Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

“INTOLERANSI LAKTOSA”

DISUSUN OLEH :

MIFTAHUL JANNAH
N 101 19 141

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Intoleransi laktosa sering diderita anak-anak. Sekitar 70% anak dan remaja
di seluruh dunia mengalami intoleransi laktosa. Di Indonesia, khususnya di
Jakarta, 21% anak usia 3-5 tahun mengalami intoleransi laktosa, 58% pada anak
6-11 tahun. Intoleransi laktosa adalah suatu kondisi di mana orang mengalami
gejala pencernaan, seperti kembung, diare, dan pengeluaran gas setelah makan
atau minum susu atau produk susu lainnya.
Penyebab intoleransi laktosa adalah tidak memiliki enzim laktase dalam
tubuh yang cukup. Konsumsi laktosa bagi konsumen intoleransi laktosa dapat
dilakukan dengan memecah terlebih dahulu laktosa yang ada dalam produk
seperti susu dengan menggunakan enzim laktase. Oleh karena itu, penderita
intoleransi laktosa hanya dapat mengkonsumsi susu rendah laktosa. Namun, susu
laktosa rendah yang ada di pasaran banyak diimpor dari luar negeri dan
harganya mahal. β-galaktosidase (laktase) telah menarik perhatian banyak
peneliti karena memiliki banyak potensi di berbagai bidang industri, tidak lain di
Indonesia. Banyak penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan isolat enzim
laktase dari berbagai mikroba yang paling optimal. Enzim ini dapat diproduksi
dari berbagai macam sumber seperti bakteri, ragi dan jamur. Berbagai jenis dan
spesies. bakteri dilaporkan mengandung β-galactosidase.
Perbedaan karakter β-galaktosidase mungkin dihasilkan dari perbedaan
jenis dan spesies bakteri yang memproduksi β-galaktosidase. Selain itu,
diperkirakan bahwa kondisi optimum yang berbeda dari β-galaktosidase
(aktivitas enzim, suhu dan pH) mungkin dihasilkan dari perbedaan karakter
laktase dari bakteri yang berbeda. Telah dilaporkan bahwa ada kondisi optimum
yang berbeda dari aktivitas β-galaktosidase antara berbagai jenis
mikroorganisme. Terlepas dari kenyataan bahwa banyak teknik telah
dikembangkan berdasarkan berbagai mikroorganisme, masih ada kebutuhan
untuk sumber alternatif enzim. Misalnya, dalam industri susu, laktase yang stabil
dalam pH yang lebar dan kisaran suhu yang harus digunakan.
Lactobacillus lactis (L. lactis) merupakan salah satu bakteri asam
laktat. L.lactis sudah dipakai di berbagai industri makanan, seperti produksi
produk-produk yang mengandung susu ( dairy) . Sehingga L. lactis dapat
menjadi bakteri alternatif penghasil β-galaktosidase yang diperlukan untuk
mengurangi kadar laktosa dalam susu.
Enzim laktase yang dihasilkan dari bakteri secara umum bersifat
intraseluler dan dapat diisolasi dengan berbagai metode. Terdapat tiga jenis
metode isolasi β-galaktosidase secara intraseluler, yaitu metode fisika, kimia,
dan enzimatik. Jenis ketiga metode tersebut berfungsi untuk memecahkan sel
mikroba sehingga enzim dapat keluar dari dalam sel. Secara umum, metode
fisika yang digunakan adalah ultrasonication , homogenizer , dan bead mills .
Sedangkan metode kimia secara umum menggunakan berbagai pelarut organik,
seperti toluen, kloroform, dan etanol. Metode enzimatik manfaatkan enzim yang
dapat merusak dinding sel bakteri, seperti enzim Lisozim.
Untuk melihat kemampuan bakteri dalam menghasilkan enzim laktase
yang dapat mengurangi kadar laktosa dengan cara menghidrolisis laktosa
menjadi glukosa dan galaktosa, maka harus ditentukan adanya aktivitas dari
enzim tersebut dengan menggunakan substrat antara lain oNPG (o-nitrofenol-β-
Dgalactopyranoside). Secara positif, keberadaan enzim laktase dapat diketahui
ketika warna larutan yang telah ditambahkan isolate berwarna kuning. Selain
substrat onNPG, dapat digunakan substrat laktosa. Pengujian keberadaan enzim
laktase menggunakan substrat laktosa dapat dilakukan menggunakan metode
fehling dengan melihat kepekatan larutan yang telah ditambahkan mengisolasi
enzim.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Defenisi
Intoleransi laktosa adalah suatu sindrome klinis yang terjadi akibat tidak
terhidrolisisnya laktosa karena defisiensi laktase yang ditandai dengan gejala
kembung, nyeri perut, flatuen, muntah, kemerahan pada anus dan diare.

