Anda di halaman 1dari 29

MODUL

BIOKIMIA KLINIK

Dr. Fransiska Lanni, MS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS RESPATI YOGYAKARTA

2011

MODUL
BIOKIMIA KLINIK Edisi I

Dr. Fransiska Lanni, MS

PROGRAM STUDI D-III KEBIDANAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS RESPATI YOGYAKARTA

2011

KATA PENGANTAR
Biokimia Klinik merupakan pembelajaran lanjutan setelah mahasiswa menempuh materi Biokimia Dasar. Modul ini memuat informasi tentang berbagai kasus klinik yang timbul akibat kesalahan metabolisme biokimiawi yang bersifat temporal, permanen maupun bawaan (heriditer). Selain memuat dasar teori mekanisme biokimiawi penyakit-penyakit tersebut, modul ini juga memuat berbagai contoh kasus yang dijumpai di klinik yang berhubungan dengan praktek Ilmu Kebidanan. Pemberian contoh kasus dimaksudkan agar mahasiswa dapat berpikir kritis dalam pemecahan masalah dan dapat merancang mekanisme penanganan yang tepat dan benar. Jika pada Biokimia Dasar lebih ditekankan pada proses-proses metabolisme baik pada biomolekul (karbohidrat, lemak, protein, asam nukleat), nutrient, hormon dan cairan tubuh, maka pada modul ini lebih ditekankan pada gangguan atau kesalahan pada proses proses tersebut sehingga menimbulkan kelainan maupun gangguan pada fungsi tubuh secara keseluruhan. Dengan demikian sebelum mempelajari modul Biokimia Klinik ini, para mahasiswa sudah harus memahami materi pembelajaran Biokimia Dasar sebagai landasan teori berbagai kasus klinik yang dipaparkan pada modul ini. Modul ini disusun sebagai media pembelajaran Problem Based Learning (PBL) yang berbasis pembelajaran mahasiswa aktif (student centered) dimana dosen hanya sebagai fasilitator, motivator atau mediator. Skenario penyakit yang disusun dalam diskusi kasus harus dipecah mahasiswa dalam diskusi kelompok yang terjadwal. Setiap kelompok mahasiswa harus membuat makalah singkat dan bahan presentasi yang akan disajikan dalam kelas, dan akan menjadi diskusi ilmiah antar kelompok. Dosen dapat menilai aktiviats mahasiswa baik dari unsur manajerial dan kerja sama kelompok, cara beragumentasi ilmiah, cara menerima pendapat orang lain maupun sistematika berpikir para mahasiswa dalam pemecahan masalah.

Diharapkan dengan membaca modul ini, mahasiswa dapat memahami mekanisme terjadinya berbagai penyakit yang berkaian dengan kesalahan metabolisme serta dapat merancang dan melakukan managemen klinik yang tepat baik yang bersifat kuratif, paliatif maupun rehabilitatif bagi para penderita. Dengan mempelajari mekanisme terjadinya penyakit tersebut mahasiswa juga mengerti dan mampu mengkomunikasikan tindakan preventif bagi masyarakat yang sehat untuk menghindari terjadinya gangguan tersebut.

BAB

I
PENDAHULUAN

INTOLERANSI LAKTOSA
Fransiska Lanni

ntoleran laktosa adalah sekelompok gejala atau syndrom kram, diare, kembung, muntah, mual atau kombinasi diatas akibat sistem pencernaan tidak mampu mengurai laktosa yang terdapat dalam susu hewani menjadi molekul glukosa dan galaktosa.

Gangguan ini disebabkan oleh berkurangnya (defisiesi) atau tidak ada sama sekali (nir) enzim Laktase yang diproduksi oleh sel epitel usus. Enzim Laktase dibutuhkan untuk mengurai gula susu (laktosa) menjadi Glukosa dan Galaktosa. Tidak adanya enzim atau defisiensi enzim ini dapat oleh faktor genetik (bawaan) maupun non genetik (lingkungan). Mutasi pada gen (DNA) yang menyandi produksi enzim Laktase dapat menyebabkan tidak diproduksinya enzim laktase atau produksinya hanya sebagian. Kelainan ini bersifat herediter diturunkan dari kedua orangtua dan bersifat menetap atau permanen. Penyebab lainnya adalah faktor eksogen seperti infeksi pada saluran pencernaan, yang mengakibatkan sel-sel epithel mukosa usus kurang mampu atau tidak mampu sama sekali mengsekresi enzim laktase. Penyebab lainnya dapat dikarenakan gen Laktase mati suri atau tidur sementara waktu, karena seseorang tidak mengkonsumsi susu dalam jangka waktu cukup lama, sehingga Laktase tidak diproduksi lagi. Dalam kasus ini Laktase dapat diproduksi kembali setelah orang tersebut mengkonsumsi susu sedikit demi sedikit. Modul ini terdiri dari 2 (dua) sub Bab masing-masing ; 1. Mekanisme regulasi metabolisme Laktosa 2. Patofisiologi Biokimiawi Intoleransi Laktosa

Modul ini juga dilengkapi dengan contoh kasus yang berhubungan dengan intoleransi laktosa. Setelah mempelajari Modul diharapkan mahasiswa mampu : 1. Memah ami dasar Biokimi a dan patofisi ologis terjadin ya intolera nsi laktosa ini, klinik

2. Mengenal dan mengidentifikasi berbagai macam intoleransi laktosa 3. Menetapkan dasar managemen klinik dan terapi diet yang tepat pada berbagai kasus intoleransi laktosa.

sederhana atau monosakarida agar dapat diserap oleh sel-sel epithel usus. Peruraian ini dibantu oleh enzim Laktase ((-galactosidase) yang dalam keadaan normal disekresikan oleh membran sel-sel epithel usus halus.

