Anda di halaman 1dari 19

Bab I Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Pendekatan psikologi lingkungan muncul sebagai protes terhadap pendekatan yang hanya memperhatikan faktor-faktor individual sebagai penyebab dari munculnya masalah-masalah sosial. Selama tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an, kontekstualisme makin diperhatikan di beberapa bidang penelitian psikologi. Para psikolog di semua bidang pemusatan utama psikologi melihat adanya kelemahan dari penelitian-penelitian yang tidak memperhatikan konteks, dan menyerukan perlunya penelitian perilaku yang lebih menggunakan pendekatan yang holistik dan memakai dasar ekologis (Stokols, 1987 dalam Stokols & Altman, 1987). Psikologi lingkungan adalah bidang psikologi yang menggabung-gabungkan dan menganalis transaksi serta tata hubungan dari pengalaman serta tindakan manusia dengan aspek-aspek dari lingkungan sosiofisiknya yang terkait. Kebersihan lingkungan merupakan salah satu tolok ukur kualitas hidup masyarakat. Masyarakat yang telah mementingkan kebersihan lingkungan dipandang sebagai masyarakat yang kualitas hidupnya lebih tinggi dibandingkan masyarakat yang belum mementingkan kebersihan. Salah satu aspek yang dapat dijadikan indikator kebersihan lingkungan kota adalah sampah. Bersih atau kotornya suatu lingkungan tercipta melalui tindakan-tindakan manusia dalam mengelola dan menanggulangi sampah yang mereka hasilkan (Istiqomah Wibowo, 2009). Perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab terhadap sampah dapat menyebabkan munculnya masalah dan kerusakan lingkungan. Bila perilaku manusia semata-mata mengarah lebih pada kepentingan pribadinya, dan kurang atau tidak mempertimbangkan kepentingan umum/kepentingan bersama, maka dapat diprediksi bahwa daya dukung lingkungan alam semakin terkuras habis dan akibatnya kerugian dan kerusakan lingkungan tak dapat dihindarkan lagi. Oleh karena itu, sampah dan benda-benda buangan yang banyak terdapat di lingkungan kehidupan kita perlu ditanggapi secara serius dan perlu dicari cara yang tepat untuk menanggulanginya. Terkait dengan pendekatan Psikologi Lingkungan yang menganalisis perilaku manusia dengan aspek-aspek lingkungan sosiofisiknya, maka
1

untuk keperluan di atas psikologi lingkungan merupakan pendekatan yang paling tepat dalam menjelaskan dan menganalisis gejala hubungan/keterkaitan antara manusia dan masalah lingkungan yang ditimbulkannya (Istiqomah Wibowo, 2009). Salah satu fenomena yang sering ditemukan di masyarakat dalam tentang keterkaitan antara perilaku manusia dengan lingkungannya adalah kebiasaan membuang sampah ke sungai, yang dilakukan terutama oleh penduduk miskin yang tinggal di sekitar sungai. Kebiasaan membuang sampah ke sungai merupakan salah satu penyebab utama terjadinya polusi air sungai, yang kemudian menghasilkan dampak buruk lainnya seperti banjir serta masalah penyebaran berbagai jenis penyakit akibat konsumsi atau penggunaan air sungai untuk keperluan lainnya oleh masyarakat. Sebagian besar masyarakat miskin yang hidup di sekitar sungai memenuhi kebutuhan air mereka dari sungai karena mereka tidak mampu membeli air dari PDAM. Keterbatasan ekonomi mendorong mereka untuk terus memanfaatkan dan mengkonsumsi air sungai sebagai sumber air minum meskipun kualitas air sungai tersebut sangat buruk karena telah terkontaminasi oleh berbagai limbah, terutama limbah berupa sampah yang dibuang oleh masyarakat ke sungai. Jika kita melihat sungai sebagai satu sumberdaya alam yang harus dijaga agar dapat terus dimanfaatkan, tentu masyrakat akan mulai berfikir untuk mengubah kebiasaan mereka mengotori sungai. Tidak adanya kontrol yang tegas dari pemerintah dan kurangnya sarana tempat pembuangan sampah di lingkungan masyarakat semakin mendorong masyarakat untuk terus membuang sampahnya ke sungai. Mereka mulai merasa bahwa membuang sampah ke sungai bukan merupakan hal yang salah, sehingga kemudian menjadi kebiasaan yang dianggap sebagai kewajaran oleh masyarakat setempat. Untuk dapat mengurangi dan mengubah kebiasaan tersebut, pendekatan psikologi lingkungan dapat digunakan untuk memahami bagaimana persepsi dan sikap masyarakat mengenai sampah dan manfaat sungai serta mengenai konsep lingkungan bersih. Analisis mengenai persepsi masyarakat tersebut akan menghasilkan pemahaman mengapa masyarakat mengembangkan perilaku membuang sampah ke sungai. Pemahaman tersebut kemudian di harapkan dapat

memberikan solusi untuk mengatasi permasalahan lingkungan, khususnya mengenai perilaku masyarakat yang mulai terbiasa membuang sampah ke sungai.

