Anda di halaman 1dari 11

TINDAK LANJUT TEMUAN KERUGIAN NEGARA DALAM LHP BPK,

ANTARA ADMINISTRASI ATAU PIDANA


Oleh : Muhammad Ahsan Thamrin

Bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah satu-satunya lembaga negara yang
diberikan wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan pemeriksaan atas
pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara (pasal 23E ayat (1) UUD
1945).
BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang
dilakukan oleh Pemerintah pusat, pemerintah Daerah, lembaga negara lainnya, Bank
Indonesia, BUMN, Badan layanan Umum, BUMD, dan lembaga atau badan lain yang
mengelola keuangan negara. (Pasal 6 ayat (1) UU No. 15 tahun 2006 tentang BPK).
Pelaksanaan pemeriksaan BPK, dilakukan berdasarkan Undang-undang tentang
pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara (pasal 6 ayat (2) UU
No. 15 tahun 2006 tentang BPK).
Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan ,pemeriksaan kinerja, dan
pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan
atas laporan keuangan. Pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan
keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi
serta pemeriksaan aspek efektifitas. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah
pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud
diatas. pemeriksaan investigatif merupakan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Tentang pemeriksaan investigatif disebutkan : pemeriksa dapat melaksanakan
pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah
dan/unsur pidana. BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang
berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam kesepakatan bersama antara BPK dan Kejaksaan Agung RI
Nomor : 01/KB/I-VIII.3/07/2007
Nomor : KEP-071/A/JA/07/2007

Tentang tindak lanjut penegakan hukum terhadap hasil pemeriksaan BPK yang
diduga mengandung unsur tindak pidana, disebutkan dalam pasal 4 ayat (1) apabila
dalam pemeriksaan BPK terungkap hal-hal yang diduga mengandung unsur tindak
pidana, maka BPK sesuai kewenangannya menyerahkan hasil pemeriksaan kepada
penegak hukum, termasuk Kejaksaan Agung. jadi yang diserahkan oleh BPK kepada
Kejaksaan Agung adalah pemeriksaan investigatif.
Lalu bagaimana dengan LHP BPK dalam bentuk hasil pemeriksaan keuangan dan
pemeriksaan kinerja, yang salah satunya dituangkan dalam laporan hasil
pemeriksaan atas kepatuhan terhadap peraturan Perundang-undangan yang
didalamnya dilaporkan adanya temuan seperti : indikasi merugikan keuangan
negara, kelebihan bayar, penerimaan negara kurang disetor, bukti tidak lengkap,
tidak sesuai ketentuan, tidak dapat dipertanggungjawabkan dan kurang dapat
dipertanggungjawabkan, apakah perbuatan tersebut sudah mengandung unsur
pidana yang merugikan keuangan negara, apakah seluruh temuan tersebut, BPK
akan menindaklanjutinya dalam bentuk pemeriksaan investigatif yang selanjutnya
hasilnya diserahkan kepada penegak hukum atau penegak hukum sendiri dapat
langsung melakukan pemeriksaan tanpa menunggu penyerahan hasil laporan
investigatif dari BPK ?
Permasalahan ini semakin menjadi debatable apabila dikaitkan dengan adanya
rekomendasi BPK untuk mengembalikan kerugian negara yang kemudian
ditindaklanjuti oleh para pihak sebagaimana disebutkan dalam rekomendasi BPK,
apakah kerugian negara/daerah dalam temuan tersebut tidak ada lagi karena telah
dipulihkan sehingga menjadi ranah administrasi yang mana penegak hukum tidak
boleh memasukinya ?
Tulisan ini mencoba membahas masalah ini dari berbagai sudut pandang, dan
pembaca dipersilahkan untuk melihat dari sudut pandang sendiri.

Mengenai temuan BPK yang mengandung indikasi kerugian negara.

Di dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 15 tahun 2006 tentang BPK disebutkan bahwa
BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian Negara yang diakibatkan oleh
perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh
bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang
menyelenggarakan pengelolaan keuangan Negara.
Selanjutnya di dalam Pasal 10 ayat (2) yang antara lain menyatakan bahwa penilaian
kerugian keuangan Negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar
ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan
BPK.

