Anda di halaman 1dari 11

P E R E N C A N A A N K A W A S A N P E S I S I R IV

EVALUASI I
CRITICAL REVIEW
Monitoring morphological changes along the coast of Huelva (SW Spain) using soft-copy photogrammetry and GIS (Jurnal no. 57 - Coastal Conservation)
Ojeda Zjar, J. ; Borgniet, L. ; Prez Romero, A.M. & Loder, J.F. OLEH :

HENDRI YANI SAPUTRA 3610100063

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER

RINGKASAN JURNAL Pengamatan Perubahan Morfologi di Sepanjang Pesisir Pantai Huelva (SW Spain) Menggunakan Fotogrametri dan GIS 1. Gambaran umum Kawasan Studi Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan morfologi yang terjadi pada pesisir pantai Huelva, terutama perubahan fisik yang terjadi pada perbukitan gumuk pasir (sand dunes) akibat aktivitas pada kawasan pesisir. Area pesisir yang akan diamati adalah sepanjang 700 m pada kawasan perbukitan gumuk pasir antara permukiman Isla Cristina dan La Antilla di sebelah barat provinsi Huelva (SW Spanyol), dekat dengan perbatasan Portugal. Berdasarkan penelitian sebelumnya, beberapa faktor penyebab perubahan morfologi pada pesisir pantai Huelva diantaranya: Kawasan pesisir ini umumnya memiliki pantai yang sangat dinamis akibat pengaruh fenomena hidrodinamika dari Samudera Atlantik. Kondisi pantainya memiliki ketinggian ombak dengan klasifikasi sedang, dimana 76% dari ombak memiliki tinggi kurang dari 50 cm dengan rata-rata ketinggian 2,10 m. Namun kekuatan ombak ini telah mampu mempengaruhi pergerakan sedimen di sepanjang pantai, dimana sedimen pada kawasan tersebut setiap saat terdorong ke arah timur dengan kecepatan perpindahan 260.000 m3 setiap tahunnya. Adanya gugusan perbukitan gumuk pasir sekarang merupakan proses yang terbentuk dari keberadaan dinamika atol atau barrier island di sekitar wilayah perairannya sejak abad ke 19. Saat itu pulau atol yang dulunya terpisah dengan daratan utama telah menyatu akibat proses pasang-surut dan sedimentasi dari muara sungai (Sungai Guadiana, Piedras, Carreras). Namun diantara muara sungai terbentuk gumuk pasir dari hasil sedimentasi yang pada akhirnya tersambung dengan pulau atol mengurung air laut, sehingga membentuk sebuah laguna (lagoon: sekumpulan air asin yang terpisah dari laut oleh penghalang yang berupa pasir, batu karang atau semacamnya). Proses ini lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 1. Akibat semakin pesatnya aktivitas manusia di Gambar 1. Ilustrasi proses sedimentasi dan daerah aliran sungai, proses sedimentasi pembentukan laguna pada muara sungai muara sungai dan pembentukan laguna ini (Sumber: Ilustrasi, 2013)

terus berlanjut hingga air laut yang terperangkap pada kolam laguna mengalami perubahan ekologi menjadi semacam rawa-rawa air asin. Pada awalnya kolam laguna ini memiliki manfaat sebagai kawasan buffer yang melindungi kawasan daratan bagian belakangnya dari laut lepas, serta sebagai drainase alami karena topografinya yang relatif lebih rendah dari kawasan daratan dibelakangnya. Namun yang menjadi masalah adalah beberapa dekade ini kolam laguna tersebut dimanfaatkan sebagai lahan untuk kegiatan manusia dengan cara dikeringkan dan reklamasi. Hal ini tentu dapat secara drastis berpengaruh pada dinamika dan morfologi pantai di sekitarnya. Kawasan perbukitan gumuk pasir telah lama menjadi kawasan pinggiran yang dianggap sebagai kawasan ekonomi marginal, terdapat sisa-sisa aktivitas seperti bekas kawasan sentra pemancingan di Isla Cristina yang dibiarkan terlantar sejak tahun 1970-an. Sehingga diidentifikasi terdapat dua faktor utama penyebab perubahan ekosistem secara perlahan akibat aktivitas manusia di kawasan ini, yaitu; 1. Peningkatan aktivitas pemancingan di Isla Cristina serta masalah tapak batas negara dengan Portugal sebelum tahun 1970, hal ini menyebabkan kekacauan pada implementasi rencana tata ruang kawasan dan berujung pada pembangunan dermaga secara sepihak pada muara sungai Guadiana dan Carreras. Adanya aktivitas dermaga ini akhirnya mengganggu proses perpindahan sedimen secara alami pada pesisir pantai. 2. Pembangunan fasilitas penunjang pariwisata seperti lapangan golf dan area perkemahan sejak 1970 hingga 1990 di sekitar wilayah studi. Masalahnya yaitu jalan terpendek menuju fasilitas tersebut adalah dengan melalui perbukitan gumuk pasir yang terdapat di wilayah studi.