1.2. Identifikasi Masalah Permasalahan yang akan di bahas dalam makalah ini terdiri atas dua hal, yaitu : 1. 2. Persepsi masyarakat tentang membuang sampah ke sungai, serta Faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat mengembangkan perilaku membuang sampah ke sungai

Bab II Konsep dan Teori

2.1. Persepsi Secara sederhana persepsi diartikan sebagai suatu aktifitas pemberian makna, arti atau tafsiran terhadap suatu objek sebagai hasil pengamatan yang dilakukan oleh seseorang (Yusuf, 1991). Syah (1983) mengatakan persepsi adalah pandangan, pengertian dan interpretasi yang diberikan oleh seseorang tentang suatu objek yang diinformasikan kepadanya terutama mengenai bagaimana cara orang tersebut memandang, mengartikan, menginterpretasikan informasi itu, dengan cara mempertimbangan hal tersebut dengan dirinya dan lingkungan tempat dimana dia berada dan melakukan interaksi. Ini berarti persepsi merupakan hasil upaya penginderaan terhadap setiap stimulus yang ditimbulkan dalam diri dan lingkungan. Sarwono (1991), mengemukakan bahwa persepsi adalah pengamatan suatu objek melalui sejumlah penginderaan yang disatukan dan dikoordinasikan dalam pusat syaraf yang lebih tinggi (otak). Dipertegas lagi bahwa kunci memahami persepsi adalah pengenalan. Persepsi merupakan penafsiran yang unik terhadap situasi dan bukan merupakan pencatatan yang benar terhadap situasi. Menurut Sudjana (1990), persepsi adalah tanggapan, pendapat yang di dalamnya terkandung unsur penilaian seseorang terhadap objek dan gejala berdasarkan pengalaman dan wawasan yang dimiliki. Menurut Nord (1976) persepsi merupakan suatu pandangan, pengertian dan interpretasi seseorang tentang suatu objek yang diinformasikan kepadanya, terutama cara orang tersebut memandang, mengartikan dan menginterpretasikan informasi tersebut dengan cara mempertimbangkan hal tersebut dengan dirinya dan lingkungannya tempat di mana ia berada dan berinteraksi. Dengan demikian persepsi dipandang sebagai proses pemberian arti (kognisi) terhadap lingkungan oleh seseorang dan karena setiap orang memberikan arti kepada stimulus, maka individu yang berbeda akan melihat yang sama dengan cara yang berbeda sehingga setiap individu memiliki berbagai macam isyarat yang dapat mempengaruhi persepsinya terhadap orang lain atau stimulus, seperti objek dan tanda-tanda. Oleh

karena itu sering terjadi ketidakseimbangan arti atau pemberian arti sehingga terjadi salah persepsi terhadap orang lain atau objek. Davidoff (1981), menyatakan bahwa dalam persepsi itu sekalipun stimulusnya sama tetapi karena pengalaman tidak sama, kemampuan berfikir tidak sama kerangka acuan juga tidak sama, adanya kemungkinan hasil persepsi Perilaku individu satu dengan yang lain tidak sama. Keadaan tersebut memberikan gambaran persepsi itu bersifat individual. Berdasar hal tersebut, persepsi setiap individu terhadap lingkungan tidaklah sama dan bahkan berlainan. Walgito (2003), menjelaskan bahwa adanya saling hubungan antara manusia dengan lingkungan dijembatani oleh perilaku manusia dan hubungan antara individu dengan lingkungan tidak hanya berjalan satu arah, tetapi terdapat hubungan timbal balik, yang saling mempengaruhi melalui rangsang atau stimulus yang berasal dari lingkungan, sebaliknya individu dapat memberikan pengaruh ke dalam lingkungan melalui respon atau tanggapan terhadap rangsangan sama yang diterima. Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ditentukan oleh faktor personal dan faktor situasional. David Krech dan Richard S. Crutchfield menyebutnya faktor fungsional dan faktor struktural. Faktor-faktor Fungsional yang Menentukan Persepsi Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal yang disebut sebagai faktor personal. Yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberikan respons pada stimuli itu. Dari konsep ini, Krech dan Crutchfield merumuskan dalil persepsi yang pertama : persepsi bersifat selektif secara fungsional. Ini berarti bahwa objekobjek yang mendapat tekanan dalam persepsi kita biasanya objek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi. Mereka memberikan contoh pengaruh kebutuhan, kesiapan mental, suasana emosional dan latar belakang budaya terhadap persepsi. Kebutuhan biologis, nilai sosial dan pengaruh budaya menyebabkan persepsi yang berbeda.

