PENDAHULUAN
pelayanan yang maksimal sehingga akhirnya dapat berhasil guna dan berdaya
guna.
kompleks karena dari tiap dusun ke pusat pemerintahan desa jaraknya berjauhan
belum lagi sarana transportasi yang mahal, ini mengakibatkan tersendatnya pola-
Dari Kenyataan ini, tidaklah heran kalau sistem kepengurusan diserahkan pada
1
Berdasarkan hal terurai di atas dan dalam rangka Kuliah Kerja Nyata sebagai
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, berikut ini
keterangan dan lainya dari Rukun Warga dan Rukun Tetangga di Desa
keterangan dan lainya dari Rukun Warga dan Rukun Tetangga Desa
Kabupaten Sukabumi ?
2
D. Bagaimana dukungan peningkatan pelayanan umum seperti surat-surat
keterangan dan lainya dari Rukun Warga dan Rukun Tetangga terhadap
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
“seperti apa dan bagaimanakah format sistem tata pengaturan pemerintahan desa
3
“infrastrukturkelembagaan” lokal, organisasi pemerintahan desa menampilkan
karakter yang kokoh, kuat, dan mandiri (mampu menyelesaikan semua persoalan-
suatu kawasan tampil menjadi kelembagaan yang efektif, efisien dan bersih dalam
yang menyertainya.
pemerintahan desa. Cita-cita di atas memang terasa muluk, terutama jika menilik
kondisi faktual kebanyakan kelembagaan pemerintahan desa saat ini yang berada
4
dalam situasi yang memprihatinkan secara organisasional maupun manajerial.
dipastikan 180 derajat berkebalikan dengan harapan dari semua pihak terutama
5
Fakta-fakta yang digali dan ditemukan oleh studi-aksi di lapangan (lihat
desa” yang makin hari semakin menguat, terutama dalam hal pendanaan dan
inisiasi kreativitas terhadap ide-ide perubahan; (2) stok modal sosial (kepercayaan
publik pada kelembagaan pemerintah desa) yang terus menipis seiring dengan
6
desa yang perlu dicermati, terutama pada sisi human-actors (aparat dan warga
desa). Pertama, aparat desa dan warga desa umumnya menghadapi kemiskinan
yang bernas atau asli/otentik sesuai dengan potensi, persoalan serta kebutuhan di
“struktur” dalam hal ini, tidak saja menunjuk kepada pengertian “pola hubungan
sosial yang
(lihat Dolfsma and Verburg, 2005). Dalam konteks, pemerintahan desa yang
masa OTDA ini, yang membuat setiap unit organisasi administrasi pemerintahan
7
tidak mampu secara luwes menentukan sendiri keputusan-keputusan yang
“energi” (dalam bentuk trust dan jaringan sosial) bagi perubahan di aras
kolektivitas sosial desa. Aksi-reaksi bolak-balik antara sisi “agensi dan struktur”
kemandirian desa.
untuk dapat mengembangkan diri menjadi pilar yang kuat dalam mereproduksi
8
tata-pemerintahan dan sistem sosial-kemasyarakatan yang kuat, mandiri dan
desa3 dalam merespons tuntutan otonomi desa. Oleh karena itu, maka pada
komponen aksi kegiatan studi-aksi difokuskan pada upaya penguatan kedua aspek
tata-pemerintahan tersebut.
kelemahan pada sisi human actors-nya. Kedua kawasan tersebut jelas menghadapi
berubah ke arah kemajuan (lihat Kolopaking, 2006). Dari titik ini, harapan
dipastikan sangat sulit dicapai, kecuali jika sejumlah kekuatan eksternal dapat
9
dialirkan untuk memperbaiki kedua sisi (institusi dan human agency) tersebut
membatasi kelakuan yang akan direproduksi selanjutnya (lihat Giddens, 1984 dan
Wallace and Wolf, 1999). Analog dengan teori strukturasi dari Giddens tersebut,
yang “tak berkesudahan” antara dua entitas yang saling tidak terpisahkan yaitu
”human actors” (aparat desa dan individu warga desa) di satu sisi dengan
tingkat desa, di sisi yang lain. “Wajah” atau kinerja organisasi pemerintahan desa
secara serentak tanpa meninggalkan sisi yang lainnya sebagai prioritas kedua.