2. Kondisi perubahan morfologi pesisir terakhir (1979-1996) Perubahan morfologi pesisir pada kawasan studi diklasifikasikan menjadi dua yaitu: 1. Erosi Laut Sejak pembangunan dermaga pada tahun 1970, keberadaannya telah mempengaruhi proses perpindahan sedimen secara alami. Pada kawasan studi sendiri terjadi pengurangan sedimen terutama di perbukitan gumuk pasir dalam jumlah besar dan telah dapat diklasifikasikan sebagai erosi laut. Hasilnya adalah terjadi perubahan garis pantai secara lebih drastis akibat keberadaan gumuk pasir sebagai tanggul alami yang semakin berkurang, Selain itu perubahan topografi pesisir terjadi sangat drastis terutama saat terjadi badai akibat sedimen pada perbukitan gumuk pasir yang sebagian besar terkena dampak erosi. 2. Proses Aeolian Proses Aeolian adalah adalah aktivitas dan kemampuan angin untuk mengikis, mengangkut, dan mengendapkan, bahan-bahan material di wilayah sedimen yang luas. Pada kawasan studi, proses pembentukan gumuk pasir salah satunya adalah melalui proses Aeolian, namun proses ini terganggu seiring dengan aktivitas pariwisata, terutama penurunan jumlah vegetasi di kawasan studi. Terganggunya proses alami Aeolian ini mengakibatkan perubahan srastis pada morfologi kawasan pesisir seperti perpindahan gumuk pasir akibat

arah dan kekuatan hembusan angin berubah, penurunan ketinggian gumuk pasir serta semakin rapuhnya struktur gumuk pasir akibat semakin berkurangnya vegetasi hal ini mengakibatkan gumuk pasir semakin mudah terkena erosi dari air laut. 3. Metode Penelitian Untuk menyajikan hasil penelitian serta mengukur perubahan morfologi akibat proses erosi laut dan Aeolian digunakan data dalam skala detail (1:1000). Perubahan morfologi tersebut akan diukur dengan cara dan metode berikut: 1. Pemetaan gumuk pasir terluar sebagai referensi garis pantai pada lokasi studi. 2. Pengukuran perubahan permukaan atau topografi gumuk pasir terluar (akibat erosi) dan bagian belakang (akibat perpindahan). 3. Pengukuran volume gumuk pasir, struktur serta evaluasi ketersediaan sedimen. 4. Analisis spasial perubahan ukuran, lokasi dan sebagainya dari gumuk pasir melalui diagram dan overlay. Meskipun pemetaan dengan tingkat kedetailan 1:1000 sangat jarang dilakukan pada kawasan non-perkotaan seperti pesisir, namun data kontur yang tersedia telah memiliki interval 1 m yang yang telah memberikan dasar planimetrik dan geometrik untuk GIS (proyeksi tersebut UTM, koordinat adalah mereka UTM zona 29). Berikut data-data yang digunakan: Data Sekunder 1. Peta Topografi 1:1000 dari Kementerian Pekerjaan Umum (Ministry of Public Works) yang sebelumnya digunakan untuk regulasi pesisir tahun 1989. Peta ini dibuat berdasarkan survei lapangan menggunakan instrumen klasik seperti theodolit optik, waterpass sehingga benbentuk format analog (hard copy). Untuk analisis lebih lanjut, peta ini telah di-digitasi dan di-integrasikan ke dalam GIS. 2. Peta Topografi 1:1000 dari Andalusian Cartographic Institute yang dihasilkan dari pemotretan udara secara stereo-plotting dan berbentuk format digital. Data Penginderaan Jauh Data/citra fotogrametrik atau aerial surveying (teknik pemetaan melalui foto udara) yang tersedia sebanyak empat eksemplar. Seluruh peta fotogrametrik diambil pada musim dingin karena merupakan critical point dimana iklim pesisir pada kawasan ini sangat rentan. Berikut waktu-waktu dan skala pengambilan citra: Februari 1979 1:10.000 April 1989 1:5000 Desember 1994 1:3000 Februari 1996 1:3000 Untuk melakukan integrasi geometris secara konsisten dari citra/foto udara ke dalam GIS diperlukan pengolahan digital awal dengan menggunakan perangkat scanner dan Software Desktop Mapping System 4.0. Software ini membantu perbaikan tilt