Faktor-faktor fungsional yang memperngaruhi persepsi lazim disebut sebagai kerangka rujukan. Dalam rangkaian objek-objek yang berat, objek seberat 92 gram dinilai ringan, sedangkan dalam rangkaian objek benda-benda ringan objek yang sama akan dinilain berat. Faktor personal sebagai bagian dari faktor fungsional yang mempengaruhi persepsi terdiri atas faktor biologis dan faktor sosiopsikis. Menurut Wilson, perilaku sosial dibimbing oleh aturan-aturan yang sudah diprogram secara genetis dalam jiwa manusia. Program ini disebut sebagai epigenetic rules. Struktur genetis, misalnya, mempengaruhi kecerdasan, kemampuan sensasi dan emosi. Sistem saraf mengatur pekerjaan otak dan proses pengolahan informasi dalam jiwa manusia. Sistem hormonal bukan saja mempengaruhi mekanisme biologis, tapi juga proses psikologis. Selain itu, insting dan motif biologis juga mempengaruhi persepsi dan perilaku manusia. Motif biologis yang paling penting diantaranya kebutuhan akan makanan-minuman dan istirahat, kebutuhan memelihara kelangsungan hidup dengan menghindari sakit dan

bahaya, dll. Sedangkan yang termasuk faktor sosiopsikis diantaranya : kepercayaan, kebiasaan, kemauan, emosi, dll.

Faktor-faktor Struktural yang Menentukan Persepsi Faktor-faktor struktural berasal semata-mata dari sifat stimuli fisik dan efekefek yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Menurut teori Gestalt bila kita mempersepsi sesuatu, kita mempersepsinya sebagai suatu keseluruhan. Kita tidak melihat bagian-bagiannya, lalu menghimpunnya. Dengan kata lain, jika kita ingin memahami suatu peristiwa, kita tidak dapat meneliti fakta-fakta yang terpisah, kita harus memandangnya dalam hubungan keseluruhan. Untuk memahami seseorang, kita harus melihatnya dalam konteksnya, dalam lingkungannya, dalan masalah yang dihadapinya. Dari konsep ini Krech dan Crutchfield merumuskan dalil persepsi yang kedua : medan perseptual dan kognitif selalu diorganisasikan dan diberi arti. Kita mengorganisasikan stimuli dengan melihat konsepnya. Walaupun stimuli yang

kita terima tidak lengkap, kita akan mengisinya dengan interpretasi yang konsisten dengan rangkaian stimuli yang kita persepsi. Dalam hubungan dengan konteks, Krech dan Crutchfield menyebutkan dalil persepsi yang ketiga : sifat-sifat perseptual dan kognitif dari substruktur ditentukan pada umumnya oleh sifat-sifat struktur secara keseluruhan. Menurut dalil ini, jika individu dianggap sebagai anggota kelompok, semua sifat individu yang berkaitan dengan sifat kelompok akan dipengaruhi oleh keanggotaan kelompoknya, dengan efek yang berupa asimilasi atau kontras. Dalam efek asimilasi, sifat-sifat kelompok menonjolkan atau melemahkan sifat individu. Sedangkan dalam efek kontras, kita akan cenderung memberikan penilaian yang berlebihan bila kita melihat sifat-sifat objek persepsi kita bertolak belakang dengan sifat-sifat kelompoknya. Karena manusia selalu memandang stimuli dalam konteksnya, dalam strukturnya, maka ia pun akan mencoba mencari struktur pada rangkaian stimuli. Struktur ini diperoleh dengan jalan mengelompokkan berdasarkan kedekatan dan persamaan, prinsip Gestalt yang disebut principles of similarity. Dari prinsip ini Kretch dan Crutchfield menyebutkan dalil persepsi yang keempat : Objek atau peristiwa yang berdekatan dalam ruang dan waktu atau menyerupai satu sama lain, cenderung ditanggapi sebagai bagian dari struktur yang sama. Pada persepsi sosial, pengelompokan tidak murni struktural; sebab apa yang dainggap sama atau berdekatan oleh seorang individu, tidaklah dianggap sama atau berdekatan oleh individu yang lain. Disini jugalah masuknya kerangka rujukan. Kebudayaan juga berperan dalam melihat kesamaan. Pada masyarakat yang menitikberatkan pada kekayaan, orang akan membagi masyarakat pada dua kelompok: orang kaya dan miskin. Pada masyarakat yang mengutamakan pendidikan, orang mengenal kelompok terdidik dan tidak terdidik.

Pengelompokan kultural erat kaitannya dengan label, dan yang kita beri label yang sama cenderung dipersepsi sama.