10
Ketrikatan dua sisi yang mempengaruhi kinerja tata-pemerintahan desa.
pemerintahan adat” yang sangat terjaga dengan baik (konsep “nagari” di Tata-
kelemahan justru pada sisi kelembagaannya, sementara itu pada waktu yang
Dharmawan dan Putri, 2006; Nurrochmat dan Purwandari, 2006; Sunito dan
Purwandari, 2006, Suharno, 2006 dan Nasdian, 2006, maka “peta kekuatan” dua
11
tata-pemerintahan Agency dalam tata-pemerintahan Social entrepreneurship
memadai untuk menyambut otonomi desa. Hal tersebut ditandai oleh kapasitas
aparat desa dan warga untuk berinisiatif terhadap perubahan. Derajat pengetahuan
serta work-ability dalam manajemen organisasi pun cukup terlatih serta didukung
sebenarnya cukup mantap. Fakta ini ditemukan di salah satu desa di Jawa Barat.
Sementara itu, self-propelling for rural change mechanism yang cukup memadai
manusianya, kedua provinsi dapat dianggap mewakili kawasan paling siap bagi
12
otonomi desa sangat sulit dijalankan. Kedua kawasan mengalami persoalan yang
melalui mekanisme apa dan seberapa besar “energi sebagai stimulan perubahan”
realitas sosial yang lekat dengan persoalan trauma psikologis konflik sosial yang
yang khas di setiap wilayah desa di kawasan itu? Dari tantangan persoalan
otonomi desa di atas, sangat jelas bahwa studi-aksi ini dijalankan dengan sasaran-
tajam pada dua bidang yang strategik. Namun, demikian variasi penekanan
13
berperan sebagai agency di balik bekerjanya sistem kekuasaan, administrasi,
moral itu sepantasnya mampu menggeser sifat manusia yang bercirikan “etika-
dan trust antar warga perlu ditumbuhkan kembali. Sementara itu, kemitraan
teori “growth machine theory” (lihat Putri dan Dharmawan, 2006). Menurut teori
14
dan direkonstruksi dengan baik, sementara itu setiap potensikekuatan sumberdaya
Dengan kata lain, baik otonomi desa ataupun kemandirian desa sangat ditentukan
studi-aksi ini (terutama pada sisi “aksi”) untuk merumuskan secara konstruktif
pemerintahan atau tata-pengaturan desa (lokalitas) yang baik (rincian aksi bisa
dan otoritas yang telah berlangsung lama dan ekstensif di lokalitas studi-aksi.
15
telah menambah kompleksitas persoalan rural-governance dalam era OTDA.
Purwandari, 2006).
struktur sosial tradisi dan ditopang oleh sistem norma-adat yang berlaku pada
tata pemerintahan formal, adalah fakta yang harus diperhitungkan dengan cermat
16
Benturan kepentingan antara dua sistem tata-pengaturan dalam urusan
Barat dan Bali (lihat kajian atas konflikkonflik kelembagaan pemerintahan desa
dalam tulisan Dharmawan, 2006, Sunito dan Purwandari, 2006, juga Nurrochmat
desa-desa dengan tradisi pengaturan adat yang sangat kuat. Dalam hal ini,
otonomi desa menurut perspektif agraria diwarnai oleh fenomena perebutan dan
konflik akses terhadap sumbersumber agraria secara chaotic. Bila hal ini tidak
perhatian terpenting.
