Anda di halaman 1dari 31

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang karena anugerah dari-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah tentang "Birokrasi Pemerintahan Desa Periode Kerajaan
Hingga Orde Lama" ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
junjungan besar kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada
kita jalan yang lurus berupa ajaran agama Islam yang sempurna dan menjadi anugerah
serta rahmat bagi seluruh alam semesta.

Penyusun sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang menjadi


tugas Sistem Pemerintahan Desa dengan judul "Birokrasi Pemerintahan Desa Periode
Kerajaan Hingga Orde Lama". Disamping itu, kami mengucapkan banyak terima
kasih kepada dosen mata kuliah terkait yang telah membantu kami selama pembuatan
makalah ini berlangsung sehingga terealisasikanlah makalah ini.

Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini bisa bermanfaat dan
jangan lupa ajukan kritik dan saran terhadap makalah ini agar kedepannya bisa
diperbaiki.

Jatinangor, September 2017

Penyusun

1
DAFTAR ISI

Kata pengantar ..................................................................................................................... 1


Daftar Isi ..................................................................................................................... 2

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang................................................................................................................3
1.2. Rumusan Masalah...........................................................................................................3
1.3. Manfaat dan Tujuan.........................................................................................................3

BAB II
PEMBAHASAN
A. Birokrasi Pemerintahan.....................................................................................................4
B. Birokrasi Pemerintahan Desa............................................................................................5
C. Birokrasi Pemerintahan Desa Periode Kerajaan Hingga Orde Lama................................8

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan dan Saran ...................................................................................................28
Daftar Pustaka ...................................................................................................31

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Penyelenggaraan pemerintahan desa tidak terpisahkan dari penyelenggaraan


otonomi daerah. Birokrasi pemerintahan desa merupakan garis terdepan yang
berhubungan dengan pemberian pelayanan umum kepada masyarakat juga sekaligus

2
sebagai penentu keberhasilan program yang ada. Penyelenggaraan pemerintahan desa
merupakan sub sistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai suatu
sistem sosial dengan lembaganya sendiri, desa memiliki kewenangan untuk mengatur
dan mengurus sendiri kepentingan masyarakatnya.

Dalam penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakatnya, pemerintah desa


harus benar-benar memperhatikan hubungan kemitraan kerja di dalamnya. Semua
aparatur pemerintahan desa, baik itu kepala desa, sekretaris desa, dan Badan
Perwakilan Desa (BPD) harus benar-benar memahami kapasitas yang menjadi
kewenangan maupun tugasnya masing-masing agar dapat bersinergi dan bermitra
dengan baik, demi menyelenggarakan pemerintahan desa yang profesional.

Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan desa, seringkali timbul masalah


dalam hal pemberian pelayanan umum kepada masyarakat yang disebabkan oleh
berbagai faktor. Berdasarkan kenyataan tersebut, kami tertarik untuk meneliti
mengenai struktur aparatur pemerintahan desa serta tugas pokok dan fungsinya dalam
penyelenggaraan pemerintahan desa yang ada di 5 periode, yakni Masa Kerajaan,
Hindia Belanda, Masa Pendudukan Jepang, Kemerdekaan, hingga Orde Lama.

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas
dari speriode kerajaan-orde lama dalam makalah ini ialah:
a. Struktur pemerintahan desa
b. Tugas pokok dan fungsi struktur pemerintahan desa
c. Hubungan di dalam struktur pemerintahan desa

1.3 Manfaat dan Tujuan


Manfaat
Makalah ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam menambah
pengetahuan secara lebih mendalam mengenai struktur pemerintahan desa serta tugas
pokok dan fungsinya yang ada di 5 periode berdasarkan Undang-Undang dan produk
hukum yang ada, sehingga kita dapat mengetahui sedikit banyak mengenai
keselarasannya dengan penyelenggaraan pemerintahan desa dalam hal pemberian
pelayanan umum kepada masyarakat, atau lebih dikenal dengan isttilah birokrasi
pemerintahan desa.

Tujuan

3
 Untuk menggambarkan struktur pemerintahan desa yang ada di 5 periode.
 Untuk mendeskripsikan tugas pokok dan fungsi dari struktur pemerintahan desa
yang ada di 5 periode.
 Untuk mendeskripsikan hubungan di dalam struktur pemerintahan desa yang ada di
5 periode.

BAB II
PEMBAHASAN

A. BIROKRASI PEMERINTAHAN
Birokrasi merupakan instrumen penting dalam masyarakat modern yang
kehadirannya tak mungkin terelakkan. Eksistensi birokrasi ini sebagai konsekuensi
logis dari tugas utama negara (pemerintahan) untuk menyelenggarakan kesejahteraan
masyarakat (social welfare). Negara dituntut terlibat dalam memproduksi barang dan
jasa yang diperlukan oleh rakyatnya (public goods and services) baik secara langsung
maupun tidak. Bahkan dalam keadaan tertentu negara yang memutuskan apa yang
terbaik bagi rakyatnya. Untuk itu negara mernbangun sistem administrasi yang
bertujuan untuk melayani kepentingan rakyatnya yang disebut dengan istilah
birokrasi.

Konsep birokrasi sesungguhnya berupaya mengaplikasikan prinsip-prinsip


organisasi yang dimaksudkan untuk memperbaiki efisiensi administrasi, meskipun
birokrasi yang keterlaluan seringkali justru menimbulkan efek yang tidak baik.
Mouzelis menambahkan bahwa dalam birokrasi terdapat aturan- aturan yang rasional,
struktur organisasi dan proses berdasar pengetahuan teknis dan dengan efisiensi yang
setinggi-tingginya. Di samping diberikan makna yang cukup positif tersebut, birokrasi
juga sering dimaknai secara negatif. Dalam perspektif yang negatif ini birokrasi
dimaknai sebagai sebagai suatu proses yang berbelit-belit, waktu yang lama, biaya
yang mahal dan menimbulkan keluh kesah yang pada akhirnya ada anggapan bahwa
birokrasi itu tidak efisien dan bahkan tidak adil.

Biasanya masalah administrasi yang kompleks dan ruwet terdapat pada


organisasi besar, seperti organisasi pemerintahan.Akan tetapi, sebenarnya birokrasi
tidak dibatasi hanya pada institusi sektor publik saja. Serikat Dagang, Universitas, dan
LSM merupakan contoh birokrasi di luar pemerintah.

4
Birokrasi pemerintah merupakan garis terdepan yang berhubungan dengan
pemberian pelayanan umum kepada masyarakat. Oleh karena itu, birokrasi
pemerintah harus bersikap netral baik dari sisi politik yaitu bukan merupakan
kekuasaan politik maupun dari sisi administrative. Birokrasi pemerintahan diharapkan
tidak akan memihak kepada kelompok tertentu dengan tujuan agar pelayanan umum
yang dilakukan oleh pemerintah bisa diberikan pada seluruh masyarakat, tanpa
membedakan aliran atau partai politik yang diikuti oleh anggota masyarakat tersebut.

Birokrasi pemerintahan seringkali diartikan sebagai officialdom atau kerajaan


pejabat, yaitu suatu kerajaan yang raja-rajanya adalah pejabat. Di dalamnya terdapat
yuridiksi, yaitu setiap pejabat memiliki official duties, mereka bekerja pada tatanan
hierarki dengan kompetensinya masing-masing, pola kompilasinya didasarkan pada
dokumen tertulis.

B. BIROKRASI PEMERINTAHAN DESA

Masyarakat di wilayah perdesaan memegang erat sistem persaudaraan


antarindividu. Dengan demikian, hampir semua orang yang ada di desa tersebut saling
mengenal satu sama lainnya. Kehidupan sehari-hari mereka masih tradisional.Pada
umumnya, masyarakat desa bermata pencarian sebagai petani, nelayan, buruh tani,
berladang, dan beternak.