(kemencengan), rektifikasi/georeference serta distorsi visual, kemudian melakukan klasifikasi multispektral berdasarkan band dan menghasilkan output berupa vektor dan mosaik raster Digital Elevation Model (DEM) atau Digital Terrain Model (DTM). Data Primer/Lapangan Survei lapangan dilakukan dengan bantuan instrumen seperti Laser Rangefinders Leica TC600 dengan 5 inch akurasi vertikal dan horizontal, akurasi jarak 3 mm 3 ppm dan jangkauan operasi antara 1.1 dan 1600 m. Alat ini digunakan untuk menentukan titik kontrol, jarak serta keperluan rektifikasi/georeferencing foto udara. Selain itu juga digunakan instrumen GPS. 4. Hasil dan Interpretasi Tingkat kemunduran garis pantai Beberapa peta time series hasil pengolahan sebelumnya di-overlay kemudian dilakukan pengukuran pada 3 zona di kawasan studi (Barat, Tengah, Timur), hasilnya yaitu pada masing-masing waktu dan zona menunjukkan perubahan yang signifikan. Dimana terlihat semakin meningkat aktivitas manusia diatas kawasan, maka perubahan garis pantai semakin drastis terutama pada overlay peta-peta yang memiliki waktu setelah tahun 1990. Selain itu juga ditemukan perbedaan tingkat erosi dari barat ke arah timur terutama diantara tahun 1989 hingga 1994. Lebih jelasnya mengenai hasil analisis perubahan garis pantai dapat dilihat pada tabel 1.1 No. 1 2 3 Periode 1979-1989 1089-1994 1994-1996 Zona Barat 15 m (1.5 m/tahun) 20.5 m (4.5 m/tahun) 10 m (5.0 m/tahun) Zona Tengah 10 m (1 m/tahun) 7.5 m (1.6 m/tahun) 12 m (6 m/tahun) Zona Timur 6 m (0.6 m/tahun) 3.5 m (0.7 m/tahun) 12 m (6 m/tahun)

Perubahan pada permukaan/lansekap

Hasil overlay dari peta topografi secara time series menunjukkan perubahan permukaan/lansekap pesisir, dimana keberadaan perbukitan gumuk pasir serta vegetasi menjadi obyek utama dalam perubahan bentuk lansekap kawasan studi. Hasil analisa ini diinterpretasikan dalam 3 periode berikut ini. 1. Periode pertama (1979-1989) semua perubahan bentuk lansekap permukaan pesisir diakibatkan oleh erosi laut, yaitu perubahan hanya terjadi pada bagian terluar gugusan gumuk pasir yang membentuk garis pantai. Bagian belakang lansekap pesisir masih tertutup vegetasi dengan baik dan tidak terjadi perubahan signifikan. Campur tangan manusia masih sangat minim pada periode ini, hanya terdapat aktivitas pemancingan di La Antilla dan Isla Cristina. 2. Periode kedua (1989-1994) perubahan lansekap pada bagian terluar gugusan gumuk pasir semakin signifikan, namun perubahan ini terkonsentrasi pada zona sebelah barat saja. Hal ini disebabkan karena periode ini adalah saat dimana fasilitas pariwisata

