Anda di halaman 1dari 21

Tukang Ngarang

Buronan Cilik

Search

Home Ali Shariati Amien Rais Si Nirwan

26 October 2009 All News, Ekonomi, IPTEK, Kebudayaan, Panggung, Politik 6 Comments

Kawasan Kesawan; Kacaunya Wajah Sejarah di Inti Kota Medan


Kombinasi sisa-sisa bangunan kuno peninggalan Belanda yang dijumpai di kawasan Kesawan, Kota Medan, dengan bangunan modern yang desainnya hanya berkelas ruko, memperlihatkan perkawinan yang aneh. Simbol kekacauan dan ketidakpedulian terhadap sejarah dan perkembangan Kota Medan. *** Reportase: Sri Mahyuni Fotografer: Ariandi Foto-foto lama repro koleksi Muhammad TWH dan Dr Phil Ichwan Azhari

Kesawan dulu dan sekarang. Foto gedung PT London Sumatera, terletak di ujung titik Kesawan (foto Ariandi dan repro Ichwan Azhari) Kawasan Kesawan Kota Medan. Konon, di sinilah konon bermukim sekitar 600 bangunan bersejarah yang ada maupun yang pernah dimiliki Kota Medan.

Mari hitung lagi sedikit demi sedikit apa sejarah apa yang pernah menjejak di Kesawan, yang berdasar peta tahun 1913 (dan direpro pada 1945) menurut keterangan yang didapat dari sejarahwan Unimed, Dr Phil Ichwan Azhari berada di sebuah kawasan yang memanjang dari Jalan Nienhuysweg (kini dirubah jadi Jalan Jend Ahmad Yani) hingga ke Jalan Istana (kini simpang jalan Balai Kota). Gedung Jakarta Lloyd (dulu kantor perusahaan pelayaran The Netherlands Shipping Company, sempat menjadi kantor Rotterdams Lloyd), Gedung PT London Sumatera Tbk (dulu kantor Harrison & Crossfield), Caf Tip Top dan tentu tak ketinggalan kediaman Tjong A Fie. Di kawasan ini juga dapat ditemui mesjid tua bernama Mesjid Lama Gang Bengkok. Sementara gedung Bank Modern yang dulunya adalah kantor perwakilan Stork (sebuah perusahaan Belanda yang memproduksi dan menjual mesin- mesin industri perkebunan) sudah kiamat dan berganti dengan ruko. Terselip informasi, kalau Pemko Medan pada 2004 lalu, telah mengeluarkan surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Nomor 01581/644.4/655/04.01 tanggal 14 April 2004, untuk pendirian satu unit ruko di situ. Wajah kawasan Kesawan kini memang aneh. Di satu sisi dia memperlihatkan wajah lama Kota Medan nan antik dan artistik, namun di sisi lain, dia juga berdampingan dengan bangunan yang hanya mampu berdesain berkelas ruko. Ruko-ruko tinggi itu jelas tidak hanya sekedar menyisip. Aroma lain adalah trotoar yang kini berganti fungsi menjadi areal perdagangan. Di beberapa ruas tampak pemilik toko meletakkan dagangannya di trotoar jalan. Pejalan kaki, lagi-lagi harus mengalah; berjalan di sisi badan jalan. Belum lagi burung-burung walet yang kini semakin bebas bersarang di sebagian ruko-ruko yang ada di sana. Memandang kelumpuhan kawasan ini, sulit membayangkan dan mempercayai kalau dulunya ini adalah ikon dan ciri khasnya Kota Medan karena gedung-gedung antiknya yang memiliki nilai sejarah. Juga tempat di mana kawasan ini dulunya adalah titik pertemuan para pedagang di masa itu. Kawasan Kesawan kini, telah bernasib sama dengan kawasan antik sekaligus bersejarah lainnya yang ditulis dalam tulisan yang lalu, kawasan Lapangan Merdeka Medan. Angka 600 bangunan bersejarah itu, kini sungguh meragukan. ***

