Anda di halaman 1dari 47

KATA PENGANTAR

Laporan Akhir Kajian Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri dalam


Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah ini disusun sebagai tindak lanjut dari
diterbitkannya Surat Perintah Kerja Nomor PBJ.06.16-09/PPK.D.I.3/10/2019 tanggal
1 Oktober 2019 mengenai Pengadaan Tenaga Ahli Perorangan Kajian Peningkatan
Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) Dalam Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah.

Laporan Akhir menyajikan hasil kajian yang pada pokoknya mengungkap


berbagai hambatan yang signifikan muncul dan berpotensi menghalangi kemajuan
P3DN dalam PBJP. Laporan ini memuat hasil pengolahan data serta analisanya dan
kesimpulan. Mudah-mudahan Laporan Akhir ini dapat memberikan manfaat dan
memenuhi sasaran kajian yang diharapkan.

Pada kesempatan ini, kami menyampaikan terimakasih yang sebesar-


besarnya kepada Direktur Iklim Usaha dan Kerjasama Internasional, LKPP beserta
jajarannya atas segala dukungan dan kerjasamanya selama pelaksanaan kajian ini,
khususnya dalam pelaksanaan survey persepsi.

Jakarta, November 2019

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................. i


DAFTAR ISI .............................................................................................................................. ii
DAFTAR TABEL ...................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang dan Pentingnya Kajian ........................................................................... 1
1.2 Maksud dan Tujuan......................................................................................................... 2
1.3 Ruang Lingkup Kajian ..................................................................................................... 3
1.4 Metodologi Kajian ............................................................................................................ 3
BAB II PRODUK DALAM NEGERI DAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH.... 6
2.1 Pengembangan Produk Dalam Negeri ............................................................................ 6
2.2 Produk Dalam Negeri Dalam PBJP ................................................................................ 9
BAB III PENGOLAHAN DATA DAN ANALISA .................................................................... 12
3.1 Disain Survey Persepsi .................................................................................................. 12
3.2 P3DN Dalam Proses Pengadaan .................................................................................. 17
3.3 Ketersediaan Produk Dalam Negeri .............................................................................. 19
3.4 Faktor Pendukung P3DN Dalam PBJP ........................................................................ 22
3.5 Prioritas Program Pengembangan ............................................................................... 28
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................................... 34
4.1 Kesimpulan..................................................................................................................... 34
4.1 Saran dan Rekomendasi ............................................................................................... 36

ii
DAFTAR TABEL

TABEL 1 PERSEPSI DERAJAT HAMBATAN P3DN 1


PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH ......................................................... 13
TABEL 2 DISTRIBUSI SKOR HAMBATAN PADA PROSEDUR PENGADAAN ................... 17
TABEL 3 NILAI MODUS DAN RATA-RATA SKOR HAMBATAN
PADA PROSEDUR PENGADAAN ............................................................................ 18
TABEL 4 DISTRIBUSI SKOR HAMBATAN PADA PASOKAN BARANG/JASA ..................... 20
TABEL 5 NILAI MODUS DAN RATA-RATA SKOR HAMBATAN
PADA PASOKAN BARANG/JASA PDN .................................................................... 21
TABEL 6 DISTRIBUSI SKOR HAMBATAN PADA KEBIJAKAN ............................................. 23
TABEL 7 NILAI MODUS DAN RATA-RATA SKOR HAMBATAN
PADA KEBIJAKAN .................................................................................................... 24
TABEL 8 DISTRIBUSI SKOR HAMBATAN PADA PENGUKURAN KINERJA ....................... 25
TABEL 9 NILAI MODUS DAN RATA-RATA SKOR HAMBATAN
PADA PENGUKURAN KINERJA .............................................................................. 26
TABEL 10 DISTRIBUSI SKOR CAPAIAN PADA HASIL PELAKSANAAN ............................. 27
TABEL 11 NILAI MODUS DAN RATA-RATA SKOR CAPAIAN
PADA HASILPELAKSANAAN ................................................................................... 28

iii
Daftar Gambar

GAMBAR 1 DISTRIBUSI SKOR HAMBATAN PENGUKURAN KINERJA ............................ 30


GAMBAR 2 DISTRIBUSI SKOR HAMBATAN PENGUKURAN KINERJA ............................ 31
GAMBAR 3 DISTRIBUSI SKOR HAMBATAN PASOKAN BARANG/JASA PDN .................. 31
GAMBAR 4 DISTRIBUSI SKOR HAMBATAN PASOKAN BARANG/JASA PDN .................. 31
GAMBAR 5 DISTRIBUSI SKOR HAMBATAN PROSEDUR PENGADAAN .......................... 32
GAMBAR 6 DISTRIBUSI SKOR HAMBATAN PROSEDUR PENGADAAN .......................... 32
GAMBAR 7 DISTRIBUSI SKOR HAMBATAN KEBIJAKAN .................................................. 32
GAMBAR 8 DISTRIBUSI SKOR HAMBATAN KEBIJAKAN .................................................. 33
GAMBAR 9 DISTRIBUSI SKOR HAMBATAN KEBIJAKAN .................................................. 33
GAMBAR 10 DISTRIBUSI SKOR HAMBATAN PENGUKURAN KINERJA .......................... 33

iv
LAMPIRAN

LAMPIRAN A .................................................................................................................................. 38

v
vi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Pentingnya Kajian

Pengembangan sektor industri menjadi strategi penting untuk


menggerakkan pertumbuhan ekonomi khususnya bagi negara-negara yang
sedang berkembang. Sektor industri dapat mengangkat nilai tambah produksi
nasional. Strategi ini dipilih mengingat pengembangan industri mempunyai
daya dorong yang potensial bagi pertumbuhan sektor-sektor lainnya. Peran
demikian juga menempatkan industri sebagai landasan dalam kerangka
perluasan lapangan kerja. Sekaligus pula untuk mendorong peningkatan
serta pemerataan pendapatan dan bahkan pengembangan wilayah.
Pengembangan industri dapat dilakukan melalui pengembangan industri
substitusi impor, biasanya dilaksanakan pada tahap awal industrialisasi, dan
pengembangan industri yang berbasis pada sumberdaya yang dimiliki.
Berdasarkan itu pulalah Indonesia melakukan pengembangan sektor industri
sebagai langkah strategis dalam pembangunan ekonominya.

Pertumbuhan industri telah mendorong pertumbuhan ekonomi disertai


dengan meningkatnya kontribusi industri dalam PDB. Lebih dari lima tahun
terakhir, pertumbuhan ekonomi serta industri berada dalam posisi stagnan.
Bahkan diantara periode tersebut terjadi pertumbuhan industri lebih rendah
dari pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi lebih banyak ditopang
oleh sektor konsumsi dibanding sektor produksi. Keadaan ini juga tidak
terlepas oleh adanya pengaruh pelambatan ekonomi dunia yang juga
memberikan dampak pada perekonomian nasional. Menghadapi
perkembangan tersebut, salah satu strategi untuk meningkatkan produksi
nasional adalah menggalakkan upaya peningkatan penggunaan produk
dalam negeri (P3DN) dengan mengefektifkan penggunaan produk dalam
negeri (PDN) dalam pengadaan barang/jasa pemerintah (PBJP).

Sebagai langkah untuk mengoptimalkan fungsi Anggaran


Pembangunan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/D) sebagai instrumen

1
kebijakan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, maka ditempuh langkah-
langkah untuk meningkatkan penggunaan produk dalam negeri dalam
kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah. Ini mempertimbangkan bahwa
besarnya APBN/D merupakan pasar yang potensial untuk menjadi pemicu
sekaligus penggerak bagi berkembangnya produksi nasional.

APBN/D melalui pengadaan barang/jasa pemerintah bisa berperan


sebagai alat yang efektif untuk mencapai tujuan pembangunan yang lebih
luas, yaitu sebagai bagian dari pembangunan yang berkelanjutan dan bahkan
bagi usaha nasional untuk menghadapi persaingan global. Sehubungan
dengan itu, Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah mengarahkan bahwa salah satu tujuan dan
kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah adalah untuk meningkatkan
penggunaan produk dalam negeri (PDN). Sebagai kebijakan, langkah ini
sudah cukup lama diberlakukan namun diduga belum menampakkan hasil
atau kemajuan yang berarti. Implementasi kebijakan yang dilaksanakan
kurang konsisten serta belum didukung oleh sistem pemantauan dan evaluasi
yang memadai menyebabkan ketersediaan informasi perkembangan
pelaksanaan kebijakan menjadi sangat terbatas. Padahal ketersediaan data
yang berkualitas, tepat dan akurat adalah sangat penting bagi perumusan dan
pelaksanaan kebijakan. Oleh karena itu, langkah yang diperlukan sekarang
adalah asesmen terhadap status perkembangannya. Kajian awal perlu
dilaksanakan secara cepat (rapid assessment) dan yang diharapkan dapat
menyediakan bahan-bahan yang dinilai krusial bagi perumusan kebijakan dan
langkah-langkah, terutama yang bersifat operational, sehingga dapat
mendorong P3DN dalam PBJP dengan hasil yang lebih berdaya guna dan
berhasil guna.

1.2 Maksud dan Tujuan

Kebijakan penggunaan produk-produk dalam negeri khususnya dalam


pengadaan barang/jasa pemerintah telah berlangsung dalam waktu yang
cukup lama. Dalam konteks perkembangan saat ini, hal yang diperlukan
adalah menyusun langkah-langkah yang dapat mempercepat dan
mengefektifkan penggunaan produk dalam negeri dalam pengadaan

2
barang/jasa pemerintah. Kajian ini dimaksudkan untuk menjaring informasi
sebagai bahan masukan yang diperlukan agar dapat dijadikan bahan
pertimbangan dalam menyusun rekomendasi kebijakan dan langkah-langkah
pelaksanaan P3DN dan PBJP. Dengan demikian tujuan sekaligus keluaran
kajian adalah tersedianya rekomendasi sebagai bahan masukan untuk
merumuskan kebijakan dan langkah-langkah prioritas yang diperlukan dalam
pelaksanaan peningkatan penggunaan produk dalam negeri dalam
pengadaan barang/jasa pemerintah.

