SEMINAR INTERNATIONAL
POLICY AND REGULATION SUPPORTING INCLUSION IN INDONESIA Perwujudan Elemen Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan Studi kasus Kota Surakarta
Wiwik Setyaningsih1
Abstrac : World Health Organization has projected that 10% of the global population are people with disabilities. Similarly, United Nations projected that 200 million people with disabilities live in the Asia Pacific Region. This research was aimed to identify element accesibility of building condition in Surakarta. The steps were taken to achieve the objectives: 1) to identify element accesibility of building condition in Surakarta; 2) to understand users behavior to perception. The results of this research will be recomended to the local, provincial as well as national government in order to create the environment for all people including people with disability. Key word: aware and behavior.
Pendahuluan
Sampai saat ini pembangunan gedung-gedung di Indonesia sebagian besar cenderung belum mencerminkan keadilan bagi semua orang, dikarenakan belum dapat digunakan oleh kelompok masyarakat yang memiliki kecacatan atau keterbatasan fisik. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip pembangunan dari PBB bahwa no part of the built-up
environment should be designed in a manner that excludes certain groups of people on the basis of their ability and frailty (United Nations, 1995).
Dalam skala Internasional, perumusan kebijakan dan undang-undang tentang aksesibilitas telah dikumandangkan dalam UN-ESCAP dengan program dekade penyandang cacat (19831992 dan 19932002); Deklarasi Sapporo (2002) dan Biwako Milenium
(2003). Hal ini guna menjamin dan melindungi hak-hak penyandang cacat dan lansia di dalam mendapatkan kesempatan yang setara untuk menikmati lajunya pembangunan guna meningkatkan kehidupan dan penghidupannya.
1
Ir. Wiwik Setyaningsih : Dosen Jur. Arsitektur FT.UNS & Ketua Unit Kajian Aksesibilitas Arsitektur (UKAA)
SEMINAR INTERNATIONAL
Tabel 1.1 : Prosentase Jumlah Penyandang Cacat/Penca di Indonesia No Jenis Kecacatan Prosentase 1. Cacat Mental 0,40 % 2. Cacat Netra 0,90 % 3. Cacat Wicara/T. Rungu 0,54 % 4. Cacat Tubuh 0,85 % Sumber: Departemen Sosial RI, 2003
Tabel 1.2 : Perkembangan Jumlah Lanjut Usia (Lansia)di Indonesia Tahun Jumlah Lansia 1990 12,7 juta 1995 13,3 juta 2000 17,7 juta 2020 28,8 juta
Dalam era globalisasi, menuntut terwujudkan bangunan gedung dan lingkungan yang aksesibel, selaras dengan UU No. 28/2002 tentang Bangunan Gedung (UUBG) yang telah disahkan sebagai pedoman umum pada tanggal 16 Desember 2002 terdiri dari 10 bab dan 49 pasal. Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan teknis, diantaranya pemenuhan persyaratan elemen aksesibilitas. Berdasarkan Surat Edaran Mensos. No. A/A164/VIII/2002/MS dinyatakan agar penyediaan elemen aksesibilitas mengacu pada Kepmen PU. No. 468/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas pada Bangunan Umum dan Lingkungan.
Sebagai pedoman umum, undang-undang tersebut mengatur tentang ketentuan bangunan gedung yang meliputi fungsi, persyaratan, penyelenggaraan dan pembinaan serta sanksi yang dilandasi oleh asas kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan, dan keserasian dengan lingkungannya bagi kepentingan masyarakat yang berperi kemanusiaan dan berkeadilan. Kehadirannya melahirkan berbagai konsekuensi yang harus dilaksanakan lebih lanjut oleh Pemerintah/ daerah. Hal tersebut perlu ditindaklanjuti dengan mengembangkan program ke daerah/wilayah/kota lain (Dept, Kimpraswil dalam Wiwik, 2004).
Dalam UUD 1945 tertera persamaan hak bagi setiap warga negara tanpa membedakan kondisi fisik, serta memberikan perlindungan dan persamaan hak kepada penyandang cacat dengan menerbitkan berbagai peraturan pengadaan sarana dan prasarana yang berkaitan dengan penyandang cacat.