Kesawan di era kolonial Belanda (foto repro koleksi Muhammad TWH) Sejarahwan, Drs H Muhammad Tok Wan Haria yang lebih dikenal dengan nama Muhammad TWH mengatakan, nama Kesawan sudah berumur sangat tua. Nama itu diambil dari bahasa karo dari akar kata kesawahen yang artinya adalah kampung. Kesawahen bisa juga berarti halaman atau lapangan besar untuk tempat pertemuan, menyabung ayam, lomba lari, rapat dan berburu. Bahkan, lanjut dia, oleh Puak Karo dari Tanah Karo, mengatakan bahwa kata Medan itu adalah perubahan dari bahasa Karo yang diistilahkan sebagai Mesawang dan akhirnya menjadi kesawan. Sejarahwan lain, Tuanku Luckman Sinar Basarshah-II SH, berpandapat sama soal nama itu, walau dengan makna yang berbeda. Menurut Luckman, kesawahen bermakna ke sawah. Lalu artikulasi masyarakat pun berubah-ubah hingga akhirnya menjadi Kesawan. Menurut versi Luckman, Kesawan dibuka pada zaman cicitnya Guru Patimpus bernama Masannah yang merupakan Datuk pertama Kesawan. Bersama adiknya, Ahmad, mereka membuka kawasan Jalan Jendral A Yani atau yang dulunya lebih dikenal dengan sebutan Kampung Kesawan. Sementara menurut versi TWH, kawasan yang sekarang bernama Jalan Jendral A Yani ini dulunya adalah sebuah kampung tempat persinggahan para pedagang yang datang untuk berdagang hingga menyabung ayam. Semua kegiatan dilakukan di sana. Berdagang, menyabung ayam, dan lain-lainnya, ya, di lakukan di kesawahen itu, katanya kepada beberapa waktu lalu. Menurut dia, nama daerah datar ini diartikan sebagai tempat yang lengang, sunyi, sekaligus rawan bagi para puak suku Karo. Ceritanya begini. Pada masa dulu kala, orang-orang Karo yang membawa hasil hutannya untuk dijual ke Penang (Malaysia, red) harus melewati dataran Sungai Deli. Sementara di dataran ini, tepatnya di sekitar belakang Balai Kota, menurut TWH, sempat dikenal tempat beroperasinya para perampok. Saat mereka akan menukar hasil hutannya dengan garam di daerah tepi Sungai itu, mereka pun harus melalui daerah itu.

Dulu sungai itu sangat besar hingga dapat dilalui dengan kapal. Kalau Kesawan hanya merupakan tempat titik pertemuan perdagangan dari tanah Karo melalui sungai. Di belakang balai kota itulah banyak terjadi perampokan karena saking lengang dan sepinya. Setelah kota Medan mulai mengalami perkembangan, barulah kawasan itu ramai, jelasnya. Tempat ini merupakan sentral penduduk yang berasal dari Serdang yang akan menuju ke Sunggal atau dari Percut ke Hamparan Perak, bahkan yang dari Labuhan ke Deli Tua. Kampung kesawahen inilah yang kini kemudian menjadi kesawan. Menurut legenda, kawasan ini sudah ada di zaman Putri Hijau. Sementara orang-orang India menyebutkannya sebagai Maidan atau lapangan peperangan. Katanya, Kesawan ini adalah wajahnya Kampung Medan yang dibuka oleh Guru Patimpus. Kemudian Kesawan ini berkembang karena ada orang-orang yang berdagang dan menjadikan daerah ini sebagai tempat persinggahan. Jadi dia terbentuk dengan sendirinya sesuai dengan pekembangan zaman, terang TWH.

Kesawan dulu Seiring waktu, berbagai etnik pun menyebar memanfaatkan wilayah ini sebagai kawasan bisnis. Termasuk di antaranya adalah etnik Tionghoa dan India yang memiliki sejarah tersendiri memasuki wilayah Kota Medan. Di zaman Sumatera Utara masih berbentuk Propinsi Sumatera Timur dan di bawah Kepemerintahan Belanda, orang-orang Tionghoa ini dibawa oleh para elit Belanda untuk dijadikan kuli kontrak dan dipekerjakan di perkebunan. Pelopor masuknya etnik Tionghoa ini, kata TWH, adalah seorang petinggi Belanda bernama Neinhuys yang merupakan orang pertama yang membuka perkebunan di Medan pada 1864. Sejak itulah etnik Tionghoa masuk sebagai buruh dan perlahan-lahan diberi hak berdagang oleh Belanda bila kontrak kerja mereka telah habis.