B. Epidemiologi
Sekitar 70% dari penduduk dunia mengalami intoleransi laktosa. Dari
semuanya itu, penduduk di Eropa memiliki tingkat kejadian paling rendah,
sedangkan di Asia serta Afrika memiliki tingkat kejadian toleransi laktosa yang
paling tinggi2. Di Amerika terdapat lebih dari 50 juta orang menderita
intoleransi laktosa. Jenis kelamin tidak memiliki peran dalam kasus intoleransi
laktosa. Intoleransi laktosa ini sering muncul pada anak usia mulai 2 tahun
keatas, karena produksi enzim laktase diprogram secara genetik untuk menurun
pada usia tersebut. Namun tidak menutup kemungkinan pada usia dibawah 2
tahun dapat menderita intoleransi laktosa (khususnya bayi-bayi prematur).

C. Etiologi
Defisiensi laktase diartikan sebagai keadaan aktivitas laktase dibawah
normal yang diukur pada spesimen biopsi mukosa usus halus. Sampai sekarang
dikenal 2 bentuk dari defisiensi laktase, yaitu defisiensi laktase primer dan
sekunder. Defisiensi laktase primer terdiri dari 3 tipe yaitu:
1. Defisiensi laktase developmental yang terdapat pada bayi dengan usia
kehamilan 26-32 minggu.
2. Defisiensi laktase bawaan, yaitu tidak terdapatnya enzim laktase pada brush
border epitel usus halus. Defisiensi laktase yang diwariskan (congenital
lactase deficiency), terjadi pada individu dengan genotip homozigot resesif.
Kejadian ini sangat jarang, jarang yaitu 1 perseratus ribu penduduk,
sehingga sering sekali tidak dibicarakan.
3. Defisiensi laktase dewasa yaitu kelainan yang timbul perlahan-lahan yang
terjadi pada anak usia 2-5 tahun hingga dewasa serta timbulnya bervariasi
tergantung ras. Defisiensi laktase ini dapat terjadi sebagai akibat induksi
sintesis laktase yang menurun. Laktase merupakan enzim yang sintesisnya
dapat diinduksi. Ketidaksukaan minum susu mungkin dapat memicu
keadaan ini, sebab tidak ada induksi enzim laktase. Defisiensi laktase primer
dapat dijumpai pada bayi prematur sehubungan dengan perkembangan usus
yang imatur (developmental lactase deficiency).

Defisiensi laktase sekunder yang menyertai malabsorbsi dapat terjadi pada


kerusakan mukosa usus halus, misalnya akibat infeksi. Kejadian ini sering kali
dijumpai pada anak diare setelah minum susu botol. Tentunya laktase tidak
mengalami defisiensi lagi bila kerusakan mukosa usus telah membaik dan
infeksi telah teratasi. Beberapa faktor lain penyebab intoleransi laktosa antara
lain:
1. Gastroenteritis, dapat menyebabkan terjadinya gangguan penguraian enzim
laktase yang dapat berlangsung sampai beberapa minggu
2. Infeksi parasit, dapat menyebabkan pengurangan jumlah laktase sementara
waktu.
3. Defisiensi besi, rendahnya asupan besi dapat mengganggu pencernaan dan
penyerapan laktosa.
4. Obat-obatan diantaranya kanamisin, kolkisin, neomisin dan metrotreksat