Seringkali, desa formal tidak dapat berbuat banyak atas sumberdaya alam yang
17
Masih, konflik sosial makin kompleks jika memperhitungkan persoalan
kesenjangan ekonomi antar warga. Disparitas ekonomi yang tajam dialami oleh
Sunito dan Purwandari (2006) serta Sundawati dan Trison (2006) menandai proses
sejak lama, dipandang layak untuk meneruskan urusan publik di wilayah ini.
18
pengaturan sumber-sumber agraria. Pemenuhan kebutuhan akan hak-hak privat
dalam penguasaan material (tanah) yang tidak diatur oleh adat, sebagai
Pada saat itulah, kehadiran pemerintah desa mendapatkan perhatian lebih besar
dari warga. Hal ini dikarenakan hukum formal berada di bawah otoritas
formal dan adat, sebagai konsekuensinya, menjadi ”harga sosial” yang tidak
Derajat konflik antar kelembagaan (adat versus formal) atas pengaturan sumber-
sumber agraria lokal Derajat kerjasama antar kelembagaan (adat versus formal)
19
konstelasi politik-lokal yang rumit, menegangkan dan problematik. Otoritas
formal harus senantiasa berhadaphadapan secara diametral vis a vis otoritas adat
oleh ”rongrongan konflik sosial” yang berkepanjangan (lihat juga Chalid, 2005).
Solusi pembaruan tata-pemerintahan desa dalam aspek agraria yang diwarnai oleh
kehadiran tata-aturan formal. Pemikiran ini didasarkan pada asumsi bahwa secara
dan struktur sosial lokalitas. Melihat fakta ini, maka ke depan, pengaturan adat
Aturan-aturan baru tersebut sepantasnya lebih bersifat ”lintas adat” dan ”lintas
dan Purwandari (2006) menggagas upaya menguatkan peran adat lebih kepada
20
agraria”, dimana komplain-komplain serta aspirasi warga atas pola pengelolaan,
Pemerintahan Desa
environment”, jelas tidak bisa dibendung dan memang mendesak untuk dilakukan
desa (lokalitas) formal yang lebih adaptif terhadap cita-cita OTDA atau sesuai
21
formal sepantasnya memilih opsi yang tidak berorientasi pada zero sum game
kemitraan (partnership).
Kemitraan dalam hal ini dimaknai tidak hanya sekedar “skema-skema kerjasama
yang terbangun dalam suasana kesetaraan dan keadilan serta distribusi hak dan
kewajiban yang proporsional”, namun bisa bermakna lebih luas daripada itu.
informasi dan pembagian tanggung jawab secara serasi atas suatu hal, dimana
tanpa alasan yang rasional. Pemaknaan tersebut didasarkan pada sebuah asumsi
penting yang diturunkan dari realitas faktual. Fakta tersebut adalah perbedaan-
pandangan dan kepentingan yang tajam dan cenderung menuju proses konflik
tidak dikelola dengan baik (lihat Huntington, 1996 dan Fukuyama, 2001). Sebagai
sebuah entitas sosial, jika pluralitas struktur dan kepentingan dalam tata-
22
(distrust) yang kronis, maka akibatnya adalah penurunan kualitas “strength and
Jika hal ini yang terjadi, maka desa tidak mungkin diharapkan menjadi unit-
otonomi lokal yang mandiri, kokoh, berwibawa dan menampilkan good and self-
Gejala seperti ini sebenarnya tidak khas dihadapi oleh (pedesaan) Indonesia saja
extent, memiliki derajat kompleksitas yang relatif lebih rumit bila dibandingkan
dengan apa yang berlangsung di kawasan lain (bandingkan tulisan Weiss, 2000,
dicapai.
