Anda di halaman 1dari 23

PERAN KEPUTUSAN HASIL AUDIT BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

DALAM MENGEMBALIKAN KERUGIAN NEGARA

Oleh: Dr. Joko Sriwidodo, SH.,MH.,M.Kn.CLA


Dosen Tetap Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Jayabaya
Email: jokosriwidodo@ymail.com. email.joko_sriwidodo@jayabaya.ac.id.

ABSTRAK
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan Lembaga negara bebas
dan mandiri yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan
tanggungjawab keuangan negara sebagaimana yang diberikan oleh
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan
memiliki fungsi operatif, fungsi yudikatif dan fungsi advisory. Untuk
menentukan terjadinya kerugian keuangan negara, BPK memberikan
laporan hasil auditnya kepada lembaga terkait termasuk laporan
mengenai terjadinya penyimpangan keuangan negara, dalam
memberikan laporan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian,
Kejaksaan, untuk menindaklanjuti soal adanya dugaan tindak pidana
korupsi, pencucian uang, dll. Adapun permasalahan yang akan dikaji
dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana Sistem Pengembalian
Kerugian Negara di Indonesia?, (2) Bagaimanakah Peran Keputusan
Hasil Audit BPK Dalam Pengembalian Kerugian Negara di Indonesia?.
Dalam penelitian ini ingin memberikan gambaran mengenai kerugian
negara dan juga peran BPK dalam pengembalian keuangan negara, baik
dalam teori normatif hukum yang berlaku maupun dalam praktek.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat normatif yang
dilakukan melalui studi kepustakaan (library research). Pembahasan
dalam penelitian ini adalah bahwa sistem pengembalian kerugian negara
di Indonesia adalah melalui internal instansi dengan membentuk Tim
Penyelesaian Kerugian Negara (TPKN) dan juga dengan cara diluar
pengadilan yakni dengan tuntutan ganti kerugian yang dilakukan oleh
BPK serta cara pengembalian kerugian negara melalui peradilan yakni
dengan melalui instrumen hukum pidana, intrumen hukum administrasi
dan instrumen hukum perdata. Sedangkan peran keputusan hasil audit
BPK dalam pengembalian kerugian negara adalah, apabila sebuah
kerugian negara yang tidak memiliki unsur pidana, bisa langsung
dilakukan oleh BPK sebagai lembaga auditatif. Sebagaimana juga cara
pengembalian kerugian negara diluar pengadilan.

Kata Kunci (Keywords) : Badan Pemeriksa Keuangan, Keuangan Negara, dan


Kerugian Negara
A.PENDAHULUAN
Dalam menjangkau berbagai modus penyimpangan keuangan negara atau
perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana korupsi
dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi secara "melawan hukum" dalam pengertian
formil dan materiil. Dalam menjangkau modus penyimpangan keuangan negara,
terpenuhi juga didalamnya unsur melawan hukum. Unsur melawan hukum
(wederechtelijke) dapat dikualifikasikan sebagai melawan hukum formil maupun
materiil. Sifat melawan hukum formil artinya perbuatan pelaku bertentangan
dengan ketentuan hukum formal seperti Undang-undang, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, Peraturan Menteri dan lain-lain. Perlu diingat pula bahwa
peraturan yang formal yang dilanggar tersebut tidaklah perlu harus memuat sanksi
pidana. Misalnya, Peraturan Presiden tidaklah memuat sanksi pidana, namun
terlanggarnya ketentuan tersebut sudah dapat untuk membuktikan unsur melawan
hukum. Pengertian Hukum (recht) lebih luas dari pada Undang- Undang, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden dan lain-lain sebagai hukum tertulis, karena di
dalamnya juga memuat pengertian hukum tak tertulis seperti kebiasaan, kepantasan
dan kesusilaan di masyarakat.
Pelanggaran terhadap kebiasaan, kepantasan dan kesusilaan merupakan
sifat melawan hukum materiil, yang dalam praktek peradilan di Indonesia
dapat berfungsi positif (sebagai alasan untuk menghukum) sebagaimana yang
terjadi dalam kasus R. Sonson Natalegawa (Yurisprudensi MA RI
No.275K/Pid/1983 tanggal 29 Desember 1983), dan dapat berfungsi negatif
(sebagai alasan untuk meniadakan hukuman/membebaskan) seperti dalam kasus
Machrus Effendi (Yurisprudensi MA RI No.42K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966).1
Demikian juga dengan unsur "memperkaya diri atau orang lain atau suatu
korporasi" (vide Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001)
dan unsur "dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi" (vide Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001),
merupakan unsur yang bersifat alternatif sehingga tidak perlu pelaku tindak pidana
korupsi harus menikmati sendiri uang hasil tindak pidana korupsi karena cukup si
pelaku memperkaya orang lain atau menguntungkan orang lain. 2
Sedangkan mengenai unsur "merugikan keuangan negara" aparat penegak
hukum memang bekerjasama dengan instansi terkait yaitu BPK atau BPKP yang
membantu penyidik menghitung kerugian negara. Dalam perkembangan hasil audit
BPK dan BPKP akhir-akhir ini, terlihat secara fakta hasil audit BPK atau BPKP ini
sudah mengarah pada audit adanya "melawan hukum" yang bukan merupakan
"zona wewenangnya". Kewenangan BPK atau BPKP dalam melakukan audit
adalah dalam zona accounting , sehingga tidak perlu jauh sampai mencari adanya

1
Marwan Effendy, Penerapan Perluasan Ajaran Melawan Hukum dalam Undang-
Undang Tindak Pidana Korupsi (Kajian Putusan No.135/Pid/B/2004/PN.Cn. dan Putusan Sela No.
343/Pid.B/2004/PN.Bgr) , Jakarta : Dictum, 2005.
2
Dikutip dalam http://www.kejari-jakbar.go.id/index.php/component/k2/item/236-
permasalahan-seputar-kerugian-keuangan-negara-tinjauan-dari-perspektif-pembuktian-hukum-
pidana diakses tanggal 16 Februari 2020
perbuatan melawan hukum atau tidak, karena itu merupakan kewenangan Penyidik
dan Penuntut Umum Dalam hal unsur "kerugian keuangan negara", konstruksi
Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 dihubungkan dengan UU Nomor 1
Tahun 2004 harus dilihat secara kemprehensif, dengan mengkaji sejauh mana
hubungan pengembalian kerugian negara dengan perbuatan melawan hukum yang
dilakukannya. Pengembalian kerugian negara setelah hasil pemeriksaan yang
dilakukan BPK tidak serta merta BPK tidak perlu melaporkannya kepada instansi
yang berwenang. Dengan demikian setiap temuan adanya kerugian negara oleh
BPK dari hasil audit yang dilakukannya harus dilaporkan kepada instansi yang
berwenang (KPK, Kejaksaan, POLRI) untuk melihat apakah terjadinya kerugian
negara yang dikembalikan tersebut merupakan suatu perbuatan melawan hukum
atau tidak.
Dalam melakukan pembuktian unsur "merugikan keuangan negara", juga
terjadi kerancuan. Adakalanya dalam praktek peradilan telah terbukti unsur
"merugikan keuangan negara", namun, unsur memperkaya diri atau orang lain atau
suatu korporasi (Pasal 2 ayat (1)), atau unsur "menguntungkan diri atau orang lain
atau suatu korporasi" tidak terbukti. Hal tersebut dijadikan alasan untuk
membebaskan tersangka tindak pidana korupsi. Kesalahan konstruksi yuridis
demikian agaknya menghambat proses penegakan hukum. Semestinya dengan
terbuktinya unsur kerugian negara, berarti telah ada uang atau kekayaan negara
yang hilang. Hal tersebut memastikan bahwa tersangka telah memperkaya diri atau
orang lain atau suatu korporasi, atau tersangka telah menguntungkan diri atau orang
lain atau suatu korporasi, dengan uang atau kekayaan negara yang telah terbukti
hilang tadi. Dengan demikian, terbuktinya unsur kerugian keuangan negara dalam
suatu persidangan, dapat dikatakan bahwa unsur memperkaya diri atau orang lain
atau suatu korporasi, atau telah menguntungkan diri atau orang lain atau suatu
korporasi, juga telah dapat dibuktikan. Apabila tidak demikian, maka terjadi
konstruksi yuridis yang tidak logis.
Pada dasarnya metode perhitungan kerugian negara tidak dapat ditetapkan
secara baku untuk dijadikan pedoman/acuan dalam menghitung kerugian negara.
Hal ini dikarenakan modus operandi, kasus-kasus penyimpangan dan bentuk
kerugian negara dapat bermacam-macam Dalam pelaksanaan pemeriksaan,
pemeriksa dapat memilih metode yang dianggap paling tepat. membagi konsep atau
metode penghitungan kerugian keuangan negara, yaitu:3
1. Kerugian Total (Total Loss). Metode ini menghitung kerugian keuangan
negara dengan cara seluruh jumlah yang dibayarkan dinyatakan sebagai
kerugian keuangan negara.
2. Kerugian Total dengan Penyesuaian. Metode kerugian total dengan
penyesuaian seperti dalam metode Kerugian Total, hanya saja dengan
penyesuaian ke atas. Penyesuaian diperlukan apabila barang yang dibeli
harus dimusnahkan dan pemusnahannya memakan biaya. Kerugian