Wiwik Setyaningsih, Unit Kajian Aksesibilitas Arsitektur (UKAA) UNS - 2005
SEMINAR INTERNATIONAL
Penyandang Cacat dan PP No. 43/1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat dinyatakan bahwa: kesamaan kesempatan penyandang cacat pada aspek kehidupan dan penghidupan, dilaksanakan melalui penyediaan elemen aksesibilitas untuk menunjang penyandang cacat agar dapat hidup bermasyarakat secara wajar dan mandiri.
Titik tolak dari perwujudan bangunan gedung dan lingkungan yang berwawasan adil bagi semua kelompok masyarakat (development for all) berarti memiliki asas kebersamaan bagi semua warga negara, tidak dibedakan kemampuan dan kepentingan individu atau kelompok. Semua mendapatkan kesempatan yang sama berperan dalam pembangunan sekaligus dapat menikmati hasil pembangunan (Ikaputra,2002). Hal ini senada dengan pengertian equity (persamaan atau keadilan) yang menekankan equity in access atau dengan kata lain access for all (Kevin Lynch).
Pada 4 Juni 2000 Pemerintah Pusat telah mengawali dengan pencanangan GAUN 2000 berupa penyediaan elemen aksesibilitas di Stasiun Gambir. Tahun 1987 sampai 1996
Center for Universal Design and Diffabilities (CUDD) Jurusan Arsitektur Teknik UGM
mengembangkan Malioboros pilot project sebagai kawasan yang aksesibel bagi semua dengan model prototype guiding block (ubin pengarah untuk tuna netra), tetapi mengkristal pada penyusunan pedoman teknis. Tahun 2002 HWPCI dengan Usakti dan IAI telah
melakukan pendataan 30 bangunan gedung di DKI Jakarta, hasilnya kurang terpublikasi. Tahun 2003, Unit Kajian Aksesibilitas Arsitektur (UKAA) UNS bekerjasama dengan Dept Kimpraswil mengadakan kegiatan TOT dan penelitian aksesibilitas Bangunan Gedung yang dilanjutkan dengan pilot project iimplementasi 5 (lima) elemen aksesibilitas pada bangunan gedung di Surakarta (Wiwik, 2003). Dengan kepedulian tersebut, pihak-pihak terkait semestinya segera menangkap dan menindak lanjuti mengembangkan program tersebut dengan memberikan kesempatan yang seimbang (equal opportunity) kepada kelompok masyarakat berkebutuhan khusus.
Surakarta sebagai kota pusat rehabilitasi penyandang cacat terkemuka di Indonesia, yakni Rehabilitatie Centrum Prof. Dr. Soeharso, penyandang cacat dan lansia belum mendapatkan perhatian yang memadai, baik dari pemerintah, swasta maupun masyarakat. Padahal sudah ada Perda No. 8/1988, tentang Bangunan di Kotamadya Surakarta harus aksesibel guna mendukung pembangunan yang adil dan merata. Dengan demikian sudah
Wiwik Setyaningsih, Unit Kajian Aksesibilitas Arsitektur (UKAA) UNS - 2005
SEMINAR INTERNATIONAL
serpantasnya wilayah Surakarta yang seharusnya mendapatkan perhatian prioritas dalam hal penyediaan elemen aksesibilitas pada bangunan gedung dan lingkungan yang
Landasan Hukum
Perwujudan Elemen Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan sebagai Universa
METODE PENELITIAN
Pengumpulan Data
Data Fisik
Pengukuran Observasi
Survey/ Kuesioner
Wawancara Mendalam
Analisis Data
SEMINAR INTERNATIONAL
Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan sebagai suatu kemudahan bergerak melalui dan menggunakan bangunan gedung dan lingkungan dengan memperhatikan kelancaran dan kelayakan, yang berkaitan dengan masalah sirkulasi, visual dan komponen setting. Sehingga aksesibilitas wajib diterapkan secara optimal, guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam mencapai segala aspek kehidupan dan penghidupan, menuntut adanya kemudahan dan keselamatan akses bagi semua pengguna tanpa terkecuali (accessible for all). Prinsip-prinsip aksesibilitas wajib diterapkan pada semua bangunan gedung dan lingkungan, di dalam maupun di luar bangunan. Penerapan prinsip-prinsip aksesibilitas sebagai berikut: 1. Kemudahan untuk menuju, masuk dan memakai atau menggunakan fasilitas umum pada bangunan gedung yang ada dengan aman, secara mandiri dan nyaman; 2. Kepedulian pelayanan dengan sikap ramah, sehingga tidak menjadi objek tontonan; 3. Mengurangi ketergantungan pada orang lain untuk menuju pada kemandirian; 4. Merasakan kesamaan hak dan kewajiban untuk menikmati lajunya pembangunan yang berkelanjutan dalam meningkatkan taraf hidupnya.
