Anda di halaman 1dari 67

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang dapat mengayomi semua

kepentingan masyarakatnya, terlibih kepentingan itu untuk kepentingan rakyat

banyak. Sudah sewajarnya elit birokrat dapat meneladaninya dengan memberikan

pelayanan yang maksimal sehingga akhirnya dapat berhasil guna dan berdaya

guna.

Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi dengan

4(empat) kedusunan yaitu dusun Sorong, Sindangkertam, Cilulumpang, dan

Bojongkerta merupakan suatu komunitas desa yang kompleks, kenapa dikatakan

kompleks karena dari tiap dusun ke pusat pemerintahan desa jaraknya berjauhan

belum lagi sarana transportasi yang mahal, ini mengakibatkan tersendatnya pola-

pola pengayoman dari aparat desa ke masyarakatnya.

Dari Kenyataan ini, tidaklah heran kalau sistem kepengurusan diserahkan pada

masing-masing kedusunan, dan dari kedusunan diserahkan kembali kepada tiap

ketua Rukun Warga dan Ketua Rukun Tetangga.

1
Berdasarkan hal terurai di atas dan dalam rangka Kuliah Kerja Nyata sebagai

bentuk pengabdian kepada masyarakat, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Persatuan Guru Republik Indonesia (STKIP-PGRI) Sukabumi, penulis

tertarik untuk menulis laporan dengan tema: “ PERANAN APARATUR DESA

TERHADAP PELAYANAN UMUM DI DESA BOJONGKERTA KECAMATAN

WARUNGKIARA KABUPATEN SUKABUMI “.

1.2 IDENTIFIKASI MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, berikut ini

penulis dapat mengidentifikasi masalah yang ada di Desa Bojongkerta Kecamatan

Warungkiara Kabupaten Sukabumi sebagai berikut:

A. Bagaimana upaya peningkatan pelayanan umum seperti surat-surat

keterangan dan lainya dari Rukun Warga dan Rukun Tetangga di Desa

Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi ?

B. Bagaimana kondisi peningkatan pelayanan umum seperti surat-surat

keterangan dan lainya dari Rukun Warga dan Rukun Tetangga Desa

Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi ?

C. Bagaimana kualitas, pemerataan dan keterjangkauan peningkatan

pelayanan umum seperti surat-surat keterangan dan lainya dari Rukun

Warga dan Rukun Tetangga Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara

Kabupaten Sukabumi ?

2
D. Bagaimana dukungan peningkatan pelayanan umum seperti surat-surat

keterangan dan lainya dari Rukun Warga dan Rukun Tetangga terhadap

program perilaku Pemerintahan yang bersih dan sehat di Desa Bojongkerta

Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi ?

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Tata Pemerintahan Desa: Antara Realitas, Harapan, Kompleksitas


dan Tantangan Ke Depan

Persoalan Struktur dan Agensi dalam Tata-Pemerintahan Desa

Pertanyaan penting yang hendak dijawab oleh kegiatan KKN STKIP-

PGRI Sukabumi “Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan Desa Berbasiskan

Kemitraan” (partnership-based rural governance reform) – selanjutnya disebut

studi-aksi – yang dilakukan pada sepanjang tanggal 28 Januari 2008 sampai

dengan 08 Janurai 2009 di Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten

Sukabumi dan di empat kedusunan (Sorog, Bojongkerta, Cilulumpang, dan

Sindangkerta) sebenarnya dapat dirumuskan sebagai berikut:

“seperti apa dan bagaimanakah format sistem tata pengaturan pemerintahan desa

(lokalitas) yang sistematis itu (boleh) diwujudkan, sehingga sebagai

3
“infrastrukturkelembagaan” lokal, organisasi pemerintahan desa menampilkan

karakter yang kokoh, kuat, dan mandiri (mampu menyelesaikan semua persoalan-

persoalan di tingkat lokalitas

tanpa banyak mengandalkan bantuan dari luar sistem), bermartabat

(keberadaannya diakui dan dibutuhkan oleh masyarakat, kredibel dan berwibawa),

kompeten (struktur organisasinya efektif dan efisien dalam menyelesaikan

berbagai pemasalahan), dan terpercaya (bersih dari sindroma Kolusi-Korupsi-dan-

Nepotisme/KKN, transparan, serta akuntabel).

Dengan karakter demikian, sistem pemerintahan desa menjadi

sistemkelembagaan yang andal dalam memelihara berjalannya tata-kehidupan

sosialkemasyarakatan di wilayahnya. Dengan demikian, pemerintah desa

(lokalitas) sebagai unit-pemerintahan, unit-birokrasi dan representasi negara di

suatu kawasan tampil menjadi kelembagaan yang efektif, efisien dan bersih dalam

memelihara berjalannya sistem sosial-kemasyarakatan serta proses transformasi

yang menyertainya.

Secara implisit, semua harapan-harapan itulah yang hendak dicapai oleh

pasal-pasal dalam Undang Undang (UU) tentang Pemerintahan Daerah no.

32/2004 terutama pada bagian yang secara khusus menyinggung ihwal

pemerintahan desa. Cita-cita di atas memang terasa muluk, terutama jika menilik

kondisi faktual kebanyakan kelembagaan pemerintahan desa saat ini yang berada

4
dalam situasi yang memprihatinkan secara organisasional maupun manajerial.

Sebagai unit birokrasi-pemerintahan, pemerintah desa menghadapi persoalan

keterbatasan daya-kreasi untuk menginisiasi gagasanpembaruan.

Sementara itu, sebagai unit pelayanan publik, pemerintahan desa

menghadapi keterbatasan kapasitas manajemen-administratif. Sebagai unit

representasinegara, pemerintahan desa menghadapi keterbatasan kemandirian

dalam pendanaan untuk memlihara eksistensi pemerintahan di suatu wilayah.

Bab terakhir buku berjudul “Pembaruan Tata-Pemerintahan Desa Berbasiskan

Lokalitas dan Kemitraan”, diterbitkan bersama antara PSP3IPB dan Partnership

for Governance Reform in Indonesia, 2006.

Kualitas pelayanan publik, administrasi-pemerintahan, efektivitas dalam

menjalankan kewenangan, kemampuan berinisiatif serta pembiayaan

pembangunan yang ditunjukkan oleh kebanyakan pemerintahan desa saat ini,

dipastikan 180 derajat berkebalikan dengan harapan dari semua pihak terutama

oleh UU no. 32/2004. Pemerintah desa sangat sulit diharapkan menjadi

“entrepreneur-unit” yang progresif dan mampu menjadi penghela perubahan

sebagaimana dituntut oleh gagasan “otonomi desa” (village-level autonomy) pada

UU no. 32/2004 dan Pertauran Pemerintah di bawahnya.

5
Fakta-fakta yang digali dan ditemukan oleh studi-aksi di lapangan (lihat

kembali isi working-paper series dari studi-aksi sebagaimana judulnya tercantum

pada rujukan) memang membuktikan hadirnya sejumlah fakta yang

memprihatinkan atas kinerja tatakelola pemerintahan desa tersebut. Alih-alih

menjadi mandiri, “wajah” organisasi pemerintahan desa justru diwarnai oleh

beberapa hal yang kurang menggembirakan, seperti: (1) derajat ketergantungan

struktural2 pemerintahan desa (lokalitas) terhadap otoritas pemerintahan “atas

desa” yang makin hari semakin menguat, terutama dalam hal pendanaan dan

inisiasi kreativitas terhadap ide-ide perubahan; (2) stok modal sosial (kepercayaan

publik pada kelembagaan pemerintah desa) yang terus menipis seiring dengan

“etika-moral-penyelenggara-pemerintahan” yang menampakkan ciri-ciri lamban,

tidak responsif, dan praktek pemerintahan yang masih belum transparan-

akuntabelbertanggung jawab (bad governance); serta (3) sistem manajemen dan

administrasi publik yang belum adaptif terhadap kebutuhan OTDA seperti

tegaknya efisiensi dan efektivitas dalam pengambilan keputusan. Ketiga persoalan

tersebut lebih banyak berlangsung pada “wilayah” struktur kelembagaan

pemerintahan desa, sehingga sebagai “unit-pemandu-perubahan”, jelas pemerintah

desa sulit memainkan peran sebagai institutional-entrepreneur bahkan pada

tuntutan yang paling minimal sekalipun.

Terdapat dua dampak siklikal atas terjadinya sindroma

“ketidakberfungsian” kelembagaan (institutionally less-functional) pemerintahan

6
desa yang perlu dicermati, terutama pada sisi human-actors (aparat dan warga

desa). Pertama, aparat desa dan warga desa umumnya menghadapi kemiskinan

dalam menggagas inisiatif-inisiatif (poor of initiative) perubahan (pembangunan)

yang bernas atau asli/otentik sesuai dengan potensi, persoalan serta kebutuhan di

tingkat lokalitas. Kemiskinan stok-gagasan tersebut telah menyebabkan dampak

bolak-balik terhadap kelembagaan pemerintahan desa berupa 2 Terminologi

“struktur” dalam hal ini, tidak saja menunjuk kepada pengertian “pola hubungan

sosial yang

terpola manakala individu-individu berinteraksi dalam sistem masyarakat yang

dibentuknya”, namun struktur juga telah dipahami sebagai “orientasi-tindakan-

dan-pemikiran” yang sedemikian tertanam dalam sistem sosial sehingga menjadi

platform dan kekuatan-pengatur (social-force) dalam hubungan sosial tertentu

(lihat Dolfsma and Verburg, 2005). Dalam konteks, pemerintahan desa yang

mengalami ketergantungan struktural dalam menjalankan fungsinya terhadap

pemerintahan “atas-desa”, maka dapat dipahami disini bahwa posisi

organisasional pemerintah desa telah terjebak dalam situasi dimana kelembagaan

pemerintah desa tidak pernah bisa melepaskan tindakan-tindakan yang

diputuskannya secara bebas dari “jeratan-orientasi” terhadap organisasi

pemerintahan pada hierarkhi-otoritas di atasnya, kecuali jika ada kekuatan

pembaharuan yang bisa membebaskannya dari jeratan tersebut. Artinya ada

“struktur sosial” dalam sistem tata-pengaturan atau tata-pemerintahan desa di

masa OTDA ini, yang membuat setiap unit organisasi administrasi pemerintahan

7
tidak mampu secara luwes menentukan sendiri keputusan-keputusan yang

diambilnya tanpa terdistorsi oleh “kepentingan dan pengaruh” pihak lain

(organisasi pemerintahan supra-desa). Dengan kondisi seperti ini, maka

kemandirian dan “otonomi desa” (dalam arti power-independency pemerintah

desa dari “kungkungan relasi-kekuasaan” yang mengikatnya), memang menjadi

sangat sulit dicapai dan ditegakkan.