Penyebutan desa di Indonesia berbeda-beda pada setiap daerahnya. Ada yang


menyebutnya “Nagari”, seperti di Sumatra Barat, “Gampong” di Nanggroe Aceh
Darussalam, “Lembang” di Sulawesi Selatan, “Kampung” di Kalimantan Selatan dan
Papua, dan “Negeri” di Maluku. Namun, ciri khas suatu desa tidak hilang.Siapakah
yang menjalankan pemerintahan di desa?Desa merupakan bagian dari senuah
kecamatan.Setiap desa dipimpin oleh seorang kepala desa.Kepala desa dipilih
langsung oleh masyarakat di desa tersebut.Syarat dan tata cara pemilihannya diatur
oleh peraturan daerah yang berpedoman pada peraturan pemerintah.Kepala desa
bukanlah seorang pegawai negeri sipil.Masa jabatan kepala desa adalah enam tahun.Ia
dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Sesudah itu, ia
tidak boleh lagi mengikuti pemilihan calon kepala desa. Seorang kepala desa dilantik
oleh bupati/walikota, paling lambat tiga puluh hari setelah dinyatakan terpilih.Kepala
desa mendapatkan gaji (upah) bukan dari pemerintah, tetapi dari hasil

5
pengolahantanah yang diserahkan untuk diolah.Di daerah Jawa dikenal dengan tanah
“bengkok” atau tanah “carik”.Setelah masa jabatannya habis, tanah itu harus
dikembalikan kepada pemerintah.Dengan demikian, kepala desa tidak mendapatkan
uang pensium seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kepala desa mempunyai tugas dan
tanggung jawab, di antaranya:

1. Memimpin penyelenggara pemerintahan desa

2. Membina perekonomian desa

3. Membina kehidupan masyarakat desa

4. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat desa

5. Mendamaikan perselisihan yang terjadi pada masyarakat di desa

6. Mewakili desanya baik di dalam dan di luar pengadilan dan dapat


menunjuk kuasa hukumnya.

Menurut Undang-Undang No.32 Tahun 2004 dijelaskan, dalam


penyelenggaraan pemerintahan desa dibentuk Badan Permusyawaratan Desa
(BPD).Badan ini berfungsi melindungi berbagai adat istiadat dan menetapkan
peraturan desa bersama kepala desa.Selain itu, BPD berfungsi menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat desa serta melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pemerintahan desa.Anggota BPD ialah wakil penduduk desa
bersangkutan.Mereka ditetapkan dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat.

Di desa dibentuk juga beberapa lembaga kemasyarakatan. Lembaga


kemasyarakatan ditetapkan oleh peraturan desa.Pembentukannya berpedoman pada
peraturan perundang-undangan.Tugas lembaga tersebut adalah membantu pemerintah
desa dan memberdayakan masyarakat desa. Misalnya, Lembaga Keamanan
Masyarakat Desa (LKMD), Pertahanan Sipil (Hansip), PKK, dan Karang Taruna.
Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) merupakan wadah partisipasi
masyarakat dalam membangun desa yang memadukan kegiatan pemerintahan desa
yang dilakukan secara gotong royong.

6
Pengurus LKMD umumnya tokoh masyarakat setempat.Pembentukan LKMD
disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat desa berdasarkan musyawarah anggota
masyarakat.Fungsi LKMD adalah membantu pemerintah desa dalam merencanakan,
pelaksanaan, dan pengendalian pembangun desa.Pada pemerintahan desa terdapat
orgaisasi Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).Anggota PKK terdiri atas
ibu-ibu rumah tangga di suatu desa.Ketua PKK biasanya dijabat oleh istri kepala desa
atau lurah.PKK bertujuan memberdayakan keluarga, meningkatkan kesejahteraan, dan
kemandirian keluarga.Misalnya, PKK memberi bantuan sosial, pelatihan
keterampilan, pos pelayanan terpadu (Posyandu), memberikan bantuan beasiswa, atau
mengadakan pengobatan gratis.

Adapun sumber pendapatan desa adalah sebagai berikut.

1. Pendapatan asli desa yang meliputi:

a. Hasil usaha desa

b. Hasil kekayaan desa

c. Hasil swadaya dan partisipasi

d. Hasil gotong royong

2. Bantuan pemerintah kabupaten, meliputi bagian perolehan pajak dan retribusi


daerah, serta dana perimbangan keuangan pusat dan tingkat daerah.

3. Bantuan pemerintah pusat dan pemerintahan provinsi

4. Sumbangan pihak ketiga, misalnya berupa dana hibah

5. Pinjaman desa

Sumber pendapatan desa dikelola melalui anggaran pendapatan dan belanja desa
(APBD).Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa ditetapkan oleh kepala desa bersama
BPD dengan berpedoman pada APBD yang ditetapkan Bupati.Dengan demikian, pada
dasarnya, kepala desa bertanggung jawab kepada rakyat desa.Kepala desa harus

7
menyampaikan pokok-pokok pertanggungjawabannya.Oleh karena itu, wewenangnya
tidak boleh disalahgunakan.

C. BIROKRASI PEMERINTAHAN DESA PERIODE KERAJAAN HINGGA


ORDE LAMA

1. Zaman Kerajaan-Kerajaan Nusantara


Keberadaan desa di Indonesia diketahui sudah ada sejak ratusan bahkan
ribuan tahun yang lalu. Namun, terkait sumber maupun informasi tertulis mengenai
keberadaan dan praktik penyelenggaraan desa pada zaman kerajaan masih jarang
ditemukan.

Meskipun sedikit, ada juga informasi tertulis. Diantaranya, prasasti yang


ditemukan oleh seorang ahli purbakala bangsa Belanda yang diperkirakan ditulis
pada abad ke-14 atau kurang lebih tahun 1350. Prasasti tersebut menginformasikan
adanya desa, yakni Desa Walandit dan Desa Himad. Kedua desa tersebut
bersengketa soal status Desa Walandit yang pada akhirnya dimenangkan oleh Desa
Walandit sebagai desa swatantra atau otonom.

Selain itu, pada tahun 1880 ditemukan pertulisan/piagam Walandit yang


menginformasikan perintah raja mengenakan pungutan kepada warga Desa
Walandit.

Prasasti dan piagam tersebut membuktikan bahwa pada abad ke-14 di


Indonesia sudah terdapat desa dengan status swatantra, otonom. Tentang
hierarkinya, berdasarkan kasus sengketa antara Desa Himad dan Desa Walandit
tersebut, tampaknya susunan pemerintahan desa pada waktu itu langsung di bawah
kerajaan/pusat. Tidak ada daerah/wilayah semacam kabupaten/provinsi di atas
desa. Hal tersebut tampak melalui penanganan langsung oleh pejabat kerajaan
ketika kedua desa tersebut bersengketa.

Oleh karena tidak adanya sumber yang pasti seperti landasan hukum ataupun
Undang-Undang pada masa itu, maka untuk mengetahui bagaimana praktik
penyelenggaraan pemerintahan desa pada waktu itu bisa dilihat pada praktik
pemerintahan desa dalam masyarakat Baduy di Kabupaten Serang, Provinsi
Banten. Asumsinya, apa yang dipraktikkan masyarakat Baduy dalam

8
menyelenggarakan pemerintahan desanya tidak banyak berbeda dengan yang
dipraktikkan nenek moyangnya pada zaman Kerajaan Pajajaran abad ke 11-15.

Selain itu, masyarakat Baduy adalah contoh kesatuan masyarakat hukum adat
yang bersifat geneologis, terdiri atas satu keturunan yang diduga kuat adalah
pelarian sisa-sisa pasukan Pajajaran yang terdesak oleh pasukan Kesultanan Banten
yang menyebarkan agama Islam. Mereka lalu lari ke hutan yang kemudian
membentuk komunitas yang tertutup. Sejak saat itulah mereka mempertahankan
semua lembaga yang mengatur perkehidupannya sampai sekarang.

Mengenai aparat penyelenggara pemerintahan desa dalam struktur organisasi


pemerintahan desa pada masa itu juga dapat dilihat dari gambaran bentuk
pemerintahan desa adat Baduy, tepatnya Desa Cibeo, Banten.

