SILLABUS MODUL I
PENGAWASAN DENGAN PENDEKATAN AGAMA
TUJUAN PEMBELAJARAN:
Setelah menyelesaikan sesi ini, diharapkan peserta dapat memahami konsep dasar
program Pengawasan dengan Pendekatan Agama (PPA).
TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS :
Di akhir sesi ini peserta dapat:
1. Menjelaskan pengertian, visi, misi, tujuan, dan sasaran PPA
2. Menguraikan metode, pendekatan, dan pola pelaksanaan yang digunakan dalam
PPA
3. Mengetahui perkembangan PPA
4. Menerapkan pola pelaksanaan Pengawasan dengan Pendekatan Agama
MATERI
1. Latar belakang Pengawasan dengan Pendekatan Agama
2. Pengertian Pengawasan dengan Pendekatan Agama
3. Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran
4. Perkembangan Program Pengawasan dengan Pendekatan Agama
5. Pengawasan dengan Pendekatan Agama sebagai Moral Force
6. Pola Pelaksanaan Pengawasan dengan Pendekatan Agama
METODE
1. Presentasi
2. Tanya Jawab
3. Game dan simulasi (indoor)
MEDIA
1. Proyektor Digital
2. Laptop
3. Peralatan game dan simulasi
2
RENCANA PEMBELAJARAN
WAKTU : Sesi ini memerlukan waktu 180 Menit
SESI I
BAGIAN A
Topik
Metode
Waktu
:
:
:
Konsep dasar PPA (Latar belakang; Pengertian; Visi, misi, tujuan
dan sasaran; Perkembangan; PPA sebagai moral force; dan Pola
pelaksanaan PPA).
Presentasi
45 menit
BAGIAN B
Topik
Metode
Waktu
:
:
:
Problem dan solusi pemahaman dan penerapan PPA
Tanya jawab
45 menit
BAGIAN C
Topik
Metode
Waktu
:
:
:
Pemantapan hasil presentasi dan diskusi PPA
Focused Group Discussion (FGD) dalam 3 kelompok kerja
50 menit
BAGIAN D
Topik
Metode
Waktu
:
:
:
Penerapan PPA (dalam artifisial)
Game dan simulasi (indoor)
40 menit
SIMULASI
Pada kegiatan ini peserta dibagi menjadi 3 kelompok. Masing -masing kelompok
diberi tugas mengidentifikasi arti penting pengawasan diri.
Hasil diskusi dari masing-masing kelompok peserta ditulis di p apan tulis dan
kelompok lain kemudian dimintai tanggapannya.
EVALUASI KERJA
Evaluasi dilaksanakan secara partisipatif dipandu o leh fasilitator, baik dalam bentuk
pembahasan bahan diskusi dan tinjauan serta asesmen diri (self assesment).
3
MODUL I
PENGAWASAN DENGAN PENDEKATAN AGAMA
A. Pendahuluan
Pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen dalam suatu instansi.
Inspektorat Jenderal sebagai lembaga pengawasan memiliki tiga peran, yaitu sebagai
watch dog, konsultan dan katalis. Pengawasan dengan pendekatan agama (PPA)
merupakan pengembangan peran konsultan di bidang pengawasan, yang ditetapkan
dalam program capacity building, dalam rangka menanamkan nilai -nilai agama
menjadi kekuatan moral untuk membangun kinerja aparatur Departemen Agama.
Menyadari sepenuhnya, bahwa dengan s egala keterbatasan sumber daya yang
dimiliki, daya jangkau pengawasan fungsional jauh dari target ideal . Akibatnya,
sebagian besar unit kerja/satker tidak memperoleh kontrol, pengendalian dan
pengawasan yang memadai. Di sisi lain fungsi pengawasan melekat belum berjalan
maksimal pada setiap unit kerja/satker, sesuai temuan pada setiap laporan hasil
pengawasan. Dalam kondisi seperti ini peluang dan kesempatan terjadinya
penyimpangan masih terbuka lebar.
Inspektorat Jenderal Departemen Agama melalui misinya berketetapan bahwa
Pengawasan dengan Pendekatan Agama harus dikembangkan dan disosialisasikan.
Hal tersebut perlu dilaksanakan mengingat adanya pergeseran perilaku yang
berkembang di seputar tata kelola pemerintahan, yaitu berkembangnya opini
masyarakat yang memberikan predikat dan citra buruk terkait dengan penye lewengan,
penyimpangan dan penyalahgunaan keuangan negara, atau lebih akrab dengan
sebutan KKN di setiap lini organisasi pemerintahan. Fenomena tersebut perlu
diselesaikan dengan segera melalui berbagai pendekatan, sebab jika tidak maka
kerugian negara dalam penyelenggaraan pemerintahan akan semakin meluas dan
memburuk. Salah satu pendekatan pengawasan yang dilakukan adalah pengawasan
dengan pendekatan agama.
PPA merupakan alternatif model pengawasan dini yang pendekatannya lebih
menekankan pada pemberdayaan nilai-nilai agama. Dalam PPA terjalin hubungan
antara manajemen pemerintahan dengan nilai-nilai ketuhanan yang disuarakan dari
dalam hati nurani. PPA dikembangkan untuk mendorong terbentuk nya karakter dan
jati diri aparatur negara melalui pemahaman dan internalisasi nilai -nilai agama, agar
4
mampu menjalankan fungsi kontrol diri (self-control) atau pengawasan diri dalam
rangka membangun pemerintahan dengan budaya kerja yang baik dan bersih.
Dari pengalaman empiris, para praktisi mengemukakan bahwa terjadinya
penyelewengan dan manipulasi disebabkan oleh kepaduan antara tiga unsur utama,
yaitu niat atau i'tikad tidak baik, kesempatan yang memungkinkan dan kemampuan
untuk bertindak buruk, baik pada level individu atau kelompok. Mereka menggunakan
kesempatan dan peluang kelemahan sistem, ketentuan, prosedur dan kelemahan
pelaksanaan pengawasan untuk melaksanakan niat dan ditopang oleh kemampuan
yang memadai dalam melakukan tindak menyimpang. Meskipun terdapat berbagai
faktor kelemahan tersebut, apabila tidak didorong niat buruk yang menjadi faktor
internal aparatur, maka tidak akan timbul kerugian akibat manipulasi tersebut. Semua
faktor-faktor kelemahan tersebut sesungguhnya bersifat pasif, sedang kan yang aktif
adalah individu atau kelompok manusianya.
Inspektorat Jenderal Departemen Agama memandang bahwa salah satu upaya
dan langkah yang harus dilakukan adalah melakukan pembinaan sumber daya
manusia (SDM) melalui program pemberdayaan nilai agama a tau yang disebut
dengan pengawasan melalui pendekatan agama (PPA). Program ini diperlukan dalam
rangka pembentukan selain dapat mencegah timbulnya niat dan perilaku
penyimpangan yang menyebabkan kerugian negara , juga dapat membentuk akhlak
mulia dalam rangka mendayagunakan kemampuannya untuk lebih produktif dan
kreatif dalam mencapai profesionalisme aparatur.
PPA merupakan sarana membangun individu yang memiliki budaya kerja
yang baik. Internalisasi dan aktualisasi nilai agama dalam membentuk akhlak aparatur
yang bersih dari praktik KKN menjadi bagian dari proses penciptaan budaya kerja
yang baik, sebab hal itu sesuai dengan fitrah manusia. Melalui kontrol diri (self-
control) yang menjadi bagian dari pengawasan akan terwujud aparatur pemerintah
yang bersih dan terhindar dari penyimpangan. Substansi pembahasan dalam modul
PPA ini menjelaskan pengertian PPA; visi, misi, tujuan dan sasaran PPA;
perkembangan PPA; PPA sebagai moral force; dan pola pelaksanaan PPA.
B. Pengertian Pengawan dengan Pendekatan Agama
Pengawasan dengan pendekatan agama (PPA) adalah bentuk pengawasan
dini melalui pemberdayaan nilai -nilai agama guna mendorong terwujudnya self
5
control dan jati diri aparatur negara agar selalu merasa diawasi Tuhan, tidak m emiliki
niat berbuat menyimpang dan berkinerja secara maksimal.
Kegiatan pembudayaan pengawasan dilakukan dengan menyampaikan pesan -
pesan moral yang dilandasi nilai -nilai agama, sehingga bermanfaat dalam pengawasan
fungsional, pengawasan melekat dan pengawasan masyarakat dalam rangka mencap ai
keberhasilan dan ketepatan pembangunan nasional. Dari pengertian PPA tersebut
dapat dipahami bahwa:
1. PPA merupakan pengawasan dini yang bersifat preventif, sebagai alternatif model
pengembangan pengawasan fungsional , yang memadukan antara manajemen
pemerintahan dengan nilai spiritual -keagamaan dan dapat diaplikasikan pada
manajemen diri, keluarga, masyarakat dan pemerintahan secara terpadu.
2. Sebagai bentuk pengawasan, dalam PPA diberdayakan nilai-nilai agama yang
berfungsi sebagai petunjuk ( guidance) dalam mengaktualisasikan potensi fitriah
dan kesadaran ketuhanan aparatur, agar tumbuh dan berkembang menjadi perilaku
yang bersih, baik dan benar.
3. PPA memandu self control aparatur dalam menginternalisasi kode etik pegawai
negeri sipil, yang kemudian terefleks i dalam aksi yang patut ( amal shaleh),
sehingga terwujud budaya kerja yang bercirikan pro fesional, inovatif, disiplin,
amanah dan akuntabel.
4. Dalam PPA, pengawasan memancar dari kejerni han hati nurani aparatur dalam
rangka mewujudkan jati diri (identitas diri)-nya yang fitri, suci dan bersih sesuai
dengan nilai-nilai agama, sehingga malu berbuat dosa, adanya perasaan bersalah
ketika melakukan kesalahan ( guilty feeling), menghindari dari segala bentuk
penyimpangan dan senang berusaha dan berkinerja secara lebih maksimal.
5. PPA yang dilaksanakan melalui proses spiritualisasi nilai -nilai budaya kerja akan
memperoleh hasil kerja yang maksimal dengan indikator pelaksanaan tugas
berdasarkan ketentuan peraturan perundang -undangan yang jauh dari tindak
penyimpangan.
6. Pola pelaksanaan yang diterapkan dalam PPA lebih mengedepankan pendekatan
preventif daripada represif melalui sentuhan nilai spiritual -keagamaan dalam
upaya mencegah terjadinya penyimpangan, pemborosan, penya lahgunaan
wewenang, manipulasi, kolusi, korups i, dan nepotisme yang mengkikis sendi-
sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
6
C. Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran Pengawasan dengan Pendekatan Agama
1. Visi Pengawasan dengan Pendekatan Agama
Visi PPA adalah nilai-nilai agama menjadi kekuatan moral dalam rangka
mewujudkan aparatur negara yang bersih dari KKN, bermoral dan berkinerja secara
maksimal melalui Pengawasan dengan Pendekatan Agama. Dalam memahami visi
PPA perlu melihat kata kunci yang terkandung dalam rumusan visi seba gai berikut:
1. Nilai-nilai agama: ukuran, norma, atau ajaran luhur tentang hidup dan kehidupan
yang bersumber dari ajaran agama yang bersifat absolut , abadi dan universal;
2. Kekuatan moral: kekuatan yang bersumber dan berbentuk moral-keagamaan yang
mendorong setiap aparatur untuk melakukan suatu tindakan sesuai dengan hati
nuraninya yang fitri, bersih dan suci , yang karenanya terdorong untuk
melaksanakan perilaku yang baik dan benar serta menghindari perilaku yang
buruk;
3. Bersih dari KKN: terhindar, tidak kotor, tidak melakukan bahkan tidak ter selip
niat sedikit pun dalam hatinya berbuat tindak penyelewengan seperti :
a. Korupsi: perbuatan setiap orang atau badan yang dengan sengaja melawan
hukum untuk memperkaya diri, orang lain, atau suatu korporasi yang dapat
merugikan kelangsungan negara atau perekonomian negara;
b. Kolusi: permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antara sesama
penyelenggara negara, atau dengan pihak lain yang merugikan orang lain,
masyarakat dan/atau negara;
c. Nepotisme: setiap perbuatan penyelenggara negara secara me lawan hukum
yang menguntungkan kepentingan keluarga nya dan/atau kroninya di atas
kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
4. Bermoral: berperilaku sesuai nilai, etika, sopan santun dan akhlak mulia sehingga
setiap tindak tanduknya diterima oleh komunitas diman a ia bekerja
5. Berkinerja yang maksimal, bekerja secara profesional dengan mengerahkan dan
mendayagunakan seluruh kemampuan yang didorong kemauan keras dan
memanfatkan peluang dan amanah yang diterima, sehingga mencapai hasil yang
lebih maksimal.
6. Pengawasan dengan pendekatan agama: upaya pengendalian dan mengontrol diri
untuk berbuat dan bertindak sesuai dengan kaidah, norma dan nilai agama.
Dengan pemahaman terhadap beberapa kata kunci tersebut, dapat ditarik
kesimpulan bahwa dengan penetapan visi PPA diha rapkan aparatur negara dapat
7
menemukan jati dirinya sebagai abdi negara yang tangguh secara personal, sosial,
profesional dan spiritual, memiliki kontrol diri yang kuat, inovatif, disiplin, amanah
dan akuntabel. Demikian juga, dalam kondisi mentalitas dan karakter seperti ini, PPA
diyakini akan mampu menghalau niat dan i`tikad buruk untuk melakukan mani pulasi
dan penyelewengan, sehingga penyelenggaraan tata kelola pemerintahan dapat
dilaksanakan dengan baik.
2. Misi Pengawasan dengan Pendekatan Agama
Langkah untuk mencapai visi PPA dapat dijabarkan dalam misi PPA sebagai
berikut:
1. Menumbuhkembangkan budaya pengawasan diri berdasarkan pemahaman,
penghayatan dan pengamalan nilai -nilai agama.
2. Menyampaikan pesan moral agama kepada aparatur negara dan masyarakat
melalui pelaksanaan pengawasan dengan mengaktualisasikan nilai -nilai ajaran
agama.
3. Menjadikan PPA sebagai landasan pengawasan fungsional, pengawasan melekat
dan pengawasan masyarakat.
4. Melaksanakan pengawasan dengan memotivasi ajakan kepada kebenaran dan
kepatutan dan mencegah segala tindak kemungkaran.
5. Membangun kinerja aparatur negara melalui penanaman nilai -nilai agama
sebagai kekuatan moral.
3. Tujuan Pengawasan dengan Pendekatan Agama
PPA dimaksudkan menjadi sarana kontrol diri (self control) dan menjadi
perilaku yang melekat, membudaya serta menjadi kebutuhan dalam kehidupan
bangsa. Hal itu bertujuan:
1. Terwujudnya kesadaran internal aparatur pemerintah tentang arti pentingnya
pengawasan diri dalam rangka mewujudkan aparatur negara yang bersih, bermoral
dan profesional berbasis spiritual-keagamaan.
2. Terwujudnya aparatur yang memiliki kekuatan moral berlandaskan nilai-nilai
agama untuk menggerakkan dan mengarahkan pikir an, perasaan dan perilakunya
ke arah terbentuknya prinsip kerja profesional.
8
3. Terhapusnya niat berbuat menyimpang, agar terbebas dari perilaku korupsi, kolusi
dan nepotisme serta berusaha merubah sikap dari perbuatan tidak terpuji menjadi
perilaku yang berakhlak mulia;
4. Terwujudnya semangat aparatur negara untuk mensosialisasikan PPA agar dapat
dilaksanakan pada unit kerja/satker di lingkungan instansi pemerintah dan
membangun pola aksi total ( action plan).
4. Sasaran Pengawasan dengan Pendekatan Agama
Program PPA ditujukan pada objek (1) Aparatur di lingkungan Departemen
Agama; (2) Aparatur pemerintah; (3) Aparatur negara; (4) Pemuka agama dan tokoh
masyarakat; dan (5) Pemuda, pelajar dan mahasiswa, baik di instansi pemerintahan
maupun swasta.
Sasaran diselengarakan program PPA sebagai berikut:
1. Membangun budaya pengawasan diri (self control) aparatur negara sebagai upaya
preventif untuk mengajak kebenaran dan mencegah kemungkaran melalui
pendekatan agama dalam rangka menciptakan lingkungan kerja yang kondusif,
disiplin, akuntabel dan profesional;
2. Mengembangkan instansi yang memiliki jati diri dan citra yang baik dalam
memerankan fungsinya pada pengawasan fungsional, pengawasan me lekat dan
pengawasan masyarakat sesuai dengan nilai agama.
3. Meningkatkan koordinasi dengan unit atau instansi pemerintahan lainnya dalam
rangka mengenalkan PPA yang lebih lu as, menjadi model pengawasan aparatur
negara.
Ditinjau dari pendekatan program, s asaran PPA ditujukan pada empat
pendekatan sebagai berikut:
1. Pendekatan Simptomatis; membebaskan aparatur negara dari gejala dan tindak
penyelewengan seperti perilaku korupsi, kolusi, nepotisme, dan segala bentuk
perilaku menyimpang lainnya, sehingga keberadaan dirinya tidak merugikan
instansi di mana ia bekerja;
2. Pendekatan Penyesuaian Diri; menciptakan aparatur negara yang dapat
menyesuaikan diri dengan ketentuan, peraturan, hu kum dan prosedur yang telah
ditetapkan dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai aparat ur negara,
sehingga ia meletakkan kepentingan bangsa dan negara lebih segala -galanya
daripada kepentingan pribadi, keluarga dan golongannya.
9
3. Pendekatan Pengembangan Diri; mengaktualisasikan segenap kemampuan yang
ditopang kemauan yang keras untuk mampu memanfatkan segala kesempatan
yang ada, sehingga tercipta rasa tanggungjawab, perilaku kinerja yang mengarah
pada produktivitas dan kreativitas.
4. Pendekatan Religius; merealisasikan nilai-nilai agama sebagai sumber kekuatan
moral dalam mengawal perilaku aparatur untuk mengemban amanah yang telah
diterima menuju profesionalisme kerja.
D. Perkembangan Pengawasan dengan Pendekatan Agama
Program PPA merupakan kelanjutan dari program sebelumnya, yaitu
Penyebarluasan Pengertian dan Kesadaran Pengawasan Melalui Jalur Agama
(PPKPMJA). Kegiatan PPKPMJA dilaksanakan berdasarkan petunjuk Wakil Presiden
RI tentang Paket Penerangan mengenai Penyebarluasan Pengertian dan Kesadaran
Pengawasan tanggal 7 November 1984. Paket tersebut disusun bersama oleh Menteri
Penerangan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Jaksa Agung, dan
Kepala BP-7 Pusat pada tanggal 17 September 1985, dimaksudkan sebagai rintisan
awal atau sebagai pedoman umum dalam penyebarluasan pengawasan melalui ber -
bagai jalur. Satu di antara jalur yang ditetapkan dalam paket penerangan tersebut
adalah jalur yang pelaksanaannya diserahkan kepada De partemen Agama. Atas dasar
tersebut lahirlah program PPKPMJA.
Kegiatan PPKPMJA sejak awal kelahirannya hingga saat penyempurnaan
menjadi PPA tahun 2003 adalah:
1. Menerbitkan buku Petunjuk Pelaksanaan PPKPMJA yang di distribusikan antara
lain kepada satuan kerja Departemen Agama tingkat pusat hingga tingkat
kabupaten dan kota seluruh Indonesia, majelis -majelis agama tingkat pusat dan
sejumlah departemen serta lembaga pemerintah non -departemen. Buku tersebut
selanjutnya menjadi referensi utama dalam setiap acara diskusi PPKPMJA.
Untuk mendukung materi, di dalamnya dilengkapi dalil-dalil dari berbagai
agama. Buku tersebut diberi kata pengantar oleh setiap majlelis agama tingkat
pusat, yaitu MUI, PGI, KWI, PHDI, dan Walubi.
2. Menyelenggarakan penyuluhan dan diskusi PPKPMJA yang menjangkau
hampir semua provinsi di Indonesia denga n penanggung jawab pelaksana
Kanwil Departemen Agama Provinsi setempat. Bahkan untuk sejumlah Kanwil
yang melakukan penyuluhan lebih dari satu kali. Penyuluhan dilanjutkan ke
10
tingkat kabupaten dan kota dengan penanggung jawab pelaksana Kepala
Kandepag kabupaten/kota setempat. Sebagian besar dibiayai oleh Inspektorat
Jenderal Departemen Agama dan sebagian lainnya dibiayai oleh penyelenggara
setempat.
3. Menyelenggarakan Pelatihan Tenaga Penyuluh PPKPMJA beker jasama dengan
Pusdiklat Pegawai Departemen Agama. Pelatihan ini berjalan selama tiga tahun
dengan peserta sebanyak 30 orang per tahun yang diikuti oleh para pejabat
Departemen Agama dan sejumlah pejabat departemen lain serta utusan dari
majelis agama. Beberapa orang penyuluh alumni dari diklat ini dilib atkan untuk
menyampaikan penyuluhan pada diskusi PPKPMJA. Hasil pengamatan di
lapangan memperlihatkan bahwa penyuluhan dan diskusi PPKPMJA umumnya
mendapat tanggapan positif dari para peserta. PPKPMJA dipandang seba gai
kegiatan baru yang menarik apabila pelaksanaannya dirancang dan
disempurnakan.
Atas dasar masukan selama penyuluhan PPKPMJA, dilakukan
penyempurnaan melalui beberapa kali pembahasan dan diputuskan
penyempurnaannya dengan nama PPA. Proses penyempurnaan dari PPKPMJA
menjadi PPA terlihat dalam alur kegiatan sebagai berikut:
1. Paket materi dikembangkan dari petunjuk pelaksanaan menjadi modul kegiatan
pembelajaran. Pada tahap pertama jumlah modul sebanyak 5 materi.
2. Sosialisasi materi diintensifkan melalui diskusi kelompok dan diskusi pleno
dengan bantuan fasilitator.
3. Sistem pelaksanaan makin disempurnakan dengan langkah -langkah kegiatan di
daerah yang meliputi:
a. Sosialisasi PPA dilakukan secara mandiri ataupun atas ban tuan biaya dari
pusat.
b. Penyusunan rencana aksi sosialisasi PPA dapat dilakukan secara terintegrasi
dengan kegiatan lain.
c. Pelaporan sosialisasi PPA dapat disampaikan oleh penye lenggara kepada
atasan masing-masing dengan tembusan Inspektur Jenderal.
d. Pelaksana rencana aksi oleh masing-masing penanggung jawab.
e. Pemantauan dan evaluasi PPA yang diatur melalui pedoman tersendiri.
4. Penyelenggaraan PPA dapat dilakukan dengan berkoordinasi dan bekerja sama
dengan pemerintah daerah setempat.
11
5. Pada tahun 2007, program PPA disinergiskan dengan program rencana aksi
nasional pemberantasan korupsi ( RAN-PK) yang didasarkan pada Inpres Nomor
5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, menjadi program
Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) melalui Pendekatan
Agama.
6. Pada tahun 2008, dilakukan penyempurnaan dari segi materi karen a
menyesuaikan dengan adanya pengembangan metodologi, visualisasi materi,
dan sarana pendukungnya, khususnya terkait dengan pembangunan jati diri
aparatur Departemen Agama RI. Tema PPA pada tahun ini adalah "Membangun
Jati Diri Aparatur Negara melalui Inte rnalisasi Nilai-nilai Agama."
7. Pada tahun 2009, dilakukan penyempurnaan modul dari segi materi, revisi
visualisasi materi, dan sarana pendukungnya. Penyempurnaan ini menginduk
pada (1) buku PPA (induk) Tahun 2005; (2) buku RAN-PK dengan Pendekatan
Agama Tahun 2006; (3) buku PPA Tahun 2008 (Membangun Jati Diri Aparatur
Negara melalui Internalisasi Nilai -nilai Agama), (4) buku Pengembangan
Budaya Kerja Departemen Agama Tahun 2009 , dan (5) buku Pedoman
Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara Tahun 2002. Program ini
merupakan tindak lanjut dari Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara No. 25/KEP/M.PAN/4/2002.
Mencermati perkembangan PPA di atas, dapat dipahami bahwa PPA pada
awalnya merupakan satu program yang khas dan berdiri sendiri yang memuat
tentang model pendekatan dalam pengawasan melalui agama, tanpa dikaitkan dengan
program lain. Namun seiring dengan kebijakan pemerintah, keberadaan PPA
berkembang menjadi satu pendekatan yang berfungsi menginternalisasi kan dan
mensosialisaskan program lain, tahun 2006/2007 berkaitan dengan program RAN-PK,
tahun 2008 berkaitan dengan pembangunan jati diri bangsa, sedang tahun 2009
berkaitan dengan Budaya Kerja. Perkembangan ini tentunya lebih menunjukkan
eksistensi dan kebermanfaatan PPA dalam upaya mewujudkan good governance di
lingkungan Departemen Agama RI.
E. PPA sebagai Kekutan Moral (Moral Force)
Sebagai pendekatan yang berbasis agama, PPA memiliki kekuatan moral
(moral force). Maksudnya, pengawasan yang dilakukan dengan pendekatan agama
memiliki kekuatan secara moral yang menjadi daya dorong hati nurani aparatur untuk
12
menegakkan kebenaran, keadilan serta mengontrol diri (self control), agar terbebas
dari upaya melakukan tindak penyimpangan. Definisi ini mengandung tiga unsur
utama, yaitu:
1. Nilai inti PPA adalah pengawasan bertumpuh pada kekuatan moral agama.
Sebagai kekuatan, PPA dapat me landasi seluruh perilaku kerja aparatur dengan
berpijak pada prinsip moral agama . Perilaku apapaun yang dilakukan aparatur
harus dipertimbangkan terlebih dahulu apakah memili ki dampak moral atau
tidak, sehingga kebutuhan akan moral-agama bukan hanya ketika di tempat
ibadah melainkan di seluruh tempat dimana aparatur berpijak, termasuk dalam
institusi kerja.
2. PPA sebagai kekuatan moral dapat menjadi daya dorong ketika eksekutornya
adalah hati nurani aparatur, sebab sifat dasar hati nurani selalu cenderung pada
kebenaran dan menghindari segala penyimpangan. Tindakan benar dapat
menenangkan hati, sedang tindakan salah dapat menggelisahkannya.
3. Tujuan PPA sebagai kekuatan moral ad alah (1) menegakkan kebenaran dan
keadilan, sehingga dapat menarik kemashlahatan dan kebaikan bersama; (2)
mengontrol diri agar terbebas dari upaya melakukan tindak penyimpangan,
sehingga dapat menghindari kemadharatan dan keburukan.
PPA sebagai moral force menjadi sebuah identitas bagi aparatur Departemen
Agama dalam proses pengawasan. Keberadaannya harus kembali pada khitah-nya,
yaitu sebagai moral force yang senantiasa muncul dalam berbagai momentum (1)
pendekatan positif, dengan unjuk kerja yang dapat meningkatkan citra institusi yang
bersih, berwibawa dan profesional; dan (2) pendekatan negatif, dengan
menghilangkan atau paling tidak mengurangi niat untuk melakukan penyimpangan
(anomaly) institusional. Pada konteks ini, aparatur Departemen Agama yang me miliki
lebel moral-keagamaan seharusnya ber peran sebagai nara sumber moral force di
masyarakat, bahkan menjadi suri tauladan bagi aparatur instansi yang lain.
PPA dianggap sebagai moral force yang tinggi, karena di dalamnya memuat
nilai-nilai dasar yang mengatur pengawasan aparatur lebih baik. Kekuatan moral yang
diturunkan dari agama relevan dengan kebutuhan pembangunan yang menekankan
faktor manusia dan nilai -nilai agama sebagai faktor pendorong terjacapainya
spiritualisasi pembangunan. Nilai moral -agama terefleksi dalam tata kelola
pemerintahan yang baik, yang sejalan dengan prinsip intinya, yaitu menarik
kemashlahatan dan menolak kemadharatan serta menyerukan kebaikan dan
13
menghentikan kemungkaran. Hal itu mengandung arti bahwa bekerja tanpa nilai -nilai
agama akan berdampak pada keidakbermaknaan (meaningless) secara spiritual,
sehingga bekerja hanya semata-mata untuk motif-motif kenikmatan sementara tanpa
memperhitungkan kebaikan mendatang dan lebih luas.
Kekuatan moral PPA dalam membangun tata kelola institusi yang baik dapat
dikaji dari al-Quran surat Ali Imran ayat 110 Kamu adalah ummat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yang
mungkar dan beriman kepada Allah. Ayat ini sejalan dengan visi dan misi PPA
sebagai moral force, yaitu bahwa kualitas aparatur sangat ditentukan oleh; (1)
tindakan proaktif, dengan menyerukan perilaku yang patut, baik menurut norma
tradisi, budaya maupun agama; (2) tindakan reaktif, dengan mencegah dan melarang
perilaku yang munkar, merugikan dan membahayakan yang lain; dan (3) tindakan
spiritual sebagai refleksi rasa keimanan dan kepercayaan pada Dzat Yang Kuasa
dalam menjalankan semua kewajiban dan tugas.
Pelaksanaan PPA sebagai moral force tentu saja tidak menjadi kewajiban
aparatur Departemen Agama semata, melainkan melibatkan seluruh lapisan
masyarakat dari berbagai lembaga di Indonesia. Aparatur yang baik tidak akan berarti
jika masyarakat masih menginginkan berbuat menyimpang. Sinergi semua pihak
untuk mengaktualisasikan nilai-nilai keagamaan sebagai moral force dalam upaya
pemberantasan KKN akan mempercepat keinginan untuk penciptaan aparatur yang
bersih dan berwibawa.
Dapat dipahami bahwa moral force dapat diturunkan dari semua norma
budaya sekuler, karena untuk menjadikan aparatur yang bermoral dapat berpijak pada
berbagai sumber. Namun kekuatan budaya hanya bersifat temporer dan nisbi. Hal itu
tentunya berbeda dengan PPA yang mempunyai kekuatan moral sangat kuat. Selain
asasnya kepercayaan dan keimanan kepada Tuhan , PPA dapat menyentuh kejiwaan
aparatur yang paling dalam. Ia sadar bahwa dirinya adalah hamba Tuhan dan
menikmati berbagai nikmat yang diberikan oleh -Nya, yang karenanya mendorong
untuk selalu berbuat baik sebagai rasa syukur kepada-Nya. Semua perlakuan dan
tindakan aparatur tidak terlepas daripada pengawasan Tuhan dan selanjutnya juga
tidak akan terlepas dari balasan surga dan neraka. Dalam konteks inilah PPA yang
berbasis pada nilai agama yang mutlak dan universal akan lebih langgeng. Asas nilai
agama yang bersumber dari wahyu begitu kuat dan tidak akan berubah dan jauh sifat -
sifat relatif dan subjektif.
14
Dengan meminjam dimensi religiusitas Glock dan Stark, PPA akan menjadi
moral force apabila aparatur memil iki dan melaksanakan lima hal, yaitu:
1. Keyakinan (ideological involvement), mencakup pandangan teologis dan
mengakui kebenaran akan doktrin agama sebagai salah satu pedoman dalam
bekerja. Tuhan adalah Maha Pengawas yang selalu menilai kinerja aparatur;
2. Pengetahuan agama (intellectual involvement ) tentang bagaimana agama
memandang kerja, jenis-jenis pekerjaan yang seharusnya dikerjakan (halal) dan
yang ditinggalkan (haram), dan termasuk hukum, aturan, dan tata cara dalam
bekerja;
3. Praktek keagamaan (ritual involvement) melalui palaksanaan kerja dengan niatan
beribadah. Karena kerja bagian dari ibadah, maka kerja harus dilakukan sebaik
mungkin;
4. Pengamalan (consequential involvement ) berupa konsekuensi akibat keyakinan,
praktek ritual, pengalaman dan pengetahuannya yang berkaitan dengan perilaku
kerja.
5. Pengalaman (experiential involvement ), mencakup pengalaman, perasaan,
persepsi dan sensasi yang berkaitan dengan perilaku kerja sebagai bentuk dari
ibadah. Dengan pengalaman ini tentunya orang yang beragama secara benar akan
lebih baik kinerjanya dibanding dengan orang yang tidak beragama;
F. Pola Pelaksanaan PPA
Pola pelaksanaan program PPA menggunakan beberapa pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan rasional-kognitif, yaitu upaya menanamkan nilai -nilai agama yang
berkaitan dengan pengertian dan hakikat pengawasan dengan mengguna kan
pemikiran logis dan argumentatif yang dapat diterima akal sehat , sehingga
upaya memberikan pemahaman nilai -nilai agama menjadi lebih diterima.
2. Pendekatan emosional-afektif, yaitu upaya penanaman nilai -nilai agama yang
berkaitan dengan pengawasan dan me nyentuh hati nurani umat beragama.
Pendekatan ini dikembangkan agar perilaku masyarakat selalu dalam
keseimbangan antara pertimbangan akal sehat dengan penghayatan hati nurani
yang mendalam sesuai dengan fitrah manusia;
3. Pendekatan pembiasaan-psikomotorik, yaitu upaya penanaman nilai-nilai agama
dalam pengawasan melalui pengamalan dan penanaman akhlak mulia dan tata
nilai positif yang berkembang di masya rakat;
15
4. Pendekatan keteladanan, yaitu penanaman nilai -nilai agama dalam pengawasan
melalui contoh atau teladan yang baik dari aparatur negara dan para tokoh
terhadap masyarakat pada umumnya.
5. Pendekatan pembalasan/keseimbangan, yaitu setiap perbuatan sekecil apapun
akan dibalas yang setimpal/seimbang dengan perbuatannya.
Adapun metode yang digunakan dalam pelaksanaan program PPA, yaitu:
1. Persuasif, yaitu dengan cara menarik simpati orang lain dalam bentuk ajakan dan
tutur kata yang santun. Semua proses dia rahkan untuk menumbuhkan kesadaran
seseorang untuk melakukan perbuatan baik dan bermanfaat bagi masyar akat
sesuai dengan ajaran agama;
2. Edukatif, yaitu dengan cara mendidik atau usaha secara sadar dan sengaja untuk
membina, mengarahkan, dan membentuk perkembangan kepribadian seseorang
dalam rangka memberi kan pengertian dan pemahaman arti penting PPA dalam
kehidupan manusia;
3. Komunikatif, yaitu menyampaikan pesan atau informasi kepada pihak lain
dengan memperhatikan syarat -syarat keberhasilan suatu komunikasi, seperti
visualisasi dan penggunaan bahasa yang jelas da lam penyampaian PPA;
4. Akomodatif, yaitu cara menempatkan permasalahan sesuai dengan porsinya
mempertimbangkan aspek substansi per masalahan dan memperhatikan
kepentingan yang lebih besar dalam transformasi PPA.
5. Dialogis, yaitu menyampaikan pesan moral atau informasi dengan saling tukar
menukar ide dan pengalaman.
Daftar Pustaka
Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia, Pedoman
Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara , 2002
Inspektorat Jenderal Departemen Agama RI, Pengawasan dengan Pendekatan
Agama, 2005
Inspektorat Jenderal Departemen Agama RI, Rencana Aksi Nasional Pemberantasan
Korupsi dengan Pendekatan Agama, 2006
Inspektorat Jenderal Departemen Agama RI, PPA (Membangun Jati Diri Aparatur
Negara melalui Internalisasi Nilai -nilai Agama), 2008
Inspektorat Jenderal Departemen Agama RI, Pengembangan Budaya Kerja
16
Departemen Agama, 2009
17
LAMPIRAN EVALUASI KEGIATAN
A. Bahan Diskusi dan Tinjauan
1. Pengawasan diri yang bersumber dari nilai -nilai agama dalam kehidupan sehari -
hari sangat penting dan tidak kalah pentingnya dengan pengawasan dengan
pendekatan hukum, psikologis dan sosial -budaya. Jika dikaitkan dengan
pekerjaan, seberapa pentingkah pengawasan dengan pendekatan agama yang anda
pahami selama ini?