Pasal 10 ayat (3) yang antara lain menyatakan bahwa untuk menjamin pelaksanaan
pembayaran ganti kerugian, BPK berwenang memantau
a). Penyelesaian ganti kerugian Negara/daerah yang ditetapkan oleh pemerintah
terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain.
b). Pelaksanaan pengenaan ganti kerugian Negara/daerah kepada bendahara, pengelola
BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan Negara yang
telah ditetapkan oleh BPK, dan
c). Pelaksanaan pengenaan ganti kerugian Negara/daerah yang ditetapkan berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hokum tetap.

Bahwa di dalam Pasal 20 UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan


dan tanggung jawab keuangan Negara.
Ayat (1) pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil
pemeriksaan.
Ayat (2) pejabat wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK tentang
tindak lanjut atas rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan.

Ayat (3) jawaban atau penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan
kepada BPK selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah laporan hasil
pemeriksaan diterima.
Ayat (4) BPK memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Ayat (5) Pejabat yang diketahui tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi administratif sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.

Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa hasil


pemeriksaan BPK dan kewenangan melakukan pemantauan tindak lanjut hasil
pemeriksaan pada prinsipnya berada pada ranah hukum administrasi Negara
(administratif), sehingga sepanjang rekomendasi BPK terhadap hasil pemeriksaan
telah

ditindaklanjuti

oleh

pejabat

yang

bersangkutan,

berarti

kewajiban

administratifnya bagi BPK telah selesai, dengan demikian adanya pengembalian


oleh para pihak sebagaimana disebutkan dalam rekomendasi BPK, berarti kerugian
negara/daerah dalam temuan tersebut telah dipulihkan.
Atas rekomendasi yang telah ditindaklanjuti tersebut tentunya BPK tidak perlu lagi
melakukan pemeriksaan investigatif untuk mengungkap lebih jauh adanya unsur
pidana di dalamnya, dan tentunya BPK tidak perlu lagi melaporkan hal tersebut
kepada penegak hukum untuk selanjutnya dilakukan penyidikan (pasal 8 ayat (3),
(4) UU No. 15 tahun 2006 tentang BPK).

Tapi bagaimana apabila dalam waktu 60 hari ternyata rekomendasi


BPK tidak ditindaklanjuti dalam bentuk pengembalian kerugian
negara

oleh

oleh

para

pihak

sebagaimana

disebutkan

dalam

rekomendasi BPK.
Pasal 64 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara,
menyebutkan Bendahara, Pegawai Negeri bukan bendahara dan pejabat lain yang

telah ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat dikenakan sanksi


administrasi dan/atau sanksi pidana.
Berarti jika lewat batas waktu 60 hari tidak selesai ditindaklanjuti maka BPK akan
melakukan pemeriksaan investigatif dan hasilnya dilaporkan kepada penegak
hukum.

UU Nomor 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab


keuangan Negara pasal 13 menyebutkan pemeriksa dapat melaksanakan
pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian Negara/daerah
dan/atau unsur pidana.
kemudian pasal 14 ayat (1) menegaskan apabila dalam pemeriksaan ditemukan
unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun ketentuan
mengenai BPK terlebih dahulu harus melakukan pemeriksaan investigatif untuk
menemukan adanya indikasi pidana terhadap perbuatan yang merugikan keuangan
negara terdapat pertentangan dengan pasal 8 UU No. 15 tahun 2006 tentang BPK,
dimana disebutkan dalam hal pemeriksaan (LHP) ditemukan unsur pidana, BPK
melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang paling lama 1 (satu) bulan
sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut, dan laporan BPK tersebut dijadikan
dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang. Artinya tidak diperlukan
pemeriksaan lain berupa pemeriksaan investigatif .

Mengenai rekomendasi BPK untuk mengembalikan kerugian Negara


Isue utama perbuatan korupsi adalah timbulnya kerugian negara, sehingga sudah
barang

tentu

harus

ada

upaya

pemgembalian

kerugian

negara

tersebut.