3
Karel Antonius Paeh, Pengembalian Kerugian Negara Berdasarkan Rekomendasi
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hubungan Dengan Unsur Kerugian Negara Dalam Tindak
Pidana Korupsi, e Jurnal Katalogis, Volume 5 Nomor 2 Februari 2017, hal. 53
keuangan negara tidak hanya berupa pengeluaran untuk pengadaan barang
tersebut, tetapi juga biaya yang diperlukan maupun dikeluarkan untuk
memusnahkan barang tersebut.
3. Kerugian Bersih (Net Loss) Dalam metode kerugian bersih, metode nya
sama dengan metode kerugian total. Hanya saja dengan penyesuaian ke
bawah. Kerugian bersih adalah kerugian total dikurangi dengan nilai
bersih barang yang dianggap masih ada nilainya. Nilai bersih merupakan
selisih yang biasa diperoleh dikurangi salvaging cost.
4. Harga wajar Pada metode penghitungan kerugian keuangan negara ini,
harga wajar menjadi pembanding untuk harga realisasi. Kerugian
keuangan negara dimana transaksinya tidak wajar berupa selisih antara
harga wajar dengan harga realisasi.
Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 diatur mengenai pengawasan
atas penyelenggaraan pemerintah daerah, yang dalam prakteknya dilakukan oleh
aparat pengawas internal yang terwadahi dalam Badan Pengawas Daerah
(BAWASDA) yang sekarang menjadi Direktorat Daerah baik di
pemerintahan Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Hasil pembinaan dan
pengawasan dapat digunakan sebagai bahan pemeriksaan oleh badan Pemeriksa
Keuangan (BPK (Pasal 221 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).
Dengan demikian dalam penegakkan hukum di daerah khususnya dalam upaya
pemerintah melakukan pemberantasan korupsi, selayaknya
BAWASDA/Direktorat Daerah dilibatkan dalam upaya pemberantasan korupsi
dalam perspektif preventif administratif.

A. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian pada pendahuluan diatas, maka dapat diangkat masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana Sistem Pengembalian Kerugian Negara di Indonesia ?
2. Bagaimanakah Peran Keputusan Hasil Audit BPK dalam Pengembalian
Kerugian Keuangan Negara di Indonesia ?

B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan Penelitian hukum normatif (normative law
research) menggunakan studi kasus normatif berupa produk perilaku hukum,
misalnya mengkaji undang-undang. Pokok kajiannya adalah hukum yang
dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat dan
menjadi acuan perilaku setiap orang. Sehingga penelitian hukum normatif berfokus
pada inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hukum, penemuan hukum
dalam perkara inconcreto, sistematik hukum, taraf sinkronisasi, perbandingan
hukum dan sejarah hukum.4
Berdasarkan penjelasan diatas, penulis memutuskan menggunakan metode
penelitian hukum normatif untuk meneliti dan menulis pembahasan penelitian ini
sebagai metode penelitian hukum. Penggunaan metode penelitian normatif dalam
upaya penelitian dan penulisan ini dilatari kesesuaian teori dengan metode
penelitian yang dibutuhkan penulis.
Didalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, dengan
pendekatan tersebut peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek
mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Metode pendekatan
dalam penelitian ini adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statue
aproach). 5 Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan
perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang
menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Sedangkan analisis data yang
dilakukan dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif lebih yakni
mengungkap data (bahan hukum) sebanyak mungkin sehingga masalah yang
diangkat lebih transparan. Pendekatan kualitatif memungkinkan peneliti untuk
mengelaborasi data yang diperoleh secara komprehensif dan hasil deskripsi menjadi
lebih akuntabel.

C. KERANGKA TEORI
Teori merupakan pengarah atau petunjuk dalam penentuan tujuan dan arah
penelitian. 6 Untuk menganalisa data yang dikumpulkan guna menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas, maka penelitian ini menggunakan teori
Teori Restorative Justice, sebagaimana yang dikemukakan oleh Tony Marshall,
yakni “Restorative justice is a process whreby all the parties with a stake in a
particular offence come together to resolve collectively how to deal with the
aftermath of the offense and its implications for the future”.7 Terjemahan bebas,
“Keadaan restoratif adalah sebuah proses dimana semua pihak yang terlibat dalam
sebuah tindak pidana tertentu bersama-sama mencari pemecahannya secara
bersama-sama mencari penyelesaiannya dalam menghadapi kejadian setelah
timbulnya tindak pidana tersebut serta bagaimana mengatasi implikasinya di masa
mendatang”.

4
Abdul kadir Muhammad. Hukum dan Penelitian Hukum.Cet. 1. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti. 2004. hal.52
5
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Cet2. Jakarta: Kencana. 2008. hal29
6
Sri Mamudji, Hang Rahardjo, dkk., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum,
(Jakarta, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm.18-19
7
Tony Marshall, Restorative Justice: an Overview, London, Home Office Research
Development and Statistic Directorate, 1999, hlm.5. lihat juga dalam Joko Sriwidodo, Penerapan
Mediasi Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Berdasarkan Restorative Justice Dalam
Distem Peradilan Pidana di Indonesia, Yogyakarta, Penerbit Kepel Press, 2014, hlm.41
Restorative Justice menekankan pengertian kejahatan sebagai tindakan
yang melawan individu atau masyarakat bukan sebagai bentuk pelanggaran kepada
negara.8
Penggunaan teori restorative justice ini adalah untuk melihat bahwa
pengembalian kerugian negara sebagai upaya preventif dalam mengembalikan
keuangan negara tanpa harus melalui proses pidana.

D. KERANGKA KONSEPTUAL
1. Badan Pemeriksa Keuangan
Badan Pemeriksa Keuangan merupakan lembaga negara tertua yang
bertugas menanggulangi dan memberantas terjadinya tindak pidana korupsi
dibandingkan dengan lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia dibandingkan
dengan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atau lembaga yang diberi nama Tim
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtastipikor). Rumusan tentang Badan
Pemeriksa Keuangan ini telah sejak negara kesatuan Republik Indonesia berdiri dan
dimuat dalam Undang-undang dasar 1945. Dalam memberantas budaya korupsi di
Indonesia, pemerintah juga telah membuat lembaga-lembaga, badan-badan, atau
komisi-komisi yang tupoksinya terkait dengan usaha-usaha pemberantasan korupsi.
Lembaga, badan, atau komisi tersebut antara lain, MA, BPK, KPK, Kepolisisan,
Timtastipikor, KY, BPKP, dan Kejaksaan Agung, yang dalam menjalankan
tugasnya semuanya saling terkait dan saling mendukung dalam sebuah sistem yang
dibentuk oleh pemerintah.
Sebagaimana yang sudah banyak ditulis, bahwa Cikal bakal ide
pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan berasal dari Raad van Rekenkamer pada
zaman Hindia Belanda. Beberapa Negara lain juga mengadakan lembaga yang
semacam ini untuk menjalankan fungsi-fungsi pemeriksaan atau sebagai eksternal
auditor terhadap kinerja keuangan pemerintah. Fungsi pemeriksaan keuangan yang
dikaitkan dengan lembaga ini sebenarnya terkait erat dengan fungsi pengawasan
oleh parlemen. Oleh karena itu, kedudukan kelembagaan Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) ini sesungguhnya berada dalam ranah kekuasaan legislatif, atau
sekurang-kurangnya berhimpitan dengan fungsi pengawasan yang dijalankan oleh
DPR. Oleh karena itu, laporan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK ini
harus dilaporkan atau disampaikan kepada DPR untuk ditindaklanjuti sebagaimana
mestinya.9
Untuk lebih memantapkan tugas BPK RI, ketentuan yang mengatur BPK RI
dalam UUD Tahun 1945 telah diamandemen. Sebelum amandemen BPK RI hanya
diatur dalam satu ayat (pasal 23 ayat 5) kemudian dalam Perubahan Ketiga UUD