SEMINAR INTERNATIONAL
SEMINAR INTERNATIONAL
Ada 22 variabel guna mengkaji 21 bangunan gedung di Surakarta (N=21): Diawali dari luar bangunan (out door) sampai ke bangunan (in door). Pertama dari fasilitas umum halte dan trotoar menuju ke halaman bangunan gedung terdapat perbedaan ketinggian, belum terpasang ramp. Dari area parkir dan sirkulasi, hanya 5(5/N=21) yang sudah memfasilitasi parkir khusus penyandang cacat. Selanjutnya dari halaman gedung menuju ke teras dan main hall, 12 (12/=21) bangunan gedung menggunakan anak tangga tanpa ramp, hand-rail dan guiding- block, serta peta braile. Hanya sebagian bangunan gedung 9 (9/N=21) yang menyediakan ramp menuju teras dan main hall. Setelah berada di
main hall belum ditemukan counter rendah khusus bagi pengguna kursi roda. Hampir
semua bangunan gedung 15 (15/N=21) belum menyediakan kloset duduk, dan hanya 1 (RS. Dr. Oen) yang sudah aksesibel dengan luasan dapat untuk berputar kursi roda, dilengkapi rambu penyandang cacat, serta handrail. Dari hasil kajian elemen aksesibilitas pada 21 bangunan gedung di Surakarta, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar bangunan gedung 14(14/N=21) di Surakarta belum aksesibel. Salah satu Bangunan Gedung yang dirancang sebagai public space yang cenderung aksesibel adalah Bangunan Pasar Gede. Namun, pemanfaatan, manajemen dan pemeliharaannya masih sangat kurang karena tidak ada monitoring dan penegakan hukum/aturan yang tegas. Dengan demikian banyak bangunan gedung fasilitas pelayanan umum yang belum dapat diakses oleh penyandang cacat. Dari hasil kajian elemen aksesibilitas pada 21 bangunan gedung di Surakarta dapat ditarik asumsi bahwa, secara umum bangunan gedung tersebut belum memiliki kualifikasi strandar aksesibilitas (tabel.1)
Guna menganalisis kajian elemen aksesibilitas bangunan gedung di Surakarta (N=21), ada 22 variabel untuk kriteria skorring penilaian elemen aksesibilitas :
Rangkuman Standar Aksesibilitas Tabel 2.5.1 (United Nations, 1995) Persyaratan teknis aksesibilitas pada : Ukuran dasar ruang fungsional, Jalur pedestrian dan pemandu, Area parkir, Rambu, Ramp, Tangga, Lift, Pintu, KM/WC dan Wastafel, Telepon/ATM dan Perabotan (Kepmen. PU. No. 468/KPTS/1998). Faktor Pemberat (Weight Factor), nilai faktor fungsional dan karakter dari setiap elemen ruang. Jenis Bangunan Nama Bangunan Dibangun tahun Alamat/Lokasi Tanggal Surveyor : : : : : : . . . . . .
