Anda di halaman 1dari 6

Koagulasi-Flokulasi Pengolahan dilakukan dengan cara membubuhkan bahan kimia tertentu yang dapat menghasilkan partikel berukuran lebih

besar. Pengendapan bahan tersuspensi yang tidak mudah larut dilakukan dengan membubuhkan zat elektrolit yang bermuatan berlawanan dengan zat koloidnya. Ketika zat elektrolit bertemu dengan zat koloid akan terjadi reaksi netralisasi muatan koloid membentuk senyawa berukuran lebih besar sehingga pengendapan dapat terjadi[2]. Koagulasi adalah proses penambahan dan pencampuran suatu koagulan dilaknjutkan dengan destabilisasi zat koloid tersuspensi dan diakhiri oleh pembentukan partikel berukuran besar (floc). Koagulan yang umumnya dipakai adalah garamgaram Aluminium seperti Aluminium sulfat dan Poli Aluminium Klorida (PAC)[3]. Pada proses koagulasi terjadi pembentukan inti endapan yang ditandai dengan pengadukan cepat (60- 100 rpm) dengan pH bervariasi sedangkan pada tahap flokulasi terjadi penggabungan inti-inti endapan menjadi molekul besar (flok). Flokulasi dilakukan dengan pengadukan lambat (40-50 rpm). Flok yang terbentuk selanjutya dipisahkan dari cairan dengan cara diendapkan atau diapungkan[4]. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu kontak, maka kesempatan zat aktif pengkoagulasi untuk bertumbukan dan saling berinteraksi dengan partikel koloid dalam limbah akan semakin besar. Banyaknya interaksi yang terjadi mengakibatkan stabilitas koloid menurun karena muatannya ternetralisasi dan koloid akan cenderung bersatu membentuk mikroflok dan kemudian mengendap. Setelah waktu kontak optimum tercapai konsentrasi ammonia lebih besar dibandingkan kondisi optimum. Hal ini dikarenakan proses netralisasi muatan koloid sudah tidak terjadi lagi sedangkan tumbukan terus terjadi, sehingga dimungkinkan tumbukan yang terjadi selanjutnya adalah tumbukan antar partikel koloid yang sejenis. Tumbukan partikel sejenis akan meningkatkan gaya repulse dan terbentuk restabilitasasi koloid mengakibatkan partikel koloid limbah tidak berikatan dengan koagulan. KOAGULASI FLOKULASI RINGKASAN Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa dapat menjelaskan proses koagulasi-flokulasiyang dapat dijelaskan secara ringkas pada Gambar 5.1, dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Partikel koloid tidak bisa mengendap karena bersifat stabil. 2. Kestabilan koloid dapat diganggu dengan penambahan koagulan dan pengadukan cepat. 3. Partikel yang tidak stabil cenderung untuk saling berinteraksi dan bergabungmembentuk flok yang berukuran besar. Gambar 5. 1 Ringkasan Proses Koagulasi dan flokulasi 62 MATERI 5.1. Kestabilan Partikel Air baku dari air permukaan sering mengandung bahan-bahan yang tersusun oleh partikel koloid yang tidak bisa diendapkan secara alamiah dalam waktu singkat. Partikel-partikel koloid dibedakan berdasarkan ukuran. Jarak ukurannya antara 0,001 mikron (10-6 mm) sampai 1 mikron (10-3 mm). Partikel yang ditemukan dalam kisaran ini meliputi (1) partikel anorganik, seperti serat asbes, tanah liat, dan lanau/silt, (2) presipitat koagulan, dan (3) partikel organik, seperti zat humat, virus, bakteri, dan plankton. Dispersi koloid mempunyai sifat memendarkan cahaya. Sifat pemendaran cahaya ini terukur sebagai satuan kekeruhan. Koloid merupakan partikel yang tidak dapat mengendap secara alami karena adanya