Pengembalian kerugian negara dapat dilakukan dengan instrumen pidana,


instrumen perdata dan instrumen TGR (Tuntutan Ganti Rugi). Dengan adanya
pengertian keuangan negara yang berbeda-beda pada setiap UU yang dibentuk
misalnya dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 1 Tahun 2004 Tentang
Perbendaharaan Negara, yang menimbulkan multitafsir terhadap hal kerugian
negara, sehingga dalam penerapannya pun terdapat perbedaan tafsir antara Jaksa,

Hakim dan BPK serta BPKP yang menimbulkan perbedaan dalam penanganan
perkara korupsi.
Bahwa terjadinya multitafsir dan perbedaan pendapat antar lembaga tadi
berdampak pada kebijakan yang berkaitan dengan pengembalian kerugian negara
yang menimbulkan permasalahan yaitu :
Apakah para pihak yang disebutkan dalam rekomendasi BPK untuk
mengembalikan kerugian negara dapat dibebaskan dari tuntutan pidana,
jika yang bersangkutan telah mengganti seluruh kerugian negara/daerah
yang ditimbulkannya ?
Bagi penegak hukum jawabannya mungkin sederhana yaitu pengembalian kerugian
negara tidak menghapus pidana (pasal 4 UU No. 31 tahun 1999). Tapi apabila
ditanyakan kembali, bagaimana kalau kerugian negara dikembalikan sebelum atau
sewaktu dilakukan penyelidikan, sewaktu dilakukan penyidikan, setelah penyidikan
bahkan sewaktu persidangan bergulir, maka kita akan menemukan jawaban yang
berbeda-beda.
Kalau kita melihat Pasal 64 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang
perbendaharaan negara, disana dikatakan Bendahara, Pegawai Negeri bukan
bendahara dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian
negara/daerah dapat dikenakan sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana.
Pengertian dapat dikenakan sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana sifatnya
seolah-olah

alternatif, pertanyaannya adalah kapan

hanya sekedar

sanksi

administrasi dan kapan diterapkan sanksi pidana?


Namun adanya ketentuan bahwa Bendahara, Pegawai Negeri bukan bendahara dan
pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat
dikenakan sanksi

pidana, maka setiap hasil pemeriksaan (LHP) BPK yang

mengandung indikasi merugikan keuangan negara seyogyanya harus dilaporkan


kepada instansi berwenang (Kejaksaan dan POLRI) terlepas apakah kerugian negara
sudah dikembalikan atau tidak, karena untuk melihat apakah terjadinya kerugian
negara tersebut diakibatkan adanya perbuatan melawan hukum atau tidak
merupakan wewenang Penyidik. Kewenangan BPK hanyalah menetapkan ganti rugi

yang merupakan sanksi administrasi sedangkan penegak hukum adalah menemukan


adanya perbuatan pidana untuk selanjutnya memberikan sanksi pidana.
Harifin A. Tumpa (mantan ketua MA) mengatakan sekalipun temuan BPK tidak
pro yustisia, tapi bersifat administratif, tapi justru di bidang pelanggaran
administratif itulah kemungkinan munculnya tindak pidana korupsi. Kalau tidak ada
pelanggaran administratif maka tidak ada korupsi. Jadi korupsi itu sumbernya pada
administrasi yang tidak tertib.

Lalu bagaimana seharusnya penegak hukum menyikapi rekomendasi BPK berupa


pengembalian

kerugian

negara

yang

tidak

ditindaklanjuti,

atau

sebagian

ditindaklanjuti dan yang telah ditindaklanjuti seluruhnya namun melewati lebih dari
60 hari ?
Penerapan hal ini membutuhkan kearifan dan kebijaksaan oleh penegak hukum
dalam praktek di lapangan. Penegak hukum harus melihat konteks kasus yang
dihadapi.

Pertama-tama

penegak

hukum

harus

memahami

bahwa

dalam

penanganan perkara korupsi, yang paling utama adalah bagaimana mengembalikan


kerugian negara kepada negara. Dalam penegakan hukum, penegak hukum harus
lebih mengedepankan rasa keadilan masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang
dengan kesadarannya telah mengembalikan kerugian keuangan Negara (restoratif
justice), terutama terkait perkara tindak pidana korupsi yang nilai kerugian
keuangan Negara relatif kecil dipertimbangkan untuk tidak ditindaklanjuti.
Instrumen pidana adalah upaya terakhir (ultimum remedium). Dalam penanganan
perkara tindak pidana korupsi sebaiknya diprioritaskan pada pengungkapan perkara
yang bersifat big fish (berskala besar, dilihat dari pelaku dan/atau nilai kerugian
keuangan Negara) dan still going on (tindak pidana korupsi yang dilakukan terus
menerus atau berkelanjutan) sehingga dapat menimbulkan kepercayaan masyarakat.