Struktur organisasi pemerintahan Desa Cibeo, Banten terdiri dari:

1. Puun, adalah kepala pemerintahan, kepala adat, dan pemimpin


kepercayaan yang selalu diambil dari masyarakat Baduy Dalam. Ia
dianggap keramat, wakil dewa dan memahami masalah-masalah religius.
Jabatan Puun dipilih secara sukarela dan demokratis oleh masyarakat
atau ditentukan oleh ahli agama/kepercayaan berdasarkan ilham yang
diterima dan diyakini kebenarannya;

2. Geurang Seurat, adalah wakil Puun yang memiliki tugas dan fungsi
melaksanakan tata pemerintahan, atau sejenis perdana menteri;

3. Kokolot, adalah wakil Puun yang memiliki fungsi khusus, yaitu


memberikan pengamatan kepada Puun dan kerabatnya;

4. Baresan atau Dewan Rakyat, merupakan sarana dan wahana dalam


proses perumusan kebijakan Puun demi ketenangan, ketentraman, dan
keadilan desa;

5. Jaro, adalah wakil Puun untuk mengurusi masyarkat Baduy Luar. Jaro
berfungsi mengelola, membin, dan menjaga keselamatan warga

9
kampung. Meskipun sebagai wakil Puun, Jaro tidak mempunyai
kekuasaan memutuskan perkara. Ia hanyalah penerus kebijakan Puun;

6. Dukun, mempunyai fungsi:


a. Menyembuhkan warga yang sakit;

b. Memberi nasihat da masukan kepada Puun;

c. Menyaksikan pelantikan dan peletakan jabatan Puun;

d. Memberikan rekomendasi supranatural kepada Puun;

e. Menyampaikan wangsit kepada Puun dan masyarakat yang diperoleh


melalui mimpi;

f. Menjadi penghubung antara pimpinan dan warga.

Sedangkan Snouck Hurgronje (1985: 67-90) menginformasikan tentang


sistem pemerintahan desa asli Aceh sebelum pemerintah Hindia Belanda secara
efektif menguasai Aceh. Unit pemerintahan terendah di Aceh adalah Gampong.
Pemerintahan Gampong terdiri atas tiga unsur:
1. Keuchi’, adalah pemimpin atau bapak gampong yang menerima wewenang
dari uleebalang dari wilayah yang membawahi gampong itu. Jabatan Keuchi’
bersifat turun-temurun. Keuchi’ mempunyai wewenang menjaga ketertiban,
keamanan, dan menciptakan kesejahteraan warganya. Keuchi’ adalah jabatan
penghormatan, karena itu tidak mendapat bayaran secara resmi. Ia mendapat
penghasila dari ha’ katib atau ha’ cupeng, yaitu imbalan yang diterima karena
jasanya membantu menikahkan wanita warga gampongnya. Di samping itu, ia
juga mendapat penghasilan dari jasa membantu menyelesaikan sengketa warga
yang diselesaikan di depan Uleebalang. Ia juga mendapat prosentase tertentu
dari pembagia tanah pusaka yang menjadi hak Uleebalang. Penghasilan lain
diperoleh dari hadiah-hadiah dari warganya yang diberikan secara ikhlas.
Seorang Keuchi’ dibantu oleh seseorang atau beberapa orang waki’ (wakil)
sebanyak gampong itu. Waki’ bisa menjadi bapak dari warga subgampong yang
berada di bawah tanggung jawabnya;

10
2. Teungku, atau “ibu” warga gampong. Istilah Teungku berkaitan dengan
gelar yang diberikan kepada orang yang mengemban jabatan yang
berhubungan dengan agama. Teungku mempunyai tugas khusus yang
berhubungan dengan pelbagai hal yang berkaitan dengan agama Islam seperti
imam salat, pengurusan meunasah/musalla, pengajaran Al-Qur’an, nikah-cerai-
talak, dan fatwa untuk pelanggaran-pelanggaran syari’at;
3. Ureueng Tuha, adalah kelompok sesepuh gampong. Mereka adalah kaum
yang dianggap mempunyai pengalaman, kebijaksanaan, sopan santun, dan
mempuunyai pengetahuan yang cukup tentang adat. Biasanya mereka terdiri
atas para orangtua yang sudah berumur dan dipandang cakap. Mereka tidak
diangkat secara formal, hanya melalui pengakuan saja. Mereka mempunyai
pengaruh yang cukup kuat dalam memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan
masalah gampong. Urusan gampong diselesaikan oleh para pemimpin yang
terdiri atas 3 unsur tadi dengan cara mufakat.

Di Demak Jawa Tengah pemerintahan desa diselenggarakan sebagai berikut.


Desa dipimpin oleh kepala desa yang dipilih oleh semua penduduk desa dewasa.
Akan tetapi, pada zaman dulu pemilih dibatasi pada kepala keluarganya yang
sudah mempunyai hak garap sawah komunal/norowito. Sedangkan kepala keluarga
dari kalangan buruh tani dan orang-orang yang mondok (tidak mempunyai tanah
yasan/sendiri dan numpang di pekarangan milik orang lain) tidak mempunyai hak
pilih. Kepala desa dibantu oleh pamong desa atau sarekat desa yang terdiri atas:
carik atau sekertaris desa, kamituwa, bekel, bayan, ulu-ulu, dan modin. Carik
adalah pejabat yang mengurusi administrasi/tata usaha desa; kamitua adalah
sesepuh desa dari kalangan kepala dukuh yang paling senior; bekel adalah kepala
dukuh, suatu bagian wilayah dari desa; bayan adalah petugas yang memberi
informasi (tukang uwar-uwar) kepada penduduk tentang hal-hal yang berkaitan
dengan kebijakan pemerintah seperti masalah pajak, upacara, undangan di
kelurahan, dan kegiatan-kegiatan lain yang diselenggarakan pemerintah desa atau
pemerintah atasnya. Ulu-ulu adalah pejabat yang bertugas mengurusi pengairan
desa; dan modin adalah petugas yang mengurusi bidang keagamaan termasuk
kelahiran, khitanan, nikah, talak, rujuk, dan kematian.
Kepala desa dalam menjalankan tugasnya didampingi Dewan Sesepuh Desa
yang terdiri atas Kepala Desa, Kamitua, Kyai Desa, Kepala Desa, dan tokoh-tokoh

11
desa yang berpengaruh. Pemerintah desa mengatur dan mengurus tanah komunal
yang terdiri atas tiga fungsi: 1) tanah bengkok yang diperuntukkan bagi kepala desa
dan perangkat desa; 2) tanah norowito yang diperuntukkan bagi warga desa; 3) dan
tanah banda desa yang diperuntukkan untuk biaya penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan desa. Pemerintah desa juga mengatur dan mengurus masalah
pengairan desa dibawah koordinasi Ulu-ulu, mengatur dan mengurus lumbung
desa, lembaga simpan pinjam padi, sekolah desa, pasar desa, dan kesehatan warga
terutama pencegahan terhadap penyakit seperti cacar tipus, kolera, disentri, dan
malaria.

2. Zaman Hindia Belanda

Sampai dengan akhir abad ke-15 bangsa Indonesia adalah bangsa yang
merdeka. Namun ketentraman dan kemakmuran bangsa Indonesia mulai terusik
ketika bangsa Eropa mulai berdatangan ke Nusantara.
Belanda dengan armada dagangnya yang disebut VOC kemudian
menundukkan kerajaan-kerajaan Nusantara, sehingga pada abad ke-16 sampai ke-
17 satu persatu Kerajaan-Kerajaan Nusantara menyerahkan kedaulatan politiknya
kepada VOC. Oleh karena itu, secara politis desa juga berada di bawah kekuasaan
VOC. Setelah wilayah Indonesia diurus langsung oleh pemerintah Hindia Belanda,
desa mendapat pengaturan yang formal.
Tidak sedikit peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur Desa-
desa atau yang semacam dengan Desa; sekalipun secara formal dan politis
pemerintah kolonial Hindia Belanda menghormati dan mengakui serta
“mempersilahkan” Adat dan Hukum Adat berlaku dan dapat digunakan sebagai
landasan hukum bagi berbagai kegiatan Hukum “Golongan Pribumi” dan sebagai
hukum dasar bagi desa-desa, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
politik dan sistem kolonialisme.
Peraturan perundang-undangan yang cukup penting dan sebagai pedoman
pokok bagi desa-desa antara lain adalah :
1. Indische Staatsregeling pasal 128 ayat 1 sampai 6. (mulai berlaku 2
september 1854, Stb 1854.2.)
2. Inlandsche Gemeente Ordonanntie Java en Modoera, disingkat dengan nama
I.G.O (Stb.1906-83) dengan segala perubahannya. I.G.O adalah undang-
undang tentang desa yang berlaku untuk Jawa dan Madura.