Terlebih lagi sejak era reformasi bergulir di tahun 1998, demokratisme sebagai
sempit yang didasarkan pada kesamaan identitas, ideologi, atau atribut sosial
23
eksistensi antara satu dengan kelompok lain menyempit (lihat Buckles and
berpotensi meluas, selama tidak ada sistem pengaturan lokal yang dapat
Desa juga berpotensi menjadi kawasan yang diwarnai oleh gejala distrust society
yang rentan konflik dan pertikaian sosial terus terbentuk. Pada titik inilah
disintegrasi sosial menjadi ancaman yang nyata (lihat tulisan Huntington, 1996
pada sub-bab tentang “the problem of democracy” di dunia ketiga). Pelajaran atas
kemasyarakatan desa lebih baik. Selain itu, pola kemitraan dalam kelembagaan
24
membahu dalam mewujudkan “ruang-bersama” bagi kesejahteraan sosial yang
lebih baik.
perbedaan, dimana pertukaran yang adil (just and humane exchange) menjadi
instrumen perekat dari keseluruhan sistem sosial (lihat Coleman, 1988 dan Willer,
1998). Dengan kerangka pemikiran seperti ini, maka apapun konsekuensi yang
timbul akibat suatu keputusan atau peraturan yang dihasilkan melalui proses-
proses yang telah dilakukan melalui pendekatan partisipatoris via pelibatan antar-
Tata-Pemerintahan Desa
25
melalui ideologi kemitraan itu mencakup berbagai aras pengaturan desa sebagai
masyarakat) lokal.
masyarakat.
disepakati.
yang dihasilkan.
yang dijumpai di lima provinsi yang menjadi perhatiannya. Sesuai dengan hasil
lokal. Sekalipun demikian, ada beberapa hal penting yang dapat mempercepat
26
proses transformasi tata-pemerintahan desa ke arah otonomi, yaitu: (1) tata-
pemerintahan desa yang baik sangat tergantung pada kesiapan dan kemauan
aras kabupaten dan pusat memberi tempat dan membangun kerjasama dan
untuk ikut serta dalam kemitraan, serta (4) ada prakarsa untuk membangun sistem
diskursif yang juga mengapresiasi komunikasi refleksif dan leluasa (lihat Amanah,
dan ideologi, yaitu: (1) pemerintah kampung (desa), (2) ondoafi (ketua adat), dan
27
Dengan pola yang serupa, studi-aksi juga mengembangkan pola pemerintahan
pihak pemangkukepentingan.
budaya lokal. Ketiga pihak tersebut adalah: (1) Wali Nagari sebagai pucuk
pimpinan dari pemerintahan nagari (pemerintah desa), (2) Kerapatan Adat Nagari
dan institusi derivatnya yang berintikan pada keanggotaan para penghulu adat atau
para ninik-mamak, (3) Lembaga bisnis swasta yang memiliki jaringan ekonomi
Di provinsi NAD, terlibat tiga pihak yaitu: (1) Pemerintah gampong yang diketuai
oleh keuchik, (2) Imeum mukim yang secara adat memiliki “hierarkhi-kekuasaan
atas wilayah pemangkuan adat”, yang seringkali posisi kekuasaanya lebih tinggi
daripada keuchik, (3) institusi swasta yang memiliki jaringan ekonomi ke desa
dan mampu menghela pertumbuhan ekonomi desa. Sementara itu, Jawa Barat pun
menggambarkan pola yang sama, dimana tiga pihak dipersatukan dalam satu tata-
kepemudaan, wanita dan masyarakat bisnis. Di Bali, sinergitas tiga pihak juga
berlangsung dengan pola sama, yaitu: (1) pemerintah desa adat-pakraman, (2)
28
Penguatan Agensi Pemerintahan Desa
diemban unsur fungsional pemerintahan desa, maka area intervensi kegiatan aksi
pada sisi agensi menjadi cukup luas. Namun demikian, perhatian tetap mengacu
29
• Pasal 209-211 tentang: pengaturan kelembagaan legislatif dalam tata-
30
tata-pemerintahan desa yang mandiri. Berlandaskan pada kekuatan
Tahapan Kemandirian
Dari pola yang dikembangkan di lima provinsi, maka tim studi-aksi telah
desa, yaitu:
lokalitas.