8
Joko Sriwidodo, Penerapan Mediasi Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah
Tangga Berdasarkan Restorative Justice Dalam Distem Peradilan Pidana di Indonesia,
Yogyakarta, Penerbit Kepel Press, 2014, hlm.16
9
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, Jakarta, Sinar
Grafika, 2010, hal. 153
1945 dikembangkan menjadi satu bab tersendiri (Bab VIII A) dengan tiga pasal
(23E, 23F, dan 23G) dan tujuh ayat. Untuk menunjang tugasnya, BPK RI didukung
dengan seperangkat Undang-Undang di bidang Keuangan Negara, yaitu;
a. UU No.17 Tahun 2003 Tentang keuangan Negara
b. UU No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara
c. UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Selanjutnya, kedudukan BPK ini terlepas dari pengaruh dan kekuasaan
Pemerintah. Akan tetapi tidak berdiri di atas Pemerintah. Lebih jauh hasil
pemeriksaan BPK itu diberitahukan kepada DPR. 10 Artinya, BPK hanya wajib
melaporkan hasil pemeriksaannya kepada DPR. Dengan demikian BPK merupakan
badan yang mandiri, serta bukan bawahan DPR. Hal yang sama dijumpai pula pada
hubungan kerja antara Algemeene Rekenkamer dengan Volksraad.
Kedudukan BPK juga terdapat dalam pasal 2 yang berbunyi: “BPK
merupakan satu lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa
pengelolaan dan tanggungjawab keuangan Negara”.11
Dalam kedudukan yang semakin kuat dan kewenangan yang makin besar
itu, fungsi BPK sebenarnya pada pokoknya tetap terdiri atas tiga bidang 12, yaitu:
a. Fungsi operatif, yaitu berupa pemeriksaan, pengawasan, dan
penyelidikan atas penguasaan, pengurusan dan pengelolaan kekayaan
atas negara.
b. Fungsi yudikatif, yaitu berupa kewenangan menuntut perbendaharaan
dan tuntutan ganti rugi terhadap perbendaharawan dan pegawai negeri
bukan bendahara yang karena perbuatannya melanggar hokum atau
melalaikan kewajiban yang menimbulkan kerugian keuangan dan
kekayaan negara.
c. Fungsi advisory, yaitu memberikan pertimbangan kepada pemerintah
mengenai pengurusan dan pengelolaan keuangan negara.
Dalam melaksanakan tugas pemeriksaan, BPK berwenang:
a. Menentukan objek pemeriksaan, merencanakan dan melaksanakan
pemeriksaan, menetukan waktu dan metode pemeriksaan serta
menyusun dan menyajikan laporan pemeriksaan.
b. Meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap
orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan
lembaga negara lainnya.
c. Melakukan pemeriksaan ditempat penyimpanan uang dan barang milik
negara, ditempat pelaksanaan kegiatan, pembukuan dan tata usaha

10
W. Bonar Sidjabat, Partisipasi Kristen dalam Nation Building di Indonesia, Jakarta,
Badan Penerbit Kristen, 1968, hal.9-10
11
UU RI No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, arsip Dhendianto,
Biro Hukum BPK RI; 11/3/2006
12
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara pasca
Reformasi, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006, hal.168
keuangan negara, serta pemeriksaan terhadap perhitungan-perhitungan,
surat-surat, bukti-bukti, rekening koran, pertanggungjawaban, dan
daftar lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan Negara.
d. Menetapkan jenis dokumen, data serta informasi mengenai pengelolaan
dan tanggungjawab keuangan negara yang wajib disampaikan kepada
BPK.
e. Menetapkan standar pemeriksaan keuangan negara setelah konsultasi
dengan Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah yang wajib digunakan
dalam pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara.
f. Menetapkan kode etik dan pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab
keuangan negara.
g. Menggunakan tenaga ahli dan /atau tenaga pemeriksa diluar BPK yang
bekerja untuk dan atas nama BPK.
h. Membina jabatan fungsional pemeriksa.
i. Memberikan pertimbangan atas Standar Akuntansi Pemerintahan.
j. Memberi pertimbangan atas rancangan sistem pengendalian intern
Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah.
Selanjutnya Dalam hal penyelesaian kerugian negara/daerah, BPK
berwenang untuk menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang
diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang
dilakukan oleh bendahara, pengelolaan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha
Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggaraan pengelolaan
keuangan Negara serta memantau penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang
ditetapkan oleh pemerintah terhadap pegawai negeri bukan bendahara atau pejabat
lain, pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah kepada daerah,
pengelolaan BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola
keuangan negara yang telah oleh ditetapkan BPK serta pelaksanaan pengenaan
ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap untuk diberitahukan secara tertulis kepada
DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya.
Selain itu, BPK juga mempunyai kewenangan untuk memberikan pendapat
kepada DPR, DPD dan DPRD, Pemerintah pusat/Pemerintah Daerah, Lembaga
negara lain, Bank Indonesia, BUMN, Badan Layanan Umum, BUMD, Yayasan,
dan Lembaga atau badan lain, yang diperlukan karena sifat pekerjaan-nya,
memberikan pertimbangan atas penyelesaian kerugian negara/daerah yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah serta meberikan keterangan
ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah.
2. Keuangan Negara
Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang
dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara dinyatakan bahwa pendekatan yang digunakan dalam
merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi objek, subjek, proses, dan tujuan.
Dari sisi objek, yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan
dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan,
serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan
milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Dari sisi subjek, yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh
subjek yang memiliki/menguasai objek sebagaimana tersebut di atas, yaitu:
pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain
yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara
mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek
sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan
keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan
Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan
dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek sebagaimana tersebut di atas
dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam Pasal 2 UU Keuangan Negara bahkan menentukan lebih luas dan
rinci tentang apa saja yang tercakup dalam keuangan negara sebagai berikut :
a. Kekayaan Negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak
lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak - hak lain
yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan
pada perusahaan Negara/perusahaan daerah.
b. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum.
c. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang
diberikan pemerintah.
Seiring dengan diterapkannya Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Otonomi Daerah dan Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, terjadi pergeseran
dalam pengelolaan keuangan publik di Indonesia. Pergeseran terjadi berkaitan
dengan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan yang lebih desentralistik.
Pengelolaan sumber-sumber keuangan juga mengalami pergeseran, banyak
sumber-sumber keuangan publik yang disentralisasikan kepada daerah kabupaten
dan kota, demi terselenggaranya rumah tangga daerah otonomi. Optimalisasi
pengelolaan keuangan di daerah dimaksudkan agar pemerintah daerah sebagai
penyelenggara otonomi tidak mengalami defisit fiskal. Oleh karena itu,
dilaksanakan reformasi segala bidang meliputi reformasi kelembagaan dan
reformasi manajemen sektor publik terutama yang berkaitan dengan pengelolaan
keuangan publik demi untuk mendukung terciptanya good governance. Reformasi
lanjutan dilaksanakan terutama dikaitkan dengan hal-hal berikut ini.13
a. Reformasi sistem pembiayaan (financing reform).
b. Reformasi sistem penganggaran (budgeting reform).

