I. Abstraksi
Pengetahuan pasien terhadap kelalaian dan malpraktik medis pada umumnya sangat kurang. Pasien umumnya hanya dapat menerima saja segala sesuatu yang dikatakan dokter tanpa dapat bertanya apapun. Dengan kata lain, semua keputusan sepenuhnya berada ditangan dokter. Banyak kasus kelalaian medis dan malpraktik yang terjadi, namun pelakunya (dokter) tidak diberi hukuman yang setimpal. Kemudian IDI pun tidak mengambil keputusan seperti mengeluarkan dokter tersebut, sepertinya IDI sangat menjunjung tinggi teman sejawatnya.
II.
Pendahuluan
Tulisan ini dimaksudkan untuk menambah wawasan tentang kelalaian dan malpraktik medik bagi semua pihak, agar ketertiban dalam profesi dapat diwujudkan. Selain itu, pengalaman-pengalaman buruk sebagai akibat negatif kemajuan dan perkembangan yang terjadi dimasyarakat, harus diwaspadai untuk tidak terulang dinegara kita. Semua pihak tentu tidak menghendaki peristiwa krisis malpraktik yang sangat merugikan masyarakat (seperti yang pernah terjadi di Amerika Serikat) terulang kembali di Indonesia. Maka pasien perlu dibekali ilmu tentang kelalaian dan malpraktik medik. Disadari atau tidak, banyak kalangan dalam masyarkat berpendapat IDI (Ikatan Dokter Indonesia) tidak pernah obyektif dalam menangani kasus-kasus pelanggaran etika yang diadukan. Buktinya selama ini nyaris tidak ada pelanggaran kode etik yag dikenakan sanksi oleh IDI, setidaknya yang diketahui masyarakat luas. Kasus-kasus yang jelas dan kasat mata melanggar etika kedokteran pun tidak pernah jelas penanganannya. Yang disaksikan oleh masyarakat, dokter yang diadukan melanggar etika tersebut tetap berpraktik seperti biasa, justru anehnya dengan dalih tidak ada pelanggaran etika atau pengaduan oleh masyarakat salah alamat, aneh sekali, bukan? Berkaitan dengan luasnya pelanggaran etika oleh para dokter dan pembiaraan oleh IDI, banyak kalangan masyarakat yang bahkan bertanya-tanya, apakah profesi kedokteran itu masih punya etika atau tidak? Kalau masih punya etika, mengapa dokter-dokter yang melanggar etika tidak secara proporsional menurut norma dan values KODEKI tersebut? Atau keberadaan IDI/MKEK malahan justru menjadi legitimasi atau pembenaran terhadap pelanggaranpelanggaran etika itu sendiri? Seharusnya kasus-kasus demikian itu diproses dengan proporsional, transparan, jujur dan adil, tentu jika semua itu dilakukan masyarakat akan puas dengan keputusan yang diambil oleh IDI/MKEK.
III.
Isi
1. Pengertian
Kelalaian dan malpraktik medik merupakan sesuatu yang berbeda. Malpraktik adalah tindakan-tindakan sengaja dan melanggar hukum yang berlaku. Akibat yang ditimbulkan memang merupakan hukum yang berlaku[1]. Akibat yang ditimbulkan memang tujuan dari tindakan tersebut. Dalam kepustakaan hukum kedokteran tercatat hanya beberapa kasus saj yang dapat digolongkan sebagai kasus malpraktik, lainnya dapat berupa kelalaian atu bahkan kecelakan medik. Secara yuridis, penilaian atas tindakan dokter bukanlah berdasarkan hasil melainkan berdasarkan kepada usaha atau upaya yang sebaik-baiknya.