12
3. Inlandsche Gemeente Ordonanntie Buitengewesten, disingkat dengan nama
I.G.O.B (Stb. 1938-490 yo.681) dengan segala perubahannya. I.G.O.B adalah
undang-undangtentang desa yang berlaku untuk daerah di luar Jawa dan
Madura.
4. Reglement op de verkiezing, de schorsing en het onslag van de hoofden der
Inlandsche Gemeenten op Java en Madoera (Stb. 1907-212) dengan segala
perubahannya.
5. Nieuwe regelen omtrent de splitsing en samenvoeging van desa op Java en
Madoera met uitzondering van de Vorstenlanden (Bijblad 9308).
6. Herziene Indonesische Reglement, disingkat H.I.R atau Reglemen Indonesia
yang diperbaharui, disingkat R.I.B (Stb 1848-16 yo Stb.1941-44).
Berdasarkan kepada ketata negaraan Hindia Belanda, sebagaimana tersurat
dalam Indische Staatsrwgwling, maka pemerintah kolonial Hindia Belanda
memberikan hak untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri kepada Kesatuan-
Kesatuan Masyarakat Hukum “Pribumi” dengan sebutan Inlandsche gemeente
yang terdiri dari dua bentuk, yaitu Swapraja dan Desa atau yang dipersamakan
dengan Desa.Bagi Swapraja-Swapraja yaitu bekas-bekas kerajaan-kerajaan yang
ditaklukkan tetapi masih diberi kelonggaran yaitu berupa hak menyelenggarakan
pemerintahan sendiri (self bestuur) berdasarkan Hukum Adatnya dengan
pengawasan penguasa-penguasa Belanda dan dengan pembatasan-pembatasan atas
hal-hal tertentu, disebut dengan nama Landschap.
Selanjutnya bagi Desa-desa atau yang dipersamakan dengan Desa (Kesatuan-
Kesatuan Masyarakat Hukum di luar Jawa, Madura dan Bali) mendapat sebutan
Inlandsche Gemeente dan Dorp dalam H.I.R.Untuk kepentingan pelaksanaan
pemerintahan dan kemantapan sistem kolonialisme maka para pejabat pemerintah
Belanda telah memberikan sekedar perumusan tentang sebutan Inladsche
Gemeente sebagai berikut :
Suatu kesatuan masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah
tertentu, yang memiliki hak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri
berdasarkan kepada Hukum Adat dan peratuaran perundang-undangan Hindia
Belanda untuk hal-hal tertentu, dan pemerintahannya merupakan bagian terbawah
dari susunan pemerintah Kabupaten dan Swapraja.
Contoh pemerintahan desa berdasarka IGO (di Jawa) adalah pemerintahan
desa di keraton Cirebon, yang susunan aparat desa serta tugas dan fungsinya adalah
sebagai berikut:

13
1. Kuwu, berfungsi sebagai pemimpin masyarakat formal yang
menjalankan pemerintahan desa;
2. Ngabihi, adalah wakil Kuwu;
3. Juru tulis atau carik, berfungsi sebagai sekretaris desa;
4. Raksabumi, berfungsi sebagai pengurus pengairandan pemeliharaan
selokan-selokan;
5. Mayor, berfungsi sebagai wakil pengurus pengairan yang langsung terjun
ke lapangan;
6. Juru tala, berfungsi sebagai pengurus lingkungan masyarkat;
7. Cap Gawe, berfungsi sebagai pengurus jalan desa;
8. Pancalang atau Jaga Karsa, berfungsi sebagai polisi desa yang menjaga
keamanan dan ketentraman masyarakat;
9. Tukang cangkal, berfungsi sebagai pengurus pajak desa;
10. Lebe atau Amil, berfungsi sebagai pengurus masalah agama Islam;
11. Kepala Dusun, berfungsi sebagai wakil masyarakat dari sebuah
dusun/dukun, bagian dari desa;
12. Lembaga Sosial Desa, berfungsi sebagai dewan penasihat.

Sedangkan contoh pemerintahan desa berdasarkan IGOB (luar Jawa) adalah


pemerintahan marga di Lampung. Susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan
Marga adlaah sebagai berikut:
1. Marga dikepalai oleh Pesirah. Pesirah dibantu seorang Pembarap sebagai
unsur staf;
2. Marga membawahi kampung-kampung. Kampung dikepalai oleh Kepala
Kampung yang disebut “Kepala”. Kepala Kampung membawahi Kepala-
Kepala Suku. Di samping Kampung juga terdapat Umbulan, yakni
kampung-kampung kecil yang terdiri atas beberapa rumah yang
mempunyai kesatuan geneologis.

Adapun tugas dan fungsi masing-masing pejabat Marga adalah sebagai


berikut:
1. Pesirah, mempunyai tugas, fungsi, dan kedudukan sebagai berikut:
a. Mengepalai kepala-kepala kampung;
b. Melaksanakan kekuasaan administrasi pemerintahan Belanda;
c. Memimpin wilayah marga yang memiliki otonomi secara terbatas
yang diberikan oleh Pemerintah Belanda;
d. Sebagai kepala adat atau penyeimbang adat;
e. Memimpin pelaksanaan upacara adat;
f. Dengan bantuan Pembarap memungut uang iuran marga yang
besarmya sesuai dengan keputusan dewan marga.

14
2. Kepala Kampung, mempunyai tugas, fungsi, dan kedudukan sebagai
berikut:
a. Membantu Pesirah dalam menjalankan pemerintahan di tingkat
kampung;
b. Mengepalai kepala-kepala suku di wilayah kampung;
c. Sebagai penyeimbang adat
3. Pembarap, adalah pembantu Pesirah dalam hal administrasi dan
penghubung antara pesirah dan kepala-kepala kampung;
4. Dewan Marga, berkedudukan sebagai penasihat, bukan lembaga
legislasi.

3. Zaman Pendudukan Jepang


Pemerintah militer Jepang tidak banyak merubah peratuaran perundang-
undangan yang dibuat Belanda sepanjang tidak merugikan trategi “Perang Asia
Timur Raya” yang harus dimenangkan oleh Jepang. Demikian pula Hukum Adat
tidak diganggu apalagi dihapuskan. Masih tetap dapat digunakan oleh bangsa
Indonesia, sepanjang tidak merugikan Jepang. Selama Jepang menjajah 3 ½
tahunm I.G.O dan I.G.O.B. secara formal terus berlaku, hanya sebutan-sebutan
kepala Desa diseragamkan yaitu dengan sebutan Kuchoo; demikian juga cara
pemilihan dan pemberhentiannya diatur oleh Osamu Seirei No. 7 tahun
2604(1944). Dengan demikian sekaligus pula nama Desa berganti/ berubah
menjadi “Ku”. Dari ketentuan Osamu Seirei ini, ditegaskan bahwa Kuchoo
diangkat dengan jalan pemilihan. Sedangkan dewan yang berhak untuk
menentukan tanggal pemilihan dan syarat-syarat lain dalam pemilihan Kuchoo
adalah Guncoo. Masa jabatan Kuchoo adalah 4 tahun. Kuchoo dapat dipecat oleh
Syuucookan.
Untuk sekedar melengkapi hal di atas, maka sebagaimana dimaklumi
berdasarkan Osamu Seirei No. 27 tahun 1942, maka susunan pemerintahan untuk
di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Pucuk pimpinan pemerintahan militer Jepang ada di tangan Panglima
Tentara ke 16 khusus untuk pulau jawa yaitu Gunsyireikan atau Panglima
Tentara, kemudian disebut Saikosikikan.
2. Di bawah Panglima ada Kepala Pemerintahan militer disebut Gunseikan.
3. Di bawah Gunseikan ada koordinator pemerintahan militer untuk Jawa
Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, dengan sebutan Gunseibu.
4. Gunseibu-gunseibu ini dijabat oleh orang-orang Jepang, tetapi wakil
Gunseibu diambil dari bangsa Indonesia.