13
Ahmad Yani, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah Di
Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004.
c. Reformasi sistem akuntansi (accounting reform).
d. Reformasi sistem pemeriksaan (audit reform).
e. Reformasi sistem manajemen keuangan daerah (financial management
reform).
Tuntutan pembaruan sistem keuangan publik dimaksudkan agar
pengelolaan uang rakyat secara transparan sehingga tercipta akuntabilitas publik.
Reformasi manajemen keuangan publik terkait dengan perlunya digunakan modul
pengelolaan keuangan publik yang baru yang sesuai dengan tuntutan perkembangan
zaman. Reformasi keuangan daerah berhubungan dengan perubahan sumber-
sumber penerimaan keuangan daerah. Dimensi reformasi keuangan daerah adalah
berikut ini.14
a. Perubahan kewenangan daerah dalam pemanfaatan dana perimbangan
keuangan.
b. Perubahan prinsip pengelolaan anggaran.
c. Perubahan prinsip penggunaan dana pinjaman dan defisit spending.
d. Perubahan strategi pembiayaan.
UU 17 tahun 2003 mengatakan bahwa dalam Pasal 2 Undang-undang
tentang Keuangan Negara mengatur tentang ruang keuangan negara yaitu: Hak
negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, serta
melakukan pinjaman; Untuk negara, lakukanlah tugas umum, kelola negara dan
bayar tagihan pihak ketiga; penerimaan negara; mengunjungi negara; penerimaan
daerah; kunjungi daerah; Kekayaan negara atau kekayaan daerah yang dikelola
sendiri atau oleh pihak lain terdiri dari uang, surat berharga, piutang, barang, serta
hak-hak lain yang dapat diperoleh dengan uang, termasuk kekayaan yang diatur
pada perusahaan negara atau perusahaan daerah; kekayaan pihak lain yang dikuasai
oleh pemerintah dalam kerangka penyelenggaran tugas pemerintahan dan
kepentingan umum;
Aturan pokok Keuangan Negara telah dipublikasikan ke dalam asas-asas
umum, yang tercantum baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam Pengelolaan
Keuangan Negara, yakni sebagai berikut : 15
a. Asas Tahunan, memberikan anggaran yang dibuat Negara yang harus
mendapat persetujuan dari badan legislatif (DPR).
b. Asas Universalitas (kelengkapan), memberikan persetujuan yang tidak
disetujui tentang percampuran antara penerimaan negara dengan
pengalihan negara.
c. Asas Kesatuan, mempertahankan anggaran dari dewan, berarti semua
mendukung harus dalam anggaran.
d. Asas Spesialitas mengharuskan jenis yang disediakan dalam mata
anggaran tertentu/khusus dan disediakan sepenuhnya baik secara
kualitatif maupun kuantitatif.

14
Anwar Sulaiman, Manajemen Aset Daerah, Jakarta, STIA LAN Press, 2000.
15
Lihat dalam http://tongsel.blogspot.com/2016/03/makalah-keuangan-
negara.html?m=1 diakses tanggal 16 Februari 2020
e. Asas Akuntabilitas berorientasi pada hasil, memahami makna setiap
pengguna, diharuskan dan menerangkan organisasi atas keberhasilan
atau mengatasi suatu program yang menjadi tanggung jawabnya.
f. Asas Profesionalitas yang mengatur pengelolaan keuangan negara yang
dikelola oleh tenaga yang profesional.
g. Asas Proporsionalitas; pengalokasian anggaran yang diimplementasi-
kan pada fungsi-fungsi kementerian/lembaga sesuai dengan tingkat
prioritas dan tujuan yang ingin dicapai.
h. Asas Keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, mewajibkan
adanya keterbukaan dalam pembahasan, penetapan dan perhitungan
anggaran serta hasil pengawasan oleh lembaga audit yang independen
i. Asas Pemeriksaan Keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan
mandiri, memberikan otoritas lebih besar pada Badan Pemeriksa
Keuangan untuk mengatur pemeriksaan keuangan negara sesuai tujuan
dan independen.
Ada beberapa masalah yang masih nyata dalam pengelolaan keuangan
negara saat ini, yaitu: 16
a. Rendahnya efektivitas dan efisiensi penggunaan keuangan pemerintah
akibat maraknya irasionalitas pembiayaan kegiatan negara.
b. Kurang pentingnya skala prioritas yang terumuskan dalam proses
pengelolaan keuangan negara yang menyebabkan pemborosan sumber
daya publik.
c. Menuntut reformasi manajemen keuangan adalah yang lebih banyak
melakukan kebocoran dan penyimpangan, seperti yang ditimbulkan
praktik Kolusi Korupsi dan Nepotisme.
d. Rendahnya profesionalisme pemerintah dalam mengelola anggaran
publik.
3. Kerugian Negara
Kerugian negara menurut Pasal 1 angka 15 UU No. 15 Tahun 2006 tentang
Badan Pemeriksa Keuangan dan juga menurut Pasal 1 Angka 22 UU No. 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan
barang yang nyata dan pasti jumblahnya sebagai akibat perbuatan melawan
hukum baik sengaja maupun lalai. 17 Hal ini menunjukkan bahwa kerugian negara
mengandung arti yang sangat luas sehingga mudah di pahami bila terjadi
pelanggaran dalam pengelolaan keuangan negara. Menurut Djoko Sumaryanto18
bukanlah kerugian negara dalam pengertian di dunia perusahaan/ perniaga,
melainkan suatu kerugian karena sebab perbuatan (perbuatan melawan hukum).
Faktor-faktor penyebab kerugian negara adalah penerapan kebijakan yang tidak

16
Dikutip dalam http://makalah-titi3.blogspot.com/2017/03/keuangan-
negara.html?m=1 diakses tanggal 16 Februari 2020
17
Muhamamad Djafar Saidi, Hukum Keuangan Negara, Raja Grafindo Persada,
Jakarta 2011, hal. 109
18
A. Djoko Sumaryanto, Pembalikan Beban Pembuktian: Tindak Pidana Korupsi
Dalam Rangka Pengembalian Kerugian Keuangan Negara, Jakarta, Prestasi Pustaka Publisher,
2009.
benar, memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi. Kerugian keuangan
negara adalah kekurangan uang, surat berharga,dan barang yang nyata dan pasti
jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik disengaja maupun
kelalaian. Kerugian negara dan tuntutan ganti kerugian merupakan subtansi dalam
hukum keuangan negara yang melibatkan pihak pengelola keuangan negara dengan
pihak yang berwenang melakukan tuntutan ganti kerugian ketika salah satu pihak
tidak dapat melaksanakan fungsinya, berarti terdapat kendala dalam penegakan
hukum keungan negara. Adanya kerugian negara menurut Yunus husein sangat
berkaitan dengan transaksi seperti transaksi barang dan jasa, transaksi yang
berkaitan dengan utang piutang, dan transaksi yang berkaitan dengan biaya dan
pendapatan.19
Djoko Sumaryanto mengatakan bahwa terjadinya kerugian negara tersebut
menimbulkan beberapa kemungkinan peristiwa adalah:20
a. Terdapat pengadaan barang-barang dengan harga-harga yang tidak
wajar karena jauh di atas harga pasar, sehingga dapat merugikan
keuangan negara sebesar selisih harga pembelian dengan harga pasar
atau dengan harga yang sewajarnya;
b. Harga pengadaan barang dan jasa wajar, wajar tetapi tidak sesuai
dengan spesifikasi barang dan jasa yang dipersyaratkan. Kalu harga
barangdan jasa murah tetapi kualitas barang dan jasa kurang baik maka
dapat dikatakan juga merugikan negara.
c. Terdapat transaksi yang memperbesar utang negara secara tidak wajar,
sehingga dapat dikatakan juga merugikan keuangan negara karena
kewajiban negara untuk membayar utang semakin besar.
d. Piutang negara berkurang secara tidak wajar dapat juga dikatakan
merugikan negara;
e. Kerugian negara dapat terjadi kalau aset negara berkurang karena
dijual dengan harga yang murah atau dihibahkan kepada pihak lain
atau ditukar dengan pihak swasta atau perorangan.
f. Memperbesar biaya intansi atau perusahaan hal ini dapat terjadi baik
karena pemborosan maupun dengan cara lain, seperti membuat biaya
fiktif.
g. Hasil penjualan suatu perusahaan dilaporkan lebih kecil dari penjualan
sebelumnya.
Kerugian negara dari aspek UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan,
Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara dapat terjadi pada dua tahap
yaitu pada tahap dana akan masuk pada kas negara dan pada tahap dana akan keluar
dari kas negara. Pada tahap dana akan masuk ke kas negara kerugian bisa terjadi
melalui; konspirasi pajak, konspirasi denda, konspirasi pengembalian kerugian
negara dan penyelundupan. Sedangkan pada tahap dana akan keluar dari kas negara