Menurut Pareek (1984) dikutip oleh Hardini (2006), persepsi memiliki tahapan sebagai berikut :
7

1. Proses penerimaan rangsang, yaitu proses dimana individu menerima rangsang data dari berbagai sumber. Sumber-sumber tadi diterima oleh individu melalui alat indera yang dimiliki, dan akan diberikan respon sesuai dengan penilaian dan pemberian arti terhadap respon tadi. 2. Proses menyeleksi rangsang; setelah diterima, rangsangan atau data diseleksi demi menghemat perhatian yang digunakan. Rangsangan ini diseleksi untuk diproses lebih lanjut. Dalam proses seleksi ada dua faktor yang menentukan yaitu : o Faktor eksternal, yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar individu yang juga turut menentukan dalam proses seleksi. Faktor-faktor ini antaranya adalah: a) Intensitas, yang menyatakan bahwa suatu rangsang akan lebih mendapat perhatian jika intensitasnya kuat dibanding dengan yang intersitasnya lemah atau sebaliknya; b) Sesuatu yang berulang, prinsip ini menyatakan bahwa suatu yang muncul berulang-ulang dan terus-menerus akan lebih mendapat perhatian lebih; c) Sesuatu yang baru, yang menyatakan bahwa sesuatu yang baru akan lebih mendapat perhatian dan akan lebih menarik untuk diperhatikan. o Faktor internal, diantaranya adalah a) Kebutuhan, prinsip ini menyatakan bahwa kebutuhan psikologis individu akan mempengaruhi persepsinya, misal seseorang yang memiliki keinginan-keinginan sesuatu, ia akan lebih dahulu mempersepsikan sesuatu yang berhubungan dengan keinginankeinginannya tersebut; b) Latar belakang dan pengalaman, prinsip ini menyatakan bahwa latar belakang dan pengalaman akan berpengaruh terhadap individu. Individu yang mempuyai latar belakang dan pengalaman tertentu akan mempersiapkan sesuatu yang diterimanya sesuai dengan apa yang pernah dialaminya; c) Penerimaan diri, prinsip ini menyatakan bahwa penerimaan diri merupakan sifat yang penting yang mempengaruhi persepsi. Beberapa pendekatan telah menunjukkan bahwa mereka yang lebih dapat menerima kenyataan dirinya akan lebih cepat menerapkan sesuatu dari pada mereka yag kurang menerima realitas dirinya. 3. Proses pengorganisasian; data atau rangsangan yang diterima selanjutnya diorganisasikan ke dalam suatu bentuk.
8

4. Proses penafsiran; Setelah data diterima dan diatur, si penerima kemudian menafsirkan data ini dengan berbagai cara. Dikatakan telah terjadi persepsi setelah data itu ditafsirkan. 5. Proses pengecekan ; Proses selanjutnya dari proses persepsi adalah pengecekan data atau rangsang tadi, untuk meyakinkan bahwa penafsiran itu benar atau salah, individu akan mengambil tindakan untuk mengeceknya, pengecekan ini dilakukan dari waktu ke waktu untuk menegaskan apakah penafsiran atau persepsi dibenarkan atau sesuai dengan hasil persepsi selanjutnya. 6. Proses reaksi; Lingkaran persepsi belum sempurna sebelum menimbulkan reaksi. Reaksi tersebut dapat secara tertutup dapat secara terbuka. Reaksi secara tertutup berupa pembentukan sikap dan pendapat, sedangkan reaksi secara terbuka berupa tindakan sehubungan dengan reaksi tersebut.

Mengacu pada uraian yang ada maka konsep persepsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah suatu pandangan yang diberikan seseorang terhadap objek, gejala atau peristiwa yang dilakukan oleh individu yang bersangkutan secara sengaja dengan cara menghubungkan objek, gejala atau peristiwa tersebut dengan yang diperoleh dari pendidikan, pengalaman atau adat istiadat.

2.2. Perilaku Hines, Hungerford dan Tomera (1986) melakukan meta analisis terhadap penelitian-penelitian yang berkenaan dengan perilaku yang bertanggung jawab terhadap lingkungan, mendapatkan sejumlah variabel yang berasosiasi dengan perilaku yang dimaksud, yaitu pengetahuan tentang issues, pengetahuan tentang strategi tindakan, locus of control, sikap, komitmen verbal dan rasa tanggung jawab yang dimiliki seseorang. Menurut model tersebut intensi untuk bertindak ditentukan oleh faktor-faktor internal pelaku. Di lain pihak, perilaku yang bertanggung jawab terhadap lingkungan selain ditentukan oleh faktor-faktor internal, juga tidak terlepas dari faktor situasional (faktor eksternal). Perilaku tidak terbentuk dengan sendirinya tapi terbentuk melalui proses pembelajaran. Sebagai contoh, untuk menyapu jalanan diperlukan keterampilan menyapu dan pengetahuan tentang kebersihan.
9