Kalau menurut versi Luckman Sinar, oleh De Deli Maatschappij yang didirikan oleh J Nienhuys, kampung Kesawan ini dimasukkan ke dalam konsesi Perkebunan Mabar Deli Tua. Setelah tahun 1874, Kantor Besar De Deli Maatschappij pindah ke daerah Medan Putri, yaitu tempat pertemuannya dua sungai yakni Sungai Deli dan Sungai Babura. Kesawan itu masuk ke dalam wilayah perkebunan. Kemudian berkembanglah tempat itu. Maka banyaklah pertokoan-pertokoan yang dibuat oleh orang-orang Cina disitu, terang Luckman. Meskipun dulunya para etnik Tionghoa ini adalah kuli kontrak, namun mereka memutuskan untuk memperpanjang kontraknya sebagai pekerja kasar di perkebunan. Mereka juga meminta setapak tanah kepada De Deli Maatschappij untuk membuka kios atau warung. Oleh De Deli Maatschappij, sepetak tanah ini pun mereka berikan dengan pertimbangan, sepanjang masa konsesinya maka hal itu tak menjadi persoalan. Waktu itu De Deli Maatschappij berpendapat, selagi ini masih tanah konsesiku maka silahkanlah. Tapi kalau masa konsesi itu habis, maka habis jugalah kalian. Itulah pemikiran Deli Maskapai pada saat itu, tutur Luckman yang juga menjabat sebagai Chairman Of The Presidium Forum Komunikasi Antar Lembaga Adat (Forkala) Sumut. Maka selanjutnya dibuatlah sebuah gambar kawasan dagang dengan nama Grand De Deli Maatschappij untuk memetak-metakkan lokasi atau wilayah dagang para eks kuli kontrak tersebut. Melihat keberhasilan pendahulu-pendahulunya, maka satu persatu kuli dari etnik Tionghoa ini pun meminta hak yang sama sehingga lokasi tersebut diramaikan dengan kioskios dagang bangsa Cina. Kemudian di abad ke-20, masuklah pedagang dari India yang akhirnya juga menguasai wilayah tersebut (di masa kini, salah satu ciri pedagang India yang ada di sana, misalnya berdagang alat-alat olahraga, red). Di tahun 1891, sebagian dari Konsesi Mabar Deli Tua yang kini menjadi Kota Medan sekarang- diambil alih oleh pemerintah belanda. Di sinilah awal konselir Belanda mengubah surat keterangan yang lama menjadi Grand Counsellier. Di tahun 1918, wilayah itu pun diserahkan oleh Kesultanan Deli kepada pemerintah Hindia-Belanda hingga akhirnya terbentuklah gemeente atau Kota Praja Medan. Oleh Pemerintah Kota Praja Medan, kawasan itu pun disusun teratur sedemikian rupa hingga membentuk sebuah kawasan bernama Kesawan. Sejak itu berdatanganlah perusahaan-perusahaan asing untuk membuka berbagai perkantoran, bank, perusahaan perkebunan, kantor pusat, perusahaan pelayaran, kapal-kapal asing, dan lain-lainnya hingga Kesawan penuh dan menjadi pusat kota. Dulu kios-kios yang dibangun di situ masih berbentuk kayu. Masih sederhanalah bentuknya, belum seperti sekarang ini. Tapi lama-lama berubah jadi bangunan beton. Malah di abad 19 kawasan itu masih seperti kampung. Kondisinya pun masih seperti pasar. Tapi setelah diambil alih oleh Belanda, kawasan itu pun berubah menjadi sekarang ini. Tapi entah mengapa namanya diganti menjadi Jalan Jendral A Yani. Padahal kebanyakan orang lebih mengenalnya dengan nama Kesawan, ungkap Luckman. ***

Dr Phil Ichwan Azhari, sejarahwan Unimed Kini Kesawan hanya menyisakan sisa-sisa sejarah. Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmuilmu Sosial (PUSSIS) Unimed bernama Dr Phil Ichwan Azhari, punya pandangan soal buruknya tata letak, tata bangunan dan wajah Kota Medan ini. Menurut Ichwan, antara Kesawan dan Lapangan Merdeka Medan merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipilah-pilah atau dipisahkan. Kesawan tidak berdiri sendiri karena dia adalah bagian dari sebuah pusat pemerintahan Kota, ujar dia Ichwan. Berdasarkan replikanya, Lapangan Merdeka Medan, Balai Kota, Bank Indonesia, Hotel Darma Deli, Kantor Pos, Stasiun Kereta Api, dan pusat perbelanjaan seperti Kesawan merupakan satu kesatuan dari pusat kota ini. Pemandangan atau replika seperti ini akan mudah ditemui bila kita menginjakkan kaki ke negara-negara di Eropa seperti Jerman, Belanda, dan kota-kota tua di Eropa lainnya, terang dia. Di sana, jelas Ichwan, akan selalu ditemukan sebuah lapangan luas dan di depannya adalah Balai Kota, kemudian di sekelilingnya akan dijumpai bank, hotel, kantor pos, stasiun kereta api, dan pusat perbelanjaan.

