Anda di halaman 1dari 12

EKONOMI WILAYAH

RESENSI JURNAL
Judul Jurnal:

EVALUASI I

Development in the IndonesiaMalaysiaSingapore Growth Triangle (IMS-GT)


By Toh Mun Heng, Department of Business Policy Faculty of Business Administration-National University of Singapore

Oleh: Hendri Yani Saputra 361010063

Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Pendahuluan Pembangunan kawasan perbatasan di Indonesia relatif tertinggal dan lamban, selain itu pada beberapa kawasan perbatasan cenderung terjadi kesenjangan ekonomi yang sangat tinggi. Negara-negara tetangga kita seperti Singapura dan Malaysia seringkali dianggap sebagai kompetitor mutlak, padahal pada kenyataanya terdapat potensi besar apabila terjalin kerjasama yang bersifat mutualisme. Sebagai contoh kawasan barat seperti AS, sebagian besar wilayah AS bukanlah kawasan yang memiliki sumber daya alam berlimpah, justru negara-negara tetangganya yang memiliki resources lebih, namun terkendala pada sumber daya manusia dan teknologi. Berangkat dari hal tersebut kawasan-kawasan barat lebih dulu sadar untuk membangun kerjasama region antar negara yang hasilnya telah kita rasakan hingga ke wilayah Asia Tenggara. Kawasan-kawasan pada Asia tenggara sendiri umumnya memiliki sumber daya yang belimpah, meskipun bentuk-bentuk konsep kerjasama telah disepakati setiap negara seperti ASEAN dan growth triangle namun pada kenyataanya implementasinya di lapangan masih sangat minim, dan keberhasilan ekonomi salah satu negara anggotanya justru bukan didasari oleh regulasi yang berasal dari konsep kerjasama tersebut. Selain itu Konsep-konsep tersebut juga masih memiliki kelemahan-kelemahan yang belum dikaji lebih dalam, seperti konsep Growth Triangle yang masih harus dipadankan dengan regulasi Internasional diatasnya, serta aturan-aturan kerjasama region yang telah terbukti dan diakui secara internasional. Ringkasan Jurnal Pada jurnal ini, dilakukan pembahasan dan evaluasi mengenai konsep kerjasama ekonomi regional lintas negara dalam bentuk segitiga pertumbuhan (Growth Triangle) yang telah dirancang pada akhir tahun 1980-an, serta relevansi-nya dengan regulasi yang lebih formal seperti dalam perjanjian perdagangan bebas (FTA) dan bentuk kesepakatan bilateral lain atau Closer Economic Partnership (CEPs) yang diinisiasikan dalam beberapa dekade terakhir. Secara khusus, pembahasan difokuskan pada segitiga pertubuhan IndonesiaMalaysia-Singapore (IMS-GT) yang merupakan konsep perintis di Asia Tenggara. IMS-GT terus menjadi modus sukses kerjasama antara ketiga negara dan diharapkan akan terus menjadi kunci dan kerangka kerja untuk meningkatkan inisiatif kerjasama ekonomi wilayah yang terkait dengan FTA dan CEPs. Makalah ini mengajukan tesis bahwa growth triangle merupakan bagian dari kerjasama antar wilayah yang mampu menyelaraskan kemampuan ekonominya dengan nilai-nilai global, sehingga selama pelaksanaan konsep growth triangle dapat berkontribusi pada kemajuan kawasan di dalamnya, maka konsep ini dianggap dapat relevan dengan pengaturan yang lebih formal seperti FTA dan CEPs. Pada beberapa dekade yang lalu, berakhirnya perang dingin telah mengurangi ketegangan politik antara negara-negara di Asia, dan berdampak pada perekonomian beberapa kawasan kepada proses produksi yang lebih meng-global serta meningkatnya integrasi vertikal. Terjadinya kompetisi multi-sektor yang melintasi batas-batas nasional ke arah global, dan perusahaan-perusahaan lokal yang dulunya melakukan ekspor untuk menjangkau pasar global beralih menjadi perusahaan produksi internasional. Negara-negara

seperti Thailand, Malaysia dan Singapura telah memulai strategi pengembangan untuk menarik modal asing dan memperluas ekspor untuk meningkatkan kinerja ekonomi dan kesejahteraan sosial masyarakatnya. Seiring dengan kebijakan untuk memajukan industri dalam negeri, negara-negara tersebut juga melakukan upaya kerjasama lintas wilayah dengan negara-negara tetangganya. Sekilas sejarah IMS-GT Diperlukan suatu upaya untuk memaksimalkan potensi ekonomi yang terdapat pada perbatasan negara, sekaligus bentuk kerjasama negara-negara tersebut dalam tujuan yang sama untuk menghadapi globalisasasi dan mengurangi kesenjangan perekonomian dengan bentuk kerjasama yang mutualism, hal tersebutlah yang melatar-belakangi pembentukan konsep segitiga pertumbuhan atau growth triangle. Masing-masing kawasan dalam segitiga ini atau disebut sub-regional zona ekonomi adalah daerah-daerah yang jauh berbeda dalam hal kemampuan resources, akan tetapi saling berdekatan secara geografis. Sehingga pembangunan ekonomi daerah tersebut dapat dirangsang melalui promosi perdagangan dan investasi, sebab kedekatan jarak atau proximity pasar sangat mempengaruhi penurunan ongkos dan modal. Kerjasama dalam bentuk growth triangle telah berperan mendorong pertumbuhan ekonomi Asia sepanjang 1990-an. Empat kawasan growth triangle (GTs) telah didirikan sejak tahun 1989, yang telah melibatkan 11 negara di dalamnya. Seperti yang ditunjukkan pada peta (Gambar 1.1). Perintis growth triangle di Asia Tenggara adalah IMS-GT, dan pengaruhnya sangat besar terhadap pembangunan dan ekonomi Singapura (Toh dan Low, 1993, Kakazu, 1997).. Dari tahun 1970-an hingga 1980-an, terjadi pergeseran pada konsep pembangunan Singapura yaitu itu dari sebuah pusat bisnis regional menjadi kota global. Sejak awal 1990-an, Singapura telah berkonsentrasi menjadi pusat teknologi untuk Asia Tenggara, mengirimkan tenaga kerja professional ke negara tetangga seperti Malaysia dan Indonesia dalam perdagangan kerjasama khusus dan pengaturan pembangunan yang dikenal sebagai growth triangle (GT). Sebagai anggota ASEAN, maka menjadi keinginan terbesar Singapura untuk menerapkan konsep GT yang dapat didukung dan diterima oleh para pemimpin politik di ASEAN. Gambar 1. Growth Triangle di Asia Timur dan Tenggara

Sumber: World Technology Evaluation Centre (http://www.wtec.org)

Namun tenaga kerja dan harga tanah yang semakin meningkat membuat Singapura kurang mendukung kegiatan manufaktur yang membutuhkan ruang besar, oleh karena itu para perencana perekonomian Singapura telah memikirkan cara agar perusahaan multinasional yang berpusat di Singapura untuk merelokasi basis produksinya ke negara di sekitarnya. Untuk mewujudkan hal tersebut Singapura selalu berupaya menjalin kerjasama ekonomi yang dapat menguntungkan semua pihak. Basis produksi yang terletak di negaranegara tetangga tetap dapat memberikan Singapura pendapatan besar, misalnya ketika mereka menggunakan layanan hub Singapura untuk memenuhi kebutuhan transportasi, keuangan, jasa kantor pusat dan fasilitas lainnya. Kebijakan luar negeri Singapura ini menjadi harapan negara sekitarnya. Malaysia dan Indonesia, yang merupakan negara tetangga terdekat Singapura adalah faktor pendukung geografis untuk memulai kerjasama yang telah didukung oleh hubungan bilateral yang baik, salah satu menghubungkan Singapura dengan Riau serta dengan Johor. Konsep growth triangle, meliputi Singapura, Johor, dan Riau, dengan keunggulan komparatif yang berbeda atau faktor pendukung untuk membentuk sebuah zona ekonomi pertama kali digagas pada bulan Desember 1989 di masa Perdana Menteri Singapura Goh Chok Tong. Selama KTT ASEAN Keempat pada tahun 1994, para pemimpin ASEAN mengamanatkan pembentukan dan promosi sub-regional ekonomi pengaturan antara anggota ASEAN dan antara anggota ASEAN dan non-ASEAN ekonomi. Pengaturan tersebut dirancang dan diharapkan dapat merangsang dinamika ekonomi kawasan ASEAN, untuk mempertahankan semangat inovatif dan kerjasama untuk melengkapi keseluruhan ekonomi ASEAN. Selanjutnya, Pemerintah Singapura, Malaysia dan Indonesia sepakat untuk membentuk suatu kerangka kerjasama sub-regional awalnya dikenal sebagai Segitiga Pertumbuhan SIJORI (Singapura-Johor-Riau. Ketika provinsi yang berdekatan saling bergabung sebagai growth triangle, yang kemudian dikenal sebagai Indonesia-MalaysiaSingapura Growth Triangle (IMS-GT). Jumlah investasi yang dihasilkan IMS-GT sangat signifikan. Ini telah menarik $ 10 miliar investasi sektor swasta selama lima tahun pertama. Malaysia dan Indonesia memberikan insentif pajak dan keuangan bagi perusahaan untuk pindah ke wilayah yurisdiksi mereka untuk menghindari meningkatnya biaya di Singapura. Dampak Positif Terhadap Batam Pengembangan IMS-GT melibatkan keputusan politik untuk mengurangi hambatan investasi dan perdagangan, meskipun sampai saat ini pertumbuhan terjadi lebih baik pada hubungan Singapura-Riau dan Singapura-Johor dan cenderung kurang pada hubungan JohorRiau. Hubungan Singapura-Johor lebih informal daripada Singapura-Riau yang telah diperkuat oleh perjanjian bilateral melalui Batam dan Bintan. Gambar 2 menunjukkan bentuk skema faktor-faktor terjalinnya hubungan erat pada IMS-GT. Dalam hal hirarki internal, Singapura lebih terfokus pada menjadi pusat keuangan, bisnis dan teknologi tinggi, sementara daerah tidak terampil dan semi-terampil, industri padat karya (tekstil, bahan kimia, pengolahan makanan) pindah ke Batam dan Johor.

Pembentukan IMS-GT telah memacu perkembangan Pulau Batam di Indonesia. Sebuah pulau dengan luas 45 km x 25 km (sekitar dua pertiga ukuran Singapura) dan populasi sekitar satu juta, terletak hanya 20 km dari Singapura dan 25 km dari Johor di Malaysia, Batam identik dengan kawasan SEZ (Kawasan Ekonomi Khusus) di China, dimana kawasan ini menjadi tempat perencana ekonomi bangsa menguji kebijakan ekonomi dan ideide barunya. Letaknya yang strategis di Samudra Hindia dan Pasifik, Pulau Batam juga merupakan tujuan wisata internasional yang paling populer kedua di Indonesia. Karena status zona perdagangan bebas sejak tahun 1971, lokasi strategis, struktur biaya rendah, tenaga kerja terampil, dan pajak dan insentif investasi lainnya, Pulau Batam telah menarik lebih dari 700 perusahaan asing dari 34 negara dan lebih dari $ 3 miliar investasi asing. Bersama dengan perusahaan asing, ada sekitar 9.500 perusahaan lokal tersebar di 17 kawasan industri dan pemanfaatan lahan lainnya yang disediakan langsung oleh Batam Industrial Development Authority (BIDA) untuk perusahaan besar seperti galangan kapal. Gambar 2. The Triangle of Complementarity in IMS-GT

Sumber: Deborah et al. (2000)

Apakah Konsep Growth Triangle (GTs) relevan dengan Free Trade Agreements (FTAs) dan pengaturan perdagangan lainnya? Perkembangan terkini dalam lingkungan eksternal telah diupayakan bersama-sama untuk meningkatkan kesadaran akan perlunya untuk mempercepat proses integrasi ekonomi intra-ASEAN. Perkembangan ini meliputi (a) menunda perundingan perdagangan multilateral; (b) munculnya ekonomi China dan India seiring dengan kekhawatiran tentang hilangnya daya saing global ASEAN, dan (c) serentetan perjanjian perdagangan bebas (FTA) baru yang dinegosiasikan di Asia (Rajan, 2004). Ini adalah dorongan untuk ASEAN untuk meninjau dan menilai kembali kebijakan domestik dan regional ekonomi untuk mengatasi pembangunan internasional baru. Tindakan sepihak oleh masing-masing negara untuk mengatasi tren internasional sangat mengkhawatirkan, karena telah bertentangan dengan semangat dan niat dari Common Effective Preferential Tariff (CEPT), sebuah perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1992, yang mengarah pada pembentukan Free Trade Area ASEAN (AFTA). Misalnya, penyimpangan dan keterlambatan dalam memenuhi komitmen

liberalisasi: dalam kasus kendaraan bermotor dan suku cadang oleh Malaysia, produk pertanian dengan Indonesia, dan produk petrokimia oleh Filipina, menempatkan AFTA dalam bahaya. Ini juga akan menimbulkan keraguan pada ASEAN untuk menjadi mitra utama dalam mendukung Deklarasi Bogor 1994 ditandatangani oleh para pemimpin APEC pada pertemuan puncak di Indonesia, mendorong untuk daerah perdagangan bebas di Asia Pasifik pada tahun 2020. Sedangkan dampak ekonomi keseluruhan dari gelombang baru FTA tetap tidak jelas dan agak kontroversial, ada saran bahwa kembali ke konsep GT sebagai satu-satunya cara paling efektif untuk mempromosikan liberalisasi perdagangan dan pertumbuhan (Low, 2003). Melihat kembali dalam tiga puluh tahun terakhir atau lebih, pengaturan perdagangan preferensial (POMG) belum memainkan peran penting dalam integrasi ekonomi ASEAN. Intra perdagangan ASEAN hanya menyumbang sekitar seperlima dari keseluruhan perdagangan barang ASEAN (Lihat Gambar 3) dan jumlah ini tetap stagnan selama beberapa dekade terakhir (selain itu perdagangan intra-ASEAN hanya terpusat di Singapura saja). Saham yang jauh lebih rendah dari aliansi ekonomi regional lainnya seperti Uni Eropa (65 persen) atau Amerika Utara Free Trade Area (50 persen). Memang, pertumbuhan perdagangan tercepat di dunia berada di kawasan ini, seperti pertumbuhan perdagangan China sejak tahun 1979, namun hal ini terjadi tanpa adanya peran resmi dari perjanjianperjanjian dagang liberal yang telah disepakati. Kecenderungan terhadap hasil integrasi regional secara spontan dari orientasi perdagangan global yang individual serta kebijakan investasi dan liberalisasi barang unilateral dan pasar modal (Dobson, 1997). Gambar 3: Total Ekspor ASEAN 1990-2003

Sumber: Sekretariat ASEAN

Dalam keprihatinan ini, pada KTT Bali pada bulan Oktober 2003, sepuluh pemimpin ASEAN sepakat untuk menciptakan ASEAN Economic Community (AEC) pada tahun 2020. Tujuan utama dari AEC adalah untuk memperdalam dan mempercepat integrasi ekonomi intra-regional dengan liberalisasi perdagangan, investasi dan aliran tenaga kerja terampil dan

menangani hambatan-perbatasan, sehingga menciptakan basis produksi tunggal dan pasar tunggal. Agenda yang disusun oleh para petinggi ASEAN tersebut memang mengesankan, namun seperti sebelumnya, hal tersebut belum menjelaskan mekanisme di mana inisiatif tersebut dapat di-operasionalkan dan di-implementasikan. Pembentukan growth triangle bisa menjadi salah satu mekanisme bentuk kerjasama regional yang menyediakan model kompetitif untuk menarik investasi dan teknologi serta blok pembangunan menuju FTA. Masalah berikutnya yang menjadi perhatian adalah apakah GT telah menjadi sebuah blok pembangunan terhadap pengaturan perdagangan bebas (FTA)? Huff (1995) berpendapat bahwa perubahan yang diwujudkan dalam strategi growth triangle memberikan dukungan untuk ASEAN AFTA dan rencana bebas APEC perdagangan. Munculnya dan meningkatnya ekonomi mega seperti China dan India telah sedikit melenceng dari jalur pengembangan ekonomi besar seperti Indonesia di ASEAN, dan memaksa mereka untuk melakukan 'deindustrialisasi' serta memperbaharui sumber daya industri. Wacana daerah dalam kebijakan luar negeri ekonomi di Singapura juga dipengaruhi oleh kekhawatiran tentang munculnya blok-blok perdagangan regional, dengan munculnya kelas-kelas lokal yang lebih kapitalis dan terkonsentrasi di sektor jasa keuangan dalam peningkatan peran ekonomi regional negara. Pemahaman Singapura dari regionalisme memandang daerah sebagai konsentris dan lingkaran-lingkaran yang terhubung. Dalam metafora ini tersirat bahwa ambiguitas menjadi penting: lingkaran konsentris yang berbeda jauh dengan bentuk piramid bukanlah merupakan suatu hierarki ekonomi. Di tengah semangat membangun FTA dengan mitra dagang banyak, Singapura sudah termasuk cukup 'extra-ordinary' membangun FTA antara AS-Singapore yang mulai berlaku pada bulan Januari tahun 2004. The Integrated outsourcing Initiative (ISI) termasuk dalam AS-Singapore FTA adalah pengakuan dari sifat rantai produksi global di mana outsourcing telah menjadi praktik umum. Dimasukkannya ISI menyiratkan bahwa 266 jenis produk IT terkait medis diproduksi di lepas pantai basis produksi seperti di Batam, namun dapat diakui berasal dari Singapura dan karenanya impor tarif memenuhi syarat bebas ke AS ini akan membuat produk yang diproduksi di Batam lebih kompetitif serta tidak diragukan lagi memberikan perspektif baru dan relevansi dengan IMS-GT. FTA telah membantu untuk kembali memfokuskan perhatian investor di Singapura dan wilayah yang berada dalam ancaman persaingan yang ketat dari China dan India yang sedang berlomba-lomba dalam investasi asing. Konsep Growth Triangle dan Rantai Nilai Global Secara konvensional, GT dipandang sebagai latihan dalam mengatur organisasi ekonomi spasial untuk mencapai kesatuan tujuan ekonomi berdasarkan perbedaan sumber daya, budaya dan teknologi (van Grunsven, 1995;. Sparke et al, 2004). Dari perspektif teoritis, dasar pemikiran untuk GT dapat dilakukan melalui pengakuan produksi internasional dalam rantai nilai global (GVC). Kita tidak bisa menghindari tetapi untuk menyadari pentingnya rantai nilai (VC) sebagai bahan penting bagi GT untuk keberhasilan ekonomi.

Rantai nilai menggambarkan berbagai kegiatan yang diperlukan untuk membawa produk dari konsepsi untuk proses akhir dan seterusnya. Ini termasuk kegiatan seperti desain, produksi, pemasaran, distribusi dan dukungan kepada konsumen akhir. Relevansi pembahasan ini adalah untuk menyoroti pentingnya kemampuan IMS-GT untuk mengintegrasikan mekanisme GVC tersebut di dalamnya. IMS-GT akan tetap dapat digunakan, dan memainkan peran lokomotif untuk ekonomi asalkan dapat tetap menjadi komponen penting dan berguna dari GVC tersebut. Hal ini relevan bagi para pelaku ekonomi, perusahaan, pekerja dan pembuat kebijakan untuk lebih memahami bagaimana fungsi VC dan dapat memperoleh manfaat dari mengetahui kompetensi relatif terhadap aktor-aktor lain dalam rantai berpartisipasi mereka atau mengetahui Apa pembagian kerja dalam rantai, bagaimana mungkin hal ini akan berubah, dan mengapa? Dimana berbagai fungsi dalam VC yang terletak secara geografis? Apakah node keunggulan dapat ditemukan di tempat-tempat tertentu? Bagaimana prospek untuk meng-upgrade posisi seseorang dengan VC? Apakah ada kompetensi yang akan diperoleh, skema kodifikasi untuk belajar, atau jenis hubungan untuk mengembangkan atau menjauhi? Pembentukan dan pelaksanaan GT dengan pejabat berpengalaman dengan alat-alat dalam analisis VC akan berada dalam posisi yang baik untuk membawa keberhasilan integrasi ekonomi regional dalam skala yang lebih luas. Pada jurnal ini, telah dibahas apakah konsep IMS-GT sebagai modus kerja sama ekonomi regional dapat tetap relevan di tengah-tengah kegiatan tumbuh dalam pembentukan FTA. Melihat kedua catatan masa lalu dan tren internasional prospektif produksi internasional, Konsep IMS-GT diharapkan dapat hidup berdampingan dengan FTA. Bahkan, ada pendapat bahwa IMS-GT akan memainkan peran penting dalam pembangunan ekonomi regional jika IMS-GT dapat ditetapkan sebagai saluran untuk perusahaan lokal maupun asing yang terancam gulung tikar dalam rantai nilai global. Sangat penting bahwa perencana ekonomi di negara berkembang menyadari pentingnya analisis rantai nilai global. Pengetahuan itu akan sangat membantu dalam membentuk dan merumuskan kebijakan yang akan memperdalam integrasi dan menimbulkan manfaat ekonomi yang lebih besar.

Critical Review Konsep Growth Triangle yang disepakati oleh ketiga negara yaitu Indonesia, Malaysia dan Singapura berdasarkan hasil pembahasan pada jurnal memang telah memberikan dampak terhadap pertumbuhan ekonomi kawasan terkait. Namun jika dipadankan dengan teori ekonomi wilayah, misalnya Teori Kutub Pertumbuhan (Growth Poles Theory) menyebutkan bahwa industri yang mengalami ekspansi yang berlokasi di suatu daerah perkotan, mendorong berkembangnya kegiatan industri lain keseluruh daerah dalam lingkup yang luas. Dalam hal ini peran Singapura merupakan sebagai kutub pertumbuhan yang sudah mampu untuk meng-ekspansi kawasan sekitarnya, namun hambatan terbesar Singapura adalah space geografis yang sudah tidak mendukung, dengan luas sekitar 697 km2, Singapura diapit oleh dua negara besar yaitu Indonesia dan Malaysia. Disinilah sebenarnya peran konsep growth triangle yang telah dibentuk, yaitu mencoba menembus batas-batas politis negara untuk meningkatkan perekonomian secara mutualisme. Indonesia-Malaysia-Singapura Growth Triangle atau IMS-GT berdasarkan jurnal berawal dari kesepakatan ASEAN untuk membentuk kerjasama yang dinamakan SIJORI (Singapura-Johor-Riau) yang dibentuk sejak 1980an, dalam rentang waktu tersebut hingga sekarang tidak dijelaskan secara rinci koordinasi yang pernah dilakukan ketiga negara melalui IMS-GT pada jurnal, sehingga sulit mengidentifikasi apakah kemajuan ekonomi pada masing-masing wilayah GT yang dijelaskan adalah berasal dari keberhasilan pengimplementasian IMS-GT tersebut. Selain itu, konsep kerjasama yang dilakukan Singapura juga relatif telah banyak salah satunya yang disebutkan pada jurnal adalah Free Trade Area (FTA) yang disepakati Singapura dengan AS, hal ini justru menimbulkan distorsi pada evaluasi yang dilakukan pada jurnal mengenai IMS-GT, timbul pertanyaan apakah benar kemajuan ekonomi Singapura berasal dari kerjasama GT tersebut? Selanjutnya jika dikaitkan kembali dengan teori Kutub Pertumbuhan, kemajuan ekonomi Batam juga hanya merupakan resources endownment murni dari hasil kerjasama yang dilakukan Singapura dalam FTA. Hal ini memang tidak sepenuhnya negatif, sebab walaupun demikian pertumbuhan Batam telah sangat pesat dan memberikan dampak positif yang lebih besar. Hanya saja yang perlu dikaji lebih dalam lagi adalah mengenai kemandirian Batam sebagai zona ekonomi yang kompetitif, sebab apabila hubungan Singapura dengan AS terputus, dampak negatif perekonomian yang melanda Singapura juga akan terjadi pada Batam. Pembahasan mengenai IMS-GT pada jurnal telah memaparkan dengan jelas sejauh mana perannya terhadap Batam dan sekitarnya, umumnya wilayah Indonesia. Namun pemaparan peran IMS-GT mengenai Johor atau kawasan Malaysia masih belum dijelaskan, sehingga informasi mengenai kemampuan IMS-GT dalam membangun kawasannya masih belum lengkap. Dilihat kembali dari sisi hubungan sektor ketiga kawasan IMS-GT diantaranya Singapura sebagai kawasan yang advanced, menyediakan tenaga kerja professional, penerapan teknologi, akses terhadap perdagangan global Sedangkan Indonesia sebagai kawasan yang menyediakan lahan, bahan baku, tenaga buruh, (Deborah et al.).

Hubungan Indonesia dengan Singapura secara logika memang telah dapat bersifat mutualisme, namun peran Malaysia disini berada di tengah-tengah, dan sulit untuk mengidentifikasi integrasinya dalam hubungan antar sektor, sebab posisi Malaysia secara resources berada di atas Indonesia namun di bawah Singapura. Sehingga perlu dilakukan pengkajian kembali terhadap peran Malaysia dalam konsep IMS-GT tersebut, meskipun pada kenyataannya di lapangan pembagian peran tersebut tidak dapat bersifat mutlak, melainkan cenderung mengikuti trend pasar. Selanjutnya pembahasan mengenai peran Malaysia ini dapat dikaitkan dengan pembahasan pada jurnal yang menyebutkan pemahaman Singapura terhadap regionalisme yaitu memandang daerah lingkaran-lingkaran sebagai konsentris yang terhubung. Hal ini ditanggapi dengan bentuk hirarki ekonomi yang seharusnya berwujud piramid, bukan lingkaran konsentris, yaitu terdapatnya hirarki berbentuk tangga/tingkatan berdasarkan resources yang dimiliki masing-masing kawasan. Jika menggunakan analogi tersebut maka disini posisi Malaysia dapat lebih dijelaskan, yaitu sebagai piramid bagian tengah antara Singapura sebagai puncak dan Indonesia sebagai dasarnya, hanya saja hal ini belum dipaparkan dengan jelas pada pembahasan jurnal. Tujuan jurnal tersebut juga diantaranya yaitu mencari relevansi antara FTA dengan growth triangle, disebutkan bahwa relevansinya adalah dapat dilihat dari keberhasilan konsep IMS-GT, dan IMS-GT dianggap sebagai miniatur/simulasi dari bentuk Free Trade Area (FTA) yang lebih global. Namun dalam mencari relevansinya, mekanisme perbandingan yang digunakan masih belum dijelaskan. Selain itu juga disebutkan bahwa konsep GT bahkan lebih baik daripada FTA, dan terdapat saran agar lebih baik kembali kepada konsep GT. Pada pembahasan lain juga dijelaskan mengenai upaya-upaya yang telah dilakukan para petinggi negara-negara di ASEAN untuk menjalin kerjasama ekonomi melalui berbagai konsep salah satunya adalah FTA. Secara konsepsi negara yang menjalin growth triangle mungkin saja menganggap konsep GT yang mereka jalankan telah sesuai dengan FTA sebagai landasan internasional diatasnya, namun dalam FTA sendiri tidak menjelaskan apakah konsep growth triangle tersebut merupakan bagian dari integral konsepnya. Sehingga disini relevansi antara GT dan FTA masih dinilai secara sepihak, tanpa mengkaji konsep FTA lebih dalam. Mengenai pembahasan konsep growth triangle dan Rantai Nilai Global (GVC) pada jurnal telah baik dan jelas, bahwa growth triangle harus diintegrasikan dengan konsep Rantai Nilai Global dimana regulasi di dalamnya lebih baik dan jelas. Namun hal ini juga memberikan penjelasan bahwa growth triangle sebagai konsep kerjasama ekonomi wilayah lintas negara dalam IMS-GT masih memiliki banyak kelemahan, dan perlu dilakukan penyempurnaan dengan belajar dari konsep-konsep lain yang telah diakui secara global.

Kesimpulan Berdasarkan hasil Critical Review Jurnal Development in the IndonesiaMalaysia Singapore Growth Triangle (IMS-GT) tersebut maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Peran IMS-GT salah satunya adalah mengatasi keterbatasan space yang dimiliki oleh Singapura, dengan cara menembus batas-batas politis negara untuk meningkatkan perekonomian secara mutualisme. 2. Dalam rentang waktu peng-gagasan IMS-GT hingga sekarang tidak dijelaskan secara rinci koordinasi yang pernah dilakukan ketiga negara melalui IMS-GT pada jurnal, sehingga sulit mengidentifikasi apakah kemajuan ekonomi pada masing-masing wilayah GT yang dijelaskan adalah berasal dari keberhasilan pengimplementasian IMS-GT tersebut. 3. Konsep kerjasama yang dilakukan Singapura juga relatif telah banyak salah satunya yang disebutkan pada jurnal adalah Free Trade Area (FTA) yang disepakati Singapura dengan AS, hal ini justru menimbulkan distorsi pada evaluasi yang dilakukan pada jurnal mengenai IMS-GT. 4. Pemaparan peran IMS-GT mengenai Johor atau kawasan Malaysia masih belum dijelaskan, sehingga informasi mengenai kemampuan IMS-GT dalam membangun kawasannya masih belum lengkap. 5. Secara konsepsi negara yang menjalin growth triangle menganggap konsep yang mereka jalankan telah sesuai dengan FTA sebagai landasan internasional diatasnya, namun dalam FTA sendiri tidak menjelaskan apakah konsep growth triangle tersebut merupakan bagian dari integral konsepnya. 6. Growth triangle sebagai konsep kerjasama ekonomi wilayah lintas negara dalam IMS-GT masih memiliki banyak kelemahan, dan perlu dilakukan penyempurnaan dengan belajar dari konsep-konsep lain yang telah diakui secara global.

10

LAMPIRAN JURNAL
Development in the IndonesiaMalaysiaSingapore Growth Triangle (IMS-GT)
By Toh Mun Heng, Department of Business Policy Faculty of Business Administration-National University of Singapore.

11

Anda mungkin juga menyukai