1.3 Ruang Lingkup Kajian

Kajian akan mengeksplorasi keadaan yang berhubungan dengan


penggunaan produk dalam negeri dalam pengadaan barang/jasa pemerintah .
Ruang lingkup kajian akan mencakup 4 (empat) materi pokok. Pertama,
analisa tentang P3DN dalam pengadaan barang/jasa pemerintah oleh
Kementrian/Lembaga Negara dapat dimaknai untuk memberikan informasi
berkenaan dengan kondisi obyektif terkait dengan adanya hambatan yang
signifikan muncul dan berpotensi menghalangi kemajuan dalam pelaksanaan
P3DN, baik dari sisi ketersediaan PDN bersertifikat maupun dari segi proses
pengadaan barang/jasa pemerintah. Kedua, analisa tentang peningkatan
capaian nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) tidak menjadi fokus
dalam kajian, karena TKDN adalah sesuatu yang sudah tersedia (given)
dalam proses pengadaan. Analisa akan diarahkan padai kondisi obyektif
faktor pendukung implementasi kebijakan penggunaan produk dalam negeri
dalam lingkup PBJP; Ketiga, analisa tentang program pengembangan ke
depan yang dapat mempercepat P3DN dalam PBJP; dan Keempat,
penyusunan rekomendasi bahan untuk perumusan kebijakan dan langkah-
langkah prioritas yang layak diterapkan untuk meningkatkan penggunaan
produk dalam negeri dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.

1.4 Metodologi Kajian

Fokus kajian diarahkan pada dimensi strategis dalam konteks


penetapan langkah-langkah prioritas yang segera perlu ditindaklanjuti, dan

3
mengingat kondisi obyektif yang ada, maka ditempuh beberapa langkah
pendekatan, yaitu:
1) Deskripsi realitas implementasi P3DN dalam PBJP didasarkan pada
persepsi para pengguna barang dan jasa/pengelola pengadaan
sebagai proksi. Pendekatan ini dilakukan untuk mengatasi sulitnya
ketersediaan data faktual terutama yang terkait dengan hasil
pelaksanaan P3DN dalam PBJP. Dengan demikian pengumpulan,
pengolahan, dan analisa data akan terfokus pada data kualitatif
terutama berupa persepsi para pengguna PBJP. Lebih lanjut,
substansi kebijakan dinilai sudah memadai sehingga implementasi
kebijakan lebih menjadi perhatian utama dalam kajian;
2) Kebijakan dan langkah dapat segera dieksekusi. Inventarisasi data dan
analisis perkembangan P3DN dalam PBJP tidak harus sepenuhnya
melandaskan pada fakta keberhasilannya. Pendekatan berorientasi
pada upaya pemecahan masalah, sehingga inventarisasi dan analisa
akan lebih didasarkan pada eksplorasi hambatan-hambatan yang
mungkin terjadi dalam tahap implementasi dan mengidentifikasi
keberadaan hambatan yang cenderung menonjol, yaitu yang dinilai
akan berpengaruh terhadap capaian yang diharapkan. Eksplorasi
hambatan dilakukan baik yang mungkin terjadi di pasar maupun yang
mungkin terjadi dalam prosedur pengadaan itu sendiri. Berdasarkan
pendekatan seperti itu, analisa lanjutnya akan terfokus pada
penyusunan bahan kebijakan operasional dan langkah-langkah yang
segera dapat mengatasi hambatan tersebut, terutama yang memiliki
dampak positif terhadap percepatan P3DN dalam PBJP;
3) Objek kajian adalah: (a) individu sebagai fokus utamayang terdiri dari
para pemangku jabatan yang memiliki tugas/fungsi dalam pengadaan
barang/jasa pemerintah, dan (b) lembaga, sebagai obyek kajian yang
melengkapi, mencakup kementerian/lembaga di Jakarta dipilih sebagai
obyek instansi sektoral yang cukup representatif dan komprehensif.

Kerangka pelaksanaan kajian peningkatan penggunaan produk dalam


negeri dalam pengadaan barang/jasa pemerintah meliputi tahapan kegiatan
sebagai berikut:
4
1) Studi dokumen (desk study) untuk memperoleh informasi tentang
perkembangan baik yang bersifat teoritis bersumber dari literatur yang
ada maupun eksplorasi data tentang produk dengan berbagai tingkat
kandungan dalam negeri (TKDN), dan penyusunan metodologi kajian;
2) Penyusunan instrumen pengumpulan data yang mencakup: (a)
Inventarisasi jenis data/informasi yang diperlukan, antara lain adalah
berbagai jenis hambatan yang mungkin terjadi dalam penggunaan
produk dalam negeri dan prosedur pengadaan. Jenis-jenis hambatan
diidentifikasi lebih lanjut, yaitu yang termasuk dalam lingkup/kategori
seperti pasokan barang/jasa produk dalam negeri, prosedur
pengadaan, pengukuran kinerja, kebijakan, dan hasil pelaksanaan; (b)
Penyusunan daftar pertanyaan/bahan diskusi dan identifikasi obyek
kajian (individu dan lembaga); (c) Pengumpulan data melalui berbagai
metoda yang mungkin dilaksanakan, seperti melalui media survey
persepsi, diskusi, dan/atau wawancara; dan (d) Penggalian data lebih
lanjut (bila diperlukan) untuk aspek tertentu berdasarkan hasil
pengumpulan data yang telah diperoleh sebelumnya;
3) Pengolahan dan analisa data, antara lain meliputi : (a) Pengolahan
data untuk memperoleh hambatan-hambatan yang paling menonjol dari
berbagai aspek dan analisa kebijkan dan langkah-langkah untuk
mengatasi hambatan yang timbul; dan (b) Analisa program
pengembangan P3DN dengan status bersertifikat dalam PBJP;
4) Pedalaman lebih lanjut hasil pengolahan data dan analisa dilanjutkan
dengan penyusunan saran dan rekomendasi.

5
BAB II
PRODUK DALAM NEGERI DAN
PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

Pengadaan barang/jasa pemerintah (PBJP) memiliki potensi yang


strategis sebagai wahana peningkatan produk dalam negeri. Pertama,
aktivitas pengadaan telah berevolusi dari kegiatan yang berupa kegiatan
teknis (kegiatan transaksional murni/clerical purchasing) menjad kegiatan
strategis yang berorientasi pada maksimasi keuntungan/manfaat atau value
for money. PBJP tidak lagi terbatas pada pencapaian keluaran/hasil terhadap
tujuan organisasi, tetapi setiap langkah proses PBJP juga didorong untuk
memberikan manfaat/dampak langsung bagi pembangunan/masyarakat.

Kedua, sektor industri memiliki peran strategis dalam pembangunan


ekonomi. Pertumbuhan sektor industri tidak hanya akan mendongkrak
kenaikan nilai tambah nasional, tetapi juga pertumbuhan industri akan
mendorong pertumbuhan sektor-sektor lainnya. Hal ini dimungkinkan karena
sektor industri mempunyai keterkaitan yang erat baik ke belakang maupun ke
depan (strong backward and forward linkages), yaitu keterkaitan intra-industri
dan antara sektor industri dengan sektor-sektor ekonomi lainnya. Sektor
industri berperan sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi. Peran
demikian juga menempatkan industri sebagai sumber perluasan kesempatan
kerja, dan bahkan mampu mendorong pengembangan wilayah.

2.1 Pengembangan Produk Dalam Negeri

Pertumbuhan industri telah mendorong pertumbuhan ekonomi dan


memberikan sumbangan yang cukup nyata dalam pembentukan PDB.
Namun, lebih dari lima tahun terakhir terjadi pelambatan pertumbuhan
ekonomi dan industri yang kemudian menempatkan tingkat pertumbuhan
pada posisi yang stagnan. Bila sumbangan industri pengolahan nonmigas
dalam PDB masih sebesar 25,20 persen pada tahun 2001, kemudian
menunjukkan angka yang menurun menjadi 21,48 persen pada tahun 2010.
Menurunnya sumbangan industri pengolahan nonmigas dalam PDB terus
berlanjut hingga menjadi sebesar 18,20 persen pada tahun 2015 dan sebesar
6
17,62 persen pada tahun 2018. Perkembangan sumbangan industri
pengolahan nonmigas yang terjadi seperti itu disebabkan laju pertumbuhan
industri pengolahan nonmigas lebih rendah dari laju pertumbuhan ekonomi.

Sebagai salah satu strategi untuk meningkatkan produksi nasional


menghadapi perkembangan tersebut adalah dengan menggalakkan upaya
untuk meningkatkan penggunaan produk dalam negeri. Upaya tersebut juga
dibarengi dengan langkah peningkatan penggunaan produk dalam negeri
(P3DN) dalam kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah (PBJP). Dasar
pertimbangannya adalah bahwa besarnya nilai APBN/D merupakan pasar
yang potensial. Nilai belanja barang dalam APBN adalah sekitar 9-10 persen
dari nilai industri pengolahan nonmigas dalam PDB. Pengadaan barang/jasa
pemerintah bisa berperan sebagai pemicu sekaligus penggerak bagi
berkembangnya produksi nasional.

Kebijakan peningkatan penggunaan produk dalam negeri ditujukan


untuk memberdayakan industri dalam negeri, dan untuk memperkuat struktur
industri. Pengembangan produk dalam negeri juga dapat dimaknai sebagai
bagian dari strategi untuk memajukan tingkat sosial-ekonomi, sehingga
pelaksanaan stategi ini berjalan seiring dengan kerangka pembangunan
berkelanjutan. Produk dalam negeri (PDN) adalah barang dan jasa, termasuk
rancang bangun dan perekayasaan, yang diproduksi atau dikerjakan oleh
perusahaan yang berinvestasi dan berproduksi di Indonesia menggunakan
seluruh atau sebagian tenaga kerja warga negara Indonesia, dan prosesnya
menggunakan bahan baku atau komponen yang seluruh atau sebagian
berasal dari dalam negeri. Pengertian ini adalah sebagaimana tertuang pada
ketentuan pasal 1 butir 21 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun
2018 Tentang Pemberdayaan Industri.

Pengertian PDN di atas pada umumnya memiliki pengertian yang


hampir sama dengan pengertian yang digunakan beberapa negara sedang
berkembang yang menempuh kebijakan pengembangan produk lokal.
Kebijakan seperti ini di tingkat internasional sering disebut sebagai strategi
kandungan lokal (Local Content). Secara universal memang tidak ada satu
definisi yang disepakati, karena sangat tergantung pada kondisi

7
perkembangan ekonomi masng-masing negara. Namun demikian terdapat
kesamaan pada unsur yang diutamakan, yaitu adanya penggunaan sumber
daya manusia, sumber daya alam, dan jasa yang dimiliki masing-masing
negara. Bahkan banyak pula yang menetapkan unsur kepemilikan lokal pada
perusahaan. Arah kebijakan tersebut adalah mengupayakan penciptaan nilai
tambah lokal/dalam negeri (locally value added).