Di akhir abad ke-19, replika peradaban Eropa ini di-foto copy menjadi satu wajah di Kota Medan. Sebenarnya ini juga bukan gaya Belanda karena di sekitar lapangan ada bangunanbangunan bergaya atau bernuansa Inggris. Jadi ini adalah adalah sebuah replika Eropa. Dan Kesawan merupakan bagian dari replika ini, jelas dia. Lapangan Merdeka Medan dan sekitarnya inilah yang menjadi pusat kota dan nol kolimeternya Kota Medan. Lapangan Merdeka Medan yang dulu juga sempat bernama Esplanade, ini dulu juga menjadi saksi pertempuran Medan Area yang dahsyatnya melebihi pertempuran Bandung Lautan Api. Di sekeliling Lapangan Merdeka Medan ini juga dijumpai 60 pohon Trembesi yang didatangkan langsung dari Amerika Latin dan bisa menjadi paru-paru kota dan sangat teduh. Inilah bagian dari upaya untuk memberikan replika Eropa, dengan maksud membuat satu kawasan yang teduh, papar Ichwan. Kini, pohon yang tersisa di sana hanya tinggal 40 saja. Tak ada lagi memori tentang kemerdekaan di lapangan ini. Masyarakat dan wisatawan hanya mengenal Merdeka Walk yang tak sebanding dengan nilai sejarah di Lapangan Merdeka Medan, tegas Ichwan. Bahkan saat ini, gedung-gedung di daerah Kesawan tersebut banyak dijadikan sebagai sarang burung walet. Gedung-gedung yang ada di kesawan sudah banyak yang di rombak menjadi gedung yang tidak genah. Malah sarang walet pun sudah banyak di situ. Bayangkan saja di tengah kota, ada sarang walet? Ini kan aneh sekali, kata Ichwan yang juga menganggap berdirinya tempat penyimpanan abu mayat di kawasan itu sebagai suatu hal yang aneh. Kesawan, kata Ichwan, bukanlah sebuah pusat perdagangan yang sengaja dibangun karena adanya alasan orang ingin bertransaksi. Kawasan ini merupakan bagian dari sebuah kota kolonial yang saat ini tengah dalam proses penghancuran secara tak langsung. Ichwan menegaskan, Tak ada yang peduli, baik pemerintah, anggota dewan terhormat, maupun warga Kota Medan sendiri. *** Wajah Kesawan memang berubah total. Sebagian toko-toko lama sudah tak nampak lagi wujudnya. Ada yang berubah wujud, berubah fungsi, berubah pemilik, malah ada yang sama sekali hilang dari pandangan mata seperti toko roti dan toko ice cream milik Belanda. Dalam hal ini, tiga sejarahwan yang dihubungi, sepakat kalau wajah Kesawan memang sudah tak berbentuk lagi. Sekarang di situ malah ada sarang burung walet. Seharusnya itu tidak boleh, karena dapat menyebarkan penyakit. Apalagi itu adalah kawasan inti Kota Medan. Makin kacau dan semrawut Kesawan itu kutengok, kata Luckman Sinar dengan nada kesal. (*)

Share this:

Digg Reddit StumbleUpon Print More

Like this:

Like Be the first to like this post.


Hindia Belanda indonesia kesawan kota lama kota medan sejarah Medan sumut

Previous post Next post


"Kau pikir untuk apa Tuhan menceritakan Fir'aun dalam Al-quran? Agar kau memberantas Fir'aun di zamanmu!" (Imam Khomeini)

yang ngarang

iwan

Guratan Baru

Wajah Selebriti Pilgubsu, Wajah Pilgubsu Idol Machiavellisme dan Firaunisme ala Indonesia Sekali Lagi Soal Federalisme Indonesia Belajar dari Persaingan Barca vs Madrid Menderitalah Bersama Rakyat Presiden Golkar, Presiden Rakyat? Keadilan Substantif dan Keadilan Prosedural dalam Konteks Negara Menuruti Rakyat dengan Sederhana Jenderal Sipil Bervisi Ekonomi Pseudo Coalition-Opposition Pseudo Koalisi-Oposisi Interruptions ! Interupsi ! Campus Radicalism? Radikalisme Kampus?