D. Diagnosis
Intoleransi laktosa didiagnosis melalui kombinasi gejala klinis dan
pemeriksaan penunjang. Cara yang paling gampang digunakan adalah dengan
mengeliminasi bahan makanan yang mengandung laktosa, bila bahan makanan
yang mengandung laktosa diberikan kembali maka gejala intoleransi laktosa
akan timbul.
 Gejala intoleransi laktosa timbul sebelum 30 menit sampai 2 jam setelah
makan produk laktosa. Terdapat beberapa gejala umum intoleransi laktosa
yaitu mual atau muntah, diare, flatus, kembung, dan kram perut.
 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang digunakan untuk diagnosis intoleransi laktosa
yaitu:
1. Uji toleransi laktosa
Uji toleransi laktosa dilakukan dengan memuasakan pasien 4-8 jam lalu
diintruksikan untuk meminum larutan laktosa sebanyak 2 gr/kgBB
(maksimal 50 gr) dalam konsentrasi 20%. Kadar glukosa darah
diperiksa 2 jam kemudian dengan interval 30 menit. Bila terdapat
kenaikan kadar glukosa kurang dari 20 mg% dari nilai basal maka
dianggap abnormal.
2. Analisa tinja
Uji analisa merupakan cara yang paling sederhana dan dapat digunakan
untuk mengeliminasi diagnosis. Prinsip pada alanisa tinja adalah
ditemukan asam dan bahan pereduksi dalam tinja setelah mengonsumsi
bahan makanan yang mengandung laktosa.
3. Pemeriksaan radiologis barium laktosa
Sebelum melakukan pemeriksaan radiologis pasien diberikan minum
campuran barium dengan larutan yang mengandung laktosa lalu
dilakukan foto polos abdomen. Dari hasil foto usus akan
memperlihatkan dilusi barium dan dilatasi lumen usus. Pemeriksaan ini
memiliki potensi yang lebih berbahaya sehingga jarang dilakukan.
4. Ekskresi galaktosa urin
Pada pemeriksaan ini pasien diberikan larutan laktosa 2 gr/kgBB lalu
dilakukan pengukuran kadar galaktosa pada urine, bila kadar galaktosa
pada urine kurang dari 0,9 mmol/L maka didapatkan hasil yang positif.
Hasil ini sesuai karena sekitar 88-94 % galaktosa yang terbentuk dari
hasil hidrolisis laktosa didalam usus halus akan di metabolisme dan
disekresi oleh tubulus ginjal.
5. Uji hidrogen nafas
Pemeriksaan metode uji hidrogen nafas merupakan pemeriksaan yang
paling banyak dipilih karena bersifat non- infasif, tidak menyakitkan
serta mempunyai sensitifitas (80%) dan spesifisitas (100 %) yang
tinggi. Prinsip uji hidrogen nafas adalah mengukur kadar hidrogen yang
dikeluarkan saat bernafas sebagai hasil fermentasi laktosa oleh bakteri
di kolon. Setelah pasien dipuasakan selama 4-6 jam, pasien diberikan
larutan laktosa sebanyak 2gr/kgBB maksimal 50 gr dalam konsentrasi
20% untuk bayi yang berusia dibawah 6 bulan. Sampel udara diambil
setiap 30 menit sejak meminum larutan laktosa sampai 2 jam lalu
konsentrasi hidrogen diukur menggunakan gas kromatografi atau
laktometer. Hasil tes positif bila terdapat peningkatan kadar hidrogen
diatas 20 ppm diatas nilai normal.

E. Penyebab
Intoleransi laktosa disebabkan oleh ketidakmampuan laktosa dipecah oleh
getah pencernaan. Laktosa merupakan karbohidrat utama yang terdapat didalam
susu. Laktosa adalah disakarida yang terdiri dari glukosa dan galaktosa. Laktosa
ini terdapat dalam susu dalam fase larutan yang sesungguhnya dan demikian
mudah diasimilasikan sebagai makanan dengan proses hidrolisis menjadi
glukosa dan galaktosa oleh usus, yakni laktase (β- galaktosidase).
Sedangkan laktase merupakan enzim yang penting untuk hirolisa laktosa
yang terdapat pada susu. Pada brush border vili usus halus terdapat enzim lain
seperti sukrase, maltase, dan glukoamilase. Laktase ditemukan pada bagian luar
brush border dan diantara semua disakaridase, laktase yang paling sedikit. Pada
kerusakan mukosa karena gastroenteritis, aktivitas enzim laktase akan
terganggu.
Laktase dapat menghidrolisa berbagai macam substrat. Enzim laktase
termasuk dalam kelas enzim β-galactosidase sehingga memiliki aktivitas
glukosidase dan glikosilceramidase. Laktase memiliki 2 sisi aktif, satu untuk
memecah laktosa dan yang lainnya untuk hidrolisa pholorizin dan glicolipid.
Sejumlah aksi dari sisi phlorizin berguna untuk manusia dan dapat menjelaskan
mengapa masih ada aktivitas enzim laktase setelah proses penyapihan.
Gen pengkode laktase terletak pada kromosom 2 Ekspresinya
terutama pada enterosit usus halus mammalia dan sangat sedikit pada kolon
selama perkembangan janin. Manusia terlahir dengan ekspresi laktase yang
tinggi. Pada sebagian besar populasi di dunia, transkiripsi laktase di down
regulasi setelah penyapihan, yang menyebabkan menghilangnya ekspresi laktase
pada usus halus, dimana hilangnya ekspresi lactase inilah yang menjadi salah
satu tanda dari intoleransi laktosa.