Pengetahuan tentang masalah lingkungan dan pengetahuan tentang berbagai tindakan yang tepat untuk mengatasinya menjadi salah satu prasyarat bagi perilaku bertanggungjawab. Memiliki pengetahuan dan kemampuan saja tidak cukup, perlu disertai hasrat atau keinginan untuk mewujudkan perbuatan yang dimaksud. Hasrat atau keinginan seseorang itu sendiri sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor kepribadian, yaitu sikap, locus of control dan rasa tanggung jawab. Masih menurut model di atas, individu yang memiliki pengetahuan dan keterampilan dan mempunyai sikap positif terhadap lingkungan serta terhadap perilaku prolingkungan, biasanya memiliki intensi untuk mewujudkan tindakantindakan perilaku bertanggung jawab. Namun faktor-faktor situasional, seperti keadaan ekonomi, tekanan sosial dan peluang yang tersedia, dapat menghambat atau memperkuat kemungkinan munculnya perilaku yang dimaksud. Perilaku bertanggungjawab merupakan hasil dari transaksi terus menerus antara faktor internal individu dengan faktor situasional. Sampah sebagai stimulus (S) akan menimbulkan respon/perilaku (R). Hubungan langsung antara S dan R, dapat digunakan untuk menjelaskan terbentuknya kebiasaan-kebiasaan perilaku sehari-hari. Misalnya, sejak kecil seorang anak dilatih membuang benda-benda sisa ke keranjang sampah oleh orang tuanya. Pengalaman ini terjadi berulang-ulang, sehingga menjadi kebiasaan yang melekat setelah ia dewasa. Hubungan langsung antara S-R tidak selalu terjadi dan berlaku respon subjek pada setiap orang. Manusia (O) berada dalam posisi berhadapan dengan lingkungan, dan dalam posisi itu (S) dan (O) berinteraksi. Interaksi dilakukan manusia pertama kali melalui penginderaannya. Setelah itu apa yang diinderakan (persepsi) akan diproses lebih lanjut dalam alam kesadaran (kognisi) dan di sini ikut berpengaruh berbagai faktor yang terdapat dalam kognisi itu seperti ingatan (memori), minat, sikap, motivasi dan inteligensi dari (O). Jadi yang dimaksud sebagai stimulus (S) adalah obyek benda-benda di lingkungan sebagaimana dipersepsi oleh (O) (Istiqomah Wibowo, 2009). Pengalaman seseorang akan berbentuk penilaian terhadap apa yang diinderakan tadi dan atas dasar penilaian itulah muncul suatu perilaku. Sebagai stimulus, kantung plastik bekas bungkus menimbulkan respon (R) berlainan. Ada yang langsung membuangnya (tindakan O.1); ada yang menyimpannya untuk
10

dimanfaatkan kembali (oleh O.2); dan ada yang mengumpulkan untuk kemudian dijual (oleh O.3). Tampak dalam hal ini berbagai faktor (O) memegang peranan penting dalam hubungan S-R. Dalam faktor (O) berlangsung proses kognisi antara lain kognisi, motivasi, sikap, nilai, emosi dan rasio. Orang dalam hal ini dipandang sebagai mahluk yang bernalar, memiliki alasan-alasan tertentu sebelum bertindak (Istiqomah Wibowo, 2009). Perbuatan seseorang dalam lingkungan fisik tertentu merupakan proses yang saling terkait dan saling pengaruh-mempengaruhi antara 1) (O) sebagai pelaku, 2) wujud perilaku/perbuatan itu sendiri (R), dan 3) lingkungan. Transaksi terjadi antara makna yang diberikan (O) terhadap lingkungan. Pada hakekatnya, makna ini ditentukan pula oleh niat atau maksud (O). Transaksi antara (O) dan (R) serta (S) dalam suatu lingkungan yang berlangsung terus menerus dapat menjelaskan mengapa terdapat tindakan-tindakan khusus pada tempat dan waktu khusus pula. Tindakan tersebut berhubungan dengan berbagai wujud dan bentuk yang terdapat di lingkungan, dan dengan makna yang diberikan oleh orang yang bersangkutan (O) terhadap wujud dan bentuk itu. Makna itu sendiri bergantung pada pengalaman (O) mengenai suatu situasi/suasana lingkungan. Demikian pula kelayakan suatu lokasi menjadi tempat sampah tergantung dari norma yang diterima dan berlaku di sana (Istiqomah Wibowo, 2009). Tindakan terhadap sampah bervariasi antar individu dan tergantung pada tempat dan situasi. Secara psikologis, orang-orang, benda-benda, serta kejadiankejadian bermakna yang terdapat di sekitar individu membangun suasana atau situasi lingkungan di suatu tempat. Dibandingkan karakteristik individual, maka situasi lingkungan yang dialami langsung lebih berperan menentukan wujud perilaku/tindakan seseorang (Wicker, 1987). Artinya, ada kemungkinan bila berada di rumahnya sendiri seseorang akan membuang tissue bekas pakai pada tempat sampah yang telah tersedia namun dalam situasi lain (misalnya dalam perjalanan), orang yang sama akan membuang tissue serupa dari mobil ke jalan raya. Hingga di sini dapat dimengerti mengapa seseorang ketika di Jakarta sering membuang sampah sembarangan, namun ketika ia berada di Singapura perbuatannya terhadap sampah berbeda sekali. Secara keseluruhan, gambaran perilaku kebersihan yang ditampilkan orang dalam kehidupan keseharian di
11

perkotaan merupakan hubungan yang saling terkait antara makna subjektif pelaku dengan situasi lingkungan di sekitarnya (Wibowo, 1993).

