Anda di halaman 1dari 3

Publik seringkali tercengang dihadapkan pada realita sehari-hari.

Seseorang yang

ditenggarai sebagai koruptor kawakan bebas dari tuduhan korupsi; sementara seorang pejabat
BUMN yang kehidupannya jauh dari maksiat, ternyata terbukti korupsi. Belum lama ini,
Mahkamah Agung mengeluarkan fatwa hukum atau judicial review No. WKMA/Yud/20/VIII/2006
yang menegaskan bahwa pengelolaan kekayaan negara

yang dipisahkan, khususnya pada

BUMN/BUMD, tidak termasuk sebagai keuangan negara sehingga tidak terikat pada ketentuan
keuangan negara. Bila kita telaah lebih lanjut, fatwa tersebut hanya mengungkapkan bahwa
ketentuan pengelolaan keuangan negara tidak berlaku pada BUMN/BUMD dan pengelolaan
kekayaan

negara

lainnya

yang

dipisahkan.

Beberapa pihak menafsirkan bahwa korupsi di BUMN/BUMD tidak berkaitan dengan kerugian
negara. Pihak lainnya beranggapan fatwa tersebut tidak berkaitan dengan kekayaan negara,
sehingga tidak memiliki pengaruh pada penafsiran kerugian negara pada kasus-kasus tipikor.
Kondisi ini sesungguhnya merupakan implikasi dari ambiguitas status BUMN. Di satu sisi, BUMN
terkait dengan hukum publik dan tunduk pada Undang-Undang 17/2003 tentang Keuangan Negara,
UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara. Di sisi lain, BUMN tunduk terhadap hukum privat atau
korporat dan tunduk pada UU 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, UU 1/1995 tentang
Perseroan Terbatas, UU 8/1995 tentang Pasar Modal, dan Anggaran Dasar perusahaan.
Pengaruh penting dari fatwa tersebut adalah pada pertimbangan apakah suatu perbuatan
yang biasanya tidak diperkenankan dalam pengelolaan keuangan negara juga tidak diperkenankan
dalam pengelolaan BUMN/BUMD, misalnya pengalihan (switching anggaran) atau penggunaan
anggaran untuk keperluan yang berbeda dari yang telah direncanakan. Bila anggaran dalam
keuangan negara (APBN/APBD) harus disahkan oleh DPR, maka di BUMN/BUMD cukup melalui
RUPS.
Permasalahan lain yang tidak mudah dipertimbangkan adalah pelanggaran kebijakan dan
prosedur perusahaan. Kebijakan dan prosedur dalam konteks manajemen merupakan alat
pengendalian untuk memastikan respon terhadap risiko dilaksanakan secara tepat. Ketika alat
pengendalian tersebut justru berakibat sebaliknya, misalnya mengganggu respon terhadap risiko
atau menghilangkan peluang untuk memperoleh keuntungan, manajemen dihadapkan pada pilihan
mengabaikan kebijakan dan prosedur.
Fatwa lain yang menyatakan bahwa Keuangan BUMN adalah Keuangan Negara telah tidak
terbantahkan. Meski begitu terdapat celah hukum yang mempertanyakan apakah Keuangan BUMD

sama dengan Keuangan BUMN? dan apakah Kerugian BUMD adalah Keuangan Negara?
pertanyaan yang kemudian menghadirkan suatu benchmark mengenai keuntungan yang ditentukan
oleh pemegang kontrol, yang pada sisi sebaliknya, kerugian pun harusnya juga ditentukan oleh
pemegang kontrol, dimana, tidak seperti PT pada umumnya, selain bertujuan menghasilkan
keuntungan (profit), BUMD juga bertujuan untuk memberikan barang dan jasa bermutu kepada
masyarakat dan memberikan manfaat umum bagi perekonomian daerah, yang menyebabkan makna
kerugian pada keuangan BUMD menjadi rancu.
Kerugian Negara menurut UU no. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara adalah
kekurangan uang yang nyata dan pasti jumlahnya. Dari pengertian ini, dapat diketahui bahwa
terdapat dasar yang diacu mengenai makna kekurangan, dari yang seharusnya, yaitu yang terdapat
dalam APBN/APBD (das sein), dan yang terjadi (das sollen), yaitu yang tergambar dalam Laporan
Keuangan APBN/APBD yang diaudit melalui Audit Keuangan BPK pada entitas non profit
terhadap Kerugian Negara.
Kemunculan Kerugian Negara pada BUMN melalui pemeriksaan BPK dipertanyakan pada
pendapat berbeda (dissenting opinion) dari Hakim Konstitusi Harjono atas Keputusan Mahkamah
Konsitusi No. 62/PUU XI/2013 dimaksud, yang menyarankan agar norma pemeriksaan BUMN
tidak didasarkan pada norma pemeriksaan Keuangan Negara melainkan norma pemeriksaan
Perseroan Terbatas, dimana jika mengikuti norma pemeriksaan keuangan negara, tidak ada dasar
kekurangan dalam kerugian negara pada BUMD karena bukan merupakan penganggaran public
yang diundangkan dalam UU maupun Perda.
Meski tidak secara eksplisit, Pasal 6 ayat 4 UU no. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan pun menyiratkan bahwa pemeriksaan atas pengelolaan korporasi dapat dilakukan oleh
pihak lain selain BPK (Akuntan Publik).
Saat ini dalam data laporan mengenai keuangan BUMN, setidaknya dalam dua tahun
terakhir, beberapa BUMN mengalami kerugian. Sebut saja seperti Garuda Indonesia, Krakatau
Steel, dan Aneka Tambang.
Garuda Indonesia. Tahun 2012, memperoleh keuntungan Rp 21,55 miliar. Tahun 2013,
merugi Rp 125,58 miliar, dan pada semester pertama tahun 2014, Garuda kembali merugi Rp 2,4
triliun. Artinya, dalam setahun Garuda merugi sekitar 1.900 persen.
Krakatau Steel. Tahun 2012 mendapat kerugian Rp 112, 79 miliar. Pada tahun 2013,
mendapat keuntungan Rp 122,29 miliar. Kemudian, pada semester pertama 2014, merugi Rp 1

triliun. Data tersebut menunjukan Karakatau Steel dalam tempo satu tahun merugi sekitar 900
persen.
Aneka Tambang (Antam). Tahun 2012, Antam memperoleh keuntungan Rp 475,97 miliar.
Tahun 2013, keuntungan Rp 373,56 miliar. Namun, pada semester pertama tahun 2014, Antam
merugi Rp 638,58 miliar. Artinya Antam merugi sebesar 300 persen dalam setahun.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seharusnya dipimpin oleh orang yang profesional,
akuntabel dan independen untuk mencegah kerugian negara. Dari sekian banyak kerugian yang
dialami negara, sebagian besar dinilai bersumber dari pengelolaan BUMN yang tidak tepat.
Inefisiensi dan korupsi disebut menjadi salah satu penyebab utama kerugian. Selain harus
memperoleh direksi BUMN yang kredibel, Menteri BUMN Rini Soemarno seharusnya berusaha
mendapatkan kepercayaan dari rakyat. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan
melibatkan lembaga kredibel seperti KPK dalam mekanisme perekrutan calon-calon direksi
BUMN.

Anda mungkin juga menyukai