15
5. Gunseibu membawahi Residen-Residen yang disebut Syucokan. Pada masa
Jepang Keresidenan (Syu) merupakan Pemerintah Daerah Tertinggi. Para
Syucokan semuanya terdiri dari orang-orang Jepang.
6. Daerah Syu terbagi atas Kotamadya (Si) dan Kabupaten (Ken).
7. Ken, terbagi lagi atas beberapa Gun (Kewedanan).
8. Gun terbagi lagi atas beberapa Son (Kecamatan).
9. Son Terbagi atas beberapa Ku (Desa).
10. Ku terbagi lagi atas beberapa Usa (Kampung).
Sekalipun menurut susunan pemerintahan Keresidenan menurut Pemerintah
Daerah yang tertinggi, berarti juga termasuk kategori penting bagi strategi militer,
namun ternyata Jepang mempunyai perhatian yang cukup besar terhadap Desa-
desa.
Desa-desa oleh Jepang dinilai sebagai bagian yang cukup vital bagi strategi
memenangkan “Perang Asia Timur Raya”. Oleh karenanya Desa-desa dijadikan
basis logistik perang. Kewajiban Desa-desa semakin bertambah banyak dan
bebannya semakin bertambah berat. Desa-desa harus menyediakan pangan dan
tenaga manusia yang disebut Romusya untuk keperluan pertahanan militer Jepang.
Dengan demikian bagi Jepang pengertian Ku (Desa) adalah Suatu Kesatuan
Masyarakat berdasarkan Adat dan peraturan perundang-undangan pemerintah
Hindia Belanda serta pemerintah Militer Jepang, yang bertempat tinggal dalam
suatu wilayah tertentu, memiliki hak menyelenggarakan urusan rumah tangganya
sendiri, merupakan kesatuan ketata negaraan terkecil dalam daerah Syu, yang
kepalanya dipilih oleh rakyatnya dan disebut Kuchoo, dan merupakan bagian dari
sistem pertahanan militer.
Dalam kurun waktu penguasaan Jepang ini, desa dibagi-bagi atas beberapa
kampung yang terdiri atas beberapa rumah tangga. Kampung-kampung tersebut
diorganisir dalam RK (Rukun Kampung) dan kelompok rumah tangga diorganisir
ke dalam RT (Rukun Tetangga). Istilah inilah yang sampai saat ini dikenal dengan
sebutan RW dan RT.
Pemerintahan desa pada zaman Jepang lebih menekankan fungsi
pengawasan, pengendalian, dan pengerahan rakyat untuk kepentingan
pemerintahan atasnya (Jepang).
Sudah barang tentu pengertian yang terurai di atas itu tidak dapat dianggap
sesuai lagi ketika Tentara Jepang bertekuk lutut kepada Sekutu pada tanggan 14
Agustus 1945.

4. Zaman Kemerdekaan

16
UU NO 1 TAHUN 1945 TENTANG KOMITE NASIONAL DAERAH

Setelah Proklamasi Kemerdekaan yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945


ditetapkan UUD 1945 untuk pertama kalinya oleh PPKI sebagai landasan
konstitusional ketatanegaraan.Pada saat itu struktur dan sistem ketatanegaraan RI
masih sangat sederhana bahkan banyak yang belum terbentuk kecuali Presiden dan
Wakil Presiden.

Kemudian pada tanggal 19 Agustus 1945 PPKI untuk sementara menetapkan


berbagai hal tentang pemerintah daerah :

1. Untuk sementara waktu, daerah negara Indonesia dibagi dalam 8 propinsi


yang masing-masing dikepalai oleh seorang Gubernur. Propinsi-propinsi
tersebut adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Borneo,
Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil.

2. Daerah Propinsi dibagi dalam Keresidenan yang dikepalai oleh Residen,


Gubernur dan Residen dibantu oleh Komite Nasional Daerah (KND).

3. Untuk sementara waktu, kedudukan Kooti dan sebagainya diteruskan sampai


sekarang.

4. Untuk sementara waktu kedudukan kota diteruskan sampai sekarang.

Dari konfigurasi tersebut terlihat bahwa struktur dan sistem pemerintah


daerah di Indonesia pada awal kemerdekaan masih sangat sederhana yaitu terdiri
dari Propinsi, Keresidenan, Kooti, dan Kota ditambah KND.

Untuk mengefektifkan KND dalam membantu pemerintah daerah, pada


tanggal 30 Oktober 1945 BP KNP mengeluarkan Rancanngan Undang-Undang
(RUU) tentang kedudukan KND melalui pengumuman No. 2 dan disetujui
pemerintah tanggal 23 Nopember 1945 yaitu Undang-Undang No. 1 tahun 1945
tentang KND yang hanya berjumlah 6 pasal.

Atas fakta tersebut tidak heran jika terdapat banyak kelemahan didalamnya,
antara lain adanya dualistik pemerintah daerah, yaitu :

17
a. Jenis pemerintah di daerah

Terdapat dua jenis pemerintah di daerah, yaitu pemerintah di daerah yang


memilik KNID dan tanpa KNID.Pemerintah di daerah yang mempunyai KNID
adalah pemerintah daerah otonom yang berhak mengatur rumah tangga daerah
(Keresidenan, Pemerintah Kota, Kabupaten dan daerah lain yang dianggap perlu
oleh Menteri Dalam Negeri).

Pemerintah di daerah lainnya seperti Propinsi,(kecuali Propinsi Sumatera),


Kewedanaan, Kecamatan adalah daerah administratif belaka.

b. Susunan pemerintah daerah ( otonom )

Ada dua penyelenggara pemerintahan dalam daerah otonom yaitu


penyelenggaraan urusan rumah tangga daerah (KNID, Badan Eksekutif Daerah dan
Kepala Daerah) dan penyelenggara urusan pemerintah lainnya yang dilakukan
Kepala Daerah.

Sifat dualistik terlihat dalam penjelasan Undang-undang No. 1 tahun 1945


yang tetap mengakui dan memberlakukan peraturan perundang-undangan
pemerintah daerah (Desentralisasi) Hindia Belanda yang selalu bersifat dualistik
yaitu membedakan antara peraturan perundang-undangan untuk Jawa-Madura dan
untuk luar Jawa.

Sifat Dualistik ini sangat ditonjolkan sebagai salah satu kelemahan utama
Undang-undang No.1 tahun 1945 yang menyebutkan bahwa Kepala Daerah yang
memimpin KNID dan Badan Eksekutif Daerah adalah pejabat pemerintah pusat di
daerah.

Dalam penjelasan disebutkan Kepala Daerah adalah Ketua dan anggota


badan eksekutif, sedangkan dalam hubungan dengan KNID (Badan Legislatif)
Kepala Daerah hanya menjadi Ketua saja.Kedudukan Kepala Daerah dalam dua
alat perlengkapan pemerintah daerah tersebut dapat diperkirakan mempengaruhi
dalam penyelenggaraan pemerintah daerah karena kedua badan (Eksekutif dan
Legislatif daerah) berada pada pada satu tangan.

18
Disamping itu, Kepala Daerah sebagai pejabat pusat juga menyelenggarakan
urusan-urusan pemerintah pusat di daerah. Dengan kata lain bahwa dalam diri
Kepala Daerah menyatu tugas, wewenang dan tanggung jawab
menyelenggarakan semua urusan, baik urusan rumah tangga daerah maupun
urusan pemerintahan pusat di daerah.

Dengan struktur demikian, jelas kedudukan KDH adalah sangat dominan dan
secara teoretik dan praktik penyelenggaraan pemerintahanh dapat dikatakan
bergantung kepada kemauan KDH semata, sehingga pelaksanaan prinsip-prinsip
demokrasi di daerah masih jauh dari harapan, begitu pula kontrol dari KDH hampir
tidak terlihat sama sekali dan sangat lemah.

Oleh karena itu, wajar bila ada yang menyimpulkan bahwa Undang-undang
No. 1 tahun 1945 mengandung beberapa hal :

1. Disamping sifat dualistik dalam lingkungan pemerintahan daerah otonom, juga


masalah yang mendasar adalah ketidakjelasan tugas, wewenang, dan tanggung
jawab daerah otonom. Ketidakjelasan urusan rumah tangga daerah otonom ini
menyebabkan tidak terwujudnya otonomi Indonesia yang berdasarkan kedaulatan
rakyat.