SEMINAR INTERNATIONAL
Kriteria/Score A/ 4 Aksesibilitas Baik B/ 3 Aksesibilitas Cukup C/ 2 Aksesibilitas Kurang D/1 Tidak Ada Aksesibilitas
Keterangan Aksesibilitas Baik, Aksesibel sempurna standar Aksesibilitas Cukup, Aksesibel sebagian standar Aksesibilitas Kurang, Aksesibel tidak standar Aksesibilitas Tidak Ada, Tidak aksesibel
Tabel.2: Penilaian Komponen Aksesibilitas Bangunan Gedung Fasilitas Pelayanan Umum di Surakarta secara Keseluruhan ( N = 21 bangunan gedung)
No 1. Komponen Trotoar Keterangan Lebar trotoar 2-3 m, relatif datar, menggunakan paving block. Beberapa trotoar dipergunakan oleh PKL sehingga penca cacat sulit mengakses. Cenderung belum terdapat ramp pada setiap sambungan antar trotoar Sco re 6
WF=3
2. 3. 4. 5. Halte Bus
Halte bus relatif sedikit, semuanya belum terdapat ramp dan guiding block, sehingga penyandang cacat sulit mengakses mencapai halte bus. WF=3 Main entrance Main entrance bangunan gedung sudah jelas berada di bagian depan di tepi jalan, WF=1 terpasang papan nama sebagai identitas bangunan. Halaman Halaman relatif luas, permukaan datar, sudah terlihat penataan space pembagian WF=1 fungsi (parkir,taman), belum terdapat guiding block dan ramp. Area parkir
3 3 3 6
WF=2
6.
Memiliki area parkir cukup, Sudah terdapat pembangian tempat kendaraan roda empat dan roda dua, namun belum terdapat jalur khusus dan guiding block serta tempat dan tanda parkir khusus untuk penyandang cacat. Memiliki kanopi cukup untuk 1 kendaraan roda empat, permukaan datar,. Cenderung belum ada jalur khusus ramp dan guiding block sehingga pengguna kursi roda kesulitan untuk mengakses. Memiliki teras lebar 2 -3 m, datar, menggunakan lantai keramik, licin. Terdapat tangga dan hanya terlihat beberapa bangunan yang telah melengkapi dengan ramp, sudut kemiringan curam sekitar 150, serta belum terdapat guiding block. Memiliki pintu lebar 2 m (2 pasang), sudah terdapat area bebas ayunan,. Ketinggian pegangan/handle 1 m, pengguna kursi roda sulit menjangkau, material kaca semua, berbahaya bagi kursi roda dan stick tuna netra. Memiliki main hall cukup, relatif datar, lantai keramik licin. Disediakan meja informasi ketinggian 1 m, pengguna kursi roda sulit menjangkau, belum ada tanda khusus pelayanan untuk penca. Lebar anak tangga/unstrade 40 cm, ketinggian/upstrade 30 cm. Sudah dilengkapi dengan pegangan/hand rail, menggunakan keramik licin. . Belum terdapat ramp, hanya sebagian gedung dipasang ramp pada bagian tangga depan menuju teras yang sifatnya tambahan dengan kemiringan sekedar mencocokkan dengan area yang ada, tanpa pegangan, belum terpasang guiding block, sehingga cenderung tidak aksesibel. Rata-rata bangunan gedung di Surakarta tidak memiliki ruang lift, karena hanya 3 lantai, jadi dirasa kurang efisien dan terlalu mahal biayanya. Masih sebagian yang menyediakan ruang telpun/ATM, khusus untuk penyandang cacat belum ada, pengguna kursi roda kesulitan menjangkau. Belum disediakan tempat duduk untuk istirahat, padahal sebagian besar relatif masih bisa sebagai tempat istirahat jika ada tempat duduknya.
Kanopi WF=2
Teras
7.
WF=1
8. Pintu
WF=2
9. 10. 11. 12.
6 4 6 4
WF=2
Tangga
WF=3
Ramp
WF=4
Ruang lif
0 4 6
WF=2
Telpun/ ATM
WF=4
Area istirahat
WF=3
SEMINAR INTERNATIONAL
WF=2
17. Ruang Utama/ Ruang Serbaguna
Memiliki jalur sirkulasi lebar 2 3m, permukaan relatif datar menggunakan lantai keramik licin bagi pengguna kruk. Semua nya belum terpasang guiding block kecuali bangunan pasar gede.