Top Posting

Ini Medan Bung...! (2) Dulu Lapar di Sudan, Sekarang di Somalia Cerita Porno dari Sudut Kampus Ini Medan, Bung...! (3) Orang Miskin Sumut per Maret 2008, 1,6 Juta orang! Setelah Seabad Muhammadiyah

Kelaparan Berbungkus Istilah Manis

Follow Blog via Email


Enter your email address to follow this blog and receive notifications of new posts by email. Join 102 other followers

RSS

RSS - Posts

Cari Isi Blog


Search

Yang Buron

284,669 orang

Twitter Tukang Ngarang


Lah Mbah Goen ja nyerah :D RT @gm_gm: Kata 'seronok' sebenarnya tak berarti 'sexy', atau 'erotik' atau semacam itu. Ada yg bisa menjelaskan? 5 hours ago #FederalismeIndonesia RT @kompascom: Bupati Seluruh Papua Tolak Permendagri kom.ps/AB3LRO 5 hours ago Cc @fadjroel RT @tempodotco: Tarif Air Force One Setara Rp 1,6 Miliar Perjam bit.ly/LAlXkT 5 hours ago

Rubrikasi

All News Blogger Ekonomi Esai IPTEK Islam Kebudayaan Lapak luar negeri militer

Panggung Politik Sastra dan Seni Sport Wajah & Wawancara

Arsip Ngarang Yang Ngomen


Kopral Cepot on Sekali Lagi Soal Federalisme I ilham on Si Nirwan harga laptop on Rakyat Sumut Menolak Kenaikan Sihir SBY, Indonesia on SBY Kalah, SBY Stress Kopralogic on Kepentingan Kaum Sekuler dan H nameera on Surat Imam Khomeini kepada Gor mawar on Seribu Lagu Ahmad Baqi Badut on Sandera Diskriminasi Tionghoa Berpolitik Dengan Ga on Tauhid Sosial, Diskriminasi da Kopral Cepot on Tauhid Sosial, Diskriminasi da

Juragan

Register Log in Entries RSS Comments RSS WordPress.com

Blogger

Agoez Perdana Ajaran Almascatie Andi Nasution Andi Tokong Andos Arif Mulyadi Asruldin Azis awan sundiawan Batak Syariah Chalid MN dedy ardiansyah denny sitohang Evyta Farid Gaban Farid Siregar Il Capitano Iman Brotoseno Imbalo Info Taput Jenderal Hasby Kades Bungursari Kang Boed Kopral Cepot M Shodiq Mustika Mahasiswa Jurnalistik FISIP UMSU Mahendra Mamat Anak Medan Mayjen Simanungkalit Mikekono (Bang Ujung) Muhammad Ikhwan muhsin labib Mula Harahap Nunik Isnuansa Nusantara News Omiyan ouR soULmatE Pangeran Siahaan Parlindungan Sibuea Politea Putri Negeri Angan Rindu Riza dkk Rottyu Rum Aly, Sociopolitica Sufi Muda teguh santosa

Toga Nainggolan Tri Yuwono Yenni Octarina

Situs Organisasi

Muhammadiyah Nahdhatul Ulama nBASIS Shiah

6 comments 1. dan said: 27 October 20097:22 pm

Kawasan Kesawan bolak balik.. Kayanya butuh penataan kota yang lebih baik yah Mgkn yang lebih penting jadikan masyarakatnya baik dahulu atau dua-duanya berjalan beriringan semoga memang begitu. 2. 'nBASIS said: 31 October 20098:06 pm

Apa definisi bangunan bersejarah itu ya. Jangan karena pernah dijadikan sebagai tempat kongkow-kongkow londo-londo itu lalu disebut bangunan bersejarah. Bahwa tata kota perlu manusiawi dan mudah bagi kehidupan, setuju. Tetapi jika harus memutar arah jam ke 100 tahunan silam, bisa mangap itu Tuan. Hagia Sophia di Istanbul, Turki, dulunya adalah sebuah bangunan bekas gereja katedral Basilika dan kemudian dijadikan mesjid di masa Utsmaniah Turki (Aya Sofia), kemudian di masa Kemal Attaturk dijadikan museum dan di masa modern sekarang menjadi salah satu tempat yang paling dikunjungi di Turki. Jarum jam tak bisa diputar, tapi merekonstruksi masa lalu, bukan mustahil. 3. Blogger Indonesia Menulis said: 1 November 20092:16 am

Apa kabar Kang Nirwan? Numpang woro-woro Ikuti dan ramaikan Blog Kontes menulis terbaru di penghujung 2009 dan menangkan hadiahnya. Silahkan baca informasi selangkapnya di http://www.indonesiamenulis.com/2009/11/kontes-motivasi-menulis-untukblogger.html. sekarang sedang baeik. ya saya akan baca, thanks atas informasinya.