I.1. Regulasi Metabolism e Laktosa


Laktosa adalah golongan karbohidrat yang terdiri
Gambar 1.1. Peruraian molekul laktosa menjadi molekul glukosa dan galaktosa dengan bantuan enzim laktase yang disekresikan oleh membran sel-sel epithel usus halus.

dari gugus 2 monomer gula (disakarida) yaitu

glukosa Aktivitas enzim laktase ditentukan oleh beberapa faktor antara lain; genetik, pola diet, umur

dan galaktosa. serta kesehatan saluran pencernaan seseorang. Dalam keadaan normal, aktivitas enzim Secara alamiah laktase sangat tinggi pada bayi baru lahir, dan akan semakin menurun sejalan dengan laktosa terdapat bertambahnya umur dan berkurangnya konsumsi susu. dalam hewan termasuk susu Pada orang-orang tertentu yang tidak mengkonsumsi susu sama sekali dalam jangka di panjang, aktivitas Laktase sangat rendah atau dapat diabaikan. Gen penyandi enzim tersebut Pada masyarakat tertentu seperti masyarakat

antaranya susu di switch off untuk sementara, dan akan aktif kembali atau di switch on jika orang sapi dan susu tersebut mengkonsumsi susu kembali. Sama dengan karbohidrat lainnya, Laktosa harus diurai terlebih dahulu menjadi karbohidrat halnya susu ibu (ASI). Kaukasian khususnya Eropa Timur, aktivitas laktase tetap tinggi pada individu dewasa

Penurunan aktivitas Laktase dapat terjadi jika terjadi mutasi pada gen penyandi produksi enzim tersebut sehingga produksinya tidak ada sama sekali atau kurang jumlahnya. Kelainan ini bersifat permanen dan herediter (diturunkan). Penurunan aktivitas Laktase juga dapat terjadi secara temporal jika terjadi infeksi viral enteral, di mana membran epithelial usus yang terinfeksi dan berubah sifat sehingga sekresi Laktase terganggu. Namun demikian setelah infeksi dapat diatasi dan membran usus kembali normal, aktivitas Laktase juga kembali normal.

I.2 Dasar Biokimiawi dan Pathofisiologi Intoleransi Laktosa


Intoleran Laktosa diartikan sebagai sekelompok gejala kram, diare, kembung, muntah mual atau kombinasi diantaranya yang disebabkan oleh ketidakmampuan sistem pencernaan untuk mencerna gula susu (Laktosa) menjadi glukosa dan galaktosa. Kelainan ini dapat diderita oleh berbagai kelompok umur dari bayi baru lahir, anak-anak, dewasa maupun orang tua dan tersebar di seluruh dunia. Jika terdapat laktosa dalam diet baik yang berasal dari susu maupun produk susu, tetapi tidak dicerna oleh laktase, maka Laktosa tersebut akan dimetabolisme oleh bakteri usus (colon) menjadi asam dan gas sehingga menimbulkan gejala intoleransi laktosa di atas. Secara biokimiawi, intoleransi laktosa dibagi 2 : Intorelansi Laktosa Primer Merupakan kelainan genetik yang bersifat herediter sejak lahir dan bersifat menetap seumur hidup. Tubuh tidak mampu menghasilkan Laktase sama sekali (nir-laktose) atau jumlahnya tidak mencukupi (defisiensi). Ekspresi gen Laktase jauh lebih tinggi pada masyarakat kulit putih (Caucasoid) yang biasa mengkonsumsi susu dalam sebagai adaptasi genetik terhadap pola diet yang biasa mengkonsumsi susu produk dan susu dietnya dibandingkan masyarakat pedalaman mengkonsumsi susu. Intorelansi Laktosa Skunder - Pada individu normal, Gen laktose dapat bersifat diam atau mati suri jika tidak terpapar dengan substrat (laktosa) dalam waktu lama. Gen tersebut akan muncul kembali ekspresinya secara perlahan jika terpapar dengan substrat.Pada individu normal, Gen laktose dapat bersifat diam atau mati suri jika tidak Asia dan Afrika yang jarang

terpapar dengan substrat (laktosa) dalam waktu lama. Gen tersebut akan muncul kembali ekspresinya secara perlahan jika terpapar dengan substrat. Disebabkan oleh infeksi atau gangguan saluran gastrointestinal lainnya, sehingga kemampuan sel epitel usus memproduksi laktase menurun. Defisiensi ini bersifat temporal dan setelah sel usus pulih kembali maka produksi enzim kembali normal Laktosa yang tidak tercerna dapat mempengaruhi keseimbangan osmotik usus, di mana air jaringan ditarik keluar rongga usus dan keadaan ini semakin meningkat pada usus besar sehingga mengakibatkan diare. Bakteri colon kemudian akan mengurai Laktosa menjadi asam-asam karboksilat rantai pendek antara lain asam propionat, asetat, format dan laktat. Asam format kemudian dipecah oleh enzim format lyase menjadi hydrogen dan CO2. Selanjutnya bakteri colon akan membentuk gas methan dari CO2 dan hydrogen yang mengakibatkan perut kembung. Managemen klinik utama pada kasus intoleran laktosa adalah meniadakan laktosa dalam diet atau mengurangi kadarnya. Pada bayi atau anak-anak dapat diberikan susu rendah laktosa. Produk-produk cream non-diary juga dapat digunakan. Yogurt juga dapat dikonsumsi karena walaupun terbuat dari susu, bakteri dalam yogurt secara alami dapat memproduksi Laktase yang dapat mengurai laktosa.

Rangkuman
1. Laktosa merupakan disakarida yang terdapat pada susu hewani yang perlu diurai dengan bantuan enzim Laktase menjadi glukosa dan galaktosa untuk dapat diserap oleh usus. 2. Jika aktivitas Laktase berkurang atau tidak ada sama sekali maka laktosa dalam usus akan diubah oleh bakteri usus menjadi asam-asam karboksilat rantai pendek antara lain asam propionat, asetat, format dan laktat. 3. Penyebab intoleransi laktosa antara lain ; faktor genetik infeksi usus Frekuensi paparan terhadap susu

diproduksi oleh bakteri usus akan mengubah fungsi fiologis usus secara keseluruhan