Dari contoh kasus di atas, dokter tersebut jelas melanggar kode etik kedokteran, kerena dokter tersebut menyimpang dari Standar Profesi Medik. Dokter tersebut terkena pasal pasal 359, 360, dan 361 KUHP karena lalai sehingga mengakibatkan kematian orang lain. Dan terkena hukum perdata karena Kelalaian yang mengakibatkan kerugian (pasal 1366 KUHPerdata). Kasus tersebut merupakan salah satu kasus malpraktik yang bisa terungkap dan dapat penyelesaian secara tuntas. Tetapi masih banyak kasus malpraktik yang sudah mencuat kemuka publik tetapi tidak mendapat penyelesaian secara tuntas, tidak hanya itu, kasus malpraktik yang tidak dilaporkan pun banyak, keluarga korban malpraktik hanya bisa pasrah menghadapi kenyataan. Berikut ini contoh kasus malpraktik yang pelakunya (dokter) tidak mendapatkan ganjaran yang setimpal. Malpraktik sangat trekenal adalah kasus di Wedariyaksa, Pati, Jawa Tengah, pada 1981. Seorang wanita, Rukimini Kartono, meninggal setelah ditangani Setianingrum, seorang dokter puskesmas. Pengadilan Negeri memvonis si dokter bersalah. Dia dihukum tiga bulan penjara. Dia selamat dari hukuman, setelah kasasi ke Mahkamah Agung.(VIVAnews) Dokter tersebut jelas melanggar kode etik kedokteran, kerena dokter tersebut menyimpang dari Standar Profesi Medik. Dokter tersebut terkena pasal pasal 359, 360, dan 361 KUHP karena lalai sehingga mengakibatkan kematian orang lain. Dan terkena hukum perdata karena Kelalaian yang mengakibatkan kerugian (pasal 1366 KUHPerdata). Melihat kasus-kasus malpraktik yang semakin meningkat frekuensinya tentu pemerintah tidak bisa tinggal diam. Kemudian landasan utama eksistensi dan legitimasi dari organisasi profesi yang disebut IDI ialah Kode Etik Kedokteran dan Sumpah dokter. Tujuan dan fungsi utama organisasi ini ialah menjaga martabat luhur profesi kedokteran, yakni dengan melaksanakan dan mengamalkan KODEKI tersebut secara konsisten dan konsekuen. Itulah sebenarnya hakikat dan khittah dari IDI. Disadari atau tidak, banyak kalangan dalam masyarakat berpendapat IDI tidak pernah objektif dalam menangani kasus-kasus pelanggaran etika yang diadukn. Buktinya selama ini nyaris tidak ada pelanggaran KODEKI yang dikenakan sanksi oleh IDI, setidaknya yang diketahui masyarakat luas. Kasus-kasus yang jelas dan kasat mata melanggar etika kedokteran pun tidak pernah jelas penanganannya. Sebaliknya, dikalangan dokter sendiri berkembang suatu mispersepsi yang sangat menyesatkan, berpegang pada diktum Teman sejawat akan saya perlakukan sebagai saudara kandung yang merupakan Kewajiban Dokter terhadap teman sejawat sebagai bagian dari KODEKI. Dengan begitu, IDI telah dipersepsikan secara sempit sebagai organisasi yang fungsi utamanya adalah membela para anggotanya yang disebut dokter, apa pun yang dilakukannya. Apalagi dengan telah membayar iuran, beberapa kalangan dokter berpendapat IDI harus membla dokter, melanggar atau tidak melanggar etika.
KUHP Singapura Pasal 304 A Barangsiapa menyebabkan kematian seseorang yang dilakukan dengan gegabah atau kelalaian, perbuatan tersebut tidak sama dengan pembunuhan bersalah , dapat dipidana dengan pidana penjara untuk jangka waktu paling lama dua tahun atau denda, atau keduanya.