19
Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara, Gramedia, Jakarta, 2014, hal. 157
20
A. Djoko Sumaryanto, Pembalikan Beban Pembuktian....Op cit. Lihat juga dalam
Muhamamad Djafar Saidi, Hukum Keuangan ...........Op Cit, hal. 211
kerugian terjadi akibat; merk Up, korupsi, kredit macet, pelaksanaan kegiatan yang
tidak sesuai dengan program dan lain-lain.21
Sedangkan menurut Thedorus M. Tuanakotta dengan tegas membagi atas
lima sumber kerugian keuangan negara adalah sebagai berikut: 22
a. Pengadaan barang dan jasa
Bentuk kerugian untuk pengadaan barang dan jasa adalah pembayaran
yang melebihi jumlah seharusnya.
b. Pelepasan aset
Pelepasan aset adalah pelepasan kekayaan negara atau pelepasan
kekayaan negara.
c. Pemanfaatan aset
Bentuk-bentuk kerugian keuangan negara dari pemanfaatan aset antara
lain: 1) Negara tidak memperoleh imbalan yang layak menurut harga
pasar, dan lain-lain.
d. Penempatan aset
Penempatan aset (asset placement) merupakan penanaman atau
investasi dari dana-dana negara. Kerugian keuangan negara terjadi
karena kesengajaan menempatkan dana-dana tersebut pada investasi
yang tidak seimbang risk reward-nya.
e. Kredit macet
Kredit diberikan dengan melanggar tata cara perkreditan, baik yang
ditetapkan oleh bank Indonesia maupun oleh bank badan usaha milik
negara.

E. PEMBAHASAN
1. Sistem Pengembalian Kerugian Negara di Indonesia
Dalam hal kerugian Negara, kita perlu mengetahui terlebih dahulu
mengenai Informasi Dan Verifikasi Kerugian Negara, adapun Informasi tentang
kerugian negara dapat diketahui dari :23
a. Pemeriksaan BPK.
Hasil pemeriksaan BPK dituangkan dalam bentuk Laporan Hasil
Pemeriksaan (LHP) BPK. LHP tersebut merupakan informasi tentang
kerugian negara.
b. Pengawasan aparat pengawasan fungsional.
Pengawasan aparat pengawasan fungsional/internal pemerintah dilakukan
oleh Itjen Kementerian Negara/Lembaga dan Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan (BPKP). Apabila dalam pelaksanaan pengawasan
fungsional ditemukan/diduga terdapat kerugian negara, maka

21
Muhamamad Djafar Saidi, Hukum Keuangan.....Ibid. hal. 113
22
Muhamamad Djafar Saidi, Hukum Keuangan......Ibid. hal.116
23
Dikutip dalam http://www.wikiapbn.org/tata-cara-penyelesaian-ganti-kerugian-
negara-terhadap-bendahara/ diakses tanggal 16 Februari 2020
pengungkapan kerugian negara tersebut dilakukan segera pada kesempatan
pertama.
c. Pengawasan dan/atau pemberitahuan atasan langsung bendahara atau
kepala kantor/satker.
Kepala satker wajib melaporkan setiap kerugian negara kepada
Menteri/Pimpinan Lembaga dan memberitahukan kepada BPK paling
lambat 7 hari kerja setelah kerugian negara diketahui.
d. Perhitungan ex officio.24
Dalam hal Bendahara lalai membuat pertanggungjawaban pengelolaan
keuangan, berada dalam pengampuan, melarikan diri, atau meninggal dunia,
dan tidak dapat segera dilakukan pengujian/pemeriksaan kas, maka harus
dibuatkan perhitungan secara ex-officio. Perhitungan yang dibuat secara ex-
officio adalah perhitungan yang dibuat oleh orang lain (bukan Bendahara
bersangkutan), yaitu pejabat yang ditunjuk oleh Kepala satker setempat.
Bila dalam perhitungan yang dibuat secara ex-officio tersebut terdapat
kerugian negara, maka kekurangan itu menjadi tanggung jawab Bendahara
bersangkutan.
Selain informasi di atas, sumber informasi kerugian negara dapat diperoleh
dari pengawasan/pengaduan masyarakat serta media massa dan media elektronik.
Informasi kerugian negara tersebut wajib dikelola oleh masing-masing kepala
satuan kerja (satker). Setiap kepala satker wajib meneliti apakah informasi yang
diterima tersebut berhubungan dengan kekayaan negara yang diurus/menjadi
tanggung jawabnya. Apabila informasi tersebut berhubungan dengan kekayaan
negara yang diurus/menjadi tanggung jawabnya, maka kepala satker wajib meneliti
kembali apakah hal tersebut telah memenuhi syarat untuk ditindaklanjuti dalam
rangka proses penyelesaian kerugian negara.
Untuk menindaklanjuti informasi kerugian negara tersebut, Pimpinan
instansi yang menjadi dugaan terjadinya kerugian negara wajib membentuk Tim
Penyelesaian Kerugian Negara (TPKN). TPKN terdiri atas: 25
a. Sekretaris Jenderal/kepala kesekretariatan badan-badan lain/sekretaris
daerah provinsi/kabupaten/kota sebagai ketua;
b. Inspektur Jenderal/kepala satuan pengawasan internal/inspektur
provinsi/kabupaten/kota sebagai wakil ketua;
c. Kepala Biro/bagian keuangan/kepala badan pengelola keuangan daerah
sebagai sekretaris;