PDN ditentukan berdasarkan besaran nilai Tingkat Komponen Dalam


Negeri (TKDN), terdiri dari TKDN Barang dan TKDN Jasa, yang dilakukan
melalui sertifikasi. TKDN adalah besaran kandungan dalam negeri pada
barang, jasa, serta gabungan barang dan jasa. Di Indonesia, PDN yang wajib
digunakan harus memiliki nilai TKDN paling sedikit 25% (dua puluh lima
persen). Seperti juga penerapan TKDN di Indonesia, kebijakan persyaratan
kandungan lokal (Local Content Requirements/LCRs) juga diberlakukan di
banyak negara sedang berkembang. Persyaratan kandungan lokal itu
dinyatakan dalam tingkat persentase tertentu yang harus dipenuhi dalam
proses produksi yang bersumber dari dalam negeri. Berdasarkan pengalaman
yang ada, efektifitas penerapan LCRs/TKDN tergantung pada antara lain: (a)
besarnya dan stabilitas pasar serta besarnya sumberdaya yang dimiliki. Ini
menjadi syarat bagi pertumbuhan produk lokal serta dapat menurunkan
tingginya biaya produksi; (b) penerapan hambatan yang tidak berlebihan,
misalnya besarnya persentase LCRs/TKDN. Oleh karena itu, penetapan
besarnya persentase dilakukan secara bertahap; (c) seringkali memerlukan
subsidi atau daya tarik harga/preferensi; dan (d) adanya alih teknologi.

Daftar inventarisasi PDN bersertifikat diterbitkan oleh Kementerian


Perindustrian. Sejak tahun 2011 hingga saat ini (per Oktober 2019), sertifikat
PDN mencakup 19 kelompok barang dengan jumlah sertifikat yang telah
diterbitkan adalah sebanyak 10.230 sertifikat. Namun jumlah yang masih
berlaku adalah sebanyak 3.631 sertifikat. Sertifikat PDN tersebut terdiri dari
produk dengan nilai TKDN lebih kecil dari 25 persen, 25-40 persen, dan lebih
besar dari 40 persen. Sementara itu, jumlah perusahaan yang telah
mendapatkan sertifikat mencapai sebanyak 876 perusahaan yang berlokasi di

8
20 provinsi. Sebanyak 88 persen dari jumlah perusahaan tersebut berlokasi di
pulau Jawa.

2.2 Produk Dalam Negeri Dalam PBJP

Sebagai instrumen kebijakan, Anggaran Pembangunan dan Belanja


Negara/Daerah (APBN/D) berperan penting dalam menjalankan fungsi
pemerintah. Tujuan utama pengadaan barang/jasa pemerintah adalah
mewujudkan pengelolaan pengadaan barang/jasa yang efektif, efisien, dan
akuntabel guna tersedianya barang/jasa yang terjangkau dan berkualitas
sehingga mampu mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi
organisasi/lembaga pemerintah. Peran penting APBN/D adalah juga untuk
mendukung pembangunan sosial dan ekonomi yang lebih luas. Dalam
konteks ini, belanja barang dan jasa pemerintah sekaligus dapat digunakan
sebagai instrumen untuk tujuan peningkatan penggunaan produk dalam
negeri. Pertimbangannya adalah besarnya APBN/D dapat dimanfaatkan
sebagai pasar yang potensial untuk memacu pengembangan produk dalam
negeri, yang pada gilirannya meningkatkan produksi nasional. Lebih lanjut
dampak yang lebih luas adalah meningkatnya perluasan lapangan kerja dan
pendapatan masyarakat.

Pengadaan barang/jasa pemerintah telah berkembang sebagai alat


yang efektif dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan, yaitu
merupakan pengadaan barang/jasa pemerintah yang berkelanjutan
(Sustainable Public Procurement/SPP). SPP itu sendiri mencakup aspek
sosial, lingkungan, dan ekonomi (The Triple Bottom Line), yaitu: (1)
mendorong berkembangnya produk-produk ramah lingkungan (minimum
perusakan lingkungan, minimum limbah, peningkatan re-use, memperluas re-
cycle, dan optimal perawatan); (2) mendukung penanganan masalah sosial-
ekonmi (kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, dan partisipasi usaha
mikro dan kecil); dan (3) mendorong daya tahan/saing ekonomi
(meningkatnya penggunaan PDN/TKDN, berkembangnya UKM, kesiapan
menghadapi globalisasi/CEPA). Pengadaan tidak lagi hanya sebatas proses
transaksi yang konvensional. Sehubungan dengan itu, Peraturan Presiden
Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

9
menggariskan bahwa salah satu tujuan dan kebijakan pengadaan barang/jasa
pemerintah adalah untuk meningkatkan penggunaan produk dalam negeri
(PDN). P3DN telah menjadi bagian dari SPP, utamanya ditinjau dari sisi
(ketahanan) ekonomi.

Sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29


Tahun 2018 Tentang Pemberdayaan Industri, maka Peraturan Presiden
Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dengan
tegas juga menetapkan bahwa penggunaan produk dalam negeri, termasuk
rancang bangun dan perekayasaan nasional, dalam pengadaan barang/jasa
pemerintah adalah wajib bagi Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah.
Pengecualian atas ketentuan ini adalah bila volume produksi dalam negeri
tidak mampu memenuhi kebutuhan.

Kewajiban penggunaan PDN dilakukan pada tahap perencanaan dan


pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Dalam pelaksanaannya, pengguna
barang/jasa wajib mencantumkan persyaratan PDN yang wajib digunakan
dalam penyusunan Rencana Umum Pengadaan (RUP), spesifikasi
teknis/KAK, dan dokumen pemilihan. Untuk pengadaan barang/jasa yang
bernilai paling sedikit di atas RP1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan
memiliki TKDN paling rendah 25 % (dua puluh lima persen) diberikan
preferensi harga sebagai insentif. Preferensi harga diperhitungkan dalam
evaluasi harga penawaran yang telah memenuhi persyaratan administrasi
dan teknis. Pemberian preferensi harga pada tahap evaluasi ini tidak akan
menyebabkan turunnya harga yang harus dibayar oleh pembeli, yaitu
pengguna barang/jasa pemerintah. Konsekuensi dari keadaan ini berpotensi
menimbulkan terjadinya realokasi pembiayaan dalam penganggaran.

Sebagai tindaklanjut Pasal 73 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 29


Tahun 2018 Tentang Pemberdayaan Industri telah ditetapkan Keputusan
Presiden Nomor 24 Tahun 2018 Tentang Tim Nasional Peningkatan
Penggunaan Produk Dalam Negeri yang antara lain mempunyai tugas untuk
melakukan pemantauan terhadap penggunaan produk dalam negeri sejak
tahap perencanaan dalam pengadaan barang/jasa yang dilakukan oleh
lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah non kementerian,

10
lembaga pemerintah lainnya, satuan kerja perangkat daerah, badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan hukum lainnya yang
dimiliki negara.

11
BAB III
PENGOLAHAN DATA DAN ANALISA

Eksplorasi kondisi penggunaan produk dalam negeri dalam pengadaan


barang/jasa pemerintah yang dilakukan mencakup: (1) invetarisasi data dan
analisa penggunaan PDN dari segi proses/prosedur pengadaan barang dan
jasa pemerintah; (2) inventarisasi data dan analisa ketersediaan barang/jasa
PDN; dan (3) inventarisasi data dan analisa prioritas program/kegiatan dalam
pelaksanaan kebijakan. Sebagai proksi, basis data yang digunakan utamanya
adalah hasil survey persepsi dari para pengguna barang/jasa atau pengelola
pengadaan tentang besarnya pengaruh dari setiap jenis hambatan yang
mungkin timbul dan berpotensi menghalangi jalannya pelaksanaan P3DN
dalam PBJP. Identifikasi hambatan ini ditempuh sebagai langkah cepat untuk
mendekatkan pada upaya mengatasi masalah. Oleh karena itu, survey
persepsi dilaksanakan sebagai bagian dari pengumpulan data. Sementara itu
obyek kajian adalah para pengguna barang/jasa baik individu sebagai
pelaksana pengadaan maupun lembaga untuk melengkapinya.

3.1 Disain Survey Persepsi

Inventarisasi data tentang keberadaan hambatan yang timbul serta


besarnya pengaruh yang dihadapi P3DN dalam pengadaan barang/jasa
pemerintah dilakukan melalui survey persepsi kepada para pelaku/pengelola
pengadaan. Para pelaku tersebut antara lain adalah pejabat pembuat
komitmen (PPK), anggota kelompok kerja (pokja) pemilih, pejabat
pengadaan, dan pejabat pemeriksa hasil pekerjaan (PPHP). Tidak termasuk
sebagai peserta adalah pelaku pengadaan yang berasal dari BUMN/D. Untuk
mendukung kegiatan survey, terlebih dahulu disusun kuesioner yang memuat
berbagai jenis hambatan yang mungkin terjadi dan berpengaruh dalam
proses pengadaan.

Berbagai jenis hambatan dapat diidentifikasi untuk kemudian


dikelompokan ke dalam 5 (lima) kategori. Kategori proses/prosedur
pengadaan, kategori pasokan PDN, dan kategori kebijakan dapat dinyatakan
sebagai kategori pokok pengadaan. Sementara itu kategori pengukuran
12
kinerja/pemantauan dan kategori hasil pelaksanaan merupakan kategori
pendukung pengadaan. Secara menyeluruh kategori beserta jenis-jenis
hambatan yang terkait tercantum seperti dalam Tabel 1 Persepsi Derajat
Hambatan P3DN Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

TABEL 1
PERSEPSI DERAJAT HAMBATAN P3DN 1
PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

SKOR
KATEGORI HAMBATAN
(1-6)

-Jenis barang modal terbatas

-Jenis barang operasional terbatas

-Kurangnya jumlah perusahaan dan kapasitas


(seringkali tidak dapat melayani permintaan)
1. Pasokan Barang/ Jasa - Waktu penyerahan (delivery time) lama
PDN
-Harga dan kualitas PDN kurang kompetitif
terhadap barang sejenis non PDN

-Kurang tersebarnya penyedia bersertifikat


PDN yang ada sehingga menaikkan biaya

-Kurangnya informasi produk (barang/jasa)


bersertifikat TKDN dari penyedia

-Sulitnya memenuhi kebutuhan teknis dengan


spesifikasi teknis PDN yang ada
-Kewajiban penggunaan PDN kurang jelas
tertuang dalam petunjuk pelaksanaan
-Rumitnya menerapkan pedoman teknis PDN
2. Prosedur Pengadaan ke dalam dokumen pengadaan
-Kurangnya pemahaman perhitungan Tingkat
Komponen DN (TKDN) dan Bobot Manfaat
Perusahaan (BMP)
-Sulitnya evaluasi antara besaran preferensi
harga yang ditawarkan terhadap besaran
TKDN
-Sistem audit dan/atau pemantauan internal
penggunaan PDN belum terbangun dengan
memadai
-Pelaksanaan pemantauan internal belum
terselenggara secara konsisten/reguler
3. Pengukuran Kinerja -Kinerja penggunaan PDN dalam pengadaan
tidak menjadi ukuran prestasi
-Indikator kinerja P3DN sulit ditetapkan

-Ketiadaan sistem “reward and punishment”

13
-Sosialisasi kebijakan dan petunjuk
operasional kurang meluas serta intensif
-P3DN dalam PBJP dipandang sebagai
wacana dan baru merupakan gerakan moral
4. Kebijakan -P3DN dalam PBJP dirasakan hanya
menambah beban kerja
-Kurangnya dorongan/komitmen pada tataran
implementasi
-Adanya kesenjangan pada tingkat kebijakan
dan pada tingkat implementasi
-Persentase jumlah paket PDN dengan nilai
paket s/d Rp200 juta adalah di bawah 80%
5. Hasil Pelaksanaan -Persentase jumlah paket PDN dengan nilai
paket antara Rp200 juta – Rp 2,5 miliar
adalah di bawah 50%
- Persentase jumlah paket PDN dengan nilai
paket antara Rp2,5 miliar – Rp50 miliar
adalah di bawah 35%

Untuk memperoleh gambaran tentang seberapa besar pengaruh


hambatan yang teridentifikasi, kepada para responden dengan mengacu
pada pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki diberikan pilihan untuk
memberikan penilaian dengan angka skor antara 1-6. Angka ini memberikan
indikasi besar/kecilnya pengaruh dari hambatan tertentu terhadap
berlangsungnya penggunaan PDN dalam PBJP.