F. Penatalaksanaan
Beberapa tatalaksana yang dianjurkan pada penderita intoleransi laktosa yaitu:
1. Konsumsi produk bebas laktosa dan mengurangi laktosa
Menghindari semua produk susu pada pasien dengan intoleransi
laktosa tidak direkomendasikan. Kebanyakan penderita intoleransi laktosa
dapat mentoleransi laktosa hingga 12-15 gram laktosa per hari. Orang
dengan intoleransi laktosa harus didorong untuk membatasi dibanding
menghindari laktosa dengan cara memasukkan susu atau produk olahan susu
kedalam menu makanan harian. Para penderita intoleransi laktosa harus
diberikan edukasi yang baik tentang perbandingan produk susu dan nonsusu
dalam memenuhi kebutuhan nutrisi harian.
2. Konsumsi produk Non-Susu
Konsumsi produk non-susu telah meningkat dan industri makanan
telah merespon dengan membuat produk ini tersedia di pasaran. Produk ini
berasal dari tanaman seperti kedelai, beras, oat, kelapa, almond, dan kacang
lainnya. Nilai gizi makanan tersebut biasanya ditambahkan dengan satu atau
lebih dari zat gizi seperti kalsium, vitamin D, vitamin A, vitamin B12 dan
Riboflavin. Beberapa produsen menggunakan istilah "susu" di dalam nama
produk dan banyak yang dijual dipasaran sehingga menyesatkan para
konsumen karna sangat jelas bahwa itu merupakan produk non-susu.
Pengganti susu nabati, ketika dikonsumsi sebagai minuman utama
dapat memiliki implikasi kesehatan yang nyata terutama untuk anak usia 1–
8 tahun.Minum pengganti non-susu pada anak-anak dapat menyebabkan
rasa kenyang dini, kelaparan yang lebih rendah, dan menggantikan makanan
lain yang lebih bergizi.Bahan makana non-susu mengandung banyak gula,
madu, dan pemanis buatan lainnya sehingga menyumbang kalori tinggi
untuk diet. Hanya susu sapi dan minuman kedelai buatan yang dianggap
cukup bergizi untuk kelompok umur ini. Protein, kalsium, dan vitamin D
sangat penting untuk pertumbuhan namun masih bisa difortifikasi kedalam
susu kedelai.
3. Enzim eksogen oral
Laktase yang diproduksi sebagian besar dari jamur atau ragi dapat
digunakan secara langsung atau ditambahkan ke makanan susu untuk
membantu pencernaan laktosa. Sediaan laktase memiliki banyak variasi
yaitu gel, cairan, kapsul atau tablet.