2. Dalam pengertian pengawasan dengan pendekatan Agama terdapat unsur -unsur
pokok. Jelaskan melalui diskusi dengan teman-teman anda unsur-unsur pengertian
PPA dengan disertakan ilustrasi yang berkaitan dengan pekerjaan?
3. Kemukakan kata kunci yang terkandung di dalam visi dan misi PPA, lalu jelaskan
dengan disertakan contoh-contohnya dalam konteks pekerjaan pengawasan!
4. Berdasarkan visi dan misi PPA, anda dapat mengetahui pointer -pointer tujuan dan
sasarannya. Diskusikan dengan teman-teman anda bagaimana tujuan dan sasaran
itu dapat terimplementasi dengan maksimal dalam konteks pekerjaan pengawa san!
5. Dalam perkembangan pengawasan dengan pendekatan Agama terdapat dua posisi:
(1) PPA sebagai program yang mandiri, dan (2) PPA sebagai pendekatan dalam
mensukseskan program lain, seperti Rencana Aksi Nasional Pemberantasan
Korupsi (RAN-PK) dan Budaya Kerja Departemen Agama RI. Diskusikan dengan
teman-teman anda, apa maksud dari perkembangan tersebut dan kemukakan
kelebihan dan kekurangan pendekatan model kedua!
6. Kenapa pengawasan dengan pendekatan Agama menjadi moral force?
Kemukakan kerugian yang diakiba tkan karena pelanggaran terhadap moral force
dalam kegiatan pengawasan! Syarat-syarat apa saja yang terkait dengan
pelaksanaan PPA sebagai moral force?
7. Jelaskan pola pelaksanaan program PPA dilakukan dengan beberapa pendekatan
dan metode. Pendekatan dan me tode apa yang anda pilih sebagai pendekatan dan
metode yang jitu dalam proses PPA? Sebutkan keuntungan dan kerugiannya?
18
B. Asesmen Diri (Self Assesment)
"MELIHAT KEHIDUPAN SPIRITUALITAS ANDA DALAM BEKERJA"
Berikut ini diberikan per nyataan-pernyataan tentang kehidupan spiritual yang anda
alami dalam bekerja. Anda dapat memberikan jawaban dengan memberikan tanda
silang (X) di kolom yang tersedia. Tentunya jawaban sesuai dengan kehidupan yang
anda rasakan. Tidak ada jawaban yang salah, karena jawaban yang paling tepat adalah
jawaban yang paling sesuai dengan diri anda. Selamat mengerjakan.
PERNYATAAN-PERNYATAAN Alternatif Jawaban
Sl Sr Kk Jr Tp
Menyisihkan waktu beberapa menit untuk menyendiri dan
menenangkan hati dengan tidak memikirkan problem-problem
pekerjaan yang anda hadapi dan memfokuskan pikiran dan
perasaan kepada Tuhan
Anda seolah-olah berdialog dan bertanya kepada Tuhan tentang
bagaimana sebaiknya cara bekerja di kantor atau luar kantor
dengan menutup pikiran dan perasaan sendiri yang selama ini
telah terkontaminasi oleh lingkungan yang korup
Berdoa dan berpikir positif bahwa apa yang akan anda lakukan
berjalan sukses
Menerima kejadian dan peristiwa yang dialami merupakan
konsekuensi pekerjaan setelah berikhtiar dan bertawakkal kepada
Tuhan
Mendoakan baik kepada orang yang menzaliminya, agar ia tidak
tidak semakin parah perilaku zalimnya
Percaya sepenuh hati bahwa Tuhan mengawasi dan membantu
perilakunya, agar pekerjaannya menjadi berkah
Merasa berdosa atas penyelewengan dan penyimpangan yang
dilakukan dengan penyesalan dan berusaha
mengkompensasikannya dengan prestasi yang bermanfaat
Memohon kepada Tuhan untuk mendapatkan kekuatan yang
terbaik dalam melakukan proses pengawasan
Berkeyakinan bahwa melakukan pengawasan yang benar akan
dilindungi oleh Tuhan dari segala rintangan dan tantangan
19
Berdoa dengan membaca basmalah (Atas nama Tuhan dalam
bekerja) ketika memulai pekerjaan pengawasan dan
mengakhirinya dengan hamdalah (mengembalikan puji an atas
prestasi kepada-Nya)
Keterangan:
Sl (selalu) = 5; Sr (sering) = 4; Kk (kadang -kadang) = 3; Jr (jarang) = 2; dan Tp (tidak perna) =1
Cara Skoring:
Anda dapat mengitung seberapa tinggi tingkat kehidupan spiritualitas dalam bekerja
dengan menskoringnya. Skor 50 35 menunjukkan diri anda tinggi (beruntung); skor
16 34 menunjukkan diri anda sedang (rugi); dan skor 0 15 menunjukkan diri anda
rendah (zalim). Skor anda yang tinggi dapat dikonfirmasikan dengan penafsiran
kriteria di bawah ini. Tentunya semakin rendah skornya semakin jauh dari norma -
norma kehidupan spiritualitas dalam bekerja.
Setelah skor anda peroleh, pahami dan tempatkan dimana posisi anda saat ini.
Simpanlah hasilnya, untuk tiga bulan kemudian melakukan asesmen ulang, agar da pat
diketahui perubahan dan perkembangannya.
Penafsiran:
Anda bijak dalam bertindak dan memperoleh keberuntungan yang maksimal dalam
mengarungi perilaku spiritualitas kehidupan. Anda dengan inisiatif, inspirasi dan
perilaku seperti itu membuat anda kebahagiaan dan berguna dalam kehidupan ini.
Anda telah bekerja dalam pengawasan melalui doa dan ibadah, agar upaya anda
tercapai dengan selamat tanpa gangguan dan rintangan . Anda termasuk jenis orang
yang berhati nurani, bersih dan membuat tempat dan orang di sekeliling anda
memuaskan. Radiasi cinta spiritual membuat perubahan yang menakjubkan dalam diri
anda dan memberi berkah pada orang-orang di sekeliling anda. Anda sangat dekat
dengan berkonsultasi dan memohon kepada Tuhan, sehingga segala bentuk kesulitan,
tragedi, penyakit, dan kegagalan yang ada dapat tereliminasi dengan cepat dan tepat.
Anda punya wawasan dan kekuatan ketuhanan (ilahiah). Orang-orang seperti anda
telah mempraktekkan keimanan dalam bentuk kerja nyata, sembari berusaha
meningkatkan kinerja yang maksimal.
20
LAMPIRAN DALIL ISLAM
AYAT-AYAT AL-QURAN DAN HADIS NABI
PENGAWASAN DENGAN PENDEKATAN AGAMA
A. Tindakan manusia diawasi oleh Allah SWT
Seluruh perilaku manusia selalu diawasi oleh Allah SWT , Dzat Maha Pengawas.
Dia dekat dengan manusia melebi hi dekatnya urat nadi
Sesungguhnya Tuhanmu benar -benar mengawasi. (QS. al -Fajr:14)
Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat l ehernya. (QS. Qaf:16)
Allah mengetahui apa saja yang diperbuat oleh manusia, baik lahir maupun batin
Dan Dialah Allah (Yang disembah), baik di langit maupun di bumi; Dia
mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan
mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan. (QS. Al -Anam:3)
B. Tindakan manusia dicatat oleh malaikat Raqib dan Atid
Malaikat Raqib dan Atid selalu melakukan pengawasan pad a manusia, dengan
mencatat perilaku baik dan buruknya
-
(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di
sebelah kanan dan yang lain duduk di sebel ah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang
diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.
(QS. Qaf:17-18)
C. Manusia perlu pengawasan ekternal, karena dirinya memiliki beberapa
kelemahan, seperti:
Sifat lemah
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat
lemah. (QS. Al-Nisa:28)
Memiliki kecendedungan berbuat buruk dan menyimpang
Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu
itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh
Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun l agi Maha Penyayang. (QS.
Yusuf:53)
Tergesah-gesah
Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa -gesa. Kelak akan aku perlihatkan
kepadamu tanda-tanda (azab) -Ku. Maka janganlah kamu minta kepada-Ku
mendatangkannya dengan segera. (QS. Al -Anbiya:37)
Keluh kesah
21
Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. (QS. Al -Maarij:20)
Berbuat salah
D. Hakekat pengawasan
Anjuran memberi peringatan bagi sesama manus ia, agar hidupnya lebih baik
Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu
bermanfa`at bagi orang-orang yang beriman. (QS. Al -Dzariyat:55)
Pengawasan memiliki arti memerintah yang b aik dan mencegah yang munkar
terhadap sesama umat manusia
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma`ruf, mencegah dari yang mungk ar, mendirikan
sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka ta`at kepada Allah dan Rasul -Nya.
Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana. (QS. Al -Taubah:71)
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran. (QS. Al-Nahl:90)
Pengawasan sesungguhnya mengajak ke jalan Allah SWT yang benar
Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang -orang yang mengikutiku
mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan
aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (QS. Yusuf:108)
E. Cara melakukan pengawasan melalui peringatan
Cara mengkomunikasikan hasil pengawasan adalah dengan penuh bijaksana bila
yang dihadapi orang yang terpelajar atau memiliki jabatan tinggi, nasehat yang
baik bila dengan orang biasa, dan berdebat b ila dia mengingkari perbuatannya
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pe lajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah
yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan -Nya dan Dialah yang
lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al -Nahl:125)
Jika terjadi penyimpangan setelah melakukan pengawasan maka harus diberi
peringatan dengan kekuasaan, jika tidak mampu dengan teguran, jika masih tidak
mampu dengan membencinya dalam hati
22
Barangsiapa yang melihat kemungkaran maka cegahlah dengan kekuasaan. Jika
tidak mampu maka dengan t eguran lisan. Jika tidak mampu maka membenci
dengan hati, karena demikian itu selemah -lemah iman. (HR. Muslim dari Abu
Said)
Pengawasan dilakukan dengan penuh cinta kasih bila ditujukan pada orang yang
bekerja sesuai dengan aturan, tetapi perlu tindakan tegas bila berhadapan dengan
pembangkang
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang -orang yang bersama dengan dia
adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka .
(QS. Al-Fath:29)
Orang yang bekerja dengan baik perlu mendapat hadiah, sedang yang
menyimpang perlu mendapat hukuman
Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula). (QS. Al-Rahman:60)
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa
mema`afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.
Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. (QS. Al-Syura:80)
F. Bentuk-bentuk Pengawasan
Mencegah perilaku yang menyimpang, seperti menggunakan fasilitas dan sarana
yang bukan haknya, agar tidak merugikan pihak lain
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu;
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. Al -Nisa:29)
Mencegah perilaku menyuap
Allah mengutuk orang yang menyuap dan orang yang disuap. (HR. Ibnu Majah
dari Abdullah ibn Amer)
Mencegah orang berbuat dosa, agar tidak terjadi rasa bersalah ( guilty feeling)
Dosa adalah apa yang dapat membimbangkan hatimu dan engkau merasa benci
apabila perbuatan itu diketahui oleh orang lain. (HR. Muslim dan Ahmad dari al-
Nawas ibn Siman al-Anshari).
Membudayakan rasa malu kalau berbuat menyimpang dari aturan
Setiap agama memiliki pekerti, dan pekerti Islam adalah rasa malu. (HR. Malik
dari Thalhah ibn Rukanah)
23
Rasa malu (berbuat menyimpang) tidak mendatangkan apa -apa kecuali kebaikan.
(HR. Imran ibn Hushain)
Pengawasan mengajak manusia untuk mematuhi aturan, sekalipun aturan itu tidak
disukai
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu
benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan
boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal i a amat buruk bagimu; Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al -Baqarah:216)
G. Pelaku Pengawasan
Setiap individu wajib melakukan pengawasan melekat atau internal, karena semua
perilakunya akan dimintai pertanggungjawaban
Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung
jawaban)? (QS. Al-Qiyamah:36)
Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
baik (bermanfa`at) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu
pasti diminta pertanggungan jawabnya. (QS. Al-Isra:34)
Adanya kewajiban bagi seluruh manusia, tanpa memandang kedudukan dan
statusnya, untuk melakukan pengawasan fungsi onal, dengan cara mengingatkan
saudaranya yang lain agar berbuat sesuai dengan aturan dan menghindari tindak
penyimpangan
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imran:104)
24
SILLABUS MODUL II
MANUSIA DAN APARATUR DEPARTEMEN AGAMA RI
TUJUAN PEMBELAJARAN:
Setelah menyelesaikan sesi ini, diharapkan peserta dapat memahami eksistensi diri
manusia sebagai aparatur negara.
TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS :
Diakhir sesi ini peserta dapat:
5. Menjelaskan fitrah manusia sebagai aparatur
6. Menguraikan kompetensi manusia sebagai aparatur
7. Mendiskusikan fungsi hidup manusia sebagai aparatur
8. Mengidentifikasi Kewajiban dan Larangan Pegawai Negeri Sipil
9. Mengidentifikasi Kode Etik dan Sanksi
MATERI
7. Latar belakang pembahasan aparatur negara
8. Manusia sebagai aparatur negara:
a. Fitrah manusia
b. Kompetensi aparatur negara
c. Fungsi Hidup aparatur negara
9. Kewajiban dan Larangan Pegawai Negeri Sipil
10. Kode etik dan sanksi Pegawai Negeri Sipil
METODA
4. Presentasi dengan menggunakan power point
5. Curah Pendapat dan Tanya Jawab
6. Game and simulation (indoor)
MEDIA
4. LCD
5. Laptop
6. Peralatan game dan simulasi
25
RENCANA PEMBELAJARAN
WAKTU : Sesi ini memerlukan waktu 240 Menit
SESI I
BAGIAN A
Topik
Metoda
Waktu
:
:
:
Konsep dasar tentang Latar Belakang Pembahasan manusia sebagai
aparatur; Fitrah, kompetensi dan fungsi kehidupan manusia;
Manusia sebagai aparatur Negara
Ceramah dengan presentasi power point
60 Menit
BAGIAN B
Topik
Metoda
Waktu
:
:
:
Problem dan solusi dalam pemahaman tentang manusia sebagai
aparatur Negara di lingkungan Departemen Agama
Curah pendapat dan tanya jawab
60 Menit
BAGIAN C
Topik
Metoda
Waktu
:
:
:
Pemantapan hasil ceramah dan diskusi tentang manusia sebagai
aparatur negara di lingkungan Departemen Agama
Focused discussion group (FGD) dalam kerja kelompok
60 Menit
BAGIAN D
Topik
Metoda
Waktu
:
:
:
Penerapan (dalam artifisial) manusia sebagai ap aratur negara di
lingkungan Departemen Agama
Game dan simulation (indoor)
60 Menit
SIMULASI
Pada kegiatan ini peserta akan dibagi menjadi 3 kelompok. Masing -masing kelompok
akan diberi tugas untuk mengidentifikasi kompetensi aparatur Negara, baik
kompetensi personal, profesi, maupun sosial.
Hasil diskusi dari masing-masing kelompok peserta ditulis di papan tulis dan
kelompok lain kemudian dimintai tanggapannya.
26
EVALUASI KERJA
Evaluasi dilaksanakan secara partisipatif dengan dipandu oleh fasil itator melalui
pembahasan bahan diskusi dan tinjauan serta asesmen diri ( self assesment).
27
MODUL II
MANUSIA SEBAGAI APARATUR DEPARTEMEN AGAMA
A. Pendahuluan
Pembahasan hakikat manusia sebagai aparatur negara menjadi tema sentral
dalam pencapaian good governance. Melalui pemahaman potensi, karakteristik dan
kompetensinya secara tepat dan benar maka akan berimplikasi pada upaya -upaya
pemberdayaan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kinerjanya. Manusia sebagai
aparatur negara merupakan modal sekaligus aset yang berhubungan dengan
intelektualitas, kapabilitas, kredibilitas dan profesionalitas yang diperoleh melalui
pengembangan bakat, pendidikan, pelatihan, pengalaman dan pembiasaan dalam
bekerja.
Teori pembangunan konvensional meyakini bahwa kekuatan suatu satuan
organisasi/kerja terkonsentrasi pada modal fisik ( physical capital) yang diinvestasikan
dalam suatu proses produksi seperti alat -alat produksi dan infrastruktur. Namun
bersamaan dengan kesadaran akan arti penting posisi manusia yang memiliki
kekuatan sumber daya (human resource based), maka terjadi pergeseran paradigma
pembangunan. Modal manusia ( human capital) menjadi faktor kunci dalam kemajuan
suatu institusi atau satuan organisasi/kerja, tak seperti sebelumnya yang menjadikan
alat-alat produksi dan infrastruktur sebagai faktor terpenting. Pemahaman hakikat
manusia sebagai aparatur negara karenanya menjadi suatu hal yang tak terelakkan.
Pelibatan manusia sebagai suatu modal ( capital) pembangunan tidak berarti
memposisikannya sebagai objek. Sebab jika ini t erjadi maka akan menjadi bagian dari
proses penghilangan kemanusiaannya ( dehumanisasi) sebagai makhluk yang
bermartabat tinggi dan mulia. Namun dalam konteks ini, lebih memposisikan manusia
sebagai subjek pembangunan yang mampu menerima, mengelola dan
mengembangkan amanah kerja dengan baik sehingga pemberdayaan dan pemanfaatan
manusia dalam pembangunan tidak membawa ekses psikologis negatif, seperti kerja
dalam suasana stres, penuh tekanan, gampang mengeluh, diliputi ketidakpuasan,
kehampaan dan merasa teralienasi dari lingkungan kerjanya.
Pemanfaatan potensi dan kompetensi manusia dalam kerja dan
menempatkannya sesuai bidang merupakan upaya menghargai posisi manusia sebagai
makhluk yang mulia, yang mampu memikul amanah kekhalifahan untuk menebar
kemakmuran dan kesejahteraan di muka bumi. Tentu saja sikap -sikap seperti malas,
tidak bersemangat dan ogah-ogahan dalam bekerja merupakan virus -virus yang perlu
dibasmi karena dapat mendistorsi harkat dan martabat kemanusiaannya. Deskripsi
tersebut menunjukkan betapa penting memahami hakikat manusia sebagai upaya
pemberdayaan posisinya sebagai aparatur negara.
B. TUJUAN, SASARAN, FUNGSI DAN MANFAAT PEMBAHASAN
MANUSIA SEBAGAI APARATUR
1. Tujuan
Tujuan pembahasan hakikat manusia sebagai aparatur Departemen Agama dapat
diformulasikan sebagai berikut: Pemahaman yang komprehensif tentang potensi dan
kompetensi manusia sebagai aparatur, yang karenanya dapat diberdayakan melalui
pemberian tugas dan tanggung jawab sesuai tingkat intelektualitas, kapabilitas dan
kredibilitasnya, agar mampu bekerja secara profesional dengan suasana batin yang
menyenangkan dan memuaskan tanpa diikuti gangguan psikologis yang berarti.
28
2. Sasaran
Berdasarkan tujuan di atas, sasaran pembahasan hakikat manusia sebagai
aparatur Departemen Agama dapat dirinci menjadi enam indikator utama:
1. Mengenali potensi dan kompetensi manusia sebagai aparatur secara komprehensif
meliputi aspek cipta, rasa, karsa dan spiritual -religus, agar ia sadar akan kelebihan
dan keterbatasannya dalam konteks melaksanakan amanah kerja .
2. Mengoptimalkan aktualisasi potensi dan kompetensi manusia sebagai aparatur
agar terjadi peningkatan produktivitas dan kreativitas dalam menjalankan amanah
kerja.
3. Mendayagunakan sumber daya aparatur sebagai leading sector atau sektor utama
dalam pembangunan bangsa dalam konteks pemenuhan amanah kerja.
4. Meningkatkan perilaku yang benar, baik, cerdas, dinamis dan inovatif sebagai
bentuk realisasi dari rasa syukur kepada Tuhan dalam menerima amanah kerja.
3. Fungsi
Pemahaman hakikat manusia sebagai aparatur berf ungsi sebagai buku
manual yang karenanya dapat diketahui segala potensi dan kompetensi yang dimiliki
aparatur, sehingga seluruh sumber daya yang dimiliki dapat dimanfaatkan secara
optimal untuk menciptakan kinerja yang baik. Dengan begitu maka pemahaman
hakikat manusia sebagai aparatur memiliki berbagai fungsi:
1. Fungsi pemahaman (understanding): memahami apa potensi dan kompetensi yang
dimiliki aparatur serta bagaimana cara memberdayakannya.
2. Fungsi pengendalian (control): memberi arah untuk mendayagunakan potensi dan
kompetensi secara efektif dan efisien tanpa mengabaikan kesejahteraan
psikologis;
3. Fungsi pengembangan (development): memperbarui kinerja dan profesionalisme
kerja setelah mendayagunakan seluruh potensi dan kompetensi yang dimiliki.
4. Fungsi pendidikan (education): meningkatkan kualitas kerja manusia sebagai
aparatur, yang telah dilatih dan dididik melalui pemberian peran dan tanggung
jawab dalam pekerjaan dan memberi arahan bagaimana mengubah tingkah laku
yang salah menjadi benar.
4. Manfaat
Manfaat pemahaman hakikat manusia sebagai aparatur sebagai berikut:
1. Bagi aparatur Departemen Agama; memperoleh kesempatan untuk memahami dan
mengaktualisasikan segala potensi dan kompetensi yang dimiliki agar ia dapat
29
berperan dan berprestasi secara profesional dalam menjalankan tugas dan
fungsinya sebagai aparatur Departemen Agama.
2. Bagi instansi Departemen Agama; meningkatkan keterlibatan dan partisipasi
semua aparatur dalam pencapaian visi, misi dan tujuan instansi setelah memahami
potensi dan kompetensinya, serta mampu menempatkan aparaturnya sesuai tingkat
kapabilitas dan kualitasnya, baik untuk kepentingan pemberian tugas, promosi
maupun demosi dalam melayani masyarakat yang profesional.
3. Bagi bangsa dan negara; mampu meningkatkan pembangunan sumber daya
manusia yang handal sehingga menjadi aparatur yang dapat memberikan kepuasan
dalam melayani masyarakat.
C. Hakikat Manusia sebagai Aparatur Negara
1. Fitrah Manusia sebagai Aparatur
Fitrah secara sederhana dapat diartikan bersih, suci dan murni.
Kebersihan dan kesucian di sini bukan berarti kosong atau netral yang tidak memiliki
kecenderungan apa pun, melainkan kebersihan dan kesucian jiwa dari segala
keburukan dan kejahatan. Pengertian ini dapat dipahami bahwa secara inheren, citra
asli manusia adalah bersih dan suci yang cenderung pada perbuatan baik dan benar.
Keburukan dan kejahatan pada diri manusia merupakan citra skunder yang
diakibatkan oleh penyimpangan ( anomaly) dari pengaruh lingkungan yang buruk.
al-Asfahaniy menyatakan, fitrah adalah perwujudan pada sesuatu menurut
kondisi aslinya yang dipersiapkan untuk melakukan perilaku tertentu. Sementara
Musa al-Husain menyatakan, fitrah adalah sifat yang digunakan untuk mensifati
semua yang ada (di dunia) sewaktu awal penciptaannya. Definisi tersebut
menggambarkan bahwa fitrah berarti sifat atau watak asli manusia ( human nature)
yang seperti baru dilahirkan, seperti sifat baik hati, penuh cinta kasih, bersyukur,
pemaaf, serta cenderung pada kebenaran dan kebaikan.
Berdasarkan definisi tersebut dapat dipahami ba hwa fitrah manusia memiliki
arti citra asli yang dinamis pada sistem-sistem psikofisik manusia dan dapat
diaktualisasikan dalam bentuk tingkah laku. Citra unik tersebut telah ada sejak awal
penciptaannya dan tidak akan berubah. Sebab jika berubah maka nil ai kemanusiaan
menjadi hilang. Citra primer manusia adalah rindu dan mencari pada kebenaran,
sedang citra sekundernya adalah melakukan penyimpangan. Dikatakan dinamis
karena kefitrian manusia akan dipengaruhi oleh pola asuh lingkungan yang
membentuknya, walaupun dari dalam diri sendiri terjadi mekanisme pertahanan diri
dalam menjaga image sebagai makhluk yang hanif (rindu akan kebenaran).
Menurut Yasien Muhamed (1997), fitrah manusia memiliki kecenderungan
bawaan yang tidak berubah. Kecenderungan yang dima ksud bukan saja bersifat
alamiah, tetapi juga cenderung kepada tindakan yang benar dan tunduk kepada Tuhan.
Sementara al-Maraghi menyatakan bahwa fitrah memiliki kesanggupan atau
predisposisi untuk menerima kebenaran. Berperilaku baik dan benar dapat menja dikan
pelakunya tenang dan senang, sebab perbuatan yang dilakukan relevan dengan citra
aslinya, sementara berbuat buruk dan jahat mengakibatkan keresahan dan
kegelisahan, karena menyalahi bahkan menodai citra asli yang suci dan murni.
30
Secara fitri manusia lahir cenderung berusaha mencari dan menerima
kebenaran, walaupun pencarian itu masih tersembunyi di dalam lubuk hati yang
paling dalam. Adakalanya manusia telah menemukan kebenaran, namun karena faktor
eksternal yang mempengaruhi, maka ia berpaling dariny a. Hal itu terjadi pada Firaun
yang di masa hidupnya enggan mengakui kebenaran dari Tuhan, tetapi ketika mulai
tenggelam dan ajalnya sudah diambang kematian, ia mengakui adanya kebenaran
tersebut (QS. Yunus:90).
Fitrah juga berarti sifat -sifat ketuhanan yang ditiupkan pada setiap manusia
sebelum dilahirkan (Hasan Langgulung:1995). Bentuk -bentuk sifat ketuhanan itu
terformulasi dalam nama-nama yang indah (asm al-husna) yang dalam Kitab Suci
Al-Quran berjumlah 99 nama (QS. Al -Hijr: 29). Manusia yang fitri akan berusaha
untuk mengaktualisasikan fitrah nama-nama yang indah tersebut sebaik-baiknya,
dengan cara trans-internalisasi sifat-sifat tersebut ke dalam dirinya sebatas
kemampuan kemanusian sehingga dalam dirinya tercermin kepribadian ketuhanan.
Perilaku manusia akan mencerminkan citra ketuhanan selama ia masih tetap menjaga
kefitriannya. Citra ketuhanan pada diri manusia dapat dideskripsikan sebagai berikut:
Tabel 1
Sifat Tuhan, Fitrah Manusia dan Implikasi pada Kerja
NO SIFAT
TUHAN
FITRAH MANUSA IMPLIKASI DALAM
KERJA
1 Maha Pengasih Pengasih yang mengasihi sesama manusia
secara universal, tanpa membedakan agama,
suku, ras, bangsa, status, dan perbedaan apa
pun, bahkan mengasihi seluruh isi alam raya,
baik biotik maupun abiotik.
Cinta semua pekerjaan, tanpa
membedakan tugas pokok
atau tidak, serta cinta pada
semua stakeholder yang
mebutuhkan tanpa
diskriminatif
2 Maha
Penyayang
Penyayang yang menyayangi orang lain
karena memiliki prestasi atau hubungan
khusus secara kesinambungan, misalnya
karena hubungan kekerabatan, kolegial dan
agama; mempererat tali persaudaraan dengan
penuh kelembutan, kehalusan dan doa.
Cinta pada tugas dan fungsi
pokoknya dan serta cinta
pada kolega se kantor, baik
vertikal maupun horizontal
3 Maha Raja Pemimpin yang berwibawa yang memiliki
kekuatan mengendalikan dan mengatur
pemerintahannya
Memiliki kemampuan dan
jiwa manajerial dan
leadership yang tangguh
4 Maha Suci Jiwa yang penuh kemurnian, kebenaran,
keindahan, kebaikan, kebajikan dan
keberkahan
Kerja tulus dan bersih yang
terbebas dari keserakahan
dan penyelewengan
5 Maha Sejahtera Diri penebar kesejahteraan, keselamatan dan
kesentosaan pada yang lain.
Memberi pelayanan yang
memberikan manfaat dan
kesejahteraan pada
stakeholder
6 Maha
Terpercaya
Sosok yang terpercaya dalam mengemban
amanah (kepercayaan) orang lain dan
membuat orang lain menjadi aman karena
keterpercayaannya.
Bekerja sesuai dengan tugas
dan fungsi yang telah
ditetapkan
7 Maha
Memutuskan
Hukum
Diri yang memutuskan suatu perkara dengan
benar; menghalangi atau melerai terjadinya
penganiayaan, persengketaan dan
kemudharatan agar mendatangkan
kemudahan dan kemashlahatan; menetapkan
hukuman bagi yang bersalah dan memberi
ganjaran bagi yang benar
Bekerja sesuai dengan aturan
dan prosedur yang ditetapkan
dan memberi penghargaan
yang berprestasi serta
menghukum yang melakukan
penyelewengan
8 Maha Pengawas Pengawas yang lurus, mengetahui dan
memelihara sesuatu untuk kebaikan bukan
semata-mata mencari kesalahan orang lain
Bekerja dengan kontrol diri
yang baik, sehingga terhindar
dari segala penyelewengan
9 Maha Pemaaf Diri yang memaafkan kesalahan yang lain; Ketegasan dalam bekerja
31
meninggalkan sanksi atau hukuman terhadap
yang bersalah dengan cara memaafkan;
menutupi atau menghapus kesalahan yang
lain.
didasarkan atas prinsip
pemaafan bagi yang
melakukan kekhilafan
Menurut Ibnu Taimiyah, fitrah bukan semata -mata suatu potensi pasif yang
harus dibangkitkan dari luar, tetapi lebih merupakan sumber yang mampu
membangkitkan dirinya sendiri. Pernyataan tersebut tidak berarti menafikan peran
lingkungan dalam mempengaruhi fitrah manusia. Memang benar bahwa fitrah
manusia itu tetap dan tidak akan ada perubahan, yang berubah adalah sikap dan
perilaku. Namun jika kemurnian fitrah itu tidak ditopang oleh kebaikan sikap dan
perilaku tentu pada saatnya akan menodai bahkan mengikis kekeberadaan fitrah asli
manusia yang suci dan murni.
Kekuatan inner pada fitrah manusia tidak dapat dipandang secara terpisah,
mulai dari pikiran, perasaan, perilaku dan lembaga -lembaga kemanusiaan lainnya:
semuanya terintegrasi pada satu bingkai, yakni dalam kendali qalbu. Sebab qalbu
menjadi pusat kepribadian manusia yang menentukan baik -buruknya perilaku
manusia. Selama qalbu mendominasi diri manusia yang ditopang oleh kekuatan fitrah
eksternal yang diturunkan dari Tuhan berupa petunjuk kitab suci, maka kemurnian
fitrahnya masih terjaga, tetapi apabila hawa nafsu menguasai dirinya dan fitrah
eksternal tidak lagi dipedulikan, maka akan terjadi penyimpangan berupa tindak
kejahatan.
Fitrah eksternal yang terformulasikan pada nilai -nilai ajaran agama pada
dasarnya berperan sebagai tuntunan yang mengendalikan sikap dan perilaku manusia
untuk memelihara fitrahnya yang suci. Pengamalan ajaran agama secara konsisten
yang meresap ke dalam perbuatan merupakan upaya pemberdayaan potensi fitrah
manusia. Nilai ajaran agama tidak sekadar melaksanakan ritual keagamaan secara
sempit, tetapi harus direfleksikan pada pola sikap, tindakan, ucapan, dan perilaku
seseorang pada peran apa pun yang dipilih atau diterima dal am kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Dalam perjalanan hidup, tidak mustahil manusia menjadi lupa akan kesucian
fitrahnya. Wahyu Tuhan sebagai fitrah eksternal yang diturunkan dapat menunjukkan
jalan kepada manusia untuk tetap berada pada fitrah yang baik dan benar. Manusia
yang lemah akan mudah terpengaruh oleh naluri hawa nafsu yang bersifat destruktif,
baik untuk diri sendiri maupun lingkungannya. Sifat lemah tersebut muncul ketika
seseorang mengaktualisasikan diri secara acak -acakan yang tidak mengikuti prosedur
sebagaimana seharusnya fitrah mengaktual.
Fitrah manusia memiliki banyak aspek, tetapi aspek yang terpenting adalah:
1. Fitrah agama: Sejak lahir, manusia mempunyai naluri atau insting beragama,
insting yang mengakui adanya Dzat Yang Maha Pencipta d an Maha Mutlak, yaitu
Tuhan yang Maha Esa. Sejak di alam ruh, manusia telah berikrar bahwa Allah
adalah Tuhannya, sehingga ketika dilahirkan ia berkecenderungan pada al-hanif,
yakni rindu akan Kebenaran Mutlak (Tuhan). Fitrah inilah yang mendorong
manusia untuk pasrah, tunduk, dan patuh kepada Tuhan yang menguasai dan
mengatur kehidupan manusia.
2. Fitrah intelek: Intelek adalah potensi bawaan yang mempunyai daya untuk
memperoleh pengetahuan dan dapat membedakan yang baik dan yang buruk, yang
32
benar dan yang salah. Tuhan kerap memperingatkan manusia untuk menggunakan
fitrah inteleknya. Kemampuan dan fitrah intelektual ini pula yang membedakan
antara manusia dan hewan.
3. Fitrah sosial: Kecenderungan manusia untuk hidup berkelompok yang di
dalamnya terbentuk suatu ciri khas yang disebut kebudayaan. Kebudayaan ini
merupakan cermin manusia dan masyarakatnya. Realita sosial dan budaya yang
ideal adalah realita yang terdekat dengan keagamaan sehingga membentuk
kebudayaan masyarakat yang seratus persen spiritual -religius dalam bersikap dan
berperilaku.
4. Fitrah susila: Kemampuan manusia untuk mempertahankan diri dari sifat -sifat
amoral, atau sifat-sifat yang menyalahi tujuan penciptaannya. Fitrah ini menolak
sifat-sifat yang menyalahi kode etik yang telah disepakati masyarak at. Manusia
yang menyalahi fitrah susilanya akan berakibat kehinaan.
5. Fitrah ekonomi (mempertahankan hidup): Daya manusia untuk mempertahankan
hidupnya dengan upaya memberikan kebutuhan jasmaniah, demi kelangsungan
hidupnya. Fitrah ekonomi tidak menghendaki adanya materialisme yang
mengorientasikan hidupnya semata -mata karena materi atau mengeksploitasi
kekayaan alam untuk kepentingan pribadi. Maksud fitrah ini adalah
memanfaatkan kekayaan alam sebagai realisasi dari tugas -tugas kekhalifahan
dalam rangka beribadah kepada Tuhan.
6. Fitrah seni: Kemampuan manusia yang dapat menimbulkan daya estetika,
sehingga hidup ini penuh keindahan yang menyenangkan.
7. Fitrah yang tercermin dalam sifat Tuhan seperti kasih sayang, kemajuan,
keadilan, kemerdekaan, kesamaan, ingin dihargai, cinta tanah air, dan kebutuhan -
kebutuhan hidup lainnya. Beberapa jenis f itrah ini mendorong individu untuk
hidup bersama, saling tolong-menolong, saling hormat -menghormati, saling asah,
asih dan asuh, saling toleran, altruisme, akuntabel, dinamis , kreatif, inovatif dan
dapat membedakan perbuatan baik dan buruk. Kemampuan manusia untuk
membedakan perbuatan baik dan buruk, menyebabkan manusia menjauhi
perbuatan menyimpang aturan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme karena
bertentangan dengan fitrah manusia.
Konsep fitrah dapat disederhanakan dalam gambar sebagai berikut:
Gambar 1 Fitrah Manusia
33
Implikasi fitrah dalam kehidupan manusia dapat dikaji melalui beberapa
pendekatan. Pertama, pendekatan teologis: manusia membutuhkan agama yang
membimbing kehidupan spiritualnya. Implikasi ini disebabkan manusia tidak sekadar
jasad tetapi juga mempunyai ruh yang fitrahnya cenderung untuk mengimani dan
menyembah Tuhan. Kedua, pendekatan falsafi: manusia memilik qalbu dan akal
pikiran yang memungkinkannya mema hami sumber-sumber pengetahuan dan wahyu
untuk meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin. Ketiga, pendekatan psikologis:
manusia memiliki perasaan yang baik sejak dilahirkan yang karenanya mendorongnya
untuk berbuat baik pula. Perilaku yang baik akan mend atangkan kedamaian dan
ketenangan, sementara perilaku buruk akan meresahkan dan menggelisahkan.