31
Dengan prinsip-prinsip ini, tata-pemerintahan desa tidak hanya ditentukan
lessaccountable,
diartikan sebagai “keadaan untuk melepaskan kekuasaan desa secara 100 persen
desa tidak akan mampu mengatur dan mengembangkan diri secara memadai
hierarkhi di atasnya dalam hal pendanaan dan inisiatif pembangunan. Hasil studi-
aksi berkeyakinan bahwa, otonomi desa akan berjalan dengan baik melalui cara
yang lebih moderat dan didekati secara bertahap-tahap. Pada tahap pertama,
32
sendiri. Akumulasi modal sosial lokal berupa pola-pengaturan serta norma-aturan
berbasis lokal dan sah menjadi sumberdaya-kultural penopang otonomi desa yang
sangat berarti. Artinya, pada tahap pertama akan diciptakan otonomi desa yang
tahap pematangan (tahap kedua). Dalam hal ini, pemerintahan desa diharapkan
memadai. Bila taraf ini dicapai maka pemerintahan desa memasuki tahapan
inisiatif pembangunan). Jika kemandirian pada taraf ini telah dicapai, maka
bargaining position pemerintah desa menjadi lebih besar vis a vis pemerintahan
supradesa.
33
terakhir inilah kemandirian dan otonomi pemerintahan desa dapat dicapai secara
Untuk mencapai cita-cita otonomi dan kemandirian desa itu, maka prinsip good-
prasyarat utama dan terpenting. Hanya dengan cara demikianlah, maka upaya
BAB III
34
PEMBAHASAN
Berdasarkan data yang ada, berikut penulis sajikan tabel data penduduk
Kabupaten Sukabumi:
Tabel 3.1
Data Luas Wilayah Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara
Kabupaten Sukabumi Berdasarkan Penggunaan
Luas Ha
Perkantoran 0,16
Lapangan olahraga 1
Terminal 10,63
Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi
35
Sedangkan topografi Bojongkerta seperti tabel 3.2 berikut:
Tabel 3.2
Data Letak Topografi Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara
Kabupaten Sukabumi Berdasarkan Kawasan
Letak Ketarangan
Kepulauan Tidak
Pantai Tidak
Tabel 3. 3
Data Batas wilayah Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara
Kabupaten Sukabumi
36
Batas Desa Kecamatan
Sukabumi pada umumnya masih terkesan asri. Hal ini terlihat belum terdapat
menjadikan desa ini sebagai daerah pertanian. Pengaruh dari keadaan alam yang
masih terjaga menjadikan suhu alam yang segar dan menyejukkan serta keadaan
Tabel 3.4
Data Suhu dan Curah Hujan Desa Bojongkerta
Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi
Sifat Keterangan
Kelembapan …… ……
37
Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi
Tabel 3.5
Data Orbitasi desa Desa Bojongkerta
Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi
Sifat Keterangan
Sukabumi sebagian besar adalah penduduk asli yang berjumlah sekitar 7843 Jiwa
yang memiliki kepadatan penduduk sekitar 125 per km2. Untuk lebih jelasnya
Tabel 3.6
Data Keadaan penduduk Desa Bojongkerta
Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi
sebagai petani, baik tanah sawah sendiri, tanh darat atau sebagai kuli atau buruh
tani untuk lebih jelasnya lihat pada tabel 3.7 berikut ini:
Tabel 3.7
Data Mata pencaharian penduduk Desa Bojongkerta
Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi
39
Mata Pencaharian Keterangan
Tabel 3.8
Data Tenaga Kerja Desa Bojongkerta
Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi
18 – 56 th 2111 2068
0 – 6 th 493 483
7 – 18 th 620 594
Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi
Ada beberapa hal yang perlu kita kaji terhadap keadaan penduduk di desa
Tabel 3.9
40
Data Kualitas Angkatan Kerja Desa Bojongkerta
Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi
18 – 56 th buta 7 8
aksara
18 – 56 th tamat 27 15
PT
Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi
ladang sawah ataupun ladang kering, seperti terlihat pada tabel 3.10 berikut:
Tabel 3.10
Data Pemilikan Lahan Pertanian Tanaman Pangan Desa Bojongkerta
Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi
Memiliki 1 – 5 Ha 325
41
Memiliki 5 – 10 Ha 120
Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi
karena itu, tingkat perekonomian penduduk masih lemah seperti terlihat pada
Tabel 3.11
Data Lembaga Perekonomian Desa Bojongkerta
Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi
Indrustri 17 82 -
makanan
Indrustri 12 112 -
material
bahan
bangunan
Jumlah usaha 3 3 3
toko
Usaha 3 - -
Peternakan
Pengolahan 2 5 14
Kayu
Group music 3 1 21
Pangkalan 2 - -
minyak tanah
Pengecer gas 15 2 15
42
Tukang jahit 17 2 50
Tukang cukur 23 1 23
Tkang service 7 2 21
Tukang besi 9 1 27
Tukang gali 27 1 54
sumur
Tukang pijat 31 1 31
Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi
sebagian besar masyarakatnya hidup dari bertani. Selain Padi, banyak pula
tanaman yang lain diantaranya Pisang, Kelapa dan yang lainnya perlu terus
Tabel 3.12
Data Komoditas tanaman pertanian Desa Bojongkerta
Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi
Jagung 10 7,5
Kacang panjang 1 3
43
Padi sawah 200 8
Ubi kayu 10 17
Ubi jalar 1 12
Mentimum 2 20
Rambutan 10 5
Durian 10 1
Pisang 20 10
Nangka 2 10
Kunyit 1 2
mederennya kota. Masyarakat desa Bojong Kerta masih memegang adat istiadat
desa yang suka gotong royong dan murah senyum selain itu di Desa bojongkerta
juga memiliki prasarana komunikasi dan informasi seperti tabel 3.13 berikut:
Tabel 3.13
Data Prasarana komunikasi dan informasi Desa Bojongkerta
Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi
Prasarana Keberadaan
Wartel 3 unit
44
Pelanggang GSM 1700 org
pendidikan, namun hal itu tidak didukung oleh sarana dan prasarana yang
Tabel 3.14
Data Pendidikan Formal Desa Bojongkerta
Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi
Play 3 - - - -
Grp
TK - - - - -
SD 5 - Pemerintah 35 964
SLTP 1 - 15 70
Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi
Tabel 2.15
45
Data Pendidikan Formal Keagamaan Desa Bojongkerta
Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi
Raudhatu 9 Ya Ya 27 630
l Athfal
Ponpes 2 10 70
Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi
Bangunan sekolah yang ada pun perlu adanya renovasi dan penambahan
pembangunan lagi. Ada dua Sekolah Dasar Negeri yang kondisinya hampir sama
siswa kelas tiga ruangannya disatukan dengan kelas tiga, bahkan ada siswa yang
kegiatan belajar mengajarnya yang di ruangan guru, hal ini jelas sangat
kurang bersih dan berdebu karena lantainya yang belum di keramik. Kondisi meja
dari jumlah lulusan SLTA baik Laki-laki maupun Perempuan cukup tinggi seperti
Tabel 3.16
46
Data Tingkat Pendidikan Desa Bojongkerta
Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi
Tamat D-1 11 7
Tamat D-2 9 5
Tamat D-3 7 3
Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi
maka untuk memperjelas hasil analisis, penulis sajikan informasi berupa grafik
sebagai berikut:
47
Grafik 3.1 Luas Wilayah Desa
Bojongkerta Kecamatan Warungkiara
Kabupaten Sukabumi
Perkantoran
Perkantoran
Pemukiman
0 1 2 3 4 5
Hektar Are
Sukabumi
Provinsi
Kabupaten
Kecamatan
0 50 100 150
KM
Sukabumi
48
Grafik 3.3 Jumlah Penduduk Desa
Bojongkerta Berdasarkan Jenis Kelamin
Perempuan
Laki
SEX
Sukabumi
Daratan
Sawah
Pertanian
Sukabumi
49
Grafik 3.5 Tenaga Kerja Berdasarkan
Usia Desa Bojongkerta Kecamatan
Warungkiara
Perempuan
Laki-laki
Sukabumi
Perempuan
Laki-Laki
Sukabumi
50
Grafik 3.7 Kepemilikan Tanah Sawah
Desa Bojongkerta
5-10 Ha
1-5 Ha
< 1 Ha
Keluarga
Sukabumi
51
Grafik 3.8 Lemaga Perekonomian
Desa Bojongkerta
Jml.Unit
0 50 100 150
Sukabumi
52
Grafik 3.9 Komoditas Tanaman
Pertanian Desa Bojongkerta
Hasil(Ton/Ha)
Luas
Sukabumi
Prasarana
Sukabumi
53
Grafik 3.11 Jumlah Lembaga Pendidikan
Formal Desa Bojongkerta
Siswa
Tenaga pengajar
Jumlah
SD SLTP
Sukabumi
Siswa
Tenaga pengajar
Jumlah
MI Ponpos
Sukabumi
54
Grafik 3.13 Tingkat Pendidikan
Desa Bojongkerta
Perempuan
Laki-laki
Tamat SMA
Tamat SMP
Tamat SD
18-56 masuk SD tidak tamat
18-56 yang tidak masuk Sekolah
7-18 th tidak masuk sekolah
3-6 th masuk tk
3-6 th belum masuk SD
Sukabumi
55
3.2 ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH
sebagai berikut:
baik;
baik;
Sukabumi ;
56
B. Peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga pelayanan umum dalam bidang
administrasi desa ;
berikut:
57
3) Pengendalian dampak resiko pelayanan umum dalam bidang
administrasi desa ;
administrasi desa .
desa
DESA.
58
berencana, perbaikan gizi, kesehatan lingkunagn, pemberantasan
desa;
administrasi desa;
administrasi desa;
desa;
administrasi desa;
administrasi desa;
administrasi desa;
BAB IV
60
4.1 KESIMPULAN
baik;
4.2. Saran
61
Dari hasil evaluasi pelaksanaan program Kuliah Kerja Mahasiswa di Desa
o LPPM Untirta dalam hal ini sebagai panitia dari kegiatan KKN,
konsep saat akan pelaksanaan KKN saja namun harus ada onsepan untuk
follow up atau tindak lanjut dari hasil kegiatan KKN, hal ini bisa
62
o Dalam hal pembekalan KKN sebaiknya dilakukan dengan serius, dimana
dan bisa saling beradaptasi antara yang satu dengan yang lainnya. Selain
DAFTAR PUSTAKA
63
1. Sekretaris Desa Bojong Kerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten
: Sinar Grafika
berkualitas. Jakarta
Balai Pustaka
64
11. Dharmawan, A. H. 2006. Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas
Kelembagaan Lokal dalam Reformasi Tata-Kelola Pemerintahan Desa:
Investigasi Teoretik dan Empirik. Working Paper Series Project No. 1.
Partnership-Based Rural Governance Reform. Kemitraan Indonesia dan
Pusat studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB. Bogor.
12. Dolfsma, W and Verburg, R. 2005. Bridging Structure and Agency:
Processes of Institutional Change. ERIM Report Series Research in
Management. Erasmus University. Rotterdam.
13. Ewalt, J.A.G. 2001. Theories of Governance and New Public
Management: Links to Understanding Welfare Policy Implementation.
14. Paper is prepared for presentation at the Annual Conference of the
American Society for Public Administration. Newark. New Jersey.
15. Huntington, S. 1996. Democracy for the Long Haul. Journal of
Democracy, Vol. 7/2, pp. 3-13.