Ketidakberdayaan untuk berperan sebagai “mesin perubahan sosial” (to

generate local social change). Kedua, aparat pemerintahan desa menghadapi

ketidakberdayaan dalam menggalang kekuatan lokal (terutama dalam membangun

aksi dan kesadaran kolektif) bagi perubahan sosial-ekonomi dan masyarakat

lokalitas secara mencukupi. Seringkali kelembagaan pemerintahan desa

menghadapi persoalan kekurangan stok modal-sosial yang diperlukan sebagai

“energi” (dalam bentuk trust dan jaringan sosial) bagi perubahan di aras

kolektivitas sosial desa. Aksi-reaksi bolak-balik antara sisi “agensi dan struktur”

tersebut telah menyebabkan tampilan keseluruhan tata-pemerintahan desa tidak

kondusif untuk menyambut era OTDA, terlebih dalam mengemban missi

kemandirian desa.

Organisasi pemerintahan desa yang menghadapi persoalan pada dua sisi

sekaligus yaitu institusi-organisasi pemerintahan dan human-actors, jelas sulit

untuk dapat mengembangkan diri menjadi pilar yang kuat dalam mereproduksi

8
tata-pemerintahan dan sistem sosial-kemasyarakatan yang kuat, mandiri dan

berwibawa. Hingga titik ini, baik human-actors maupun struktur pemerintahan

desa menjadi faktor penting yang menjelaskan keterbatasan tata-pemerintahan

desa3 dalam merespons tuntutan otonomi desa. Oleh karena itu, maka pada

komponen aksi kegiatan studi-aksi difokuskan pada upaya penguatan kedua aspek

tata-pemerintahan tersebut.

Dengan mengacu pada teori strukturasi pemerintahan desa yang

diturunkan dari pemikiran Giddens (1984), dapat ditunjukkan betapa hubungan

timbal-balik antara “agensi dan struktur” sangat mempengaruhi derajat kinerja

tata-pemerintahan desa yang ditampilkan ke hadapan masyarakat. Hasil-hasil

penelitian tim studi-aksi di Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten

Sukabumi, jelas menunjukkan betapa dalam banyak hal, organisasi pemerintahan

desa sulit mengembangkan diri menjadi “institutional entrepreneur” dikarenakan

kelemahan pada sisi human actors-nya. Kedua kawasan tersebut jelas menghadapi

persoalan serius berupa lack of “social-entrepreneurship” yang bertautan dengan

persoalan psikologi-konflik, ketidakpercayaan, serta kekacauan suasana makro

sosial yang melingkupinya. Secara keseluruhan, pemerintahan desa tidak mampu

memberikan inspirasi bagi keseluruhan sistem sosial di kawasan mikro-desa untuk

berubah ke arah kemajuan (lihat Kolopaking, 2006). Dari titik ini, harapan

terbentuknya otonomi desa sebagaimana diamanatkan oleh UU no. 32/2004

dipastikan sangat sulit dicapai, kecuali jika sejumlah kekuatan eksternal dapat

9
dialirkan untuk memperbaiki kedua sisi (institusi dan human agency) tersebut

(lihat Nasdian, 2006).

Dalam membahas the dynamics of institutional survival, Giddens berpijak

pada theory of structuration, yang dikembangkannya dimana free-agent (setiap

manusia atau pelaku) dalam bertindak selalu memproduksi pola-kelakuan (social-

practices and institution) tertentu yang konform-sesamanya sedemikian sehingga

selanjutnya pola tersebut terinternalisasi menjadi structural constraints yang

membatasi kelakuan yang akan direproduksi selanjutnya (lihat Giddens, 1984 dan

Wallace and Wolf, 1999). Analog dengan teori strukturasi dari Giddens tersebut,

maka “wajah” organisasi pemerintahan desa sesungguhnya merepresentasikan

proses interaksi pola formed-and-reformed of action secara bolakbalik (recursive)

yang “tak berkesudahan” antara dua entitas yang saling tidak terpisahkan yaitu

”human actors” (aparat desa dan individu warga desa) di satu sisi dengan

“organisasi pemerintahan desa” sebagai struktur yang dibentuk oleh masyarakat

warga-desa untuk memfasilitasi pemenuhan kebutuhan pelayanan publik di

tingkat desa, di sisi yang lain. “Wajah” atau kinerja organisasi pemerintahan desa

sangat dipengaruhi oleh kualitas manusia yang membentuk dan memeliharanya

dan begitu pula sebaliknya kinerja kelembagaan pemerintahan desa akan

mempengaruhi kualitas tindakan manusianya dan sebaliknya. Sehingga logis jika

pembaruan tata-pemerintahan desa, sepantasnya dimulai dari kedua sisi tersebut

secara serentak tanpa meninggalkan sisi yang lainnya sebagai prioritas kedua.

10
Ketrikatan dua sisi yang mempengaruhi kinerja tata-pemerintahan desa.

Interaksi Struktur dan Agensi Tata-Pemerintahan Desa Bojongkerta itu, pada

kasus Tata-Pemerintahan Desa Bojongkerta yang telah memiliki “tradisi

pemerintahan adat” yang sangat terjaga dengan baik (konsep “nagari” di Tata-

Pemerintahan Desa Bojongkerta dan “desa adat-pakraman” ), telah

menghantarkan kawasan tersebut ke tataran yang tidak banyak menghadapi

persoalan dengan operasionalisasi tatapemerintahan lokalitas. Artinya, dua

kawasan siap mengimplementasikan otonomi desa dan menyongsong kemandirian

secara memadai. Di desa tersebut, telah terdapat mekanisme kelembagaan yang

ditopang oleh semangat institutional entrepreneurship dan social-

entrepreneurship secara memadai bagi pemerintahan yang mandiri (lihat

Kolopaking, 2006). Sementara kasus-kasus di Jawa Barat menampilkan

kelemahan justru pada sisi kelembagaannya, sementara itu pada waktu yang

bersamaan sisi human-actornya sebenarnya memiliki potensi yang memadai.

Dengan meninjau kembali working paper series dari studi-aksi partnership-based

rural governance reform terutama dari Amanah, 2006; Dharmawan, 2006;

Dharmawan dan Putri, 2006; Nurrochmat dan Purwandari, 2006; Sunito dan

Purwandari, 2006, Suharno, 2006 dan Nasdian, 2006, maka “peta kekuatan” dua

sisi struktur pemerintahan desa. Kapasitas potensial human actors sebagai

“social-entrepreneur” (agensi-perubahan) di tingkat desa Kapasitas potensial

organisasi pemerintahan desa sebagai “institutional-entrepreneur. Struktur dalam

11
tata-pemerintahan Agency dalam tata-pemerintahan Social entrepreneurship

Kinerja Struktur Organisasi dan Agensi Pemerintahan Desa Kapasitas potensial

human-actors di Tata-Pemerintahan Desa Bojongkerta sesungguhnya telah

memadai untuk menyambut otonomi desa. Hal tersebut ditandai oleh kapasitas

aparat desa dan warga untuk berinisiatif terhadap perubahan. Derajat pengetahuan

serta work-ability dalam manajemen organisasi pun cukup terlatih serta didukung

oleh etika moral “partsisipasi-warga” yang mendukung terhadap perubahan.

Persoalannya, kekuatan yang diharapkan hadir dari strukturkelembagaan desa

untuk menstimulasi human-actors agar berperan aktif sebagai agensi penggerak

pembaruan seringkali mengalami kekosongan secara signifikan. Kenyataan ini

berlangsung terutama di Jawa Barat, dimana “kelembagaan” seringkali justru

menetralisir inisiatif dari warga-masyarakat. Persoalan keterbatasan kapasitas

entrepreneurial dari kepemimpinan-formal desa memberikan penjelasan yang

sangat berarti dalam hal ini. Jebakan ketergantungan terhadap pemerintahan

supra-desa yang dialami oleh pemerintahan desa menjadi faktor penjelas

mengapa inisiatif lokal sulit ditumbuhkan, pada kondisi kelembagaan yang

sebenarnya cukup mantap. Fakta ini ditemukan di salah satu desa di Jawa Barat.

Sementara itu, self-propelling for rural change mechanism yang cukup memadai

telah ditunjukkan oleh pemerintahan lokalitas di Tata-Pemerintahan Desa

Bojongkerta. Meski terdapat variasi kemantapan kelembagaan dan sisi

manusianya, kedua provinsi dapat dianggap mewakili kawasan paling siap bagi

otonomi desa. Pada desa lainya, yaitu Tata-Pemerintahan Desa Bojongkerta ,

12
otonomi desa sangat sulit dijalankan. Kedua kawasan mengalami persoalan yang

sangat-serius di kedua sisi strukturasi, baik kelembagaan maupun human-actors-

nya. Untuk melakukan pembaruan tata-pemerintahan desa sesuai cita-cita otonomi

desa di Tata-Pemerintahan Desa Bojongkerta, pertanyaannya kemudian adalah:

melalui mekanisme apa dan seberapa besar “energi sebagai stimulan perubahan”

boleh disalurkan ke setiap desa yang ada di kawasan itu? Mungkinkah

pemerintahan desa akan berkembang (atau dikembangkan menjadi) lembaga yang

memiliki kapasitas “institutional entrepreneurship” secara memadai di atas

realitas sosial yang lekat dengan persoalan trauma psikologis konflik sosial yang

mendalam? Strategi apa yang boleh dijalankan untuk menginisiasi program-

pembaruan melalui rasionalitas modernisme yang sangat berbeda dengan cara-

pandang komunitas lokal ? Langkah prioritas apakah yang perlu dikembangkan di

kawasan-kawasan dengan ciri dinamika interaksional antara “struktur-agensi”

yang khas di setiap wilayah desa di kawasan itu? Dari tantangan persoalan

otonomi desa di atas, sangat jelas bahwa studi-aksi ini dijalankan dengan sasaran-