WF=2
18. KM/WC
Memiliki luasan mencukupi, permukaan relatif datar, menggunakan lantai keramik licin. 6 Area sirkulasi dan penataan perabot sering kurang diperhatikan, terlihat kurang menjamin kenyamanan dan kemandirian penyandang cacat yaitu pengguna kursi roda untuk berputar. Bangunan di Surakarta belum memiliki KM/WC yang aksesibel kecuali bangunan Pasar Gede dan RS. Dr. Oen. Luasannya tidak cukup untuk berputar kursi roda, belum terpasang closet duduk, tanpa pegangan. Ruang mushola relatif sempit,sudah ada pemisahan hijab. Tempat wudu dan toilet sudah terpisah. Belum ada yang dilengkapi dengan ramp menuju ke area sholat, sehingga pengguna kursi roda kesulitan. Memiliki kantin, tetapi belum ada yang aksesibel Memiliki luasan pantry mencukupi, tetapi hanya diperuntukkan untuk pegawai yang tidak memeliki kecacatan fisik. Memiliki luasan mencukupi, tetapi hanya diperuntukkan untuk pegawai yang tidak memeliki kecacatan fisik. : : : 88 C Kurang aksesibel 8
WF=4
19. Mushola
WF=2
20. 21. Kantin
1 1
22.
WF=1
Score Total Kriteria Keterangan
Gambar 1 : Guiding block dan ramp dg kemiringan 7 derajat, sehingga pengguna kursi roda bisa mengakses secara mandiri pada Bangunan Gedung Pasar Gede Surakarta Sumber : Dokumentasi CUDD dan UKAA, 2002
Gambar 2 : Ramp pada Bangunan Gedung Balaikota Surakarta (terpasang pada bagian samping dan bagian depan bangunan utama) Sumber : Dokumentasi UKAA, 2003 Wiwik Setyaningsih, Unit Kajian Aksesibilitas Arsitektur (UKAA) UNS - 2005
SEMINAR INTERNATIONAL
Dari hasil kajian pada 21 Bangunan Gedung di Surakarta (N=21), hanya terdapat 7 (7/N=21) bangunan gedung cukup aksesibel walaupun belum sempurna. Sehingga dapat dikatakan bahwa sebagian besar bangunan gedung di Surakarta belum aksesibel. Pengamatan empiris dilapangan menujukkan bahwa beberapa bangunan gedung sudah memasang ramp berdampingan dengan tangga untuk menuju main hall, tetapi kemiringan masih curam (melebihi 8o), perlengkapan hand rail belum ada, menggunakan material
keramik licin. Luasan KM/WC belum dapat untuk berputar pengguna kursi roda (luasan kurang dari 1,80x1,80m2), serta belum terpasang hand rail/pegangan di bagian dalam, ketinggian closet lebih dari 45-50 cm). Hasil pengamat wawancara dengan stakeholders, pemahaman tentang rambu tuna netra guiding block masih sangat kurang. Hal ini terbukti belum ada satu bangunan gedung pun yang menggunakan rambu guiding block yang memenuhi standar aksesibilitas. Dalam hal ini tim peneliti harus memberikan penjelasan secara visual kepada pihak perusahaan tegel dan memberikan contoh bentuk tegel guiding block. Dengan demikian untuk implementasi pemasangan rambu guiding block memerlukan pemesanan yang memakan waktu cukup lama, karena bagi pihak perusahaan tegel merupakan hal yang baru, belum pernah dikerjakan oleh satupun perusahaan tegel di Surakarta.