16. Fukuyama, F. 2001. Social Capital, Civil Society, and Development. Third
World Quarterly, Vol. 22/1, pp. 7-20.
17. Giddens, A. 1984. The Constitution of Society: Outline of the Theory of
Structuration. Polity Press. Cambridge.
18. Heydebrand, W. 2003. Process Rationality as Legal Governance: A
Comparative Perspective. International Sociology, Vol 18/2, pp. 325-349.
19. Indaryanti, Y. 2006. Disparitas Tingkat Kesejahteraan Masyarakat:
Tinjauan Sosial- Ekonomi Rumahtangga Lokal. Working Paper Series
Project No. 4. Partnership- Based Rural Governance Reform. Kemitraan
Indonesia dan Pusat studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB.
Bogor.
20. Kolopaking, L.M. 2006. Proses-Proses Pengembangan Kebijakan Tata-
Kelola Pemerintahan Desa Berbasis Lokal. Working Paper Series Project
No. 9.
21. Partnership-Based Rural Governance Reform. Kemitraan Indonesia dan
Pusat studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB. Bogor.
22. Moore, M. 2002. Progressive Realism: Improving Governance in the
Global South (unpublished). Institute of Development Studies. Sussex.
23. Nasdian, F.T. 2006. Kemitraan dalam Tata Pemerintahan Desa dan
Pemberdayaan Komunitas Pedesaan dalam Perspektif elembagaan.
Working Paper Series Project No. 8. Partnership-Based Rural
Governance Reform. Kemitraan Indonesia dan Pusat studi Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan IPB. Bogor.
24. Nurrochmat, D dan Purwandari, H. 2006. Politik Desentralisasi
Pemerintahan Desa.
25. Working Paper Series Project No. 3. Partnership-Based Rural
Governance Reform.
26. Kemitraan Indonesia dan Pusat studi Pembangunan Pertanian dan
Pedesaan IPB. Bogor.
65
27. Putri, E.I.K. dan Dharmawan, 2006. Pengembangan Wilayah dalam
Reformasi Tata Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi dan
Beberapa Tantangan Ke Depan. Working Paper Series Project No. 6.
Partnership-Based Rural Governance Reform. Kemitraan Indonesia dan
Pusat studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB. Bogor.
28. Suharno. 2006. Pola Pengembangan Ekonomi Perdesaan Berbasis
Keberlanjutan.
29. Working Paper Series Project No. 10. Partnership-Based Rural
Governance Reform. Kemitraan Indonesia dan Pusat studi Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan IPB. Bogor.
30. Sunito, S dan Purwandari, H. 2006. Mekanisme Kontrol Tata-Kelola
Sumber-Sumber Agraria: Membangun Kelembagaan Kolektif Lokal yang
Demokratis. Working Paper Series Project No. 7. Partnership-Based
Rural Governance Reform.
31. Kemitraan Indonesia dan Pusat studi Pembangunan Pertanian dan
Pedesaan IPB. Bogor.
32. Sundawati, L dan Trison, S. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Alam
Berbasis Kemitraan untuk Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan Desa.
Working Paper Series Project No. 5. Partnership-Based Rural
Governance Reform. Kemitraan Indonesia dan Pusat studi Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan IPB. Bogor.
33. Wallace, R.A and Wolf, A. 1999. Contemporary Sociological Theory:
Expanding the Classical Tradition. Fifth Edition. Prentice Hall. New
Jersey.
34. Weiss, T. G. 2000. Governance, Good Governance and Global
Governance: Conceptual and Actual Challenges, Third World Quarterly,
Vol. 21/5, pp. 795-814.
35. Willer, D. 1998. Network Exchange Theory. Praeger. Westport,
Connecticut and London.
36. Woods, P. A. 2003. Building on Weber to Understand Governance:
Exploring the Links Between Identity, Democracy, and ‘Inner Distance’,
Sociology, Vol. 37/1, pp. 143-163.
66
LAMPIRAN
LAMPIRAN
67