4. mawardah said: 2 November 20104:14 pm

bagaimana sy bisa menghubungi Bpk. Ichwan azhari 5. Nirwan said: 2 November 20108:01 pm

Pak Ichwan setiap hari ada di kampusnya di Unimed. Dia berkantor di Pusat penelitian sejarah Universitas Negeri Medan, jalan Pancing. thanks 4 komen. 6. vivi said: 19 October 20118:55 am

nama saya vivi, kebetulan saya ada lputan tentah Replika Eropa di Medan, jadii kirakira boleh gak saya minta pendapat kawan-kawan sekalian tentang keadaan Replika Eropa di kota Medan saat ini. please send via email Vilisyab@yahoo.com dan tulisa nama juga asal. terimakasih. dimohon bantuannya y ayo siapa yang mau bantu

Leave a Reply

Blog at WordPress.com. Theme: Blogum by WPShower. Follow

Follow Tukang Ngarang


Get every new post delivered to your Inbox. Join 102 other followers
Enter your

Powered by WordPress.com
http://tukangngarang.wordpress.com/2009/10/26/kawasan-kesawan-kacaunya-wajah-sejarah-diinti-kota-medan/

O O O O

REDAKSI HARI INI EDITORIAL DISKURSUS OPINI ANALISIS PENA PEMRED LAPSUS MIMBAR JUMAT PARIWISATA SUMUT KOMUNITAS WOL KLASIFIKA

O O O O O O O O O

MOBIL SEPEDA MOTOR TELEKOMUNIKASI KOMPUTER/LAPTOP RUMAH JASA TANAH ELEKTRONIK DVD/VCD/CD DIREKTORI LOKAL

O O O O O O

HOME MEDAN SUMUT ACEH WARTA WARTA FOKUS EKONOMI & BISNIS NASIONAL & POLITIK NUSANTARA INTERNASIONAL SPORTS PSMS

O O O O O O O O O O O O O O O

LOKAL NASIONAL INTERNASIONAL GOSIP WAWANCARA RAGAM SEKS FILM KESEHATAN INFOTAINMENT GAYA HIDUP MUSIK TEKNOLOGI OTOMOTIF KREASI JURNAL PUTERI INDONESIA CITIZEN JOURNALISM ENGLISH NEWS

LOGIN
search...

WEDNESDAY, 31 MARCH 2010 06:15

Balai Kota, Kesawan dan Esplanade


Opini

EDY

SUHARTO

Pokok-pokok pikiran ini ditulis dengan latar belakang momentum Pilkada Medan, pada Mei 2010 dengan mengkilas balik realitas dan potret sejarah kota. Sebagai salah satu kota yang pernah memiliki kekayaan sejarah dan budaya sehingga layak dibanggakan; namun belakangan ini mulai kehilangan jatidiri dan identitasnya sebagai sebuah kota. Oleh karenanya penting bagi Walikota terpilih untuk mewujudkan potret Medan 5 tahun mendatang.

Saat ini agak sulit menjelaskan apa sebenarnya yang menjadi ikon Kota Medan. Berbeda pada beberapa puluh tahun lalu, Medan pernah mendapat julukan Paris van Sumatera, merujuk salah satu kota terkenal di Eropa. Julukan ini diberikan karena memang Medan memiliki kekhasan dan daya tarik sebagai sebuah kota yang tidak hanya maju dan mewakili sebuah peradaban (baca: kolonial), tapi juga kental nuansa yang sangat menghargai budaya dan keberagaman dengan tata ruang yang apik..