Diskusi Kasus
Kasus 1

sehingga menyebabkan kram, diare, kembung, muntah, mual atau kombinasi

Seorang ibu membawa bayinya ke RSUD setempat, dengan keluhan bayi laki-laki yang berusia 2 bulan tersebut menderita muntah-muntah dan diare berkepanjangan. Bayi tersebut masih mengkonsumsi ASI eksklusif. Pemeriksaan fisik menunjukkan berat badan bayi kurang dari normal, turgor kulit buruk dan mengalami dehydrasi sedang. Riwayat penyakit. Bayi mengalami panas tinggi dan muntah kira-kira 2 minggu yang lalu. Sang ibu membawa bayi tersebut ke puskesmas setempat dan dokter mendiagnosis terjadi gastroenteritis viral. Setelah diberi obat-obatan, 3 hari kemudian demam sang anak mulai turun tetapi diare encer masih terjadi, muntah serta buang gas terus berlanjut sampai saat di bawah ke RS. Sebelumnya bayi tersebut mengkonsumsi ASI dan tidak bermasalah. Pemeriksaan Laboratorium : terdapat gula reduksi di urin glukosa urin negatif

Tindakan : - bayi diinfus dengan larutan glukosa 5% dan ASI dihentikan, pada hari pertama diare dan muntah berkurang. Kemudian bayi diberi susu rendah laktosa (SRL) dari kedelai dan pada hari ke 3 setelah dirawat. Bayi kembali sehat dengan mengkonsumsi SRL. Pertanyaan : 1. Mengapa dokter menghentikan ASI? 2. Mengapa sebelum panas tinggi 10 hari sebelumnya bayi belum pernah mengalami muntah dan diare ?. 3. Mengapa kepada bayi tersebut diberikan SRL ? 4. Keberadaan asam. yang 4. Apakah bayi tersebut dapat mengkonsumsi ASI kembali?

Kasus 2

Seorang ibu baru melahirkan bayi perempuan dengan berat badan 3,1 kg melalui operasi caecar atas indikasi medis. ASI ibu tersebut belum keluar pada hari pertama, sehingga Bidan memberi susu buatan kepada sang bayi, bayi muntah dan hari kedua mulai menderita kembung dan diare. Bidan menggantikan susu tersebut dengan merek lainnya, tetapi tidak memperbaiki keadaan, kembung, muntah dan diare tetap berlanjut sehingga bayi tersebut perlu diberikan cairan dan nutrient lewat infus. Kesimpulan dokter anak, sang bayi alergi susu buatan. Setelah 5 hari kemudian, sang ibu mulai dapat memberikan ASI nya kepada sang bayi, diare dan muntah terus berlanjut. Akhirnya ASI dihentikan dan sang bayi diberikan SRL, keadaan berangsur baik. Pertanyaan : 1. Apa yang terjadi pada bayi tersebut? 2. Mengapa baru lahir dapat terjadi diare dan muntah? 3. Mengapa ASI juga dihentikan dan diganti dengan SRL ? 4. Apakah bayi tersebut dapat mengkonsumsi ASI kembali ?

Kasus 3 Seorang wanita paruh baya berusia 50 tahun, baru pindah ke kota untuk tinggal bersama anaknya karena mengalami gejala osteoporosis Dalam keseharian sebelumnya sang nenek hampir tidak pernah mengkonsumsi susu. Ketika di rumah anaknya, sang ibu mendapat perbaikan gizi dengan mengkonsumsi susu berkalsium Merek X, pada pagi hari dan malam sebelum tidur untuk mengurangi efek pengosongan kalsium tulang yang dapat memperparah osteoporosisnya. Malam hari pertama sang ibu merasa perutnya kembung dan tidak nyaman dan keesokan harinya tambah parah. Wanita itu mulai muntah dan daire dan muntah pada pagi hari ke tiga. Dugaan pertama bahwa sang ibu mengkonsumsi bahan makanan yang kurang higienes, pedas dan bersantan sehingga menjadi diare. Kemudian dokter memberikan antibiotik dan antidiare, tetapi diare tetap berlanjut sampai hari ke 10, sang ibu mengkonsumsi lebih banyak susu lagi untuk mendapatkan nutrient yang lebih banyak akibat diare. Diare semakin parah dan pada akhir minggu ke 2, tanpa sengaja ibu tersebut tidak

hari karena persediaan susu habis dan diare serta muntah berkurang. Kemudian susu dihentikan sama sekali, diare dan muntah hilang seketika. Kesimpulan sementara ibu tersebut alergi dengan susu merek X tersebut. mengkonsumsi susu selama 2 hari karena persediaan susu habis dan diare serta muntah berkurang. Kemudian susu dihentikan sama sekali, diare dan muntah hilang seketika. Kesimpulan sementara ibu tersebut alergi dengan susu merek X tersebut. Sang anak membeli susu berkalsium tinggi merek Y untuk menggantikan merek X, dan sang ibu mulai mengkonsumsi susu tersebut, diare dan muntah mulai terjadi walaupun frekuensi dan kuantitasnya tidak sebanyak sewaktu diberi susu merek X. Kemudian pemberian susu dihentikan kembali dan berpindah ke merk Z, reaksi muntah dan diare kembali terjadi intensitasnya rendah. Anehnya setelah 3 bulan kemudian sang ibu kembali mengkonsumsi susu merek X, dan tidak terjadi apa-apa dengan saluran pencernaan. Pertanyaan : 1. Apa yang dialami oleh sang ibu ? 2. Mengapa ketika diberi susu merek Y dan Z, muntah dan diare tetap berlanjut? 3. Mengapa setelah 3 bulan kemudian sang ibu diberi susu X kembali, tetapi tidak menunjukan gejalah klinis? 4. Apakah sang ibu dapat mengkonsumsi susu tersebut kembali dan mengapa demikian? 5. Terapi diet apa yang anda anjurkan pada ibu di atas?