Keempat, pendekatan pragmatis dalam bekerja, terutama dalam aspek pengawasan
dengan pendekatan agama, sebagai berikut:
1. Nilai kesadaran akan keberadaan Tuhan sebagai Zat Yang Maha Mengawasi, yang
mengawasi seluruh perilaku aparatur sehingga secara naluriah ia dituntut
berperilaku baik dan menghindari tindak penyimpangan.
2. Nilai kesucian dan kebersihan yang mendorong aparatur untuk bekerja secara
bersih tanpa berpikir untuk melakukan penyimpangan.
3. Nilai kebaikan menuju kebajikan bersama yang mendorong aparatur untuk bekerja
secara benar, serius, disiplin dan bertanggung jawab.
4. Nilai kesamaan antaraparatur menuju perbaikan hubungan interpersonal tanpa
diskriminasi dalam memposisikan pembagian kerja atau promosi karier.
5. Nilai musyawarah menuju kesepakatan bersama dalam mencapai kualitas kerja
yang lebih optimal, dengan menjunjung tinggi nilai perbedaan antaraparatur.
6. Nilai toleransi menuju kerukunan aparatur, baik sesama agama, antarumat
beragama maupun antarumat beragama dengan negara, karena setiap manusia
34
memiliki kecenderungan untuk mengaktualisasikan agamanya tanpa ada gangguan
dari yang lain.
7. Nilai persaudaraan dan solidaritas antaraparatur menuju kepedulian kolekt if dalam
lingkungan kerja.
8. Nilai cinta kasih, saling asah, asih dan asuh menuju keharmonisan hidup bersama.
9. Nilai kejujuran dan keadilan menuju penegakan hukum dan hak asasi manusia
untuk mengembangkan segala potensi dan kompetensinya dalam mencapai
profesionalisme kerja.
2. Kompetensi Manusia sebagai Aparatur
Kompetensi adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu pekerjaan atau
tugas yang dilandasi atas keterampilan dan pengetahuan serta didukung oleh sikap
kerja yang dituntut oleh pekerjaan tersebut. Kompeten si juga diartikan sebagai
kemampuan seseorang yang dapat terukur meliputi pengetahuan, keterampilan, dan
sikap dalam menyelesaikan suatu pekerjaan atau tugas sesuai performance
(kemampuan kerja) yang ditetapkan.
Sebelum membahas kompetensi manusia sebagai aparatur, ada baiknya kita
mengenal struktur manusia. Struktur manusia secara sederhana dapat diartikan
sebagai potensi manusia yang belum mengaktual dalam bentuk kompetensi.
Sedangkan secara istilah struktur adalah satu organisasi permanen, pola atau
kumpulan unsur-unsur yang bersifat relatif stabil, menetap dan abadi yang terdapat
pada diri manusia. Struktur manusia terdiri atas jasmani, ruhani dan nafsani
(gabungan jasmani dan ruhani). Struktur nafsani terbagi atas tiga macam, yaitu hati
(qalbu), akal dan hawa nafsu.
Struktur jasmani merupakan komponen fisik manusia yang memiliki ciri (1)
tercipta secara bertahap atau berproses dan melalui perantara; (2) Memiliki bentuk,
rupa, kadar dan dapat disifati; (3) Memiliki energi jasmaniah yang disebut dengan
nyawa; (4) Terikat oleh ruang dan waktu; ( 5) Substansinya temporer dan hancur
setelah kematian; dan (6) Dapat dibagi-bagi dengan beberapa komponen.
Sedangkan struktur ruhani merupakan komponen psikis manusia yang
memiliki ciri (1) tercipta secara langsung da ri Tuhan tanpa melalui proses graduasi;
(2) Tidak memiliki bentuk, rupa, kadar, dan tidak dapat disifati, yang naturnya halus
dan suci dan mengejar kenikmatan ruhaniah; (3) Memiliki energi ruhaniah yang
disebut dengan al-amanah; (4) Tidak terikat oleh ruang dan waktu jasad; (5)
Substansinya abadi tanpa ada kematian; dan ( 6) Tidak dapat dibagi-bagi karena satu
keutuhan.
Struktur nafsani merupakan komponen psikofisik manusia yang memiliki ciri
gabungan antara ciri-ciri yang ada pada jasmani dan ruhani. Strukt ur nafsani terbagi
atas tiga bagian, yaitu: Pertama, hati (qalbu) yang memiliki ciri (1) Secara jasmaniah,
berkedudukan di jantung; (2) Daya yang dominan adalah emosi (rasa) atau afektif,
yang akhirnya melahirkan kecerdasan emosional; (3) Mengikuti natur r uh ketuhanan;
(4) Potensinya bersifat cita-rasa dan intuitif yang sifatnya spiritual; (5) Berkedudukan
pada alam suprasadar atau atas sadar manusia; (6) Intinya religiusitas, spiritualitas dan
transendensi; dan (7) Apabila mendominasi jiwa manusia maka men imbulkan
kepribadian yang tenang.
35
Kedua, akal memiliki ciri (1) Secara jasmaniah, berkedudukan di otak; (2)
Daya yang dominan adalah kognisi (cipta), yang akhirnya melahirkan kecerdasan
intelektual; (3) Mengikuti antara natur ruh dan jasad yang kemanusiaan ; (4)
Potensinya bersifat argumentatif dan logis yang sifatnya rasional; (5) Berkedudukan
di alam kesadaran manusia; (6) Intinya isme -isme seperti humanisme, kapitalisme,
sosialisme, dsb., dan (7) Apabila mendominasi jiwa manusia maka menimbulkan
kepribadian yang labil.
Ketiga, Hawa Nafsu memiliki ciri : (1) Secara jasmaniah, berkedudukan di
perut dan alat kelamin; (2) Daya yang dominan adalah konasi (karsa) atau
psikomotorik, yang akhirnya melahirkan kecerdasan kinestetik; (3) Mengikuti natur
jasad yang bersifat kebinatangan, baik yang jinak maupun buas; (4) Potensinya
bersifat indrawi yang sifatnya empiris; (5) Berkedudukan di alam pra atau bawah
sadar manusia; (6) Intinya produktivitas, kreativitas dan komsumtif; dan (7) Apabila
mendominasi jiwa manusia maka menimbulkan kepribadian yang jahat.
Kompetensi dan dinamika perilaku manusia sangat ditentukan oleh interaksi -
interaksi daya-daya nafsani (hati, akal, dan hawa nafsu) dalam pembentukan perilaku
yang berjalan menurut hukum dominasi antara berbagai daya nafsani. Masing-masing
daya nafsani memiliki natur dasar, seperti qalbu naturnya baik, nafsu naturnya buruk
dan akal naturnya antara baik dan buruk. Dalam keadaan biasa, masing -masing
komponen yang berlainan ini tidak bekerja secara berlawanan dan bertenta ngan, tetapi
bekerja sama seperti suatu tim yang berpusat di qalbu. Namun dalam kondisi tertentu,
masing-masing komponen tersebut saling berlawanan, tarik menarik, dan saling
mendominasi untuk membentuk suatu tingkah laku.
Uraian di atas dapat dipahami bahwa masing-masing komponen struktur
nafsani memiliki saham dalam pembentukan perilaku, walaupun salah satu di
antaranya ada yang lebih dominan. Kepribadian yang tenang adalah kepribadian yang
didominasi daya qalbu yang dibantu oleh daya akal dan daya hawa n afsu. Bantuan
daya akal lebih banyak daripada bantuan daya hawa nafsu. Kepribadian yang labil
adalah kepribadian yang didominasi daya akal yang dibantu oleh daya qalbu dan daya
hawa nafsu. Bantuan daya qalbu sama kuatnya dengan bantuan daya hawa nafsu.
Sedangkan kepribadian yang jahat adalah kepribadian yang didominasi daya hawa
nafsu yang dibantu oleh daya akal dan qalbu. Bantuan daya akal lebih kuat daripada
bantuan daya qalbu. Dengan demikian masing -masing komponen memiliki bobot
tersendiri dalam pembent ukan kepribadian.
Dengan meminjam teori kinerja Blumberg dan Pringle (dalam Robbins: 1996),
kompetensi manusia sebagai aparatur dapat disederhanakan dalam rumus K = A X M
X O bahwa kompetensi aparatur merupakan hasil perkalian dari ability (kemampuan),
motivation (kemauan) dan opportunity (kesempatan). Faktor kemampuan dan
kemauan berasal dari sisi internal aparatur, sedangkan kesempatan berasal dari sisi
eksternal aparatur. Berdasarkan teori tersebut dapat dipahami bahwa kompetensi
manusia sebagai aparatur dapat disederhanakan ke dalam tiga bagian:
1. Ability, intinya pengetahuan dan keterampilan yang tinggi dalam bekerja
Kemampuan aparatur merupakan hasil dari perkalian pengetahuan
(knowledge) dengan keterampilan (skill). Pengetahuan diperoleh dari jenjang
pendidikan dan pelatihan, sedangkan keterampilan diperoleh dari pengalaman kerja.
Baik pengetahuan maupun keterampilan, keduanya sangat berkaitan dengan
kecerdasan aparatur, tanpa kecerdasan maka keduanya tidak dapat meningkat.
Dengan mengadopsi teori triarkis Sternberg (dalam Santrock: 2007),
kecerdasan individu muncul pada tiga bentuk. Pertama, kecerdasan analitik,
kemampuan untuk menganalisa, menilai, mengevaluasi, membandingkan dan
36
mempertentangkan suatu yang terkait dengan kerja. Ciri utama aparatur yang
memiliki kecerdasan analitik adalah mudah menangkap tugas pekerjaan, ingatan yang
baik, penguasaan aturan pekerjaan yang luas, berpikir logis yang mampu memahami
sebab-akibat, suka bertanya dan mendiskusikan tentang suatu pekerjaan, daya
konsentrasi yang baik sehingga perhatiannya tak mudah teralihkan, menguasai semua
tugas dan tangung jawabnya dalam bekerja, senang belajar untuk meningkatkan
pengetahuan yang mendukung tata kerja, mampu mengemukakan pendapat yang jelas
tentang perbaikan pekerjaan, pengamat yang cermat tentang masalah pekerjaan, cepat
menemukan kekeliruan dan kesalahan, mampu membaca situasi dan kondisi kerja
secara cepat dan banyak kegiatan yang dilakukan.
Kedua, kecerdasan kreatif, kemampuan untuk mencipta, mendesain,
menemukan dan mengimajinasikan suatu hal yang terkait dengan pekerjaan. Ciri
utama aparatur yang memiliki kecerdasan kreatif adalah adanya dorongan rasa ingin
tahu yang besar, sering mengajukan pertanyaan, banyak gagasan dan usul, bebas
menyatakan pendapat, mempunyai sense of beauty, menonjol dalam salah satu bidang
seni, berpendirian teguh, memiliki sense of humour yang tinggi atau senang bercanda,
daya imajinasi kuat, memiliki cara tersendiri dalam mengerjakan pekerjaan, mandiri
dalam bekerja, senang mencoba hal -hal baru, dapat mengembangkan ide-ide baru.
Ketiga, kecerdasan praktis, kemampuan untuk menggunakan,
mengaplikasikan, mengimplementasikan dan mempratikkan. Ciri utama aparatur yang
memiliki kecerdasan praktis adalah tekun menyelesaikan tugas, ulet menghadapi
kesulitan yang tak lekas putus asa, tak perlu disuruh dalam bekerja, berusaha
berprestasi sebaik mungkin, berpikir seperti orang bijak, senang, rajin dan semangat
belajar untuk meningkatkan kinerjanya, senang mengerjakan pekerjaan yang sulit dan
menantang, senang mengerjakan hal yang beragam, berpikir jangka panjang dalam
bekerja, dan ingin mendalami pengalaman yang diterima.
Howard Gardner (dalam Santrock: 2007) menyatakan delapan kecerdasan
majemuk (multiple intelligences) yang dapat dimiliki aparatur:
1. Kecerdasan linguistik (cerdas verbal): kemampuan untuk berpikir dengan kata dan
menggunakan bahasa untuk mengekspresikan makna. Kecerdasan ini
menghasilkan aparatur yang bekerja sebagai penulis, wartawan, dai dan
pembicara.
2. Kecerdasan logika dan matematika (cerdas ras ional dan angka): kemampuan
untuk menyelesaikan operasi matematika. Kecerdasan ini menghasilkan aparatur
yang bekerja sebagai ilmuwan, insinyur dan akuntan.
3. Kecerdasan spasial (cerdas ruang/tempat/gambar): Kemampuan untuk berpikir
tiga dimensi. Kecerdasan ini menghasilkan aparatur yang bekerja sebagai arsitek
dan perupa
4. Kecerdasan kinestetika-raga (cerdas raga): Kemampuan untuk memanipulasi
objek dan cerdas dalam hal fisik. Kecerdasan ini menghasilkan aparatur yang
bekerja sebagai pengrajin, office boy dan atlet.
37
5. Kecerdasan musik (cerdas musik): Kemampuan untuk sensitif nada, melodi, irama
dan suara. Kecerdasan ini menghasilkan aparatur yang bekerja sebagai komponis,
musisi dan pengatur acara seremonial.
6. Kecerdasan intrapersonal (cerdas diri): Kemampuan un tuk memahami diri sendiri
dan mampu menata dirinya secara efektif. Kecerdasan ini menghasilkan aparatur
yang bekerja sebagai teolog, agamawan, dan psikolog.
7. Kecerdasan interpersonal (cerdas orang). Kemampuan untuk memahami dan
berinteraksi secara efektif dengan orang lain. Kecerdasan ini menghasilkan
aparatur yang bekerja sebagai guru, dan para profesional yang membantu masalah
sosial.
8. Kecerdasan naturalis (cerdas alam): Kemampuan untuk mengamati pola -pola di
alam serta mampu mengenali sistem alam dan siste m buatan manusia. Kecerdasan
ini menghasilkan aparatur yang bekerja sebagai petani, ahli botani, ahli ekologi,
dan ahli tanah.
Sejauh ini, Gardner belum memasukkan aspek spiritual -religius dalam
kecerdasan majemuknya, padahal untuk memiliki kecerdasan spir itual-religius
diperlukan kecerdasan. Oleh karena itu, untuk melengkapi atau bahkan memayungi
semua jenis kecerdasan yang ada diperlukan tambahan kecerdasan yang bersifat
spiritual-religius yang kemudian disebut dengan istilah kecerdasan hati ( kecerdasan
qalbiyah). Dikatakan kecerdasan hati, sebab hati merupakan esensi manusia yang
abadi: jika ia baik semua diri menjadi baik dan jika ia buruk semuanya menjadi buruk.
Kecerdasan hati tumbuh melalui aktualisasi segenap potensinya sehingga
menimbulkan perilaku yang baik, yang pada puncaknya adalah perilaku spiritual -
religius. Kecerdasan ini menyinari delapan jenis kecerdasan di atas yang lain,
sehingga semua aktivitas manusia secara spiritual memiliki makna.
Penggunaan belahan otak bagi aparatur akan menghasilka n pola kerja yang
berbeda. Belahan otak kiri ( left brain) memiliki kemampuan menghitung, menulis,
berpikir, berbicara, dan mengontrol tangan kanan yang ciri berpikirnya logis, linear,
rasional dengan menggunakan logika formal Aristotelian, Newtonian, dan a ritmatika.
Aparatur yang menggunakan otak kiri berimplikasi pada pola kerja sebagai berikut:
(1) Berpikir dahulu untuk kemudian melakukan; (2) Tunduk dan patuh mengikuti
berbagai tahapan dan prosedur, sehingga cara berpikirnya birokratis; (3) Bagian -
bagiannya logis yang merupakan sebab-akibat dari program dan tindakan, sebab
datanya telah lengkap; (4) Terpaku pada program jadi ( fixed program), sehingga
pilihannya on (hidup) dan off (mati) atau hitam atau putih; (5) Berorientasi pada
tujuan yang mengikuti model management by objective (manajemen berdasarkan
sasaran); (6) Kelebihan pola kerja ini adalah akurat, tepat, dan dapat dipercaya; (7)
Kelemahannya deterministik, birokratis dan mekanistik tanpa ada nuansa baru.
Sementara belahan otak kanan (right brain) memiliki kemampuan dalam
wawasan, kesenian, imajinasi, musik, dan mengontrol tangan kiri yang ciri
berpikirnya acak, tidak teratur, holistik, dan intuitif (hati). B agi aparatur yang
menggunakan otak kanan maka pola kerjanya sebagai berikut: (1) Merasakan dahulu
untuk kemudian melakukan; (2) Tidak mengikuti tahap dan prosedur, sehingga cara
berpikirnya debirokratisasi; (3) Emosi merespon data yang tidak lengkap, sehingga
38
kebobrokan satu komponen tidak harus mengabaikan sistem yang lain; (4) Dalam
mengembangkan diri melalui interaksi dan koneksi dengan pengalaman dan keadaan,
tanpa memperhatikan program yang baku; (5) Metodenya coba -coba, kira-kira,
ambigu, berdasarkan pola kemiripan, sehingga responnya cepat walaupun ceroboh;
(6) Kelebihan pola kerja ini adalah fleksibel, debirokratisasi, dan memungkinkan
adanya nuansa-nuansa baru; (7) Kelemahannya adalah lambat, tidak akurat, terikat
kebiasaan bukan aturan; (8) Asumsi dasarnya tidak ada dua orang yang memiliki
kehidupan emosional yang sama. Saya kenal dia, saya berempati padanya, tetapi tidak
memiliki emosinya.
Kedua pola kerja tersebut dapat diaplikasikan secara terpadu dan proporsional,
yang masing-masing pola kerja memiliki kelebihan dan kekurangan. Terpadu karena
kedua pola kerja tersebut menjadi bagian integral dari karakter dan kebutuhan
manusia akan pekerjaannya. Proporsional karena aplikasi kedua pola kerja tersebut
harus diletakkan secara adil dan harmonis dengan memperhitungkan kepada siapa,
kapan dan di mana pekerjaan itu dilakukan. Penggunakan po la kerja dari belahan otak
kiri secara ekstrem akan mencitrakan birokrasi pemerintahan yang berbelit -belit, yang
menggunakan rumus kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah, sementara
penggunaan pola kerja dari belahan otak kanan secara ekstrem akan mencitrakan
ketidakteraturan, ketidakpastian dan ketidakprofesionalan.
2. Motivation yang tinggi dalam bekerja
Motivasi adalah keseluruhan dorongan, keinginan, kebutuhan, dan daya yang
sejenis yang mengarahkan perilaku (Donnel: 1980). Motivasi juga diartik an satu
variabel penyelang yang digunakan untuk menimbulkan faktor -faktor tertentu di
dalam organisme, yang membangkitkan, mengelola, mempertahankan, dan
menyalurkan tingkah laku menuju satu sasaran (Chaplin: 1999). Dalam diri seseorang,
motivasi berfungsi sebagai pendorong kemampuan, usaha, keinginan, menentukan
arah, dan menyeleksi tingkah laku (Hodgetts: 1988). Kemampuan adalah tenaga,
kapasitas atau kesanggupan untuk melakukan suatu perbuatan, yang dihasilkan dari
bawaan sejak lahir atau merupakan hasi l dari pengalaman. Usaha adalah penyelesaian
suatu tugas untuk mencapai keinginan. Sedangkan keinginan adalah satu harapan,
kemauan, atau dorongan untuk mencapai sesuatu atau untuk membebasakan diri dari
suatu perangsang yang tidak menyenangkan.
Motivasi merupakan perkalian dari sikap ( attitude) dan situasi (situation)
kerja. Sikap diperoleh dari hasil pembiasaan dalam mengaplikasikan nilai -nilai yang
menjadi pijakan bekerja. Adapun situasi merupakan kondisi lingkungan yang
mempengaruhi di mana motivasi itu terefleksikan, baik lingkungan fisik, psikologis,
sosial maupun spiritual.
Abraham Maslow dalam Motivation and Personality mengemukakan, motivasi
hidup manusia tergantung pada kebutuhannya. Lebih jauh Maslow menjelaskan lima
hierarki kebutuhan manusia. Pemenuhan kebutuhan manusia memiliki tingkat
kesulitan yang hierarkis. Kebutuhan yang berada pada hi erarki terbawah akan mudah
dicapai oleh semua manusia, namun kebutuhan yang berada pada hi erarki teratas
tidak semua manusia sanggup mencapainya. Adapun hierarki kebutuhan yang
dimaksud adalah:
1. Kebutuhan fisiologis dasar: gaji, makanan, pakaian, perumahan dan fasilitas -
fasilitas dasar lainnya yang berguna untuk kelangsungan hidup pekerja.
39
2. Kebutuhan akan rasa aman: lingkungan kerja yang bebas dari segala ben tuk
ancaman, keamanan jabatan/posisi, status kerja yang jelas, keamanan alat yang
dipergunakan.
3. Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi: interaksi dengan rekan kerja, kebebasan
melakukan aktivitas sosial, kesempatan yang diberikan untuk menjalin hubungan
yang akrab dengan orang lain.
4. Kebutuhan untuk dihargai: pemberian penghargaan atau reward, mengakui hasil
karya individu
5. Kebutuhan aktualisasi diri: kesempatan dan kebebasan untuk merealisasikan cita -
cita atau harapan individu, kebebasan untuk mengembangk an bakat atau talenta
yang dimiliki.
Aktualisasi diri merupakan metakebutuhan -metakebutuhan (meta needs)
meliputi apa saja yang terkandung dalam aktualisasi diri seperti keadilan, kebaikan,
keindahan, keteraturan, kesatuan, dan sebagainya. Ciri -ciri aparatur yang memiliki
kebutuhan aktualisasi diri adalah: (1) Persepsi yang tajam dan tepat terhadap realita
kerja; (2) Dapat menerima diri sendiri dan orang lain; (3) Spontanitas, kesederhanaan,
dan kewajaran; (4) Fokus terhadap masalah -masalah di luar diri mereka; (5) Tidak
tergantung pada lingkungan; (6) Mampu memberikan apresiasi mendalam terhadap
pengalaman; (7) Kepedulian yang besar terhadap masalah sosial, (8) Memiliki
hubungan yang memuaskan dengan orang lain, dan (9) Sikap demokratis dan
humoris.
Menurut McClelland, motivasi yang mempengaruhi cara -cara seseorang dalam
bertingkah laku terbagai atas tiga pola. Pertama, motivasi berprestasi, yaitu dorongan
untuk mengatasi tantangan, untuk maju, dan berkembang. Kedua, motivasi berafiliasi,
yaitu dorongan untuk berhubungan dengan orang lain secara efektif. Ketiga, motivasi
memiliki kekuasaan, yaitu dorongan untuk mempengaruhi orang lain dan situasi.
Ketiga motivasi tersebut menggerakkan dan mendorong seseorang untuk melakukan
suatu aktivitas, baik secara simultan ataupun terpisah. Dalam satu aktivitas terkadang
hanya digerakkan oleh satu motivasi, tetapi dalam situasi yang berbeda, boleh jadi
digerakkan oleh berbagai macam motivasi.
Menurut McClelland karakteristik orang yang berprestasi tinggi ( high
achievers) dalam bekerja memiliki tiga ciri umum: (1) sebuah preferensi untuk
mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat; (2) menyukai situasi -
situasi di mana kinerja mereka timbul karena upaya -upaya mereka sendiri, dan bukan
karena faktor lain seperti kemujuran; dan (3) menginginkan umpan balik tentang
keberhasilan dan kegagalan mereka, dibandingkan dengan mereka yang berprestasi
rendah.
Al-Ghazali menyatakan bahwa setiap perilaku manusia di dunia tidak lain
hanyalah untuk merealisasikan atau menunaikan trusworthy (amanah) yang
ditetapkan oleh Dzat Pencipta, sebab amanah menjadi motivator bagi setiap aktivitas
hidupnya. Pemenuhan amanah memiliki proses. Pertama, adanya gerak dan lintasan
batin (khathir) untuk memenuhi pelaksanaan amanah. Gerakan batin ini masih samar.
Begitu samarnya sehingga seseorang belum mampu membedakan apakah lintasan
batin itu berasal dari dirinya sendiri atau dari luar dirinya.
40
Kedua, adanya tekad yang bulat (azam) untuk melaksanakan amanah. Pada
tingkatan ini seseorang hendak bertekad memulai suatu pekerjaan, dengan
mempersiapkan segala sarana yang mendukungnya seperti ilmu yang berfungsi
sebagai pembeda antara tujuan yang benar dan yang salah; memerlukan kesungguhan
dalam meraih tujuan dengan cara-cara yang konsisten; serta menghilangkan segala
rintangan dan hambatan yang menyumbat terpenuhinya tekad bulat tersebut.
Ketiga, adanya kesadaran dan komitmen ketuhanan ( niat) yang mendorong
atau memotivasi seseorang untuk beraktivitas memenuhi amanah. Tanpa niat maka
aktivitas manusia tidak dianggap sebagai suatu ibadah. Keempat, adanya
merealisasikan dalam bentuk perbuatan ( amal) apa yang pernah terlintas di dalam
azam dan niat dalam bentuk perilaku nyata.
Seorang mistikus wanita Islam, Rabiah al -Adawiyah menyatakan motivasi
manusia dalam beraktivitas terbagi atas tiga tingkatan. Pertama, dilakukan karena
takut mendapatkan hukuman ( punishment). Oleh karena sekadar menghindari
ketakutan maka pelayanan kerja hanya untuk memenuhi kebutuhan standar tanpa ada
kelebihan sama sekali. Kedua, dilakukan karena berharap mendapatkan hadiah
(reward). Dorongan untuk memperoleh hadiah mengakibatkan pelayanan kerja
menuju pada pengerahan segenap kemampuan, walaupun pengerahan itu sebanding
dengan harapan penghargaan yang akan diperoleh. Ketiga, dilakukan karena cinta
yang tumbuh dari hati yang paling dalam. Cinta mendorong individu untuk
melakukan apa saja tanpa sedikit pun berharap beroleh penghargaan, bahkan cinta
sering menuntut pengorbanan yang dicintai seperti kemampuan, kemauan dan
kesempatan.
3. Opportunity dengan memberdayakan aparatur
Seberapapun besar kemampuan dan kemauan aparatur dalam mengemban
amanah kerja, namun jika dukungan institusi tidak mendukung maka kemampuan dan
kemauan itu akan sia-sia. Memang benar kemandirian dan regulasi inter nal aparatur
menjadi faktor penentu dalam upaya memperoleh hasil kerja, tetapi hasilnya tidak
akan maksimal. Upaya-upaya penciptaan peluang, pemberdayaan dan pelibatan
aparatur dalam setiap kesempatan akan menstimulasi produktivitas dan kreativitas
kerja, sebab pada prinsipnya semua individu ingin maju, dihargai dan aktualisasi diri
melalui kerja. Demikian juga, kebobrokan birokrasi yang ditopang oleh tata kelola
yang buruk akan menjadi virus yang menyebabkan penyakit kudis (kurang disiplin),
kurap (kurang rapi), kutil (kurang teliti) dan selanjutnya menajidikan kuman (kurang
iman).
Kesempatan tidak akan datang untuk kedua kalinya, selagi ada kesempatan
harus segera dilaksanakan, agar kita tidak kehilangan momentum. Kalau ada
kesempatan untuk kedua kalinya, itulah dalam koteks momentum yang berbeda.
Kejadian yang telah lalu sudah selesai, dan patut dijadikan pelajaran untuk hari esok,
sedang masa depan masih samar, walaupun perlu direncanakan, namun kita berada
dalam waktu dan kesempatan yang sedang dihadapi. Di sinilah arti pentingnya
pemanfaatan segala amanah dan fasilitas yang ada untuk mengisi kesempatan itu
sebaik-baiknya. Penundaan terhadap pemenuhan kesempatan sama artinya dengan
keingnan untuk mundur beberapa langkah ke belakang.
Kompetensi manusia dapat disederhanakan dalam gambar sebagai berikut:
Gambar 3
Kompetensi Manusia
41
3. Fungsi Kehidupan Manusia sebagai Aparatur
Manusia lahir bukan sekadar ada dan berada, tetapi juga mengada. Dikatakan
demikian sebab keberadaan manusia berfungsi sebagai pengemb an amanah Tuhan
untuk menjadi khalifah dan hamba -Nya di muka bumi. Kehidupannya dinamis dan
secara kualitatif berevolusi menuju puncak kesempurnaan , demi menjaga survival-nya
sebagai inti mikro kosmos. Peran hidupnya tidak saja menjadi objek sejarah
melainkan menjadi subjek sejarah yang mampu menciptakan drama sejarah
kehidupannya sendiri.
Sebagaimana fitrahnya, keberadaan manusia di dunia ini semata -mata karena
melaksanakan amanah yang telah digariskan oleh Tuhan. Firman Allah dalam QS Al -
Ahzab ayat 72 dinyatakan: Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat
kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul
amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu
oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zali m dan amat bodoh. Ayat tersebut
menegaskan, fungsi kehidupan manusia adalah melaksanakan amanah. Amanah
adalah titipan atau kepercayaan Tuhan yang dibebankan kepada makhluk yang
bernama manusia untuk menjadi hamba dan khalifah -Nya di muka bumi.
Berdasarkan uraian di atas, fungsi kehidupan manusia adalah:
1. Sebagai hamba Tuhan
Sebagai hamba, manusia memiliki tugas menyembah dan berbakti kepada
Penciptanya, karena tujuan penciptaan manusia adalah beribadah kepada -Nya. (QS.
Al-Dzariyat: 56). Ibadah tidak hanya sebatas menjalankan ajaran-ajaran agama, tetapi
juga berlaku pada semua aktivitas yang didasarkan pada niat tulus. Ibadah dalam arti
khusus adalah ibadah yang berkaitan dengan Tuhan. Ibadah dalam arti umum adalah
segala aktivitas yang titik tolaknya ikhl as untuk mencapai ridha Tuhan berupa amal
saleh. Pada pengertian umum ini, kerja merupakan bagian dari ibadah.
Bentuk-bentuk ibadah dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu:
Pertama, ibadah person: suatu aktivitas yang pelaksanaannya tidak perlu melibatkan
orang lain, melainkan semata-mata bergantung pada kesediaan yang bersangkutan
sebagai makhluk yang bebas, termasuk dalam ibadah ini adalah prakt ek-praktek
keagamaan yang bersifat ritual .
Kedua, ibadah antarperson: suatu aktivitas yang pelaksanaannya bergantung
pada prakarsa pihak bersangkutan selaku hamba Allah secara otonom, tetapi berkaitan
dengan prakarsa pihak lain sebagai hamba Allah yang juga otonom seperti
pernikahan. Ketiga, ibadah sosial: kegiatan interaktif antara seseorang individu
dengan pihak lain yang dibarengi dengan kesadaran diri sebagai hamba Tuhan untuk
42
memperoleh kemaslahatan bersama seperti hubungan ekonomi, politik, sosial,
budaya, keamanan dan sebagainya baik bersifat regional, nasional maupun
internasional.
2. Khalifah Tuhan di muka bumi
Khalifah dapat berarti wakil Tuhan di muka bumi yang menjadi mandataris -
Nya dalam mengelola, memanfaatkan dan mengembangkan alam semesta (QS. Al-
Baqarah: 30, QS Shad: 26). Khalifah juga berarti pengganti dan penerus person yang
mendahuluinya untuk melestarikan nilai -nilai lama yang baik dan mengambil nilai -
nilai baru yang lebih baik (QS. Al-Anam:165) serta sebagai pewaris-pewaris di bumi
untuk meneruskan apa yang sudah dilaksanakan pendahulunya dan menyempurnakan
keadaan yang lebih baik (QS. Al-Naml: 62).
Memulai aktivitas, seperti dalam Islam, dengan bacaan basmalah memiliki
arti atas nama Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Aktivitas apa
pun yang dilakukan oleh aparatur semata-mata atas nama Tuhan yang bertujuan
merealisasikan tugas-tugas kekhalifahan. Karena aktrivitas itu mengatasnamakan Zat
Yang Maha Pengasih dan Penyayang maka kualitas aktivitas aparatur harus sebaik
mungkin, yang karenanya dapat membuat jiwa yang lain menjadi puas dan
menyenangkan. Setelah selesai beraktivi tas diakhir dengan bacaan hamdalah, Segala
puji bagi Allah Tuhan sekalian alam. yang berarti bahwa aparatur telah
melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai kapabilitas yang dimiliki untuk kemudian
dikembalikan pada yang memberi mandat kepadanya. Pelaksanaan mandat yang
optimal karena petunjuk dan anugerah dari Tuhan, sedangkan ketidaksempurnaan
semata-mata karena kekurangan dan kelemahan manusia yang perlu diperbaiki.
Implikasi pembahasan fungsi kehidupan manusia sebagai aparatur dalam
bekarja adalah:
1. Bekerja merupakan bagian dari ibadah yang tidak saja berdimensi kemanusiaan
tetapi juga berdimensi ketuhanan. Sebagai suatu ibadah, maka segala prosedur
baik dan benar dalam bekerja harus diikuti. Pelanggaran terhadap tata aturan
yang telah ditetapkan akan merusak nilai spiritualitas dalam bekerja.
2. Bekerja merupakan bagian dari pemenuhan tugas -tugas kekhalifahan dengan cara
memberi pelayanan yang prima pada semua stakeholders agar terwujud
kemaslahatan dan kesejahteraan lahir -batin. Karena atas nama Tuhan, maka
realisasi kerja jangan sampai mengecewakan pihak yang memberi mandat.
Penyalahgunaan wewenang merupakan pengkhianatan terhadap mandat yang
diberikan.
D. Kewajiban dan Larangan Aparatur Negara
Ketika seorang pegawai menjadi aparatur nergara, sesungguhnya ia t elah
membangun komitmen untuk memikul amanah. Segala daya dan upaya dikerahkan
dalam rangka pemenuhan amanah tersebut. Tentu saja dalam pemenuhan amanah
tersebut diatur oleh undang-undang yang dikenal dengan istilah kewajiban dan
larangan.
Sesuai dengan UU No. 43/99-8/74, PP. 37/2004, PP 30 Tahun 1980, Pegawai
Negeri Sipil memiliki kewajiban, larangan dan hak, sebagai berikut:
43
1. Kewajiban Pegawai Negeri Sipil
a. Setia dan taat sepenuhnya pada Pancasila, UUD 1945, negara, dan pemerintah;
b. Menjaga keutuhan, kekompakan, dan persatuan Korpri, terutama persatuan
dan kesatuan bangsa, dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta
mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan golongan atau diri
sendiri;
c. Mentaati segala peraturan perundangan yang berlaku dan melaks anakan tugas
kedinasan, dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab;
d. Menyimpan rahasia jabatan;
e. Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat negara, pemerintah, dan PNS
(menjadi teladan) dan saling menghormati sesama warga negara;
f. Mengangkat dan mentaati sumpah/janji PNS dan sumpah/janji jabatan;
g. Menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik, bekerja dengan jujur,
tertib, cermat, dan semangat untuk kepentingan negara;
h. Memberi pelayanan kepada masyarakat dengan sebaik -baiknya;
i. Terhadap bawahan, bertindak tegas, adil dan bijaksana, membimbing,
mendorong untuk maju, dan memberikan contoh yang baik.
2. Larangan Pegawai Negeri Sipil
a. Melakukan perbuatan yang menurunkan citra/kehormatan/martabat negara,
pemerintah, dan PNS, serta menyalahgunakan wewenang;
b. Menjadi anggota atau pengurus Parpol;
c. Melakukan pungutan tidak sah, menerima hadiah yang berkaitan dengan
jabatan/pekerjaan PNS yang bersangkutan, dan melakukan kegiatan untuk
keuntungan pribadi/golongan yang merugikan negara;
d. Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahan dan melakukan balas dendam;
e. Mempersulit masyarakat yang dilayani, menghalangi kelancaran tugas
kedinasan, dan membocorkan rahasia negara;
f. Tanpa izin resmi menjadi pegawai/bekerja pada negara asing;
g. Memiliki saham, melakukan usaha dagang, men jadi direksi, pimpinan atau
komisaris perusahaan swasta golongan IV/a ke atas atau eselon I, dan golongn
III/d ke bawah harus mendapat izin tertulis dari pejabat yang berwenang.
