Anda di halaman 1dari 3

Bayi Tabung

Bayi tabung atau istilah inseminasi buatan bukanlah wacana baru yang kita lihat pada tataran empirik saat ini. Namun permasalahan ini masih aktual saja untuk dibicarakan maupun didiskusikan terutama bagi kalangan akademis, intelektualis yang tentunya harus perspektif dalam memahami suatu permasalahan, bukan menjadi enigma bagi dirinya sendiri. Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang menyinggung masalah ini. Dalam Undang-Undang No. 23 /1992 tenang Kesehatan, pada pasal 16 disebutkan, hasil pembuahan sperma dan sel telur di luar cara alami dari suami atau istri yang bersangkutan harus ditanamkan dalam rahim istri dari mana sel telur itu berasal. Hal ini menjawab pertanyaan tentang kemungkinan dilakukannya pendonoran embrio. Jika mengacu pada UU No.23/1992 tentang Kesehatan, upaya pendonoran jelas tidak mungkin.

Bayi tabung menurut kode etik Pada kasus yang sedang dibahas ini tampak sekali ketidaksesuaiannya dengan budaya dan tradisi ketimuran kita. Sebagian agamawan menolak Fertilisasi invitro pada manusia, sebab mereka berasumsii bahwa kegiatan tersebut termasuk Intervensi terhadap karya Illahi. Dalam artian, mereka yang melakukakan hal tersebut berarti ikut campur dalam hal penciptaan yang tentunya itu menjadi hak prioregatif Tuhan. Padahal semestinya hal tersebut bersifat natural, bayi itu terlahir melalui proses alamiah yaitu melalui hubungan sexsual antara suami-istri yang sah menurut agama. Jika salah satu benihnya berasal dari donor Jika Suami mandul dan Istrinya subur, maka dapat dilakukan fertilisasi-in-vitro transfer embrio dengan persetujuan pasangan tersebut. Sel telur Istri akan dibuahi dengan Sperma dari donor di dalam tabung petri dan setelah terjadi pembuahan diimplantasikan ke dalam rahim Istri. Anak yang dilahirkan memiliki status anak sah dan memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya sepanjang si Suami tidak menyangkalnya dengan melakukan tes golongan darah atau tes DNA. Dasar hukum ps. 250 KUHPer. Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami maka anak yang dilahirkan merupakan anak sah dari pasangan penghamil tersebut. Dasar hukum ps. 42 UU No. 1/1974 dan ps. 250 KUHPer Penerapan bayi tabung secara etik dapat dipertanggungjawabkan jika tujuannya adalah meningkatkan mutu ilmiah dan mutu pelayanan kedokteran serta diselenggarakan dengan mengikutsertakan kebijakan umum yang terdapat dalam masyarakat. Membahas Bioetika dalam TRB, lebih banyak membicarakan kontroversi dari pelaksanaan TRB itu sendiri.

Banyak pertanyaan yang menyinggung masalah etik bayi tabung, umumnya menjadi bahan debat, yang kadang-kadang tidak berkeputusan. Setiap kemajuan teknologi akan menambah topik debat baru dan seterusnya yang belum ada kesesuaian. Pertanyaan tersebut khususnya mengenai perkembangan yang lahir bayi tabung dan alami. Meskipun telah kurang lebih 25 tahun proses bayi tabung ini, penelitian yang betul-betul memenuhi persyaratan dalam meninjau perkembangan bayi tersebut belum ada. Hal ini disebabkan sulitnya penilaian sehubungan dengan tumbuh kembangnya dipengaruhi oleh berbagai faktor, selain dari pada itu bayi hasil bayi tabung sering kali diberikan perlakuan khusus oleh orang tuanya mengingat kelahirannya sangat didambakan dan melalui proses yang cukup rumit. Namun pada penelitian yang dalam waktu singkat tidak ada perbedaan dari tumbuh kembang bayi hasil bayi tabung dan bukan , meski perlu penelitian lebih lanjut. Pada saat ini mulai bergeser dari suatu riset bayi tabung menjadi bagian dari pelayan infertilitas sehingga pelayanannya merupakan bagian dari pengelolaan pelayanan infertilitas secara keseluruhan. Dalam status pelayanan ini terkait masalah informed consent yang pada proses bayi tabung harus diatur kembali mengenai otonomi, kewenangan dan pemahamannya. Komite etika kedokteran berbagai negara memberikan pandangan terhadap teknologi reproduksi buatan saat ini pada umumnya berdasarkan 4 asas yaitu berniat berbuat baik, tidak bertujuan kejahatan, menghargai kebebasan individu, menurut kaidah hukum yang berlaku. Sebagai penutup, kompleksitas masalah bayi tabung ini disebabkan semakin dinamisnya pengertian dan makna dari pergeseran nilai, norma, dan keyakinan, yang tumbuh terus di masyarakat, masyarakat ilmiah, dan masyarakat awam. Semakin majemuknya konsep berpikir dan cara pandang dari masing-masing tingkat masyarakat tersebut. Di satu pihak ilmu dan penelitian teknologinya sulit dibendung, di pihak lain perangkat norma, nilai, dan keyakinan dibuat atas keputusan masyarakat sebagai the user, sebagai pengguna dari kemajuan ilmu dan teknologi itu sendiri.

Kesimpulan Tampaknya hal ini akan tetap menjadi suatu dilema. Di satu pihak, teknik inseminasi buatan/bayi tabung atau cryopreservasi embrio manusia merupakan suatu titik terang dalam ilmu kedokteran yang dapat membantu penyelesaian masalah infertilitas Secara khusus, permasalahan mengenai inseminasi buatan dengan bahan inseminasi berasal dari orang lain atau orang yang sudah meninggal dunia, hingga saat ini belum ada penyelesaiannya di Indonesia. Perlu segera dibentuk peraturan perundangundangan yang secara khusus mengatur penerapan teknologi fertilisasi-in-vitro transfer embrio ini pada manusia mengenai hal-hal apakah yang dapat dibenarkan dan hal-hal apakah yang dilarang

Anda mungkin juga menyukai