seperti area perkemahan pertama kali di buka, pengrusakan vegetasi mulai dilakukan, sehingga fenomena perpindahan sedimen akiban proses alami Aeolian yang terganggu mulai terjadi. 3. Periode ketiga (1994-1996) perubahan lansekap pada bagian terluar terjadi sangat signifikan. Pada rentang periode ini perubahan terjadi 6x lebih cepat dibanding periode pertama. Peubahan yang diakibatkan oleh erosi laut tidak terlalu berpengaruh dan sama seperti periode sebelumnya, namun perubahan hanya terjadi akibat perpindahan sedimen pada proses Aeolian. No Periode Total area yang berkurang Total area yang bertambah 2 2 1 1979-1989 -6291 m (-629 m /tahun) 0 m2 (0 m2/tahun) 2 1989-1994 -5574 m2 (-1238 m2/tahun) 1298 m2 (288 m2/tahun) 3 1994-1996 -2405 m2 (-2405 m2/tahun) 392 m2 (196 m2/tahun) Kalkulasi volume dan ketersediaan gumuk pasir Kalkulasi volume gumuk pasir dilakukan dengan menggunakan beberapa data topografi dan fotogrametri sebelumnya yang kemudian diolah menjadi Digital Elevation Model (DEM). Berikut representasi data DEM kawasan studi yang telah divisualisasikan dalam bentuk 3D pada tahun 1989 dan 1994.

Gambar 2. Representasi DEM (Sumber: Jurnal)

Teknik interpolasi yang digunakan dalam membangun DEM tersebut adalah menggunakan TIN (Triangular Irregular Network) yang dilakukan pada GIS, melalui kalkulasi volume pada DEM tersebut didapat hasil sebagai berikut. 1. Tahun 1989 2686094 m3 2. Tahun 1994 2675713 m3 Hasil kalkulasi tersebut menunjukkan perubahan yang terjadi pada volume sedimen gumuk pasir di daerah pesisir kawasan studi secara keseluruhan adalah -10381 m3 dari tahun 1989 hingga 1994, yang jika dirata-ratakan berarti terjadi pengurangan volume sedimen pada gumuk pasir sebesar -2077 m3/tahun dan perubahan volume akibat erosi pada garis pantai sebesar 2.6 m3/tahun. Digital Elevation Model tersebut tidak hanya menunjukkan kuantifikasi pada jumlah sedimen, namun juga dapat menunjukkan perubahan permukaan secara lebih detail melalui visualisasi dan animasi/video secara 3D. Hasilnya dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 3. Visualisasi 3D perubahan morfologi pada kawasan studi (Sumber: Jurnal)

Gambar 4. Animasi 3D perubahan morfologi pada kawasan studi (Sumber: Jurnal)

PEMBAHASAN Ide Utama Ide utama pada penelitian tersebut adalah melakukan pemodelan dinamika kawasan pesisir pantai secara berkala untuk mengetahui dan memantau perubahan morfologi secara fisik terutama pada kawasan studi yang tersusun oleh sedimen yang membentuk gugusan gumuk pasir. Sehingga perubahan morfologi difokuskan untuk mengamati perubahan lansekap, lokasi dan volume dari perbukitan gumuk pasir. Kemudian hasil pemodelan tersebut di-interpretasikan untuk mengetahui penyebab perubahan fisik kawasan seperti misalnya akibat aktivitas manusia dan perusakan lingkungan pesisir yang terjadi pada periode-periode tertentu. Analisa kekuatan dan kelemahan jurnal Kekuatan dari pembahasan jurnal pada penelitian tersebut adalah penulis melakukan penjabaran secara jelas metode penelitian dan jenis data serta cara memperolehnya, sehingga reviewer dapat memahami alur dan tujuan penelitian cukup dengan membaca metode yang dilakukan tanpa harus mengetahui tujuan dan sasaran penelitian secara detail. Selain itu penulis juga menjabarkan proses pengolahan data sebelum melakukan analisa seperti proses digitasi yang dilakukan pada data analog (hard copy) berupa Peta Topografi 1:1000 dari Kementerian Pekerjaan Umum (Ministry of Public Works) hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan data untuk melakukan penelitian ini terutama data time series di masa lampau cukup sulit didapat, namun penelitian ini berhasil melakukan komparasi data secara fair meskipun jenis, sumber dan kualitas data masing-masing sangat berbeda. Seperti di Indonesia sendiri, tantangan dalam melakukan penelitian berbasis time series yang utama adalah ketersediaan data di masa lampau, dimana tantangan selanjutnya adalah melakukan penyetaraan dengan data terkini. Kelemahan dari jurnal tersebut adalah gambaran kawasan studi yang tidak terlalu dijabarkan secara umum terutama dari segi aktivitas manusia dan perkotaan yang ada disekitar kawasan tersebut. Seperti jarak dengan pusat kota terdekat, kondisi sarana dan prasarana transportasi, kondisi penduduk setempat yang tidak dijelaskan diawal, sehingga reviewer diawal menerka kondisi kawasan studi adalah kawasan terpencil yang jauh dari aktivitas perkotaan, namun setelah disebutkan aktivitas yang pernah dilakukan seperti pemancingan dan perkemahan hal ini menunjukkan bahwa kawasan studi telah memiliki aksesibilitas yang baik. Kondisi penduduk setempat yang tidak dijelaskan juga menimbulkan pertanyaan pada aktivitas pemancingan yang pernah dilakukan di lokasi studi, apakah aktivitas tersebut juga dilakukan oleh nelayan setempat untuk menunjang ekonomi mereka sebagai mata pencaharian, atau hanya sekedar aktivitas pariwisata.