12

Bab III Pembahasan

3.1. Persepsi Masyarakat Terhadap Kegiatan Membuang Sampah ke Sungai Seperti telah dijelaskan sebelumnya, persepsi ditentukan oleh faktor fungsional dan faktor struktural. Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal yang disebut sebagai faktor personal (faktor biologis dan faktor sosiopsikis). Sedangkan faktor struktural berasal semata-mata dari sifat stimuli fisik dan efek-efek yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Faktor fungsional yang mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap kegiatan membuang sampah ke sungai o Kebutuhan Kurangnya fasilitas tempat pembuangan sampah dan iuran sampah di lingkungan masyarakat yang cukup memberatkan sebagian besar warga miskin yang tinggal di sekitar sungai telah mendorong warga untuk mengembangkan kebiasaan membuang sampah ke sungai. Tidak tersedianya sarana prasana dan fasilitas tempat pembuangan sampah yang cukup, membuat warga memilih membuang sampah ke sungai untuk memenuhi kebutuhannya tersebut. Kebutuhan untuk membuat lingkungan rumahnya tetap bersih juga mendorong warga untuk membersihkan rumahnya dan membuang sampah dari rumahnya tersebut ke sungai. Hal ini sesuai dengan konsep yang dikenal sebagai not in my back yard, warga lebih memilih untuk membuang sampah ke sungai agar lingkungan rumahnya tetap bersih, sementara di lain pihak hal ini sebenarnya merusak lingkungan dan mencemari sungai. o Pengalaman Masa Lalu Perkembangan persepsi bahwa membuang sampah ke sungai bukan merupakan hal yang salah juga berkembang melalui proses belajar serta melalui pengalaman. Ketika salah satu orang tua, anggota masyarakat tersebut, memperlihatkan kebiasaannya membuang sampah ke sungai dan menyuruh anaknya untuk ikut mengembangkan kebiasaan itu. Proses tersebut mendorong anak itu kemudian berpikir bahwa tindakan membuang sampah ke sungai adalah

13

tindakan yang wajar, sehingga ia kemudian juga membiasakan diri dan keluarganya serta megajarkan anaknya untuk mengikuti kebiasaannya tersebut. o Faktor Biologis Kebutuhan manusia untuk menjaga kesehatan dirinya membuatnya sadar untuk mulai membersihkan tempat tinggalnya agar terhindar dari berbagai penyakit. Terkait dengan kurangnya fasilitas pembuangan sampah di lingkungan warga, akhirnya warga memilih untuk membuang sampahnya ke sungai agar di rumahnya tidak ada sampah sehingga lingkungan rumahnya tetap bersih. Masyarakat yang melakukan ini tidak menyadari bahwa tindakannya tersebut sebenarnya telah mengotori sungai dan mencemari air sungai sehingga menimbulkan berbagai dampak negatif. Kebutuhannya untuk menjaga kesehatan lingkungan rumahnya dalam rangka menghindari terkena penyakit, dalam kasus ini, justru mendorong ia untuk membuang sampah ke sungai yang berpotensi mencemari air sungai dan menyebarkan bibit penyakit kepada masyakarakat lainnya yang hidup dengan bergantung dari air sungai tersebut sebagai sumber air bagi kehidupannya. o Faktor Sosiopsikis Kebiasaan Seperti telah disebutkan sebelumnya, ketika masyarakat mulai dibiasakan untuk membuang sampah ke sungai sejak ia kecil. Maka kebiasaan ini akan berkembang dan mempengaruhi persepsi masyarakat tersebut untuk terus membuang sampah ke sungai yang dianggap sebagai tindakan yang wajar. Kemauan Dalam hal ini, masyarakat tidak memiliki kemauan untuk membuat dan memperbanyak sarana prasana pembuangan sampah. Masyarakat juga tidak mau untuk mengeluarkan biaya retribusi sampah. Sehingga membuang sampah ke sungai dianggap sebagai cara termudah dan termurah untuk mengurangi sampah di lingkungan rumah mereka. Kepercayaan Kepercayaan disini tidak ada hubungannya dengan hal-hal yang gaib, tetapi keyakinan bahwa sesuatu itu benar atau salah atas dasar bukti, sugesti, pengalaman atau intuisi. Ketika seseorang terpengaruh dengan persepsi
14

masyarakat setempat bahwa membuang sampah ke sungai adalah kegiatan yang wajar dan bukan merupakan tindakan yang salah. Ia akan mulai percaya bahwa hal tersebut benar. Hal ini mendorongnya untuk membangun persepsi bahwa mereka tidak harus berfikir untuk

menghentikan kebiasaannya tersebut, meskipun masyarakat sadar akan dampak buruk yang dapat terjadi akibat kebiasaannya tersebut. Kebiasaan ini akhirnya menjadi budaya yang sulit untuk diubah.