tajam pada dua bidang yang strategik. Namun, demikian variasi penekanan

terhadap dua sisi-intervensi pun harus dipertimbangkan dengan baik. Kedua

intervensi itu, pertama adalah “rekonstruksi dan pengembangan kapasitas struktur

atau kelembagaan-kelembagaan pemerintahan desa”. Arah rekonstruksinya jelas

pada penguatan kapasitas struktur kelembagaan pemerintahan desa agar memiliki

cukup “energi” sebagai wahana perubahan desa. Kedua, perbaikan atau

perbesaran kapasitas kapabilitas entrepreneurial dan manjerial manusia yang

13
berperan sebagai agency di balik bekerjanya sistem kekuasaan, administrasi,

manajemen serta pengawasan pemerintahan desa. Nasdian (2006), mengambil

contoh kasus Tata-Pemerintahan Desa Bojongkerta bahkan menyarankan perlunya

transformasi ethical pada “wilayah agensi” tata-pemerintahan ini. Pergeseran

moral itu sepantasnya mampu menggeser sifat manusia yang bercirikan “etika-

apatisme” dan “fatalisme-pasrah” serta “safety-first” kepada etika yang lebih

kondusif pada kemajuan. Sementara itu, beberapa supporting system juga

diperkuat untuk memberikan “iklim kondusif” bagi pemerintahan desa untuk

bergerak maju. Di Tata-Pemerintahan Desa Bojongkerta, perasaan selfconfidence

dan trust antar warga perlu ditumbuhkan kembali. Sementara itu, kemitraan

digunakan sebagai mainstream untuk mendekati setiap persoalan yang hendak

dipecahkan di manapun lokalitas ditemukan. Kolopaking (2006) menyebutkannya

tatapemerintahan desa yang otonom dan mandiri perlu memuat ciri-ciri

“perancangan program pelayanan kolaboratif berbasiskan konsensus dan

komitmen multi-pihak”. Pendekatan partisipatif-kolaboratif dalam penguatan

kapasitas struktur-dan-agensi boleh diimplementasikan di lapangan, karena

dianggap sebagai derivat-utama dari prinsip kemitraan yang dianggap relevan

dalam bangun tata-pemerintahan yang diliputi oleh suasana makro-sosial konflik

dan less-coordinated system. Secara teoritis, langkah pendekatan studi-aksi di

atas, diambil dengan memperhatikan dasar-asumsi sebagaimana dijelaskan oleh

teori “growth machine theory” (lihat Putri dan Dharmawan, 2006). Menurut teori

tersebut, bilamana “local administrative and political structure” dapat dibenahi

14
dan direkonstruksi dengan baik, sementara itu setiap potensikekuatan sumberdaya

manusia (human-actors) dapat digalang via kebersamaan serta reduksi derajat

konflik-sosialnya dinetralisasi melalui konsep jejaring yang kuat, maka

kemandirian desa (baca: otonomi desa/lokalitas) akan terwujudkan. Lebih

daripada itu, kemandirian desa selanjutnya mampu menggerakkan perkembangan

daerah (regional growth) secara bertanggungjawab baik secara sosial, ekonomi

maupun ekologikal. Artinya, otonomi desa benar-benar menjadi prasyarat

terselenggaranya sebuah tatakehidupan sosial-kemasyarakatan yang lebih baik.

Dengan kata lain, baik otonomi desa ataupun kemandirian desa sangat ditentukan

oleh kualitas struktur dan agensi dalam tatapemerintahannya yang bercirikan

“agen perubahan sosial mandiri” (social-institutional entrepreneur). Adalah tugas

studi-aksi ini (terutama pada sisi “aksi”) untuk merumuskan secara konstruktif

berbagai bentuk intervensi pada sisi struktur-dan-agensi demi mencapai tata-

pemerintahan atau tata-pengaturan desa (lokalitas) yang baik (rincian aksi bisa

dilihat pada Lampiran pada Bab ini).

Persoalan Konflik-Otoritas dan Formasi Jaringan Kerjasama

Selain persoalan pada tataran “struktur-dan-agensi” yang dihadapi oleh tata-

pemerintahan desa, terdapat realitas sosio-budaya yang tidak bisa dinafikan

keberadaannya. Persoalan tersebut adalah, konflik-konflik dalam olah-kekuasaan

dan otoritas yang telah berlangsung lama dan ekstensif di lokalitas studi-aksi.

Konflik sosial horisontal yang berlangsung antar organisasi sosial pemerintahan

15
telah menambah kompleksitas persoalan rural-governance dalam era OTDA.

Benturan frontal antara sistem tata-pemerintahan “desa formal” (sesuai konsep

desa dalam UU no. 32/2004) versus sistem tata-pengaturan adat di Indonesia

terutam berlangsung dalam persoalan pengelolaan sumberdaya alam dan

pengaturan kehidupan publik (lihat Dharmawan, 2006 juga Sunito dan

Purwandari, 2006).

Sebagaimana diketahui dalam tata-pemerintahan lokalitas, telah sejak lama

ditengarai kehadiran “local governing institution” asli yang eksistensinya sangat

legitimate karena legalitas-fungsionalnya memiliki basis yang sangat kuat pada

struktur sosial tradisi dan ditopang oleh sistem norma-adat yang berlaku pada

komunitas lokal. Konflik otoritas kelembagaan (institutional conflict) dimulai,

manakala kedua sistem (”formal” versus ”lokal”) mengklaim wilayah otoritas

dalam urusan pemerintahan pada ruang-publik dan kawasan-spasial yang sama

(overlapping). Biasanya, kekuasaan adat lebih diterima oleh warga lokalitas,

karena kehadirannya terjadi bersamaan dengan kelahiran dari komunitas

lokal di kawasan tersebut.

Konflik-eksistensial antara sistem tata pemerintahan adat melawan sistem

tata pemerintahan formal, adalah fakta yang harus diperhitungkan dengan cermat

dalam proses transformasi tata-pemerintahan desa menuju otonomi desa ala

OTDA. Hal itu dikarenakan adanya overlapping sistemik dalam olah-kewenangan

terhadap suatu urusan.

16
Benturan kepentingan antara dua sistem tata-pengaturan dalam urusan

pemerintahan dapat berdampak pada munculnya inefisiensi, inefektivitas dan

kekacauan organisasi pengaturan, yang akan diderita oleh keseluruhan tatanan

pemerintahan lokal. Realitas konflik-kelembagaan ini dapat ditemukan hampir di

seluruh pelosok desa (lokalitas) kawasan studi-aksi, dengan kekecualian Jawa

Barat dan Bali (lihat kajian atas konflikkonflik kelembagaan pemerintahan desa

dalam tulisan Dharmawan, 2006, Sunito dan Purwandari, 2006, juga Nurrochmat

dan Purwandari, 2006).

Konflik-konflik dalam tata-pengaturan sumberdaya alam (sumber-sumber agraria)

merupakan fenomena konflik-kelembagaan yang khas ditemukan terutama di

desa-desa dengan tradisi pengaturan adat yang sangat kuat. Dalam hal ini,

otonomi desa menurut perspektif agraria diwarnai oleh fenomena perebutan dan

konflik akses terhadap sumbersumber agraria secara chaotic. Bila hal ini tidak

diantisipasi dengan baik, konflik agraria bahkan dapat berpotensi merusak

keseluruhan bangun integrasi sosial masyarakat desa.

Dalam hal ini kawasan di Tata-Pemerintahan Desa Bojongkerta mendapat

perhatian terpenting.

Seringkali, desa formal tidak dapat berbuat banyak atas sumberdaya alam yang

ada di wilayahnya, karena kekuasaan tertinggi untuk memutuskan pemanfaatan-

dan-konservasi sumber-sumber agraria di kawasan itu bukan berada di tangan

pemerintahan desa formal.

17
Masih, konflik sosial makin kompleks jika memperhitungkan persoalan

kesenjangan ekonomi antar warga. Disparitas ekonomi yang tajam dialami oleh

komunitas lokal seperti di Tata-Pemerintahan Desa Bojongkerta. Fenomena ini

berpotensi besar untuk memperparah konflik horisontal atas penguasaan akses

material (tanah) di desa-desa atau lokalitas (lihat Indaryanti, 2006).

Sunito dan Purwandari (2006) serta Sundawati dan Trison (2006) menandai proses

otonomi desa dari perspektif tata-kelola sumber-sumber agraria dan keterlibatan

kelembagaan di dalamnya. Dari analisis mereka, disimpulkan bahwa kasus Tata-

Pemerintahan Desa Bojongkerta mewakili lokalitas yang berusaha

mengembalikan fungsi kelembagaan adat di bawah otoritas ”Imeum Mukim”

secara kuat. Ketidakberfungsian desa formal di masa lalu, menghantarkan

romantisme peran Imeum Mukim untuk dihidupkan kembali.

Dalam reformasi tata-pengaturan sumberdaya alam di desa, kelembagaan yang

dilengkapi oleh sejumlah kelembagaan agraria lainnya, diharapkan mampu

mengatur distribusi akses terhadap sumber-sumber agraria secara lebih

berkeadilan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kelembagaan adat yang telah

ada dan secara tradisional mengatur tata-pemanfaatan sumber-sumber agraria

sejak lama, dipandang layak untuk meneruskan urusan publik di wilayah ini.

Persoalan menjadi sedikit kompleks, manakala persoalan dinamika kependudukan

diperhitungkan. Masuknya warga baru yang memerlukan lahan bagi kehidupan

sebagai konsekuensi kehidupan-publik yang menjunjung asas pluralisme

Indonesia, menyebabkan kesulitan tersendiri bagi kelembagaan adat dalam hal

18
pengaturan sumber-sumber agraria. Pemenuhan kebutuhan akan hak-hak privat

dalam penguasaan material (tanah) yang tidak diatur oleh adat, sebagai

keniscayaan nilai-nilai modernitas yang merasuki pikiran warga lokalitas, turut

merusak tatanan pengaturan kolektivitas-adat. Hingga tataran ini, ketaatan warga

pada hukum adat biasanya meluntur.

Kebutuhan untuk mendapatkan kepastian hak-hak privat atas tanah, menyebabkan

warga cenderung menengok peluang-peluang yang diatur oleh hukum formal.

Pada saat itulah, kehadiran pemerintah desa mendapatkan perhatian lebih besar

dari warga. Hal ini dikarenakan hukum formal berada di bawah otoritas

pemerintah desa formal.

Selanjutnya, kompetisi dan ketegangan kepentingan antara pemerintah desa

formal dan adat, sebagai konsekuensinya, menjadi ”harga sosial” yang tidak

terelakkan bagi keseluruhan sistem sosial lokal (lihat Gambar 3).

Derajat konflik antar kelembagaan (adat versus formal) atas pengaturan sumber-

sumber agraria lokal Derajat kerjasama antar kelembagaan (adat versus formal)

atas pengaturan sumber-sumber agraria lokal Provinsi dilakukannya studi-aksi.

Upaya untuk membawa ”aturan-aturan adat” ke wilayah ”yuridis-formal” (agar

sinergis dan kompatibel) tidak selamanya membawa hasil yang memuaskan.

Dalam analisis politik desentralisasi di wilayah tata-pengaturan sumberdaya alam,

Nurrochmat dan Purwandari (2006) menyadari betapa kehadiran rezim pengaturan

sumber-sumber agraria secara kolektif atau communal-property rights di Desa

Bojongkerta, yang lebih dominan telah mengantarkan kawasan-kawasan itu pada

19
konstelasi politik-lokal yang rumit, menegangkan dan problematik. Otoritas

formal harus senantiasa berhadaphadapan secara diametral vis a vis otoritas adat

dalam tata-pengaturan sumber-sumber agraria (tanah, air dan hutan). Dalam

kondisi demikian, kemandirian dan otonomi desa jelas terancam eksistensinya

oleh ”rongrongan konflik sosial” yang berkepanjangan (lihat juga Chalid, 2005).