Kaitan Laporan Pemeriksaan (LHP) BPK atas kepatuhan terhadap


ketentuan peraturan Perundang-undangan dan Unsur-unsur tindak
pidana Korupsi dalam pasal 2 dan 3 UU No. 31 tahun 1999.

Disini penulis akan menyajikan contoh laporan hasil pemeriksaan BPK atas
kepatuhan

terhadap

peraturan

Perundang-undangan

laporan

keuangan

Kementerian pekerjaan umum tahun 2012, Nomor : 07c/HP/XIX/05/2013 tanggal


31 mei 2013, hlmn 1-6.
a. Terdapat kelebihan pembayaran atas paket pengadaan Barang dan Jasa
1. Kondisi
Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan Kementerian Pekerjaan Umum
TA. 2011 Nomor 13.c/LHP/XVII/05/2012 tanggal 21 mei 2012 mengungkapkan
beberapa kelemahan dalam pengadaan barang/jasa antara lain terdapat kelebihan
pembayaran atas 28 paket pengadaan barang/jasa sebesar Rp.8.407.077.600,32.BPK merekomendasikan Menteri pekerjaan Umum agar memberikan sanksi sesuai
peraturan perundang-undangan kepada para kepala Satker, PPK, pengawas
lapangan, dan konsultan pengawas yang kurang cermat dalam menguji kewajaran
tagihan belanja yang diajukan oleh kontraktor serta memerintahkan para kepala
satker

untuk

mempertanggungjawabkan

kelebihan

pembayaran

sebesar

Rp.8.407.077.600,32.- dengan menyetorkan ke kas negara .


Kementerian pekerjaan umum telah menindaklanjuti melalui surat teguran kepada
kepala Satker, PPK, pengawas lapangan, konsultan pengawas dan telah menyetorkan
ke kas negara sebesar Rp. 7.026.362.945,98.- sedangkan sisanya sebesar
1.380.714.654,34.- belum disetor. Dengan demikian sampai dengan pemeriksaan
berakhir rekomendasi atas hasil pemeriksaan tersebut belum seluruhnya selesai
ditindaklanjuti.
Hasil pengujian secara uji petik atas kegiatan pengadaan barang dan jasa pada
Kementerian

Pekerjaan

umum

tahun

2012,

diketahui

terdapat

kelebihan

pembayaran sebesar Rp. 5.433.780.036,70.- telah dikembalikan sebesar Rp.


4.822.740.989,27.- dan sisa sebesar Rp. 611.039.047,43.Catatan :

1. pengertian kelebihan pembayaran berarti terdapat kerugian negara berupa timbul


atau bertambahnya kewajiban pengeluaran/pembayaran kas negara/daerah yang
seharusnya tidak perlu, ini masuk klasifikasi Unsur kerugian negara.
2. Adanya rekomendasi BPK kepada kepala satker untuk mempertanggungjawabkan
kelebihan pembayaran dengan menyetorkan ke kas negara, berarti kerugian tersebut
secara nyata,dan pasti yang dapat dinilai dengan uang (jumlah hasil pemeriksaan).
3. Terkait kerugian keuangan Negara serta dikaitkan dengan kewenangan BPK secara
rigid sebagaimana pada pasal 10 ayat (1) UU Nomor 15 tahun 2006 tentang BPK,
maka BPK : menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian Negara yang
diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum karena sengaja/lalai yang dilakukan
oeh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang
menyelenggarakan pengelolaan keuangan Negara.
2. Kriteria (permasalahan tersebut tidak sesuai dengan)
Peraturan presiden Nomor 54 tahun 2010 Jo. Perpres 70 tahun 2012 tentang
pengadaan barang/jasa pemerintah, pasal 51 ayat 2 : kontrak harga satuan
merupakan kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan
dalam batas waktu yang telah ditetapkan dengan ketentuan pembayarannya
didasarkan pada hasil pengukuran bersama atas volumen pekerjaan yang benarbenar telah dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa dan dimungkinkan adanya
pekerjaan tambah/kurang berdasarkan hasil pengukuran bersama atas pekerjaan
yang diperlukan.
Catatan
Kriteria permasalahan tersebut tidak sesuai dengan .. dengan penyebutan
peraturan perundang-undangan terkait secara spesifik)
Apabila ada temuan, biasanya BPK akan menyebutkan seluruh peraturan perundangundangan yang bertentangan/dilanggar artinya tindakan/perbuatan tersebut secara
eksplisit adalah melanggar peraturan perundang-undangan, atau dengan kata lain
bertentangan dengan hukum/melawan hukum formil.
3. Akibat