E. Kode Etik dan Sanksi Aparatur Negara
Berdasarkan keputusan Munas Kelima Korp ri Nomor Kep-06/Munas/1999
tanggal 6 Februari 1999, tentang Panca Prasetia Korpri, yaitu:
44
a. Setia dan taat kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Undang -Undang
Dasar 1945;
b. Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara, serta memegang teguh rahasia
jabatan dan rahasia negara;
c. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan pribadi
dan golongan;
d. Bertekad memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, serta kesetiaan korps
pegawai RI;
e. Berjuang menegakkan kejujuran dan keadilan, serta kese jahteraan dan
profesionalisme.
Dalam pelaksanaan tugas kedinasan dan kehidupan sehari -hari, setiap Pegawai
Negeri Sipil wajib bersikap dan berpedoman pada etika dalam bernegara,
penyelenggaraan Pemerintahan, berorganisasi, bermasyarakat, serta terhadap dir i
sendiri dan sesama Pegawai Negeri Sipil yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode
Etik Pegawai Negeri Sipil.
1. Etika dalam bernegara meliputi:
a. Melaksanakan sepenuhnya Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. Mengangkat harkat dan martabat bangsa dan negara;
c. Menjadi perekat dan pemersatu bangsa dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia
d. Mentaati semua peraturan perundang -undangan yang berlaku dalam
melaksanakan tugas;
e. Akuntabel dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan yang
bersih dan berwibawa;
f. Tanggap, terbuka, jujur, dan akurat, serta tepat waktu dalam melaksanakan
setiap kebijakan dan program pemerintah;
g. Menggunakan atau memanfaatkan semua sumber daya negara secara efisien
dan efektif;
h. Tidak memberikan kesaksian palsu atau keterangan yang tidak benar.
2. Etika dalam berorganisasi adalah:
a. Melaksanakan tugas dan wewenang sesuai ketentuan yang berlaku;
b. Menjaga informasi yang bersitat rahasia;
c. Melaksanakan setiap kebijakan yang dit etapkan oleh pejabat yang berwenang;
d. Membangun etos kerja untuk meningkatkan kinerja organisasi;
45
e. Menjalin kerja sama secara kooperatif dengan unit kerja/satker lain yang
terkait dalam rangka pencapaian tujuan;
f. Memiliki kompetensi dalam pelaksanaan tugas;
g. Patuh dan taat terhadap standar operasional dan tata kerja;
h. Mengembangkan pemikiran secara kreatif dan inovatif dalam rangka
peningkatan kinerja organisasi;
i. Berorientasi pada upaya peningkatan kualias kerja.
3. Etika dalam bermasyarakat meliputi:
a. Mewujudkan pola hidup sederhana;
b. Memberikan pelayanan dengan hormat dan santun tanpa pamrih dan tanpa
unsur pemaksaan;
c. Memberikan pelayanan secara cepat, tepat, terbuka, dan adil serta tidak
diskriminatif;
d. Tanggap terhadap keadaan lingkungan masyarakat;
e. Berorientasi kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam
melaksanakan tugas.
4. Etika terhadap diri sendiri meliputi:
a. Jujur dan terbuka serta tidak memberikan informasi yang tidak benar.
b. Bertindak dengan penuh kesungguhan dan ketulusan;
c. Menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan;
d. Berinisiatif untuk meningkatkan kualitas pengetahuan, kemampuan,
keterampilan, dan sikap;
e. Memiliki daya juang yang tinggi;
f. Memelihara kesehatan jasmani dan ruhani;
g. Menjaga keutuhan dan keharmonisan keluarga;
h. Berpenampilan sederhana, rapi, dan sopan.
5. Etika terhadap sesama Pegawai Negeri Sipil:
a. Saling menghormati sesama pegawai yang memeluk agama/kepercayaan yang
berlainan;
b. Memelihara rasa persatuan dan kesatuan sesama Pegawai Negeri Sipil;
c. Saling menghormati antara teman sejawat, baik secara vertikal maupun
horizontal dalam suatu unit kerja/satker, instansi, maupun antarinstansi;
d. Menghargai perbedaan pendapat;
e. Menjunjung tinggi harkat dan martabat PNS;
46
f. Menjaga dan menjalin kerja sama yang kooperatif sesama Pegawai Negeri
Sipil;
g. Berhimpun dalam satu wadah Korps Pegawai Republik Indonesia yang
menjamin terwujudnya solidaritas dan soliditas semua Pegawai Negeri Sipil
dalam memperjuangkan hak-haknya.
Terhadap PNS yang melakukan pelanggaran apalagi sudah menjurus pada
perilaku pidana kejahatan, akan dikenai sanksi dari mulai yang paling ringan sampai
terberat (pemberhentian).
Tingkat dan jenis hukuman disiplin adalah:
1. Hukuman disiplin ringan
a. Teguran lisan
b. Teguran tertulis
c. Pernyataan tidak puas secara tertulis
2. Hukuman displin sedang
a. Penundaan kenaikan gaji berkala (KGB) untuk paling lama 1 (satu) tahun
b. Penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1
(satu) tahun
c. Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu) tahun.
3. Hukuman disiplin berat
a. Penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling
lama 1 (satu) tahun.
b. Pembebasan dari jabatan.
c. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai
Negeri Sipil.
d. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.
47
Daftar Pustaka
Undang-undang
Abu al-Baqa' Ayyub ibn Musa al -Husain, Al-Kulliyah; Mujam fi al -Mushthalah wa
al- Furuq al-Lughawiyah, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1992
Ashfahani, al-Raghib, Mu'jam Mufradt Alfz al -Qur`an Beirut: Dar al-Fikr,
1972
Gary Yulk, Kepemimpinan dalam Organisasi, Jakarta: Indeks, 2007
Ghazaliy, Abu Hamid Muhammad, Ihy Ulm al-Dn, Beirut: Dar al-Fikr, 1980.
Gibson, Ivancevich dan Donnelly, Organisasi; Perilaku, Struktur, Proses, Jakarta:
Erlangga, 1982
Harold Koontz O Donnel dan Heinz We ihrich, Management, McGraw Hill
Kogaguska, 1980
Hasan Langgulung, Pendidikan Islam dan Peralihan Paradigma , Selangor: Hizbi,
1995
James P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, terj. Kartini Kartono, judul asli
Dictionary of Psychology, Jakarta: Rajawali, 1999
Keith Davis dan John W. Newstrom, Perilaku dalam Organisasi, terj. Agus Dharma,
Jakarta: Erlangga, 1996
Maraghiy, Ahmad Mushthafa, Tafsr al-Marghiy, Beirut: Dar al-Fikr, 1970
Maslow Abraham H., Motivation and Personality, New York: Harper and Row Pub.,
1970
Mujib, Abdul, Fitrah dan Kepribadian Islam, Sebuah pendekatan Psikologis, Jakarta:
Darul Falah, 1999
-----, Kepribadian dalam Kepribadian Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2006
Mushtafa al-Maraghiy, Tafsr al-Marghiy, Libanon: Dar al-Ahya', t.t.
Philip R. Newman and Barbara M. Newman, Psychology Homewood, Illinois: The
Dorsey Press, 1983
Richard M. Hodgetts dan Donald F. Kurako, Management, Sandiego: Harcourt Brace
Pub., 1988
Robbins, SP, 1996. Perilaku Organisasi : Konsep Kontroversi, Aplikasi . Ed
Indonesia, PT. Prenhallindo, Jakarta
48
LAMPIRAN EVALUASI KEGIATAN
A. Bahan diskusi dan Tinjauan
8. Pada hakikatnya manusia diciptakan oleh Tuhan dalam keadaan fitrah suci, bersih
dan tidak senang berbuat menyimpang (termasuk korupsi, kolusi dan nepotisme),
tetapi dalam perjalanan hi dupnya terdapat faktor eksternal yang buruk
mempengaruhinya, sehingga secara tidak sadar kondisi itu membentuk dan meng-
ubah perilakunya secara perlahan. Berilah penjelasan seberapa kuat faktor
eksternal mempengaruhi individu sehin gga mengubah fitrah aslinya! Dan
bagaimana keaslian fitrah individu itu tetap terjaga, sekalipun banyak godaan
eksternal yang menimpanya?
9. Kompetensi manusia dalam melaksanakan tugas tidak melibatkan perkalian antara
emampuan (abality), kemauan (motivation) dan kesempatan (opportunity).
Ketiganya menyatu dalam diri manusia untuk membentuk kekuatan perilaku.
Berilah contoh perilaku yang baik dan yang buruk terkait penggunaan ketiga
kompetensi tersebut!
10. Fungsi kehidupan manusia meliputi kehambaan dan kekhalifa han. Sebagai hamba
ia berkewajiban menjalankan ibadah secara baik dan benar, sedang sebagai
khalifah ia harus melaksanakan amanah, taat hukum dan memegang janji. Dalam
konteks pengawasan dengan pendekatan agama, jelaskan kedua fungsi itu
berkontribusi terhadap kinerja pegawai, baik terhadap pencegahan penyelewengan
maupun pelaksanaan perintah!
11. Anda telah mengetahui kewajiban dan larangan PNS. Berilah urutan menurut
pendapat anda berdasarkan tingkat kesulitan menjalankan kewajiban dan menjauhi
larangan!
12. Kenapa pada Pegawai Negeri Sipil perlu diberikan kode etik dan sanksi dalam
bekarja?
B. Asesmen Diri (Self Assesment)
TIPE KECERDASAN DAN POLA KERJA
Tuhan telah memberikan segala potensi pada hamba -Nya, termasuk pada kita semua.
Salah satu potensi itu adalah kecerdasan. Potensi kecerdasan itu perlu diaktualkan
dalam bentuk perilaku kerja yang nyata, sebab jika tidak berarti kita termasuk orang
yang tidak pandai bersyukur dalam menerima dan memanfaatkan anugrah. Tentunya
dalam pengembangan potensi itu diperlukan kerja keras, motivasi tinggi, dan belajar
49
terus-menerus, sehingga potensi itu menjelma dalam bentuk kemampuan yang
bermanfaat.
Asesmen diri berikut ini ingin mengetahui termasuk kelompok orang yang memiliki
tipe kecerdasan apa (analitik, kreatif atau prakt is) dan pola kerja apa yang cocok
untuk diri anda. Tentunya kesesuaian antara tipe kecerdasan dengan pola kerja yang
dilakukan akan memudahkan anda dalam bekerja. Berikut ini diberikan pernyataan-
pernyataan yang anda alami. Lingkarilah pada angka 1,2,3,4 a tau 5 sesuai dengan
yang bapak/Ibu alami. Angka 1 adalah untuk nilai yang paling rendah dan angka 5
adalah untuk nilai yang paling tinggi. Tidak ada jawaban yang salah, jawaban yang
paling tepat adalah jawaban yang paling sesuai dengan kondisi yang anda alami.
Selamat mengerjakan.
Kecerdasan Analitik:
NO Pernyataan Pilihan Jawaban
1 Memiliki ingatan yang baik dan mudah menangkap
tugas/pekerjaan
1 2 3 4 5
2 Berpikir logis sehingga mampu memahami sebab akibat 1 2 3 4 5
3 Gemar bertanya dan diskusi tentang suatu pekerjaan 1 2 3 4 5
4 Daya konsentrasi baik sehingga perhatian tidak mudah
teralihkan
1 2 3 4 5
5 Menguasai semua tugas dan tanggungjawab kerja 1 2 3 4 5
6 Senang belajar untuk meningkatkan pengetahuan yang
mendukung tata kerja
1 2 3 4 5
7 Mampu mengemukakan pendapat yang jelas tentang
perbaikan pekerjaan
1 2 3 4 5
8 Mengamati masalah pekerjaan dengan cermat 1 2 3 4 5
9 Menemukan kekeliruan dan kesalahan dengan cepat 1 2 3 4 5
10 Mampu membaca situasi dan kondisi kerja secara cepat 1 2 3 4 5
Nilai Total
Kecerdasan Kreatif
1 Rasa ingin tahu yang besar 1 2 3 4 5
2 Sering mengajukan pertanyaan 1 2 3 4 5
3 Banyak gagasan dan usul Bebas menyatakan pendapat 1 2 3 4 5
4 Menonjol dalam salah satu bidang seni 1 2 3 4 5
5 Sense of humor yang ti nggi 1 2 3 4 5
6 Daya imajinasi kuat 1 2 3 4 5
7 Memiliki cara tersendiri dalam melakukan pekerjaan 1 2 3 4 5
8 Mandiri dalam bekerja dan Teguh dalam pendirian 1 2 3 4 5
9 Senang mencoba hal-hal baru 1 2 3 4 5
10 Mampu mengembangkan ide-ide baru 1 2 3 4 5
Nilai Total
Kecerdasan Praktis
1 Tekun dalam menyelesaikan pekerjaan 1 2 3 4 5
2 Ulet dalam menghadapi kesulitan/tidak mudah putus
asa
1 2 3 4 5
3 Tidak perlu disuruh dalam bekerja 1 2 3 4 5
4 Berusaha berprestasi sebaik mungkin 1 2 3 4 5
50
5 Berpikir seperti orang bijak 1 2 3 4 5
6 Senang melakukan pekerjaan yang menantang 1 2 3 4 5
7 Senang melakukan pekerjaan yang beragam 1 2 3 4 5
8 Berpikir jangka panjang dalam bekerja 1 2 3 4 5
9 Berkeinginan mendalami pengalaman yang diterima 1 2 3 4 5
10 Rajin dan bersemangat dalam meningkatkan kinerja 1 2 3 4 5
Nilai Total
Rakap nilai kecerdasan
Kecerdasan Skor
Analitik
Kreatif
Praktis
Keterangan:
Skor maksimal kecenderungan masing-masing kecedasan : 50
Skor 1 - 16 = kurang
Skor 17 - 34 = sedang
Skor 35 - 50 = tinggi
Kecerdasan analitik = pemikir dan konseptor
Kecerdasan kreatif = inovatif dan elaboratif
Kecerdasan praktis = teknis, operasional dan administratif
Contoh :
Skor Analitik = 40, nilai kreatif = 20, nilai praktis = 25
Jadi anda termasuk orang yang cenderung memiliki kecerdasan analitik yang cocok
sebagai aparatur yang bertugas sebagai pemikir dan konseptor dan inovator.
51
LAMPIRAN DALIL-DALIL DALAM AGAMA ISLAM
(DASAR AYAT-AYAT AL-QURAN DAN HADIS NABI)
A. Fitrah Manusia
1. Hekat fitrah manusiua
Setiap manusia memiliki fitrah yang berarti citra asli yang ditetapkan oleh Allah
SWT sejak awal kelahirannya
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetap lah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui. (QS. Al -Rum:30)
Fitrah manusia secara potensial bisa baik bisa buruk, ya ng aktualisasinya sangat
tergantung pada pilihan manusia setelah menggunakan segala potensi yang
dimiliki
Firman Allah SWT
Dan Allah telah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam kondisi tidak
mengetahui apa-apa. Dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati
agar kamu bersyukur. (Q.S. al -Nahl:78)
Aktualisasi fitrah yang baik menjadi baik dan yang buruk akan menjadi buruk,
namun keberuntungan bagi yang mengaktualisasikan fitrah yang baik
Firman Allah SWT:
- - -
Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya berunt unglah
orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya. (QS. Al -Syams:7-10)
Fitrah baik merupakan fitrah primer, sedang fitrah buruk merupakan fitrah
skunder, termasuk akibat godaan syetan
Sesungguhnya Aku (Allah) menciptakan hamba -hamba-Ku dalam keadaan hanif
(kontinue dan selamat). Maka syetanlah yang menarik pada keburukan. (HR.
Ahmad ibn Hambal dari Iyadh ibn Humair)
Kejahatan dan keburukan manusia diseb abkan karena faktor lingkungan, terutama
lingkungan terdekat seperti orang tua, teman, dan tetangga
Seseorang tidak dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang
tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nashrani, dan Majusi, dalam riwayat lain
musyrik. (H.R. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Fitrah manusia memerlukan pentunjuk wahyu, agar tidak mengalami anom ali dari
citra aslinya
52
Sabda Nabi SAW:
-
(Allah) yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan -Nya), dan yang
menentukan kadar dan diberi petunjuk. (QS. al -Ala:2-3)
2. Jenis-jenis fitrah manusia:
Semua manusia memiliki fitrah bertuhan, sekalipu n fitrah itu belum mengaktual
secara nyata
Firman Allah SWT
Dan (ingatlah), ketika Tuhan-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman); Bukankah Aku ini Tuhan-mu? Mereka menjawab; Tentu (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi. (Q.S. al -Araf:172)
Semua manusia memiliki fitrah ber ibadah, karena ibadah menjadi realisasi diri
yang terdekat dari fitrah asli yang suci dan bersih
Mengapa aku tidak menyembah (Allah) yang telah mencipta kanku. (QS.
Yasin:22)
Semua manusia memiliki fitrah bersosial dengan membangun interaksi dan
komunikasi satu dengan yang lain
Firman Allah SWT:
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka
berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia. (QS.
Ali Imran:112)
Semua manusia memiliki fitrah bersusila dengan menggunakan akhlak mulia,
karena misi kerasulan Nabi Muhammad adalah memperbaiki susila
Sabda Nabi SAW:
Aku diutus untuk memperbaiki kemuliaan kepribadian. (HR. Malik bin Anas dari
Anas bin Malik)
Semua manusia memiliki fitrah berekonomi untuk mempertahankan hidupnya,
seperti mencari rizqi sebagai sarana mengabdi kepada Allah SWT.
Firman Allah SWT
Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah
kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah
Tuhan Yang Maha Pengampun. (QS Saba:15)
Semua manusia memiliki fitrah seni, untuk perhiasan dan keindah an hidup
Sabda Nabi SAW:
Sesungguhnya Allah itu Indah maka Dia senang dengan keindahan. (HR. Muslim
dari Ibn Masud)
Semua manusia memiliki fitrah sifat -sifat Allah yang tertuang di dalam Asmaul
Husna. Manusia yang memiliki citra ketuhanan adalah mereka yang
53
mentransformasikan dan menginternalisasikan sifat-sifat Tuhan pada dirinya
sebatas kemampuannya
Sabda Nabi SAW (aw kama qala)
Berakhlaklah kamu seperti akhlak Allah, sebatas pada kemampuan kemausiaan.
Allah itu memiliki 99 nama yang baik. Barang siapa yang menghafalnya maka ia
masuk syurga. (HR. al -Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
B. Kompetensi Manusia
Manusia diciptakan oleh Allah sebaik -baik bentuk diantara mahluk-mahluk yang
lain
Firman Allah SWT
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dal am bentuk yang sebaik-
baiknya. (QS. al-Tin: 4).
Dia membentuk rupamu dan dibaguskan -Nya rupamu itu. (QS. al-Taghabun:3).
Kesempurnaan manusia tidak semata-mata pisik, tetapi pendayagunaan potensinya
untuk mengamban amanah sebagai khalifah
Firman Allah SWT
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin
dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk
memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka
mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat -ayat
Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.
Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al-Araf:179)
Dalam diri manusia terdapat hati (qalbu) yang menjadi pusat kepribadiannya. Jika
ia baik seluruh diri baik, jika ia buruk maka seluruhnya buruk.
Sabda Nabi SAW:
Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila ia baik maka
semua tubuh menjadi baik, tetapi apabila ia rus ak maka semua tubuh menjadi
rusak pula. Ingatlah bahwa ia adalah kalbu. (H.R. al -Bukhari dari Numan ibn
Basyir)
maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati
yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan
54
itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah m ata itu yang buta,
tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (QS. Al -Hajj:46)
Dalam diri manusia juga ada hawa nafsu yang selalu mengajak keburukan
Firman Allah SWT
Sesungguhnya nafsu i tu selalu menyerukan kepada kejahatan, kecuali nafsu yang
diberi rahmat oleh Tuhanku. (QS. Yusuf:53)
Firman Allah SWT:
-
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan
diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempat
tinggalnya. (QS. al-Naziat:40-41)
Dinamika kehidupan manusia sangat tergantung pada pada penggunaan struktur
hati dan hawa nafsu. Jika dimenangkan hati maka kepribadiannya menjadi baik
yang senang berlomba dalam kebaikan. Jika didimenangkan hawa nafsu
kepribadiannya menjadi buruk yang menzalimi dirinya sendiri
Firman Allah SWT:
Lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara
mereka ada yang pertengahan dan di antara me reka ada (pula) yang lebih dahulu
berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat
besar. (QS. Fathir:32)
Setiap individu memiliki kemampuan yang khas satu dengan yang lain
Firman Alllah SWT:
Berbuatlah menurut kemampuanmu. (QS. Hud:93)
Tiap-tiap individu memiliki kelebihan, baik dalam aspek rizqi, kemampuan,
pengetahuan dan sebagainya
Firman Alah SWT:
Dan Allah melebihkan sebahagian kamu da ri sebahagian yang lain dalam hal rezki
(QS. Al-Nahl:71)
Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau
mengingkari (akan ni`mat -Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka
sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa
yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia. (QS. Al-
Naml:40)
Yang membedakan kemampuan satu orang dengan orang yang lain adalah ilmu
pengetahuan.
Firman Allah SWT:
Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang
yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat
menerima pelajaran. (QS. Al-Zumar:9)
55
Dengan berbekal segala kemampuan yang dimiliki manusia dituntut berkualitas
dalam bekerja.
Firman Allah SWT:
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu
yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Al-
Mulk:2)
C. Fungsi kehidupan manusia
Satu-satunya mahluk yang mau memikul amanah dari Allah SWT adalah manusia.
Jika ia mampu mengembannya maka mulialah diri, jika tidak maka ia tergolong
bodoh dan zalim
Firman Allah SWT:
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir dan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. (QS. al -Ahzab: 72).
Amanah Allah yang diberikan kepada manusia di antar anya adalah mengabdi
(beribadah) kepada-Nya, baik beribadah dalam arti sempit seperti shalat, puasa,
zakat, dan haji juga ibadah dalam arti luas seperti kekerja dengan niatan lillahi
taala
Firman Allah SWT:
-
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikitpun dari mereka da n Aku
tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. (Q.S. al -Dzaariyat:56-
57).
Amanah Allah yang berikutnya adalah menjadi khalifah di muka bumi, sehingga
tugas manusia adalah memakmurkan bumi dengan segala potensi yang dimiliki
Firman Allah SWT
Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa -penguasa di bumi dan Dia
meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk
mengujimu tentang apa yang diberikan -Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu
amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (QS. Al-Anam:165)
D. Kewajiban dan laranggan serta Kode etik dan Sanksi Pegawai
Setiap aparat harus tunduk kepada aturan Allah, Rasulullah dan pemerintah yang
sah, selama aturan pemerintah itu tidak bertentangan dengan aturan Allah dan
rasul-Nya.
Firman Allah SWT:
56
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. (QS. Al -Nisa:59)
Kewajiban bekerja yang baik, dengan melakukan perintah dan menjauhi larangan,
agar mendapatkan balasan yang baik pula, seperti peningkatan gaji, promosi karir,
maupun penghargaan dalam bantuk non material
Firman Allah SWT
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki -laki maupun perempuan
dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al-
Nahl:97)
Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya pahala yang
terbaik sebagai balasan, dan akan kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah
dari perintah-perintah kami". (QS. Al-Kahfi:88)
Larangan melanggar aturan, selain merugikan dirinya dan institu si di mana ia
bekerja juga akan mendapatkan hukuman
Firman Allah SWT:
(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu
teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk
menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang -
orang yang rugi. (QS. Al-Baqarah:27)
Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul -Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka
sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (QS. Al-
Nisa:14)
57
SILABUS MODUL III
BUDAYA KERJA MELALUI PENGAWASAN DENGAN PENDEKATAN
AGAMA DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN AGAMA
TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM:
Setelah menyelesaikan sesi ini, diharapkan peserta dapat memahami budaya kerja
melalui Pengawasan dengan Pendekatan Agama ya ng berhubungan dengan
pekerjaannya masing-masing.
TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS:
Diakhir sesi ini peserta dapat:
10. Menjelaskan pengertian budaya kerja melalui Pengawasan dengan Pendekatan
Agama.
11. Menguraikan arti penting budaya kerja melalui Pengawasan dengan Pendekatan
Agama di lingkungan Departemen Agama.
12. Mendiskusikan nilai dasar, persepsi dan sikap kerja yang terkandung di dalam
budaya kerja melalui Pengawasan dengan Pendekatan Agama.
13. Membandingkan penerapan antara budaya kerja melalui Pengawasan dengan
Pendekatan Agama dan penerapan budaya kerja melalui pengawasan model lain.
14. Mengidentifikasi kebermaknaan budaya kerja melalui Pengawasan dengan
Pendekatan Agama dengan kinerja aparatur di lingkungan Departemen Agama.
MATERI
11. Latar belakang arti penting buda ya kerja melalui PPA
12. Pengertian Budaya Kerja
13. Nilai dasar budaya kerja Departemen Agama melalui PPA
14. Persepsi dalam budaya Kerja Departemen Agama melalui PPA
15. Sikap dalam budaya kerja Departemen Agama melalui PPA
16. Faktor-faktor yang menumbuhkan budaya kerja me lalui PPA di lingkungan
Departemen Agama.
58
METODE
7. Presentasi dengan menggunakan power point
8. Curah Pendapat dan tanya jawab
9. Focused group discussion (FGD) dalam kerja kelompok
10. Game dan simulation (indoor)
MEDIA
7. LCD dan Laptop
8. Peralatan game dan simulation
RENCANA PEMBELAJARAN
WAKTU : Sesi ini memerlukan waktu 300 Menit
SESI III
BAGIAN A
Topik
Metoda
Waktu
:
:
:
Konsep dasar budaya kerja melalui Pengawasan dengan Pendekatan
Agama di lingkungan Departemen Agama
Ceramah dengan presentasi power point
60 menit
BAGIAN B
Topik
Metoda
Waktu
:
:
:
Problem dan solusi dalam pemahaman dan penerapan budaya kerja
melalui Pengawasan dengan Pendekatan Agama di lingkungan
Departemen Agama
Curah pendapat dan tanya jawab
60 menit
BAGIAN C
Topik
Metoda
Waktu
:
:
:
Pemantapan hasil ceramah dan diskusi budaya kerja melalui
Pengawasan dengan Pendekatan Agama di lingkungan Departemen
Agama
Focused group discussion (FGD) dalam kerja kelompok
60 menit
BAGIAN D
Topik : Penerapan (dalam artifisial) budaya kerja melalui Pengawasan dengan
Pendekatan Agama di lingkungan Departemen Agama
59
Metoda
Waktu
:
:
Game dan simulation (indoor)
120 menit
SIMULASI
Pada kegiatan ini peserta akan dibagi menjadi 3 kelompok. Masing -masing kelompok
diberi tugas untuk mengidentifi kasi persoalan-persoalan yang muncul dalam budaya
kerja melalui PPA serta bagaimana solusinya, baik terkait dengan aparatur maupun
institusinya. Hasil diskusi masing-masing kelompok peserta ditulis di papan tulis dan
kelompok lain dimintai tanggapannya.
EVALUASI KERJA
Evaluasi dilaksanakan secara partisipatif dipandu oleh fasilitator, baik dalam bentuk
pembahasan bahan diskusi dan tinjauan serta self assessment.
60
MODUL III
BUDAYA KERJA MELALUI PENGAWASAN DENGAN PENDEKATAN
AGAMA DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN AGAMA
3. Pendahuluan
Bekerja merupakan cara individu untuk mengaktualisasikan dirinya dalam
mewujudkan nilai-nilai dan keyakinan yang dianut. Bekerja tanpa nilai dan keyakinan
akan berdampak pada disorientasi kerja yang akhirnya dapat melahirkan kehampaan
makna. Semua aparatur tentu tidak menghendaki hilangnya kebermaknaan dalam
kerjanya. Nilai-nilai yang dijadikan dasar dalam bekerja tidak semata -mata didasarkan
atas keinginan pribadi, melainkan juga atas keinginan kolektif yang dapat memayungi
semua sikap dan perilaku pegawai. Nilai kolektif yang melembaga di suatu instansi
atau satuan organisasi/kerja yang dilaksanakan dan dibudayakan secara terus -menerus
itulah yang disebut budaya kerja.
Beberapa potensi dan kompetensi seperti kecerdasan, keahlian, kreativ itas dan
motivasi yang tinggi bagi aparatur negara merupakan komponen yang menentukan
kredibilitas sumber daya manusia di suatu instansi atau satuan organisasi/kerja.
Namun berbagai potensi dan kompetensi tersebut tidak menjamin baiknya kinerja bila
masing-masing pegawai belum memiliki satu budaya kerja yang sama. Maksud
budaya kerja yang sama adalah sebuah pola pikir yang membuat mereka memiliki
persepsi sama tentang nilai dan keyakinan yang dapat membantu mereka memahami
bagaimana seharusnya berperilaku dan bekerja di tempat mereka bekerja.
Budaya kerja Departemen Agama dapat digali dari logo Departemen Agama
yang bertuliskan Ikhlas Beramal. Nilai tersebut perlu direvitalisasi, di mana
pemahaman atas kata beramal diharapkan dapat membentuk produktivita s kerja
yang dilakukan berdasarkan niat ikhlas dalam rangka mengabdikan diri kepada Tuhan
untuk kebaikan dan kemajuan bangsa dan negara. Tentu saja pandangan ini akan
menggugah kesadaran bersama terhadap kedudukan aparatur negara sebagai pelayan
masyarakat.
Banyak kalangan dari berbagai lapisan menaruh harapan besar terhadap
profesionalisme aparatur Departemen Agama Republik Indonesia. Selain karena nilai
dasar yang dikembangkan Ikhlas Beramal, Departemen Agama memiliki visi dan
misi yang mengarah pada pembinaan dan pembimbingan moral -keagamaan bangsa
Indonesia. Citra moral -keagamaan begitu melekat pada Departemen Agama dalam
61
penciptaan bangsa Indonesia yang bermartabat, mulia dan berakhlakul karimah.
Harapan besar ini sedapat mungkin dapat dipenuhi oleh pihak-pihak terkait dalam
pembentukan dan pelaksanaan budaya kerja melalui Pengawasan dengan Pendekatan
Agama (PPA).
Budaya kerja dapat dikenali wujudnya dari nilai -nilai yang terkandung di
dalam sikap dan perilaku seseorang, kelompok, institusi, dan sist em kerja ketika
seorang aparatur negara melaksanakan tugas. Budaya kerja yang kuat menuntut
perilaku seseorang secara terpola dalam satu sistem kerja, yang memungkinkannya
dapat mengerjakan suatu pekerjaan lebih baik dan terpuaskan dan dapat
membangkitkan kemampuan beradaptasi dengan keadaan yang berbeda.
Mengapa diperlukan budaya kerja melalui PPA? Apakah penerapan budaya
kerja yang ada selama ini belum memberikan penciptaan suasana kerja yang
diinginkan? Budaya kerja yang selama ini diterapkan secara be rtahap telah
memberikan kontribusi yang besar dalam pembinaan dan pengembangan SDM
aparatur, tetapi hal itu membutuhkan biaya dan waktu lama. Dengan melibatkan unsur
PPA, diharapkan budaya kerja akan lebih efisien dan efektif diterapkan. Aksentuasi
penerapan budaya kerja melalui PPA lebih menekankan pada penyadaran diri dan
menyentuh hal paling hakiki dan fitri dalam kehidupan aparatur sebagai makhluk
yang beragama. Unsur spiritualitas dan religiusitas ditumbuhkan pada masing -masing
aparatur dalam penerapan budaya kerja melalui PPA agar dapat menyentuh sisi
terdalam hati nuraninya, sehingga mereka mau dan mampu
mempertanggungjawabkan amanah kerja yang telah diterima.
Pertanggungjawaban aparatur melalui PPA tidak saja berhenti pada atasan,
institusi, bangsa dan negara, tetapi akan terus berlanjut kepada Tuhan, Pencipta dan
Pengawas atas segala yang diperbuat manusia. Lolos dari jerat hukum duniawi atau
pemeriksaan KPK sekalipun, bukan termasuk strategi jitu untuk melakukan tindakan
yang melanggar hukum, karena keadilan yang sesungguhnya ada di sisi Tuhan kelak.
Keyakinan akan agama bagi aparatur menuntut adanya sikap dan perilaku yang baik
dan patut sesuai ketentuan yang ditetapkan.
Dari sisi konten, budaya kerja yang diturunkan dari PPA memiliki nilai yang
relatif konstan, universal dan dapat diterapkan kapan saja, dimana saja dan untuk
siapa saja. Karakteristik nilai tersebut ada karena PPA bersumber dari agama yang
diturunkan dari Yang Maha Mutlak dan Abadi, yakni Tuhan. Salah satu contoh yang
menunjukkan universalitas budaya kerja berdasarkan PPA adalah sikap jujur. Sikap
62
jujur yang didasarkan atas budaya kerja manusia pada umumnya bersumber dari
kesepakatan bersama yang diketahui melalui penelitian empiris, dimana tingkat
kejujuran tidak mutlak seratus pers en. Hasil penelitian itu kemudian menelorkan
rekomendasi yang dianjurkan untuk para pegawai: Jujurlah, tetapi jangan
sepenuhnya, karena hal itu sangat membahayakan, bahkan sesekali perlu berbohong
untuk menghormati norma masyarakat, sehingga engkau diangg ap bijaksana.
Rekomendasi tersebut perlu dipertanyakan kenapa ketidakjujuran menjadi
sebuah kepribadian yang dianjurkan? Kenapa pula orang yang jujur terisolasi, dan
dianggap tidak menghormati norma yang berlaku, bahkan kurang bijaksana? Mengapa
orang yang jujur tidak diberi peran yang seharusnya baik dan tepat untuknya? Apakah
sikap bohong meski sedikit perlu dibudayakan dalam kerja? Bukankah Tuhan
melalui firman-Nya mengajarkan kita untuk bersikap jujur, walaupun pahit rasanya
(Perhatikan: QS Al-Baqarah [2]: 177; Ali Imrn [3]: 17; Al -Midah [5]: 119; Al -
Taubah [9]: 119; Al-Ahzb [33]:8,23-24,35; Al-Zumar [39]: 33; Muhammad [47]: 21;
dan Al-Hujurt [49]: 15)? Bukankah Nabi Muhammad SAW sebagai suri teladan
disegani oleh kawan dan lawan karena sikap j ujurnya, sehingga beliau diberi gelar al-
amn? Ilustrasi itulah yang menguatkan relevansi dan signifikansi budaya kerja
berdasarkan PPA.
4. Tujuan, Sasaran, Fungsi dan Manfaat Budaya Kerja Melalui PPA
f. Tujuan
Tujuan pengembangan budaya kerja melalui PPA di li ngkungan Departemen
Agama dapat diformulasikan sebagai berikut: Terbentuknya sikap dan perilaku kerja
yang mulia dan profesional bagi aparatur Departemen Agama yang didasarkan atas
nilai ikhlas-beramal sebagai suatu kebutuhan dalam mengembangkan seluruh
kemampuan, kemauan dan kesempatan dalam bekerja untuk mewujudkan tata kelola
pemerintahan yang baik.
g. Sasaran
1. Bagi aparatur Departemen Agama:
a. Menumbuhkembangkan kesadaran terpadu (cipta, rasa, karsa dan spiritual)
dalam memahami, menyikapi dan melaksanakan nilai-nilai budaya kerja
melalui PPA.