stabilitas suspensi koloid. Stabilitas koloid terjadi karena gaya tarik van der Waal's dan gaya tolak/repulsive elektrostatik serta gerak brown. Gaya Van der Waals. Gaya ini merupakan gaya tarik-menarik antara dua massa, yang besarnya tergantung pada jarak antar keduanya. Pada kimia koloid, ikatan Van der Waals adalah lawan dari gaya elektrostatik. Gaya Elektrostatik. Gaya elektrostatik adalah gaya utama menjaga suspensi koloid pada keadaan yang stabil. Sebagian besar koloid mempunyai muatan listrik. Sifatnya berbeda tergantung sifat dasar koloidnya. Oksida metalik umumnya bermuatan positif, sedangkan oksida nonmetalik dan sulfida metalik umumnya bermuatan negatif. Kestabilan koloid terjadi karena adanya gaya tolak antar koloid yang mempunyai muatan yang sama. Gerak Brown. Gerak ini adalah gerak acak dari suatu partikel koloid yang disebabkan oleh kecilnya massa partikel. 63 5.2. Proses Koagulasi-Flokulasi Kestabilan koloid dapat dikurangi dengan proses koagulasi (proses destabilisasi) melalui penambahan bahan kimia dengan muatan berlawanan. Terjadinya muatan pada partikel menyebabkan antar partikel yang berlawanan cenderung bergabung membentuk inti flok. Proses koagulasi selalui diikuti oleh proses flokulasi, yaitu penggabungan inti flok atau flok kecil menjadi flok yang berukuran besar. Proses koagulasi-flokulasi terjadi pada unit pengaduk cepat dan pengaduk lambat. Pada bak pengaduk cepat, dibubuhkan bahan kimia (disebut koagulan). Pengadukan cepat dimaksudkan agar koagulan yang dibubuhkan dapat tercampur secara merata/homogen. Pada bak pengaduk lambat, terjadi pembentukan flok yang berukuran besar hingga mudah diendapkan pada bak sedimentasi. Koagulan yang banyak digunakan dalam pengolahan air minum adalah aluminium sulfat atau garam-garam besi. Kadang-kadang koagulan-pembantu, seperti polielektrolit dibutuhkan untuk memproduksi flok yang cepat mengendap. Faktor utama yang mempengaruhi koagulasi dan flokulasi air adalah kekeruhan, padatan tersuspensi, temperatur, pH, komposisi dan konsentrasi kation dan anion, durasi dan tingkat agitasi selama koagulasi dan flokulasi, dosis koagulan, dan jika diperlukan, koagulan-pembantu. Beberapa jenis koagulan beserta sifatnya dapat dilihat pada Tabel 5.1. Pemilihan koagulan dan kadarnya membutuhkan studi laboratorium atau pilot plant (menggunakan jar test apparatus) untuk mendapatkan kondisi optimum. Reaksi kimia untuk menghasilkan flok adalah: Al2(SO4)3.14H2O + 3Ca(HCO3)2 2Al(OH)3 + 3CaSO4 + 14H2O + 6CO2

Pada air yang mempunyai alkalinitas tidak cukup untuk bereaksi dengan alum, maka perlu ditambahkan alkalinitas dengan menambah kalsium hidroksida. Al2(SO4)3.14H2O + 3Ca(OH)2 2Al(OH)3 + 3CaSO4 + 14H2O Derajat pH yang optimum untuk alum berkisar 4,5 hingga 8, karena aluminium hidroksida relatif tidak terlarut. 64 Sumber: Qasim, et al. (2000) 65 Ferro sulfat membutuhkan alkalinitas dalam bentuk ion hidroksida agar menghasilkan reaksi yang cepat. Untuk itu, Ca(OH)2 ditambahkan untuk mendapatkan pH pada level di mana ion besi diendapkan sebagi Fe(OH)3, lihat Gambar 5.2. Reaksi ini adalahreaksi oksidasi-reduksi yang membutuhkan oksigen terlarut dalam air. Dalam reaksi koagulasi, oksigen direduksi dan ion besi dioksidasi menjadi ferri, di mana akan mengendap sebagai Fe(OH)3. 