Secara fisik perkembangan kota Medan pada akhir abad 19 hingga awal abad ke 20 banyak dicirikan bangunan gedung yang bergaya Eropa dan Asia. Sehingga bangunan bergaya Eropa banyak dijumpai di antaranya dibangun Pemerintah Kolonial Belanda. Sarana tranportasi kota yang belum begitu padat, menjadikan kota ini cukup asri dengan ruang terbuka yang cukup bagi warganya serta sarana drainase yang terjaga baik sehingga kota terhindar dari banjir.

Perkembangan Medan menjadi sebuah kota tidak terlepas dari adanya perkebunan tembakau yang ada di sekitarnya. Inilah yang menjadi daya tarik sehingga mendorongnya berkembang menjadi sebuah daerah industri dan perdagangan. Sejak diizinkannya Nienhuys oleh Sultan (1870) untuk membuka perkebunan tembakau di kawasan sekitar Medan maka dimulailah pembangunan seperti

kota-kota di Eropa. Beberapa kawasan yang menjadi saksi sejarah dan hingga saat ini masih berdiri berupa bangunan bergaya Eropa dan Asia terdapat di kawasan Kesawan, Balai Kota dan Esplanade (Lapangan Merdeka yang kini dijadikan Merdeka Walk) di pusat kota.

Merunut data sejarah, Kesawan dahulunya adalah cikal bakal berdirinya kota Medan yang wilayahnya terhubung dari Kesawan hingga Labuhan Deli. Awal abad ke-19 pembangunan Medan menjadi sedemikian pesat ditandai banyaknya infrasturuktur yang dibangun. Tahun 1880 banyak bangunan baru berdiri dengan tampilan arsitektur bergaya Eropah (art deco). Tercatat pada tahun 1885 dan 1887 sudah ada jalur rel kereta api dan stasiun Kereta Api dibangun di kota Medan; lokasinya berdekatan dengan Esplanade. Pembangunan infra struktur ini kemudian diikuti pembangunan fasilitas seperti Hotel De Boer, dan Bank Java.

Pembangunan Hotel De Boer dibangun pada 1889, hotel ini menjadi terkenal ke Eropa karena kemewahan dan keindahannya. Selain perusahaan kereta api, hotel dan lapangan Esplanade, berbagai macam gedung perkantoran dan perusahaan dibangun di sekeliling Esplanade di antaranya bangunan kantor perusahaan perkebunan Inggris Harrison & Crosfield bernama Juliana yang berdiri tahun 1909, terletak di sudut Kesawan dan Esplanade.

Perkembangan

Medan

menjadi

pusat

perdagangan

dan

industri

menyebabkan

makin

berkembangnya kawasan Kesawan menjadi cikal bakal kota Medan sekarang ini. Selanjutnya kota ini semakin banyak dikunjungi pendatang dari China, India, maupun Eropah. Bangsa China datang menjadi pedagang perantara antara orang pribumi dengan pengusaha Eropa. Bangsa India datang sebagai pekerja (kontrak) yang bekerja di perkebunan tembakau milik orang Eropa.

Sehingga sampai saat ini pun dapat menelusuri jejak keberadaan mereka di Medan. Seperti orang

China mereka banyak berdomisili di sekitar daerah Kesawan dan sekitarnya sedang orang India membuka perkampungan yang disebut dengan Kampung Keling atau Kampung Madras. Peta persebaran etnis di Medan semakin ramai seiring banyaknya pendatang dari sekitar Medan. Hingga akhirnya kota ini menjadi sebuah ebagai kota multietnik.

Kesawan,

Esplanade,

dan

Balai

Kota

Menata kembali Kesawan serta Esplanade dan Balai Kota akan mengembalikan sosok Medan yang memiliki daya tarik sebagai kota berkarakter. Kawasan Kesawan juga layak dipromosikan menjadi Kota Tua Medan (the old city) mengingat nilai sejarah dan perannya di masa lalu serta memfungsikan kembali Balai Kota Medan akan menjadi sebuah daya tarik bagi Kota Medan. Sayangnya, keberadaan Balai Kota saat ini yang letaknya berdampingan dengan Hotel Grand Aston cendrung semakin elitis dan sulit dikatakan sebagai Balai Kota yang merakyat dan menyatu dengan warga kota.

Kebijakan pembangunan Medan pada masa lalu, telah menempatkan Kesawan menjadi satu paket dengan kawasan Esplanade. Dimana selain pembangunan gedung disediakan juga lahan terbuka asri dan ditanami pohon untuk dinikmati warga. Hal ini kontras dengan kebijakan pembangunan Medan saat ini; yang sepenuhnya berorinteasi pada pembangunan pusat-pusat perbelanjaan seperti: mall, plaza, hotel serta gedung perkantoran bertingkat.