Faktor Struktural Seperti telah dijelaskan sebelumnya, faktor struktural yang mempengaruhi persepsi berasal dari sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Pada awalnya masyarakat tidak membuang sampah ke sungai. Beberapa faktor di luar faktor personal masyarakat, mendorong terjadinya perubahan persepsi. Masyarakat melihat dan memahami ini secara keseluruhan. Meskipun mereka melihat beberapa fakta bahwa membuang sampah ke sungai dapat menimbulkan berbagai dampak negatif seperti banjir dan penyebaran bibit penyakit, namun faktor lainnya seperti perubahan pandangan masyarakat, meningkatnya jumlah sampah, kurangnya fasilitas tempat pembuangan sampah, mahalnya biaya retribusi sampah, serta kurangnya kontrol dari pemerintah, membuat mereka merubah persepsi tentang membuang sampah ke sungai. Hal ini sesuai dengan teori gestalt bahwa masyarakat akan melihat dan memahami sesuatu dalam hubungannya secara keseluruhan, dengan melihat dalam konteksnya, dalam lingkungannya dan dalam masalah yang dihadapinya. Selain itu, dalam hubungannya dengan konteks, Krech dan Crutchfield menyebutkan dalil persepsi bahwa sifat-sifat perseptual dan kognitif dari substruktur ditentukan pada umumnya oleh sifat-sifat struktur secara keseluruhan. Menurut dalil ini, jika individu dianggap sebagai anggota kelompok, semua sifat individu yang berkaitan dengan sifat kelompok akan dipengaruhi oleh keanggotaan kelompoknya. Dalam kasus ini, ketika sebagian besar masyarakat setempat berpersepsi bahwa membuang sampah ke sungai merupakan hal yang wajar, maka persepsi individu-individu dalam masyarakat juga berubah mengikuti persepsi sebagian besar anggota masyarakat tersebut.
15

Kebudayaan juga berperan dalam mempengaruhi persepsi masyarakat. Pengelompokan kultural erat kaitannya dengan label. Ketika masyarakat menilai bahwa membuang sampah ke sungai merupakan cara termudah dan termurah untuk mengurangi sampah di lingkungan mereka, maka persepsi ini, yang juga diperparah dengan kurangnya pengawasan oleh pemerintah dan tidak adanya upaya pemerintah untuk memenuhi kebutuhan fasilitas pembuangan sampah, lambat laun akan mengubah persepsi masyarakat untuk tetap mengembangkan budaya membuang sampah ke sungai sesuai nilai yang berlaku pada masyarakat setempat, atau kerangka acuan yang telah dipercayai oleh masyarakat. Oleh karena itu untuk mengubah kebiasaan masyarakat membuang sampah ke sungai, pemerintah perlu berusaha melakukan kegiatan yang dapat mengubah persepsi masyarakat yang kurang memperhatikan lingkungan hidup tersebut. Hal ini penting untuk dilakukan agar masyarakt menghentikan kebiasaannya dan mulai menjaga sungai di lingkungan mereka. Perubahan persepsi ini akan lebih efektif daripada membangun fasilitas pembuangan sampah dan mengefektifkan kebijakan pemberian sanksi kepada masyrakat yang membuang sampah ke sungai. Seperti di temukan di berbagai daerah yang meskipun memiliki fasilitas pembuangan sampah yang memadai, masyarakatnya tetap membuang sampah ke sungai. Karena itulah upaya merubah persepsi masyarakat lebih penting dan akan lebih efektif untuk dilakukan sebagai upaya mengurangi pencemaran sungai.

3.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Masyarakat Mengembangkan Perilaku Membuang Sampah ke Sungai Perilaku seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan tentang issues, pengetahuan tentang strategi tindakan, locus of control, sikap, komitmen verbal dan rasa tanggung jawab yang dimiliki seseorang. Menurut model yang dikembangkan oleh Hines, Hungerford dan Tomera tersebut intensi untuk bertindak ditentukan oleh faktor-faktor internal pelaku. Di lain pihak, perilaku yang bertanggung jawab terhadap lingkungan selain ditentukan oleh faktorfaktor internal, juga tidak terlepas dari faktor situasional (faktor eksternal). Perilaku tidak terbentuk dengan sendirinya tapi terbentuk melalui proses pembelajaran. Faktor
16