KUHP Indonesia Pasal 359 Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun
Tindak pidana dalam pasal 304 A ini , sama dengan tindak pidanadalam pasal 359 KUHP Indonesia , tetapi rumusan pidananya berbeda. Dalam KUHP Singapura pidananya dirumuskan secara alternatif kumulatif yaitu pidana penjara paling lama dua tahun atau denda , atau keduanya , yang dimaksud dengan keduanya adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun ditambah denda. Dalam KUHP Indonesia pidananya dirumuskan secara alternative yaitu pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama 1 tahun . Dengan memperhatikan dan menganalisa serta membandingkan KUHP, Konsep KUHP 2008, KUHP Singapura maka dapat diambil kesimpulan bahwa kebijakan hukum pidana yang akan datang : Berkaitan dengan kebijakan hukum pidana yang akan datang yang berhubungan dengan penanggulangan tindak pidana malpraktik kedokteran dirasakan perlu menggunakan sistem pidana minimum khusus sebagaimana di dalam konsep. Menurut Barda Nawawi Arief adanya pidana minimum khusus untuk delik delik tertentu mempunyai suatu landasan antara lain 1) Untuk mengurangi adanya disparitas pidana 2) Untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang menghendaki adanya standar minimal yang objektif untuk delik delik yang sangat dicela dan merugikan atau membahayakan masyarakat atau negara 3) Untuk lebih mengefektifkan prevensi umum Mengenai Pertanggungjawaban korporasi sebenarnya telah diatur di dalam Pasal 41 ayat 2 Undang Undang Praktik kedokteran yaitu membuat daftar dokter atau dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di sarana pelayanan kesehatan yang bersangkutan, tetapi sanksi terhadap pelanggaran kewajiban tersebut tidak diatur secara jelas mengenai sanksi yang dapat dijatuhkan. Sanksi yang berkaitan dengan korporasi hanya yang berkaitan dengan larangan yang tercantum dalam Pasal 42 Undang Undang Praktik kedokteran dimana sarana pelayanan kesehatan dilarang mengizinkan dokter berpraktik tanpa ada surat izin praktik . Ketentuan tentang sanksi yang berkaitan dengan korporasi tersebut diatur di dalam Pasal 80 ayat 2 Undang
Undang Praktik kedokteran. Oleh karena itulah maka kebijakan formulasi hukum pidana yang akan datang khususnya yg terdapat di dalam Undang Undang 29 Tahun 2004 dapat diperluas tidak hanya terpusat pada pelanggaran membuat daftar dokter semata. IV. Kesimpulan dan saran Kesimpulan Malpraktik adalah tindakan-tindakan sengaja dan melanggar hukum yang berlaku. Akibat yang ditimbulkan memang merupakan hukum yang berlaku Setiap dokter harus menggunakan SPM agar tidak terjadi malpraktik yang akan merugikan dirinya maupun pasien Ada dua aspek hukum kedokteran, yakni aspek hukum pidana dan aspek hukum perdata Tindak pidana dalam pasal 304 A ini , sama dengan tindak pidanadalam pasal 359 KUHP Indonesia , tetapi rumusan pidananya berbeda. Dalam KUHP Singapura pidananya dirumuskan secara alternatif kumulatif yaitu pidana penjara paling lama dua tahun atau denda , atau keduanya , yang dimaksud dengan keduanya adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun ditambah denda. Dalam KUHP Indonesia pidananya dirumuskan secara alternative yaitu pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama 1 tahun . Saran IDI harus bersikap objektif terhadap para dokter yang melakukan kasus malpraktik Penambahan dokter-dokter yang berkualitas, karena Ikatan dokter Indonesia hanya memiliki dokter sebesar 50.000 Kasus malpraktik ini juga dikarenakan seorang dokter memiliki lebih dari 3 tempat praktik, maka keasal-aslan dalam memeriksa dan mengidentifikasi penyakit pasien tdak maksimal, tidak heran jika kasus malpraktik marak terjadi. Sehingga harus ada pembatasan tempat praktik bagi para dokter.
Referensi
Achadiat, c. M. (2007). Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zama.Jakarta: pENERBIT Buku Kedokteran EGC. http://sorot.vivanews.com/news/read/34856-tabib_pengantar_maut. (t.thn.). Diambil kembali dari www.google.com.
[1] Chrisdiono M. Achadiat, Dinamika etika dan Hukum KEDOKTERAN dalam Tantangan Zaman,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal 56. [2] Republik of Singapore Chapter 103, Penal Code, Arrangement of Section, Edition of 1970