Solusi pembaruan tata-pemerintahan desa dalam aspek agraria yang diwarnai oleh

fenomena konfliktual itu adalah ”penyesuaian adat” seraya memperhatikan

kehadiran tata-aturan formal. Pemikiran ini didasarkan pada asumsi bahwa secara

evolusional, komunitas adat mengalami pergeseran dimana makin hari makin

terbuka secara sosial.

Keterbukaan ini membawa konsekuensi besarnya peluang heterogenisasi kultur

dan struktur sosial lokalitas. Melihat fakta ini, maka ke depan, pengaturan adat

perlu memikirkan pola yang lebih terbuka terhadap masuknya ”aturan-aturan

baru” sebagai akibat meningkatnya derajat keberagaman sosial masyarakat.

Aturan-aturan baru tersebut sepantasnya lebih bersifat ”lintas adat” dan ”lintas

komunitas”, sehingga tampil lebih kontekstual, representatif dan realistis. Sunito

dan Purwandari (2006) menggagas upaya menguatkan peran adat lebih kepada

”pengawasan atas pemanfaatan sumberdaya alam”, bilamana memang otoritas-

adat tidak pada posisi men-disfigure (melemahkan) tatapengaturan agraria formal

sebagaimana yang dikehendaki oleh OTDA. Secara fungsional, kelembagaan adat

juga diarahkan menjadi semacam ”komisi ombudsman

20
agraria”, dimana komplain-komplain serta aspirasi warga atas pola pengelolaan,

konservasi serta pemanfaatan sumber-sumber agraria dapat ditampung dan

disalurkan secara baik ke lembaga-lembaga formal yang berkompeten. Sementara

itu bentuk-bentuk sinergitas tata-pengaturan adat dan tata-pengaturan formal

dalam pemanfaatan sumbersumber agraria lokal, sebagaimana telah berlangsung

dengan baik di Bali, sepantasnya tetap dipertahankan.

Pengelolaan administrasi dan kemitraan sebagai Ideologi dalam Tata-

Pemerintahan Desa

Cita-cita untuk mentransformasi kelembagaan pemerintahan desa ke arah yang

lebih “adapted to the changing (local and extra-local) socio-political

environment”, jelas tidak bisa dibendung dan memang mendesak untuk dilakukan

agar kompatibel dengan cita-cita OTDA. Karakter kelembagaan pemerintahan

desa (lokalitas) formal yang lebih adaptif terhadap cita-cita OTDA atau sesuai

Undang-Undang (UU) no. 32/2004 itu, bahkan telah merupakan sebuah

keniscayaan dan kebutuhan untuk menjadi prasyarat yang diperlukan (“necessary

condition”) demi berjalannya proses implementasi otonomi desa (village level

autonomy) di lapangan. Namun, juga ada kebutuhan agar proses transformasi

tatapemerintahan sepantasnya tetap memperhatikan potensi dan eksistensi

kelembagaan pemerintahan lokalitas (adat). Jika transformasi kelembagaan

pemerintahan desa harus menempuh jalan via pendekatan pemberdayaan

(empowerment approach), maka pemberdayaan kelembagaan pemerintahan desa

21
formal sepantasnya memilih opsi yang tidak berorientasi pada zero sum game

(mengeliminasi salah satu “aktor” di lapangan).

Melainkan, upaya pemberdayaan yang memberikan peluang kepada para-pihak

yang berbeda-beda corak kelembagaan dan kepentingan untuk berkolaborasi

secara partisipatif dalam mekanisme tata-pemerintahan yang bernafaskan

kemitraan (partnership).

Kemitraan dalam hal ini dimaknai tidak hanya sekedar “skema-skema kerjasama

yang terbangun dalam suasana kesetaraan dan keadilan serta distribusi hak dan

kewajiban yang proporsional”, namun bisa bermakna lebih luas daripada itu.

Konsep kemitraan menunjuk juga pada terbentuknya platform pengaturan

organisasional yang memungkinkan berjalannya proses-proses pertukaran

informasi dan pembagian tanggung jawab secara serasi atas suatu hal, dimana

keputusan politik-lokal diambil dan disepakati secara kolektif, di antara pihak-

pihak yang berbeda-beda afiliasi organisasi dan kepentingan di desa.

Konstruksi pemaknaan terhadap prinsip partnership seperti ini diambil bukan

tanpa alasan yang rasional. Pemaknaan tersebut didasarkan pada sebuah asumsi

penting yang diturunkan dari realitas faktual. Fakta tersebut adalah perbedaan-

pandangan dan kepentingan yang tajam dan cenderung menuju proses konflik

serta dekapitalisasi modal sosial yang memasuki tataran mengkhawatirkan bila

tidak dikelola dengan baik (lihat Huntington, 1996 dan Fukuyama, 2001). Sebagai

sebuah entitas sosial, jika pluralitas struktur dan kepentingan dalam tata-

pemerintahan desa telah diwarnai oleh kecamuk konflik serta ketidakpercayaan

22
(distrust) yang kronis, maka akibatnya adalah penurunan kualitas “strength and

power” pemerintahan desa dalam mengatur lokalitas itu sendiri.

Jika hal ini yang terjadi, maka desa tidak mungkin diharapkan menjadi unit-

otonomi lokal yang mandiri, kokoh, berwibawa dan menampilkan good and self-

maintained governance system.

Gejala seperti ini sebenarnya tidak khas dihadapi oleh (pedesaan) Indonesia saja

melainkan kecenderungan umum di negara yang sedang mengembangkan praktek

kehidupan demokrasi dimanapun. Namun apa yang terjadi di Indonesia, to some

extent, memiliki derajat kompleksitas yang relatif lebih rumit bila dibandingkan

dengan apa yang berlangsung di kawasan lain (bandingkan tulisan Weiss, 2000,

Ewalt, 2001 dan Moore, 2002). Sebagai kesatuan masyarakat, desa-desa di

Indonesia memiliki latar

belakang sosio-ekonomi-budaya dan setting ekologi yang beraneka-ragam, yang

menyebabkan perjuangan ke arah kemandirian tanpa konflik relatif lebih sulit

dicapai.

Terlebih lagi sejak era reformasi bergulir di tahun 1998, demokratisme sebagai

ideologi pengaturan masyarakat telah memberikan ruang yang memungkinkan

setiap individu mengekspresikan kebebasannya dalam mencapai tujuan secara

berlebihan. Sejalan dengan itu, semangat-semangat komunalisme (solidaritas

sempit yang didasarkan pada kesamaan identitas, ideologi, atau atribut sosial

secara berlebihan) justru menguat secara dramatis. Kebebasan yang berlebihan

dan ideologi komunalisme tersebut seterusnya akan menyebabkan ruang ko-

23
eksistensi antara satu dengan kelompok lain menyempit (lihat Buckles and

Chavalier, 1999). Ketidakpercayaan antar individu dan konflik antar kolektivitas

berpotensi meluas, selama tidak ada sistem pengaturan lokal yang dapat

menjadi basis kehidupan sosial-kemasyarakatan lokal.

Desa juga berpotensi menjadi kawasan yang diwarnai oleh gejala distrust society

yang rentan konflik dan pertikaian sosial terus terbentuk. Pada titik inilah

disintegrasi sosial menjadi ancaman yang nyata (lihat tulisan Huntington, 1996

pada sub-bab tentang “the problem of democracy” di dunia ketiga). Pelajaran atas

praktek demokrasi memang telah ditunjukkan oleh Huntington (1996) yang

mengatakan bahwa proses demokratisasi di

negara sedang berkembang bisa menghasilkan sikap antidemocratic dan memicu

formation of authoritarian democracy.

Asumsi-asumsi adanya pluralisme, demokratisme, dan upaya mengurangi tekanan

komunalisme yang memicu disintegrasi sosial itulah yang menjadikan prinsip

kemitraan relevan untuk dijadikan platform-ideologi bagi pengaturan

pemerintahan dan masyarakat dalam studi-aksi. Prinsip kemitraan yang

ditumbuhkan melalui program-program studiaksi akan menjadi “ideologi

bersama” yang memberikan solusi pengaturan pemerintahan dan kehidupan

kemasyarakatan desa lebih baik. Selain itu, pola kemitraan dalam kelembagaan

pemerintahan akan menjadi modal sosial pengaturan masyarakat karena prinsip

“assistance relationship between people” yang melandasinya, memungkinkan

para-pihak dengan kepentingan dan ideologi berbeda-beda untuk saling bahu-

24
membahu dalam mewujudkan “ruang-bersama” bagi kesejahteraan sosial yang

lebih baik.

Melalui kemitraan, akumulasi stok modal sosial bisa ditingkatkan sehingga

disintegrasi sosial dapat ditekan. Kemitraan menawarkan kebersamaan berbasis

perbedaan, dimana pertukaran yang adil (just and humane exchange) menjadi

instrumen perekat dari keseluruhan sistem sosial (lihat Coleman, 1988 dan Willer,

1998). Dengan kerangka pemikiran seperti ini, maka apapun konsekuensi yang

timbul akibat suatu keputusan atau peraturan yang dihasilkan melalui proses-

proses yang telah dilakukan melalui pendekatan partisipatoris via pelibatan antar-

pihak bermitra, kelak menjadi tanggung jawab bersamasama.

Dengan demikian, derajat insiden disintegrasi sosial yang melibatkan perpecahan

antar-struktur dan antar-individu (agensi) dapat ditekan, sementara jejaring-soal

dalam sistem sosial-kemasyarakat dapat disemaikan lebih baik.

2.2 Implementasi Pengelolaan administrasi dan Kemitraan dalam

Tata-Pemerintahan Desa

Aras Struktur Kelembagaan

Sistem tata-pengaturan desa (rural governance system) yang ditopang oleh

ideologi kemitraan mencakup semua aktivitas pengelolaan kegiatan

kepemerintahan (“pengaturan masyarakat”) yang berdampak luas pada kehidupan

komunitas lokal. Aspek-aspek penting tata-pengaturan desa yang direvitalisasi

25
melalui ideologi kemitraan itu mencakup berbagai aras pengaturan desa sebagai

unit pemerintahan dan pelayanan publik:

• Proses-proses konstruksi dan konseptualisasi peraturan-peraturan ataupun

konvensikonvensi lokal, yang mengikat secara hukum bagi publik (warga

masyarakat) lokal.

• Proses-proses eksekusi atau pengambilan keputusan atas suatu pokok

permasalahan menjadi sebuah kebijakan publik yang mengikat.

• Proses implementasi dan pengawalan atas penyelenggaraan suatu

peraturan yang telah diputuskan dan menjadi kesepakatan bersama dalam

masyarakat.

• Proses pemeliharaan dan operasionalisasi jalannya peraturan yang telah

disepakati.

• Proses evaluasi dan peninjauan kembali peraturan dan konvensi-konvensi

yang dihasilkan.