mengkonsumsi susu selama 2

BAB

DIABETES MELLITUS
Fransiska Lanni

II
PENDAHULUAN

iabetes mellitus (DM) adalah sekelompok kelainan metabolik yang ditandai dengan meningkatkannya kadar glukosa darah (hyperglisemia). DM disebabkan oleh kelainan pada hormon anabolik insulin yang diproduksi oleh sel beta

pankreas. Hormon ini berfungsi dalam regulasi kadar gula darah dalam kisaran normal dengan jalan memacu terjadinya perubahan glukosa menjadi glikogen yang dapat disimpan sementara dalam sel hati dan otot. Dalam keadaan normal kadar gula berkisar antara 80 120 mg/dl dan jika lebih dari 126 mg/dl atau 7 mmol dinyatakan hyperglycemia yang merupakan manifestasi klinik utama dari DM. Akibat gula darah yang tinggi (hyperglysemia) maka dapat menimbulkan berbagai gangguan pada fungsi fiologis tubuh seperti hypertensi, kemunduran sistem syaraf, stroke, jantung koroner dan gagal ginjal. Jumlah penderita DM di dunia maupun Indonesia semakin meningkat sejalan dengan berubahnya pola dan gaya hidup. Konsumsi makanan berlemak tinggi dan karbohidrat berlebihan serta kurang gerak merupakan pencetus utama diabetes pada orang dewasa. Modul ini terdiri dari 2 (dua) sub Bab masing-masing ; 1. Mekanisme regulasi metabolisme glukosa 2. Patofisiologi Biokimiawi Diabetes Mellitus Setelah mempelajari Modul ini, diharapkan mahasiswa mampu : 1. 2. 3. memahami dasar biokimia dan patofisiologis terjadinya diabetes mellitus mengenal, mengidentifikasi dan membedakan diabetes melitus Type I dan diabetes mellitus Type II. menetapkan dasar managemen klinik dan terapi diet yang tepat pada kedua type diabetes mellitus.

13

2.1. Mekanisme Regulasi Metabolisme Karbohidrat


Karbohidrat merupakan sumber energy utama bagi tubuh manusia yang didapat dari asupan makanan baik berupa karbohidrat kompleks (polysakarida) maupun disakarida. Diet yang baik mengandung banyak karbohidrat kompleks seperti amilum dan selulosa. Selulosa terdapat pada serat tanaman dan tidak dapat dicerna maupun diserap tetapi penting dalam komponen diet sebagai penambah volume bolus, menghambat penyerapan lemak, dan membantu membersihkan toxin dalam saluran pencernaan serta memperbesar volume dan menjaga konsistensi feces. Sumber gula bagi manusia dapat berasal dari sederhana maupun gula kompleks. Gula sederhana (disakarida dan monosakarida) yang terdapat dari gula pasir (sukrosa), gula susu, buah-buahan atau bahan olahan makanan seperti sirup, kue, manisan, coklat dll. Gula kompleks yang paling umum adalah Amilum yaitu polysarida yang terdapat pada serial (beras, gandum, jagung dll), umbi (kentang, ubi, gadung dll, batang (sagu rumbiah) maupun buah-buahan (sukun, pisang kepok mentah, labu kuning/pumpkin dll). Pencernaan gula terutama amilum telah dimulai di dalam mulut, dengan bantuan enzim amilase saliva dan di usus kecil dengan bantuan amilase pankreas. Pada tahap tersebut amilum diubah menjadi maltosa dan kemudian enzim maltase usus mengubah maltosa menjadi glukosa untuk selanjutnya diserap ke dalam darah. Laktosa akan dipecah menjadi glukosa dan galaktosa oleh enzim Laktase usus. Sukrosa akan diurai menjadi Glukosa dan Fruktosa oleh enzim Sukrase Usus. Gula yang diserap dalam epitel usus berupa monosakarida yaitu Glukosa, Fruktosa dan Galaktosa. Ketiga monosakarida tersebut dibawah ke hati, dan selanjutnya hati akan mengubah Galaktosa dan Fruktosa menjadi Glukosa. Dengan demikian gula yang beredar dalam sirkulasi adalah dalam bentuk Glukosa yang dapat dipergunakan oleh sel dalam tubuh untuk membentuk energy selulernya. Kadar gula darah diatur sedemikian rupa pada kisaran normal antara 80 120 mg/dl oleh hormon insulin dan glukagon yang disekresikan oleh pankreas. Jika setelah makan dan terjadi lonjakan kadar glukosa darah di atas 120 mg/dl maka sel beta pankreas akan mensekresikan hormon insulin untuk membantu sel-sel hati dan otot mengubah kelebihan glukosa menjadi glikogen sebagai bentuk simpanan sementara. Dengan demikian kadar gula 14

darah menjadi normal kembali. Sebaliknya jika di antara 2 waktu makan atau berpuasa gula darah menjadi turun dan jika dibawah 80 mg/dl, maka pankreas akan mensekresikan hormon glukagon untuk memacu peruraian glikogen menjadi glukosa dalam hati dan otot. Insulin merupakan hormon penting dalam regulasi metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Insulin mengatur laju glukosa masuk ke sel otot dan hati untuk diubah menjadi glikogen (glycogenesis) sebagai cadangan karbohidrat sementara. Insulin menghambat pelepasan glycogen (glycogenolysis) dan memperlambat pemecahan lemak menjadi triglyserida, asam lemak bebas dan juga memperlambat perubahan Asam amino (protein) menjadi glukosa (glukoneogenesis).

Gambar 2.1. Mekanisme regulasi kadar glukosa darah dalam tubuh manusia

2.2. Dasar Biokimiawi dan Patofisiologi Diabetes Mellitus


1. Hyperglysemia diartikan sebagai meningkatnya kadar gula darah >126mg/dl atau > 7 mmol/L pada gula puasa atau > 200 mg/dl atau > 11 mmol/L pada gula darah random. Defisiensi insulin memacu gluconeogenesis dan menghambat penggunaan glukosa darah. Peningkatan pemecahan lemak (-oksidasi) mengakibatkan produksi benda keton yang berlebihan dan kehilangan berat badan. Benda keton bersifat asam dan dapat mengakibatkan penurunan pH darah yang disebut Ketoacidosis yang merupakan komplikasi utama pada pasien diabetes tidak 15