Besar/kecilnya pengaruh hambatan dapat digambarkan sebagai


berikut: (1) Angka Skor 1 (satu) mengindikasikan bahwa tidak ada hambatan
yang menghalangi proses P3DN dalam PBJP; (2) Angka Skor 2 (dua)
menunjukkan adanya hambatan yang teknis elementer namun harus
mendapatkan perhatian penanganan agar tidak meluas; (3) Angka Skor 3
(tiga) menunjukkan adanya pengaruh hambatan pada tingkat operasional dan
memberikan dampak negatif serta perlu segera penanganannya; (4) Angka
Skor 4 (empat) menunjukkan hambatan yang terjadi pada angka 3 telah
berlangsung lebih dari 2 tahun; (5) Angka Skor 5 mengindikasikan pengaruh
hambatan sudah sistemik dan perlu prioritas prioritas penanganan pada
tingkat kebijakan dan operasional; dan (6) Angka Skor 6 pengaruh hambatan
sangat serius dan berpotensi menggagalkan pelaksanaan kebijakan dan
program. Dengan demikian semakin tingginya skor akan menunjukkan bahwa
eksistensi suatu hambatan secara relatif makin besar pengaruhnya. Peserta
survey persepsi derajat hambatan dalam penggunaan PDN adalah sebanyak

14
295 responden yang merupakan pelaku pengadaan/pengguna barang/jasa
pemerintah.

Indikator statistik digunakan untuk memperoleh gambaran tentang


situasi saat ini. Indikator ini merepresentasi derajat hambatan pada suatu
jenis hambatan berdasarkan hasil penilaian (skor) dari para pelaku
pengadaan. Nilai modus (mode) dan rata-rata (arithmetic mean) digunakan
sebagai representasinya. Angka modus merepresentasi derajat hambatan
tertentu dari sebagian besar (mayoritas) para pelaku pengadaan yang
terkonsentrasi pada angka skor tertentu. Dalam hal ini, mayoritas adalah
minimal lebih dari 50,0 persen dari jumlah responden. Sementara itu, angka
rata-rata digunakan untuk merepresentasikan derajat hambatan tertentu dari
seluruh responden berdasarkan seluruh skor yang telah diberikan. Besaran
angka modus dan rata-rata menjadi indikasi besarnya pengaruh hambatan
terhadap kemajuan yang dicapai terhadap implementasi P3DN.

Beberapa jenis hambatan dapat diidentifikasi yang mungkin terjadi


dalam penggunaan PDN dan berpengaruh terhadap proses pengadaan dari
segi persepsi para pelaku pengadaan, yaitu : (1) sulitnya memenuhi
spesifikasi teknis yang dibutuhkan dengan spesifikasi teknis PDN bersertifikat
yang ada; (2) kewajiban penggunaan PDN kurang jelas tertuang dalam
petunjukn pelaksanaan; (3) rumitnya menerapkan pedoman teknis ke dalam
dokumen pengadaan/pemilih; (4) kurangnya pemahaman perhitungan Tingkat
Komponen Dalam Negeri dan Bobot Manfaat Perusahaan (BMP); dan (5)
sulitnya evaluasi antara besaran preferensi harga yang ditawarkan terhadap
besaran TKDN.

Sejumlah hambatan yang teridentifikasi dan berpotensi mempunyai


pengaruh terhadap ketersediaan produk (barang/jasa) PDN bersertifikat,
adalah: (1) adanya keterbatasan dalam jenis dan jumlah barang modal; (2)
adanya keterbatasan dalam jenis dan jumlah barang operasional; (3)
kurangnya jumlah perusahaan dan kapasitas. Hal ini menyebabkan penyedia
tidak dapat melayani permintaan; (4) waktu penyerahan (delivery time)
barang/jasa yang lama dan seringkali tidak tepat waktu; (5) harga dan kualitas
PDN kurang kompetitif terhadap barang sejenis non PDN; (6) kurang

15
tersebarnya penyedia bersertifikat PDN yang ada sehingga menaikkan biaya;
dan (7) kurangnya informasi produk (barang/jasa) bersertifikat TKDN dari
penyedia.

Kebijakan penggunaan PDN telah berlangsung cukup lama. Oleh


karena itu pemantauan dan evaluasi sebagaimana lazimnya suatu kegiatan
manajemen seharusnya perlu mendapatkan perhatian untuk mengukur
keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Beberapa hambatan mungkin terjadi
dalam pengukuran kinerja yang disebabkan, antara lain adalah: (1) sistem
audit/pemantauan internal penggunaan PDN belum terbangun dengan
memadai; (2) pelaksanaan pemantauan internal belum terselenggara secara
konsisten/reguler; (3) kinerja penggunaan PDN dalam pengadaan tidak
menjadi ukuran prestasi; (4) indikator kinerja P3DN sulit ditetapkan; dan (5)
ketiadaan sistem “reward and punishment”.

Pelaksanaann suatu kebijakan akan berjalan dan berhasil dengan baik


tidak hanya bergantung pada substansinya saja. Aspek pemahaman atas
suatu kebijakan serta keberadaan lingkungan yang kondusif juga akan
berpengaruh. Masalah yang timbul dapat diakibatkan oleh: (1) sosialisasi
kebijakan dan petunjuk operasionalnya kurang meluas dan intensif; (2) P3DN
dalam PBJP dirasakan hanya menambah beban kerja; (3) P3DN dalam PBJP
dipandang sebagai wacana dan baru merupakan gerakan moral; (4)
kurangnya dorongan/komitmen pada tataran implementasi; dan (5) adanya
kesenjangan pada tingkat kebijakan dan pada tingkat implementasi.

Hasil pelaksanaan baik dalam jumlah paket dan nilai yang telah dicapai
selama ini menjadi fakta kemajuan yang berarti. Indikator ini berupa : (1)
persentase jumlah paket PDN dengan nilai paket sampai dengan Rp200 juta
di bawah 80 persen. Indikator ini merupakan penilaian optimis bahwa selama
ini untuk pengadaan barang/jasa di bawah Rp200 juta telah membawa
peningkatan penggunaan PDN yang signifikan dalam PBJP; (2) persentase
jumlah paket PDN dengan nilai paket antara Rp200 juta – Rp2,5 miliar adalah
di bawah 50 persen; dan (3) persentase jumlah paket PDN dengan nilai paket
antara Rp2,5 miliar – Rp50 miliar adalah di bawah 35 persen.

16
3.2 P3DN Dalam Proses Pengadaan

Efektivitas dalam proses pengadaan menjadi komponen yang akan


menentukan keberhasilan P3DN dalam PBJP. Berjalannya proses pengadaan
ini ditinjau dari persepsi para pelaku pengadaan/pengguna barang/jasa
pemerintah. Distribusi skor hambatan dari hasil penilaian responden pada
prosedur pengadaan adalah sebagaimana tampak dalam Tabel 2. Distribusi
tersebut menunjukkan bahwa penilaian sebagian besar responden untuk
setiap jenis hambatan adalah masing-masing sebesar 57,5 persen, 53,4
persen, dan 55,2 persen dengan konsentrasi pada derajat hambatan 2 dan 3.
Hambatan “kurangnya pemahaman perhitungan TKDN dan BMP” dan
“sulitnya evaluasi antara besaran preferensi harga yang ditawarkan terhadap
besaran TKDN”, sebagian besar responden masing-masing sebanyak 50,3
persen dan 51,0 persen memberikan penilaian derajat hambatan yang
terkonsentrasi pada skor 3 dan 4.
TABEL 2
DISTRIBUSI SKOR HAMBATAN PADA PROSEDUR PENGADAAN

SKOR
KATEGORI HAMBATAN (1-6)

1 2 3 4 5 6
-Sulitnya memenuhi spesifikasi teknis
yang dibutuhkan dengan spesifikasi teknis 37 78 91 51 28 9
PDN bersertifikat yang ada
-Kewajiban penggunaan PDN kurang
jelas tertuang dalam petunjuk 37 73 83 56 31 12
pelaksanaan
Prosedur -Rumitnya menerapkan pedoman teknis
43 89 75 47 32 11
Pengadaan PDN ke dalam dokumen pengadaan
-Kurangnya pemahaman perhitungan
Tingkat Komponen DN (TKDN) dan Bobot 23 60 84 64 44 19
Manfaat Perusahaan (BMP)
-Sulitnya evaluasi antara besaran
preferensi harga yang ditawarkan 22 67 78 72 40 15
terhadap besaran TKDN

Untuk keseluruhan hambatan dalam kategori prosedur pengadaan


ditemukan sebanyak 11,0 persen responden yang memberikan angka skor
1(satu) yang berarti responden menilai tidak ditemukan adanya hambatan,
sebanyak 4,5 persen responden memberikan angka skor 6 (enam) yang
menunjukkan keberadaan hambatan yang sangat menghalangi ataupun

17
menggagalkan proses pengadaan, dan sebagian besar responden sebanyak
52,9 persen terkonsentrasi pada derajat hambatan 2 dan 3.