Dengan mengacu pada asumsi-asumsi dasar implementasi kemitraan sebagaimana

dibahas pada sub-bab terdahulu, maka studi-aksi partnership-based rural

governance reform berupaya mendekatkan gagasan ideal dengan realitas sosial

yang dijumpai di lima provinsi yang menjadi perhatiannya. Sesuai dengan hasil

studi-aksi pada aras ”kelembagaan (struktur) pemerintahan desa”, disimpulkan

bahwa reformasi tatapengaturan pemerintahan seyogianya dilakukan secara

bertahap-adaptif menyesuaikan kekhasan struktur sosial dan karakter budaya

lokal. Sekalipun demikian, ada beberapa hal penting yang dapat mempercepat

26
proses transformasi tata-pemerintahan desa ke arah otonomi, yaitu: (1) tata-

pemerintahan desa yang baik sangat tergantung pada kesiapan dan kemauan

komunitas desa untuk menerapkan gagasan kemitraan itu sendiri; (2)

tatapemerintahan desa berpola kemitraan akan berjalan efektif, jika pemerintah di

aras kabupaten dan pusat memberi tempat dan membangun kerjasama dan

komunikasi secara lintas-batas birokrasi ”beyond system of government”

(melepaskan diri dari kekakuan birokrasi), (3) dalam penguatan sumber-sumber

keuangan desa, diperlukan kemauan, dan kemampuan lembaga bisnis swasta

untuk ikut serta dalam kemitraan, serta (4) ada prakarsa untuk membangun sistem

pengawasan sosial yang melengkapi sistem tatapemerintahan berbasis kemitraan

(lihat Kolopaking, 2006). Selain itu, dalam struktur kelembagaan pemerintahan

desa yang reformatif diprlukan koridor-koridor komunikasi

(komunikasi administratif) yang memungkinkan berjalannya proses politik

diskursif yang juga mengapresiasi komunikasi refleksif dan leluasa (lihat Amanah,

2006). Pola tatapemerintahan desa berbasis dan berpola kemitraan yang

dikembangkan oleh studi-aksi sebagaimana gagasannya disemaikan di provinsi

kasus dikembangkan selaras dengan karakteristik sosio-budaya lokal. Di Papua,

dikembangkan pola kemitraan yang melibatkan tiga pihak berbeda kepentingan

dan ideologi, yaitu: (1) pemerintah kampung (desa), (2) ondoafi (ketua adat), dan

(3) gereja atau kelembagaan keagamaan.

27
Dengan pola yang serupa, studi-aksi juga mengembangkan pola pemerintahan

desa untuk daerah Minangkabau di Sumatera Barat, dengan mengintegrasikan tiga

pihak pemangkukepentingan.

Tata-pengaturan desa diselenggarakan dengan berbasiskan pada identitas

budaya lokal. Ketiga pihak tersebut adalah: (1) Wali Nagari sebagai pucuk

pimpinan dari pemerintahan nagari (pemerintah desa), (2) Kerapatan Adat Nagari

dan institusi derivatnya yang berintikan pada keanggotaan para penghulu adat atau

para ninik-mamak, (3) Lembaga bisnis swasta yang memiliki jaringan ekonomi

secara memadai di desa/nagari.

Di provinsi NAD, terlibat tiga pihak yaitu: (1) Pemerintah gampong yang diketuai

oleh keuchik, (2) Imeum mukim yang secara adat memiliki “hierarkhi-kekuasaan

atas wilayah pemangkuan adat”, yang seringkali posisi kekuasaanya lebih tinggi

daripada keuchik, (3) institusi swasta yang memiliki jaringan ekonomi ke desa

dan mampu menghela pertumbuhan ekonomi desa. Sementara itu, Jawa Barat pun

menggambarkan pola yang sama, dimana tiga pihak dipersatukan dalam satu tata-

pemerintahan kemitraan, yaitu: (1) Pemerintah desa dengan semua unsur

organisasi dan aparatnya, (2) Lembaga keagamaan (Islam) sebagai representasi

masyarakat lokalitas, (3) organisasi-organisasi masyarakat sipil seperti organisasi

kepemudaan, wanita dan masyarakat bisnis. Di Bali, sinergitas tiga pihak juga

berlangsung dengan pola sama, yaitu: (1) pemerintah desa adat-pakraman, (2)

pemerintah desa-dinas, dan (3) lembaga bisnis-swasta.

28
Penguatan Agensi Pemerintahan Desa

Penguatan sisi agensi pemerintahan desa untuk mengantisipasi ”luapan” tugas

kepemerintahan yang sangat membebani desa sebagai unit-pemerintahan akibat

otonomi desa, harus dilakukan secara antisipatif. Dengan memperhatikan luasnya

spektrum tugas aparat pemerintahan desa dan tugas sosial-kemasyarakatan yang

diemban unsur fungsional pemerintahan desa, maka area intervensi kegiatan aksi

pada sisi agensi menjadi cukup luas. Namun demikian, perhatian tetap mengacu

pada pokok-pokok yang digariskan oleh UU no. 32/2004 sebagai berikut:

• Pasal 202-203 tentang: tata-pengaturan pembentukan kelembagaan

pemerintah desa, yang memberikan kekuasaan masyarakat lokal lebih

leluasa dalam implementasi pelaksanaan otonomi administrasi

pemerintahan sesuai semangat demokrasi. Hal ini studi-aksi diarahkan

pada penguatan kapasitas skill dan ability aparatpemerintahan desa agar

memiliki kemampuan pengelolaan organisasional mandiri.

• Pasal 206-208 tentang: pengaturan urusan-urusan administrasi

pemerintahan desa, baik yang berasal dari asal-usul desa, tugas

pembantuan dari pemerintah pada hierarkhi “atas desa” hingga pembatuan

tugas pada pemerintah Pusat. Dalam hal ini dilakukan penguatan

penguasaan tata-kelola administrasi pemerintahan kepada aparat desa dan

fungsional kelembagaan desa.

29
• Pasal 209-211 tentang: pengaturan kelembagaan legislatif dalam tata-

pemerintahan desa dan kelembagaan lain penopang sistem tata-

pemerintahan desa. Dalam hal ini, aksi diarahkan pada pendidikan

keorganisasian aparat pemerintah desa agar mampu mengantisipasi

perkembangan-perkembangan di masa depan, sehingga pada gilirannya

mampu mengembangkan sistem kelembagaan pemerintahan yang adaptif

dengan perkembangan jaman.

• Pasal 212-213 tentang: peluang bagi desa untuk memberdayakan kekuatan

pendanaan yang berasal dari sumber-sumber keuangan lokal asli. Titik

berat aksi adalah pada pemberdayaan individu (warga masyarakat) yang

diproyeksikan kelak akan memiliki kemampuan untuk berperan penting

sebagai aktivator kegiatan perekonomian desa.

• Pasal 214-215 tentang: peluang-peluang kerjasama antar kelembagaan dan

antar kawasan yang dapat dimanfaatkan dan melibatkan desa, demi

pencapaian kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat lokal. Untuk

menopang kerjasama kelembagaan, maka pengembangan struktur

kemitraan dan jaringan menjadi sangat penting. Kata-kunci keberhasilan

jaringan-kemitraan tetap pada sumberdaya manusianya. Oleh karena itu

maka, masuk-akal jika pengembangan kepemimpinan desa menjadi salah

satu perhatian dari aksi di wilayah ini. Pengembangan agensi

pemerintahan desa dikonstruksi sedemikian rupa sehingga bersama-sama

dengan struktur-kelembagaan pemerintahan, keduanya mampu menopang

30
tata-pemerintahan desa yang mandiri. Berlandaskan pada kekuatan

struktur dan agensi, maka dapat dikembangkan tata-pemerintahan desa

yang baik, yang pada gilirannya akan menjadi prasyarat terbentuknya

otonomi dan kemandirian desa.

Tahapan Kemandirian

Dari pola yang dikembangkan di lima provinsi, maka tim studi-aksi telah

menjawab secara spesifik beberapa persoalan dalam tata-pengaturan pemerintahan

desa, yaitu:

• Perkuatan kapasitas dan fungsi sistem kelembagaan pemerintahan desa

yang memperhatian struktur dan kapasitas sumberdaya manusia di tingkat

lokalitas.

• Pengembangan pola-pola partnership-based rural administrative

management and rural governance system di aras lokal yang

berorientasikan pada pendekatan partisipasi. Dari aras ini, diharapkan

rural governance mechanism akan membaik, sehingga menjamin

pencapaian kemandirian-dan-otonomi desa di masa OTDA.

• Pengintegrasian para pihak dalam suatu pendekatan pengelolaan tata-

pemerintahan desa yang demokratis dan berlandaskan pada prinsip

solidaritas serta kemitraan.

31
Dengan prinsip-prinsip ini, tata-pemerintahan desa tidak hanya ditentukan

oleh kepentingan sepihak, top-down, dan jauh dari praktek-praktek intransparansi,

lessaccountable,

serta injustice. Dengan demikian, otonomi desa (village level autonomy)

sebagaimana cita-citanya disiratkan dalam UU no 32/2004 samasekali tidak boleh

diartikan sebagai “keadaan untuk melepaskan kekuasaan desa secara 100 persen

merdeka” (totally independent) dari kekuasaan di atasnya (negara). Hasil studi-

aksi justru menunjukkan bahwa pola hubungan interdependensial antara lokalitas

desa dan supra-desa tetap diperlukan.

Persoalannya, adalah, hubungan tersebut berlangsung dalam relasi

kekuasaan, kewenangan, keuangan serta sosio-psikologis yang sangat timpang,

dimana pemerintah desa sebagai unit-pemerintahan dan unit-negara

termarjinalkan posisinya. Dalam struktur hubungan yang demikian, pemerintahan

desa tidak akan mampu mengatur dan mengembangkan diri secara memadai

bersama-sama dengan keseluruhan entitasnya.

Bahkan, desa menjadi sangat tergantung pada struktur kelembagaan pada

hierarkhi di atasnya dalam hal pendanaan dan inisiatif pembangunan. Hasil studi-

aksi berkeyakinan bahwa, otonomi desa akan berjalan dengan baik melalui cara

yang lebih moderat dan didekati secara bertahap-tahap. Pada tahap pertama,

otonomi didorong melalui upaya yang berfokus pada pengkondisian kelembagaan

dan sumberdaya manusia yang menangani pemerintahan desa untuk mampu

mengurus, mengatur, mengorganisasikan, mengevaluasi serta mengawasi dirinya

32
sendiri. Akumulasi modal sosial lokal berupa pola-pengaturan serta norma-aturan

berbasis lokal dan sah menjadi sumberdaya-kultural penopang otonomi desa yang

sangat berarti. Artinya, pada tahap pertama akan diciptakan otonomi desa yang

lebih dipahami sebagai kemandirian fungsional (menjalankan fungsi-fungsi) dan

bukan “kemerdekaan dalam relasi kekuasaan pemerintahan”. Beranjak dari proses

conditioning di tahap pertama ini, upaya otonomisasi desa dilanjutkan ke arah

tahap pematangan (tahap kedua). Dalam hal ini, pemerintahan desa diharapkan

mampu menginisiasi “development-initiative” dan “selffinancing capacity” yang

memadai. Bila taraf ini dicapai maka pemerintahan desa memasuki tahapan

kemandirian ekspresional (kemandirian untuk berinisiatif dan mewujudkan suatu

inisiatif pembangunan). Jika kemandirian pada taraf ini telah dicapai, maka

dijalankan upaya-upaya ke arah kemandirian tahap ketiga, dimana pemerintah

desa mampu mengekspresikan eksistensi dirinya setelah terbebas dari

ketergantungan keuangan dan inisiatif-pembangunan sepenuhnya dari

kelembagaan pemerintahan supradesa.