24
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1997, yang
dimaksud dengan perhitungan ex officio adalah perhitungan perbendaharaan yang dilakukan oleh
pejabat yang ditunjuk ex officio apabila bendahara yang bersangkutan meninggal dunia, melarikan
diri atau tiba-tiba harus berada di bawah pengampuan, dan/atau apabila bendahara yang
bersangkutan tidak membuat pertanggungjawaban di mana telah ditegur oleh atasan langsungnya,
namun sampai batas waktu yang diberikan berakhir yang bersangkutan tetap tidak membuat
perhitungannya dan pertanggungjawabannya. Baca opini ini: Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah
terhadap Bendahara (Bagian 12)
25
Dikutip dalam http://www.wikiapbn.org/tata-cara-penyelesaian-ganti-kerugian-
negara-terhadap-bendahara/ diakses tanggal 16 Februari 2020
d. Personil lain yang berasal dari unit kerja di bidang pengawasan,
keuangan, kepegawaian, hukum, umum, dan bidang lain terkait sebagai
anggota;
e. Sekretariat.
TPKN bertugas membantu pimpinan instansi dalam memproses
penyelesaian kerugian negara terhadap bendahara yang pembebanannya akan
ditetapkan oleh BPK. Dalam rangka melaksanakan tugas dimaksud, TPKN
menyelenggarakan fungsi untuk:26
a. menginventarisasi kasus kerugian negara yang diterima;
b. menghitung jumlah kerugian negara;
c. mengumpulkan dan melakukan verifikasi bukti-bukti pendukung;
d. menginventarisasi harta kekayaan milik yang bersangkutan yang dapat
dijadikan sebagai jaminan penyelesaian kerugian negara;
e. menyelesaikan kerugian negara melalui SKTJM;
f. memberikan pertimbangan kepada pimpinan instansi tentang kerugian
negara sebagai bahan pengambilan keputusan dalam menetapkan
pembebanan sementara;
g. menatausahakan penyelesaian kerugian negara;
h. menyampaikan laporan perkembangan penyelesaian kerugian negara
kepada pimpinan instansi dengan tembusan disampaikan kepada BPK.
Apabila dipandang perlu, kepala satker dapat membentuk tim ad hoc untuk
menyelesaikan kerugian negara yang terjadi pada satker yang bersangkutan. Tim
ad hoc melakukan pengumpulan data/informasi dan verifikasi kerugian negara
berdasarkan penugasan dari kepala satker. Kepala satker melaporkan pelaksanaan
tugas tim ad hoc kepada pimpinan instansi yang bersangkutan dengan tembusan
kepada TPKN untuk diproses lebih lanjut. Verifikasi dimaksudkan untuk
memperoleh kepastian mengenai:27
a. Jumlah/besarnya kerugian negara;
b. Pihak-pihak yang harus bertanggungjawab atas terjadinya kerugian
negara; dan
c. Bukti-bukti tertulis yang dapat dipertanggungjawabkan untuk
mendukung kedua hal di atas.
Hasil penelitian dituangkan dalam bentuk Laporan Hasil Pemeriksaan/
Berita Acara Pemeriksaan/Penelitian. Tim ad hoc yang dibentuk tersebut
mempunyai tugas:28
a. menghimpun data, dokumen dan bukti lain serta informasi terdiri atas:
1) kronologis terjadinya kerugian negara;
2) waktu dan tempat terjadinya kerugian negara;
3) identitas Bendahara yang diduga mengakibatkan kerugian negara;
dan

26
Dikutip dalam ....Ibid.
27
Dikutip dalam ....Ibid.
28
Dikutip dalam ....Ibid.
4) data obyek kerugian negara.
b. melakukan analisis dan verifikasi data, bukti dan dokumen serta
kelengkapan lainnya yang mengarah kepada pembuktian terjadinya
kerugian negara.
c. menyusun laporan pelaksanaan tugas kepada kepala satuan kerja.
Laporan, Pemberitahuan, dan Tindak Lanjut atas Kasus Kerugian Negara:29
a. Atasan langsung bendahara atau kepala satker wajib melaporkan setiap
kerugian negara kepada pimpinan instansi dan memberitahukan BPK
selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah kerugian negara diketahui.
b. Pemberitahuan dimaksud dilengkapi sekurang-kurangnya dengan
dokumen Berita Acara Pemeriksaan Kas/Barang.
c. Bentuk dan isi surat pemberitahuan kepada BPK tentang kerugian
negara dibuat sesuai dengan Lampiran I Peraturan BPK Nomor 3 Tahun
2007.
d. Pimpinan instansi segera menugasi TPKN untuk menindaklanjuti setiap
kasus kerugian negara selambat-lambatnya 7 hari sejak menerima
laporan.
Sedangkan dalam Pengembalian Kerugian Negara memiliki beberapa cara,
adapun tata cara yang dilakukan diluar peradilan dalam rangka pengembalian
kerugian negara di atur dalam UU BPK dan dilaksanakan oleh badan pemeriksa
keuangan. Bentuk penyelesaian yang dilakukan oleh badan pemeriksa keuangan
berupa tuntutan ganti kerugian yang berkaitan dengan keuangan negara yang
dikategorikan sebagai suatu kerugian negara. Tuntutan ganti kerugian yang
dibebankan oleh badan pemeriksaan keuangan kepada pihak-pihak yang melakukan
perbuatan melanggar hukum berupa menimbulkan kerugian keuangan negara.30
a. Tuntutan ganti kerugian
Pengenaan tuntutan ganti kerugian terdapat duahal yang saling berkaitan
satu dengan lainya diantaranya adalah menjatuhkan sanksi berupa ganti
kerugian dan pihak yang dikenakan tuntutan ganti kerugian. Pihak yang
menjatuhkan tuntutan tidak boleh semena-mena membebankan tuntutan
ganti kerugian tanpa didasarkan dengan bukti-bukti yang diperkenankan
oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu pihak
yang dikenakan tuntutan ganti kerugian wajib melakukan pembayaran
sebagai bentuk penggantian kerugian negara tatkala cukup bukti bahwa
yang bersangkutan terbukti melakukannya.31
1) Bendahara
Bendahara dalam ruang lingkup ini hanya tertuju pada bendahara
yang berbeda di kementerian negara, lembaga nonkementerian, dan
lembaga negara. Jika bendahara dalam pengelolaan keuangan

29
Dikutip dalam ....Ibid.
30
Dikutip dalam http://jelajahhukumindo.blogspot.com/2017/02/kerugian-
negara.html?m=1 diakses pada tanggal 16 Februari 2020
31
Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara, Gramedia, Jakarta, 2014, hal. 160
negara melakukan perbuatan melanggar hukum atau melalaikan
kewajiban yang dibebankan padanya dan langsung menimbulkan
kerugian negara, wajib mengganti kerugian negara.
2) Pegawai negeri bukan bendahara
Pengelolaan keuangan negara tidak selalu melibatkan bendahara,
kadang kala dilakukan oleh seorang selaku pegawai negara tetapi
tidak berstatus sebagai bendahara, sehingga disebut sebagai
pegawai negeri bukan bendahara.
b. Pembebasan tuntutan ganti kerugian
Pembebasan tuntutan ganti kerugian biasa terjadi jika telah memenuhi
persyaratan berupa hak tagih negara berada dalam keadaan daluwarsa-
nya sehingga negara tidak boleh melakukan penuntutan ganti kerugian
negara. Bendaharawan, pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat
lain dapat dibebaskan dari tuntutan ganti kerugian negara tatkala
persyaratan untuk itu terpenuhi sebagai berikut:
1) Hak negara dinyatakan kedaluawarsa dalam jangka waktu lima
tahun sejak diketahuinya kerugian tersebut tidak melakukan
penuntutan ganti kerugian.
2) Hak negara dinyatakan kedaluwarsa apabila dalam waktu delapan
tahun sejak terjadinya kerugian tidak dilakukan penuntutan.
3) Hak negara dinyatakan hapus, ketika tidak disampaikan oleh
pejabat yang berwenang mengenai adanya kerugian negara kepada
pengampu bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau
pejabat lain dalam jangka waktu tiga tahun sejak putusan
pengadilan yang menetapkan pengampuan tersebut.
Prosedur pengembalian kerugian negara melalui peradilan didasarkan pada
Instrumen hukum pidana dan instrumen hukum perdata tetapi keduanya
mengandung prosedur yang berbeda untuk mengembalikan kerugian negara karena
subtansi hukum yang menyebabkan timbulnya perbedaan dalam penerapan di
pengadilan termaksud.
a. Instrumen hukum pidana
Instrumen hukum pidana yang terkait dengan pengembalian kerugian
negara melalui peradilan adalah UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memuat
ketentuan-ketentuan yang terkait dengan tindakan atau perbuatan
hukum yang menimbulkan kerugian negara dan memerlukan
penyelesaian secara tepat tanpa melanggar hak asasi manusia terhadap
pihak-pihak yang terjaring sebagai pelaku tindak pidana korupsi.
b. Instrumen hukum administrasi
Pada instrumen hukum ini bila terjadi kerugian negara yang dilakukan
oleh pejabat negara atau pegawai negeri tidak boleh digunakan
pertanggungjawaban pribadi, pertanggungjawaban pidana kecuali,
dalam pelaksanaan wewenang terdapat upaya untuk memperkaya diri
sendiri, orang lain atau korporasi boleh diterapkan
pertanggungjawaban pribadi yang berujung pada pertanggung-
jawaban pidana.
c. Instrumen hukum perdata
Pengertian keuangan negara dalam hukum perdata, terkait dengan
pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara
yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara untuk
dijadikan penyertaan modal negara pada persero, perusahan umum,
atau perusahan terbatas lainya. Pengembalian kerugian negara melalui
peradilan boleh dilakukan bersamaan dengan pengembalian kerugian
negara diluar peradilan. Hal ini didasarkan dengan pertimbangan
hukum sebagai berikut.
1) Pengembalian kerugian negara melalui peradilan dengan
pengembalian kerugian negara diluar peradilan memiliki prosedur
yang berbeda;
2) Kerugian negara yang dikembalikan diluar peradilan bukan
merupakan sanksi atau hukuman melainkan hanya bersifat
pengganti atas kerugian negara yang di tetapkan oleh atasanya
atau badan pemeriksaan keungan.
3) Kerugian negara yang dikembalikan melalui peradilan merupakan
sanksi atau hukuman berupa denda yang dijatuhkan oleh
pengadilan atau komisi pemberantasan korupsi.