Secara menyeluruh derajat hambatan yang terjadi berdasarkan


besaran nilai modus dan rata-rata skor untuk masing-masing jenis hambatan
adalah seperti dalam Tabel 3.
TABEL 3
NILAI MODUS DAN RATA-RATA SKOR HAMBATAN
PADA PROSEDUR PENGADAAN

RATA-
KATEGORI HAMBATAN MODUS
RATA

-Sulitnya memenuhi spesifikasi teknis yang


dibutuhkan dengan spesifikasi teknis PDN 2,74 2,94
bersertifikat yang ada
-Kewajiban penggunaan PDN kurang jelas
2,77 3,02
tertuang dalam petunjuk pelaksanaan

Prosedur -Rumitnya menerapkan pedoman teknis


2,26 2,90
Pengadaan PDN ke dalam dokumen pengadaan
-Kurangnya pemahaman perhitungan
Tingkat Komponen DN (TKDN) dan Bobot 3,05 3,35
Manfaat Perusahaan (BMP)
-Sulitnya evaluasi antara besaran
preferensi harga yang ditawarkan terhadap 3,15 3,29
besaran TKDN

Angka rata-rata skor hambatan “kurangnya pemahaman perhitungan


TKDN dan BMP” dan “sulitnya evaluasi antara besaran preferensi harga yang
ditawarkan terhadap TKDN” menempati angka yang relatif paling tinggi,
masing-masing sebesar 3,35 dan 3,29 dibandingkan jenis hambatan lainnya
dalam kategori ini. Jenis hambatan ini juga didukung oleh penilaian sebagian
besar responden dengan nilai modus skor, yaitu masing-masing sebesar 3,05
dan 3,15. Dari segi proses pengadaan, prioritas penanganan perlu diberikan
kepada dua jenis hambatan ini. Secara keseluruhan nilai rata-rata skor
kategori ini adalah 3,10. Angka tersebut menunjukkan bahwa nilai hambatan
telah memasuki daerah pengaruh yang cukup meluas dan memberikan
dampak negatif pada tingkat operasional. Untuk mengatasi masalah yang
teridentifikasi tersebut, langkah penanganannya dapat dilakukan dengan
memberikan pelatihan teknis kepada para pelaku/pengelola pengadaan serta

18
perbaikan dan penyempurnaan petunjuk teknis/pelaksanaan, termasuk
memuat kewajiban penggunaan PDN bersertifikat dalam PBJP.

3.3 Ketersediaan Produk Dalam Negeri

Pasokan PDN bersertifikat untuk PBJP, dari sisi persepsi para


pengguna dan pengelola barang/jasa pemerintah, berhubungan dengan 2
(dua) hal. Pertama, adanya pemahaman bahwa produk dalam negeri (PDN)
tidak hanya diartikan sebagai barang/jasa yang diproduksi di dalam negeri
saja. Lebih dari itu, besarnya kandungan penggunaan tenaga kerja warga
negara Indonesia dan penggunaan bahan baku langsung (local content),
seluruhnya atau sebagian, yang akan menentukan suatu produk dapat
diklasifikasikan sebagai produk dalam negeri atau produk lokal. Kedua,
ketersediaan PDN bersertifikat tidaklah sebatas pada banyaknya jenis dan
besarnya volume produknya saja, terdapat aspek lainnya yang berpengaruh
dan berpotensi menjadi penghambat terhadap penggunaan PDN bersertifikat
dalam PBJP. Ketersediaan PDN bersertifikat untuk digunakan dalam PBJP
paling tidak terkait dengan 7 (tujuh) jenis aspek dari sisi persepsi para pelaku
yang berpotensi menjadi penghambat.
Hasil survey persepsi menghasilkan gambaran distribusi penilaian
derajat hambatan oleh para responden terhadap pasokan PDN adalah seperti
dalam Tabel 4. Distribusi penilaian menunjukkan bahwa sebagian besar
responden untuk setiap jenis hambatan berturut-turut adalah sebesar 57,9
persen, 58,1 persen, 51,9 persen, 60,5 persen, dan 55,7 persen dengan
konsentrasi pada derajat hambatan 2 dan 3. Sementara itu, terhadap jenis
hambatan “kurang tersebarnya penyedia PDN bersertifikat yang ada” dan
“kurangnya informasi produk bersertifikat TKDN”, sebagian besar responden
masing-masing sebanyak 54,4 persen dan 51,7 persen memberikan penilaian
pada derajat hambatan 3 dan 4. Secara keseluruhan untuk kategori ini
ditemukan sebanyak 13,9 persen responden yang memberikan angka skor
1(satu) yang berarti menilai tidak ditemukan sama sekali hambatan,
sebanyak 3,6 persen responden memberikan angka skor 6 (enam) yang
menunjukkan keberadaan hambatan yang sangat menghalangi ataupun

19
mengagalkan proses pengadaan, dan sebagian besar dari para pelaku
pengadaan sebanyak 55,2 persen memberikan skor 2 dan 3.
TABEL 4
DISTRIBUSI SKOR HAMBATAN PADA PASOKAN BARANG/JASA

SKOR
KATEGORI HAMBATAN (1-6)

1 2 3 4 5 6

-Jenis barang modal terbatas 47 85 86 45 25 7

-Jenis barang operasional terbatas 63 82 87 40 14 5

-Kurangnya jumlah perusahaan dan


kapasitas (seringkali tidak dapat 43 74 78 65 21 12
melayani)
Pasokan -Waktu penyerahan (delivery time)
56 87 89 35 18 6
Barang/Jasa lama
PDN -Harga dan kualitas PDN kurang
kompetitif terhadap barang sejenis non 37 68 94 46 38 8
PDN
-Kurang tersebarnya penyedia
bersertifikat PDN yang ada sehingga 16 56 101 60 45 18
menaikkan biaya
-Kurangnya informasi produk
(barang/jasa) bersertifikat TKDN dari 23 51 94 58 50 18
penyedia

Berdasarkan nilai modus dan rata-rata skor untuk beberapa jenis


hambatan untuk kategori pasokan PDN adalah sebagaimana tampak dalam
Tabel 5.
Nilai rata-rata skor keseluruhan jenis hambatan yang termasuk dalam
kategori ini adalah sebesar 2,9. Status 2 (dua) jenis hambatan sudah dinilai
perlu mendapatkan prioritas untuk segera diatasi, yaitu “Kurangnya informasi
produk (barang/jasa) bersertifikat TKDN” yang menempati nilai rata-rata skor
tertinggi dari jenis hambatan yang teridentifikasi dan mungkin timbul dari
kategori ini, yaitu sebesar 3,39. Angka tersebut diikuti oleh nilai modus skor
sebesar 3,04, yang artinya sebanyak 51,7 persen dari para pelaku
pengadaan menilai bahwa hambatan ini sudah memasuki pada keadaan yang
serius. Nilai rata-rata yang tinggi juga ditunjukkan oleh “kurang tersebarnya
penyedia PDN bersertifikat yang ada”, yaitu sebesar 3,39 yang diikuti nilai
modus sebesar 3,03. Merujuk pada persepsi tersebut, ketersediaan PDN

20
bersertifikat TKDN akan sangat mempengaruhi pelaksanaan P3DN
bersertifikat dalam PBJP. Sementara itu, labelisasi “produk lokal” perlu
disempurnakan menjadi “produk lokal bersertifikat TKDN” dalam setiap media
informasi, termasuk pada tampilan katalog elektronika, sehingga dapat
menghindari terjadinya salah pengertian.

TABEL 5
NILAI MODUS DAN RATA-RATA SKOR HAMBATAN
PADA PASOKAN BARANG/JASA PDN

RATA-
KATEGORI HAMBATAN MODUS
RATA

-Jenis barang modal terbatas 2,52 2,79

-Jenis barang operasional terbatas 2,54 2,57

-Kurangnya jumlah perusahaan dan kapasitas


2,73 2,94
Pasokan (seringkali tidak dapat melayani)
Barang/Jasa
-Waktu penyerahan (delivery time) lama 2,54 2,62
PDN
-Harga dan kualitas PDN kurang kompetitif
2,85 3,01
terhadap barang sejenis non PDN
-Kurang tersebarnya penyedia bersertifikat
3,03 3,39
PDN yang ada sehingga menaikkan biaya
-Kurangnya informasi produk (barang/jasa)
3,04 3,39
bersertifikat TKDN dari penyedia

Penerbitan sertifikat produk TKDN telah dimulai sejak tahun 2011 dan
sampai dengan tahun 2019 (berjalan) telah diterbitkan sebanyak 10.433
sertifikat dengan jumlah produk sebanyak lebih dari 20.500 produk. Suatu
jumlah yang cukup besar. Namun demikian jumlah sertifkat yang masih
berlaku saat ini hanya sekitar 3.600 sertifikat yang mencakup 19 kelompok
barang dengan persebaran lokasi perusahaan meliputi 20 provinsi (87,7
persen berlokasi di pulau Jawa). Penurunan jumlah sertifikat yang masih
berlaku terjadi pada seluruh kelompok barang. Sementara itu, sebagian besar
produk bersertifikat umumnya didominasi oleh produk-produk yang termasuk
dalam kelompok peralatan kelistrikan, mesin peralatan migas, logam dan
barang logam, peralatan telekomunikasi, dan bahan kimia dan barang kimia.
Produk-produk ini umumnya banyak digunakan oleh BUMN dan sedikit sekali
yang digunakan oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah.

21
Dari sisi pengguna barang/jasa, terutama K/L/PD, perkembangan
seperti tersebut di atas bisa menimbulkan terjadinya kekurangan (shortage)
pasokan akan PDN bersertifikat. Sebaliknya dari sisi rasionalitas penyedia
barang, yang selalu berlandaskan pada besarnya dan stabilitas pasar secara
komersial, menurunnya jumlah produk bersertifikat TKDN yang tersedia bagi
PBJP adalah keadaan yang dapat dinilai wajar saja menurut ukuran
komersialnya. Sikap penyedia yang tidak memperpanjang masa berlaku
sertifikatnya bisa saja diambil bila dalam perkembangannya ternyata pasar
PDN bersertifikat tidak sebesar yang diperkirakan sebelumnya. Efektivitas
insentif berupa preferensi harga bagi PDN bersertifikat TKDN dalam PBJP
dan pemberian bentuk insentif lainnya masih memerlukan eksplorasi lebih
lanjut.

Untuk memperbaiki keadaan tersebut, salah satu langkah yang dapat


ditempuh dari sisi pengadaan barang/jasa adalah penyediaan informasi
kebutuhan akan berbagai ragam barang/jasa pemerintah yang bersifat rutin
tahunan dengan prospek volume pasar yang cukup menjanjikan, terutama
yang menjadi kebutuhan K/L/PD. Potensi pasar ini yang dapat ditawarkan
kepada dunia usaha sebagai insentif yang menarik untuk meningkatkan
produk bersertifikat TKDN. Upaya ini sebaiknya juga dibarengi oleh
peningkatan kapasitas dan pemberian kewenangan sertifikasi kepada K/L/PD
yang potensial sehingga dapat mempercepat peningkatan produk TKDN
bersertifikat.

Dalam upaya meningkatkan PDN bersertifikat TKDN dalam kerangka


PBJP, kelayakan ekonomi tetap menjadi prinsip yang harus dipedomani. Oleh
karena itu, konsekuensi timbulnya biaya ekonomi (dalam bentuk subsidi)
harus dihindari. Hal ini mengingat PBJP juga mempunyai tujuan untuk
meningkatkan pelayanan masyarakat yang murah, mudah, cepat, tepat, dan
berkualitas.