Kawasan Esplanade yang telah berubah nama menjadi Merdeka Walk, saat ini kondisinya sebagian sudah dijadikan area pusat bisnis makanan dan juga hiburan. Ini dengan sendirinya akan semakin mempersempit ruang publik bagi warga kota yang ingin mendapatkan lahan terbuka yang hijau dan asri. Tata ruang kota semakin tidak demokratis bahkan sebaliknya semakin mempertegas berbagai kontradiksi yang ada. Konon kabarnya di kawasan ini pula merupakan titik nol kota Medan.

Tampilan Kesawan sekarang sangat tidak tertata rapi serta terkesan semrawut. Padahal di sini terdapat sejumlah bangunan bersejarah yang masih kokoh bertahan. Di kawasan ini pula kita terdapat Kantor Pemerintahan yakni Kantor Dinas Pariwisata yang sebenarnya tidak lazim. Karena dahulunya di kawasan ini tidak dibangun untuk lokasi perkantoran. Pembangunan di Kesawan pun terkesan hanya melihat dari sisi ekonomisnya saja tapi tidak melihat nilai estetika, sosial-budaya, sejarah dan sebagainya.

Seperti banyaknya spanduk iklan dan pamplet advertising yang melintang di atas jalan Kesawan. Bangunan baru dibangun dengan menghancurkan gedung lama dan pembangunan ruko (rumah toko) untuk sarang burung walet. Pembangunan drainase dan parit pun terkesan seadanya sehingga dikhawatirkan terjadi banjir pada saat musim hujan. Bahkan di beberapa sudut parit dan pojok bangunan merebak aroma bau tak sedap. Inilah sebagian potret lingkungan di Kesawan saat ini.

Beberapa tahun lalu, Pemko Medan mengeluarkan kebijakan dan menjadikan Kesawan menjadi pusat jajanan di malam hari yang kemudian dikenal dengan nama Kesawan Square. Namun saat ini pusat jajanan ini ditutup dengan alasan yang tidak jelas. Seiring dibukanya Kesawan Square pemerintah juga memberi ijin bagi pembukaan pusat jajanan di Kawasan Lapangan Merdeka; yang belakangan menjadi Merdeka Walk.

Balai Kota, Kesawan serta Esplanade atau Lapangan Merdeka memiliki potensi dikembangkan dan dijadikan ikon kota Medan. Kawasan tersebut merupakan bagian penting kota Medan baik masa lalu, sekarang dan akan datang. Seharusnya di ketiganya diberlakukan kawasan car free day (kawasan bebas kendraan bermotor) pada waktu-waktu tertentu. Kebijakan ini tentunya akan sangat membantu memulihkan kondisi udara Medan dari polusi asap kendaraan bermotor. Calon Walikota

Medan terpilih harus memberikan perhatian serius terhadap masalah ini dan membangun kembali Medan yang lebih bersih, berbudaya dan dapat menjadi milik semua warga kota.

Kesimpulan Menjadikan kawasan Kesawan sebagai kawasan pedestrian (pejalan kaki) sehingga publik atau masyarakat bisa memahami dan mengenal lebih dekat gedung-gedung bernilai sejarah dan budaya; yang dengan sendirinyan akan menarik minat turis berkunjung ke kota ini

Menjadikan kawasan Kesawan sebagai The Old City bagi Medan sekaligus sebagai ikon Kota Medan. Pemanfaatan kembali (re-use) gedung-gedung bersejarah yang ada di Medan dengan ketentuan jangan sampai menghilangkan keaslian arsitektural gedung karena justru di sinilah letak daya tarik ekonomisnya.

Memanfaatkan dan memfungsikan kembali Balai Kota sebagai balai rakyat yang bisa digunakan warga kota untuk tempat berkumpul serta mengekspresikan kreatifitas dan potensinya.

Memberlakukan kawasan car free day di kawasan Kesawan, Balai Kota dan Esplanade pada waktuwaktu tertentu sehingga warga kota dapat merasakan kembali ruang publik yang ada di kawasan ini.

Penulis adalah Aktivis LSM dan Pengajar di Jurusan Antropologi FISIP USU (dat06)

| HOME | ABOUT US | PROFILE | CONTACT US | CAREER | AD RATES |

Developed by; Emiriana.Net

Anda mungkin juga menyukai