2. Peran Keputusan Hasil Audit BPK Dalam Pengembalian Kerugian


Negara
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Sebagai Pemegang Kekuasaan
Auditatif. Pada dasarnya BPK bertugas melakukan pengawasan terhadap
pengelolaan keuangan negara. Dengan adanya pengawasan tersebut diharapkan
tidak terjadi penyimpangan ataupun guna menghindari adanya praktek-praktek
yang mengakibatkan terjadinya kerugian negara.
Berdasarkan landasan hukumnya, kewenangan BPK telah diatur dalam
UUD 1945 pasal 23E, yaitu untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
tentang keuangan Negara. Selain itu dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara,
ditegaskan pula tugas dan wewenang BPK untuk memeriksa tanggung jawab
Pemerintah tentang Keuangan Negara, memeriksa semua pelaksanaan APBN, dan
berwenang untuk meminta keterangan berkenaan dengan tugas yang diembannya.
Di sinilah peran BPK untuk senantiasa melaporkan hasil auditnya kepada lembaga
yang kompeten untuk pemberantasan korupsi. Validitas data BPK dapat dijadikan
data awal bagi penegak hukum untuk melakukan penyidikan atas indikasi korupsi
yang dilaporkan. Laporan BPK yang akurat juga akan menjadi alat bukti dalam
pengadilan. Bukti peran BPK cukup berpengaruh besar terhadap proses penindakan
kasus-kasus korupsi yaitu banyak proses hukum akan terhambat jika hasil audit
BPK tidak kunjung selesai.
BPK bertanggungjawab dalam memeriksa keuangan negara. Hasil
pemeriksaan itu diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan kewenangannya.
Badan Pemeriksa Keuangan memeriksa semua pelaksanaan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara. Pelaksanaan pemeriksaan dilakukan berdasarkan ketentuan-
ketentuan yang ada dalam undang-undang.
Pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK meliputi pemeriksaan keuangan,
pemeriksaan kinerja dan Perlu juga kita ketahui bahwa tantangan bagi BPK ke
depan akan sangat kompleks dan beragam dari sekelumit masalah yang ada saat ini.
Oleh karenanya, BPK RI secara institusional tidak dapat berdiri sendiri tanpa
melibatkan ruang partisipasi publik (masyarakat) seluas-luasnya. Oleh karenya Visi
BPR RI ke depan juga harus berbasis kepada civil society participation. Saat ini
BPK RI, selain belum membuka akses publik secara luas (langsung), akan tetapi
juga belum memaksimalkan fungsi koordinasi dengan lembaga negara, khususnya
aparatur penegak hukum; misalnya KPK, Kejaksaan, PPATK dsb. Patut dikritisi
minimnya koordinasi antar lembaga negara dalam konteks membangun sistem
pemerintahan yang baik dan bersih dari praktik korupsi (clean and good
governance), akan menyulitkan dan menjadi faktor penghambat di dalam
mewujudkan tatanan tersebut.
Konkritnya, minimnya koordinasi sedari awal akan menghambat tindak
lanjut dari hasil audit BPK RI, yang senyatanya menimbulkan indikasi kerugian
negara yang besar (korupsi). Hal ini perlu dicatat, karena BPK tidak memiliki
otoritas dalam konteks penegakan hukum (law enforcement) pada sektor hilir. Dan
tentunya apabila hasil audit BPK tersebut tidak ditindaklnjuti secara prosedural,
maka hasil audit tersebut tidak memberikan dampak atau manfaat yang senyatanya,
oleh karenanya akan berakhir sia – sia. Apabila kondisi ini yang terjadi maka BPK
akan sama saja seperti ‘macan ompong’, yang mana hasi audit-nya tidak
ditindaklanjuti.
Pada prinsipnya meskipun dalam kondisi ini, BPK tidak dapat
dipersalahkan, karena sebenarnya BPK RI sudah melaksanakan tugas dan fungsi
sebagaimana mestinya sampai pada tahap ekspose hasil audit yang dilakukan, akan
tetapi tetaplah BPK tidak memberikan kontribusi yang nyata sampai pada tahap
akhir dari tindak lanjut dari hasil audit BPK RI. Point penting di sini ialah ke depan
visi BPK RI haruslah juga menitikberatkan pada aspek koordinasi yang intens
dengan lembaga penegak hukum khususnya, agar hasil audit dari BPK RI tersebut
ditindaklanjuti secara profesional dan proporsional.
Artinya, visi BPK ke depan juga harus menitikberatkan pada fungsi
koordinasi, yang pengejewantahannya secara real harus berada di dalam struktur
pelaksana BPK RI; mungkin selain dari Direktorat Utama Perencanaan, Evaluasi,
dan Pengembangan Pemeriksaan Keuangan Negara serta Direktorat Utama
Pembinaan dan Pengembangan Hukum Pemeriksaan Keuangan Negara
sebagaimana yang ada di dalam ketentuan Pasal 4 dari Keputusan BPK RI tentang
Organisasi dan Tata Kerja Pelaksana BPK; ke depan perlu juga direktorat khusus
yang memiliki orientasi dan kompetensi dalam aspek koordinasi, yakni Direktorat
utama Koordinasi dan Supervisi Audit BPK.
BPK harus dapat menyelaraskan fungsi dan kewenangannya dengan
lembaga atau institusi sejenis yang identik dengan tugas dan fungsi BPK, dalam hal
ini BPKP dan berbagai organisasi pengawasan internal di berbagai organisasi dan
departemen pemerintah, seperti Itjen (Inspektorat Jenderal), Deputi Pengawasan,
SPI (Satuan Pengawas Internal), Inspektorat daerah atau Bawasda (Badan
Pengawas Daerah, kini namanya menjadi Inspektorat Daerah).
Hasil pemeriksaan BPK sebagaimana disebutkan diatas, adalah merupakan
hasil akhir dari proses penilaian kebenaran, kepatuhan, kecermatan, kredibilitas dan
keandalan data/informasi mengenai pengelolaan dan tanggungjawab keuangan
negara yang dilakukan secara independen, objektif, dan profersional, yang
dituangkan dalam laporan hasil pemeriksaan sebagai keputusan BPK.32
Anggota BPK dilarang memperlambat atau tidak melaporkan hasil
pemeriksaan yang mengandung unsur pidana kepada instansi yang berwenang dan
jika melanggarnya, anggota BPK yang bersangkutan dipidana paling lama 10
(sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah) dan paling banyak Rp. 10. 000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). 33
Terkait dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK ini, BPK
mempunyai kewajiban untuk melaporkannya ke pihak-pihak tertentu, antaranya:
a. BPK menyerahkan hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung-
jawab keuangan negara kepada DPR, DPD dan DPRD sesuai dengan
kewenangnya. 34
b. Untuk keperluan tindak lanjut hasil pemeriksaan tersebut, BPK
menyerahkan pula hasil pemeriksaan secara tertulis kepada Presiden,
Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangnya.35
c. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melapor-
kan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan paling lama 1 (satu) bulan
sejak diketahui adanya unsur pidana. 36 Yang dimaksud dengan instansi
berwenang disini adalah pejabat penyidik. Laporan BPK ini dijadikan
dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.37
d. BPK memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan yang
dilakukan oleh presiden, gubernur, bupati/walikota dan hasilnya
diberitahukan secara tertulis kepada DPR, DPD dan DPRD, serta
Pemerintah.38