2. Kepala Daerah sebagai pejabat pusat didaerah, juga sebagai kepala badan
legislatif daerah / KND dan badan eksekutif daerah mempunyai kedudukan yang
sangat dominan untuk mengendalikan pemerintahan daerah otonom agar berjalan
sesuai dengan kebijaksanaan pusat.

3. Dipersatukannya pimpinan pemerintahan otonom dalam diri Kepala Daerah


ditambah ketidakjelasan urusan rumah tangga daerah sehingga akan mewujudkan
kecenderungan penyelenggaraan pemerintahan sentralistik dan memudarkan
unsur-unsur desentralisasi.

4. Daerah-daerah menjalankan sistem otonomi formal secara kolegial. Hal itu


tersurat dalam ketentuan pasal 2 ”Komite Nasional Daerah menjadi Badan
Perwakilan Rakyat Daerah yang bersama-sama dengan dan dipimpin Kepala
Daerah menjalankan pekerjaan mengatur rumah tangga daerahnya, asal tidak

19
bertentangan dengan peraturan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang
lebih luas dari padanya.

5. Hubungan antara DPRD dengan Badan Eksekutif Daerah dikepalai oleh Kepala
Daerah menunjukkan betapa kuatnya Kepala Daerah sebagai alat pemerintah pusat
yang juga mendominasi dua lembaga (organ) daerah lainya (DPRD dan Badan
Eksekutif Daerah).

UU RI NO.22 TAHUN 1948 TENTANG POKOK PEMERINTAH DAERAH

Menyadari bahwa Undang-undang No.1 tahun 1945 masih jauh dari


kesempurnaan dan harapan sebagai dasar dalam menjalankan pemerintahan daerah
yang berkedaulatan rakyat. Hal itu termuat dalam penjelasan umum Undang-
undang No. 22 tahun 1948 sebagai berikut :

1. Baik pemerintah maupun Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat


merasa akan pentingnya untuk segera memperbaiki pemerintah daerah yang
dapat memenuhi harapan rakyat, ialah pemerintah daerah yang kolegial
berdaswarkan kedaulatan rakyat (Demokrasi) dengan ditentukan batas-batas
kekuasaannya.

2. Karena kesederhanaan Undang-undang No. 1 tersebut, kewajiban dan


pekerjaan pemerintah daerah yang berhak mengatur dan mengatur rumah
tangganya sendiri tidak dapat diatur oleh pemerintah pusat dengan baik.
Karena itu DPRD tidak mengetahui batas-batas kewajibannya dan bekerja ke
arah yang tidak tentu. Dewan itu lebih memperhatikan soal-soal politik
mengenai beleid pemerintah pusat daripada kepentingan daerahnya.

Pemerintah Kabupaten, Kota, Keresidenan dan desa yang berotonomi masih


meneruskan seperti era penjajahan, sehingga belum memberikan manfaat yang
banyak terhadap kepentingan rakyat / daerahnya.

Di daerah-daerah, pemerintahan daerah masih dualistis sebagaimana pada


jaman yang lampau, yang harus selekas mungkin dihindarkan dan pemerintahan
kolegial yang berdasarkan kedaulatan rakyat dapat dilahirkan.

20
Berdasarkan penjelasan tersebut, tergambar bahwa pentingnya Undang-
undang No. 22 tahun 1948 tentang pemerintahan daerah, selain sebagai pengganti
Undang-undang No. 1 tahun 1945 yang sangat sederhana dan peraturan perundang-
undangan yang dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda bersifat sentralistis, juga
untuk memenuhi tuntutan akan pemerintahan kolegial yang demokratis beserta
pengaturan-pengaturan lainnya yang belum sempat diatur dalam UU sebelumnya.

Di dalam Undang-undang ini dikenal dua jenis daerah otonom yaitu daerah
otonom biasa dan daerah istimewa yang keduanya berhak mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri.

Berpedoman pada ketentuan Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) yang merumuskan
bahwa DPRD mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya dan hal-hal yang
masuk urusan rumah tangganya ditetapkan dalam Undang-undang
pembentukannya, maka termuat didalamnya tentang kewenangan DPRD Untuk
melakukan pengaturan dan pengurusan rumah tangga daerahnya.

Dalam menjalankan kewenangannya tersebut, DPRD mengeluarkan berbagai


bentuk produk hukum yaitu ”Putusan”, ”Ketetapan”, ”Peraturan”, ”Pedoman”,
”Usul”, ”Menunjuk”, ”Mengatur dan Mengurus”, ”Mengatur atau Peraturan”,
”Peraturan-Peraturan”, atau ”Peraturan Daerah”, ”Keberatan dan
”Pembelaan”.

Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang masih ada dari UU tersebut, tetapi


dengan Undang-undang No.22 tahun 1948 merupakan salah satu upaya dalam
rangka penataan pemerintahan daerah yang demokratis dibandingkan yang terdapat
dalam UU No. 1 tahun 1945.

Inti Pembahasan Sistem Pemerintahan Desa Masa Setelah Kemerdekaan

1. Zaman Kemerdekaan

 Awal Kemerdekaan :

 Pasal 18 UUD 1945 merupakan pengakukan Negara terhadap keberadaan


Desa atau nama lain

21
 Segala Peraturan Negara mengenai daerah akan mengingati hak asal usul
daerah tersebut

 Peraturan mengenai Desa belum sempat diterbitkan sebagai pengganti IGO


dan IGOB

 Dalam praktek pengaturan Pemerintahan Desa diserahkan kepada masing-


masing Pemerintah Daerah dan masih cenderung menggunakan ketentuan
dalam IGO dan IGOB

2. Pasca Kemerdekaan :

 UU Nomor 1 Tahun 1945 ;

 Sudah menyebut adanya pemerintahan Desa, Marga dan Nagari

 Namun belum lahir aturan teknis penyelenggaraan pemerintahan desa

 Pengaturan pemerintahan desa diserahkan kepada Gubernur Meliter masing-


masing Daerah

 UU Nomor 22 Tahun 1948 ;

 UU ini sudah mengamanatkan adanya Desa sebagai Daerah Otonom Tingkat


III

 Dalam praktek belum ada aturan teknis yang dikeluarkan

 Penyelenggaraan pemerintahan desa diserahkan kepada Pemerintah Daerah/


Gubernur Melitier masing-masing Daerah

 UU Nomor 1 Tahun 1957 ;

 Hanya mengatur tentang pemerintahan daerah

 Belum ada hal yang mengatur tentang pemerintahan desa

5. Zaman Orde Lama

22
Pada tahun 1965, pemerintah mengeluarkan undang-undang nomor 19 tahun
1965 tentang desapraja sebagai bentuk peralihan untuk mempercepat terwujudnya
daerah tingkat III di seluruh wilayah Indonesia. Pada pasal 1 dijelaskan tentang
desapraja, yaitu kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya,
berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya, dan mempunyai
harta benda sendiri.

Pengertian desa diatas lebih merupakan definisi yang lebih konkret dari apa
yang telah ditentukan dalam undang-undang nomor 22 tahun 1948. Dalam undang-
undang ini, pemberian hak mengatur rumah tangga sendiri lebih tegas, sebagai
mana diatur dalam pasal 34. Secara organisatoris desapraja didukung oleh alat-alat
kelengkapan yang diatur dalam pasal 7. Menurut pasal ini alat-alat kelengkapan
desapraja terdiri atas kepala desapraja, badan msyawarah desapraja, petugas
desapraja, pamong desapraja, panitera desapraja, dan badan pertimbangan
desapraja. Adapun fungsi dan tugas-tugas alat kelengkapan desapraja tersebut
adalah sebagai berikut :

1. kepala desapraja adalah penyelenggara utama urusan rumah tangga desapraja


dan merupakan alat pemerintahan pusat (pasal 8)

2. badan musyawarah desapraja adalah perwakilan dari masyarakat desapraja


(pasal 17)

3. pamong desapraja adalah pembantu kepala desapraja yang mengepali suatu


dukuh dalam lingkungan daerah desapraja (pasal 25)

4. panitera desapraja adalah pegawai desapraja yang memimpin penyelenggaraan


tata usaha desapraja dan tata usaha kepala desapraja dibawah pimpinan
langsung kepala desapraja (pasal 28).