terkontrol. Ginjal tidak mampu re-absorsi kelebihan gula darah mengakibatkan glykosuria dan osmotic diuresis. Berdasarkan patofisiologi Biokimiawi terjadinya Diabetes Mellitus maka dapat dibagi 2 jenis yaitu : 1. Type I Diabetes (IDDM = Insulin Dependent Diabetes Mellitus atau Juvinele diabetes) ditandai oleh berkurangnya yang atau tidak ada sama sekali sel beta pancreas akibat proses destruktif autoimmun sehingga insulin yang dihasilkan berkurang atau tidak ada sama sekali. Biasanya banyak diderita oleh anak-anak dan pasien membutuhkan tambahan insulin exogenous. Kelainan ini umumnya bersifat akut, dengan durasi beberapa hari hingga minggu. Lebih dari 95% penderita Type I DM berusia di bawah 25 tahun, dan tidak berpengaruh pada jenis kelamin. Sebagian besar karena Immune Mediated Form seperti penyakit Hashimotos thyroiditis, Addisons disease, vitiligo atau percicious anemia. Selain autoimun dapat juga disebabkan oleh infeksi dan keganasan pada pankreas sehingga mengubah sifat dan fisiologis sel tersebut. Beberapa penderita Type I belum diketahui penyebabnya disebut Idiopatic Diabetes. 2. Type II diabetes (NIDDM = Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus) ditandai oleh resistensi insulin terhadap jaringan perifer. Insulin yang disekresikan oleh sel pankreas mengalami perubahan sehingga tidak dikenali oleh reseptor insulin pada membran sel target. DM Type II paling sering dijumpai dan berhubungan erat dengan faktor keturunan, usia tua, obesitas dan kurang gerak. DM Type II lebih sering dijumpai pada wanita terutama pada wanita yang pernah mengalami gestational diabetic (diabetic pada kehamilan). Etiologi DM type II multifaktorial, selain genetik juga dipengaruhi oleh gaya hidup dan jarang dijumpai pada anak-anak. Dalam managemen klinisnya hanya kira-kira 20% dari total penderita yang harus mendapatkan insulin exogenous, lainnya lebih ditekankan pada management diet, memperbaiki gaya hidup dengan banyak berolah raga, konsumsi obat-obatan antidiabetik di bawah pengawasan dokter. .

16

Rangkuman
- Diabetes Mellitus dibagi 2 jenis : * Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) atau DM Type 1 dimana pankreas tidak dapat memproduksi insulin, sehingga insulin harus didapat dari luar. Biasanya disebabkan oleh penyakit autoimun atau infeksi pankreas dan terjadi pada usia dini * Non-Insulin dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau DM Type II, dimana insulin tetap diproduksi, tetapi berubah, sehingga tidak dapat bekerja karena tidak dikenali lagi oleh reseptor sel target. Penderita tidak perlu/jarang mendapat insulin exogenous dan biasanya terjadi pada usia dewasa. - Hyperglysemia tidak terkontrol dapat menimbulkan komplikasi berbagai penyakit, seperti hypertensi, jantung, kemunduran system syaraf, infeksi dan gagal ginjal - Managemen klinik diabetes harus dikuti dengan managemen dan pengaturan pola makan dan olah raga.

Diskusi Kasus
Kasus 1 Bapak X, berusia 65 tahun dibawah anaknya ke RSUD dalam keadaan tidak berdaya. Menurut sang anak, selama 5 tahun belakangan sang bapak tidak bekerja lagi karena mudah lelah dan lesuh, mengantuk, cepat merasa lapar dan haus serta mudah terinfeksi dan luka sukar sembuh. Karena keterbatasan ekonomi sang bapak belum pernah ke dokter dan hanya mengkonsumsi jamu-jamuan. Sebulan terakhir berat badan sang bapak semakin menurun, jari-jari tangan kebas (mati rasa) di pagi hari, penglihatan berkurang dan napas tersengal-sengal. Hasil pemeriksaan klinis, - Suhu tubuh : 38oC tensi 210/140 mmHg, tachicardi (104/min)

17

turgor kulit buruk jari-jari kaki luka tidak terawat, sebagian telah mengalami nekrosis menderita katarak

Pemeriksaan laboratorium - pH darah 7,25 (normal 7,35-7.45) - LDL 210 mg/dl, trigriserid total 350 mg/dl - gula darah random 679 mg/dl Diagnosis : Dokter jaga yang memeriksa langsung mendiagnosis bapak X mengalami Diabetes type II dengan ketoacidosis. Pemberian infus dengan ion kalium dilakukan memperbaiki sistem pernapasan. Pemberian agent antidiabetik (hypoglycemia) serta antihypertensi secara oral segera memperbaiki keadaan, tekanan darah turun menjadi 140/90, kadar gula darah menjadi 260 mg/dl. Setelah gula darah terkendali dilakukan amputasi bagian nekrosis jarijari kaki. Setelah itu keadaan sang bapak perlahan membaik dengan berobat jalan serta management diet. Ahli gizi rumah sakit memberikan ramburambu diet sebagai berikut : Kadar karbohidrat = 50 60% Lemak Protein Pertanyaan : 1. Atas dasar apa dokter mengdiagnosis sang bapak sebagai DM type II? 2. Apa tanda-tanda ketoacidosis ? 3. Mengapa pasien mudah lapar dan haus? 4. Mengapa terus penderita sering berkemih di malam hari? 5. Mengapa terjadi tachikardi? 6. Mengapa luka sang bapak sukar sembuh? 7. Mengapa pH darah di bawah normal? 8. Mengapa tekanan darahnya meningkat? 9. Mengapa pada anjuran diet, proporsi karbohidrat tinggi ? 10. Mengapa asupan lemak harus dibatasi ? 11. Apa resiko hyperlipidimia pada hyperglycemia (DM) ? < 30% 20-30%