3.4 Faktor Pendukung P3DN Dalam PBJP

Dua faktor pendukung berpengaruh terhadap keberhasilan


pelaksanaan peningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN) melalui

22
pengadaan barang/jasa pemerintah (PBJP), yaitu tersedianya kegiatan
pendukung kebijakan dan efektivitas kegiatan pemantauan serta evaluasi.
Kebijakan P3DN melalui PBJP telah cukup lama. Seringkali terjadi bahwa
kebijakan atau aturan belum berlangsung dengan baik bukan karena
substansi kebijakan itu. Tetapi, suatu kebijakan yang dikeluarkan itu baru
merupakan persyaratan penting saja namun belum didukung oleh berjalannya
kondisi pendukung kebijakan yang memadai.
Kondisi pendukung kebijakan itu antara lain adanya pemahaman
kebijakan yang baik oleh para pelaku pengadaan serta segenap jajaran
institusi, motivasi dan komitmen yang kuat dari jajaran pimpinan hingga
tenaga pelaksana, dan tersedianya petunjuk teknis pelaksanaan yang jelas
dan rinci. Keadaan yang berlangsung dengan suasana tersebut perlu
diungkap mengingat kemungkinan berkembangnya menjadi penghambat.
TABEL 6
DISTRIBUSI SKOR HAMBATAN PADA KEBIJAKAN

SKOR
KATEGORI HAMBATAN (1-6)

1 2 3 4 5 6
-Sosialisasi kebijakan dan petunjuk
24 64 98 53 40 16
pelaksanaan kurang meluas serta intensif
-P3DN dalam PBJP dipandang sebagai
wacana dan baru merupakan gerakan 36 69 94 58 26 11
moral
Kebijakan -P3DN dalam PBJP dirasakan hanya
48 91 89 46 12 8
menambah beban kerja
-Kurangnya dorongan/komitmen pada
24 65 94 66 33 12
tataran implementasi
-Adanya kesenjangan pada tingkat
14 70 100 58 33 18
kebijakan dan pada tingkat implementasi

Hasil survey persepsi berhubungan dengan kondisi pendukung


kebijakan adalah sebagaimana dalam Tabel 6. Distribusi hasil penilaian para
responden menunjukkan bahwa sebagian besar responden untuk setiap jenis
hambatannya berturut-turut adalah sebesar 54,9 persen, 55,4 persen, 61,2
persen, 54,1 persen, dan 58,0 persen dengan konsentrasi pada derajat
hambatan 2 dan 3. Secara keseluruhan, pada kategori kebijakan ini
ditemukan sebanyak 9,9 persen para pelaku pengadaan memberikan angka

23
skor 1(satu) yang berarti menilai tidak terdapat hambatan, sebanyak 4,4
persen pelaku pengadaan memberikan angka skor 6 (enam) yang
menunjukkan keberadaan hambatan yang sangat menghambat, dan
sebagian besar dari para pelaku pengadaan sebanyak 56,7 persen
memberikan skor 2 dan 3.

Nilai modus dan rata-rata skor hambatan yang berpengaruh terhadap


kebijakan adalah seperti dalam Tabel 7. Secara keseluruhan angka rata-rata
skor hambatan pada kategori kebijakan adalah sebesar 3,08. Angka tersebut

TABEL 7
NILAI MODUS DAN RATA-RATA SKOR HAMBATAN
PADA KEBIJAKAN

KATEGORI HAMBATAN MODUS RATA-RATA

-Sosialisasi kebijakan dan petunjuk


2,93 3,23
pelaksanaan kurang meluas serta intensif
-P3DN dalam PBJP dipandang sebagai
2,91 3,01
wacana dan baru merupakan gerakan moral

-P3DN dalam PBJP dirasakan hanya


2,46 2,68
Kebijakan menambah beban kerja

-Kurangnya dorongan/komitmen pada tataran


3,01 3,19
implementasi

-Adanya kesenjangan pada tingkat kebijakan


2,92 3,27
dan pada tingkat implementasi

menunjukkan bahwa kondisi pendukung kebijakan sudah perlu mendapatkan


perhatian. Para pelaku pengadaan sangat merasakan kurangnya kegiatan
sosialisasi dan ketersediaan petunjuk pelaksanaan yang menegaskan tentang
kewajiban penggunaan PDN bersertifikat TKDN. Dengan angka rata-rata skor
hambatan sebesar 3,23, sosialisasi kebijakan perlu dilakukan lebih meluas
dan intensif baik yang menyangkut pentingnya kebijakan maupun substansi
yang bersifat teknis pelaksanaan. Ini penting karena berhubungan dengan
perlunya pemahaman yang lebih baik dan teknis pelaksanaannya yang benar.

24
Sementara itu, nilai rata-rata skor adanya kesenjangan pada tingkat
kebijakan dan pada tingkat operasional sebesar 3,27, maka kegiatan
penyusunan dan perbaikan petunjuk teknis ataupun petunjuk pelaksanaan
yang lebih jelas, tegas, dan rinci perlu segera ditindaklanjuti. Sebagai contoh,
dalam standar dokumen pengadaan perlu dinyatakan bahwa produk lokal
yang dimaksud dan yang harus ditulis dengan nyata adalah produk
bersertifikat TKDN. Nilai rata-rata skor sebesar 3,19 cukup mengindikasikan
bahwa para pelaku pengadaan umumnya merasakan perlunya membangun
komitmen yang tinggi dan konsisten, dari jajaran pimpinan hingga jajaran staf
pelaksana, untuk melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan.
Kegiatan pemantauan dan evaluasi juga perlu mendapat perhatian
dalam hubungannya dengan pengukuran kinerja pelaksanaan P3DN dalam
PBJP pada setiap instansi. Tabel 8 memperlihatkan distribusi skor hambatan
sebagai hasil survey persepsi yang berhubungan dengan pengukuran kinerja.
Distribusi skor menunjukkan bahwa sebagian besar responden menilai bahwa
jenis hambatan “sistem audit/pemantauan internal belum terbangun dengan
memadai”, “pelaksanaan pemantauan internal belum terselenggara secara
reguler”, dan “ketiadaan sistem reward and punishment” berturut-turut adalah
sebesar 49,3 persen, 53,1 persen, dan 51,5 persen dengan konsentrasi pada
derajat hambatan 3 dan 4, sedangkan untuk jenis hambatan lainnya sebesar
51,5 persen dan 57,4 persen terkonsentrasi pada derajat hambatan 2 dan 3.
Pada kategori pengukuran kinerja ini ditemukan sebanyak 6,6 persen
para pelaku pengadaan memberikan angka skor 1(satu) yang berarti
responden tidak menemukan adanya hal yang menghambat, sebanyak 6,3
persen pelaku pengadaan memberikan angka skor 6 (enam) yang
menunjukkan keberadaan hambatan yang sangat menghalangi P3DN dalam
PBJP, dan sebagian besar dari para pelaku pengadaan sebanyak 52,3
persen memberikan skor 3 dan 4.
TABEL 8
DISTRIBUSI SKOR HAMBATAN PADA PENGUKURAN KINERJA

SKOR
KATEGORI HAMBATAN (1-6)

1 2 3 4 5 6

25
-Sistem audit/pemantauan internal
penggunaan PDN belum terbangun 18 57 82 63 51 23
dengan memadai
-Pelaksanaan pemantauan internal belum
15 58 92 64 49 16
terselenggara secara konsisten/reguler
Pengukuran -Kinerja penggunaan PDN dalam
Kinerja 26 55 95 54 43 18
pengadaan tidak menjadi ukuran prestasi

-Indikator kinerja P3DN sulit ditetapkan 20 65 102 62 31 11

-Ketiadaan sistem “reward and


17 59 86 66 42 25
punishment”

Sementara itu, nilai modus dan rata-rata skor hambatan yang


berpengaruh terhadap kinerja adalah sebagaimana dalam Tabel 9. Secara
keseluruhan angka rata-rata skor hambatan pada kategori pengukuran kinerja
adalah sebesar 3,36. Angka ini tertinggi di antara angka rata-rata kategori
lainnya. Besarnya angka tersebut terjadi karena 5 (lima) jenis hambatan yang
teridentifikasi pada kategori ini umumnya menghasilkan skor yang tinggi, yaitu
semuanya mempunyai skor di atas 3,0. Pengamatan para pelaku pengadaan
menempatkan bahwa hambatan yang penting dan berpengaruh terhadap
pengukuran kinerja adalah umumnya belum terbangunnya sistem audit dan
pemantauan internal yang memadai. Derajat hambatannya mencapai rata-
rata skor 3,48.

Hubungan yang penting dengan sistem audit dan pemantauan adalah


belum terselenggaranya kegiatan audit dan pemantauan internal secara
reguler dan konsisten. Angka rata-rata skor hambatan ini adalah 3,41. Hasil
observasi menemukan bahwa ketersediaan data hasil pemantauan atas
pelaksanaan P3DN dalam PBJP bukan hanya sangat sulit diperoleh, tetapi
juga kalaupun tersedia datanya juga sangat minim serta diragukan
akurasinya.

TABEL 9
NILAI MODUS DAN RATA-RATA SKOR HAMBATAN
PADA PENGUKURAN KINERJA

RATA-
KATEGORI HAMBATAN MODUS
RATA

Pengukuran -Sistem audit/pemantauan internal penggunaan


3,07 3,48
Kinerja PDN belum terbangun dengan memadai

26
-Pelaksanaan pemantauan internal belum
3,05 3,41
terselenggara secara konsisten/reguler

-Kinerja penggunaan PDN dalam pengadaan


2,99 3,30
tidak menjadi ukuran prestasi

-Indikator kinerja P3DN sulit ditetapkan 2,98 3,18

-Ketiadaan sistem “reward and punishment” 3,07 3,45

Hasil pelaksanaan P3DN melalui PBJP juga ditinjau dari persepsi para
pelaku pengadaan mengingat sangat terbatasnya ketersediaan data faktual
yang terekam. Persepsi atas hasil nilai transaksi pengadaan sebagaimana
dapat dilihat dalam Tabel 10 dan Tabel 11.

Sebagian besar pelaku pengadaan mempunyai pandangan bahwa


capaian penggunaan PDN dalam pengadaan barang/jasa pemerintah
berjalan cukup baik untuk nilai paket di bawah Rp200 juta. Persepsi sebagian
besar pelaku pengadaan (61,2 persen) memberikan indikasi dengan angka
modus sekitar 2,16. Sedangkan untuk nilai paket yang lebih besar, tampak
responden agak kurang yakin dengan capaiannya. Kesulitan yang dihadapi
cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya nilai paket paket
pengadaan. Akurasi atas data capaian masih memerlukan eksplorasi
penggalian data lebih lanjut, namun juga akan sulit dilakukan mengingat
sangat terbatasnya ketersediaan data. Pencatatan realisasi transaksi ini erat
hubungannya dengan kualitas kegiatan pemantauannya.