2FeSO4.7H2O + 2Ca(OH)2 + 1/2 O2 2Fe(OH)3 + 2CaSO4 + 13H2O Untuk berlangsungnya reaksi ini, pH harus sekitar 9,5 dan kadang-kadang stabilisasi membutuhkan kapur berlebih. Gambar 5. 2 Pengaruh pH terhadap kelarutan Fe(III) pada temperatur 25oC (diambil dari Fair et al, 1981) Penggunaan ferri sulfat sebagai koagulan berlangsung mengikuti reaksi: Fe2(SO4)3 + 3Ca(HCO3)2 2Fe(OH)3 + 3CaSO4 + 6CO2 Reaksi ini biasanya menghasilkan flok yang padat dan cepat mengendap. Jika alkalinitas alami tidak cukup untuk reaksi, diperlukan penambahan kapur. Rentang pH 66 optimum adalah sekitar 4 hingga 12, karena ferri hidroksida relatif tidak larut dalam rentang pH ini. Reaksi ferri klorida sebagai koagulan berlangsung sebagai berikut: 2FeCl3 + 3Ca(HCO3)2 2Fe(OH)3 + 3CaCl2 + 6CO2 Penambahan kapur diperlukan bila alkalinitas alami tidak mencukupi. 2FeCl3 + 3Ca(OH)2 2Fe(OH)3 + 3CaCl2 Reaksi ferri klorida berlangsung pada pH optimum 4 sampai 12. Flok yang terbentuk umumnya padat dan cepat mengendap. 5.3. Pengadukan Faktor penting pada proses koagulasi-flokulasi adalah pengadukan. Berdasarkan kecepatannya, pengadukan dibedakan menjadi dua, yaitu pengadukan cepat dan pengadukan lambat. Kecepatan pengadukan dinyatakan dengan gradien kecepatan (G), yang merupakan fungsi dari tenaga yang disuplai (P): V. P G (5.1) dalam hal ini: P = suplai tenaga ke air (N.m/detik) V = volume air yang diaduk, m3 = viskositas absolut air, N.detik/m2. Pengadukan cepat adalah pengadukan yang dilakukan dengan gradien kecepatan besar (300 sampai 1000 detik-1), sementara pengadukan lambat adalah pengadukan yang dilakukan dengan gradien kecepatan kecil (20 sampai 100 detik-1). Waktu pengadukan juga berbeda. Pada pengadukan cepat, waktu yang diperlukan tidak lebih dari 1 menit, sementara pengadukan lambat membutuhkan waktu 15 hingga 60 menit. Pengadukan dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu cara mekanis, cara hidrolis, dan cara pneumatis. 67 Pengadukan mekanis adalah metoda pengadukan menggunakan alat pengaduk berupa impeller yang digerakkan dengan motor bertenaga listrik. Umumnya pengadukan mekanis terdiri dari motor, poros pengaduk, dan gayung pengaduk (impeller), lihat Gambar 5.3. Pengadukan lambat secara mekanis umumnya memerlukan tiga kompartemen dengan ketentuan G di kompartemen I lebih besar daripada G di kompartemen II dan G di kompartemen III adalah yang paling kecil (Gambar 5.4). Gambar 5. 3 Pengadukan cepat dengan alat pengaduk Gambar 5. 4 Pengadukan lambat dengan alat pengaduk Pengadukan hidrolis adalah pengadukan yang memanfaatkan gerakan air sebagai tenaga pengadukan. Sistem pengadukan ini menggunakan energi hidrolik yang dihasilkan dari suatu aliran hidrolik. Energi hidrolik dapat berupa energi gesek, energi potensial (jatuhan) atau adanya lompatan hidrolik dalam suatu aliran. Beberapa

contoh pengadukan hidrolis adalah terjunan (Gambar 5.5), loncatan hidrolis, parshall 68 flume, baffle basin (baffle channel, Gambar 5.6), perforated wall, gravel bed dan sebagainya. Gambar 5. 5 Pengadukan cepat dengan terjunan Gambar 5. 6 Denah pengadukan lambat dengan baffle channel Pengadukan pneumatis adalah pengadukan yang menggunakan udara (gas) berbentuk gelembung yang dimasukkan ke dalam air sehingga menimbulkan gerakan pengadukan pada air (Gambar 5.7). Injeksi udara bertekanan ke dalam suatu badan air akan menimbulkan turbulensi, akibat lepasnya gelembung udara ke permukaan air. Makin besar tekanan udara, kecepatan gelembung udara yang dihasilkan makin besar dan diperoleh turbulensi yang makin besar pula. Gambar 5. 