G. Pencegahan
Agar penderita lactose intolerance dapat menikmati susu lebih banyak,
maka sebaiknya kadar laktosa dalam susu dapat dikurangi hingga serendah
mungkin. Cara yang biasa dilakukan untuk mengurangi kadar laktosa dalam susu
adalah kristalisasi, ultra filtrasi, fermentasi, dan hidrolisis. Kedua cara terakhir
lebih banyak digunakan secara komersial dalam industri-industri pangan.
Cara hidrolisis adalah suatu cara penguraian laktosa dengan
menggunakan enzim laktase sehingga kadar laktosanya hanya tinggal 25%
dari semula. Sedang cara fermentasi susu diubah menjadi produk-produk baru
misalnya susu asam dan yoghurt, yang pada umumnya dapat menurun-kan
seperempat kadar laktosa yang ada, dan sisanya masih tertinggal dalam produk
susu tersebut.
Bagi penderita lactose intolerance, konsumsi susu atau produk susu
yang telah mengalami hidrolisis laktase maupun yang telah terfermentasi
tidak menyebabkan timbulnya gejala-gejala yang tidak diinginkan. Dalam proses
hidrolisis dengan menggunakan laktase, dengan sengaja laktosa tidak semuanya
dihidrolisis, tetapi ditinggalkan tersisa sebanyak 25%. Hal ini karena laktosa
yang tertinggal tersebut diperlukan untuk merangsang produksi enzim laktase
dalam usus, dan laktosa yang tertinggal masih mampu memproduksi asam
sehingga dapat cukup menurunkan pH dinding usus, suatu kondisi yang
diperlukan untuk meningkatkan penyerapan ion-ion kalsium.
Secara komersial laktase yang akan digunakan dapat diperoleh di pasaran,
baik yang berasal dari khamir (Kluveromyces fragilis) yang disebut
lactozyms, maupun laktase dari kapang (Aspergillus niger). Laktase yang
berasal dari kapang biasanya tetap stabil pada kisaran pH yang luas, sedang
laktase khamir biasanya mempunyai keaktifan lebih tinggi daripada laktase
kapang.
Sumber laktase yang biasa digunakan dalam industri adalah dari
beberapa jenis khamir: Saccharomyces fragilis, Zygosaccharomyces lactis
atau Candida pseudotropicalis. Jenis-jenis khamir ini secara normal kadang-
kadang terdapat dalam susu, cream, atau produk susu lainnya. Enzim ini dapat
diperoleh dengan cara mem-biakkan khamir tersebut pada media whey atau
laktosa, khamir dipisahkan, kemudian diautolisis atau diekstraksi dengan
filtrasi, sehingga diperoleh filtrat yang bebas dari sel. Enzimnya sendiri
kemudian dapat diendapkan dari filtratnya dengan menggunakan bahan-bahan
pelarut. Laktase khamir (β-galaktosidase) mempunyai pH optimal 6-7, pH
normal susu, cream, atau konsentrat susu.
Jika terlanjur menderita lactose intolerance, khususnya pada lansia,
dianjurkan untuk mengonsumsi produk susu olahan berkadar laktosa rendah
atau susu sama sekali bebas laktosa. Contoh susu berkadar laktosa rendah
adalah susu hasil fermentasi, seperti yoghurt, kefir, yakult, sedangkan susu
yang bebas laktosa adalah susu kacang-kacangan, seperti susu kedelai dan
susu kacang hijau. Intoleransi laktosa juga dapat dicegah atau ditangani antara
lain melalui cara :
a. Pertumbuhan anak tidak akan terhambat hanya karena tidak mengonsumsi
susu atau laktosa. Oleh sebab itu dapat diganti dengan memakan sumber
kalsium yang lain, seperti: daging, ikan laut, dan telur.
b. Untuk mengurangi gejala intoleransi laktosa dapat mengonsumsi susu
dengan cara dicampurkan dengan makanan tinggi serat, seperti: sereal dan
gandum
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Intoleransi laktosa adalah berkurangnya kemampuan untuk mencerna
laktosa, yang disebabkan oleh kekurangan enzim laktase. Gejala-gejala
intoleransi laktosa meliputi antara lain: perut kembung (banyak gas), sakit perut
dan diare. Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan akibat
intoleransi laktosa, dapat dilakukan berbagai hal seperti membaca label pangan
dengan seksama, pembatasan jumlah susu yang dikonsumsi dan pemilihan
produk-produk susu.
Terdapat beberapa pilihan tatalaksana intoleransi laktosa yaitu dengan
membatasi konsumsi laktosa harian, mengonsumsi produk non-susu,
mengonsumsi enzim eksogen oral, dan adaptasi prebiotik. Penderita intoleransi
laktosa bervariasi dari anak balita sampai orang dewasa sehingga tatalaksana
yang beragam sangat membantu pasien dalam memilih terapi.
Untuk mencegah kekurangan zat gizi yang terdapat pada susu, maka
penderita intoleransi laktosa dapat mengonsumsi makanan pengganti yang
memiliki zat gizi sama atau hampir sama dengan susu. Makanan tersebut antara
lain: susu kedelai, yogurt, daging, ikan laut, telur, dan sayuran hijau.
DAFTAR PUSTAKA

Andres Sitepu. 2020. Isolasi Enzim Laktase untuk Mengurangi Kadar Laktosa
Susu bagi Penderita Intoleransi Laktosa. Prosiding Lokakarya Riset
Industri dan Seminar Nasional. Bandung, 26-27 Agustus 2020 720

Ardi Saputra. 2019. INTOLERANSI LAKTOSA: VARIASI PEMERIKSAAN


PENUNJANG DAN TATALAKSANA. Jurnal Ilmu Kedokteran Dan
Kesehatan, Volume 6, Nomor 2, April 2019

Demirbas, D. Coelho, A. & Rubio Gozalbo, M. (2018). Hereditary galactosemia.


Metabolism8(3):188–196.

Ford, A. Lacy, B.&Talley, N. (2017). Irritable bowel syndrome. Engl J Med


2(29): 2566-2578

Van Scheppingen, W. van Hilten, P. & Vijverberg, M. (2017). Selective and


sensitivedetermination of lactose in low-lactose dairy products with
HPAEC-PAD. J Chromatogr10(60): 395–39

Anda mungkin juga menyukai