18

12. Apakah penderita dapat diberi diet karbohidrat ? mengapa Kasus 2 Seorang anak perempuan berusia 14 tahun dibawa ke rumah sakit dalam keadaan koma. Ibunya mengatakan bahwa kira-kira 2 minggu sebelumnya, anak tersebut masih berada dalam keadaan sehat dan kemudian mengalami sakit leher serta demam sedang. Selanjutnya, anak ini kehilangan selera makan dan merasakan badannya kurang sehat. Beberapa hari sebelum masuk ke rumah sakit, ia mulai mengeluhkan rasa haus terus menerus dan setiap malam terbangun beberapa kali untuk buang air kecil. Dokter keluarga mereka sedang cuti keluar kota dan sang ibu enggan menghubungi dokter yang lain. Pada hari anak tersebut koma diawali dengan muntah-muntah, mengantuk dan sulit dibangunkan dan karenanya dibawah ke bagian gawat darurat. Pada pemeriksaan anak tersebut mengalami dehidrasi, kulit terasa dingin pernapasan pelan dan dalam, napas tercium seperti aroma buah matang (ranum). Tekanan darah 90/60 dengan denyut nadi 115/menit. Ia tidak dapat dibangunkan dan didiagnosis oleh dokter jaga sebagai penderita Diabetes melitus Type I, insulin dependen dengan komplikasi ketoasidosis dan koma. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Diagnosis pada saat masuk rumah sakit dikonfirmasikan dengan hasil pemeriksaan darah di laboratorium. Kadar dalam plasma/serum darah (nilai dalam kurung adalah kisaran normal) Glukosa -hidroksibutirat Asetoasetat Bikarbonat Nitrogen urea Ion H+ darah arteri Kreatinin Kadar dalam urin : 35 mmol/L : 13,0 mmol/L : 2,8 mmol/L : 5 mmol/L : 12 mmol/L : 89 nmol/L pH 7,05 : 160 mol/L ( 3,6- 6,1 /L) (<0,25 mmol/L) (<0,2 mmol/L) (24 28 mmol/L) (2,9-8,9 mmol/L) (44,7-45,5 nmol pH 7,35-7,45) (60-132 mol/L)

19

Benda keton

: ++++

Terapi: Tindakan paling penting dalam pengobatan ketoasidosis diabetik adalah pemberian insulin dan larutan garam fisiologis (salin 0,85%) intravena. Insulin diberikan kepada pasien intravena (10 U/jam) yang ditambahkan dalam cairan infus. KCl diberikan perlahan diikuti dengan pemantauan kadar ion K+ dalam plasma secara periodik (1 jam sekali). Pemantauan kadar ion K+ dalam plasma sangat penting dalam penatalaksanaan ketoacidosis, dan jika tidak seimbang dapat merupakan penyebab utama kematian. Bikarbonat tidak diperlukan secara rutin pada pengobatan ketoasidosis diabetik, tetapi mungkin diperlukan jika terjadi asidosis berat. Pertanyaan 1. Apa yang dimaksud dengan diabetes type I (dependen insulin)? 2. Mengapa dapat terjadi pada anak yang berusia 14 tahun ? 3. Apa kira-kira kemungkinan penyebab terjadinya diabetes pada anak tersebut jika membaca dari riwayat penyakit diatas? 4. Mengapa pasien sering berkemih di malam hari ? 5. Mengapa pasien merasa lemas dan mengantuk? 6. Mengapa pasien menderita dehydrasi? 7. Mengapa kadar asam hidroksibutirat dan asetosasetat darah meningkat ? 8. Mengapa pH darah menurun? 9. Mengapa napas pasien pelan dan dalam serta bau harum buah matang ? 10. Mengapa kadar ureum dan kreatinin meningkat? 11. Mengapa terdapat glukosa dalam urin? 12. Mengapa terdapat banyak benda keton dalam urin 13. Mengapa perlu diberikan KCl? 14. Mengapa pasien diberi insulin intravena ?

Glukosa : ++++ 20

BAB

III
PENDAHULUAN

KWASHIORKOR
Fransiska Lanni

washiorkor merupakan istilah yang digunakan oleh penduduk asli Ghana (Afrika) untuk menggambarkan penyakit yang diderita anak yang lebih tua setelah adiknya lahir. Fenomena penyakit ini timbul setelah anak yang lebih

tua karena tidak mendapatkan ASI lagi setelah adik berikutnya lahir. Karena keadaan ekonomi masyarakat tersebut tergolong rendah, maka sang anak biasanya mendapat makanan rendah protein tetapi tinggi karbohidrat. Anak itu sebenarnya cukup energi tetapi kurang asupan protein. Gejalah umum Kwashiorkor adalah hipoalbuminemia, anoreksia, edema, kondisi kulit dan rambut buruk serta perlemakan hati. Kwashiorkor biasanya dijumpai pada negara-negara miskin dan berkembang seperti Afrika termasuk Indonesia. Diperkirakan ada kira-kira 1 milyar orang di seluruh dunia menderita Kwashiorkor dengan berbagai derajat keparahan. Fenomena asal kenyang tanpa memperhatikan komposisi asupan makanan merupakan faktor utama terjadinya Kwashiorkor yang sering disebut dengan busung lapar. Kwashiorkor dibedakan dengan Marasmus, karena pada Kwashiorkor hanya terjadi defisiensi protein dengan asupan diikuti energy yang cukup, sedangkan Marasmus merupakan kasus defisiensi protein Marasmus sering dijumpai dan disebut dengan Marasmus-Kwashiorkor. Modul ini terdiri dari 2 (dua) sub Bab masing-masing ; 1. Kecukupan asupan protein dalam diet 2. Patofisiologi Biokimiawi Kwashiorkor Modul ini dilengkapi dengan kasus klinik Kwarshiorkor dengan pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan penyakit tersebut. mahasiswa mampu : 1.Memahami dasar kecukupan asupan protein untuk menunjang fungsi fisiologis tubuh 21 Setelah mempelajari Modul ini, diharapkan

dengan defisiensi unsur diet yang lain. Bentuk intermedia antara Kwashiorkor dan

2.memahami patofisiologi biokimiawi terjadinya Kwashiorkor 3.mengenal, mengidentifikasi dan membedakan Kwarshiorkor dari kasus malnutrisi lainnya 4.menetapkan dasar manajemen klinik dan terapi diet yang tepat pada penderita Kwashiorkor