7 Pengadukan cepat secara pneumatis Menurut Alaerts dan Santika (1987), jenis partikel koloid merupakan penyebab kekeruhan dalam air (efek Tyndall) yang disebabkan oleh penyimpangan sinar nyata yang menembus suspensi tersebut. Partikel-partikel koloid tidak terlihat secara visual sedangkan larutannnya (tanpa partikel koloid) yang terdiri dari ion-ion dan molekul-molekul tidak pernah keruh. Larutan tidak keruh jika terjadi pengendapan (presipitasi) yang merupakan keadaan kejenuhan dari suatu senyawa kimia. Menurut vesilind et al. (1994), partikel koloid dalam air sulit mengendap secara normal. Partikel koloid mempunyai muatan, penambahan koagulan akan menetralkan muatan tersebut. Partikel netral akan saling berikatan membentuk flok-flok besar dari partikel koloid yang berukuran sangat kecil. Hal ini disebut sebagai proses flokulasi. Menurut Steel dan McGhee (1985), koagulasi diartikan sebagai proses kimia fisik dari pencampuran bahan kimia ke dalam aliran limbah dan selanjutnya diaduk cepat dalam bentuk larutan tercampur. Flokulasi adalah proses penambahan flokulan pada pengadukan lambat untuk meningkatkan saling hubung antar partikel yang goyah sehingga meningkatkan penyatuannya (aglomerasi). Metcalf dan Eddy (1991), menyatakan bahwa untuk mendorong pembentukan agregat pertikel, harus diambil langkah-langkah tertentu guna mengurangi muatan atau mengatasi pengaruh muatan partikel. Pengaruh muatan dapat diatasi dengan : (1) penambahan ion berpotensi menentukan muatan sehingga terserap atau bereaksi dengan permukaan koloid untuk mengurangi muatan permukaan, atau penambahan elektrolit yang akan memberikan pengaruh mengurangi ketebalan lapisan difusi listrik sehingga mengurangi zeta potensial, (2) penambahan molekul organik berantai panjang (polimer) yang sub-bagiannya dapat diberi muatan sehingga disebut polielektrolit, hal ini menyebabkan penghilangan partikel melalui adsorbsi dan pembuatan penghubung (bridging), dan (3) penambahan bahan kimia yang membentuk ion-ion yang terhidrolisis oleh logam. Menurut Hammer (1986), dua gaya yang menentukan kekokohan koloid adalah, (1) gaya tarik menarik antar partikel yang disebut dengan gaya Van der Walls, cenderung membentuk agregat yang lebih besar, (2) gaya tolak menolak yang disebabkan oleh pertumpangtindihan lapisan tanda elektrik yang bermuatan sama yang mengakibatkan kekokohan dispersi koloid. Koagulasi dan flokulasi merupakan proses yang sangat berkaitan erat dimana keberhasilan proses flokulasi sangat bergantung dari proses koagulasi yang merupakan rangkaian proses pembentukan flok-flok. Pada kedua proses ini dibutuhkan flocculating agent yaitu bahan kimia tertentu yang membantu proses pembentukan flok. Dalam kurun waktu terakhir, penggunaan polimer sintesis sebagai bahan kimia pendestabilisasi pada pengolahan air bersih dan limbah cair semakin meningkat. Berdasarkan pengamatan, pengolahan yang paling ekonomis dapat dicapai dengan menggunakan anionik polimer, walaupun padatan yang terkandung dalam air bermuatan negatif (Weber, 1972). Agar proses destabilisasi efektif, molekul polimer harus mengandung kelompok kimia yang dapat berinteraksi dengan permukaan partikel koloid.