63
b. Memperbaiki cara berpikir ( mind set), persepsi dan sikap kerja ( perception
and attitude of work) dan mengelola perubahan ( change management ) dalam
penyelenggaraan pemerintahan melalui pelaksanaan budaya kerja dengan
PPA.
c. Mengaktualisasikan seluruh potensi aparatur, baik fisik, psikis, sosial dan
religius dalam implementasi budaya kerja melalui PPA.
d. Membentuk perilaku yang benar, baik, cerdas, dinamis, inovatif, kreatif dan
produktif pada aparatur dalam implementasi bud aya kerja melalui PPA.
e. Menyediakan sistem kontrol dari dalam diri sendiri yang mampu
mengembangkan profesionalisme dan penciptaan lingkungan yang kondusif
dalam rangka implementasi budaya kerja melalui PPA.
2. Bagi instansi Departemen Agama
a. Meningkatkan citra Departemen Agama sebagai institusi pemerintahan yang
bersih, berwibawa dan profesional menuju ke arah lebih baik setelah
melaksanakan budaya kerja melalui PPA.
b. Membuka jaringan komunikasi, keterbukaan, kebersamaan, kepemimpinan
partisipatif, suasana kerja yang kondusif dan mengembangkan jiwa gotong
royong melalui sentuhan nilai -nilai moral dan agama.
c. Mengubah budaya personal menjadi budaya kolektif dengan menumbuhkan
kepekaan sosial dalam memperbaiki kinerjanya secara berkelanjutan dan
mampu menjadi teladan bagi aparatur lainnya dalam melaksanakan tugas dan
fungsi sebagai aparatur Departemen Agama.
3. Bagi bangsa dan negara: membangun moral bangsa, mensinergikan program
pembangunan nasional, membangun tata pemerintahan yang baik dan
memperbaiki sistem manajemen pemerintahan, pembangunan dan pelayanan
masyarakat serta mempercepat proses pemberantasan KKN.
h. Fungsi
Budaya kerja sebagai pedoman perilaku ( code of conduct) yang mengatur,
memelihara serta mengarahkan kegiatan aparatur agar mencapai produktivitas
organisasi, sehingga ia berfungsi sebagai identitas dan citra organisasi, pengikat
anggota organisasi, sumber inspirasi dan daya penggerak, kemampuan untuk
membentuk nilai tambah, membentuk pola perilaku anggota organisasi, cagar filosofi
organisasi, substitusi perintah formal, dan mekanisme adaptasi terhadap perubahan.
64
Secara teoretis, budaya kerja berfungsi sebagai: (1) Fungsi pemahaman
(understanding); memahami apa dan bagaimana budaya kerja yang diberlakukan
dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai ap aratur; (2) Fungsi pengendalian
(control); memberi arah yang efektif dan efisien untuk berbagai tingkah laku aparatur
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidupnya; (3) Fungsi prediksi ( prediction);
memberi gambaran mengenai kondisi tingkah laku aparatu r di masa mendatang serta
memperkirakan hal-hal yang akan terjadi pada periode waktu tertentu; (4) Fungsi
pengembangan (development); memperluas dan memperbarui kinerja dan
profesionalisme kerja; dan (5) Fungsi pendidikan ( education); meningkatkan kualitas
perilaku aparatur; menunjukkan tingkah laku yang benar dan baik; dan memberi
arahan bagaimana mengubah tingkah laku yang salah menjadi benar sehingga
membentuk kualitas diri yang sempurna.
i. Manfaat
Manfaat pengembangan budaya kerja melalui PPA adalah:
4. Bagi aparatur Departemen Agama: memperoleh kesempatan untuk berperan,
berprestasi, merasakan kebanggaan kerja, ikut me miliki dan bertanggung jawab
dalam melaksanakan tugas dan pengabdiannya sebagai aparatur Departemen
Agama dengan dijiwai semangat ikhla s-beramal.
5. Bagi instansi Departemen Agama: membuka jaringan komunikasi, keter bukaan,
kebersamaan, menumbuhkan kepemimpinan partisipatif dan suasana kerja yang
kondusif dan menyenangkan, serta mengembangkan jiwa gotong royong. Pelak -
sanaan budaya kerja juga dapat membantu pengembangan sistem ketatalaksanaan
dan metode kerja praktis yang semakin efisien melalui sentuhan nilai -nilai moral
dan agama, dan berpikir positif, memperbarui sikap mental dan peri laku sebagai
abdi negara dan pelayan masyarakat yang etis-bermoral dan profesional.
6. Bagi bangsa dan negara: mampu menjawab masalah -masalah mendasar bangsa
terutama pembanguan moral bangsa, mensinergikan program pem bangunan
nasional, membangun tata pemerintahan yang baik dan memperbai ki sistem
manajemen pemerintahan, pembangunan dan pela yanan masyarakat serta
mempercepat proses pemberantasan KKN.
5. Budaya Kerja Melalui Pengawasan dengan Pendekatan Agama
65
j. Pengertian Budaya Kerja
Dalam beberapa literatur, para ahli memiliki perbedaan pendapat dalam
mendefinisikan budaya kerja. Selain karena pijakannya berbeda, batasan budaya kerja
terkait dengan variabel yang lain. Budaya kerja berkaitan erat dengan persepsi
seseorang terhadap nilai -nilai dalam suatu komunitas yang melahirkan makna dan
pandangan hidup, serta keinginan dan harapan yang akan mempengaruhi sikap dan
perilakunya dalam bekerja.
Budaya kerja adalah suatu falsafah yang didasari pandangan hidup sebagai
nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendorong yang dibudayakan dalam
suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang tecermin dalam sikap menjadi
perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan serta tindakan yang terwujud sebagai kerja
(Triguno: 2003).
Dalam buku Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara yang
diterbitkan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (2002) berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara RI Nomor 25/KEP/M -
PAN/4/2002 terdapat beberapa pengertian tentang budaya kerja, antara lain:
i. Budaya kerja adalah sikap dan perilaku individu dan kelompok aparatur negara
yang didasari atas nilai -nilai yang diyakini kebenarannya dan telah menjadi sifat
dan kebiasaan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan sehari -hari.
j. Budaya kerja adalah cara pandang seseorang terhadap bidang yang ditekuninya
dan prinsip-prinsip moral yang dimiliki, yang menimbulkan keyakinan yang kuat
atas dasar nilai-nilai yang diyakini, memiliki semangat yang tinggi dan
bersungguh-sungguh untuk mewujudkan prestasi kerja terbaik.
k. Budaya kerja adalah cara pandang atau cara seseorang memberikan makna
terhadap kerjanya.
Budaya kerja dalam suatu organisasi diartikan sebagai sistem nilai yang
diyakini semua anggota organisasi dan yang dipelajari, diterapkan serta
dikembangkan secara berkesinambungan. Budaya kerja juga berfungsi sebagai s istem
perekat dan dapat dijadikan acuan berperilaku dalam organisasi untuk mencapai
tujuan perusahaan, organisasi atau satuan kerja yang telah ditetapkan. Dalam definisi
tersebut terlihat bahwa budaya kerja organisasi memiliki empat unsur utama: adanya
sistem nilai yang diyakini semua anggota organisasi; nilai yang dikembangkan secara
66
berkesinambungan; berguna sebagai sistem perekat; dan dijadikan acuan berperilaku
dalam organisasi.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, budaya kerja dapat disimpulkan
sebagai: Cara pandang yang didasarkan atas nilai -nilai pandangan hidup yang
bermakna yang menjadi sifat, kebiasaan dan pendorong dalam suatu kelompok
masyarakat atau organisasi yang tecermin dalam sikap menjadi perilaku kerja yang
dibudayakan secara terus-menerus untuk mewujudkan prestasi kerja terbaik . Dalam
pengertian tersebut, terdapat tiga unsur pokok budaya kerja: (1) Cara pandang tentang
nilai yang tecermin dalam sikap menjadi perilaku kerja; (2) Nilai pandangan hidup
yang bermakna menjadi sifat, kebia saan dan pendorong dalam suatu kelompok
masyarakat atau organisasi ; dan (3) Dibudayakan secara terus -menerus dalam
mewujudkan prestasi kerja yang terbaik.
Penerapan budaya kerja memiliki tujuan untuk mengubah sikap dan perilaku
aparatur negara menuju tata kerja yang teratur, rapi, bersih dalam menggapai
peningkatan produktivitas dan kualitas kerja, agar pencitraan aparatur Departemen
Agama yang mengemban misi pembinaan moral -keagamaan bangsa menjadi lebih
baik dan berwibawa. Adapun nilai guna dari budaya ke rja adalah meningkatkan jiwa
gotong royong, meningkatkan kebersamaan, saling terbuka satu sama lain,
meningkatkan jiwa dan rasa kekeluargaan, membangun komunikasi yang lebih baik,
meningkatkan produktivitas kerja dan tanggap terhadap perkembangan dunia lua r.
Pola kerja yang didasarkan atas budaya kerja dapat disederhanakan dalam gambar
sebagai berikut:
Gambar 1: Alur Budaya Kerja
T o p
D o w n
M i d d l e
B e l u m m e m i l i k i
b u d a y a k e r j a
P r o s e s P e n y e s u a i a n
b u d a y a k e r j a
T e l a h t e r b e n t u k
b u d a y a k e r j a
T a h a p 1 T a h a p 1 I T a h a p I I I
A l u r P e n c i p t a a n B u d a y a K e r j a
67
Pada gambar tersebut dapat dipahami bahwa: (1) pelaksanaan budaya kerja
melibatkan semua komponen, mulai dari pimpinan (top), pegawai menengah (middle)
sampai pegawai bawaan (down). Budaya kerja bukan saja tanggung jawab pimpinan,
tapi juga perlu didukung dan dilaksanakan oleh semua lini; (2) pada tahap pertama,
masing-masing aparatur telah memiliki berbagai potensi dan kompetensi, tetapi apa
yang dimiliki belum terintegrasi dalam satu budaya kerja yang utuh. Mereka bekerja
sesuai kemauan dan kemampuan sendiri, tanpa mempedulikan visi dan misi institusi;
(3) Tahap kedua, masing-masing aparatur mulai sadar akan arti penting budaya kerja
setelah terjadi transformasi dan penyesuaian diri terhadap tugas dan fungsi di
lingkungan kerjanya, walaupun tata kerjanya belum menyatu sepenuhnya dalam satu
visi dan misi institusi yang menjadi acuan dalam budaya ker ja; (4) Tahap ketiga,
seluruh aparatur telah menerapkan budaya kerja dengan rapi, teratur dan disiplin
menuju satu visi dan misi institusi yang telah ditetapkan. Pembudayaan budaya kerja
tentunya membutuhkan usaha-usaha sosialisasi yang berkesinambungan.
k. Budaya Kerja Departemen Agama RI
l. Nilai Dasar Budaya Kerja
Dalam logo Departemen Agama Republik Indonesia tertera tulisan Ikhlas
Beramal. Kata ikhlas dan beramal menjadi satu kesatuan yang dalam
aplikasinya tidak dapat dipisahkan, sekalipun secara te oretis dapat didefinisikan
secara terpisah. Ikhlas menjadi nilai instrinsik individu dalam hubungannya dengan
keimanan dan keyakinan kepada Tuhan, sedangkan beramal lebih mengarah pada
nilai ekstrinsik sebagai realisasi diri individu dalam wujud aktivitas nyata. Dengan
beramal, keikhlasan seseorang menjadi aktual dan dengan ikhlas maka amalnya
menjadi bermakna dan memiliki nilai spiritual ketuhanan. Ikhlas tanpa beramal ibarat
pohon tanpa buah, sedangkan beramal tanpa ikhlas ibarat buah busuk jatuh dari
pohonnya. Sebuah hadis Nabi SAW yang berbunyi, Innaml amlu bi al -niyt
(Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya ) menunjukkan
interrelasi antara ikhlas dengan amal dan juga sebaliknya.
Secara etimologi ikhlas berarti murni, tidak terca mpur, bersih, jernih, bebas,
terhindar dan selamat dari keburukan. Secara terminologi, ikhlas berarti adanya
konsistensi dan komitmen perbuatan seseorang dengan alasan mengapa suatu
perbuatan dilakukan, yaitu semata -mata untuk Tuhan. Pengertian tersebut
mengandung arti bahwa ikhlas menuntut pemurnian aktivitas dari segala sesuatu yang
68
bernilai rendah dan buruk, menuju satu kualitas dan prestasi tertinggi dalam hidup,
sehingga aktivitas individu memiliki nilai lebih dari sekadar unsur material. Sekalipun
ikhlas tidak dapat diukur secara kuantitatif, tetapi gejala -gejala batiniah dan
implikasinya di ranah praktis dapat dirasakan oleh pelakunya.
Ikhlas dalam konteks kerja memiliki makna kerelaan ( ridha) yang datang dari
lubuk hati yang paling dalam untuk meneri ma dan melaksanakan amanah pekerjaan
dan semata-mata karena Tuhan. Firman Tuhan dalam QS Al -Anm [6] ayat 162
menyatakan: Inn shalat wa nusuk wa mahyya wa mamt lillhi rabb al -lamn
(Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan
sekalian alam), sejatinya memberikan sinyalemen akan arti penting ketulusan dalam
bekerja, karena kerja adalah ibadah, dan setiap ibadah membutuhkan hati yang bersih
dan murni serta tidak menuntut lebih selain apa yang seharusnya diterima.
Aplikasi ikhlas menuntut niat tulus dalam melakukan satu perbuatan, sebab
niat mengandung komitmen ruhaniah untuk melakukan perbuatan baik atau menjauhi
perbuatan buruk. Niat dalam ikhlas merupakan kesadaran dan komitmen ketuhanan
yang mendorong dan memotivas i individu untuk beraktivitas dalam pemenuhan
amanah. Tanpa niat yang kukuh maka aktivitas manusia tidak akan langgeng dalam
memperoleh kualitas. Niat harus ditopang oleh kemauan ( irdah) yang tinggi dan
kemampuan (qudrah) yang optimal, agar mampu mewujudk an suatu amal saleh.
Sedangkan beramal secara etimologi berarti beraktivitas, berusaha, berbuat,
bekerja, bertindak, berperilaku dan bertingkah laku. Secara terminologi, beramal
berarti kegiatan pengeluaran energi untuk menyelesaikan suatu tugas untuk
merealisasikan niat yang sudah ditetapkan. Wujud konkret amal dapat diklasifikasi
menjadi dua bagian: (1) jika berhubungan dengan Tuhan disebut amal -ritual (ibadah);
dan (2) jika berhubungan dengan sesama manusia disebut amal -kerja (muamalah).
Kedua jenis amal tersebut harus dilaksanakan secara terpadu dan seimbang, karena
kehidupan manusia tidak terlepas dari lingkar hubungan ketuhanan dan hubungan
manusia sekaligus.
Kata ikhlas beramal dalam konteks budaya kerja Departemen Agama
merupakan nilai dasar (basic value) yang membingkai seluruh bangunan kerja yang
dilakukan oleh para pegawai di lingkungan Departemen Agama. Sebagai nilai dasar,
ikhlas beramal menjadi spirit yang memancarkan energi yang menggerakkan sikap
(attitude) dan perilaku (behavior). Seluruh pegawai dituntut menyesuaikan diri
dengan nilai dasar ini, sehingga tercipta rasa identitas ( sense of identity) sebagai
69
pegawai Departemen Agama. Implementasi nilai dasar ini akan membedakan citra
unik pegawai Departemen Agama dengan pegawai departemen atau institusi yang
lain.
Nilai ikhlas beramal menjadi arah bersama yang menjelaskan karakteristik
fundamental seluruh pegawai dan sekaligus juga sebagai sistem kontrol ( control
system) yang memantau seluruh aktivitas yang dilakukan dalam meraih kualitas kerja
yang unggul. Nilai dasar ini tidak berarti mengekang dan mengikat secara pasif
potensi dan kreativitas individu, tetapi lebih memberikan arah dan makna bagi
aktivitasnya. Aktualisasi keberagaman potensi individual pegawai yang disinergikan
dengan nilai ikhlas beramal akan menghasilkan citra Departemen Agama yang
unggul, bersih dan berwibawa.
Nilai dasar ikhlas beramal dapat menggerakkan etos aparatur. Dengan nilai
dasar ini seseorang aparatur dapat menjelma menjadi sosok yang gigih, bersungguh -
sungguh dalam bekerja dan memiliki komitmen tinggi. Nilai dasar ini akan
mempengaruhi kualitas kerja karena pada prinsipnya setiap orang ingin
mengaktualisasikan nilai yang diyakini kebenarannya. Internalisasi suatu nilai dalam
diri aparatur secara sistematif me njadi penting. Di sinilah diperlukan pemikiran
cerdas, cermat serta pragmatis -konsepsional dalam mentransformasikan nilai menuju
penciptaan budaya kerja yang progresif -produktif.
Dengan melakukan kajian naskah atau dokumen yang dimiliki dan diterbitkan
oleh Departemen Agama, kata ikhlas beramal dapat diidentifikasi memiliki 3 (tiga)
fungsi:
6. Fungsi jati diri. Fungsi ini berlaku bagi individu aparatur Departemen Agama
yang merefleksikan karakter pribadi dalam kesiapannya melaksanakan tugas dan
kewajiban, baik dalam kehidupan selaku pribadi yang unik maupun dalam
interaksinya dengan keluarga dan masyarakat.
7. Fungsi kinerja. Fungsi ini berlaku sebagai landasan komitmen bekerja aparatur
yang siap mengabdikan dirinya (mulai melamar, bekerja sampai pengembangan -
karier) dengan penuh keikhlasan dan senantiasa mening katkan amal saleh (pro-
duktivitas dan profesionalitas), untuk melak sanakan tugas dan fungsi sebagai
aparatur Departemen Agama.
8. Fungsi dakwah. Fungsi ini berlaku sebagai citra kelembagaan yang menjadi
penjaga moral-keagamaan bagi bangsa Indonesia. Keberhasilan menebarkan
ikhlas beramal mencerminkan eksis tensi Departemen Agama sebagai garda
70
reformasi dan revitalisasi. Garda reformasi adalah peran pengawal reformasi
birokrasi pemerintahan sebagai koreksi atas tindak penyimpangan dalam penye -
lenggaraan pemerintahan. Garda revitalisasi adalah peran penyeru perbuatan baik
dan pencegah tindak kejahatan (amar marf nahi munkar).
Menteri Agama dalam sambutan tertulisnya pada upacara peringatan Hari
Amal Bakti ke-62 pada tanggal 3 Januari 2008, antara lain memuncul kan wacana
reformulasi makna ikhlas beramal dengan ber khidmat. Hakikat berkhidmat
mengacu pada pengertian melayani kepa da bangsa dan negara, organisasi, dan umat .
Jika demikian maksudnya maka nilai berkhidmat sesungguhnya telah menyatu
dalam ikhlas beramal.
Berdasarkan paparan di atas, maksud ikhlas beramal sebagai nilai dasar
budaya kerja Departemen Agama dapat diformulasikan sebagai: Bekerja secara total
tanpa pamrih Rumusan tersebut mengandung dua unsur utama:
l. Bekerja total: Mengerahkan segenap kemampuan, kemauan dan kesempatan untuk
mewujudkan kinerja sesuai tugas dan funginya sebagai aparatur Departemen
Agama.
m. Tanpa pamrih: Kerja dengan ketulusan hati dalam rangka beribadah kepada
Tuhan, demi mewujudkan kemaslahatan dan kemakmuran bangsa dan negara.
m. Persepsi Kerja
Persepsi adalah proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian objektif
dengan bantuan indra (Chaplin: 1999). Persepsi juga diartikan sebagai suatu proses
dimana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indra mereka
agar memberi makna kepada lingkungan mereka (Robbins:1996). Chaplin
menambahkan, persepsi merupakan kesadaran intuitif mengenai kebenaran langsung
atau keyakinan serta-merta mengenai sesuatu.
Pelaksanaan nilai dasar ikhlas beramal di lingkungan Departemen Agama
akan membentuk persepsi bagi seluruh aparatur. Pertama, para aparatur
memperhatikan pengalaman dan kejadian terhadap kerja yang dilakukan berdasark an
pengamatan selektif. Faktor organisme yang penting adalah minat, kepentingan dan
kebiasaan dalam bekerja. Kedua, para aparatur berusaha memahami dan mengenal
berbagai objek atau kejadian yang dialami, untuk kemudian membentuk konstansi
dalam melihat ciri pekerjaan, sekalipun terdapat banyak variasi dalam melihat kondisi
pekerjaan.
71
Persepsi kerja yang menjadi pijakan budaya kerja aparatur Departemen
Agama terakumulasi dalam tiga hal: (1) kerja adalah pelayanan; (2) kerja adalah
pemberdayaan; dan (3) kerja adalah peneladanan. Ketiga persepsi kerja ini menjadi
sumbu yang mengantarkan terwujudnya nilai dasar ikhlas beramal sehingga
menghasilkan sikap dan perilaku kerja yang diinginkan di lingkungan Departemen
Agama.
1. Kerja adalah Pelayanan
Pelayanan diartikan sebagai kesadaran diri yang diikuti kerendahan dan
kerelaan hati dalam berinteraksi langsung sebagai upaya melayani kebutuhan orang
lain, sehingga para stakeholders terpuaskan dan terbahagiakan. Menurut Ahmad
Batinggi (1999: 12), Pelayanan Umum dapat dia rtikan sebagai perbuatan atau
kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengurus hal -hal yang diperlukan
masyarakat. Pelayanan yang baik dan berkualitas adalah pelayanan yang cepat,
menyenangkan, tidak mengandung kesalahan dan mengikuti prosedur yang t elah
ditetapkan.
Pelayanan memiliki nilai altruistik dimana aparatur memberikan dan
mengerahkan segala yang dimiliki untuk kepentingan orang lain. Tatkala aparatur
melayani orang lain sesungguhnya ia telah memuliakan dirinya sebagai manusia,
karena ia memberi manfaat pada yang lain. Bekerja untuk kepentingan diri sendiri
adalah normal, selama tidak narsis yang mau enaknya sendiri. Akan tetapi jika dirinya
memancarkan cahaya keberkahan kepada sesuatu yang lebih besar dan lebih luas --
seperti melayani bangsa dan negara--maka hal itu lebih bermartabat.
Dalam Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81
Tahun 1993 disebutkan bahwa pelayanan adalah suatu bentuk kegiatan pelayanan
yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah baik di pusat, di daera h, BUMN, dan
BUMD dalam bentuk barang maupun jasa dalam rangka pemenuhan kebutuhan
masyarakat sesuai peraturan perundang -undangan yang berlaku. Sementara dalam
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No 63 Tahun 2003
dijelaskan, pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh
penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima
layanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang -undangan.
Kualitas layanan harus memenuhi lima prinsip: Pertama, tangible; melayani
dengan menfasilitasi seluruh kebutuhan fisik, perlengkapan dan sarana transportasi
dan komunikasi; Kedua, emphaty; melayani dengan melakukan hubungan
72
interpersonal yang komunikatif, penuh perhatian dan memahami kebutuhan para
pelanggan; Ketiga, responsiveness; melayani keinginan para pelanggan secara
tanggap; Keempat, reliability; kemampuan memberi layanan yang dijanjikan dengan
segera, akurat, handal dan memuaskan; dan Kelima, assurance; pegawai yang
memiliki pengetahuan, kemampuan, kes opanan dan sifat yang dapat dipercaya dalam
memberikan pelayanan. Lawan dari layanan yang tidak berkualitas adalah adanya
arogansi yang tak tahu diri, bersikap seperti tuan besar, besar kepala, menuntut
dilayani, merasa sudah di puncak prestasi seraya melu pakan jati diri sebagai aparatur
negara yang melayani serta tidak mampu memaknai hakikat pekerjaannya.
Pelayanan prima menurut Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara No. 81/1995 adalah: Pertama, kesederhanaan, dalam arti prosedur
tata-cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat, tidak berbelit -belit,
mudah dipahami dan mudah dilaksanakan; Kedua, kejelasan dan kepastian, dalam arti
ada kepastian dan kejelasan mengenai p rosedur pelayanan dan persyaratan pelayanan;
Ketiga, keamanan dalam arti proses serta hasil pelayanan dapat memberikan
keamanan dan kenyamanan serta dapat memberikan kepastian hukum; Keempat,
keterbukaan dalam proses pelayanan agar mudah diketahui dan dipahami oleh
masyarakat baik diminta maupun tidak diminta; Kelima, efisiensi, dalam arti
persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal -hal yang berkaitan langsung dengan
pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara
persyaratan dan produk pelayanan yang diberikan; Keenam, ekonomis, dalam arti
pengenaan biaya pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan
kemampuan masyarakat; Ketujuh, keadilan yang merata, dalam arti cakupan
pelayanan harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan adil;
dan Kedelapan, ketepatan waktu, dalam arti pelayanan dapat diselesaikan dalam
kurun waktu yang telah ditentukan.
Pelayanan dalam birokrasi berarti tidak minta dilayani masyarakat, tetapi
birokrasi yang memberikan pelayanan prima kepada publik. Pelayan an prima adalah
kepuasan yang dirasakan oleh publik sebagai dampak dari hasil kerja birokrasi yang
profesional. Kualitas pelayanan yang baik sebagaimana diha rapkan masyarakat (ke-
puasan pelanggan) dan ditetapkan organisasi (standar pelayanan mini mum) harus
digali dan dipenuhi, sehingga prinsip pelayanan Departe men Agama dapat dikenali
dan membentuk citra pelayanan prima. Konsep pelayanan 6 (enam) S perlu
73
ditumbuhkembangkan di lingkungan Departe men Agama: Salam, Senyum, Segera,
Selesai, Sempurna dan Sukses.
Pelayanan prima (excellence service) selalu mengutamakan kemudahan dan
memberikan kepuasan dengan sepenuh hati pada pihak -pihak yang memerlukan
pelayanan aparatur Departemen Agama. Pelayanan semacam itu diperoleh ketika
aparatur bekerja secara cerdas ( smart work) melalui aksi: (1) kerjakan yang terbaik
(do the best for quality); (2) sederhanakan dan permudah prosedur ( simplify); dan (3)
libatkan setiap orang ( involve everyone). Pelayanan seperti itu tentunya perlu
memberikan penghargaan ( reward) bagi aparatur negara yang berprestasi dan
hukuman (punishment) bagi yang melanggar.
Pelayanan dalam konteks persepsi kerja dipahami sebagai: bekerja merupakan
amanah untuk melaksanakan tugas dan fungsi aparatur Departemen Agama dalam
melayani semua masyarakat. Prestasi dan produk tivitas kerja merupakan aktualisasi
jati dirinya sebagai hamba Tuhan yang telah meneken kontrak kerja sebagai aparatur
Departemen Agama untuk melayani sesuai peraturan yang telah ditetapkan. Budaya
kerja aparatur negara yang baik ditandai dengan membaikn ya pelayanan masyarakat
(public service).
2. Kerja adalah Pemberdayaan
Pemberdayaan (empowerment), berasal dari kata power (kekuasaan atau
keberdayaan). Ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai
kekuasaan yang berkaitan dengan pengaruh dan k ontrol. Kekuasaan seringkali
dikaitkan dengan kemampuan individu untuk membuat orang lain melakukan apa
yang diinginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka. Menurut Ife (1995),
pemberdayaan mengacu pada kata empowerment, yang berarti memberi daya,
memberi power (kuasa) dan kekuatan kepada pihak yang kurang berdaya. Segala
potensi yang dimiliki oleh pihak yang kurang berdaya itu ditumbuhkan, diaktifkan
dan dikembangkan sehingga mereka memiliki kekuatan untuk membangun dirinya.
Payne (1997) menjelaskan pemberdayaan pada hakikatnya bertujuan
membantu individu mendapatkan daya, kekuatan dan kemampuan untuk mengambil
keputusan dan tindakan yang akan dilakukan, termasuk mengurangi kendala pribadi
dan sosial dalam melakukan tindakan. Menurut Parsons (1994), p emberdayaan adalah
sebuah proses dimana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi
pengontrolan atas, dan memengaruhi terhadap kejadian -kejadian serta lembaga-
lembaga yang memengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang
74
memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk
memengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya.
Pemberdayaan mengandung makna adanya perubahan pada diri seseorang dari
ketidakmampuan menjadi mampu, dari ketidakmemiliki kewenangan menjadi
memiliki kewenangan, dari ketidakmampuan untuk bertanggung jawab menjadi
memiliki tanggung jawab terhadap sesuatu yang dikerjakan. Pemberdayaan aparatur
Departemen Agama berarti memberikan kesempatan kepada setiap pegawai untuk
melakukan suatu aktivitas dengan kewenangan dan tanggung jawab yang dimiliki.
Pemberdayaan juga dipahami sebagai kemampuan pelaku pemberdaya, yaitu
aparat Departemen Agama untuk mendengarkan, memahami, mendampingi dan
melakukan tindakan yang diperlukan unt uk melayani kepentingan masyarakat. Pelaku
pemberdaya juga harus mampu mempertanggungjawabkan kebijakan dan tindakannya
yang memengaruhi kehidupan masyarakat.
Pemberdayaan yang maksimal akan menjadikan kemitraan ( partnership)
dengan bergandeng tangan dalam melaksanakan suatu pekerjaan agar saling
menguntungkan multi pihak. Kemitraan sebagai hasil pemberdayaan menuntut
adanya: (1) bekerja secara mandiri ( be autonomous) dan memiliki inisiatif untuk
bekerja lebih maju, sekalipun tanpa bantuan; (2) bekerja deng an saling bersinergi
dalam tim (team work); (3) bekerja selalu dalam jaringan ( networking); dan (4)
bekerja dengan menghargai karya orang lain ( respect).
3. Kerja adalah Peneladanan
Setiap pegawai menampilkan diri dengan seperangkat teladan yang baik agar
seluruh tindak-tanduknya memiliki magnet yang mampu memengaruhi dan menjadi
panutan bagi orang lain. Tentu saja keteladanan yang dimaksud berbentuk sikap dan
perilaku yang memiliki nilai lebih dibanding kebanyakan sikap dan perilaku yang
terlihat. Keteladanan diwujudkan dalam bentuk pemberian contoh yang baik, yang
tidak hanya dilakukan ketika di dalam ruang kerja, tetapi juga dalam kehidupan
sehari-hari. Keteladanan adalah sikap dan perilaku yang sadar atau tidak dilakukan
oleh aparatur negara yang diperseps ikan oleh yang lain sebagai sesuatu yang
memicunya untuk mencontoh, karena yang dilakukan itu memiliki kerangka acuan
(frame of references) positif.
Persepsi tentang kerja adalah peneladanan diasumsikan bahwa tidak semua
sikap dan perilaku perlu dikomuni kasikan secara verbal, apalagi disertai indoktrinasi
75
kaku. Sikap sederhana atau bersahaja misalnya tidak membutuhkan instruksi seperti
kalimat: Semua aparatur Departemen Agama diwajibkan hidup sederhana.
Sekalipun ajakan itu perlu, namun terkadang pula mengakibatkan reaksi terbalik.
Boleh jadi yang diajak tidak saja menolak, bahkan mereka berani mencemooh
instruksi tersebut. Dalam kondisi seperti ini, keteladanan menjadi lebih efektif dan
efisien dalam menerapkan budaya kerja bersahaja.
Keteladanan menunt ut adanya integritas diri aparatur negara melalui sikap
dan perilaku terpuji, karena dengan pemenuhan persyaratan ini akan mampu
mengembalikan citra Departemen Agama sebagai sumber inspirasi dan teladan moral
bangsa. Integritas diri aparatur negara yang di lakukan antara lain: (1) siddiq ( honest),
berupa kejujuran, selalu menepati janji dan satu kata satu perbuatan; (2) amanah
(trustable), berupa dapat dipercaya, bertanggung jawab, disiplin, menghargai waktu
dan taat asas; (3) tabligh ( reliable), berupa menyampaikan pesan secara aktif,
komunikatif, kooperatif dan aspiratif; (4) fathanah ( smart), berupa cerdas, pandai,
kreatif dan profesional; (5) taat beribadah, berupa menjalankan kewajiban agama dan
menjauhinya; dan (6) senang bersilaturahmi, artinya kekelu argaan terbina dengan
baik, di tempat kerja dan di luar tempat kerja, dan saling kunjung mengunjungi,
sehingga menghilangkan kesalahpahaman dan mempererat team working.
Pembiasaan budaya kerja sangat relevan dengan prinsip dasar teori belajar -
sosial. Seperti dikemukakan Albert Bandura (1977), orang yang bertindak dalam cara
tertentu: (1) sebagian besar yang dipelajari manusia terjadi melalui peniruan
(imitation) dan penyajian contoh perilaku ( modeling); (2) individu belajar mengubah
perilaku sendiri melalui penyaksian cara orang dan sekelompok orang memberi reaksi
atau merespon stimulus tertentu; dan (3) individu dapat mempelajari respon -respon
baru dengan cara mengamati perilaku (contoh) dari orang lain.
Seorang pemimpin harus mampu menjadi role model dalam pengembangan
budaya kerja untuk masing-masing program. Seorang pemimpin negara dan agama
seperti Nabi Muhammad SAW dalam mengemban misi kerasulan selalu memberi
contoh yang baik, karena beliau merupakan suri teladan dan figur yang patut dicontoh
(uswah hasanah). Perilakunya tidak hanya terekam dalam bentuk ucapan ( sunnah
qawliyyah), tetapi juga dalam bentuk tindakan nyata ( sunnah filiyyah). Interrelasi
antara ucapan dan tindakan menjadi prinsip peniruan yang mempermudah umatnya
untuk mengikuti apa yang di kehendaki, sehingga apa pun perbuatan dan tata cara
yang dilakukan dapat dijadikan sebagai referensi umatnya.
76
n. Sikap Kerja Departemen Agama
Sikap adalah sifat-sifat khas atau kecenderungan yang relatif stabil dan
berlangsung terus-menerus untuk berperilaku dengan satu cara tertentu terhadap
pribadi lain, objek atau lembaga tertentu. Thurstone (2002) menyatakan bahwa sikap
merupakan kecenderungan yang bersifat positif atau negatif yang berhubungan
dengan objek seperti simbol, kata -kata, slogan, orang, lembaga, ide dan sebagainya.
Orang dikatakan memiliki sikap positif terhadap suatu objek tertentu apabila ia suka
atau memiliki sikap yang favorable. Sebaliknya orang dikatakan memiliki sikap
negatif terhadap objek tertentu bila ia tidak suka atau sikapnya unfavorable.
Menurut Allport, sikap memiliki tiga komponen utama: (1) Komponen
kognitif, yang berisikan ide, anggapan, pengetahuan, ataupun keyakinan dari subjek
terhadap objek sikap; (2) Komponen afektif, yang meliputi emosi ataupun perasaan
subjek terhadap objek sikap. Dengan adanya komponen ini sikap dapat dirasakan
sebagai suatu hal yang menyenangkan atau bahkan tidak menyenangkan; (3)
Komponen perilaku, yang merupakan predisposisi ataupun kesiapan subjek untuk
bertindak mengantisipasi objek sikap.
Triandis menjelaskan bahwa sikap mempunyai fungsi untuk: (1) Membantu
orang memahami dunia di sekelilingnya, dengan mengorganisasi dan
menyederhanakan masukan yang sangat kompleks dari lingkungan; (2) Melindungi
harga diri orang, dengan memungkinkan mereka mengh indar dari kenyataan-
kenyataan yang kurang menyenangkan sehubungan dengan diri mereka; (3)
Membantu orang menyesuaikan diri dengan dunia yang kompleks ini, dengan
membuat mereka cenderung bertingkah laku tertentu (yang diterima lingkungannya)
untuk memaksimalkan ganjaran positif dari lingkungan; dan (4) Memungkinkan
orang mengekspresikan nilai -nilai atau pandangan-pandangan hidupnya yang
mendasar.