Critical Review Pada hasil pengamatan perubahan morfologi pesisir di lokasi studi, faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan morfologi secara garis besar adalah erosi laut dan proses Aeolian, dimana kedua faktor ini sangat dipengaruhi oleh faktor lain terutama aktivitas manusia. Namun dalam pembahasannya lebih menekankan pada perubahan secara fisik yang sebenarnya sifatnya masih dependent oleh faktor lain. Sumber data yang digunakan oleh penulis seperti peta topografi (analog) dari Ministry of Public Works dan peta topografi (digital) dari Andalusian Cartographic Institute sebagai data time series sangat membantu dalam proses analisa dimana skala yang digunakan sangat detail, selain itu proses pengambilan data/survei juga dilakukan dengan metode yang berbeda, dimana salah satu data didapat dengan cara pengukuran lapangan langsung menggunakan instrumen klasik misalnya seperti theodolit optik karena data tersebut diambil pada tahun 1989. Sedangkan data lainnya diambil dengan cara yang relatif modern menggunakan pemotretan udara. Melalui kedua metode ini dapat dilakukan komparasi data untuk meminimalisir kelemahan masing-masing metode. Namun data lainnya seperti citra fotogrametrik tidak dijelaskan sumber dan metode survei yang dilakukan, hanya disebutkan bahwa penulis telah memiliki 4 eksemplar citra fotogrametrik. Selain itu juga citra fotogrametrik diambil pada musim dingin dikarenakan pada musim ini kondisi pesisir sangat rentan, namun tidak dijabarkan lebih lanjut faktor apa saja yang membuat kondisi pesisir menjadi rentan pada musim tersebut, misalnya kondisi angin, gelombang atau vegetasi yang juga dapat dijadikan faktor dalam analisa perubahan morfologi apabila faktor perubahan musim juga ternyata sangat mempengaruhi morfologi kawasan studi. Proses kalkulasi dan tabulasi data sangat jelas, terutama pada perubahan garis pantai dan permukaan/lansekap, dimana secara rinci dijabarkan besaran jarak dan luas yang berubah secara periodik dan kuantitatif dalam bentuk tabel dan gambar. Selain itu representasi hasil analisis menggunakan Digital Terrain Model (DTM) atau sekarang lebih populer disebut Digital Elevation Model (DEM) telah sangat jelas hingga pembuatan animasi perubahan morfologi secara periodik. Namun dalam proses pengolahan DTM tidak dijabarkan metode yang digunakan seperti misalnya teknik interpolasi, dimana penulis hanya menyebutkan menggunakan metode TIN (Triangular Irregular Network) padahal dalam pengolahan DEM terutama pada skala detail metode interpolasi yang digunakan cukup berpengaruh pada hasil dan kualitas DEM, ada cukup banyak metode interpolasi lain yang dapat digunakan diantaranya sebagai berikut.

No 1

Metode Interpolasi Inverse Distance Weighted (IDW)

Triangular Irregular Network (TIN)

Metode Spline

Topo ke Raster

Keterangan Mengasumsikan bahwa tiap titik input mempunyai pengaruh yang bersifat local yang berkurang terhadap jarak. Metoda ini memberi bobot lebih tinggi pada sel yang terdekat dengan titik data dibandingkan sel yang lebih jauh. Titik-titik pada radius tertentu dapat digunakan dalam menentukan nilai luaran untuk tiap lokasi. TIN adalah akronim dari Triangulated Irregular Network (Segitiga Tak Beraturan yang Saling Berhubungan). TIN adalah sebuah metode interpolasi yang telah banyak digunakan oleh komunitas pengguna GIS dari tahun ke tahun untuk merepresentasikan morfologi permukaan dalam bentuk digital. TIN adalah bentukan dari data yang berbasis vektor dan disambungkan oleh sebuah garis antar titik titiknya hingga tampaklah layaknya sebuah segitiga. Metode ini didasarkan pada kriteria delauney triangle, yang mensyaratkan tidak adanya ketumpangtindihan antara segitiga satu dengan segitiga yang lainnya. Adalah metoda interpolasi yang biasa digunakan untuk mendapatkan nilai melalui kurva minimum antara nilai-nilai input. Metoda ini baik digunakan dalam membuat permukaan seperti ketinggian permukaan bumi, ketinggian muka air tanah, ataupun konsentrasi polusi udara. Kurang bagus untuk siatuasi dimana terdapat perbedaan nilai yang signifikan pada jarak yang sangat dekat. Jika dipilih metoda Spline maka ada pilihan tipe Regularized dan Tension. Regularized membuat permukaan halus sedangkan Tension mempertegas bentuk permukaan sesuai dengan fenomena model. Topo to raster adalah metode interpolasi yang dibuat secara spesifik untuk membuat DEM dalam kajian hidrologi. Metode interpolasi ini berbasis pada program ANUDEM, sebuah program yang dibuat oleh seorang bernama Michael Hutchinson pada tahun 1988 hingga 1989. Metode ini sangat cocok untuk digunakan dalam proses analisis yang berkaitan dengan aspek hidrologi.

Sumber: Modul GIS

Dalam menggunakan metode TIN, penulis tidak menjabarkan alasan serta kelebihan dan kekurangannya dibanding metode lain dalam penelitian tersebut. Menurut reviewer sendiri metode Topo to Raster dapat digunakan dalam penelitian ini, terutama metode ini lebih akurat dalam pemodelan yang melibatkan aspek hidrologi seperti pada dinamika kawasan pesisir.

PENUTUP Kesimpulan Beberapa point yang dapat disimpulkan dalam pembahasan critical review ini diantaranya. 1. Ide utama pada penelitian tersebut adalah melakukan pemodelan dinamika kawasan pesisir pantai secara berkala untuk mengetahui dan memantau perubahan morfologi secara fisik. 2. Kekuatan dari pembahasan jurnal pada penelitian tersebut adalah penulis melakukan penjabaran secara jelas metode penelitian dan jenis data serta cara memperolehnya. 3. Kelemahan dari jurnal tersebut adalah gambaran kawasan studi yang tidak terlalu dijabarkan secara umum terutama dari segi aktivitas manusia dan perkotaan yang ada disekitar kawasan tersebut. 4. Pembahasan pada artikel tersebut lebih menekankan pada perubahan secara fisik yang sebenarnya sifatnya masih dependent oleh faktor lain 5. Pada data citra fotogrametrik tidak dijelaskan sumber dan metode survei yang dilakukan, serta faktor pengambilan citra yang dilakukan hanya pada musim dingin. 6. Dalam proses pengolahan DEM tidak dijabarkan metode yang digunakan seperti misalnya teknik interpolasi, dimana penulis hanya menyebutkan menggunakan metode TIN (Triangular Irregular Network) Saran dan rekomendasi Penelitian yang dilakukan untuk memantau perubahan morfologi pesisir ini sangatlah bermanfaat terutama untuk kegiatan perencanaan kawasan pesisir, dimana tugas planner selanjutnya adalah menganalisis lebih lanjut penyebab perubahan morfologi tersebut, terutama dari segi aspek aktivitas manusia dan penggunaan lahan disekitarnya agar dapat ditemukan solusi penataan ruang kawasan pesisir yang lebih baik. Di Indonesia sendiri penelitian pengamatan morfologi pesisir secara detail seperti ini masih jarang dilakukan, padahal Indonesia memiliki karakter pesisir yang lebih beragam. Misalnya pantai Parangtritis di Yogyakarta yang terkenal memiliki keragaman gumuk pasir terbanyak di dunia, yang sebenarnya memiliki karakter yang sama dengan lokasi studi pada penelitian ini. Hasil penelitian ini sangat bermanfaat untuk mengatahui dampak dari aktivitas manusia di sekitar kawasan pesisir secara berkala, sehingga resiko bencana maupun kerusakan lingkungan dapat diantisipasi lebih dini.

Anda mungkin juga menyukai