Pada saat terjadi kontak antara molekul polimer dengan partikel koloid, beberapa dari kelompok kimia pada polimer terserap ke permukaan partikel, meninggalkan molekul polimer yang tersisa pada larutan. Apabila terjadi kontak antar molekul polimer yang tersisa dengan partikel kedua yang memiliki permukaan adsorbsi yang kosong, maka akan terjadi ikatan. Partikel polimer komplek akan terbentuk dengan polimer sebagai penghubung. Jika partikel kedua tidak dapat berikatan, maka seiring dengan waktu bagian polimer yang tersisa perlahan akan terserap pada permukaan partikel yang lain, sehingga polimer tidak dapat lagi berfungsi sebagai penghubung. Dosis polimer yang berlebih akan mengakibatkan koloid menjadi stabil kembali karena tidak adanya ruang untuk membentuk penghubung antar partikel. Pada kondisi tertentu, sustu sistem yang telah didestabilisasi dan membentuk agregat dapat menjadi stabil kembali dengan meningkatkan agitasi, akibat putusnya polimer permukaan partikel dan proses berulang antara polimer tersisa dengan permukaan partikel (Weber, 1972). Menurut Benefield et al. (1982), untuk merangsang partikel koloid bergabung membentuk gumpalan yang lebih besar diperlukan dua cara, yaitu partikel harus didestabilisasikan dan dipindahkan. Destabilisasi partikel dapat dicapai melalui cara penekanan lapisan ganda listrik, penyerapan untuk netralisasi, penjeratan pada presipitasi, dan pembentukan antar partikel. Penekanan lapisan ganda listrik dan penetralan dikategorikan sebagai proses koagulasi, sedangkan penjeratan dan pembentukan antar partikel sebagai flokulasi. Destabilisasi partikel dengan cara penekanan dapat dicapai melalui penambahan elektrolit muatan yang berlawanan dengan muatan partikel koloid (Benefield et al., 1982). Dasar dari mekanisme ini adalah bahwa interaksi dari koagulan dengan partikel koloid terjadi karena efek elektrostatik, ion sejenis dengan partikel koloid akan saling tolak menolak, sedangkan yang muatannya berlawanan akan tarik menarik (Surdia et al., 1981). Menurut Nathanson (1977), keberhasilan dari proses koagulasi dan flokulasi tergantung beberapa faktor diantaranya adalah dosis koagulan yang diberikan, suhu dari limbah, pH dan alkalinitas. Dosis koagulan yang diberikan disesuaikan dengan karakteristik dari air limbah yang akan ditangani. Untuk mengetahui dosis optimum koagulan dilakukan pengujian dilaboratorium menggunakan peralatan yang disebut Jartest. G. KOAGULAN Koagulan adalah bahan kimia yang mempunyai kemampuan menetralkan muatan koloid dan mengikat partikel tersebut sehingga membentuk flok atau gumpalan (Hammer, 1986). Menurut Davis dan Cornwell (1991) koagulan merupakan substansi kimia yang dimasukkan ke dalam air untuk menghasilkan efek koagulasi. Ada tiga hal penting yang harus diperhatikan pada suatu koagulan, yaitu: 1. Kation bervalensi tiga (trivalen). Kation trivalen merupakan kation yang paling efektif untuk menetralkan muatan listrik koloid. 2. Tidak beracun (toksik). Persyaratan ini diperlukan untuk menghasilkan air atau air limbah hasil pengolahan yang aman. 3. Tidak larut dalam kisaran pH netral. Koagulan yang ditambahkan harus terpresipitasi dari larutan, sehingga ion-ion tersebut tidak tertinggal dalam air. Menurut Hammer (1986), bahan kimia yang digunakan sebagai koagulan adalah kapur, alum, dan polielektrolit (organik sintesis). Polielektrolit dapat berupa kation, anion, nonionik dan Miccellaneous (Liu dan Liptak, 2000). Garam-garam besi seperti feri klorida (FeCl3) dan besi sulfat (Fe2(SO4)3.H2O) dapat dipergunakan pula sebagai koagulan (Davis dan Cornwell, 1991). Menurut Wenbin et al. (1999), pada saat ini ada dua macam koagulan Menurut Alaerts dan Santika (1987), alum dalam air akan mengalami proses hidrolisis menurut reaksi umum adalah sebagai berikut: Al2(SO4)3 + 6H2O 2Al(OH)3 + 6H+ + 3SO4 2Menurut Davis dan Cornwell (1991), alum padat komersil (Al2(SO4)3.14H2O)