Menurut H. M. Suparta (2008), budaya kerja yang secara umum di bangun di
lingkungan Departemen Agama, dinilai sangat strategis dalam upaya memulihkan dan
memperkuat kepecayaan publik atas keberadaan, fungsi, dan kinerja Departemen
Agama, dalam rangka pelaksanaan reformasi birokrasi Depar temen Agama. Gagasan
atas pengembangan sikap kerja yang positif di yakini dapat menciptakan atmosfir yang
77
baik dalam membentuk perilaku kerja produktif di Departe men Agama. Terdapat
sembilan sikap kerja yang dimaksud, yaitu:
7. Jujur dan Memiliki Integritas Tinggi
Sebagai bagian dari sikap kerja, jujur dalam kehidupan sehari -hari dipahami
sebagai kesesuaian antara ucapan dan tindakan atau antara keadaan yang terlihat dan
keadaaan yang tersembunyi. Jika seseorang mengucapkan perkataan sesuai apa yang
terdapat di dalam hatinya dan dibuktikan dengan perbuatannya, maka dia dikatakan
orang jujur. Dalam sikap jujur terjadi hubungan yang simbiosis antara niat, ucapan
dan perbuatan.
Jujur tidak dapat disederhanakan pengertiannya sebagai lawan dusta,
sebab jika itu terjadi betapa banyak pegawai yang tidak jujur karena menyimpan
rahasia organisasi. Jujur memiliki nilai spiritual karena berkaitan dengan keikhlasan
dan keperpihakan pada kebenaran dalam mengambil sikap. Keikhlasan mendorong
individu untuk berbuat bagaimana seharusnya, bukan hanya apa adanya yang
menjadi tuntutan kejujuran dalam arti sempit.
Istilah lain yang identik dengan kejujuran adalah integritas. Menurut Henry
Cloud (2007), integritas lebih dari sekadar kejujuran, karena integritas mencakup
keadilan dan tanggung jawab sekaligus. Integritas adalah berlaku jujur dan k onsisten
serta berpegang teguh pada prinsip kebenaran untuk menjalankan apa yang dikatakan
secara bertanggung jawab. Integritas dari kata "integrity", berarti " soundness of moral
principle and character honesty ". Dengan perkataan lain, mereka yang memiliki
integritas, lazimnya memiliki hati nurani yang bersih, mempunyai prinsip moral yang
tangguh, adil serta jujur, dan tidak takut kepada siapapun, kecuali kepada Tuhan (JE
Sahetapy).
Secara umum, integritas diartikan sebagai pengetahuan, kesadaran,
penghayatan dan memegang teguh nilai -nilai tertentu dalam setiap perkataan dan
tindakan untuk mencapai kecemerlangan diri dan organisasi (Jamiah Manap: 2005).
Integritas merujuk pada kesatuan dan keselarasan antara nilai dan tingkah laku
seseorang (Pellegrino: 1990; Roberts: 1994 dan Musschenga: 2001). Nilai yang
dimaksud adalah nilai -nilai yang memang diakui kebenaran dan kebaikannya.
Integritas adalah keteguhan sikap dalam mempertahankan prinsip dan etika
profesionalisme, menjaga loyalitas dalam pelaksanaan tugas , dan mampu memberikan
pertanggungjawaban yang dilandasi kejujuran. Nilai integritas mencakup masalah
etika dan spiritualitas, mengedepankan nilai keteladanan dan nilai kejujuran.
78
Integritas kerja adalah bertindak konsisten sesuai kebijakan dan kode etik
instansi, memiliki pemahaman dan keinginan untuk menyesuaikan diri dengan
kebijakan dan etika tersebut, dan bertindak secara konsisten walaupun sulit dilakukan.
Integritas juga diartikan penggabungan beberapa kelompok, kemauan dan harapan
yang terpisah menjadi satu kesatuan yang mempunyai tujuan dan cita -cita sama.
Dalam suatu satuan organisasi/kerja kalau seseorang sudah diragukan integritasnya,
berarti pegawai tersebut sudah diragukan kemauannya untuk menjalankan peraturan
yang ada dan cenderung melakukan hal hal yang merugikan satuan organisasi/kerja.
Dari beberapa pengertian di atas, integritas dipahami sebagai keselarasan niat,
pikiran, perkataan dan perbuatan baik dan benar sesuai nilai -nilai instansi,
masyarakat dan prinsip-prinsip good governance. Niat dan pikiran merupakan aspek
pribadi yang sulit diukur. Sedangkan perkataan dan perbuatan adalah aspek yang
tampak dan mudah dievaluasi. Memiliki keselarasan niat, pikiran, perkataan dan
perbuatan baik dan benar merupakan petunjuk keutuhan pribadi dan sikap yang
konsisten. Perbuatan baik dan benar tersebut sesuai dengan nilai -nilai satuan
organisasi/kerja, masyarakat, serta memenuhi prinsip -prinsip tata kelola pemerintahan
yang baik.
Ada beberapa indikasi yang dapat menunjukkan kejujuran dan integritas
pegawai, antara lain:
1. Bekerja secara benar dan penuh ketulusan tanpa menghitung -hitung jasa dan
tenaga, sekalipun tidak mengurangi kualitas pekerjaannya.
2. Konsisten antara pikiran, perkataan dan perbuatan yang dilandasi oleh suara hati
dan keyakinan akan kebenaran yang hakiki dalam melaksanakan tugas.
3. Bersyukur atas gaji dan pendapatan yang diterima dan menikmati pekerjaan yang
dialami tanpa gampang mengeluh.
4. Bebas dari sikap aji mumpung dan penyalahgunaan wewenang/jabatan secara
sewenang-wenang.
5. Menyumbangkan seluruh daya upayanya secara suka -cita dengan penuh dedikasi
dalam pelaksanaan amanah kerja.
6. Memiliki semangat menuju kebaikan, tanpa terselip dalam hatinya untuk berbuat
jahat atau buruk.
7. Berjiwa besar dan sanggup mengakui kekhilafan saat melakukan kes alahan untuk
kemudian bersedia memperbaikinya.
79
8. Bersedia mengakui kesalahan diri sendiri dan tidak melempar kesalahan kepada
pihak lain.
9. Menepati janji dalam penerapan aturan dan etika yang berlaku.
10. Berpegang teguh pada kebenaran meskipun harus melawan arus .
11. Tidak menerima segala sesuatu dalam bentuk apa pun yang dapat mengganggu
integritas dan objektivitasnya.
80
8. Memiliki Etika, Akhlak Mulia, dan Menjadi Suri Teladan
Istilah etika dan akhlak mulia dalam penggunaan sehari -hari sering digunakan
secara bergantian yang intinya memiliki arti sopan santun, budi pekerti, karakter,
moral dan tingkah laku yang bersusila. Jika dikatakan bahwa pegawai itu beretika
atau berakhlak mulia, maka berarti ia telah memiliki sopan santun dan budi pekerti
yang baik, yang dalam peri lakunya tecermin kemuliaan sehingga dapat diterima
lingkungan kerja dan masyarakatnya.
Etika berarti ciri-ciri khas seseorang atau sekelompok orang dengan perilaku
pantas dan baik; dan hukum atau adat istiadat yang mengatur tingkah laku. Menurut
Poedjawiyatna (1990), etika berarti sikap dan tindakan yang mengacu pada baik -
buruk. Normanya adalah menentukan benar -salah, sikap dan tindakan manusia dilihat
dari segi baik-buruknya. Objek material etika adalah tindakan manusia, sedangkan
objek formalnya adalah kualitas kebenaran dan kesalahan.
Sedangkan akhlak menurut Al -Ghazali adalah: "Suatu kondisi dalam jiwa yang
suci dan dari kondisi itu tumbuh suatu aktivitas yang mudah tanpa memer lukan
pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu." Ibnu Maskawaih mendef inisikan
akhlak sebagai: "Suatu kondisi jiwa yang menyebabkan suatu aktivitas dengan tanpa
dipikirkan atau dipertimbangkan terlebih dahulu.
Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa akhlak merupakan: (1) ekspresi
sifat dasar seseorang yang konstan da n tetap; (2) dibiasakan oleh seseorang sehingga
ekspresi tersebut dilakukan berulang-ulang, sehingga dalam pelaksanaannya tanpa
disertai pertimbangan pikiran terlebih dahulu; dan (3) apa yang diekspresikan dari
akhlak tersebut merupakan keyakinan seseorang dalam menempuh keinginan sesuatu,
sehingga pelaksanaannya tidak ragu-ragu.
Dengan meminjam teori penalaran moral Kohlberg (1995), terdapat tiga
tingkatan seorang pegawai merealisasikan etika atau akhlak:
h. Preconventional reasoning. Pada tingkatan ini pegawai tidak memiliki kesadaran
untuk melakukan internalisasi akhlak, kecuali dikontrol dan dimotivasi oleh
hadiah dan hukuman, baik yang tumbuh dari diri sendiri maupun orang lain. Dasar
penilaian akhlak adalah bahwa benar itu apa yang dirasa menyenangkan d an
memberikan ganjaran positif, sedangkan salah adalah apa yang dirasa
menyebalkan dan memberikan hukuman.
i. Conventional reasoning. Pada tingkatan ini pegawai telah memiliki kesadaran
untuk melakukan internalisasi akhlak meskipun kesadaran itu berdasar stan dar
81
orang lain, seperti dari pimpinan atau tuntutan lingkungan kerja. Dasar penilaian
akhlak adalah kepercayaan, kasih sayang dan kesetiaan pada pimpinan, dengan
harapan agar pimpinan menilai dirinya sebagai anak buah yang baik. Atau,
penilaian akhlak berdasarkan pemahaman terhadap aturan sosial, hukum dan
tanggung jawab di suatu institusi.
j. Postconventional reasoning. Pada tingkatan ini pegawai telah memiliki kesadaran
penuh untuk melakukan internalisasi akhlak yang didasarkan atas standar yang
bersumber dari diri sendiri. Pegawai mengenali alternatif dalam berakhlak,
mengeksplorasi pilihan dan menentukan nilai akhlaknya sendiri, yang aplikasinya
dapat memayungi kepentingan diri sendiri dan orang lain.
Pembudayaan akhlak mulia sebagaimana uraian di atas ha rus dilakukan secara
bertahap dan berproses. Segala sarana dan kondisi yang memungkinkan
perkembangan akhlak mulia harus disediakan dan diusahakan agar setiap pegawai
dapat meningkat dari satu tahap ke tahap berikutnya, sehingga perilakunya menjadi
suri teladan bagi yang lain. Seorang aparatur negara yang memiliki akhlak mulia
maka seluruh tindak tanduknya patut menjadi contoh bagi orang lain.
Dalam berinteraksi dengan orang lain, seorang aparatur negara yang memiliki
akhlak mulia ditandai dengan:
F. Menunjukkan wajah yang menyenangkan saat melayani, seperti ekspresi diri
dalam bentuk senyuman.
G. Memiliki kearifan dan kebijakan dalam pelayanan orang bermasalah, sehingga
tidak gampang marah. Penegakan aturan bagi orang yang bermasalah dalam
kerangka menghargai orang yang dilayani.
H. Simpati dengan bersikap sopan, ramah dan demokratis, sehingga mengikis habis
rasa senang melihat orang lain susah, susah melihat orang lain senang.
I. Empati atau memiliki pengertian terhadap perasaan, kebutuhan dan kesulitan
rekan kerja, bawahan dan orang yang dilayani dengan memberikan bantuan,
utamanya dukungan moral atau pemikiran pemecahan masalah.
J. Bersabar saat menghadapi pekerjaan yang menyulitkan dan membingungkan,
serta berusaha mencari penyebabnya sehingga pekerjaan tersebut dapat
diselesaikan dengan baik.
K. Bersyukur saat mendapatkan kebaikan dan berprestasi, agar kelak prestasi tersebut
tetap diraih kembali.
82
L. Menghormati atasan atau senior, dan menghargai rekan sesama/setingkat dan
menyayangi bawahan.
M. Berpikir dan bertindak positi f dalam berinteraksi dengan orang lain, tidak
gampang curiga terhadap niat baik orang lain, bahkan mampu mempengaruhi
orang lain untuk berpikir dan bertindak positif.
N. Menyampaikan pesan dengan bahasa dan cara yang santun dan baik agar mudah
diterima yang lain.
O. Menunjukkan kebenaran sebagai suatu kebenaran dan kebatilan sebagai suatu
kebatilan, baik dalam bentuk hati, lisan maupun tindakan.
P. Tidak puas atas hasil yang dicapai, dan selalu ingin meningkatkan kinerjanya.
Aparatur yang memiliki akhlak mulia peril akunya akan menjadi suri teladan
(role model) bagi yang lain. Menjadi suri teladan memiliki arti bahwa semua
perilakunya dapat ditiru, diikuti dan dianut oleh yang lain. Tentu saja perilaku yang
dimaksud memiliki konotasi sifat -sifat kemuliaan, keluhuran, dan keagungan.
Menjadi suri teladan bagi yang lain tidak cukup hanya melakukan hal -hal yang baik,
tetapi diperlukan transformasi keteladanan itu melalui pembiasaan dan penguatan
dengan bimbingan. Lunturnya sosok teladan sering disebabkan oleh disorientasi hidup
yang menghalalkan semua cara, sehingga menyebabkan kelunturan kewibawaannya.
Menjadikan suri teladan sebagai sikap kerja aparatur Departemen Agama
dibutuhkan adanya pemimpin yang kharismatik, karena perilaku pemimpin menjadi
standar akhlak pegawai yang dipimpinnya. Dalam pelaksanaan keteladanan itu terjadi
hubungan timbal balik. Semakin agung kepribadian ketika menjadi suri teladan,
semakin tinggi pula tatakrama dan sopan santun pegawainya. Semakin tinggi rasa
empati dan simpati pemimpin, setinggi itu juga rasa kepercayaan pegawainya. Citra
mulia yang dipancarkan dalam keteladanan pimpinan pada orang di sekelilingnya
bagaikan magnit yang memiliki daya tarik tersendiri, sehingga semua komunitas di
sekelilingnya menjadi baik.
Terdapat banyak faktor yang menopang tercapainya suri teladan yang baik
pada diri aparatur, antara lain: (1) keiklashan dalam bekerja, bahwa seluruh
aktivitasnya diniatkan untuk beribadah kepada Tuhan; (2) Amal shaleh yang selaras
dengan prinsip kepatutan dan kepatuhan atas peraturan yang berlaku; (3) Keselarasan
dan keharmonisan ucapan, sikap dan perbuatan; (4) Tingginya kemauan dan
kesadaran untuk menjadi panutan yang baik; dan (5) Menghiasi diri dengan perilaku
83
terpuji, dan khususnya untuk pokok -pokok akhlaq seperti kesantunan, kej ujuran,
keberanian, komitmen, kebijaksanaan dan keadilan.
3. Taat Hukum dan Aturan-Aturan yang Berlaku
Al-Razi mengatakan bahwa ketaatan secara bahasa memiliki arti tunduk
kepada sesuatu. Ketaatan pada hukum dan aturan berarti sebuah sikap loyal, tunduk
dan patuh pada hukum dan aturan yang berlaku. Sesulit apa pun pekerjaan yang
dihadapi kalau dilandasi dengan sikap tunduk pada hukum dan aturan maka hal itu
akan menjadi biasa dan mudah dikerjakan. Memang loyalitas ini tidak serta -merta
ada, harus diawali dengan pemahaman untuk kemudian diwujudkan dalam perilaku,
sehingga sampai pada sifat loyal kepada sesuatu. Ketaatan di sini lebih terfokus pada
kepatuhan pada hukum dan aturan yang benar, bukan kepatuhan pada pimpinan yang
melanggar aturan.
Ketaatan dan loyalitas pada hukum berarti setia pada sesuatu dengan rasa
cinta, sehingga dengan loyalitas yang tinggi seseorang merasa tidak perlu untuk
mendapatkan imbalan dalam melakukan sesuatu untuk orang lain/satuan
organisasi/kerja tempat dimana ia meletakkan loy alitasnya. Taat pada hukum dan
aturan tidak semata-mata karena menjalankan kewajiban, tetapi juga untuk memenuhi
kebutuhan mewujudkan ketertiban dan keharmonisan.
Ada beberapa indikasi yang dapat menjelaskan sikap taat pada hukum dan
aturan:
5. Memegang teguh prinsip dan tujuan yang telah ditetapkan bersama.
6. Bekerja sesuai dengan ketentuan yang barlaku dengan mengikuti SOP ( standar
operational prosedure).
7. Bekerja secara teratur dan konsisten mematuhi dan mengikuti peraturan yang
berlaku.
8. Menyelesaikan masalah merujuk pada hukum dan aturan yang berlaku
9. Menegakkan kebenaran dan memberantas kebatilan dengan berani, adil dan
bertanggung jawab demi penegakan hukum dan aturan.
10. Bekerja sama dalam rangka menegakkan kebaikan dan menghindari
kemungkaran.
11. Merasa bersalah apabila melakukan kekeliruan dan berupaya tidak mengulangi
lagi.
84
k. Bertanggung Jawab dan Akuntabel
Pengertian tanggung jawab selalu berkisar pada kesadaran untuk melakukan,
kesediaan untuk melakukan, dan kemampuan untuk melakukan. Tanggung jawab
dalam pengertian umum diartikan sebagai keharusan untuk "menanggung" dan
"menjawab". Dalam pengertian lain, suatu keharusan untuk menanggung akibat yang
ditimbulkan oleh perilaku seseorang dalam rangka menjawab suatu persoalan.
Tanggung jawab menyangkut hasrat aparat ur negara untuk memikul kewajiban dalam
pelaksanaan semua tugas yang dibebankan kepadanya.
Tanggung jawab mengarah pada kinerja tindakan dari tugas, mencakup
tindakan para pegawai dalam memberikan pelayanan publik. Di dalam tanggung
jawab terdapat unsur dapat dipercaya dan tepercaya dalam mengemban amanat. Rasa
tanggung jawab sejati haruslah bersumber pada nilai -nilai asasi kemanusiaan, sebagai
makhluk pemikul amanah atau khalifah Tuhan di muka bumi. Dengan demikian,
tanggung jawab dapat dipahami sebagai k esiapan memberikan jawaban atas tindakan -
tindakan yang sudah dilakukan pada masa lalu atau tindakan yang akan berakibat di
masa yang akan datang.
Beberapa indikasi tanggung jawab dalam mengerjakan tugas antara lain:
i. Menerima segala konsekuensi dan risiko a tas hasil kerjanya.
j. Adanya rasa bersalah dan budaya malu apabila belum atau tidak menyelesaikan
tugas dengan baik.
k. Memegang teguh kode etik dengan menyimpan rahasia negara dan rahasia
jabatan.
l. Mempertahankan profesionalisme berdasarkan standar yang berlak u.
m. Bekerja secara profesional dengan cara meningkatkan pengetahuan, keahlian dan
kompetensi diri, baik kompetensi personal, sosial maupun tuntutan profesional.
n. Melakukan penyempurnaan dengan cara mencari peluang dan solusi untuk
meningkatkan layanan dan kinerja.
o. Memberikan hasil terbaik melalui cara -cara yang kreatif dan inovatif
p. Bersikap proaktif, kreatif, inovatif dan responsif dalam menghadapi perubahan
yang terjadi.
85
q. Menempatkan kebutuhan stakeholders di atas kepentingan sendiri.
r. Melindungi hak stakeholders untuk memperoleh pelayanan berkualitas dari
pegawai.
s. Menikmati setiap tugas dan pekerjaan yang diberikan dan bertanggung jawab atas
penyelesaiannya.
Akuntabilitas merupakan wujud pertanggungjawaban aparatur negara kepada
publik. Akuntabilitas mengarah pada hasil tindakan yang dilakukan. Ini berarti
menerima hasil kerja atau tindakan serta tanggung jawab terhadap keputusan yang
diambil, serta tindakan dan catatan yang dilakukan dalam batas kewenangannya.
Dalam akuntabilitas, hasil akhir kegiatan penyele nggara negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Akuntabilitas dalam birokrasi berarti bertanggung jawab atas setiap proses dan
hasil akhir kinerja dari program maupun kegiatan sehubungan dengan pengelolaan
dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebi jakan untuk mencapai tujuan.
Hal ini dilakukan secara periodik melalui media pertanggungjawaban yang telah
ditetapkan kepada negara dan masyarakat ses uai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Beberapa perilaku yang dapat menunjukkan akuntabilitas aparatur:
4. Bekerja mengikuti standar baku dan perkembangan ilmu pengetahuan serta
teknologi canggih untuk menunjukkan tingkat akuntabilitas yang tinggi.
5. Mengembangkan opini berdasarkan data dan fakta, bukan opini yang merugikan
pihak-pihak terkait.
6. Memberikan informasi yang akurat berhubungan dengan pekerjaan yang ditekuni.
7. Berusaha mempertahankan dan memelihara kualitas pekerjaan berdasarkan
standar dan etika profesi.
8. Mampu dan mau mengingatkan sejawat untuk bertindak profesional dan sesuai
kode etik profesi.
9. Mematuhi kebijakan dan peraturan yang berlaku, termasuk pedoman yang
disiapkan oleh institusi atau organisasi.
86
10. Menjaga etika dan hubungan interpersonal dalam memberikan pelayanan dengan
kualitas yang tinggi.
l. Menghormati Hak-Hak Orang Lain dan Tidak Mudah Menyalahkan Orang
Lain
Salah satu kepuasan kerja adalah adanya suasana batin yang nyaman,
tumbuhnya sikap saling menghomati, membantu dan memberi satu dengan yang lain,
bahkan saling asah, asih dan asuh di antara mereka. Menghormati orang lain tidak
berarti merendahkan atau menghinakan diri, melainkan menempatkan diri sebagai
individu yang memiliki harkat, martabat, kewibawaan dan keunggulan. Kehormatan
yang disebabkan penghormatan terhadap orang lain mencerminkan akhlak mulia, budi
pekerti terpuji, hati bersih, nurani bening, pikiran jernih, budi luhur, karya agung dan
kualitas yang luar biasa. Semakin tinggi tingkat penghormatan kepada orang lain
maka semakin tinggi pula keunggulan dirinya.
Penghormatan kepada orang lain lebih disebabkan: (1) setiap individu
memiliki martabat dan kehormatan yang sama di hadapan Tuhan, tak peduli dari
strata sosial mana ia berasal. Setiap orang akan marah dan tersinggung jika harga
dirinya dilecehkan; (2) memiliki prestasi kerja yang unggul, karena ia memiliki
pengetahuan, pengalaman maupun keterampilan yang lebih dari yang lain.
Penghormatan terhadap mereka yang berprestasi memiliki tujuan dan harapan agar
prestasinya dapat menular pada yang lain; (3) memiliki hak untuk dilayani dan
dihormati dalam pelayanan publik. Perilaku seperti cuek, acuh tak acuh, buang muka
atau muka yang tidak bersahabat membuat sakit hati stakeholders, yang pada
gilirannya menimbulkan ketidakpuasa n.
Hormat kepada hak-hak orang lain mengandung arti perlindungan terhadap
wewenang dan segala konsekuensi atas hak yang dimiliki. Ungkapan sesama bis kota
tidak boleh saling mendahului memberi arti bahwa masing -masing individu memiliki
hak penuh terhadap dirinya dan ia berhak untuk memperoleh haknya. Bagi individu
lain perlu mengembangkan budaya untuk tidak saling serobot, apalagi menghalau dan
menutup jalannya, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh kesempatan
87
memperoleh haknya. Tindakan tersebut me rupakan suatu kezaliman yang sangat
merugikan orang lain.
Menghormati orang lain menuntut untuk tidak gampang menyalahkan, apalagi
mengkambinghitamkan orang lain. Pelimpahan kesalahan pada orang lain sama
artinya dengan pembunuhan karakter bahkan pembunuha n karier yang merugikan
posisi temannya sendiri. Kehormatan diri diperoleh ketika sang pegawai mengakui
kesalahannya dan berusahan memperbaiki atau menebus kesalahannya itu dengan
bekerja lebih baik lagi.
Beberapa perilaku yang menunjukkan sikap hormat pad a hak-hak orang lain di
antaranya:
1. Memberikan layanan terbaik dengan dilandasi sikap saling menghargai dan
hubungan kemitraan yang sinergis.
2. Berlaku ramah dan sopan kepada setiap orang dengan menghormati yang lebih
tinggi dan menyayangi yang lebih rendah.
3. Menghargai perbedaan pendapat dan mengambil pendapat yang terbaik.
4. Berkomitmen terhadap keputusan yang telah disepakati bersama.
5. Memanfaatkan saran dan kritik konstruktif dari orang lain serta memberi nasihat
pada yang melanggar hukum dan aturan.
6. Bersaing secara sehat dengan menjunjung tinggi prinsip maju tanpa merugikan
pihak lain.
7. Memiliki kesadaran dan kepekaan team work atau korps yang tinggi dengan
prinsip saling asah, asih dan asuh.
8. Tidak menggunakan fasilitas umum yang menjadi hak bersama untuk kep entingan
diri pribadi.
9. Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat institusi dengan perilaku yang taat
dan sadar hukum.
m. Mencintai Pekerjaan dan Mau Bekerja Keras
Bekerja keras dianggap sebagai usaha mulia untuk mengaktualisasikan seluruh
potensi insani secara maksimal. Bekerja juga merefleksikan rasa syukur kepada
88
Tuhan yang menciptakan kesempurnaan fisik, psikis dan spiritual dalam mengemban
tugas kerja. Bekerja keras membutuhkan pengerahan seluruh potensi yang dimiliki,
meliputi potensi cipta, rasa dan kar sa. Kekuatan cipta menghasilkan kerja yang efektif
dan efisien, kreatif dan inovatif. Kekuatan rasa menghasilkan kerja yang
menyenangkan, memuaskan bahkan menikmati atau mencintai apa yang dikerjakan.
Kekuatan karsa menghasilkan kerja yang produktif.
Mencintai pekerjaan dengan sepenuh hati menjadi syarat mutlak terciptanya
kerja keras. Pelibatan emosi dalam bekerja seperti mencintai pekerjaan, menjadikan
suasana kerja penuh makna dan hikmah. Mencintai pekerjaan, dengan meminjam teori
triangulasi cinta Sternbergh (1988), melibatkan tiga komponen: keintiman ( intimacy),
gairah (passion), dan komitmen (commitment). Keintiman dalam kerja merupakan
komponen emosional, berbagi rasa dan melibatkan kedekatan dengan stakeholders.
Gairah dalam kerja merupakan komponen motivasional yang mencakup daya tarik,
semangat dan perasaan untuk menggapai prestasi unggul. Komitmen dalam kerja
merupakan komponen kognitif yang mencerminkan keinginan seseorang untuk tetap
mempertahankan hubungan kerjanya sampai pensiun.
Kerja keras memang perlu, tetapi tidak berarti berujung pada kecanduan kerja
(workaholic) yang menunjukan kerja tidak sehat. Bekerja keras yang sehat melibatkan
penghayatan terhadap visi, misi dan tujuan kerja serta meluangkan waktunya untuk
menikmati hasil kerjanya ber sama keluarga, baik untuk memenuhi kebutuhan hidup
sebagai makhluk biologis, psikologis, sosial maupun religius. Bekerja keras tetap
menjadikan diri sebagai raja, sedangkan pekerjaan merupakan instrumen untuk
memperoleh kesejahteraan hidup dalam arti luas. Sementara kecanduan kerja
menenggelamkan diri dalam pekerjaan sebagai kompensasi menghindari komitmen
dan tanggung jawab hidup lainnya. Dirinya terbelenggu pada pekerjaan, sehingga
pekerjaan menguasai seluruh hidupnya. Kemerdekaan hidupnya tergadaikan ole h
kesibukan kerja, sehingga ia melupakan hak biologis akan kesehatan, hak psikologis
akan kedamaian, hak sosial akan pergaulan dan hak agama akan peribadatan.
Dengan merujuk pada apa yang telah diungkapkan oleh Rabiah al -Adawiyah,
kerja keras harus didorong dan dimotivasi oleh kekuatan cinta, bukan karena takut
hukuman atau mengharapkan hadiah. Kerja keras yang dimotori oleh cinta
89
menghasilkan kinerja yang optimal karena seluruh kemampuan, kemauan dan
kesempatan secara tulus didarmabaktikan untuk menghasilk an performance terbaik.
Ada beberapa perilaku yang menunjukkan sikap mencintai pekerjaan dan
bekerja keras:
1. Mengerjakan sendiri pekerjaan yang menjadi tugasnya sampai tuntas, dengan
tidak melupakan koordinasi atau konsultasi dengan pihak lain.
2. Memanfaatkan sarana dan fasilitas yang ada untuk menyelesaikan pekerjaannya,
tidak menuntut di luar kemampuan instansi/satuan organisasi/kerja.
3. Menerima amanah pekerjaan atau jabatan sesuai kompetensi yang dimiliki,
kemudian berkomitmen menyelesaikannya sampai tuntas .
4. Menyeimbangkan proses dan hasil dalam bekerja, sehinggal hasil kerjanya rapi
dan baik.
5. Memiliki kontrol diri yang baik saat mengerjakan pekerjaan yang sulit.
6. Menfokuskan diri pada tugas yang diamanahkan tanpa sikap iri terhadap
kemudahan pekerjaan orang lain.
7. Menyelesaikan pekerjaan dengan senang hati, tanpa beban dan menikmatinya.
8. Bekerja tidak gampang putus asa dan mengeluh.
90
9. Mengubah kendala dan kesulitan menjadi peluang dan tantangan yang perlu
diperjuangkan.
10. Memiliki keuletan dan berusaha te rus-menerus dalam mencapai tujuan.
n. Meningkatkan Transparansi dan Koordinasi
Transparansi (keterbukaan) adalah membuka diri terhadap hak masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan negara dengan t etap memperhatikan perlindungan atas hak asasi
pribadi, golongan dan rahasia negara. Transparansi membuka ruang bagi publik untuk
dapat mengakses secara luas meliputi penyelenggaraan dan pelayanan kepada umat
beragama.
Transparansi dalam birokrasi berarti membuka diri terhadap hak masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar dan tidak diskriminatif dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golong an dan rahasia negara. Inti
transparansi adalah kejujuran dalam pengelolaan birokrasi , utamanya menyangkut
hajat hidup masyarakat banyak.
Sedang koordinasi adalah pendayagunaan dan penyesuaian antara komponen -
komponen kekuatan dari berbagai sumber dalam pelaksanaan kerja sesuai apa yang
dibutuhkan dalam bekerja. Penyesuaian kekuatan dimak sud agar kerja dapat
dilakukan secara teratur dan terprogram secara rapi, sehingga mencapai hasil yang
efektif dan efesien. Koordinasi dilakukan sejak penyusunan program kerja; proses,
hingga pada hasil dan pertanggungjawabannya.
Transparansi erat kaitannya dengan kemauan aparatur untuk berkoordinasi
dengan lain. Transparansi membuka peluang bagi yang lain untuk ikut terlibat secara
koordinatif dalam suatu tim kerja, sehingga masing -masing anggota tim memperoleh
peran sesuai dengan kapasitas dan wewenangnya sebagai aparatur. Distribusi tugas
dan peran yang baik merupakan indikasi bahwa institusi tersebut telah
mengimplementasikan sikap transparansi dan koordinasi. Penggelembungan tugas dan
peran pada aparatur atau unit -unit tertentu menunjukkan fungsi koordi natif yang
buruk, tentu saja hal itu akan merugikan institusi.
Terdapat beberapa indikasi yang menunjukkan transparansi dan koordinasi
dalam kerja, yaitu:
91
4. Membuka diri terhadap saran dan masukan dari/dan untuk orang lain untuk bahan
penyempurnaan tugasnya.
5. Berpikir positif terhadap sikap dan perilaku orang lain tanpa disertai curiga dan
rasa dengki.
6. Melibatkan seluruh pihak terkait sesuai batas kewenangan masing -masing,
sehingga seluruh anggota saling mendapatkan peran.
7. Tidak melakukan langkah dan tindakan di luar ketentuan yang telah disepakati,
sehingga semua tindakan dapat terkontrol, terkoordinasi dan terarah.
8. Adanya integrasi kerja yang baik terhadap seluruh kegiatan yang direncanakan
dalam mencapai tujuan bersama.
9. Tidak berpikir sektoral atau bagian pe r bagian dalam menjalankan tugas,
melainkan memandang orang lain dan satuan unit lain sebagai bagian yang
integral dalam mencapai keberhasilan.
10. Berpartisipasi aktif dan memberikan kontribusi nyata dalam setiap kegiatan yang
sesuai bidang keahlian.
11. Saling mengomunikasikan setiap permasalahan yang timbul, sehingga dapat
dicarikan solusi bersama tanpa melukai perasaan pihak tertentu.
12. Saling percaya antara atasan, bawahan dan antar -anggota kelompok kerja.
o. Disiplin yang Tinggi
Disiplin berasal dari akar kata disciple yang berarti belajar atau discipulus
yang berarti mengikuti dengan taat. Disiplin merupakan sikap yang selalu taat aturan,
norma dan prinsip-prinsip tertentu. Disiplin adalah suatu proses yang dapat
menumbuhkan perasaan seseorang untuk mempertahanka n dan meningkatkan tujuan
organisasi secara objektif melalui kepatuhan menjalankan peraturan organisasi.
Disiplin difokuskan untuk mengoreksi penampilan kerja agar peraturan kerja dapat
diberlakukan secara konsisten, tidak bersifat menghakimi dalam memberl akukan
hukuman atas tindakan indisipliner. Dalam penegakan disiplin diperlukan
kemampuan pengendalian diri dan tetap taat aturan walaupun dalam situasi yang
sangat menekan.
92
Disiplin (discipline) adalah tindakan manajemen untuk menegakkan standar
organisasi (Davis dan Newstrom: 1993). Disiplin merupakan bentuk pelatihan untuk
menegakkan peraturan-peraturan perusahaan (Mathis dan Jackson: 2002). Disiplin
adalah kemampuan menguasai diri sendiri dan melaksanakan norma -norma yang
berlaku dalam kehidupan bersama (Saydam: 1996). Disiplin adalah prosedur yang
mengoreksi atau menghukum bawahan karena melanggar peraturan atau prosedur.
Disiplin merupakan bentuk pengendalian diri pegawai dan pelaksanaan sebuah
organisasi (Simamora: 1999).
Disiplin kerja juga dapat diar tikan sebagai pelaksanaan manajemen untuk
memperteguh pedoman-pedoman organisasi (Mangkunegara: 2004). Dapat juga
dikatakan bahwa disiplin kerja adalah disiplin yang berlaku bagi para pegawai di
lingkungan kerja masing-masing. Pengertian lain diajukan oleh Sastrohadiwiryo
(2003) bahwa disiplin kerja adalah suatu sikap menghormati, menghargai, patuh dan
taat terhadap peraturan-peraturan yang berlaku, baik yang tertulis maupun tidak
tertulis, serta sanggup menjalankannya dan tidak mengelak untuk menerima sank si-
sanksi apabila ia melanggar tugas dan wewenang yang diberikan.
Ahli lain menggunakan istilah kedisiplinan dengan kesadaran dan kesediaan
seseorang menaati semua peraturan perusahaan/organisasi dan norma sosial yang
berlaku (Hasibuan: 2000). Kesadaran adalah sikap seseorang yang secara sukarela
menaati semua peraturan dan sadar akan tugas dan tanggung jawabnya. Kesediaan
adalah suatu sikap dan tingkah laku seseorang sesuai peraturan organisasi, baik yang
tertulis maupun tidak.
Beberapa ahli umumnya memba gi tindakan manajemen untuk menegakkan
disiplin dalam organisasi menjadi dua jenis : disiplin preventif dan disiplin korektif
(Davis dan Newstrom: 1985; Siagian: 1996).
a. Disiplin Preventif
Disiplin preventif (preventive discipline) adalah tindakan disi plin yang
dilakukan untuk mendorong pegawai menaati berbagai peraturan dan ketentuan yang
berlaku dan memenuhi standar yang telah ditetapkan. Melalui kejelasan dan
penjelasan tentang pola sikap, tindakan dan perilaku yang diinginkan dari setiap
anggota organisasi, diusahakan pencegahan jangan sampai para pegawai berperilaku
93
negatif atau melanggar aturan ataupun standar yang telah ditetapkan. Dengan cara ini,
pegawai berusaha menegakkan disiplin diri secara sukarela tanpa paksaan dari
pimpinan.