TABEL 10
DISTRIBUSI SKOR CAPAIAN PADA HASIL PELAKSANAAN

SKOR
KATEGORI HAMBATAN (1-6)

1 2 3 4 5 6
-Persentase jumlah paket PDN dengan
nilai paket s/d Rp200 juta adalah di 56 102 78 32 21 5
Hasil bawah 80%
Pelaksanaan -Persentase jumlah paket PDN dengan
nilai paket antara Rp200 juta – Rp2,5 41 86 96 44 18 8
miliar adalah di bawah 50%

27
-Persentase jumlah paket PDN dengan
nilai paket antara Rp2,5 miliar - Rp50
37 80 96 46 21 12
miliar adalah di bawah 35%

TABEL 11
NILAI MODUS DAN RATA-RATA SKOR CAPAIAN
PADA HASILPELAKSANAAN

KATEGORI CAPAIAN MODUS RATA-RATA

-Persentase jumlah paket PDN dengan nilai


2,16 2,57
paket s/d Rp200 juta adalah di bawah 80%

-Persentase jumlah paket PDN dengan nilai


Hasil paket antara Rp200 juta – Rp2,5 miliar 2,66 2,78
Pelaksanaan adalah di bawah 50%
-Persentase jumlah paket PDN dengan nilai
paket antara Rp2,5 miliar - Rp50 miliar
2,74 2,90
adalah di bawah 35%

3.5 Prioritas Program Pengembangan

Eksplorasi keberadaan hambatan yang potensial terjadi dalam


pelaksanaan P3DN dalam PBJP mencakup 4 (empat) kategori hambatan
yang terdiri dari 22 jenis hambatan yang teridentifikasi. Persepsi para
pengguna barang/jasa atau pengelola pengadaan terhadap capaian hasil
transaksi PDN bersertifikat dalam PBJP dinilai bukan sebagai suatu
hambatan. Hasil pengolahan data, yang menggunakan data hasil survey
persepsi, menghasilkan 10 (sepuluh) jenis hambatan yang memiliki nilai rata-
rata skor hambatan tertinggi. Dalam rangka perbaikan implementasi kebijakan
P3DN dalam PBJP, sepuluh hambatan ini dapat digunakan sebagai
arah/panduan untuk menetapkan prioritas program pengembangan.

Berdasarkan nilai rata-rata skor derajat hambatannya, dimulai dari skor


tertinggi, maka sepuluh peringkat tertinggi jenis hambatan adalah sebagai
berikut: (1) sistem audit dan pemantauan internal penggunaan PDN belum
terbangun dengan memadai (modus=3,07 dan rata-rata=3,48); (2)
pelaksanaan pemantauan internal belum terselenggara secara reguler dan
konsisten (modus=3,05 dan rata-rata=3,41); 3) kurangnya informasi produk
(barang/jasa) bersertifikat TKDN dari para penyedia (modus=3,04 dan rata-

28
rata=3,39); (4) kurang tersebarnya penyedia bersertifikat PDN yang ada
sehingga menaikkan biaya (modus=3,03 dan rata-rata=3,39); (5) kurangnya
pemahaman perhitungan TKDN dan BMP (modus=3,05 dan rata-rata=3,35);
(6) sulitnya evaluasi antara besaran preferensi harga yang ditawarkan
terhadap besaran TKDN (modus=3,15 dan rata-rata=3,29); ((7) adanya
kesenjangan antara tingkat kebijakan dengan tingkat implementasi
(modus=2,92 dan rata-rata=3,27); 8) sosialisasi kebijakan dan petunjuk
operasional kurang meluas serta intensif (modus=2,93 dan rata-rata=3,23);
(9) kurangnya dorongan/komitmen pada tataran implementasi (modus=3,01
dan rata-rata=3,19); dan (10) indikator kinerja P3DN dalam PBJP sulit
ditetapkan (modus=2,98 dan rata-rata=3,18). Meskipun termasuk di dalam
jenis hambatan yang memiliki skor tertinggi, “pengembangan sistem reward
and punishment” dan “kinerja penggunaan PDN dalam pengadaan menjadi
ukuran prestasi” tidak termasuk dalam sepuluh hambatan dengan nilai
tertinggi karena dipertimbangkan tidak mendesak penanganannya.

Skor yang lebih besar dari angka tiga tersebut memberikan indikasi
adanya pengaruh hambatan pada tingkat operasional yang dapat
menimbulkan dampak negatif dan perlu segera mendapatkan
penanganannya. Kategori pasokan/ketersediaan PDN bersertifikat dan
kategori pengukuran kinerja mendominasi lima peringkat teratas. Sementara
itu, peringkat dua jenis hambatan, yang termasuk dalam kategori prosedur
pengadaan, yaitu “kurangnya pemahaman perhitungan TKDN dan BMP” dan
“sulitnya evaluasi antara besaran preferensi harga yang ditawarkan terhadap
besaran TKDN” masing-masing menempati posisi ke lima dan enam dari
sepuluh hambatan yang tergolong memiliki angka rata-rata tertinggi. Masalah
proses pengadaan dapat diatasi dengan penyediaan petunjuk
pelaksaan/teknis yang lebih jelas disertai pelatihan teknis kepada para
pengelola pengadaan.

Ditinjau dari fungsi dan perannya, kategori hambatan yang telah


teridentifikasi dapat diklasifikasi sebagai (1) kelompok pokok pengadaan yang
terdiri dari kategori prosedur pengadaan dan kategori pasokan barang/jasa,
dan (2) kelompok pendukung pengadaan yang terdiri dari kategori kebijakan
dan kategori pengukuran kinerja. Untuk tindaklanjut penanganannya, kedua

29
kelompok tersebut dilaksanakan melalui program pokok dan program
pendukung.

Sebagai hasil penelaahan terhadap jenis hambatan, program pokok


untuk mempercepat P3DN dalam PBJP hendaknya memuat kegiatan
prioritas, antara lain : (1) Penyediaan dan penyebarluasan informasi PDN
bersertifikat TKDN. Informasi ini mencakup baik dari sisi penyedia produk
maupun kebutuhan produk dari sisi pengguna; (2) Penyempurnaan petunjuk
pelaksanaan/teknis; dan (3) Pelatihan teknis bagi para pengelola pengadaan.
Selanjutnya, program pendukungnya memuat kegiatan prioritas, antara lain :
(1) pengembangan sistem audit dalam rangka pengawasan setiap
tahap/proses pengadaan; (2) membangun sistem pemantauan dan evaluasi
pada setiap instansi pemerintah; (3) penyelengaraan kegiatan pemantauan
internal secara reguler pada setiap instansi; (4) sosialisasi kebijakan dan
petunjuk pelaksanaan lebih meluas dan intensif. Kegiatan prioritas tersebut
dari segi teknis dan rinci perlu dieksplorasi lebih lanjut sepanjang dalam
konteks hambatan yang dimaksud, termasuk petunjuk teknis yang telah
dirumuskan dan dikeluarkan.

3.6 10 Jenis Hambatan Tertinggi

1. Sistem audit dan pemantauan internal belum terbangun dengan


memadai ( modus=3,07 dan rata-rata=3,48)
GAMBAR 1

DISTRIBUSI SKOR HAMBATAN PENGUKURAN KINERJA

30
2. Pelaksanaan pemantauan internal belum terselenggara secara
konsisten/reguler (modus=3,05 dan rata-rata=3,41)
GAMBAR 2

DISTRIBUSI SKOR HAMBATAN PENGUKURAN KINERJA

3. Kurangnya informasi produk (barang/jasa) bersertifikat TKDN dari


para penyedia (modus=3,04 dan rata-rata=3,39)
GAMBAR 3

DISTRIBUSI SKOR HAMBATAN PASOKAN BARANG/JASA PDN

4. Kurang tersebarnya penyedia bersertifikat PDN yang ada sehingga


menaikkan biaya (modus=3,03 dan rata-rata=3,39)
GAMBAR 4

DISTRIBUSI SKOR HAMBATAN PASOKAN BARANG/JASA PDN

31
5. Kurangnya pemahaman perhitungan TKDN dan BMP (modus=3,05
dan rata-rata=3,35)
GAMBAR 5

DISTRIBUSI SKOR HAMBATAN PROSEDUR PENGADAAN

6. Sulitnya evaluasi antara besaran preferensi harga yang ditawarkan


terhadap besaran TKDN (modus= 3,15 dan rata-rata=3,29)
GAMBAR 6

DISTRIBUSI SKOR HAMBATAN PROSEDUR PENGADAAN

7. Adanya kesenjangan antara tingkat kebijakan dengan tingkat implementasi


(modus=2,92 dan rata-rata=3,27)

GAMBAR 7

DISTRIBUSI SKOR HAMBATAN KEBIJAKAN

32
8. Sosialisasi kebijakan dan petunjuk operasional kurang meluas serta
intensif (modus=2,93 dan rata-rata=3,23)

GAMBAR 8

DISTRIBUSI SKOR HAMBATAN KEBIJAKAN

9. Kurangnya dorongan/komitmen pada tataran implementasi (modus=3,01


dan rata-rata=3,19)

GAMBAR 9

DISTRIBUSI SKOR HAMBATAN KEBIJAKAN

10. Indikator kinerja P3DN dalam PBJP sulit ditetapkan (2,98 dan 3,18)

GAMBAR 10

DISTRIBUSI SKOR HAMBATAN PENGUKURAN KINERJA

33
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

Pengadaan barang/jasa pemerintah dilaksanakan dalam rangka


mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi/lembaga
pemerintah sehingga pelayanan kepada publik dapat berjalan dengan baik,
yaitu murah, cepat, tepat, dan berkualitas. Pengadaan tidak lagi hanya
sebatas proses transaksi konvensional, tetapi juga diarahkan agar dapat
memberikan manfaat langsung atau tidak langsung kepada masyarakat
dalam aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi. Dalam upaya untuk
mempercepat dan mengefektifkan penggunaan produk dalam negeri, salah
satu langkahnya adalah melalui peningkatan penggunaan produk dalam
negeri (P3DN) dalam pengadaan barang/jasa pemerintah (PBJP).

Kajian ini merupakan kajian cepat (rapid assessment) yang diharapkan


menghasilkan masukan pada tingkat kebijakan operasional agar dapat segera
ditindaklanjuti. Sehubungan dengan itu, dan mengingat keterbatasan faktual,
pendekatan kajian ditempuh dengan cara melakukan survey persepsi akan
hambatan-hambatan yang timbul dan cukup signifikan pengaruhnya pada
implementasi P3DN dalam PBJP. Pendekatan demikian akan memudahkan
perumusan langkah penanganan karena hambatan yang teridentifikasi akan
memiliki hubungan yang lebih dekat dengan cara mengatasinya.