Dengan “terbebasnya” desa dari kekuasaan pemerintahan supra-desa, maka

bargaining position pemerintah desa menjadi lebih besar vis a vis pemerintahan

supradesa.

Pada taraf ini dicapailah kemandirian eksistensial untuk mengatur

rumahtangga pemerintahan secara independent dan mampu melakukan negosiasi-

setara dengan kelembagaan pemerintahan supra-desa sekalipun. Pada tahap

33
terakhir inilah kemandirian dan otonomi pemerintahan desa dapat dicapai secara

mandiri dan hakiki. Namun demikian, hubungan dengan kelembagaan

pemerintahan supra-desa harus tetap dibina dalam bingkai Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI), sehingga betapapun “kuatnya” posisi pemerintahan

desa, namun keberadaan pemerintah desa tetaplah bersifat koordinatif-kooperatif

terhadap pemerintahan di aras supra-desa (kabupaten, provinsial, dan pusat).

Untuk mencapai cita-cita otonomi dan kemandirian desa itu, maka prinsip good-

rural governance yang dikembangkan di setiap tahapan perkembangan

pemerintahan desa dengan berlandaskan pada platform kemitraan menjadi

prasyarat utama dan terpenting. Hanya dengan cara demikianlah, maka upaya

untuk melakukan transformasi/pembaruan tata-pemerintahan desa dapat dicapai di

seluruh kawasan NKRI.

BAB III

34
PEMBAHASAN

3.1 ANALISIS PERMASALAHAN

Berdasarkan data yang ada, berikut penulis sajikan tabel data penduduk

berdasarkan jenis kelamin di Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara

Kabupaten Sukabumi:

Tabel 3.1
Data Luas Wilayah Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara
Kabupaten Sukabumi Berdasarkan Penggunaan

Luas Ha

Luas pemukinan 4,23

Luas perswahan 320

Luas perkebunan 430

Luas Kuburan 3,70

Luas Pekarangan 2,26

Perkantoran 0,16

Luas prasarana umum 220,05

Tanah Bengkok 3200

Sawah desa 0,32

Lapangan olahraga 1

Perkantoran pemerintah 0,16

Bangunan sekolah 10,30

Terminal 10,63
Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi

35
Sedangkan topografi Bojongkerta seperti tabel 3.2 berikut:

Tabel 3.2
Data Letak Topografi Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara
Kabupaten Sukabumi Berdasarkan Kawasan

Letak Ketarangan

Kawasan perkantoran Tidak

Kawasan pertokoan Tidak

Kawasan campuran Tidak

Kawasan indrustri Tidak

Kepulauan Tidak

Pantai Tidak

Kawasan hutan Tidak

Taman suaka Tidak

Kasawan wisata Tidak

Perbatasan dengan negara lain Tidak

Perbatasan dengan provinsi lain Tidak

Perbatasan dengan kabupaten lain Tidak

Perbatasan dengan kecamatan 980,40 Ha


Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi

Bila dilihat secara batas tanah, desa Bojongkerta memiliki perbatasan

seperti pada tabel 3.3 berikut:

Tabel 3. 3
Data Batas wilayah Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara
Kabupaten Sukabumi
36
Batas Desa Kecamatan

Utara Sukaharja dan Ubrug Warungkiara

Selatan Sukamaju Cikembar

Timur Cimanggu Cikembar

Barat Sirnajaya dan Warungkiara Warungkiara


Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi

Keadaan alam Desa Bojong Kerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten

Sukabumi pada umumnya masih terkesan asri. Hal ini terlihat belum terdapat

polusi udara. Wilayah Desa Bojong Kerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten

Sukabumi ini, dipenuhi dengan persawahan yang menghampar luas, sehingga

menjadikan desa ini sebagai daerah pertanian. Pengaruh dari keadaan alam yang

masih terjaga menjadikan suhu alam yang segar dan menyejukkan serta keadaan

tanah yang cukup subur seperti tabel 3.4 berikut:

Tabel 3.4
Data Suhu dan Curah Hujan Desa Bojongkerta
Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi

Sifat Keterangan

Curah hujan ...... mm

Jumlah bulan hujan 7 Bulan

Kelembapan …… ……

Suhu rata-rata 27oC – 28oC

Tinggi dari permukaan laut 270 mdl

37
Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi

Orbitasi dari Desa Bojongkerta diperlihatkan seperti tabel 3.5 berikut:

Tabel 3.5
Data Orbitasi desa Desa Bojongkerta
Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi

Sifat Keterangan

Jarak ke ibu kota kecamatan 5 Km

Lama tempuh ke ibu kota 0,25 jam


kecamatan dengan
kendaraan motor

Lama tempuh ke ibu kota 0,5 jam


kecamatan dengan berjalan
kaki

Jarak ke kota kabupaten 36 K

Waktu tempuh ke ibu kota 1 jam


kabupaten dengan kendaraan
motor

Waktu tempuh ke ibu kota 10 jam


kabupaten dengan berjalan
kaki

Jarak tempuh ke ibu kota 120 Km


provinsi dengan kendaraan
motor

waktu tempuh ke ibu kota 3 Jam


provinsi dengan kendaraan
motor

waktu tempuh ke kota 40 Jam


provinsi dengan jalan kaki
Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi
38
Penduduk Desa Bojong Kerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten

Sukabumi sebagian besar adalah penduduk asli yang berjumlah sekitar 7843 Jiwa

yang memiliki kepadatan penduduk sekitar 125 per km2. Untuk lebih jelasnya

jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin, kepala keluarga, dan kepadatan

terlihat pada tabel 3.6 berikut:

Tabel 3.6
Data Keadaan penduduk Desa Bojongkerta
Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi

Keadaan Penduduk Keterangan

Jumlah laki-laki 3952 orang

Jumlah perempuan 3891 orang

Jumlah kepala keluarga 2168 orang

Kepadatan penduduk 125 per km


Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi

Penduduk Desa Bojongkerta sebagian besar memiliki mata pencaharian

sebagai petani, baik tanah sawah sendiri, tanh darat atau sebagai kuli atau buruh

tani untuk lebih jelasnya lihat pada tabel 3.7 berikut ini:

Tabel 3.7
Data Mata pencaharian penduduk Desa Bojongkerta
Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi

39
Mata Pencaharian Keterangan

Tanah sawah sendiri 567 orang

Tanah ladang sendiri 500 orang

Buruh Tani 584 orang


Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi

Angka angkatan kerja di Desa Bojongkerta bisa dibilang cukup tinggi,

seperti terlihat pada tabel 3.8 berikut:

Tabel 3.8
Data Tenaga Kerja Desa Bojongkerta
Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi

Tenaga Kerja Laki-laki Perempuan

18 – 56 th 2111 2068

18 – 56 th yang 1558 1440


bekerja

0 – 6 th 493 483

7 – 18 th 620 594
Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi

Ada beberapa hal yang perlu kita kaji terhadap keadaan penduduk di desa

Desa Bojong Kerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi diantaranya

kualitas angkatan kerja yang seperti pada tabel 3.9 berikut:

Tabel 3.9

40
Data Kualitas Angkatan Kerja Desa Bojongkerta
Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi

Angkatan Kerja Laki-laki Perempuan

18 – 56 th buta 7 8
aksara

18 – 56 th tidak 100 162


tamat SD

18 – 56 th tamat 1365 1261


SD

18 – 56 th tamat 1029 991


SLTP

18 – 56 th tamat 1149 1090


SLTA

18 – 56 th tamat 27 15
PT
Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi

Mayoritas mata pencaharian penduduk sebagai petani, baik petani di

ladang sawah ataupun ladang kering, seperti terlihat pada tabel 3.10 berikut:

Tabel 3.10
Data Pemilikan Lahan Pertanian Tanaman Pangan Desa Bojongkerta
Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi

Lahan Pertanian Keluarga

Jumlah keluarga memiliki lahan pertanian 1112

Memiliki kurang 1 Ha 667

Memiliki 1 – 5 Ha 325

41
Memiliki 5 – 10 Ha 120
Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi

Sektor ekonomi pendudukpun masih dikatakan menengah kebawah. Oleh

karena itu, tingkat perekonomian penduduk masih lemah seperti terlihat pada

tabel 3.11 berikut:

Tabel 3.11
Data Lembaga Perekonomian Desa Bojongkerta
Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi

Lembaga Jumlah Unit Jumlah Jumlah


Ekonomi Anggota Pengurus

Indrustri 17 82 -
makanan

Indrustri 12 112 -
material
bahan
bangunan

Jumlah usaha 3 3 3
toko

Usaha 3 - -
Peternakan

Pengolahan 2 5 14
Kayu

Group music 3 1 21

Pangkalan 2 - -
minyak tanah

Pengecer gas 15 2 15

Tukang kayu 50 2 100

Tukang batu 10 2 100

42
Tukang jahit 17 2 50

Tukang cukur 23 1 23

Tkang service 7 2 21

Tukang besi 9 1 27

Tukang gali 27 1 54
sumur

Tukang pijat 31 1 31
Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi

Tetapi dengan ekonomi keluarga yang kurang, tingkat pendidikan untuk

standar pedesaan sudah maju. Penduduk berupaya untuk menyekolahkan anaknya

supaya perekonomian keluarganya selangkah demi selangkah bisa meningkat.