32
Pasal 1 Angka 14 UU BPK
33
Pasal 28 huruf a jo. Pasal 36 ayat (1) UU BPK
34
Pasal 7 Ayat (1) UU BPK
35
Pasal 8 Ayat (1) UU BPK
36
Pasal 8 Ayat (3) UU BPK
37
Pasal 8 Ayat (4) UU BPK
38
Pasal 8 Ayat (5) UU BPK
Sebagaimana yang sudah kita singgung diatas, bahwa pengembalian
kerugian negara yang dilakukan diluar peradilan adalah pengembalian kerugian
negara yang diatur dalam UU BPK dan dilaksanakan oleh BPK sendiri. Bentuk
penyelesaian yang dilakukan oleh BPK tersebut adalah berupa tuntutan ganti
kerugian yang berkaitan dengan keuangan negara yang dikategorikan sebagai suatu
kerugian negara. Tuntutan ganti kerugian tersebut dibebankan oleh BPK kepada
para pihak yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa menimbulkan
kerugian negara.
Sejalan dengan teori restorative justice yang kita pakai dalam penelitian ini,
bahwa pengembalian kerugian negara diluar peradilan dengan melakukan tuntutan
ganti kerugian yang dilaksanakan oleh BPK adalah lebih efektif untuk
memudahkan dan mempercepat proses pengembalian kerugian negara, ketimbang
melalui peradilan yang prosesnya berliku dan panjang.
Melalui penelitian ini, peneliti ingin memberikan masukan untuk semakin
mengefektifkan peran BPK dalam pengembalian kerugian negara diluar peradilan
dengan melakukan tuntutan ganti kerugian. Sehingga kerugian keuangan negara
bisa cepat kembali.

F. PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Informasi dan Verifikasi kerugian Negara diperoleh dari (1) Laporan
Pemeriksaan BPK, (2) Pengawasan aparat pengawasan fungsional, (3)
Pengawasan dan/atau pemberitahuan atasan langsung bendahara atau
kepala kantor/satker, dan (4) Perhitungan ex officio. Selain keempat
sumber tersebut, informasi kerugian negara dapat diperoleh dari
pengawasan/pengaduan masyarakat serta media massa dan media
elektronik. Untuk menindaklanjuti informasi kerugian negara tersebut,
pimpinan instansi wajib membentuk Tim Penyelesaian Kerugian Negara
(TPKN). TPKN sendiri terdiri atas Sekretaris Jenderal, Inspektur
Jenderal, Kepala Biro, Personil Lain yang berasal dari unit kerja
dibidang pengawasan, keuangan, kepegawaian, hukum, umum dan
bidang lain yang terkait sebagai anggota, dan Seorang Sekretariat.
Selain TPKN, pimpinan instansi dapat pula membentuk tim ad hoc
untuk menyelesaikan kerugian negara yang terjadi pada satuan kerja
yang bersangkutan. Sedangkan dalam Pengembalian kerugian negara,
dilakukan beberapa cara, (1) tuntutan ganti kerugian, dapat melalui
bendahara dan pegawai negeri bukan bendahara. (2) pembebasan
tuntutan ganti kerugian. Pengembalian kerugian negara melalui
peradilan didasarkan pada instrumen hukum pidana, instrumen hukum
administrasi dan instrumen hukum perdata.
b. BPK sebagai pemegang kekuasaan auditatif berhak melakukan
pengawasan terhadap pengelolaan keuangan negara. BPK tidak
memiliki otoritas dalam konteks penegakan hukum (law enforcement)
pada sektor hilir. Namun dalam hal pengembalian kerugian negara, BPK
memiliki wewenang pengembalian kerugian negara diluar peradilan
yang diatur dalam UU BPK dan dilaksanakan oleh BPK sendiri yakni
dengan melakukan tuntutan ganti kerugian kepada pihak-pihak yang
melakukan perbuatan melanggar hukum berupa menimbulkan kerugian
keuangan negara. Dalam hal inilah BPK berperan untuk melakukan
tuntutan ganti kerugian untuk melakukan pengembalian kerugian
keuangan negara.

2. Saran
a. Memperkuat lagi sistem perolehan informasi dan verifikasi kerugian
negara melalui sistem online bagi setiap instansi yang ada, serta
memperkuat sistem pengembalian kerugian keuangan negara melalui
lembaga peradilan dan juga diluar peradilan.
b. Mengefektifkan dan memperluas pengembalian kerugian negara oleh
BPK diluar peradilan dengan cara tuntutan ganti kerugian kepada para
pihak yang bersangkutan.

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia,


Jakarta, Sinar Grafika.
--------------------------------
, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara
pasca Reformasi, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi.
Effendy, Marwan, 2005, Penerapan Perluasan Ajaran Melawan Hukum dalam
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Kajian Putusan
No.135/Pid/B/2004/PN.Cn. dan Putusan Sela No.
343/Pid.B/2004/PN.Bgr) , Jakarta : Dictum.
Marshall, Tony, 1999, Restorative Justice: an Overview, London, Home Office
Research Development and Statistic Directorate.
Marzuki, Peter Mahmud. 2008, Penelitian Hukum. Cet2. Jakarta: Kencana.
Muhammad, Abdul kadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum.Cet. 1.
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Paeh, Karel Antonius, Pengembalian Kerugian Negara Berdasarkan
Rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hubungan
Dengan Unsur Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, e
Jurnal Katalogis, Volume 5 Nomor 2 Februari 2017.
Saidi, Muhamamad Djafar, 2011, Hukum Keuangan Negara, Jakarta, Raja
Grafindo Persada.
Sidjabat ,W. Bonar, 1968, Partisipasi Kristen dalam Nation Building di
Indonesia, Jakarta, Badan Penerbit Kristen.
Sriwidodo, Joko, 2014, Penerapan Mediasi Tindak Pidana Kekerasan Dalam
Rumah Tangga Berdasarkan Restorative Justice Dalam Distem
Peradilan Pidana di Indonesia, Yogyakarta, Penerbit Kepel Press.
Sulaiman, Anwar, Manajemen Aset Daerah, Jakarta, STIA LAN Press, 2000.
Sumaryanto, A. Djoko, 2009, Pembalikan Beban Pembuktian: Tindak Pidana
Korupsi Dalam Rangka Pengembalian Kerugian Keuangan
Negara, Jakarta, Prestasi Pustaka Publisher.
Sunggono, Bambang, 1997, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Tjandra, Riawan, 2014, Hukum Keuangan Negara, Jakarta, Gramedia.
Yani, Ahmad, 2004, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan
Daerah Di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada.

Peraturan, artikel dan makalah.


http://www.kejari-jakbar.go.id/index.php/component/k2/item/236-
permasalahan-seputar-kerugian-keuangan-negara-tinjauan-dari-
perspektif-pembuktian-hukum-pidana diakses tanggal 16 Februari
2020
UU RI No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, arsip
Dhendianto, Biro Hukum BPK RI; 11/3/2006
http://tongsel.blogspot.com/2016/03/makalah-keuangan-negara.html?m=1
diakses tanggal 16 Februari 2020
http://makalah-titi3.blogspot.com/2017/03/keuangan-negara.html?m=1
diakses tanggal 16 Februari 2020
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1997,
http://www.wikiapbn.org/tata-cara-penyelesaian-ganti-kerugian-negara-
terhadap-bendahara/ diakses tanggal 16 Februari 2020
http://jelajahhukumindo.blogspot.com/2017/02/kerugian-negara.html?m=1
diakses pada tanggal 16 Februari 2020
http://rodlial.blogspot.com/2014/02/makalah-tentang-badan-pemeriksa-
keuangan.html?m=1 diakses pada tanggal 16 Februari 2020

Anda mungkin juga menyukai