5. petugas desapraja adalah pembantu-pembantu kepala desapraja dan pamong


desapraja dalam penyelenggaran urusan rumah tangga desapraja (pasal 30).

6. setiap desapraja memiliki badan pertimbangan desapraja (pasal 32). Badan


pertimbangan desapraja bertugas memberikan nasihat yang diminta atau yang
tidak diminta oleh kepala desa peraja 9pasal 33).

23
Undang-undang nomor 19 tahun 1965 tidak sempat dilaksanakan karena
terjadi peristiwa G 30 S/PKI.Akibat peristiwa tersebut terjadi pergantian
rezim.Rezim soekarno/orde lama jatuh dan digantikan oleh rezim baru/orde baru.
Rezim orde baru yang berorientasi pembangunan menata ulang system
ketatanegaran untuk disesuaikan dengan tujuan pembangunan yang menjadi
paradigmanya.Undang-undang nomor 19 tahun 1965 tentang desa praja ini tidak
sempat dilaksanakan. Pemerintah orde baru yang menggantikanorde lama
memandang undang-undang ini tidak sesuai dengan perkembangan kenegaraan dan
tujuan pembangunan yang sedang dilaksanakan.Untuk itu, melalui undang-undang
no 6 tahun1969, undang-undang tentang desapraja dinyatakan tidak berlaku.Mulai
saat itu dasar hokum desa menjadi tidak jelas. IGO dan IGOB sudah dicabut oleh
undang-undang no 19 tahun 1965, sedangkan undang-undang no 19 tahun 1965
dicabut dengan UU nomor 6 tahun 1965.

Untuk mengatasi kekosongan landasan hukum tentang desa, dikeluarkan


surat edaran mendagri nomor 5/1/1969, tanggal 29 april 1969 tentang pokok pokok
pembangunan desa. Dalam surat edaran tersebut desa diberi pengertian sebagai
berikut : Desa dan daerah yang setingkat adalah kesatuan masyarakat hokum baik
genealogis maupun territorial yang secara hirarkis pemerintahannya langsung
dibawah kecamatan.

Setelah mengalami kevakuman selama 10 tahun, melalui undang-undang


nomor 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa, desa mulai mendapat dasar aturan
yang jelas lagi. Undang-undang ini mengatur pemerintahan desa sebagai berikut :

1. Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai
kesatuan masyarakat hokum termasuk didalamnya kesatuan masyarakat
hokum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah
camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan
Negara kesatuan republic Indonesia.

2. pemerintahan desa terdiri atas kepala desa dan lembaga musyawarah desa.

24
3. dalam menjalankan tugasnya kepala desa diantu oleh perangkat desa yang
terdiri atas unsur staf dan unsur pelaksanaan : sekertariat desa sebagai unsur
staf dan kepala dusun sebagai unsur pelaksana.

4. sekertaris desa memimpin sekrerariat desa yang terdiri atas kepala-kepala


urusan.

5. desa bukanlah daerah otonom sebagaimana daerah otonom dalam pengertian


daerah tingkat I/ daerah tingkat II.

6. desa bukanlah suatu satuan wilayah. Desa hanya bagian dari


wilayahkecamatan.

7. desa adalah satuan ketatanegaraan yang berkedudukan langsung dibawah


kecamatan.

Undang-undang nomor 5 tahun 1979 ini secara konstitusional mengacu pada


undang-undang dasar 1945 pasal 18 tentang pemerintahan daerah. Atas dasar pasal
18 UUD 1945 ini dikeluarkan UU no 5 tahun1974 tentang pokok pokok
pemerintahan daerah. Kemudian berdasarkan pasal 88 UU nomor 5 tahun 1974,
dibuat UU nomor 5tahun 1979 tentang pemerintahan desa.

Untuk melaksanakan UU nomor 5 tahun 1979 dikeluarkan instruksi mentri


dalam negri nomor 9 tahun 1980 tentang pelaksanaan UU nomor 5 tahun 1979.
Instruksi ini ditujukan kepada gubernur kepala daerah tingkat I seluruh
Indonesia.Isinya supaya gubernur kepala daerah tingkat I melaksanakan semua
ketentuan yang tercantum dalam undang-undang nomor 5 tahun 1979 dengan
berpedoman pada instruksi mendagri ini.

Alat-alat kelengkapaan Desapraja terdiri dari Kepala Desapraja, Badan


Musyawarah Desapraja, Pamong Desapraja, Panitera Desapraja, Petugas Desapraja
dan Badan Pertimbangan Desapraja.
Kepala Desapraja adalah penyelenggara utama urusan rumah-tangga
Desapraja dan sebagai alat Pemerintah Pusat.Kepala Desapraja mengambil
tindakan-tindakan dan keputusan-keputusan penting setelah memperoleh
persetujuan Badan Musyawarah Desapraja.Kepala Desapraja dipilih langsung oleh

25
penduduk Desapraja yang sudah berumur 18 tahun atau sudah (pernah) kawin dan
menurut adat-kebiasaan setempat sudah menjadi warga Desapraja yang
bersangkutan.Kepala Desapraja diangkat oleh Kepala Daerah tingkat I dari sedikit-
dikitnya dua dan sebanyak- banyaknya tiga orang calon, berdasarkan hasil
pemilihan yang sah, untuk suatu masa jabatan paling lama delapan tahun.Kepala
Daerah tingkat I dapat menguasakan kewenangan tersebut kepada Kepala Daerah
tingkat II yang bersangkutan.
Yang dapat dipilih dan diangkat menjadi Kepala Desapraja ialah penduduk
yang menurut adat-kebiasaan setempat telah menjadi warga Desapraja, yang:

1. sekurang-kurangnya telah berumur 25 tahun;

2. berjiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 dan tidak pernah memusuhi perjuangan


Kemerdekaan Republik Indonesia;

3. menyetujui Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, demokrasi


terpimpin, ekonomi terpimpin dan kepribadian Indonesia yang berarti bersedia
turut serta aktif melaksanakan Manifesto Politik Republik Indonesia tertanggal
17 Agustus 1959 dan pedoman-pedoman pelaksanaannya,

4. tidak sedang dipecat dari hak memilih atau hak dipilih dengan keputusan
pengadilan yang tidak dapat diubah lagi;

5. mempunyai kecakapan dan pengalaman pekerjaan yang diperlukan dan


sekurang-kurangnya berpendidikan tamat Sekolah Dasar atau berpengetahuan
yang sederajat dengan itu.

Badan Musyawarah Desapraja adalah perwakilan dari masyarakat


Desapraja. Jumlah anggota dan perubahan jumlah anggota Badan Musyawarah
Desapraja ditetapkan untuk setiap Desapraja oleh Pemerintah Daerah tingkat II,
sedikit-dikitnya 10 dan sebanyak-banyaknya 25 orang, tidak termasuk Ketua.
Keanggotaan Badan Musyawarah Desapraja berlaku untuk masa empat
tahun.Anggota yang mengisi lowongan keanggotaan antar waktu, duduk dalam
Badan Musyawarah Desapraja hanya selama sisa masa empat tahun
tersebut.Anggota-anggota Badan Musyawarah Desapraja dipilih secara langsung

26
oleh penduduk Desapraja yang sudah berumur 18 tahun atau sudah (pernah) kawin
dan menurut adat-kebiasaan setempat sudah menjadi warga Desapraja yang
bersangkutan.Peraturan pemilihan, pengangkatan dan penggantian anggota Badan
Musyawarah Desapraja ditetapkan oleh Pemerintah Daerah tingkat I, dengan
mengingat pula adat-kebiasaan setempat serta seboleh- bolehnya menjamin bahwa
semua dukuh dalam daerah Desapraja sekurang-kurangnya mempunyai seorang
wakil.