mempunyai bobot molekul 594. Komposisi alum padat terdiri 48.8 persen alum (8.3% Al2O3) dan 51.2 persen air. Menurut Kurniawan (2005), penambahan alum pada air lindi (cairan sampah) dengan dosis 15 mg/l hingga 80 mg/l dapat menurunkan kekeruhan sebesar 64.43 persen hingga 87.20 persen dan menurunkan warna sebesar 40.50 persen hingga 73.97 persen, dan menurut Pujiantoro (1995), penambahan alum pada penanganan primer limbah cair industri rayon dengan dosis 100 mg/l hingga 400 mg/l dapat menurunkan kekeruhan sebesar 76 persen hingga 90 persen. Proses koagulasi flokulasi dengan koagulan alum, kisaran pH yang mungkin adalah pada pH 5 hingga pH 8 (Davis dan Cornwell, 1991). Menurut Echanpin (2005), PAC merupakan koagulan anorganik yang tersusun dari polimer makromolekul yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: (1) tingkat adsorpsi yang kuat, (2) mempunyai kekuatan lekat, (3) pembentukan flok-flok yang tinggi dengan dosis kecil dan (4) tingkat sedimentasi cepat. Keunggulan lainnya adalah cakupan penggunaan yang luas. Oleh karena itu, produk ini adalah suatu agen dalam proses penjernihan air dengan efisiensi tinggi, cepat dalam proses pengolahan air, aman dan konsumsi konsentrasi yang rendah Reaksi FeCl3 dalam air yang mengandung alkalinitas adalah sebagai berikut : FeCl3 + 3 HCO3 - Fe(OH)3(s) + 3CO2 + 3ClDengan adanya koagulasi dan flokulasi nantinya akan terjadi pemisahan antara fase padat dari air. Dalam suatu koloid (padatan yang terdispersi sempurna) jika tersuspensi dalam air maka akan terdapat partikel-partikel yang selalu tersebar dalam larutan pendispersi. Penyebaran partikel tersebut terjadi karena koloid distabilkan oleh muatan elektrik pada permukaannya, sehingga antar molekul yang satu dengan yang lain saling tolak menolak. Hal ini menyebabkan koloid merupakan partikel yang bermuatan negatif. Dengan adanya hal tersebut maka akan mencegah terbentuknya partikel dengan massa yang lebih besar dan tetap berada dalam larutan walaupun bukan merupakan larutan sejati, tetapi merupakan suatu koloid, dengan ukuran berkisar antara 1-1000 nm, sehingga tidak terlihat oleh mata. Tetapi bagaimanapun juga koloid harus teteap dihilngakn sehingga air yang diperoleh mempunyai tingkat kejernihan yang tinggi. Permasalahan tersebut dapat diaatsi dengan penambahan zat kimia yang disebut sebagai koagulan. Dengan adanya koagulan yang ditambahkan ke dalam air sumur (koloid), maka akan mempercepat agregasi (penggumpalan) atau pertikel dalam air sumur akan membentuk ukuran yang lebih besar, sehingga akan mengendap dan dapat dipisahkan dari cairannyta melalui proses penyaringan. Proses inilah yang disebut dengan koagulasi. Dari percobaan diperoleh kecepatan untuk melarut adalah: MgSO4>ZnSO4>PAC>FeCl3>FeSO4>tawas(KAl(SO4)2) Daya koagulasi dari setap garam berbeda, tergantung dari jenis ion penyusun garam tersebut. Makin besar muatan anion dan ion-ion penyusun garam yang bercampur dengan koloid, maka kemampuan untuk mengagregasi muatan ion yang ada dalam koloid juga semakin besar. Jika muatan anionnya