4.1. Kecukupan Protein


Untuk mempertahankan fungsi fisiologis dan biologis tubuh agar tetap sehat maka perlu nutrisi yang baik. Secara umum nutrisi manusia harus terdiri dari 5 unsur utama yaitu : Karbohidrat, Lemak, Protein, Vitamin dan Mineral. Semua nutrien tersebut harus terus diasup untuk digunakan sebagai sumber tenaga, regulasi suhu, integritas sel, hormonal, pertumbuhan, sistem imun, struktural dan lainnya. Karbohidrat merupakan sumber energy utama dalam metabolisme selular dan aktivitas tubuh. Lemak terutama dibutuhkan untuk membentuk membran sel, sistem syaraf, insulasi suhu, endokrin dan sebagai cadangan energy. Protein dibutuhkan terutama memelihara integritas selular, struktural, enzimatis dan sistem imun tubuh. Vitamin dan mineral diperlukan untuk membantu metabolisme dalam tubuh, sebagai kofaktor, antioksidan dan regulator beberapa fungsi fisiologi tubuh. Kekurangan atau kelebihan unsur-unsur nutrisi di atas mengakibatkan mal-nutrisi (nutrisi yang salah) yang dapat berakibat patologis. Protein merupakan unsur penting bagi tubuh terutama pada balita dan masa pertumbuhan untuk membentuk jaringan otot dan organ lainnya. Selain itu Protein juga bertanggungjawab pada sistem imun dan regenerasi sel-sel yang rusak. Sumber utama protein pada bayi adalah Air Susu Ibu (ASI), susu buatan dan unsur makanan bayi lainnya. Sumber protein makanan pada anak-anak dan orang dewasa dapat diperoleh dari sumber hewani seperti telor, susu, daging unggas, daging merah dan ikan serta protein nabati yang berasal dari kacang-kacangan. Protein dari bahan makanan dalam sistem pencernaan akan diurai menjadi asam amino yang dimulai dari denaturasi protein di dalam lambung dan digesti oleh pepsin, kemudian dilanjutkan dengan digesti protease di dalam usus halus menjadi asam amino. Selanjutnya

22

diserap oleh sel epitel usus ke damlah darah untuk diedarkan ke seluruh tubuh. Di dalam sel asam amino tersebut akan digunakan sebagai bahan dasar pembentukan protein struktural maupun fungsional. Protein fungsional penting dalam tubuh misalnya; albumin merupakan komponen osmoregulator plasma darah; globulin merupakan protein fungsional sistem imun; transferin protein yang bertanggungjawab atas transportasi beberapa unsur mineral dalam tubuh.

4.2. Patofisiologi Biokimiawi Kwashiorkor


Jika asupan protein rendah maka akan terjadi menurunnya sintesis albumin (hypoalbuminemia), globulin maupun transferin plasma darah oleh hati. Dampak dari hypoalbuminemia adalah menurunkan tekanan osmotik dalam darah sehingga air dalam vaskular tertarik kembali ke jaringan, akibatnya terjadi oedema. Selain itu albumin juga berfungsi sebagai pengangkut lemak (lipoprotein) di dalam darah. Jika albumin kurang, maka akan mengganggu transportasi trigliserida dan lipid lainnya keluar dari hati dapat mengakibatkan terjadinya perlemakan hati. Defisiensi mineral dan vitamin juga dapat terjadi pada kasus kekurangan asupan protein, karena beberapa vitamin (Vitamin A, K, dll) dan mineral (Cu, Fe dll) membutuhkan protein pengangkut di dalam plasma sebagai carrier. Asupan karbohidrat yang tinggi memacu pelepasan hormon insulin yang berlebihan dan menghambat sekresi hormon epinefrin dan kortisol. Kadar hormon epinefrin yang rendah akan menghambat mobilisasi lemak hasil oksidasi dalam hati dan diperparah oleh tidak adanya albumin sebagai carrier, akibatnya lemak tetap tertinggal di dalam hati terjadinya perlemakan hati (fatty liver) yang selanjutnya dapat merusak jaringan hati. Komponen sistem imun humoral seperti imunoglobulin (Ig), interferon, cytokin atau da

protein C adalah protein fugsional Akibatnya pada penderita Kwashiorkor juga terjadi penurunan sistem imun sehingga penderita sangat rentan terhadap penyakit infeksi. Regenerasi sel yang rusak baik pada luka atau turn-over sel dapat terhambat karena membutuhkan protein untuk komponen strukturalnya. Pembentukan darah merah juga terhambat baik karena kekurangan besi (Fe) yang membutuhkan protein carrier transferin sebagai pengangkut setelah diserap dari diet maupun protein globin sehingga penderita asam tersebut 23 amino kerap

mengalami anemia berat. Demikian pula halnya dengan pembentukan neurotramsimiter, hormon peptida dan enzim-enzim akan terganggu.Kekurangan asupan protein secara biokimiawi dapat dibagi menjadi 2 golongan: 1. Kwashiorkor jika yang kurang asupannya adalah protein sedangkan asupan nutrient lainnya terutama karbohidrat cukup tinggi. 2. Marasmus jika selain asupan proteinnya kurang, asupan nutrien lainnya juga kurang termasuk karbohidrat maupun lemak. Dari tabel dibawah ini kasus Kwashiorkor dapat dibedakan dari Marasmus berdasarkan ciri-ciri manifestasi kliniknya. Perbedaan antara Kwarshiorkor dengan Marasmus

Gejalah Klinis
Edema Hipoalbuminemia Perlemakan hati Kadar insulin Kadar cortisol Penyusutan masa otot Lemak tubuh

Kwashiorkor
Ada Ada, mungkin berat Ada Dipertahankan normal Normal Tidak ada / ringan berkurang

Marasmus
Tidak ada Ringan Tidak ada Rendah Tinggi Dapat sangat berat Tidak ada

24

Patofisiologi Gambar 3.1. Kwashiorkor yang terjadi akibat asupan protein yang rendah dan asupan terjadin karbohidrat yang tinggi ya

- Protein merupakan komponen diet yang penting yang berfungsi untuk pembentukan protein struktural dan fungsional. - Kekurangan asupan protein dapat mengakibatkan berbagai gangguan fisiologis dalam tubuh karena sintesis protein struktural maupun fungsional tubuh terhambat. - Kwarshiorkor merupakan keadaan di mana asupan karbohidrat dalam diet sebagai sumber energy cukup, tetapi asupan proteinnya kurang. - Protein merupakan komponen diet yang penting yang berfungsi untuk pembentukan Rangkuman protein struktural dan fungsional. - Kwarshiorkor biasanya terjadi pada keluarga miskin atau orangtua yang kurang pengetahuan tentang gizi dan biasanya diderita oleh masyarakat pegunungan yang sukar mendapat sumber protein.