Prosedur penegakan disiplin preventif. Pertama, para pegawai perlu didorong
agar mempunyai sense of belonging terhadap satuan organisasi/kerja karena seseorang
tidak akan merusak sesuatu yang merupakan miliknya. Kedua, para pegawai perlu
diberi penjelasan tentang berbagai ketentuan yang wajib ditaati dan standar yang
harus dipenuhi. Ketiga, para pegawai didorong menentukan sendiri cara -cara
pendisiplinan diri dalam kerangka ketentuan -ketentuan yang berlaku umum bagi
seluruh anggota organisasi.
Melalui disiplin preventi f, para pegawai dikelola dalam suatu cara yang
mencegah perilaku-perilaku yang dapat terkena tindakan disiplin. Tugas pimpinan
adalah: (1) Menyelaraskan pegawai dengan pekerjaannya melalui seleksi, pengujian
dan prosedur-prosedur penempatan yang efektif; ( 2) Mengorientasikan pegawai
secara benar kepada pekerjaan dan memberikan pelatihan yang diperlukan; (3)
Menjelaskan perilaku pegawai yang tepat; (4) Memberikan umpan balik positif dan
konstruktif kepada pegawai tentang kinerja; (5) Memungkinkan para pegawa i
mengutarakan masalah-masalah mereka kepada manajemen melalui teknik -teknik
seperti kebijakan pintu terbuka dan pertemuan -pertemuan kelompok manajemen
pegawai.
b. Disiplin Korektif
Disiplin korektif (corrective discipline) adalah suatu tindakan yang di lakukan
setelah terjadi pelanggaran peraturan. Tindakan ini dimaksudkan untuk mencegah
timbulnya pelanggaran lebih lanjut sehingga tindakan di masa yang akan datang
sesuai standar. Pegawai yang terbukti telah melakukan pelanggaran atas ketentuan -
ketentuan yang berlaku atau gagal memenuhi standar yang telah ditetapkan, maka
yang bersangkutan dikenakan sanksi atau disciplinary action (Simamora: 1999).
Tujuan tindakan disipliner adalah memperbaiki perilaku pelanggar standar, mencegah
orang lain melakukan tindakan serupa, dan mempertahankan standar kelompok yang
konsisten dan efektif (Davis dan Newstrom: 1985).
Dalam praktiknya, pengenaan sanksi korektif harus memperhatikan: Pertama,
pegawai yang dikenakan sanksi harus diberitahu pelanggaran atau kesalahan yang
telah dilakukan. Kedua, kepada yang bersangkutan diberi kesempatan membela diri.
94
Ketiga, dalam hal pengenaan sanksi terberat, yaitu pemberhentian, perlu dilakukan
wawancara keluar (exit interview), yang menjelaskan antara lain alasan manajemen
terpaksa mengambil tindakan sekeras itu. Menurut Mangkunegara (2004),
pelaksanaan sanksi terhadap pelanggar disiplin kerja harus dilakukan dengan
memberikan peringatan, harus segera, konsisten dan impersonal.
Ada empat perspektif dasar menyangkut disiplin dalam suatu organisasi
(Simamora: 1999). Pertama, disiplin retributif (retributive discipline), yaitu terutama
berusaha menghukum orang yang berbuat salah. Tujuan akhirnya menghukum orang
yang melanggar disiplin. Kedua, disiplin korektif (corrective discipline), berupaya
membantu pegawai mengoreksi perilaku yang tidak tepat. Tujuan akhirnya membantu
pegawai mengoreksi perilaku yang tidak dapat diterima sehingga seseorang dapat
terus dikaryakan oleh organisasi . Ketiga, perspektif hak-hak individu (individual
rights perspective) berupaya melindungi hak-hak dasar individu selama tindakan-
tindakan disipliner. Tujuan akhir dari perspektif ini adalah melindungi hak -hak
individu. Keempat, perspektif utilitarian (utilitarian perspective) terfokus pada
penggunaan disiplin hanya pada saat konsekuensi -konsekuensi tindakan disiplin
melebihi dampak-dampak negatifnya. Tujuan akhir perspektif ini untuk memastikan
bahwa kegunaan tindakan disiplin melebihi konsekuensi -konsekuensi negatifnya.
Terdapat beberapa perilaku yang menunjukkan si kap disiplin, antara lain:
9. Menyelesaikan tugas secara cermat, tertib, teratur dan tepat waktu.
10. Menepati waktu (punctuality) dengan menaati ketentuan jam kerja (datang dan
pulang kantor sesuai waktu yang telah ditetapkan).
11. Memiliki deadline kerja yang jelas dan berusaha menyelesaikan pekerjaan sesuai
deadline yang telah ditetapkan.
12. Memanfaatkan waktu untuk kerja sebaik mungkin, tanpa menundanya tetapi juga
tidak terburu-buru yang mengakibatkan ketidaksempurnaan hasil akhir.
p. Bersahaja dalam Hidup dan Kehidupan
Bersahaja atau sederhana dalam hidup memiliki arti menggunakan dan
menikmati apa yang ada, tanpa memaksakan diri menuntut yang lebih dari kelaziman
dan kemampuan. Lawan dari hidup bersahaja adalah keserakahan, ketamakan dan
hidup boros. Sikap serakah at au tamak menjadi awal kehancuran. Selain karena
hidupnya terbelenggu oleh dominasi harta dan tahta, sering kali mereka yang serakah
95
menghalalkan semua cara, tanpa mempedulikan apakah yang dilakukan merugikan
dan menyengsarakan orang lain ataukah tidak.
Kebersahajaan individu pada awalnya ditentukan oleh gaya hidup yang
sederhana dan tidak memerlukan banyak hal. Akan tetapi karena tuntutan zaman dan
gaya hidup yang semakin meninggi, kebersahajaan berkaitan dengan obsesi, harapan
dan keinginan yang tinggi. Ga ya hidup individu tidak lagi membeli, menggunakan
dan memanfaatkan sesuatu karena kebutuhan ( need), tetapi lebih karena keinginan
(wish) atau bahkan nafsu (desire). Membeli HP terbaru dengan berbagai aksesoris
lebih diutamakan ketimbang fungsinya sebagai a lat komunikasi. Ini merupakan sikap
hidup yang keliru, terutama dikaitkan dengan konsep kebersahajaan aparatur negara.
Terdapat beberapa perilaku yang menunjukkan sikap bersahaja, antara lain:
5. Berkata dan berperilaku sewajarnya, tidak terlalu muluk -muluk melebihi kapasitas
dan wewenang yang dimiliki.
6. Berpakaian dan berpenampilan sewajarnya sesuai norma dan etika agama dan
sosial, dengan tidak mengenakan aksesoris yang berlebihan seperti perhiasan,
parfum, jam tangan, sepatu, dll.)
7. Menggunakan fasilitas hidup sewajarnya seperti kendaraan dan teknologi -
informatika, agar tidak membuka peluang iri hati orang lain.
Budaya kerja melalui PPA di lingkungan Departemen Agama RI dapat
disederhanakan dalam gambar berikut:
Gambar 2: Bangunan Budaya Kerja melalui PPA
96
Pada gambar tersebut terlihat bahwa: (1) fondasi bangunan budaya kerja
melalui PPA adalah ikhlas beramal. Ikhlas beramal yang terdapat di logo Departemen
Agama menjadi nilai dasar pelaksanaan budaya kerja; (2) tiang penyangga bangunan
budaya kerja melalui PPA adalah tiga persepsi kerja: pelayanan, pemberdayaan dan
peneladanan. Maksudnya, kerja adalah pelayanan, kerja adalah pemberdayaan dan
kerja adalah peneladanan; (3) atap bangunan budaya kerja melalui PPA adalah
sembilan sikap, yaitu jujur dan memiliki i ntegritas tinggi; memiliki etika, akhlak
mulia, dan memberi suri teladan; menghormati hukum dan aturan -aturan yang
berlaku; bertanggung jawab dan akuntabel; hormat kepada hak -hak orang lain dan
tidak mudah menyalahkan orang lain; mencintai pekerjaan dan ma u bekerja keras;
meningkatkan transparansi dan koordinasi; disiplin yang tinggi; dan bersahaja dalam
hidup dan kehidupan; (4) Bangunan budaya kerja bertujuan membangun citra aparatur
Departemen Agama yang bersih, berwibawa dan amanah dalam rangka perwujuda n
good governance, seperti profesionalisme, partisipasi masyarakat, supremasi hukum,
daya tanggap stakeholders, transparansi, kesetaraan, berorientasi pada visi,
akuntabilitas, pengawasan, efektif dan efisien.
o. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Berkembangnya Budaya Kerja
Banyak faktor yang memengaruhi tumbuhnya budaya kerja di dalam suatu
satuan organisasi/kerja. Beragam faktor tersebut mungkin disebabkan faktor internal
yang muncul dari diri pribadi aparatur, atau bisa juga disebabkan faktor eksternal
yang berasal dari sistem yang mendukung, dan tidak menutup kemungkinan
disebabkan oleh kedua-duanya. Pribadi yang baik, tanpa didukung oleh sistem yang
baik akan menyebabkan perilaku tak berbudaya, demikian pula sebaliknya. Interaksi
harmonis antara keduanya menjadikan budaya kerja dapat diterapkan secara baik di
suatu satuan organisasi/kerja.
Dalam mewujudkan budaya kerja, faktor -faktor pendukungnya adalah:
8. Faktor internal, faktor yang tumbuh dari dalam diri aparatur negara, meliputi:
2) Pengetahuan, seberapa tinggi tingkat pengetahuan aparatur negara dalam
mengetahui dan memahami nilai dasar, persepsi dan sikap dalam budaya kerja
97
melalui PPA, baik yang diperoleh dari tingkat pendidikan formal, pelatihan
atau pengalaman selama bekerja.
3) Sikap, seberapa peduli aparat ur negara dalam menghayati dan merefleksikan
budaya kerja, baik yang diperoleh dari hasil penghayatan maupun peneladanan
selama bekerja.
4) Keterampilan, seberapa terampil dan cekatan aparatur negara dalam
menerapkan budaya kerja, baik yang diperoleh dari pembiasaan dalam bekerja
maupun dari hasil interaksi dengan teman sejawat dalam bekerja.
5) Moral, seberapa kuat moral yang dimiliki aparatur negara dalam menerapkan
budaya kerja. Moral dalam konteks PPA diturunkan dari agama, dimana
agama dipersepsi sebagai kekuatan moral (moral force) dalam melaksanakan
budaya kerja.
9. Faktor eksternal, faktor yang tumbuh dari luar diri aparatur negara, meliputi:
10. Situasi dan kondisi kerja, seperti penegakan peraturan, kompensasi dan upah,
penerapan reward and punishment , jaminan kerja, pembenahan kepegawaian,
berjalannya evaluasi dan pengawasan (baik preventif maupun represif), sistem
kontrol dan tekanan pekerjaan serta iklim kompetisi.
11. Hubungan interpersonal dan team work yang komunikatif, baik vertikal
maupun horizontal, seperti kerja sama yang solid, saling menghormati dan
keteladanan pimpinan.
12. Citra kelembagaan dimana aparatur bekerja, misalnya Departemen Agama
memiliki citra kelembagaan sebagai pengemban moral -keagamaan bangsa
yang setiap aparaturnya harus memiliki citra diri (self image) dan harga diri
(self esteem) yang positif.
Dengan mengadopsi teori kinerja Blumberg dan Pringle (dalam Robbins:
1996), faktor yang memengaruhi berkembangnya budaya kerja dapat disederhanakan
dalam rumus BK = A X M X O: bahwa budaya kerja merup akan hasil perkalian dari
ability (kemampuan), motivation (kemauan) dan opportunity (kesempatan). Faktor
kemampuan dan kemauan berasal dari sisi internal aparatur negara, sedangkan
kesempatan berasal dari sisi eksternal aparatur negara. Berdasarkan teori i ni,
implementasi budaya kerja melalui PPA para aparatur Departemen Agama dapat
dilakukan melalui:
98
1. Optimalisasi pendayagunaan kemampuan dalam upaya memahami, menghayati
dan menerapkan budaya kerja melalui aktualisasi bakat dan kecerdasan dengan
pembelajaran dan pengalaman kerja.
2. Peningkatan kemauan dalam upaya mengendalikan dan mengontrol diri
melaksanakan budaya kerja melalui mekanisme penyadaran diri, penataan niat
dan pengawasan melekat dari diri sendiri.
3. Pemanfaatkan kesempatan dalam upaya mengemban aman ah dan tuntutan profesi
untuk menerapkan budaya kerja melalui pemberdayaan sistem keadilan dan
pengawasan dari luar, baik pengawasan fungsional, legislatif, yuridis maupun
masyarakat.
Dengan menggunakan PPA sebagai pendekatan dalam penerapan budaya
kerja, ketiga faktor tersebut dilakukan dalam bingkai nilai ikhlas beramal sebagai nilai
dasar pembentukan budaya kerja. Artinya, optimalisasi pendayagunaan kemampuan,
peningkatan kemauan dan pemanfaatan kesempatan semata -mata untuk aktualisasi
program pengawasan yang tidak bertentangan dengan nilai -nilai agama.
Uraian tersebut dapat disederhanakan dalam gambar berikut:
Gambar 3
Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Berkembangnya Budaya Kerja
B u d a y a
K e r j a
S e l f a w a r e n e s s m e c a n i s m J u s t i c e s y s t e m
L e a r n i n g , e x p e r i e n c e
M o t i v a t i o n =
A t t i t u d e + S i t u a t i o n
A b i l i t y = K n o w l e d g e + S k i l l
T r u s t w o r t h y
A b i l i t y
( K e m a m p u a n )
M o t i v a t i o n
( K e m a u a n )
O p p o r t u n i t y
( K e s e m p a t a n )
Daftar Pustaka
99
Ahmad Batinggi, Manajerial Pelayanan Umum, Universitas Terbuka: Jakarta,
1999.
Azwar, Saifudin, Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003.
Bandura, Albert, Social Learning Theory, Englewood Cliffs, NJ.: Prentice-
Hall, 1977.
BPS/Badan Pusat Statistik dan Depsos/Departemen Sosial, Penduduk Fakir
Miskin Indonesia 2002, Jakarta: BPS, 2002.
Brown, Clerence W. and Edwin E. Ghiselli, Scientific Method in Psychology, New
York: McGraw-Hill Book Company, 1955.
Chaplin, James P., Kamus Lengkap Psikologi , terj. Kartino Kartono, Jakarta:
Rajawali, 1989.
Djokosantoso Moeljono, More About Beyond Leadership: Dua Belas Konsep
Kepemimpinan, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2009.
Gary Yulk, Kepemimpinan dalam Organisasi, Jakarta: Indeks, 2007
Gibson, Ivancevich dan Donne lly, Organisasi; Perilaku, Struktur, Proses, Jakarta:
Erlangga, 1982
Ghazali, Abu Hamid Muhammad, Ihya' Ulum al-Din, Beirut: Dr al-Fikr, tt.
Haimann, Theo and William G. Scott, Management in the Modern Organization New
York: Houghton Mifflin Company, 197 0
Hasibuan, SP. Manajemen Sumber Daya Manusia, Ed Revisi, PT. Bumi
Aksara: Jakarta, 2000.
Holland and Gottfredson, Measurement of Job Satisfaction, (http://wwww.
pieinc.com/ disertation/measurement.htm), 2000.
Ibn Maskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlaq, terj. Helmi Hidayat, judul
asli, Tahdzib al-Akhlq", Bandung: Mizan, 1994.
Ife, Jim, Community Development: Creating Community Alternatives,Vision,
Analysis and Practice, Longman: Australia, 1995.
Inspektorat Jenderal Departemen Agama, Modul Pengawasan dengan
Pendekatan Agama, Jakarta: Inspektorat Jenderal Departemen Agama, 2008.
Inspektorat Jenderal Departemen Agama, Pencegaran Perilaku Korupsi
dengan Pendekatan Agama, Jakarta: Inspektorat Jenderal Departemen Agama,
2006.
100
Inspektorat Jenderal Departemen Agama, Pengawasan dengan Pendekatan
Agama, Jakarta: PPPKPMJA, 2005.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara RI Nomor
25/KEP/M.PAN/04/2002 tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja
Aparatur Negara, Jakarta.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negar a RI Nomor
25/KEP/M.PAN/04/2002 tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja
Aparatur Negara, Jakarta.
Kohlberg, Lawrence, Tahap-Tahap Perkembangan Moral, Yogjakarta:
Kanisius, 1995.
Mangkunegara, Anwar Prabu, Perilaku Konsumen, Bandung: Refika Aditama,
2004.
Mathir R.L. and Jackson JH., Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: PT
Salemba Emban Patria, 2002.
Newstorm, JW dan Keith D, Organization Behavior: Human Behavior at
Work. 9th, McGraw-Hill, Inc. 1993.
Parsons, Ruth J., James D. Jorgensen, Santos H. Herna ndez, The Integration of
Social Work Practice. Wadsworth, Inc., California, 1994
Poediwiyatna. Etika: Filsafat Tingkah Laku. Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
Qodri A. Azizy, 2007. Reformasi Birokrasi,PT. Gramedia, Jakarta.
Rappaport, J., Studies in Empowerment: Introduction to the Issue, Prevention
In Human Issue, USA, 1984
Robbins, SP, 1996. Perilaku Organisasi : Konsep Kontroversi, Aplikasi . Ed
Indonesia, PT. Prenhallindo, Jakarta
Sastrohadiwiryo, Manajemen Pegawai: Tenaga Kerja Indonesia,
Jakarta;Bumi Aksara;2003
Saydam, G. 1996. Manajemen Sumber Daya Manusia (Human Resources
Management), Jambatan, Jakarta.
Siagian, Sondang P. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Simamora, Bilson, Panduan Riset Perilaku Konsumen, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1999
Sinamo, Jansen H., 8 Etos Kerja Profesional , Jakarta: Institut Darma
Mahardika, 2005
Sternberg, Robert J. The Triangle of Love, USA: Basic Book Inc, 1988
101
Swift, C., & G. Levin, Empowerment: An Emerging Mental Health
Technology, Journal of Primary Prevention, USA, 1987
Syarif Ali al-Jurjawiy, Kitab al-Tarifat, Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyat, 1988
Triguno, 2003. Budaya Kerja Menciptakan Lingkungan kondusif untuk
Meningkatkan Produktivitas Kerja, Golden Terayon Press, Jakarta
102
LAMPIRAN EVALUASI KEGIATAN
C. Bahan diskusi dan Tinjauan
1. Jelaskan latar belakang mengapa budaya kerja perlu dikembangkan melalui
Pengawasan dengan Pendekatan Agama! Apakah perbedaannya jika budaya kerja
dikembangkan melalui selain PPA?
2. Sebutkan elemen-elemen dasar pengertian Budaya Kerja melalui pengawasan
dengan pendekatan agama serta jelaskan maksudnya!
3. Nilai dasar budaya kerja Departemen Agama melalui PPA terfokus pada ikhlas
beramal. Jelaskan kedua kata tersebut! Apakah kaitan antara keduanya?
Bagaimana jadinya jika keduanya tidak dikaitkan dalam bekerja?
4. Persepsi dalam budaya kerja Departemen Agama melalui PPA yang meliputi
pelayanan, pemberdayaan dan peneladanan memiliki kebermaknaan sendiri dalam
kinerja aparatur. Jelaskan kebermaknaan masing -masing persepsi kerja i tu dan
berilah ilustrasinya!
5. Sebutkan tiga sikap budaya kerja Departemen Agama melalui PPA yang
terpenting menurut anda! Jelaskan indikasi -indikasinya! Berilah ilustrasi kasus
terkait dengan pengalaman yang anda miliki dalam kerja !
6. Faktor-faktor yang menumbuhkan budaya kerja melalui PPA di lingkungan
Departemen Agama yang anda ketahui?
D. Asesmen Diri (Self Assesment)
DILEMA ETIKA TERHADAP SIKAP KERJA
Berikut ini ada beberapa cerita kasus. Anda diminta untuk membaca,
memahami dan mendiskusikannya dengan anggota kelompok dan kemudian
menjawab pertanyaan yang ada dibawahnya. Jawaban anda merupakan refleksi dari
pengalaman anda sehari-hari dalam bekerja. Selamat mengerjakan.
1. Kasus Satu
SIKAP JUJUR DAN MEMILIKI INTEGRITAS TINGGI
103
Di suatu kerajaan, hidup Raja yang sangat kejam dan sombong. Dia merasa
penguasa dunia, dan karenanya warganya harus menyembahnya . Ia melarang
hambanya menyembah Tuhan. Warga yang selama ini telah memiliki keyakinan
untuk menyembah kepada-Nya, harus mengganti keyakinannya menyembah
kepadanya. Siapapun yang menentang perintahnya akan mendapatkan hukuman berat,
yakni hukuman mati.
Hampir semua warga mematuhi perintah Raja, mengganti keyakinannya dan
tidak lagi menyembah Tuhan, karena mereka sangat takut dengan kekejaman nya.
Namun ternyata ada tiga orang yang secara diam-diam tatap menjalankan keyakinan
lamanya menyembah Tuhan dengan setia.
Suatu saat informasi tentang ketiga orang tersebut didengar oleh raja dan
kemudian Raja pun memanggilnya. Ketiga orang tersebut diminta untuk segera
mengganti keyakinannya agar terbebas dari hukuman mati. Tinggalkan Tuhanmu
dan sembahlah aku, maka kalian terbebas dari hukuman mati .Ketiga orang tadi
merasa bingung, harus menjawab apa, mereka masih ingin tetap menyembah Tuhan,
tapi hukuman dari Raja yang berat begitu menghantuinya.
Andaikan anda merupakan salah satu dari ketiga orang tersebut, apa yan g akan
anda lakukan dalam menyikapi dilema etis kejujuran dan integrasi diri tersebut?
2. Kasus Dua
SIKAP MEMILIKI ETIKA, AKHLAK MULIA DAN MEMBERI SURI
TAULADAN
Seorang suami menderita sakit keras dan untuk kesembuhannya dibutuhkan
biaya perawatan yang banyak. Istrinya dan seluruh keluarganya berusaha keras
membantu agar sang suami dapat sembuh dari sakitnya, termasuk membawanya ke
rumah sakit terbaik di kota agar mendapatkan pelayanan maksimal. Segala daya
upaya telah dilakukan oleh sang istri yang begitu setia. Sang istri sampai merelakan
seluruh harta benda yang dimiliki demi membayar pengobatan dan perawatan
suaminya. Namun sang suami tak kunjung sembuh.
Dokter mengatakan tinggal satu harapan yang masih mungkin untuk
dilakukan, yaitu menjalani operasi pembedahan . Saran itu berguna. untuk mengangkat
penyakit sang suami yang sudah menjalar di seluruh tubuh. Operasi tersebut
membutuhkan biaya yang mahal dan hart a yang tersisa yang dimilikinya tinggal
104
rumah yang disinggahi bersama anak-anak mereka. Sang istri mengalami dilema yang
luar biasa.
Seandainya anda berada dalam posisi sang istri, apa yang akan anda lakukan
dalam menyikapi dilema etis akhlak mulia dan sur i tauladan?
3. Kasus Tiga
SIKAP TAAT HUKUM DAN ATURAN
Seorang pegawai negeri sipil berinisial A terbiasa kerja dengan mematuhi hukum
dan aturan. Pegawai A memiliki ibu yang sangat dihormati sedang menderita sakit. Ia
satu-satunya anak yang diandalkan, semen tara saudaranya yang lain dalam kondisi
pas-pasan. Sebagai pegawai biasa, gaji yang diterima hanya cukup untuk membiayai
kehidupan sehari-hari tanpa ada kelebihan, sehingga saat ibunya sakit ia mengalami
kebingungan yang dilematis.
Di kantor, ia menduduki posisi bendahara. Dengan keahlian administrasinya, i a
memiliki kesempatan untuk mengambil uang yang secara administratif dapat
dipertanggungjawabkan. Ia juga sering mendapatkan uang tips dari setiap orang yang
membutuhkan jasanya. Ia bingung, apakah uang tips tersebut ditolak atau tidak,
sementara ibunya sangat membutuhkan uluran tangannya.
Seandainya anda pegawai berinisial A itu, apa yang anda lakukan dalam
menyikapi dilema etis taat hukum dan aturan?
4. Kasus Empat
SIKAP BERTANGGUNG JAWAB DAN AKUNTABEL
Sang raja, Aji Saka hendak pergi ke perbatasan untuk menghancurkan orang jahat
yang sering menghantui para penduduk. Beliau berpesan kepada abdinya yang sangat
setia dan dipercaya, Sembada, untuk menjaga pusaka aji dengan pesan; Janganlah
kauberikan kepada siapa pun pusaka aji itu, kecuali kepadaku, ketika aku kembali ke
kerajaan.! Seusai berujar, Aji Saka berangkat dengan tenang karena ia percaya
pusaka aji itu tidak akan berpindah tangan, apalagi tangan yang salah.
Raja Aji Saka kemudian berhasil mengala hkan orang jahat tersebut. Untuk
sementara waktu ia harus tinggal diperbatasan demi memastikan tidak ada lagi orang
yang akan mengganggu ketentraman penduduk. Pada suatu ketika teringatlah Raja Aji
105
Saka akan Sembada abdinya yang ditugaskan menjaga pusaka a ji, Lalu diutusnyalah
Dora menemui Sembada di istana Kerajaan untuk membawa pusaka aji ke perbatasan,
dengan pesan, Bawalah pusaka aji ke Tanah Jawa! Rawe -rawe rantas, malang-
malang putung!
Ketika saatnya tiba, di istana Kerajaan, kedua hamba, Sembada da n Dora,
bertemu muka. Masing-masing berketetapan hati menetapi titah Sang Aji Saka.
Masing-masing berpegang teguh pada titah Tuannya. Terjadilah perang habis -habisan.
Sembada dengan jurus-jurus unggulannya mengalahkan kuasa kepentingan diri.
Sedangkan Dora dengan jurus-jurus andalannya bertanding melawan kuasa ingkar
janji. Masing-masing menunjukkan ketaatan dan kesetiaan sampai tetes darah
penghabisan, sampai keduanya mati. Ketaatan dan kesetiaannya terhadap janji
menjadikan dirinya mati.
Berita kematian kedua abdinya, Sembada dan Dora, sampai juga ke telinga Sang
Aji Saka. Hati Sang Aji terharu. Terharu karena kematian pahlawan ketaatan dan
kesetiaan sampai mati. Kematian mereka diabadikan oleh Sang Aji Saka dalam aksara
Jawa. (Hanacaraka, datasawala, padajayanya, maga batanga).
1. Menurut anda bagaimana sikap dan perilaku seharusnya Sembada, Dora dan Aji
Saka?
2. Menurut anda apa yang harus dilakukan agar peristiwa tersebut tidak terjadi
dilema etik dalam mengemban tanggung jawab yang akuntabel ?
5. Kasus Lima
SIKAP HORMAT KEPADA ORANG LAIN DAN TIDAK
MENYALAHKANNYA
Pada suatu malam, Nabi Muhamad pulang ke rumah melebihi jam biasanya.
Aisyah istrinya menunggu kedatangan suami tercintanya, namun Nabi Muhammad
tak kunjung pulang. Akhirnya Aisyah tertidur dan pintu r umah dalam keadaan
terkunci dari dalam. Nabi Muhamad pulang ke rumah, mengetuk pintu dan memberi
salam. Namun karena Aisyah sudah tertidur lelap, ia tidak mendengar suara ketukan
pintu dan salam Nabi. Nabi berusaha lagi membangunkan istrinya dengan mengetu k
pintu, namun Aisyah tidak juga terbangun. Kejadian itu membuat Nabi Muhammad
tidur di depan pintu rumah semalaman.
106
Keesokan harinya, mengetahui suaminya tidur di depan pintu karena pintu
rumah terkunci dan Nabi tidak dapat masuk, Aisyah merasa sangat be rsalah. Mengapa
ia mesti tertidur dan tidak membukakan pintu untuk Nabi. Segera Aisyah meminta
maaf atas kejadian semalam kepada Nabi. Saat menyampaikannya kepada Nabi, Nabi
menjawab; justru saya yang harus meminta maaf kepadamu wahai Istriku, aku telah
berbuat salah karena pulang terlalu malam, sehingga membuat engkau harus
menungguku hingga larut malam. Aku tahu engkau terlalu lelah menunggu sehingga
terlelap tidur. Jadi saya lah yang harus meminta maaf wahai istriku.
Menurut anda;
1. Mengapa kedua-duanya merasa bersalah?
2. Apa yang dapat anda ambil hikmah dari cerita di atas?
6. Kasus Enam
SIKAP MENYINTAI PEKERJAAN DAN BEKERJA KERAS
Seorang preman sudah sering masuk penjara, ia keluar dan bebas dari tahanan,
namun kemudian ia kembali berbuat kejahatan, tertan gkap dan dimasukkan lagi ke
dalam penjara. Walau sudah sering keluar masuk penjara, ia tetap saja tidak merubah
sikap dan perilaku hidupnya, dan ia berketetapan hati untuk tetap menjadi preman. Ia
sudah terlanjur mencintai profesinya menjadi preman.
Saat ditanya mengapa ia tetap saja tidak mau bertobat dan masih saja berbuat
jahat manjadi preman. Dengan santai ia menjawab, saya sudah sangat menjiwai
profesi saya sebagi preman, saya sudah memiliki kekuasaan dan anak buah yang setia,
saya juga mendapatkan kepastian pendapatan yang tetap sebagai seorang preman.
Kalau jadi preman, saya bisa mendapatkan makan dengan cara merampas atau
memeras, kalaupun nanti ditangkap polisi dan dipenjara, saya masih tetap
mendapatkan makanan di penjara. Justru kalau saya berhent i, saya khawatir tidak
mendapatkan makan, karena saya tidak punya keahlian lain untuk bekerja selain untuk
berbuat jahat.
1. Menurut anda apa yang seharusnya dilakukan oleh si preman?
2. Bagaimana sikap anda jika memiliki teman setia seperti preman itu?
3. Dapatkah anda mencintai pekerjaan dan profesi sebagaimana preman tersebut
mencintai pekerjaan dan profesinya?
107
7. Kasus Tujuh
SIKAP MENINGKATKAN TRANSPARANSI DAN KOORDINASI
Setiap selesai berdagang, Nabi Muhammad selalu melaporkan seluruh hasil
transaksi secara rinci kepada majikannya, tanpa mengambil sedikitpun keuntungan,
Beliau menyerahkan semua hasil pendapatan kepada Khadijah, dan kemudian
menerima saja upah yang diberikan oleh nya, walau upah tersebut jauh lebih kecil dari
total keuntungan perdagangan yang di lakukan beliau. Saat itu, Nabi berhasil menjual
berbagai macam barang dengan harga melebihi dari harga jual minimal yang telah
ditetapkan.
Amin, seorang karyawan sebuah perusahaan perdagangan ingin sekali
mencontoh prilaku Nabi Muhammad dalam bermitra bis nis dengan orang seperti
Khadijah tersebut. Ia sering berhasil menjual barang melebihi dari harga jual yang
telah ditetapkan perusahaan. Dari inspirasi cerita Nabi, akhinya Amin juga melakukan
hal yang sama, menyerahkan seluruh hasil pendapatan kepada supe rvisornya.
Sementara itu, banyak karyawan lain yang ketika mampu menjual dengan
harga di atas harga jual minimal, maka selisih harga tersebut diambil untuk dirinya,
dan melaporkan pendapatan sesuai dengan harga jual minimal yang telah ditetapkan
perusahaan saja. Prilaku Amin yang jujur dan transparan tersebut akhirnya
dimanfaatkan oleh supervisornya. Ia melaporkan kepada managernya pendapatan
Amin setelah dikurangi dengan selisih harga jual minimal. Dan selisih tersebut
kemudian diambil untuk dirinya. Hal i ni dilakukan oleh supervisornya tanpa
sepengetahuan dan sepersetujuan Amin.
Setelah sekian waktu belalu, Amin akhirnya mengetahui prilaku
supervisornya. Namun ia diancam oleh supervisornya untuk tidak membocorkan hal
ini kepada manajernya. Bila sampai beri ta ini bocor ia akan dipecat dari pekerjaannya.
Menurut anda apakah yang harus dilakukan oleh Amin.
1. Haruskan Amin melaporkan supervisornya dan itu berarti ia terancam akan
dipecat, karena belum tentu managernya akan percaya dengannya?
2. Haruskan Amin mengikuti perilaku karyawan lain, melaporkan keuntungan
secara fiktif?
3. Atau apakah Amin membiarkan saja, toh ia masih tetap aman dari pekerjaanny a?
4. Ataukah anda memiliki cara lain untuk keluar dari dilema etik sikap transparansi
dan koordinasi ini?
108
8. Kasus Delapan
SIKAP DISIPLIN TINGGI
Andi mengalami kebimbangan dan kebingungan yang amat sangat, ibunya
sedang sakit dan terbaring lemah di rumah sakit. Penyakit yang dideritanya
merupakan jenis penyakit baru yang belum dapat ditemukan obatnya. Sang dokter
yang merawatnya tidak dapat berbuat banyak untuk menyembuhkan sang ibu, kecuali
hanya memberikan perawatan agar penyakitnya tidak semakin memburuk.
Adalah seorang apoteker yang memiliki kemampuan meracik obat dan dapat
membuat obat untuk menyembuhkan penyakit yang d iderita sang ibu. Namun harga
obat tersebut sangat mahal, dan Andi tak mampu menebus obat itu karena Andi tidak
memiliki cukup uang. Andi kemudian secara baik -baik datang ke rumah apoteker
memohon agar ia dapat membeli obat dengan membayar setengah harga, dan setengah
harganya lagi akan ia bayarkan setelah ia memiliki uangnya. Namun apoteker tidak
mau memberikannya karena ia juga membutuhkan uang tersebut untuk kegiatan
operasional peracikan obat. Akhirnya Andi pulang dari rumah apoteker dengan tangan
hampa.
Andi terus teringat kondisi ibunya, dan semakin sedih dibuatnya. Ia kemudian
berusaha mencari pinjaman kesana kemari, namun juga tidak berhasil. Akhirnya
terpikir olehnya untuk mencuri obat yang dimiliki apoteker, dan ia lakukan itu di
malam hari. Sayangnya perbuatannya diketahui oleh polisi dan ia kemudian ditangkap
dan dimasukan ke dalam penjara.
1. Bagaimana sikap anda jika anda menjadi Andi
2. Bagaimana sikap anda jika anda menjadi Apoteker
3. Bagaimana sikap anda jika anda menjadi polisi
4. Bagaimana sikap anda jika anda menjadi hakim
9. Kasus Sembilan
SIKAP BERSAHAJA
Imam al-Ghazali salah satu tokoh besar dalam sejarah Islam. Ia merasakan
kebobrokan birokrasi dalam pemerintahan di Kota Baghdad. Sebagai salah satu
bagian dari birokrat, ia tidak kuasa untuk merubahnya, bahkan kian lama birokrasi
109
yang dirasakannya kian korup. Ia merasa usaha -usaha yang dilakukannya untuk
merubahnya tidak cukup mampu melawan arus korupsi yang semakin kuat. Bahkan
akhirnya ia juga khawatir akan terjerumus dalam prilaku yang korup. Akh irnya
setelah lama berpikir dan mempertimbangkan, ia memutuskan untuk berhenti dari
birokrasi dan keluar dari Kota Baghdad, dengan ber-uzlah (mengasingkan diri)
mencari tempat yang lebih baik.
Fasilitas yang diterima oleh Imam al-Ghazali sudah lebih dari cukup. Jika ia
meninggalkan Baghdad belum tentu ia akan mendapatkan fasilitas yang sama, namun
ia tetap memilih keluar dari Baghdad. Sepeninggal Imam al-Ghazali, ternyata
birokrasi di Baghdad makin bertambah korup. Hal ini terjadi karena ia yang selama
ini punya peran untuk menekan laju korupsi sudah tidak ada lagi.
Seandainya anda menjadi Imam al-Ghazali, apa yang akan anda lakukan?
1. Tetap bertahan di kota Baghdad yang korup, anda akan tetap mendap atkan
fasilitas, namun hal ini berarti anda hidup dalam lin gkungan yang zalim.