Wilayah Desa Desa Bojong Kerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten

Sukabumi berpotensi sebagai areal pertanian dan perkebunan, menandakan

sebagian besar masyarakatnya hidup dari bertani. Selain Padi, banyak pula

tanaman yang lain diantaranya Pisang, Kelapa dan yang lainnya perlu terus

dikembangkan, seperti pada tabel 3.12 seperti berikut:

Tabel 3.12
Data Komoditas tanaman pertanian Desa Bojongkerta
Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi

Komoditas Luas Hasil(ton/ha)

Jagung 10 7,5

Kacang panjang 1 3

43
Padi sawah 200 8

Ubi kayu 10 17

Ubi jalar 1 12

Mentimum 2 20

Rambutan 10 5

Durian 10 1

Pisang 20 10

Nangka 2 10

Kunyit 1 2

Karet 370 100


Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi

Secara umum gambaran sosial masyarakat Desa Bojong Kerta Kecamatan

Warungkiara Kabupaten Sukabumi masih dibilang asri belum tersentuh

mederennya kota. Masyarakat desa Bojong Kerta masih memegang adat istiadat

desa yang suka gotong royong dan murah senyum selain itu di Desa bojongkerta

juga memiliki prasarana komunikasi dan informasi seperti tabel 3.13 berikut:

Tabel 3.13
Data Prasarana komunikasi dan informasi Desa Bojongkerta
Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi

Prasarana Keberadaan

Wartel 3 unit

Pelanggang telkom 17 org

44
Pelanggang GSM 1700 org

Pelanggang CDMA 100 org

Jumlah radio 1700 unit

Jumlah TV 1785 unit

Jumlah parabola 30 unit


Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi

Masyarakat Desa Bojong Kerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten

Sukabumi pada dasarnya memiliki kesadaran yang cukup tinggi terhadap

pendidikan, namun hal itu tidak didukung oleh sarana dan prasarana yang

memadai. Lembaga Pendidikan di Desa Bojongkerta terbagi menjadi 3 bagian

seperti pada tabel 3.14, 3.15, dan 3.16 berikut:

Tabel 3.14
Data Pendidikan Formal Desa Bojongkerta
Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi

Nama Jumlah Status Kepemilika Tenaga Jml


n pengajar siswa

Play 3 - - - -
Grp

TK - - - - -

SD 5 - Pemerintah 35 964

SLTP 1 - 15 70
Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi

Tabel 2.15

45
Data Pendidikan Formal Keagamaan Desa Bojongkerta
Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi

Nama Jumlah Status Kepemilika Jumlah Jumlah


terakredita n tenaga siswa
si pengajar

Raudhatu 9 Ya Ya 27 630
l Athfal

Ponpes 2 10 70
Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi

Bangunan sekolah yang ada pun perlu adanya renovasi dan penambahan

pembangunan lagi. Ada dua Sekolah Dasar Negeri yang kondisinya hampir sama

dimana ruangan kelasnyanya tidak memadai untuk menampung siswa, sehingga

siswa kelas tiga ruangannya disatukan dengan kelas tiga, bahkan ada siswa yang

kegiatan belajar mengajarnya yang di ruangan guru, hal ini jelas sangat

mengganggu keefektifan kegiatan belajar mengajar. Selain itu ruangan yang

kurang bersih dan berdebu karena lantainya yang belum di keramik. Kondisi meja

dan kursipun sangat memprihatinkan. Selain kondisi fisik sekoah yang

memprihatinkan, tenaga pengajar disana pun sangat minim.

Tingkat pendidikan di Bojongkerta dibilang sudah cukup tinggi, ini terlihat

dari jumlah lulusan SLTA baik Laki-laki maupun Perempuan cukup tinggi seperti

terlihat pada tabel 3.16 di bawah:

Tabel 3.16

46
Data Tingkat Pendidikan Desa Bojongkerta
Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi

Tingkat Pendidikan Laki-laki Perempuan

3 – 6 th yang belum masuk 215 285


TK

3 – 6 th yang sudah masuk 61 72


TK

7 – 18 th yang tidak pernah 1 7


masuk sekolah

18 – 56 th yang tidak pernah 7 8


sekolah

18 – 56 th pernah SD tetapi 100 162


tidak tamat

Tamat SD 1365 1261

Tamat SMP 1029 991

Tamat SMA 1147 1090

Tamat D-1 11 7

Tamat D-2 9 5

Tamat D-3 7 3
Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi

Berdasarkan data pada tabel analisis yang telah disajikan sebelumnya,

maka untuk memperjelas hasil analisis, penulis sajikan informasi berupa grafik

sebagai berikut:

47
Grafik 3.1 Luas Wilayah Desa
Bojongkerta Kecamatan Warungkiara
Kabupaten Sukabumi
Perkantoran

Perkantoran

Pemukiman
0 1 2 3 4 5

Hektar Are

Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten

Sukabumi

Grafik 3.2 Jarak Desa Bojongkerta ke


Tempat Pemerintahan

Provinsi

Kabupaten

Kecamatan

0 50 100 150

KM

Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten

Sukabumi

48
Grafik 3.3 Jumlah Penduduk Desa
Bojongkerta Berdasarkan Jenis Kelamin

Perempuan

Laki

3860 3880 3900 3920 3940 3960

SEX

Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten

Sukabumi

Grafik 3.4 Mata Pencaharian Penduduk


Desa Bojongkerta

Daratan

Sawah

460 480 500 520 540 560 580

Pertanian

Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten

Sukabumi

49
Grafik 3.5 Tenaga Kerja Berdasarkan
Usia Desa Bojongkerta Kecamatan
Warungkiara

Perempuan

Laki-laki

0 500 1000 1500 2000 2500

7-18 Tahun 18-56 Tahun

Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten

Sukabumi

Grafik 3.6 Kualitas angkatan Kerja Desa


Bojongkerta

Perempuan

Laki-Laki

0 500 1000 1500

Buta Aksara Tidak tamat SD Tamat SD


Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat PT

Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten

Sukabumi

50
Grafik 3.7 Kepemilikan Tanah Sawah
Desa Bojongkerta

5-10 Ha

1-5 Ha

< 1 Ha

0 200 400 600 800

Keluarga

Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten

Sukabumi

51
Grafik 3.8 Lemaga Perekonomian
Desa Bojongkerta
Jml.Unit

0 50 100 150

Toko Pengolahan Kayu


Pengecer Gas Tukang Kayu
Tukang Jahit Tukang Services

Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten

Sukabumi

52
Grafik 3.9 Komoditas Tanaman
Pertanian Desa Bojongkerta

Hasil(Ton/Ha)

Luas

0 100 200 300 400

Jagung Kacang Panjang Padi Sawah


Ubi Kayu Ubi Jalar Mentimumn
Karet

Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten

Sukabumi

Grafik 3.10 Prasarana komunikasi dan


Informasi Desa Bojongkerta

Prasarana

0 500 1000 1500 2000

Wartel Telkom GSM CDMA Radio TV Parabola

Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten

Sukabumi

53
Grafik 3.11 Jumlah Lembaga Pendidikan
Formal Desa Bojongkerta

Siswa

Tenaga pengajar

Jumlah

0 200 400 600 800 1000 1200

SD SLTP

Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten

Sukabumi

Grafik 3.12 Jumlah Lembaga Pendidikan


Non Formal Desa Bojongkerta

Siswa

Tenaga pengajar

Jumlah

0 200 400 600 800

MI Ponpos

Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten

Sukabumi

54
Grafik 3.13 Tingkat Pendidikan
Desa Bojongkerta

Perempuan

Laki-laki

0 500 1000 1500

Tamat SMA
Tamat SMP
Tamat SD
18-56 masuk SD tidak tamat
18-56 yang tidak masuk Sekolah
7-18 th tidak masuk sekolah
3-6 th masuk tk
3-6 th belum masuk SD

Sumber: Profil Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten

Sukabumi

55
3.2 ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH

Berdasarkan hasil analisis maka untuk menjawab masalah yang

teridentifikasi, maka ditetapkan alternatif sasaran pembangunan sanitasi air

sebagai berikut:

A. Upaya peningkatan pelayanan umum dalam bidang administrasi desa di

Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi sudah

baik;

B. Kondisi pelayanan umum dalam bidang administrasi desa di masyarakat

Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi sudah

baik;

C. Kualitas, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan umum dalam bidang

administrasi desa di Desa Bojongkerta Kecamatan Warungiara Kabupaten

Sukabumi ;

D. Dukungan pembangunan pelayanan umum dalam bidang administrasi desa

Program Pemerintahan yang bersih rapih dan sehat di Desa Bojongkerta

Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi sudah baik.

Alternatif pemecahan masalah yang dapat dilaksanakan untuk mencapai

sasaran tersebut adalah sebagai berikut:

A. Peningkatan jumlah, jaringan dan kualitas pelayanan umum dalam bidang


administrasi desa;

56
B. Peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga pelayanan umum dalam bidang
administrasi desa ;

C. Pengembangan sistem jaminan pelayanan umum dalam bidang


administrasi desa ;

D. Peningkatan sosialisasi pelayanan umum dalam bidang administrasi desa ;

E. Peningkatan pendidikan pelayanan umum dalam bidang administrasi desa


; dan

F. Pemeratan dan peningkatan kualitas pelayanan umum dalam bidang


administrasi desa r.

3.3 PEMILIHAN ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH

Sebagai langkah alternatif dalam pemecahan masalah pembangunan di

bidang sanitasi air di Desa Bojingkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten

Sukabumi, penulis sajikan beberapa alternatif pemecahan masalah sebagai

berikut:

A. PROGRAM LINGKUNGAN KERJA SEHAT.

Program ini ditujukan untuk membentuk lingkungan sehat disekitar aparatur

desa. Kegiatan pokok yang dilakukan yaitu :

1) Penyediaan pelayanan umum dalam bidang administrasi desa ;

2) Pemeliharaan dan pengawasan kualitas pelayanan umum dalam

bidang administrasi desa ;

57
3) Pengendalian dampak resiko pelayanan umum dalam bidang

administrasi desa ;

4) Pengembangan wilayah pelayanan umum dalam bidang

administrasi desa .

5) Pemilihan teknologi pelayanan umum dalam bidang administrasi

desa

B. PROGRAM UPAYA KESEHATAN LINGKUNGAN KERJA APARATUR

DESA.

Program ini ditujukan untuk meningkatkan jumlah, pemerataan, dan kualitas

pelayanan pelayanan umum dalam bidang administrasi desa melalui pelatihan.

Kegiatan pokok yang dilakukan yaitu :

1) Pelayanan pelayanan umum dalam bidang administrasi desa;

2) Pengadaan, peningkatan, dan perbaikan sarana dan prasarana

pelayanan umum dalam bidang administrasi desa;

3) Pengadaan peralatan dan perbekalan pelayanan umum dalam

bidang administrasi desa;

4) Peningkatan pelayanan pelayanan umum dalam bidang

administrasi desa mencakup sekurang-kurangnya promosi

kesehatan, sanitasi air bersih, kesehatan ibu dan anak, keluarga

58
berencana, perbaikan gizi, kesehatan lingkunagn, pemberantasan

penyakit menular, dan pengobatan dasar.

C. PROGRAM SUMBER DAYA APARATUR DESA

Program ini ditujukan untuk meningkatkan jumlah dan mutu penyebaran

tenaga pelayanan umum dalam bidang administrasi desa. Kegiatan pokok

yang dilakukan yaitu:

1) Perencanaan tenaga pelayanan umum dalam bidang administrasi

desa;

2) Peningkatan keterampilan pelayanan umum dalam bidang

administrasi desa;

3) Pemenuhan kebutuhan tenaga pelayanan umum dalam bidang

administrasi desa;

4) Pembinaan tenaga pelayanan umum dalam bidang administrasi

desa;

5) Penyusunan standar kompetensi tenaga pelayanan umum dalam

bidang administrasi desa.