Hal tersebut mengakibatkan : kelebihan pembayaran pekerjaan kepada penyedia jasa


konstruksi senilai Rp. 5.433.780.036,70.catatan
Pengertian kelebihan pembayaran berarti terdapat kerugian negara berupa timbul
atau bertambahnya kewajiban pengeluaran/pembayaran kas negara/daerah yang
seharusnya tidak perlu, ini masuk klasifikasi Unsur kerugian negara.
4. Sebab, permasalahan tersebut disebabkan :
a. PPK tidak sepenuhnya mempedomani spesifikasi tekhnis serta kurang optimal
dalam melakukan pengendalian atas tagihan.
b. Pengawas lapangan dan konsultan supervisi kurang cermat dalam melakukan
pengawasan kuantitas hasil pekerjaan.
c. Panitia serah terima pekerjaan (PHO) kurang cermat dalam melakukan
pemeriksaan hasil pekerjaan.
d. Kontraktor kurang cermat dalam melakukan perhitungan volumen pekerjaan.
Catatan
Sebab, permasalahan tersebut disebabkan .. .(dengan menyebutkan penyebab
keadaan dan tanggung jawab pejabat terkait)
Ini terkait dengan unsur perbuatan melawan hukum, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan)

Dengan demikian LHP BPK yang telah menyimpulkan berdasarkan bukti bukti
dokumen dan keterangan yang dibuat oleh pihak-pihak yang diperiksa, bahwa telah
terjadi kerugian Negara dengan menyebut jumlah kerugian Negara serta
mengungkapkan ketidaksesuaian dengan peraturan perundang-undangan maka itu

adalah merupakan perbuatan yang menyimpang jika berdasarkan kewenangan yang


diberikan perundang-undangan maka sebenarnya telah memiliki rumusan yang
sejalan dengan unsur-unsur pasal 2 dan 3 UU No. 31 tahun 1999 Jo. UU No. 20
tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga temuan BPK
terkait dengan laporan hasil pemeriksaan BPK atas kepatuhan terhadap peraturan
Perundang-undangan dapat ditindaklanjuti oleh penegak hukum untuk dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut terkait dengan adanya perbuatan tindak pidana korupsi.

Harapan kepada BPK


Bahwa ujung tombak pemberantasan korupsi sebenanrnya ada pada BPK sebagai
lembaga Negara yang memeriksa seluruh pengelolaan keuangan Negara setiap
tahun. Diharapkan BPK dalam melakukan pemeriksaan agar lebih tegas dan
konsisten, independen, objektif dan professional dalam mengungkap adanya
perbuatan merugikan keuangan Negara/daerah sehingga temuan tersebut dapat
langsung dieksekusi oleh aparat penegak hukum. pasal 8 UU No. 15 tahun 2006
tentang BPK, disebutkan dalam hal pemeriksaan (LHP) ditemukan unsur pidana,
maka BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang paling lama 1
(satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut, dan laporan BPK tersebut
dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang. Dan tentunya hal
ini berpulang kembali pada sikap aktif tindak lanjut pemeriksa dan/atau anggota
BPK itu sendiri atas temuan unsur pidana untuk melaporkannya kepada penegak
hukum.
Saya berandai-andai, seandainya sistem ini berjalan dengan baik dimana BPK benarbenar menjalankan fungsinya melakukan pemeriksaan atas pengelolaaan keuangan
negara yang berindikasi pidana yang merugikan keuangan negara dan melaporkan
seluruh hasil temuannya kepada penegak hukum, maka penegak hukum (Polisi dan
Jaksa) tidak perlu lagi mencari-cari kasus untuk diperiksa, tapi cukup menunggu
penyerahan hasil pemeriksaan LHP BPK untuk ditindaklanjuti. Dan disinilah peran
penting BPK sebagai ujung tombak pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Anda mungkin juga menyukai