2. Ataukah meninggalkan Baghdad dan segala fasilitasnya agar anda dapat keluar
dari lingkungan sesat untuk menghindari dari godaan korupsi, dan ini berarti ia
membiarkan perilaku sesat berlaku di Baghdad.
3. Ataukah anda punya solusi lain lai n menyikapi dilema etis sikap kerja yang
bersahaja?
110
MATRIKS BUDAYA KERJA MELALUI PENGAWASAN DENGAN
PENDEKATAN AGAMA
A. Dasar Nilai: Ikhlas Beramal
Rumusan Ikhlas Beramal Bekerja secara total tanpa pamrih. Rumusan
tersebut mengandung dua unsur utama:
n. Bekerja total: Mengerahkan segenap kemampuan, kemauan dan
kesempatan untuk mewujudkan kinerja sesuai tugas dan funginya sebagai
aparatur Departemen Agama.
o. Tanpa pamrih: Kerja dengan ketulusan hati dalam rangka beribadah kepada
Tuhan, demi mewujudkan kemaslahatan dan kemakmuran bangsa dan negara.
Fungsi Nilai Dasar Ikhlas Beramal
1. Fungsi jati diri, yang merefleksikan karakter pribadi aparatur negara.
2. Fungsi kinerja, berlaku sebagai landasan komitmen bekerja aparatur negara.
3. Fungsi dakwah, berlaku sebagai citra kelembagaan yang menjadi penjaga
moral-keagamaan bagi bangsa Indonesia.
B. Persepsi Kerja
1. Kerja adalah pelayanan (Syarat: Bekerja secara cerdas, fokus pada pelanggan,
adanya 6 S, adanya penghargaan dan hukuman)
2. Kerja adalah pemberdayaan (Syarat: Bekerja d alam tim, jaringan, mandiri dan
menghargai yang lain)
3. Kerja adalah peneladanan (Syarat: Shiddiq ( honest), amanah (trusworthy),
tabligh (reliable), fathanah (smart), taat ibadah dan silaturrahmi )
C. Sikap dan Perilaku Kerja
No Sikap Perilaku Capaian yan g
Diinginkan
1 Jujur dan
memiliki
integritas tinggi
Bekerja secara benar dan penuh ketulusan tanpa menghitung -
hitung jasa dan tenaga, namun tidak mengurangi kualitas
pekerjaannya.
Aparatur yang jujur,
bersih, ikhlas dan
berwibawa sebagai
pengemban kepercayaan
(amanah) dari bangsa dan
negara
Kejujuran dalam
pembuatan rencana,
penentuan kebijakan,
pengambilan keputusan,
penentuan anggaran,
pelaksanaan kerja dan
pertanggungjawabannya
Profesional dalam bekerja
dengan menjunjung tinggi
nilai moral dan agama
Konsisten antara pikiran, perkataan dan perbuatan yang dilandasi
oleh suara hati dan keyakinan akan kebenaran yang hakiki dalam
melaksanakan tugas.
Bersyukur atas pendapatan yang diterima dan menikmati
pekerjaan tanpa gampang mengeluh.
Bebas dari aji mumpung (moral hazard) dalam penyalahgunaan
wewenang dan jabatan secara sewenang-senang.
Menyumbangkan seluruh daya upayanya secara sukacita dengan
penuh dedikasi dalam menerima amanah kerja.
Memiliki semangat menuju kebaikan, tanpa terselip berbuat jahat
atau buruk.
Berjiwa besar dan sanggup mengakui saat melakukan kesalahan
untuk kemudian bersedia memperbaiki.
Bersedia mengakui kesalahan diri sendiri dan tidak melempar
kesalahan kepada pihak lain.
Menepati janji dalam penerapan aturan dan etika yang berlaku.
Berpegang teguh pada kebenaran meskipun harus melawan arus.
Tidak menerima segala sesuatu dalam bentuk apa pun yang dapat
mengganggu integritas serta mengurangi objektivitasnya.
2 Memiliki etika,
akhlak mulia,
dan memberi
suri teladan
Menunjukkan wajah yang menyenangkan saat melayani. Kepemimpinan paham
terhadap visi dan misi
organisasi dan mampu
mengendalikan
organisasi dengan
berpijak pada nilai moral
dan agama sehingga
perilakunya menjadi
teladan bagi yang lain
Kepemimpinan yang
bersikap positif, terbuka,
demokratis dan
memberdayakan
Memiliki kearifan dan kebijakan dalam pelayanan orang
bermasalah, sehingga penegakan aturan dalam kerangka
menghargai orang yang dilayani.
Simpati dengan bersikap sopan, ramah dan demokratis, sehingga
ia mengikis habis rasa senang melihat orang lain susah, susah
melihat orang lain senang.
Empati atau memiliki pengertian terhadap perasaan, kebutuhan
dan kesulitan rekan kerja, bawahan dan orang yang dilayani
dengan memberikan bantuan, utamanya dukungan moral atau
pemecahan masalah.
Bersabar saat menghadapi pekerjaan yang menyulitkan dan
membingungkan, serta beusaha mencar penyebabnya sehingga
111
No Sikap Perilaku Capaian yan g
Diinginkan
pekerjaan itu dapat diselesaikan dengan baik. sehingga mampu
mengayomi dan
mensejahterakan yang
lain
Bersyukur saat mendapatkan kebaikan dan berprestasi, agar
nantinya prestasi tersebut tetap dapat diraih kembali.
Menghormati dan menghargai atasan atau senior, menyayangi
rekan sesama/setingkat dan kepada bawahan.
Berpikir dan bertindak positif dalam berinteraksi dengan orang
lain, tidak gampang curiga terhadap niat baik orang lain, bahkan
mampu memengaruhi orang lain untuk berpikir dan bertindak
positif.
Menyampaikan pesan dengan bahasa yang santun dan baik, yang
mudah diterima orang lain.
Menunjukkan kebenaran sebagai suatu kebenaran dan kebatilan
sebagai suatu kebatilan, baik dalam bentuk hati, lisan maupun
tindakan.
3 Taat hukum
dan aturan-
aturan yang
berlaku
Bekerja sesuai ketentuan yang berlaku dengan mengikuti SOP
(standar operational prosedure).
Dedikasi dan loyalitas
terhadap pekerjaan
berdasarkan hukum dan aturan
yang berlaku seiring dengan
pencapaian visi, misi dan
tugas instansi dan nilai-nilai
budaya kerja yang disepakati
Bekerja secara teratur dan konsisten mematuhi dan mengikuti
peraturan yang berlaku.
Menyelesaikan masalah merujuk pada hukum dan aturan yang
berlaku.
Memegang teguh prinsip dan tujuan yang telah ditetapkan
bersama.
Menegakkan kebenaran dan memberantas kebatilan dengan
berani, adil dan bertanggung jawab demi penegakan hukum dan
aturan.
Bekerja sama dalam rangka menegakkan kebaikan dan
menghindari kemungkaran.
4 Bertanggung
jawab dan
akuntabel
Menerima segala konsekuensi dan risiko atas hasil kerjanya. Adanya kredibilitas dalam
bekerja dan berani
menanggung risiko dari apa
yang dikerjakan sebagai
akibat dari
pertanggungjawabannya
Adanya rasa bersalah dan budaya malu apabila belum atau tidak
menyelesaikan tugas dengan baik.
Memegang teguh kode etik dengan menyimpan rahasia negara
dan rahasia jabatan.
Mempertahankan kinerja professional berdasarkan standar yang
berlaku.
Bekerja secara profesional dengan cara meningkatkan
pengetahuan, keahlian dan kompetensi diri, baik kompetensi
personal, sosial maupun tuntutan profes ionalisme.
Melakukan penyempurnaan dengan cara mencari peluang dan
solusi untuk meningkatkan layanan dan kinerja.
Memberikan hasil terbaik melalui cara -cara yang kreatif dan
inovatif.
Bersikap proaktif, kreatif, inovatif dan responsif dalam
menghadapi perubahan yang terjadi.
Menempatkan kebutuhan stakeholders di atas kepentingan sendiri.
Melindungi hak stakeholders untuk memperoleh pelayanan yang
berkualitas dari pegawai.
Menikmati setiap tugas dan pekerjaan yang diberikan dan
bertanggung jawab atas penyelesaiannya.
Bekerja dengan mengikuti standar baku dan perkembangan ilmu
pengetahuan serta teknologi canggih.
Mengembangkan opini berdasarkan data dan fakta.
Memberikan informasi yang akurat berhubungan dengan
pekerjaan yang ditekuni.
Berusaha mempertahankan dan memelihara kualitas pekerjaan
berdasarkan standar dan etika profesi.
Mampu dan mau mengingatkan sejawat perawat/bidan untuk
bertindak profesional dan sesuai etik moral profesi.
Mematuhi kebijakan dan peraturan yang berlaku, termasuk
pedoman yang disiapkan oleh institusi atau organisasi.
Menjaga etika dan hubungan interpersonal dalam memberikan
pelayanan dengan kualitas yang tinggi.
5 Hormat kepada
hak-hak orang
lain dan tidak
mudah
menyalahkan
orang lain
Memberikan layanan terbaik dengan dilandasi sikap saling
menghargai dan hubungan kemitraan yang sinergis.
Rasa kebersamaan yang
mampu mengoptimalkan
potensi dan kompetensi
pribadi bersamaan dengan
pemberdayaan yang lain
Tenggang rasa
antarkolega dalam semua
tahapan pekerjaan, tidak
mudah menyalahkan
tetapi ringan sama
Berlaku ramah dan sopan pada setiap orang dengan menghormati
yang lebih tinggi dan menyayangi yang lebih rendah.
Menghargai pendapat dan perbedaan dari yang lain.
Berkomitmen terhadap keputusan yang telah disepakati bersama.
Memanfaatkan saran dan kritik konstruktif dari orang lain serta
memberi nasihat pada yang melanggar hukum dan aturan.
Bersaing secara sehat dengan menjunjung tinggi prins ip maju
tanpa mengorbankan pihak lain.
112
No Sikap Perilaku Capaian yan g
Diinginkan
Memiliki kesadaran dan kepekaan team work atau korps yang
tinggi dengan prinsip saling asah, asih dan asuh.
dijinjing berat sama
dipikul
Tidak menggunakan fasilitas umum yang menjadi hak bersama
untuk kepentingan diri pribadi.
Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat institusi dengan
perilaku yang taat dan sadar hukum.
6 Mencintai
pekerjaan dan
mau bekerja
keras
Mengerjakan sendiri pekerjaan yang menjadi tugasnya sampai
tuntas, dengan tidak melupakan koordinasi atau konsultasi denga n
pihak lain
Bekerja penuh kreatif dan
produktif dalam mencapai
tujuan yang dilakukan dengan
senang hati tanpa membawa
tekanan psikologis yang
mengganggu
Memanfaatkan sarana dan fasilitas yang ada untuk menyelesaikan
pekerjaannya, tidak menuntut sesuatu di luar kemampuan instansi.
Menerima amanah pekerjaan atau jabatan sesuai kompetensi yang
dimiliki, kemudian ia berkomitmen menyelesaikannya sampai
tuntas.
Menyeimbangkan proses dan hasil dalam bekerja, sehinggal hasil
kerjanya rapi dan baik
Memiliki kontrol diri yang baik saat mengerjakan pekerjaan yang
sulit.
Menfokuskan diri pada tugas yang diamanahkan, tanpa iri hati
terhadap kemudahan pekerjaan orang lain.
Menyelesaikan pekerjaan dengan senang hati, tanpa beban dan
menikmatinya.
Bekerja tidak gampang putus asa dan mengeluh.
Mengubah kendala dan kesulitan menjadi peluang dan tantangan
yang perlu diperjuangkan.
Memiliki keuletan dan berusaha terus-menerus mencapai tujuan.
7 Meningkatkan
transparansi
dan koordinasi
Membuka diri dalam menerima saran dan masukan dari dan untuk
orang lain sebagai bahan penyempurnaan tugas.
Pelaksanaan pekerjaan secara
adil, proporsional,
terkoordinasi dan terintegratif
berdasarkan ketentuan hukum
yang berlaku
Semua aktivitas dapat diakses
dan dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat
Berpikir positif terhadap sikap dan perilaku orang lain tanpa
disertai curiga, rasa iri dan dengki.
Melibatkan seluruh pihak yang terkait sesuai batas wewenang
masing-masing, sehingga seluruh anggota saling mendapatkan
peran.
Tidak melakukan langkah dan tindakan di luar ketentuan yang
telah disepakati, sehingga semua tindakan dapat terkontrol,
terkoordinasi dan terarah.
Adanya integrasi kerja yang baik pada seluruh kegiatan yang
direncanakan dalam mencapai tujuan bersama
Tidak berpikir sektoral atau bagian per bagian dalam menjalankan
tugas, melainkan memandang orang lain dan satuan unit lain
sebagai bagian yang integral dalam mencapai keberhasilan.
Berpartisipasi aktif dan memberikan kontribusi nyata dalam setiap
kegiatan sesuai bidang keahlian.
Saling mengomunikasikan setiap permasalahan yang timbul,
sehingga dapat dicarikan solusi bersama tanpa melukai perasaan
pihak tertentu.
Saling percaya antara atasan, bawahan dan antaranggota
kelompok kerja.
8 Disiplin yang
tinggi
Menyelesaikan tugas secara cermat, tertib, teratur dan tepat waktu. Pelaksanaan tugas dengan
sungung-sungguh sesuai
prinsip-prinsip
manajemen, ketentuan dan
prosedur yang berlaku
Memanfaatkan seluruh
potensi, momen dan
sarana untuk mendukung
terciptanya lingkungan
kerja yang kondusif
Menaati ketentuan jam kerja, dengan datang dan pulang kantor
sesuai waktu yang telah ditetapkan.
Memiliki deadline kerja yang jelas dan berusaha menyelesaikan
pekerjaan sesuai deadline yang telah ditetapkan.
Memanfaatkan waktu untuk kerja sebaik mungkin, tanpa
menunda-nundanya tetapi juga tidak terburu -buru yang
mengakibatkan ketidaksempurnaan.
9 Bersahaja
dalam hidup
dan kehidupan
Berkata dan berperilaku sewajarnya, tidak ter lalu muluk-muluk
melebihi kapasitas dan wewenang yang dimiliki.
Kepribadian yang sederhana
tetapi berwibawa yang
menjadi inspirasi bagi yang
lain untuk berperilaku
sewajarnya
Berpakaian dan berpenampilan sewajarnya sesuai norma (etika)
agama dan sosial, dengan tidak mengenakan aksesoris yang
berlebihan seperti perhiasan dan parfum
Menggunakan fasilitas hidup sewajarnya, seperti kendaraan dan
alat teknologi-informatika, agar tidak membuka peluang iri hati
orang lain
113
LAMPIRAN DALIL-DALIL ISLAM
(AYAT-AYAT AL-QURAN DAN HADIS NABI TENTANG BUDAYA KERJA)
A. Nilai Dasar Budaya Kerja Departemen Agama
Ikhlas Beramal
Banyak ragam perilaku ( amal) yang dilakukan manusia, tetapi aktivitas terbaik
adalah aktivitas yang diikuti dengan keikhlasan.
Firman Allah SWT:
Katakanlah: "Apakah kamu memperdebatkan dengan kami tentang Allah, padahal
Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu; bagi kami amalan kami, bagi kamu
amalan kamu dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati ". (QS Al-Baqarah
[2]:139)
Aktivitas (amal) itu tergantung niat atau motivasi yang melatarbelakangi, sehingga
nilai aktivitas seiring dengan niatnya. Niat yang utama adalah ber aktivitas hanya
untuk Allah SWT Maha Pengawas.
Sabda Nabi SAW:
`
"Sesungguhnya segala aktivitas itu tergantung pada niat. D an sesungguhnya bagi
seseorang memperoleh menurut apa yang diniati. Maka barangsiapa yang
hijrahnya untuk memperoleh dunia (materi) atau untuk memperoleh perempuan
untuk dinikahi, maka hijrahnya mendapatkan apa yang diniati itu ." (HR Al-
Bukhari dan Muslim dari Umar ibn al-Khaththab)
Hidup mati manusia semata-mata untuk Allah SWT, tanpa dicampuri oleh motif -
motif yang rendah. Pengkhianatan dalam peribadatan dan amal lainnya melalui
syirik menunjukkan ketidaksempurnaan dalam keberagamaannya kepada Allah
SWT.
Firman Allah SWT:
` -
Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibada hku, hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi -Nya; dan demikian itulah yang
diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama -tama menyerahkan
diri (kepada Allah)". (QS. Al-Anam:162-163)
Firman Allah SWT:
` `
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyemb ah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya
mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah
agama yang lurus. (QS Al-Bayyinah [98]:5)
Kebaikan manusia ditentukan dari keimanan dan amal salehnya. Keimanan
merupakan representasi dari ikhlas yang berdimensi vertikal, sedang beramal
merupakan representasi dari nilai bekerja yang berdimensi horizontal
114
- -
`
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik -
baiknya, kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah -rendahnya,
kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka bagi mereka pahala
yang tiada henti. (QS Al-Tn [95]: 4-6).
Nilai ketulusan selalu diperhitungkan oleh siapa saja, yang nantinya akan
menyebabkan kebaikan.
Firman Allah SWT:
`
Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul -Nya serta orang-orang
mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada
(Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan -Nya
kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan" . (QS Al-Taubah [9]:105)
Nilai amal sangat ditentukan oleh tingkat keabadi an, spiritualitas dan manfaat
yang memiliki pengaruh jangka panjang. Nilai itu diperoleh ketika seorang
individu beramal penuh ketulusan untuk kehidupan akhirat, sehingga dengan
sendirinya dunia (manfaat jangka pendek) mengikutinya.
Firman Allah SWT:
` -
Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami
berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan
mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang -orang yang tidak
memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah
mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan . (QS
Hd [11]:15-16)
Firman Allah SWT:
Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu
baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan
kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagian
pun di akhirat. (QS Al-Syr [42]: 20)
Ketulusan menjadi citra asli (fitrah) manusia yang ada sejak awal penciptaan. Jika
manusia tulus dalam beramal, maka ia tetap dalam fitrahnya yang menyelamatkan.
Sabda Nabi SAW:
"Tiga perkara yang menjadikan keselamatan, yaitu ikhlas berupa fitrah Allah
yang manusia diciptakan darinya, shalat yang merupakan inti agama, dan
ketaatan yang menjadi perisai." (HR. Abu Hamid dari Muaz)
115
Setiap aktivitas memiliki nilai dan derajat tersendiri, baik secara kuantitatif
maupun kualitatif. Derajat amal yang tinggi dikarenakan keikhlasannya.
Firman Allah SWT:
`
Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang
dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan . (QS
Al-Anm: [6] 132)
Dalam aktivitas ada kuantitas dan ada pula kualitas, tetapi Allah SWT sangat
menyukai kualitas suatu aktivitas, sekalipun tidak melupakan kuantitas. Kualitas
berhubungan apa yang tersembunyi dalam hati, dan itulah keikhlasan.
Firman Allah SWT:
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara
kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
(QS Al-Mulk [67]: 2)
Terdapat aktivitas tertentu hanya Allah yang menggajinya (memberi pahala
khusus), karena aktivitasnya begitu bagus sehingga upahnya tidak saja diterima
dalam bentuk materi melainkan upah dalam bentuk kondisi psikologis (rasa
nyaman, puas dan bahagia) dan sosial (diterima yang lain).
Firman Allah SWT:
Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini . Upahku tidak
lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Maka tidakkah kamu
memikirkan (nya)?" (QS Hd [11]: 51)
B. Persepsi Kerja
1. Pelayanan
Memberikan pelayanan kepada orang lain merupakan pekerti yang utama untuk
menuju jalan Allah SWT, seperti membela kebenaran, kebaikan, keadilan,
kejujuran, kesamaan dan sebagainya .
Sabda Nabi SAW:
Sedekah apakah yang paling utama. Nabi menjawab: Melayani seseorang yang
bekerja di jalan Allah atau memberi naungan orang yang berjalan di Fusthath
(Mesir) (HR. Al-Turmudzi dari Ibnu Khatim Al-Thaiy)
Pegawai seharusnya melayani orang lain sebaik mungkin, bukan minta dilayani
yang menyebabkan beban bagi orang lain, sebab memberi lebih baik daripada
menerima.
Sabda Nabi SAW:
Bukanlah suatu kebaikan orang yang meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan
meninggalkan akhirat untuk dunianya sehingga ia memperoleh keduanya, karena
116
sesungguhnya dunia itu ladang menuju akhirat. Dan janganlah kalian menjadi
beban atas orang lain. (HR. Al-Daylami dan Ibnu Asakir dari Anas bin Malik)
`
Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Tangan di atas maksudnya
yang memberi, sedang tangan di bawah adalah yang meminta . (HR. Al-Bukhari
dari Abdullah ibn Umar)
Kemampuan menjadi syarat bagi pelayanan prima, baik berupa ilmu pengetahuan
maupun keterampilan. Tentunya akan berbeda kualitas pelayanan antara orang
yang memiliki kemampuan dengan yang tidak memilikinya.
Firman Alllah SWT:
Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang -orang
yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat
menerima pelajaran. (QS Al-Zumar [39]: 9)
Firman Allah SWT:
`
Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya
yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang -orang
yang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan ." (QS Al-Midah [5]:100)
Cara melayani dengan 5 S, yaitu:
Pertama, Salam dengan penuh penghormatan, karena hal itu menyebabkan saling
mencintai antarsatu dengan yang lain.
Sabda Nabi SAW:
Demi Zat yang jiwaku dalam genggaman -Nya, kalian tidak masuk surga
sehingga kalian beriman, dan kalian tidak beriman sehingga kalian saling
mencintai. Apakah kalian mau saya tunjukkan tentang perilaku tertentu yang
apabila kalian lakukan maka kalian akan saling menyintai? Maka tebarkanlah
salam di antara kalian. (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Firman Allah SWT:
`
Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah
penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang s erupa).
Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu . (QS Al-Nis [4]: 86)
Kedua, Senyum dengan face yang menyenangkan, yang menyebabkan
stakeholders simpatik padanya.
Sunnah Nabi SAW yang selalu tersenyum:
Dari Jarir berkata: Tidak pernah menutupiku sejak aku masuk Islam bahwa aku
tidak pernah melihat wajah Nabi Muhammad kecuali tersenyum. (HR Al-
Bukhari dari Jarir)
117
Ketiga, Segera menyelesaikan pekerjaan tanpa ditunda-tunda, karena dengan
menunda-nunda itu akan kehilangan momentum.
Firman Allah SWT:
Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan -kebaikan, dan merekalah orang-
orang yang segera memperolehnya. (QS Al-Muminn [23]: 61)
Firman Allah SWT
`
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya.
Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu
berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat).
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS Al-Baqarah [2]:148)
Keempat, Selesai dan tuntas, karena dengan terselesainya satu pekerjaan dapat
beralih pada pekerjaan yang lain.
Firman Allah SWT:
- `
Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya
kamu berharap. (QS Al-Insyirh [94]: 7-8)
Kelima, Sempurna hasilnya, yang memiliki nilai kualitas tinggi bukan sek adar
bekerja asal-asalan.
Firman Allah SWT:
Yang menjadikan mati dan hidup supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu
yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun . (QS Al-
Mulk [67]: 2).
Pelayanan publik yang baik perlu mendapatkan penghargaan ( reward), sedangkan
yang sebaliknya harus mendapatkan hukuman (punishment).
Firman Allah SWT:
` `
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki -laki maupun perempuan
dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan . (QS Al-
Nahl [16]: 97)
Firman Allah SWT:
Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula) . (QS Al-Rahmn [55]: 60)
Firman Allah SWT:
118
Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya pahala
yang terbaik sebagai balasan, dan akan kami titahkan kepadanya (perintah) yang
mudah dari perintah-perintah kami. (QS Al-Kahfi [18]: 88)
Firman Allah SWT:
` `
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa
memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.
Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang -orang yang zalim. (QS Al-Syr [42]:
80).
Anjuran untuk saling tolong-menolong dalam memberikan pelayanan pada orang
lain.
Firman Allah SWT:
` `
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan)
yang ma`ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan
zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul -Nya. Mereka itu akan diberi
rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana . (QS
Al-Taubah [9]: 71).
2. Pemberdayaan
Syarat untuk memberdayakan orang lain diantaranya:
Bekerja dalam satu tim kerja ( team work) dan dalam jaringan (networking),
sehingga saling bersinergi:
Firman Allah SWT:
`
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa -Nya. (QS Al-Midah
[5]: 2)
Bekerja secara mandiri, agar memiliki inisiatif untuk melakukan segala sesuatu
sendiri dengan maupun tanpa bantuan orang lain.
Sabda Nabi SAW:
`
Setiap orang Muslim berkewajiban bersedekah. Sahabat bertanya: Wahai Nabi,
jika ia tidak bisa? Beliau menjawab: Bekerja dengan menggunakan
kemampuannya sendiri, sehingga bermanfaat bagi dirinya sehingga dapat
bersedekah. Sahabat bertanya: Jika tidak bisa? Nabi menjawab: supaya
membantu orang yang membutuhkan dan mengeluh. Sahabat bertanya: Jika tidak
bisa? Nabi menjawab: supaya bekerja yang baik dan mencegah berbuat buruk
karena hal itu tergolong sedekah. (HR. Al-Bukhari dari kakek Abu Burdah)
119
Bekerja dengan menghargai orang lain dalam rangka pemberdayaan, bukan
mengejeknya.
Firman Allah SWT:
'
Lalu kamu menjadikan mereka bahan ejekan, sehingga (kesibukan) kamu
mengejek mereka, menjadikan kamu lupa mengingat Aku, dan adalah kamu selalu
mentertawakan mereka. (QS Al-Muminn [23]: 110)
3. Peneladanan
Setiap pegawai harus mampu memberikan teladan ( role model) bagi yang lain.
Sebagai suri teladan tentunya segala aktivitas yang dilakukan mencerminkan
keunggulan budi pekerti.
Firman Allah SWT:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan ) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah. (QS Al-Ahzb [33]: 21)
Firman Allah SWT:
Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik
bagimu; (yaitu) bagi orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan
pada) Hari kemudian. Dan barangsiapa yang berpaling, maka sesungguhnya
Allah, Dia-lah Yang Maha Kaya lagi terpuji . (QS Al-Mumtahanah [60]: 6)
Ciri-ciri orang yang mampu memberikan keteladanan adalah:
Pertama, Siddiq (honest); berarti jujur, selalu menepati janji, dan satu kata, satu
perbuatan.
Firman Allah SWT:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu
bersama orang-orang yang benar. (QS Al-Taubah [9]:119)
Kedua, Amanah (trusworthy); artinya dapat dipercaya, bertanggung jawab, dan
taat asas.
Firman Allah SWT:
Dan orang-orang yang memelihara amanat -amanat (yang dipikulnya) dan
janjinya. (QS Al-Muminn [23]: 8)
Firman Allah SWT:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang be rhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
120
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat. (QS Al-Nisa [4]: 58)
Ketiga, Tabligh (reliable); artinya menyampaikan pesan (aktif, komunikatif,
kooperatif, dan aspiratif ). Hal itu untuk berbagi informasi dan tidak menutup -
nutupi kebenaran, apalagi membual dengan memberi informasi yang sengaja
menyesatkan.
Sabda Nabi SAW:
` `
Sampaikan dariku walau sepatah kata, barangsiapa yang berdusta atas namaku
dengan sengaja maka tempat kembalinya adalah neraka . (HR. Al-Bukhari dari
Ibn Amer)
Keempat, Fathanah (amart); artinya cerdas, pandai , kreatif, menghargai waktu
dan professional.
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai m emelihara
harta), maka serahkanlah kepada mereka harta -hartanya. (QS Al-Nis [4]: 6)
C. Sikap Kerja
1. Jujur dan memiliki integritas tinggi
Anjuran berbuat jujur, tidak berkhianat terhadap amanah atau perjanjian yang
telah disepakati.
Firman Allah SWT:
Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan,
maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur .
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang -orang yang berkhianat. (QS Al-Anfl
[8]: 58)
Berbuat jujur akan membawa kebaikan, dan berbuat dusta mengakibatkan dosa
yang akibatnya bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga mencelakakan orang
lain.
Firman Alah SWT:
` `
Dan jika ia seorang pendusta maka dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu;
dan jika ia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya
kepadamu akan menimpamu. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta . (QS Al-Ghafir:28)
Anjuran berbuat jujur untuk memperoleh kebaikan, dan menghindari dusta agar
tidak terjadi keburukan, karena kejujuran tidak akan bersinergi dengan kedustaan.
Sabda Nabi SAW:
121
` `
`
Sesungguhnya kejujuran itu berimplikasi pada kebaikan, dan kebaikan
berimplikasi masuk surga. Sesungguhnya seseorang yang senantiasa jujur maka
ia akan dicap sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya kedustaan itu
berimplikasi pada kelacuran, dan kelacuran menjadikan masuk neraka.
Sesungguhnya seseorang yang biasa berdusta maka ia akan dicap sebagai
seorang pendusta. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah)
Sabda Nabi SAW:
Tidak akan bersinergi antara iman dan ingkar di dalam hati seseorang. Tidak
akan bersinergi antara jujur dan dusta secara bersamaan. Dan ti dak akan
bersinergi antara khianat dan amanah secara bersamaan (HR. Ahmad dari Abu
Hurairah)
Sabda Nabi SAW:
`
Tingggalkanlah apa yang meragukanmu menuju apa yang tidak meragukanmu,
karena kejujuran itu menenangkan sedangkan dusta itu meragukan. (HR. Al-
Thurmudzi dan Ahmad dari Ali ibn Abi Thalib)
2. Memiliki etika, akhlak mulia, dan memberi suri teladan
Anjuran memiliki perilaku yang agung, karena hal itu akan menyenangkan orang
lain dan akan menyebabkan kesuksesan dalam berinteraksi dan berkomunikasi
dengan yang lain.
Firman Allah SWT:
Dan sesungguhnya kamu benar -benar berbudi pekerti yang agung. (QS Al-Qalam
[68] :4)
Misi kerasulan Nabi Muhammad SAW adalah untuk memperbaiki akhlak
umatnya, maka kebaikan umat Muhammad ditentukan oleh perilakunya yang
baik.
Sabda Nabi SAW:
`
Aku diutus untuk memperbaiki kemuliaan kepribadian. (H.R. Malik bin Anas
dari Anas bin Malik)
Tiada sesuatu yang paling memberatkan timbangan selain akhlak mulia, karena
seseorang yang memiliki akhlak mulia sederajat dengan orang yang puasa dan
shalat. (HR. Al-Turmudzi dari Abu Darda)
122
3. Menghormati hukum dan aturan-aturan yang berlaku
Perintah taat pada hukum dan aturan, baik dari Allah, rasul maupun pemerintah.
Jika terjadi perselisihan maka kembalikan pada dasar agama, karena hal itu lebih
baik.
Firman Allah SWT:
`
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al -Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya . (QS. Al-Nis [4]: 59)
Salah satu bentuk kezaliman adalah melanggar hukum atau aturan yang
melampaui batas, perilaku ini akan berdampak siksa yang pedih.
Firman Allah SWT:
` ` `
Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan
melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.
(QS Al-Syr [42]: 42)
Anjuran untuk berkomitmen pada peraturan yang telah ditetapkan dan disepakati,
tidak berusaha mengkhianatinya.
Firman Allah SWT:
(Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah
itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak takut
(akibat-akibatnya). (QS Al-Anfl [8]: 56)
4. Bertanggung jawab dan akuntabel
Kewajiban menunaikan amanah dengan penuh tanggung jawab dan akuntabel dan
tidak menyembunyikan kebenaran agar dapat diketahui oleh yang lain.
Firman Allah SWT:
`
` `
Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Baqarah [2]: 283)
Anjuran bekerja dan mempertanggungjawab kan terhadap apa yang telah menjadi
tugas dan fungsinya dan tidak berkhianat terhadap apa yang telah disepakati,
karena hal itu akan berdampak baik di kemudian hari.
Firman Allah SWT:
`
123
Katakanlah: "Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya
aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui. (QS Al-Zumar
[39]: 39)
Firman Allah SWT:
` `
``
Di antara Ahli Kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta
yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang
jika kamu mempercayakan kepadanya satu Dinar, tidak dikem balikannya
padamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaran
mereka mengatakan: Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang -orang ummi.
Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui . (QS li
Imrn [3]: 75)
Firman Alah SWT:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat -amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui . (QS Al-Anfl [8]: 27)
Sekecil apa pun pekerjaan atau usaha manusia pasti ada pertanggungjawaban.
Kerja yang baik akan mendapat kebaikan, kerja yang buruk akan mendapatkan
keburukan.
Firman Allah SWT:
- '
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan
melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat
zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) -nya pula. (QS Al-Zalzalah [99]:
7-8)
Pekerjaan dan jabatan apa pun harus dipertanggungjawabkan, tanpa mengenal
tingkatan jabatan itu.
Sabda Nabi SAW:
`
Setiap kalian adalah pemimpin yang dimintai pertanggungjawaban atas yang
dipimpinnya. Imam (pejabat) menjadi pemimpin yang dimintai
pertanggungjawaban atas bawahan yang dipimpin. Seorang suami adalah
pemimpin di keluarganya maka ia dimintai pertanggungjawaban ata s anggota
keluarganya. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya yang dimintai
pertanggungjawaban atas keluarganya. Pelayan adalah pemimpin terhadap harta
tuannya yang dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya . (HR. Al-
Bukhari dari Ibn Umar)
124
5. Hormat kepada hak-hak orang lain dan tidak mudah menyalahkan orang
lain
Anjuran bersikap altruis yang mementingkan orang lain dari pada kepentingan diri
sendiri, keluarga dan golongan, sekalipun ia sendiri sangat membutuhkan.
Firman Allah SWT:
Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri.
Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siap a yang
dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang -orang yang beruntung.
(QS Al-Hasyr [59]: 9)
Anjuran saling berdamai dalam menyelesaikan suatu urusan secara adil, bukan
saling menyalahkan atau mencari kesalahan yang lain, sehingga masalah itu
berlarut-larut tanpa ada kesudahannya.
Firman Allah SWT:
Dan jika ada dua golongan dari orang -orang mu'min berperang maka
damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat
aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat
aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan
itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya
dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang -orang
yang berlaku adil. (QS Al-Hujurt [49]: 9)
Anjuran berpikir positif, menjauhi prasangka buruk dan mencari -cari kesalahan
orang lain, karena hal itu akan merugikan pihak lain.
Firman Allah SWT:
` ` `
` `
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari -
cari kesalahan orang lain dan janganlah se bagian kamu menggunjing sebagian
yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya
yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang .
(QS Al-Hujurt [49]:12)
6. Mencintai pekerjaan dan mau bekerja keras
Anjuran untuk bekerja, karena nilai seseorang diukur dan diganjar berdasarkan
tingkat pekerjaannya.
Firman Allah SWT:
- -
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya. Dan bahwasausahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepada nya).
125
Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna .
(QS A-Najm [53]: 39-41)
Firman Allah SWT:
Sesungguhnya ini adalah balasan untukmu, dan usahamu adalah disyukur i (diberi
balasan). (QS Al-Insn [76]: 22)
`
Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu
dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu'min, maka mereka itu adalah
orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik . (QS Al-Isr [17]:19)
Kerja keras tidak saja memerlukan tenaga fisik yang kuat, tetapi juga ketetapan
hati yang kuat dalam bentuk keterpercayaan.
Firman Allah SWT:
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: Ya bapakku ambillah ia sebagai
orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik
yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya. (QS Al-Qashash [26]: 26)
Firman Allah SWT:
Anjuran memanfaatkan waktu untuk bekerja keras tanpa menyia -nyiakannya.
Setelah membersihkan diri melalui ibadah shalat, lalu bertebaran unt uk mencari
karunia Allah SWT dengan bekerja yang baik.
Firman Allah SWT: