Anda di halaman 1dari 4

TETANUS

I.

Tujuan 1. Untuk mengetahui amplitudo kontraksi tetanus lebih besar dari amplitudo kontraksi rangsang. 2. Untuk mengetahui timbulnya tetanus complete dan incomplete. 3. Untuk mengetahui keadaan grafik yang dibuat setelah otot menunjukkan tanda kelelahan.

II.

Teori Respon listrik serabut otot terhadap rangsangan panas adalah seperti pada saraf. Serabut otot mengalami refraktori hanya pada kenaikan dan penurunan potensial lonjakan. Pada saat ini, kontraksi yang diinisiasikan oleh rangsangan pertama baru dimulai. Tetapi, karena mekanisme kontraktil tidak mempunyai waktu refraktori, rangsangan berulang sebelum relaksasi terjadi dan memproduksi aktivasi tambahan dari elemen kontraktil serta sebuah respon yang ditambahkan pada kontraksi yang telah ada. Fenomena ini yang dikenal sebagai sumasi kontraksi otot (Ganong, 1977). Sumasi dibedakan menjadi 2 menurut cara terjadinya, sumasi motor unit multiple yaitu sumasi yang terjadi dengan meningkatkan jumlah motor unit yang berkontraksi secara serentak dan sumasi gelombang yaitu sumasi yang terjadi dengan meningkatkan kecepatan kontraksi tiap motor unit (Guyton, 1981). Tegangan yang berkembang selama sumasi lebih besar daripada kontraksi otot tunggal. Dengan rangsangan berulang yang cepat, aktivasi mekanisme kontraktil terjadi secara cepat pula sebelum ada relaksasi yang terjadi dan responrespon individu ini bergabung menjadi satu respon kontraksi yang kontinu. Respon seperti ini disebut tetanus (Ganong, 1977). Frekuensi terendah di mana tetanisasi terjadi disebut frekuensi kritik. Tetanisasi sebagian diakibatkan karena sifat-sifat liat otot dan sebagian karena sifat proses kontraksi itu sendiri. Serabut-serabut otot mengandung sarkoplasma yang merupakan cairan yang kental, dan serabut-serabut terbungkus dalam fasciae dan selaput otot yang mempunyai resistensi terhadap perubahan panjang. Oleh karena itu, faktor liat ini memegang peranan menyebabkan kontraksi yang berurutan bersatu antara satu dengan lainnya.

Namun selain sifat liat otot, proses pengaktifan itu sendiri berlangsung selama waktu tertentu, dan keadaan pengaktifan serabut otot yang berurutan dapat terjadi demikian cepatnya sehingga mereka bersatu dalam pengaktifan yang

kontinu dan berlangsung lama, yaitu ion kalsium secara terus-menerus menetap dalam miofibril dan memberikan rangsangan yang tidak terputus-putus untuk mempertahankan kontraksi. Waktu frekuensi kritik untuk tetanisasi tercapai, peningkatan kecepatan perangsangan selanjutnya meningkatkan kekuatan kontraksi hanya beberapa persen lebih banyak (Guyton, 1981). Tetanus lurus (complete) terjadi ketika tidak ada relaksasi di antara rangsangan, sedangkan tetanus bergerigi (incomplete) terjadi ketika ada waktu relaksasi yang tidak sempurna di antara rangsangan. Selama tetanus lurus, tegangan berkembang menjadi 4 kali dari kejangan tunggal (Ganong, 1977). Kontraksi kuat otot yang berlangsung lama mengakibatkan keadaan yang dikenal sebagai kelelahan otot (fatique). Kelelahan ini diakibatkan dari ketidakmampuan proses kontraksi dan metabolisme serabut-serabut otot untuk melanjutkan suplai output kerja yang sama. Saraf terus bekerja dengan baik, impuls saraf berjalan secara normal melalui hubungan otot-saraf masuk ke dalam serabut-serabut otot, tetapi kontraksi makin lama makin lemah karena dalam serabut-serabut otot sendiri kekurangan ATP. Hambatan aliran darah yang menuju ke otot yang sedang berkontraksi mengakibatkan kelelahan otot hampir sempurna dalam 1 menit atau lebih karena kehilangan suplai nutrien dengan nyata (Guyton, 1981)

III.

Cara Kerja 1. Meletakkan elektroda perangsang pada saraf ischiadicus. 2. Mencari rangsangan maksimal sehingga ditimbulkan kontraksi yang maksimal pula. 3. a. Rangsangan otot dengan kontraksi tunggal 1x/detik selama 10 detik. b. Rangsangan otot dengan kontraksi tunggal 1x/0,5 detik selama 10 detik. c. Rangsangan otot dengan kontraksi tunggal secepat-cepatnya selama 10 detik. d. Rangsangan otot dengan kontraksi beruntun selama 10 detik. 4. Menentukan waktu dimulainya saat rangsangan sampai tetanus complete. 5. Menentukan waktu dimulainya tetanus complete sampai mulainya fatique.

IV.

Hasil Praktikum (ada pada lampiran grafik tetanus)

V.

Pembahasan Pada percobaan pertama, dilakukan rangsangan pada otot katak sebanyak 1x/detik. Pada hasil kontraksi, tidak menunjukkan adanya kontraksi tunggal. Hal ini dapat disebabkan oleh pemberian waktu rangsangan yang tidak tepat atau terlalu cepat sehingga otot tidak sempat berelaksasi. Sedangkan pada percobaan kedua, dilakukan rangsangan pada otot katak sebanyak 1x/setengah detik. Pada hasil di myogram, terlihat bahwa otot mengalami sumasi, yaitu penjumlahan 2 kontraksi otot tunggal di mana otot tidak dapat melakukan relaksasi dengan sempurna. Ketika otot diberi rangsangan secepatnya dan diteruskan untuk rangsangan multiple dipertahankan, hasil kontraksi menunjukkan bahwa tidak terjadi treppe (efek tangga), tetanus incomplete dan tetanus complete walau otot sudah dirangsang dengan voltase yang tinggi. Yang terjadi hanyalah kontraksi otot biasa, setelah itu fatique (kelelahan otot) yaitu terjadi penimbunan sisa metabolisme seperti asam laktat, asam fosfat, dan CO sehingga kontraksi otot menurun walaupun diberi rangsangan maksimal. Hal ini dapat disebabkan oleh waktu yang dipergunakan untuk melumpuhkan katak terlalu lama sehingga kondisi kataknya sudah lemas duluan, yang menyebabkan ototnya tidak mampu berkontraksi dengan baik; dan energi yang digunakan katak untuk berkontraksi tidak cukup karena kondisi tubuhnya terlalu kurus sehingga mempengaruhi jumlah ATPnya.

VI.

Kesimpulan 1. Amplitudo kontraksi otot saat tetanus lebih besar daripada amplitudo kontraksi otot tunggal. 2. Tetanus complete terjadi karena frekuensi rangsangan yang diberikan berada di atas frekuensi kritis, sedangkan tetanus incomplete terjadi karena frekuensi rangsangan yang diberikan berada di bawah frekuensi kritis. 3. Otot yang mengalami fatique menunjukkan gambar grafik kontraksi yang menurun walaupun diberi rangsangan maksimal. Hal ini terjadi karena penimbunan sisa-sisa metabolisme seperti asam fosfat, asam laktat, dan CO.

VII.

Daftar Pustaka Ganong, William F. 1977. Review of Medical Physiology, 8th edition. California: Lange Medical Publications. Guyton, Arthur C. 1981. Fisiologi Kedokteran, edisi 5 bagian 1. Dharma, Aji dan P. Lukmanto. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran. Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology, 5th edition.

Anda mungkin juga menyukai