D. PROGRAM PENGAWASAN PELAYANAN UMUM

Program ini ditujukan untuk menjamin terpenuhinya pelayanan umum dalam

bidang administrasi desa. Kegiatan pokok yang dilakukan yaitu:


59
1) Peningkatan pengawasan pelayanan umum dalam bidang

administrasi desa;

2) Peningkatan pengawasan pelayanan umum dalam bidang

administrasi desa;

3) Peningkatan dan pengawasan mutu pelayanan umum dalam bidang

administrasi desa;

4) Penguatan kapasitas laboratorium pengawasan pelayanan umum

dalam bidang administrasi desa.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

60
4.1 KESIMPULAN

Berdasarkan bahasan analisis dan bahasan masalah yang telah penulis

lakukan maka diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Berdasarkan hasil analisis maka untuk menjawab masalah yang teridentifikasi,

maka ditetapkan alternatif pemecahan masalah yang dapat dilaksanakan untuk

mencapai sasaran tersebut sebagai berikut:

A. Upaya peningkatan pelayanan umum dalam bidang administrasi desa di

Desa Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi sudah

baik;

B. Kondisi pelayanan umum dalam bidang administrasi desa di Desa

Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi sudah baik;

C. Kualitas, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan pelayanan umum

dalam bidang administrasi desa di Desa Bojongkerta Kecamatan

Warungkiara Kabupaten Sukabumi sudah baik;

D. Dukungan pembangunan pelayanan umum dalam bidang administrasi desa

terhadap Program Pemerintahan yang sehat bersih di Desa Bojongkerta

Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi sudah baik.

4.2. Saran

61
Dari hasil evaluasi pelaksanaan program Kuliah Kerja Mahasiswa di Desa

Bojongkerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten Sukabumi , kami dari kelompok

II mengajukan beberapa saran, yaitu sebagai berikut :

Saran Kepada Pemerintah Setempat

o Melakukan pendekatan partisipatif dan pembinaan sebagai tindak lanjut

dari hasil program KKN STKIP - PGRI 2008

o Melakukan perencanaan strategis pembangunan wilayah di tiap-tiap

kelurahan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan potensi yang dimiliki.

o Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kinerja aparatur desa

dalam melayani masyarakat.

o Meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan yang lebih memadai,

untuk menghasilkan sumber daya manusia yang bewrkualitas.

o Meningkatkan sarana dan prasarana kelurahan untuk mendukung kinerja

para aparatur desa.

Saran Kepada Pihak LPPM STKIP PGRI

o LPPM Untirta dalam hal ini sebagai panitia dari kegiatan KKN,

hendaknya menyiapkan konsep KKN secara matang, dimana bukan hanya

konsep saat akan pelaksanaan KKN saja namun harus ada onsepan untuk

follow up atau tindak lanjut dari hasil kegiatan KKN, hal ini bisa

dilakukan dengan menjalin koordinasi dengan pemda setempat.

62
o Dalam hal pembekalan KKN sebaiknya dilakukan dengan serius, dimana

pembekalan yang akan diberikan lebih berisi program KKN secara

konseptual dan teknis serta informasi terkini tentang gambaran lokasi

KKN, sehingga ketika peserta KKN diterjunkan ke lapangan sudah

mempersiapkan segala sesuatunya.

o Pembagian kelompok, sebaiknya sudah diumumkan jauh-jauh hari,

sehingga sebelum terjun ke lokasi peserta KKN sudah saling mengenal

dan bisa saling beradaptasi antara yang satu dengan yang lainnya. Selain

itu, kesiapan kelompok lebih matang.

o Pengontrolan ke lokasi KKN harus lebih diintensifkan lagi, pungsi dari

POKJA Kecamatan harus dimaksimalkan, sehingga tidak ada kesan

terlantarkan. Serta koordinasi antara POKJA Kecamatan dengan setiap

kelompok KKN juga harus diintensifkan, sehingga akan mempermudah

mandapat informasi tentang perkembangan KKN.

DAFTAR PUSTAKA

63
1. Sekretaris Desa Bojong Kerta Kecamatan Warungkiara Kabupaten

Sukabumi, 2008, Profil Desa 2008, Bojong kerta

2. Sekretaris Negara Republik Indonesia, 2003.Undang-undang RI No. 20

Tahun 2003 tentang Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional.. Jakarta

: Sinar Grafika

3. ................., 2004. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Bab 27

Tentang Peningkatan Akses Masyarakat Terhadap Pendidikan yang

berkualitas. Jakarta

4. W.J.S Poerwadarminta. 1982.Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta:

Balai Pustaka

5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan

RI. Laporan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001: Studi

Morbiditas dan Disabilitas. Dalam SURKESNAS. Jakarta. 2002:

6. Soekidjo Notoatmodjo. Pendidikan Kesehatan dan Perilaku Kesehatan.

Jakarta. Penerbit Rineka Cipta.2003:24-28.

7. Amanah, S. 2006. Mengembangkan Komunikasi Administrasi Effektif


dalam Tata Kelola Pemerintahan Desa yang Tanggap Gender. Working
Paper Series Project No. 2. Partnership-Based Rural Governance Reform.
Kemitraan Indonesia dan Pusat studi Pembangunan Pertanian dan
Pedesaan IPB. Bogor.
8. Buckles, D and Chevalier, J. M. 1999. Conflict Management: A
Heterocultural Perspectives, in Buckles, D and Chevalier, J. M (eds.).
1999. Cultivating Peace: Conflict and Collaboration in Natural Resources
Management. IDRC and World Bank. Washington, D.C.
9. Chalid, P. 2005. Otonomi Daerah: Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik.
Kemitraan. Jakarta.
10. Coleman, J. S. 1988. Social Capital in the Creation of Human Capital.
American Journal of Sociology 94 (supplement), pp. S95–S120.

64
11. Dharmawan, A. H. 2006. Konflik-Konflik Kekuasaan dan Otoritas
Kelembagaan Lokal dalam Reformasi Tata-Kelola Pemerintahan Desa:
Investigasi Teoretik dan Empirik. Working Paper Series Project No. 1.
Partnership-Based Rural Governance Reform. Kemitraan Indonesia dan
Pusat studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB. Bogor.
12. Dolfsma, W and Verburg, R. 2005. Bridging Structure and Agency:
Processes of Institutional Change. ERIM Report Series Research in
Management. Erasmus University. Rotterdam.
13. Ewalt, J.A.G. 2001. Theories of Governance and New Public
Management: Links to Understanding Welfare Policy Implementation.
14. Paper is prepared for presentation at the Annual Conference of the
American Society for Public Administration. Newark. New Jersey.
15. Huntington, S. 1996. Democracy for the Long Haul. Journal of
Democracy, Vol. 7/2, pp. 3-13.
16. Fukuyama, F. 2001. Social Capital, Civil Society, and Development. Third
World Quarterly, Vol. 22/1, pp. 7-20.
17. Giddens, A. 1984. The Constitution of Society: Outline of the Theory of
Structuration. Polity Press. Cambridge.
18. Heydebrand, W. 2003. Process Rationality as Legal Governance: A
Comparative Perspective. International Sociology, Vol 18/2, pp. 325-349.
19. Indaryanti, Y. 2006. Disparitas Tingkat Kesejahteraan Masyarakat:
Tinjauan Sosial- Ekonomi Rumahtangga Lokal. Working Paper Series
Project No. 4. Partnership- Based Rural Governance Reform. Kemitraan
Indonesia dan Pusat studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB.
Bogor.
20. Kolopaking, L.M. 2006. Proses-Proses Pengembangan Kebijakan Tata-
Kelola Pemerintahan Desa Berbasis Lokal. Working Paper Series Project
No. 9.
21. Partnership-Based Rural Governance Reform. Kemitraan Indonesia dan
Pusat studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB. Bogor.
22. Moore, M. 2002. Progressive Realism: Improving Governance in the
Global South (unpublished). Institute of Development Studies. Sussex.
23. Nasdian, F.T. 2006. Kemitraan dalam Tata Pemerintahan Desa dan
Pemberdayaan Komunitas Pedesaan dalam Perspektif elembagaan.
Working Paper Series Project No. 8. Partnership-Based Rural
Governance Reform. Kemitraan Indonesia dan Pusat studi Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan IPB. Bogor.
24. Nurrochmat, D dan Purwandari, H. 2006. Politik Desentralisasi
Pemerintahan Desa.
25. Working Paper Series Project No. 3. Partnership-Based Rural
Governance Reform.
26. Kemitraan Indonesia dan Pusat studi Pembangunan Pertanian dan
Pedesaan IPB. Bogor.

65
27. Putri, E.I.K. dan Dharmawan, 2006. Pengembangan Wilayah dalam
Reformasi Tata Pemerintahan Desa: Pelajaran dari Lima Provinsi dan
Beberapa Tantangan Ke Depan. Working Paper Series Project No. 6.
Partnership-Based Rural Governance Reform. Kemitraan Indonesia dan
Pusat studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB. Bogor.
28. Suharno. 2006. Pola Pengembangan Ekonomi Perdesaan Berbasis
Keberlanjutan.
29. Working Paper Series Project No. 10. Partnership-Based Rural
Governance Reform. Kemitraan Indonesia dan Pusat studi Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan IPB. Bogor.
30. Sunito, S dan Purwandari, H. 2006. Mekanisme Kontrol Tata-Kelola
Sumber-Sumber Agraria: Membangun Kelembagaan Kolektif Lokal yang
Demokratis. Working Paper Series Project No. 7. Partnership-Based
Rural Governance Reform.
31. Kemitraan Indonesia dan Pusat studi Pembangunan Pertanian dan
Pedesaan IPB. Bogor.
32. Sundawati, L dan Trison, S. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Alam
Berbasis Kemitraan untuk Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan Desa.
Working Paper Series Project No. 5. Partnership-Based Rural
Governance Reform. Kemitraan Indonesia dan Pusat studi Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan IPB. Bogor.
33. Wallace, R.A and Wolf, A. 1999. Contemporary Sociological Theory:
Expanding the Classical Tradition. Fifth Edition. Prentice Hall. New
Jersey.
34. Weiss, T. G. 2000. Governance, Good Governance and Global
Governance: Conceptual and Actual Challenges, Third World Quarterly,
Vol. 21/5, pp. 795-814.
35. Willer, D. 1998. Network Exchange Theory. Praeger. Westport,
Connecticut and London.
36. Woods, P. A. 2003. Building on Weber to Understand Governance:
Exploring the Links Between Identity, Democracy, and ‘Inner Distance’,
Sociology, Vol. 37/1, pp. 143-163.

66
LAMPIRAN

LAMPIRAN

67

Anda mungkin juga menyukai