Kasus 1

25

g terjadilah hypoalbuminemia dan oedema akibat cairan Akibat asupan protein kurang maka sintesis albumnin tubuh kurang terjadilah hypoalbuminemia dan oedema akibat cairan dalam plasma merembes keluar sehingga perut dapat membuncit atau dikenal dengan busung lapar

Seorang anak perempuan berusia 2 tahun, yang merupakan anak ke 3 dari 4 bersaudara tinggal dipegunungan dibawa ibunya ke bagian rawat jalan RSUD. Adik bungsu anak tersebut masih berusia 3 bulan dan masih mendapat ASI dari ibunya. Ayahnya menderita patah tungkai bawah pada suatu kecelakaan dan tidak mampu bekerja lagi untuk mencari nafkah. Dengan demikian, penghasilan keluarga tersebut sangat rendah dan mengandalkan hasil panen dari ladang. Dengan kondisi demikian orangtua mereka tidak mampu membeli susu, daging maupun telur maupun tahu atau tempe untuk makanan anak-anaknya. Makanan utama mereka adalah umbi-umbian yang kaya akan karbohidrat tetapi rendah protein. Menurut sang ibu nafsu makan sang anak menurun sebulan terakhir, dan sering mengalami diare, batuk, mudah tersinggung serta apatis. Pada pemeriksaan fisik, ukuran dan perbandingan berat badan terhadap tinggi badan pasien adalah rendah untuk standar Akibat anak seusianya. Anak tersebut juga kelihatan pucat, sangat lemah dan mengantuk. Suhu asupa n protei n kuran g maka s nin tubuh kuran Hasil pemeriksaan Laboratorium Hemoglobin (Hb) adalah 6,0 g/dl (nilai normal bagi anak usia 2 tahun = 11 - 14 g/dl). Total darah serta feces diambil untuk pemeriksaan kultur, kuman anaerob gram negatif, belakangan dilaporkan hitung leukosit adalah 18.000/l. Foto thoraks memperlihatkan sintesi Sampel darah diambil untuk analisis laboratorium. Hasilnya menunjukkan kadar album protein serum 4,4 g/dl (normal 6-8 g/dl) dan albumin 2,0 g/dl (normal 3,5 - 5,5g/dl. Sampel tubuh 40,5oC. Lingkar lengan atas berada di bawah ukuran normal, kulit tampak bersisik (deskuamasi), rambut kering dan rapuh. Abdomen membusung dan hepar agak membesar dan edema tubuh tampak menyeluruh.. Ronki terdengar pada lobus bawah paru kiri. Dokter yang memeriksa anak tersebut membuat diagnosis Kwashiorkor, diare, pneumonia dan kemungkinan bakterimia.

26

infiltrat dengan bercak-bercak opasitas yang tidak merata (mottled opacities) pada lobus inferior paru kiri, yang konsisten dengan bronkopneumonia akut. Terapi Pada banyak kasus, penderita Kwarshiorkor infiltrat dengan bercak-bercak opasitas yang tidak merata (mottled opacities) pada lobus inferior paru kiri, yang konsisten dengan bronkopneumonia akut..ringan hingga sedang tidak dianjurkan dirawat di rumah sakit, untuk memperkecil kemungkinan terkena infeksi skunder di ruang perawatan. Namun demikian, karena demam dan kondisi anak tersebut sangat lemah serta terjadi edema berat maka asang anak di rawat di rumah sakit. Anak tersebut segera diberi antibiotik spektrum tinggi dan infus dextrosa-salin. Tragisnya keadaan anak tersebut semakin memburuk dan meninggal kurang dari 12 jam setelah masuk ke ruang perawatan inap. Hasil otopsi memperlihatkan adanya perlemakan hati yang berat dan bronkopneumonia.

27

1. Apa yang terjadi dengan anak tersebut ? 2. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? 3. Apa yang dimaksud Kwarshiorkor 4. Apa perbedaan antara Kwarshiorkor dengan marasmus 5. Mengapa kadar Hb, total albumin serum dan albumin kurang dari normal ? 6. Mengapa terjadi peningkatan jumlah leukosit ? 7. Mengapa terjadi pneumonia? 8. Mengapa terjadi edema? 9. Mengapa terjadi demam? 10. Mengapa terjadi deskuamasi pada kulit? 11. Mengapa rambut mudah rapuh dan patah? 12. Apa alasan dokter memberi antibiotik? 13. Mengapa dapat terjadi terjadi perlemakan hati? 14. Mengapa pada kwashiorkor dapat terjadi defisiensi mineral dan vitamin ? 15. Terapi diet yang bagaimana anda anjurkan pada kasus kwarshiokor di atas?

Pertanyaan :

Daftar Pustaka

28

1. Audesirk T and Audesirk G (2002). Life on Earth, Princeton Hall, Upper Saddle River, Ner Jersey. 2. Coon EE, Stumpf PK, Bruening G and Doi RH (1991). Outlines of Biochemistry 5st Edition. John Wiley & Son, Inc. New York. 3. Devlin T M (2002) Text Book of Biochemistry with Clinical Correlation 4th edition, Wiley Medical Publ. New York. 4. Martin DW, Mayes PA and Rodwell VW ( 2003) Harper Review of Biochemistry 29st edition. Lange Medical Publications California. 5. Sheeler P and Bianchi DE (1983). Cell Biology Structure, Biochemistry, and Function, John wiley and sons, New York. 6. Talwar GP (2001 Textbook of Biochemistry and Human Biology. Prentice Hall of India- New Delhi.

29

Anda mungkin juga menyukai