Yang dapat menjadi anggota Badan Musyawarah Desapraja ialah penduduk


yang menurut adat-kebiasaan setempat telah menjadi warga Desapraja, yang:

1. sekurang-kurangnya telah berumur 21 tahun;

2. bertempat tinggal pokok dalam daerah Desapraja yang bersangkutan;

3. cakap menulis dan membaca bahasa Indonesia dalam huruf latin;

4. tidak sedang dipecat dari hak memilih atau hak dipilih dengan keputusan
pengadilan yang tidak dapat diubah lagi;

5. menyetujui Undang-undang Dasar 1945, sosialisme Indonesia, demokrasi


terpimpin, ekonomi terpimpin dan kepribadian Indonesia, yang berarti
bersedia turut serta aktif melaksanakan Manifesto Politik Republik Indonesia
tertanggal 17 Agustus 1959 dan pedoman-pedoman pelaksanaannya;

6. tidak menjadi anggota/bekas anggota sesuatu partai/organisasi yang menurut


peraturan perundangan yang berlaku dinyatakan dibubarkan/terlarang oleh
yang berwajib, kecuali mereka yang dengan perkataan dan perbuatan
membuktikan persetujuannya dengan apa yang tersebut dalam sub c, menurut
penilaian Kepala Daerah Tingkat II dan disetujui oleh Kepala Daerah tingkat I.

Pamong Desapraja adalah pembantu Kepala Desapraja yang mengepalai


sesuatu dukuh dalam lingkungan daerah Desapraja, yang masa jabatannya paling
lama delapan tahun.Pamong Desapraja adalah penduduk dukuh yang bersangkutan,
dan dipilih oleh Badan Musyawarah Desapraja dari sedikit-dikitnya dua dan
sebanyak-banyaknya tiga orang calon, yang diajukan oleh Kepala

27
Desapraja.Pamong Desapraja memulai jabatannya sesudah diangkat oleh Kepala
Daerah tingkat II.Peraturan pemilihan, pengangkatan, pemecatan sementara dan
pemberhentian Pamong Desapraja ditetapkan oleh Pemerintah Daerah tingkat I.

Panitera Desapraja adalah pegawai Desapraja yang memimpin


penyelenggaraan tata-usaha Desapraja dan tata-usaha Kepala Desapraja dibawah
pimpinan langsung Kepala Desapraja.Panitera Desapraja diangkat dan
diberhentikan oleh Kepala Desapraja dengan persetujuan Badan Musyawarah
Desapraja.Apabila diperlukan Kepala Desapraja dapat mengangkat pegawai
pembantu Panitera Desapraja.

Petugas Desapraja yang melakukan sesuatu tugas tertentu dalam hal-hal


yang bersangkutan dalam urusan agama, keamanan, pengairan atau lain-lain
menurut adat-kebiasaan setempat, adalah pembantu- pembantu Kepala Desapraja
dan Pamong Desapraja dalam penyelenggaraan urusan rumah tangga Desapraja.
Petugas-petugas yang dimaksud seperti Penghulu, Chatib, Modin, Djogobojo,
Kebajan, Ulu-ulu dan pejabat-pejabat semacam itu dengan nama lain atau pejabat-
pejabat lainnya menurut adat-kebiasaan setempat, diadakan menurut keperluannya.
Petugas-petugas tersebut diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Desapraja
dengan persetujuan Badan Musyawarah Desapraja.

Disetiap Desapraja dapat diadakan Badan Pertimbangan Desapraja.


Jumlah anggota Badan Pertimbangan Desapraja ditetapkan oleh Badan
Musyawarah Desapraja sedikit- dikitnya 5 orang dan sebanyak-banyaknya separo
dari jumlah anggota Badan Musyawarah Desapraja. Anggota Badan Pertimbangan
Desapraja ditetapkan oleh Kepala Desapraja dengan persetujuan Badan
Musyawarah Desapraja dari antara orang-orang yang berpengaruh dan dihormati
oleh masyarakat Desapraja untuk satu masa jabatan yang sama dengan masa
jabatan Kepala Desapraja. Tentang terbentuknya Badan Pertimbangan Desapraja
dan susunan anggota-anggotanya dilaporkan oleh Kepala Desapraja kepada Kepala
Daerah tingkat II. Badan Pertimbangan Desapraja bertugas memberikan nasehat
yang diminta atau yang tidak diminta oleh Kepala Desapraja.Badan Pertimbangan
Desapraja mengadakan rapat setiap waktu bila dianggap perlu oleh Kepala
Desapraja.Rapat-rapat Badan Pertimbangan Desapraja dipimpin oleh Kepala
Desapraja.
28
Bab III
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemikiran kami, birokrasi merupakan instrumen penting
dalam masyarakat modern yang kehadirannya tak mungkin terelakkan.Eksistensi
birokrasi ini sebagai konsekuensi logis dari tugas utama negara (pemerintahan) untuk
menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat (social welfare).Negara dituntut terlibat
dalam memproduksi barang dan jasa yang diperlukan oleh rakyatnya (public goods
and services) baik secara langsung maupun tidak. Konsep birokrasi sesungguhnya
berupaya mengaplikasikan prinsip-prinsip organisasi yang dimaksudkan untuk
memperbaiki efisiensi administrasi, meskipun birokrasi yang keterlaluan.Birokrasi
pemerintah merupakan garis terdepan yang berhubungan dengan pemberian
pelayanan umum kepada masyarakat.

Menurut Undang-Undang No.32 Tahun 2004 dijelaskan, dalam penyelenggaraan


pemerintahan desa dibentuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Badan ini
berfungsi melindungi berbagai adat istiadat dan menetapkan peraturan desa bersama
kepala desa.Selain itu, BPD berfungsi menampung dan menyalurkan aspirasi
masyarakat desa serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan desa.Anggota BPD ialah wakil penduduk desa bersangkutan.Mereka
ditetapkan dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat.

Mengacu pada hal tersebut, kami telah mencari tahu secara lebih mendalam
mengenai struktur organisasi pemerintahan desa dengan Bada Permusyawaratan Desa
(BPD) maupun Lembaga Musyawarah Desa (LMD) yang ada di setiap periode
berdasarkan Undang-Undang yang berlaku.

Melihat lebih jauh, kami menemukan kenyataan bahwa pada kelima periode
tersebut kedudukan Desa sebagai wilayah yang memiliki wewenang dalam mengurus
rumah tangganya sendiri masih belum jelas. Pada era Kolonial Belanda, desa atau
nama lain dibolehkan berkembang dengan adat istiadat dan hak asal-usulnya srta
mengurus rumah tangganya sendiri dengan tetap memperhatikan hokum Belanda.
Namun, ketika era jepang otonomi desa dibatasi dan desa dianggap sebagai basis
logistic perang untuk mempersiapakan keprluan pertahanan militer Jepang. Pasca

29
kemrdekaan, masa orla, desa kembali diberikan hak asal usulnya dan penyebutan nana
desa tidak diseragamkan tidak seperti halnya masa pemerintahan Jepang.

Hal ini menegaskan bahwa secara tidak langsung, negara masih membatasi
eksistensi hukum adat yang ada dalam desa adat. Namun, desa atau desa adat adalah
merupakan bagian dari NKRI hingga memang perlu untuk taat dan patuh pada hukum
negara.

Saran
1. Desa perlu mendapat perhatian dari Pemerintahan Indonesia dan masyarakat
karena mempunyai peranan yang strategis untuk kemajuan negara.
2. Nilai-nilai tradisional yang hidup di desa harus tetap dipegang teguh karena
pada umumnya akan berdampak baik bagi desa yang bersangkutan.

30
DAFTAR PUSTAKA

 Nurcholis, Hanif. 2011. Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan


Desa. Jakarta: Erlangga.

 Kartohadikoesoemo, Soetardjo. 1984. Desa. Jakarta: PN Balai Pustaka.

 Materi Sosialisasi dan Bimbingan Teknis Manajemen dan Pengelolaan


Keuangan Bagi Kepala Desa dan Camat di Wilayah Jawa Timur

 http://www.keuangandesa.com/wp-content/uploads/2015/04/UU-No-19-
Tahun-1965-Tentang-Desapraja-Sebagai-Bentuk-Peralihan-Untuk-
Mempercepat-Terwujudnya-Daerah-Tingkat-III-Di-Seluruh-Wilayah-
Republik-Indonesia.pdf

 https://www.scribd.com/document/351311874/BAB-I-Birokrasi-
Pemerintahan-Desa-kelurahan

 http://staff.unila.ac.id/ekobudisulistio/files/2013/09/01-Konsep-Birokrasi.pdf

 http://aguzssudrazat.blogspot.co.id/2014/01/pemerintahan-desa-pada-zaman-
orde-lama.htmlS

31

Anda mungkin juga menyukai