KESIMPULAN Beberapa hal yang menjadi kendala dalam mewujudkan bangunan gedung yang aksesibel (universal design sebagai architectural barrier free) bagi kelompok masyarakat yang berkebutuhan khusus termasuk penyandang cacat dan yakni: Kurangnya pengetahuan dan pemahaman dari pemilik/pengelola bangunan gedung mengenai acuan aksesibilitas dan kelompok masyarakat yang berkebutuhan khusus. Oleh karena itu diperlukan upaya sosialisasi memberikan pengetahuan, pemahaman serta simulasi untuk kepedulian terhadap penyandang cacat. Akibat dari terbatasnya pengetahuan tersebut, pemilik/pengelola bangunan gedung belum tergerak untuk memberikan perhatian kepada penyandang cacat, sehingga kebutuhan penyandang cacat terabaikan. Sehingga diperlukan adanya reward system bagi pemilik dan pengelola bangunan gedung yang sudah memiliki kepedulian terhadap penyandang cacat dalam mewujudkan bangunan gedung yang aksesibel seperti tertera dalam UUBG.
Wiwik Setyaningsih, Unit Kajian Aksesibilitas Arsitektur (UKAA) UNS - 2005
10
SEMINAR INTERNATIONAL
REKOMENDASI Untuk dapat merealisasikan terwujudnya bangunan gedung yang aksesibel, maka
diharapkan dari pihak terkait antara aparat pemerintah, swasta, pengelola/pemilik, penyedia jasa dan masyarakat pada umumnya, dapat merealisasikannya secara terpadu, sinergis dan koordinatif agar tercapai target utama yaitu tersosialisasinya UUBG dan menindaklanjuti program aksi dalam mewujudkan bangunan gedung yang manusiawi, bermartabat dan dapat diakses oleh semua kelompok masyarakat tanpa terkecuali.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2001, A City For All, Barrier-Free Environment Finland; National Center on Accessibility (NCA); Integrated National Disability Strategy of the Government of National Unity, (CUDD), Dept. of Arhitecture, Gadjah Mada University, Indonesia. Anonim, 1998, Design an Accessible City, Corporation of London. Departemen Sosial RI, 2002, Buku Panduan Program Departemen Sosial RI 2002 ESCAP, 1995, Promotion of Non-Handicapping Physical Environments for Disabled Persons: Casestudies, ESCAP, United Nations, New York. Haryadi, dan B. Setiawan, 1995, Arsitektur Lingkungan dan Perilaku, Suatu Pengantar ke Teori Metodologi dan Aplikasi, PPSL DIRJEN DIKTI DEPDIKBUD RI. Ikaputra, 2002, The Role of Guiding Blocks to Promote Barrier-Free Environment in Indonesia, Paper presented at International Conference for Universal Design, Yokohama, Japan. Lynch, K, 1987, Good City Form. The MIT Press. Lysack, 1992, Community Based Rehabilitation Disability Attitudes, Beliefs, and Behaviour (DABB) Study in North Sulawesi, Indonesia, Queens University, Canada. Miles,M,B & A, Hubberman, 1992, Analisis Data Kualitatif, (Terjemahan: Tjetjep Jakarta: Universitas Indonesia Press. Rohendi Rohidi),
Newman,O, 1972, Defensible Space: People and Design in the Violent City, Macmillan, New York. Rapoport, A, 1987, The Meaning of The built Environment, An Nonverbal Communication Approach, Sage Publication. Setyaningsih, W, 2000, Identifikasi Setting Perilaku Pengguna pada Area Parkir sebagai Guide Line Perencanaan Kebutuhan Fasilitas Parkir yang Optimal, UGM, Jogja. Setyaningsih, W, 2003, TOT dan Penelitian Aksesibilitas Bangunan Gedung di Surakarta, UKAA FT UNS ( Laporan Penelitian) + Kimpraswil. Setyaningsih, W, 2004, Pendataan Elemen Aksesibilitas pada 40 Bangunan Gedung di DKI Jakarta UKAA FT UNS (Laporan Penelitian) + Kimpraswil. Tim Penyusun Pedoman Teknis Persyaratan Teknis Bangunan Gedung, 2002, Undang Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung, Departemen Permukiman Dan Prasarana Wilayah, Jakarta. Zeisel, J, 1981, Inquiry By Design : Tools for Environment-Behavior Research, Cambridge University Press, Cambridge.
11
SEMINAR INTERNATIONAL
12
SEMINAR INTERNATIONAL
13