internal yang mendasari perilaku seseorang salah satunya adalah persepsi yang telah dibahas pada bagian sebelumnya. Pengetahuan tentang masalah lingkungan dan pengetahuan tentang berbagai tindakan yang tepat untuk mengatasinya menjadi salah satu prasyarat bagi perilaku bertanggungjawab. Memiliki pengetahuan dan kemampuan saja tidak cukup, perlu disertai hasrat atau keinginan untuk mewujudkan perbuatan yang dimaksud. Hasrat atau keinginan seseorang itu sendiri sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor kepribadian, yaitu sikap, locus of control dan rasa tanggung jawab. Sehingga menjadi jelas mengapa masyarakat yang sebenarnya memiliki pengetahuan tentang dampak buruk yang akan ditimbulkan dari perilaku membuang sampah ke sungai, karena ia telah terbiasa dan tidak memiliki kemauan untuk menghentikan kebiasaannya itu, maka ia akan terus membuang sampah ke sungai. Masih menurut model di atas, individu yang memiliki pengetahuan dan keterampilan dan mempunyai sikap positif terhadap lingkungan serta terhadap perilaku prolingkungan, biasanya memiliki intensi untuk mewujudkan tindakan-tindakan perilaku bertanggung jawab. Namun faktor-faktor situasional, seperti keadaan ekonomi, tekanan sosial dan peluang yang tersedia, dapat menghambat atau memperkuat kemungkinan munculnya perilaku yang dimaksud. Perilaku bertanggungjawab merupakan hasil dari transaksi terus menerus antara faktor internal individu dengan faktor situasional. Penjelasan pada sub bab sebelumnya telah menerangkan hal ini, bahka ketika masyarakat sebenarnya sadar untuk tidak memuang sampah ke sungai, namun karena faktor-faktor situasional (seperti kurangnya fasilitas pembuangan sampah dan biaya retribusi sampah yang memberatkan warga, serta kebiasaan masyarakat yang telah membudaya) mendorong masyarakat untuk tetap membuang sampah ke sungai.

17

Bab IV Kesimpulan

1. Kebiasaan masyarakat membuang sampah ke sungai pada dasarnya dimulai dari persepsi masyarakat yang juga termasuk individu di dalamnya itu sendiri. Tentunya persepsi ini dibangun karena beberapa faktor, yang secara garis besar dikarenakan oleh dua faktor utama yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri individu, diantaranya sikap, kebiasaan, dan kemauan. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar individu yang meliputi stimulus itu sendiri, baik sosial maupun fisik yaitu ialah lingkungan, budaya, dan norma sosial. 2. Perilaku yang bertanggung jawab terhadap lingkungan, mendapatkan sejumlah variabel yang berasosiasi dengan perilaku yang dimaksud, yaitu pengetahuan tentang issues, pengetahuan tentang strategi tindakan, locus of control, sikap, komitmen verbal dan rasa tanggung jawab yang dimiliki seseorang. Intensi untuk bertindak ditentukan oleh faktor-faktor internal pelaku dan faktor situasional (faktor eksternal). Perilaku tidak terbentuk dengan sendirinya tapi terbentuk melalui proses pembelajaran. 3. Perilaku membuang sampah ke sungai berkembang menjadi kebiasaan masyarakat diakibatkan oleh beberapa faktor. Faktor utama yang menyebabkan berkembangnya perilaku ini adalah persepsi masyarakat yang terbentuk bahwa membuang sampah ke sungai merupakan hal yang wajar. Untuk itu, jika kita hendak menghentikan atau mengurangi perilaku masyarakat tesebut, perlu dilakukan upaya sosialisasi dan berbagai kegiatan yang dapat mengubah persepsi masyarakat tersebut dan membentuk persepsi baru agar masyarakat lebih peka dan mau menjaga lingkungan sungai di sekitar tempat tinggal mereka.

18

Daftar Pustaka Anonim, Apa Itu Persepsi, melalui http://www.masbow.com/2009/08/apa-itu-persepsi.html Davidoff, L.L. 1981. Introduction To Psychology. Second Edition. McGraw Hill International Book Company. Tokyo. Jalaluddin Rakhmat, 2005. Psikologi Komunikasi, Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Kretch, D., dan R.S. Crutchfield. 1982. Individual in Society. Londong : McGraw-Hill Nord, W.R. 1976. Concept and Controversy in Organizational Behavioral. California: Santa Monica. Sudjana, N. 1990. Persepsi Mahasiswa Terhadap Dosen dan Profil Ideal. Laporan Penelitian. Lemlit IKIP Bandung. Bandung. Syah, M. 1983. Psikologi Pendidikan: Suatu Pendekatan Baru. PT Remaja Rosdakarya. Bandung. Stokols, D. & Altman, I. (Eds.) (1987). Handbook of environmental psychology. New York: Wiley. Walgito, B. 2003. Psikologi Sosial: Suatu Pengantar. CV Andi Offset. Yogyakarta. Wibowo, I. (1993). Faktor-faktor personal dan sosial untuk mempengaruhi intensi kaum ibu dalam pemeliharaan lingkungan. Jakarta: Pusat Penelitian Sumber Daya Manusia dan Lingkungan LPUI. Wibowo, I. (2009). Pola Perilaku Kebersihan: Studi Psikologi Lingkungan Tentang Penanggulangan Sampah Perkotaan. Jakarta. MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 13, NO. 1, JULI 2009: 37-47. Yusuf, Y. 1991. Psikologi Antar Budaya. PT Remaja Rosdakarya. Bandung.

19

Anda mungkin juga menyukai