halaman 1dari 4

Ketika Rambung Bertasbih

by Nur Nurdianto on Thursday, April 21, 2011 at 10:43am Tau lah, karet kan? Dulu aku suka cari klatak rambung untuk mainan. Tukas seorang teman yang aku tanya tentang rambung, kebetulan sang sohib adalah seorang Puja Kesuma yang besar dan lahir di daerah Kisaran. Ternyata daerah tersebut juga menggunakan istilah rambung untuk menyebutkan pohon karet. Sama dengan daerah kelahiranku di daerah Sawit Seberang, Kab. Langkat. Sama denganku, Puja Kesuma. Hari-hari semasa kecilku tidak lepas dari lingkungan perkebunan sawit dan karet. Setelah sekian lama jauh dari tanah kelahiran, aku jadi ingat dengan salah satu permainan Klatak Rambung, yaitu adu biji karet. Permainan sederhana, dua biji karet diadu dengan cara ditempelkan dan ditekan sekuatnya sampai ada Biji yang pecah berarti kalah. Semasa kecil biasanya kami mencari Klatak rambung di kebun karet milik PTPN II atau milik tetangga, alias kebun rakyat. Perburuan mencari klatak rambung merupakan kegiatan mengasyikan karena harus mencari biji karet yang memiliki kulit tebal dan jika diadu dengan biji lain tidak akan mudah pecah. Aku ingat betul saat saat kami mencari klatak rambung di kebun karet milik Mbah Tumiran. Banyak teman-teman yang mencari di kebun tersebut karena ada biji karet yang jagoan, kulit tebal, selalu menang. Mungkin pohon karetnya termasuk klon unggul. Tapi kami tidak tahu apa itu yang namanya Klon Karet. Bagi kami, bisa menemukan biji karet jagoan. Pernah saking asyiknya kami mencari klatak rambung tak kami sadari kami mendekati rumah Mbah Tumiran. Rumah Mbah Tumiran terletak di tengah kebun karet, nah saat itulah sang penjaga rumah menggongong keras alias anjing galak. Maka berlarian lah kami menjauh dari rumah Mbah Tumiran. Tidak hanya klatak rambung yang menjadi bagian dari masa kecilku. Suatu waktu juga membantu mamak (ibu) mencari kayu bakar untuk masak di rumah. Tentu tidak hanya di kebun karet mbah tumiran. Di kampung banyak juga tetangga lain yang punya kebun karet. Berbekal parang biasanya kami mencari ranting kering yang sudah rontok, jatuh ke tanah. Satu persatu dikumpulkan dan bila sudah satu ikat barulah kami pulang. Aku jadi ingat suatu siang ketika melewati kebun Karet di suatu tempat di kab. Karanganyar, Jawa Tengah. Beberapa anak kecil seusia 7-10 tahun sedang mencari kayu karet. Berbeda dengan masa kecilku yang hanya mencari kayu karet kering, anak yang aku temui tadi malah memotong cabang karet sambil memanjat pohon karet. Namun, demi mengingat masa kecilku dulu, aku hanya menegur anak-anak tersebut dan menasehati mereka untuk mencari kayu kering saja. Wah dasar anak-anak sekarang. Pernah juga ketika lewat kebun karet aku menemukan seorang ibu dan anaknya malah mencuri kayu karet dengan memotong cabang karet yang masih segar dan cukup besar. Duh. Padahal dulu kami sewaktu kecil tidak pernah memotong cabang kayu karet. Yang lebih ironisnya, rumah ibu sang pencuri kayu tidak jauh dari kebun karet. Mungkin hanya 300 m dari kebun karet. Kayu Karet.. kayu karet. Kembali ke masa kecilku, rambung alias karet menjadi primadona kampung selain kelapa sawit. Bila libur tiba, kami iseng-iseng membantu tetanggaku, Mbah Tun. Mulai dari menderes alias menyadap sampai panen. Menderes karet bagi kami anak kecil masih terlalu menyulitkan. Tidak hanya kulit karet yang disadap, kayu pun ikut kena. Maklum, kami dulu tidak kenal pola sadap, S2/D3. Mungkin dulu pola sadap S1/D1. Bagaimana tidak, setiap hari pohon karet disadap, seluruh

diameter kulit disadap melingkar dari sisi kiri dan sisi kanan. Istilah hanca pun kami tidak kenal. Masa menyenangkan sekaligus menyebalkan adalah panen getah rambung. Panen getah dilakukan hari berikutnya (otomatis sudah membeku menjadi lump), bahkan kalau getah alias latek sedikit, bisa sampai seminggu getah baru diambil. Getah rambung ditampung pada batok kelapa, berbeda dengan PTPN II yang sudah menggunakan mangkok aluminium atau juga mangkok plastik. Lump dikumpulkan dan disimpan dalam kotak kayu sebelum dijual kepada toke/pembeli. Menyebalkan adalah saat panen lump karet yang bau, susah hilangnya. Penjualan lump karet biasanya sebulan 2 kali. Pembeli adalah toke alias juragan cina yang datang membawa truk fuso.Sebelum ditimbang, lump diperiksa dahulu dengan cara dibelah bagian tengahnya. Biasanya ada saja yang berbuat curang. Pernah ada potongan sandal jepit di tengah-tengah lump karet. Halah. Katanya sih biar timbangannya lebih berat. Bau getah karet alias bau dollar. Jaman dulu harga lump karet Rp 3000-5000/kg. Kalo dihitung ada juga tetangga yang bisa jual 50-100 kg. Mbah samikun misalnya, sekali jual lump dapat Rp 500.000 700.000,-. Sebulan bisa dapat 1.000.000 an, padahal gajinya bekerja di pembibitan kelapa sawit milik PTPN II Kebun Sawit Seberang di bawah Rp 500.000 an. Menginjak remaja, lingkungan kebun karet dan kelapa sawit mulai kutinggalkan karena harus bersekolah di SMA Negeri 2 Binjai. Tak dinyana, ternyata sekolahku terletak di Jl. Padang No.7, Rambung Dalam, Kotamadya Binjai. Eaalah ketemu rambung lagi. Tapi tidak ada pohon karetnya, karena udah jadi kota. Gak tau juga sejarahnya seperti apa. Masa kuliah di IPB Bogor ketemu dengan mata kuliah Tanaman Perkebunan Utama. Ealaaah praktikum buat lubang tanam karet, sadap karet, filedtrip ke Kebun Cikumpay, PTPN VIII di Subang. Jalan-jalan ke Ciputat, mampir di Bumi Serpong Damai yang ternyata dulunya perkebunan karet. Masa kerja di Paguyangan, pas jalan-jalan ke Jogja lewat Banyumas. Ealaaah ada kebun rambung lagi milik PTPN IX. Masa kutu loncat, job training di kebun karet, asisten kebun karet, pelatihan kultur jaringan karet. Rambung, Never Ending Asiaeits Jogja ding.

Anda mungkin juga menyukai