sama maka kita membandingkan keadaan kationnya. Kation yang memiliki ukuran lebih besar akan lebih mudah untuk mengagregasi muatan ion yang ada dalam koloid, jika dibandingkan dengan kation yang ukuran kationnya lebih kecil. Sehingga yang perlu diperhatikan adalah ukuran anion dahulu karena anion mempunyai peranan penting dalam mengagregasi muatan ion dalam koloid. Pada percobaan ini didapatkan hasil bahwa tingkat kejernihan air keruh setelah penambahan garam-garam sulfat dan klorida didapatkan hasil yang berbeda. Dan dari percobaan diperoleh hasil urutan kejernihan air sumur adalah: Tawas (KAl(SO4)2)>FeSO4>ZnSO4>MgSO4>PAC>FeCl3 Tawas memiliki daya koagulasi tertinggi yang ditunjukkan dengan tingkat kejernihan airnya karena muatan ion Al3+ dan SO42- adalah yang paling besar daripada garam sulfat dan klorida lainnya sehingga kemampuan mengagregasi air keruh juga semakin besar. Untuk garam yang lainnya, FeSO4, ZnSO4, MgSO4 tingkat koagulasinya lebih tinggi. Hal ini dikarenakan muatan SO42- lebih besar daripada Cl-, sehingga kemampuan mengagregasi air keruh lebih besar daripada Cl-. Untuk MgSO4 dan ZnSO4 karena anionnya sama yaitu SO4 maka yang dibandingkan adalah kationnya. Unsur Zn memiliki nomor atom 30 sedangkan Mg memiliki nomor atom 12, berarti Zn memiliki muatan yang lebih besar daripada Mg, sehingga daya koagulasi Zn lebih besar. PAC merupakan suatu polimer yang terdiri dari monomer-monomer gabungan aliminium dan klorida. Polimer memiliki ikatan yang tidak mudah putus, sehingga ikatannya stabil. Akibatnya polimer ini sulit untuk terionisasi dan bereaksi dengan muatan dalam koloid sehingga daya koagulasinya kecil. Dalam proses koagulasi dihasilkan partikel-partikel yang lebih besar dan mengendap di dasar, sehingga dapat diperoleh larutan yang terpisah dari garam-garamnya. Namun proses koagulasi tidak dapat dipisahkan dengan terjadinya proses flokulasi. Banyak yang menganggap bahwa koagulasi sama dengan flokulasi. Namun keduanya merupakan hal yang berbeda. Koagulasi merupakan proses pembentukan agregasi, sedangkan flokulasi adalah kumpulan dari agregasi dari partikel-partikel menjadi elemen yang lebih besar. Harga Ksp masing-masing koagulan juga berperan penting dalam kemampuan zat koagulan

tersebut untuk sejauh mana mampu mengkoagulasi. Dimana zat dengan Ksp lebih kecil mampu menjadi koagulan yang baik. Hal tersebut dikarenakan zat pengkoagulan dapat teragregasi dengan cepat. Dalam proses koagulasi terdapat hal-hal yang menyebabkan suatu koagulan tidak mampu mengkoagulasi koloid, hal ini dikarenakan: a. Muatan zat pengkoagulasi kecil berakibat zat pengkoagulan tersebut kurang bisa menetralakan muatan negatif dari larutan, sehingga tidak terbentuk suatu endapan. b. Zat pengkoagulasi yang digunakan tidak murni atau sudah terkonyaminasi oleh senyawa lain seperti uap air dari udara. Dari hasil yang diperoleh didapat hasil bahwa agram-garam sulfat menyebabkan proses koagulasi yang lebih baik daripada garam-garam klorida. Hal tersebut disebabkan karena muatan SO4- memiliki muatan 2- sedangkan Cl- memiliki muatan 1-. Dimana elektronegatifitas Cl lebih tinggi daripada S. Hal ini menyebabkan Cl akan mengikat lebih kuat kation-kation sehingga ikatannya akan lebih sulit lepas. Elektronegatifitas juga sebanding dengan energi ionisasi suatu ion. Dimana ion-ion yang memiliki energi ionisasi lebih besar akan lebih sulit untuk teragregasi dan kurang cocok digunakan sebagai koagulan.

Anda mungkin juga menyukai