4.1 Kesimpulan

1. Pasar PBJP cukup potensial sebagai pemicu untuk mendorong


peningkatan produksi nasional melalui kebijakan P3DN dalam PBJP
dengan pemberian preferensi. Meskipun kebijakan ini menimbulkan
praktik yang diskriminatif tetapi WTO memberikan pengecualian
terhadap penerapan kebijakan untuk pelaksanaan pengadaan
barang/jasa pemerintah;
2. Kebijakan P3DN dalam PBJP telah cukup lama diberlakukan namun
perkembangan atas kemajuan atau keberhasilan yang dicapai belum
terekam dengan baik. Implikasinya adalah ketersediaan data faktual

34
yang komprehensif dan akurat menjadi sangat terbatas. Oleh karena
itu asesmen terhadap kemajuan implementasi kebijakan dapat
ditelusuri dari sesuatu yang berpotensi menghambat atau
menghalanginya;
3. Sebagai langkah awal untuk memperoleh informasi dengan cepat,
survey persepsi utamanya ditujukan kepada para pengguna
barang/jasa pemerintah atau pengelola pengelola pengadaan untuk
memberikan penilaian berkenaan dengan derajat pengaruh atas
suatu jenis hambatan tertentu. Kajian ini sangat mengandalkan pada
persepsi para pengelola pengadaan sebagai sumber utamanya,
namun hasil survey persepsi ini dapat mengidentifikasi hambatan
yang perlu segera diatasi berdasarkan besaran derajat pengaruhnya.
Hasil ini dapat digunakan sebagai bahan tindaklanjut penetapan
prioritas untuk perbaikan kebijakan dan langkah-langkah operasional;
4. Survey persepsi menghasilkan temuan terpenting dari kajian ini, yaitu
informasi dan komitmen. Informasi yang terutama berhubungan
dengan ketersediaan produk bersertifikat TKDN dan yang terkait
dengan penyedia/produsennya. Sementara, komitmen adalah
prasyarat pendukung kebijakan P3DN dalam PBJP mengingat
kebijakan hakekatnya baru merupakan prasyarat penting. Oleh
karena itu terbangunnya komitmen yang penuh dari segenap jajaran
pimpinan hingga staf pelaksana perlu dilandasi oleh adanya
pemahaman yang baik. Pemahaman sendiri adalah hasil dari proses
sosialisasi kebijakan yang intensif dan meluas. Ada hubungan
keterkaitan yang erat antara satu aspek dengan aspek yang lain.
Komitmen dan informasi adalah awal dan modal dari keberhasilan;
5. Asesmen terhadap hasil survey persepsi menghasilkan sebanyak
sepuluh jenis hambatan dari beberapa kategori hambatan, yang
memperoleh nilai derajat hambatan tertinggi. Lima jenis hambatan
dengan skor tertinggi adalah: 1) sistem audit dan pemantauan internal
penggunaan PDN belum terbangun dengan memadai (modus=3,07
dan rata-rata=3,48); (2) pelaksanaan pemantauan internal belum
terselenggara secara reguler dan konsisten (modus=3,05 dan rata-
rata=3,41); 3) kurangnya informasi produk (barang/jasa) bersertifikat
35
TKDN dari para penyedia (modus=3,04 dan rata-rata=3,39); (4)
kurang tersebarnya penyedia bersertifikat PDN yang ada sehingga
menaikkan biaya (modus=3,03 dan rata-rata=3,39); (5) kurangnya
pemahaman perhitungan TKDN dan BMP (modus=3,05 dan rata-
rata=3,35). Angka rata-rata skor lebih dari 3 (tiga) menunjukkan
bahwa derajat hambatan telah memasuki daerah pengaruh yang
cukup meluas dan berpotensi memberikan dampak terhadap
kelancaran pada tingkat operasional. Bersama dengan lima jenis
hambatan lainya yang memiliki nilai rata-rata tertinggi lainnya,
sepuluh jenis hambatan inilah yang menjadi acuan untuk menetapkan
prioritas tindaklanjut penanganan;
6. Program pokok pengembangan umumnya berupa kegiatan: (1)
penyempurnaan petunjuk pelaksanaan/teknis dalam proses
pengadaan, termasuk mengganti penulisan kata “produk lokal”
menjadi “PDN bersertifikat TKDN” dalam setiap dokumen; (2)
pelatihan teknis bagi para pengelola pengadaan; dan (3) penyediaan
serta diseminasi informasi PDN bersertifikat TKDN. Sementara itu,
program pendukung pengembangan perlu diarahkan pada: (1)
kegiatan sosialisasi kebijakan P3DN dalamPBJP lebih meluas dan
intensif; (2) membangun komitmen internal instansi dan komitmen
bersama antara K/L/PD untuk keberhasilan kebijakan P3DN dalam
PBJP; (3) membangun sistem audit, sistem pemantauan dan
evaluasi; dan (4) pelaksanaan pemantauan internal pada setiap
instansi secara konsisten dan reguler.

4.1 Saran dan Rekomendasi

1. Dalam rangka meningkatkan ketersediaan produk bersertifikat


TKDN, langkah-langkah yang dapat ditempuh adalah: (1)
pengelolaan informasi produk melalui mekanisme penyelenggaraan
“clearing house” antara kapasitas pasokan produk bersertifikat dari
sisi penyedia dan kebutuhan produk yang bersifat rutin tahunan dari
pengguna produk; (2) produk bersertifikat TKDN dari para
penyedia/perusahaan bersifat sukarela berdasarkan strategi

36
bisnisnya dan perhitungan kelayakan ekonominya sendiri atas dasar
pada prospek kebutuhan akan barang/jasa dari K/L/PD. Kelayakan
ekonomi tetap menjadi prinsip yang harus dipedomani.Timbulnya
subsidi semaksimal mungkin harus dihindari; (3) pemberian
kewenangan dalam proses sertifikasi TKDN suatu produk kepada
instansi sektoral yang potensial dengan disertai peningkatan
kapsitasnya. Pelaksanaanya tetap dalam koordinasi kementerian
yang berwenang dalam penerbitan sertifikat TKDN; dan (4) K/L/PD
secara reguler memutakhirkan dan mengeluarkan informasi akan
kebutuhan barang/jasa.
2. Sesuai dengan kebutuhannya, survey persepsi ini dapat dilakukan
kembali setelah tindaklanjut temuan hasil kajian ini dilaksanakan.
Penyempurnaan disain survey dapat dilakukan atas dasar evaluasi
yang diikuti dengan proses identifikasi kembali atas hambatannya
secara lebih partisipatif dengan melibatkan ahli dan pengelola
pengadaan yang berpengalaman.

37
LAMPIRAN A

SURVEY
Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri
Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Dasar Pertimbangan
1. Peningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN) berpotensi besar
sebagai pemicu sekaligus penggerak bagi berkembangnya usaha nasional;
2. Pertumbuhan ekonomi saat ini berada pada posisi stagnan, sehingga upaya
P3DN melalui pengadaan barang/jasa pemerintah (PBJP) menjadi sangat
relevan. P3DN bisa sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan,
khususnya bagian dari Sustainable Public Procurement (SPP) ditinjau dari sisi
(daya tahan) ekonomi. SPP itu sendiri mencakup aspek sosial, lingkungan,
dan ekonomi (The Triple Bottom Line);
3. Direktorat Iklim Usaha dan Kerjasama Internasional (IUKI), LKPP berprakarsa
melakukan kajian secara cepat (rapid assessment) sebagai rangkaian
perbaikan upaya P3DN dalam PBJP dengan melakukan survey ini.
Pendekatan yang dilakukan adalah menggunakan survey persepsi terhadap
adanya hambatan-hambatan yang signifikan, sehingga atas dasar itu akan
jelas langkah-langkah untuk mengatasinya.

Petunjuk Pengisian
1. Survey dilaksanakan menggunakan pendekatan persepsi dari para
responden, yaitu merupakan akumulasi dari yang dialami, diamati, dan
dipahami;
2. Setiap jenis hambatan dari setiap kategori mohon diberikan skor (angka)
antara 1-6.
3. Pemberian angka 1 mempunyai arti bahwa tidak ada hambatan yang
menghalangi P3DN dalam PBJP; angka 2 menunjukkan adanya hambatan
yang bersifat elementer namun harus mendapatkan perhatian penanganan
agar tidak meluas; angka 3 menunjukkan adanya pengaruh hambatan pada
tingkat operasional dan memberikan dampak negatif serta perlu segera
penangannya; angka 4 hambatan yang terjadi pada angka 3 telah
berlangsung lebih dari 2(dua) tahun; angka 5 pengaruh hambatan sudah
sistemik dan perlu prioritas penanganan pada tingkat kebijakan dan
operasional; dan angka 6 pengaruh hambatan sangat serius dan berpotensi
menggagalkan pelaksanaan kebijakan dan program. (Semakin besarnya skor
yang diberikan maka hambatan tersebut semakin besar/signifikan)
(INFORMASI YANG TERBURUKPUN BISA
MENJADI MASUKAN TERBAIK BAGI UPAYA PERBAIKAN)

38
Identitas Responden
1. Nama :
2. Unit Kerja : Pusat / Propinsi / Kabupaten / Kota
3. Jabatan/Posisi : KPA/PPK/Anggota Pokja/Pejabat Pengadaan/PPHP
4. Pengalaman Kerja: .........tahun (dalam bidang pengadaan)

TABEL
PERSEPSI DERAJAT HAMBATAN P3DN
DALAM PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH

SKOR
KATEGORI HAMBATAN
(1-6)

-Jenis barang modal terbatas

-Jenis barang operasional terbatas


-Kurangnya jumlah perusahaan dan
kapasitas (seringkali tidak dapat
melayani permintaan)
1. Pasokan Barang/ - Waktu penyerahan (delivery time) lama
Jasa PDN
-Harga dan kualitas PDN kurang
kompetitif terhadap barang sejenis non
PDN
-Kurang tersebarnya penyedia
bersertifikat PDN yang ada sehingga
menaikkan biaya
-Kurangnya informasi produk
(barang/jasa) bersertifikat TKDN dari
penyedia
-Sulitnya memenuhi kebutuhan teknis
dengan spesifikasi teknis PDN yang ada
-Kewajiban penggunaan PDN kurang
jelas tertuang dalam petunjuk
pelaksanaan
2. Prosedur -Rumitnya menerapkan pedoman teknis
Pengadaan PDN ke dalam dokumen pengadaan
-Kurangnya pemahaman perhitungan
Tingkat Komponen DN (TKDN) dan
Bobot Manfaat Perusahaan (BMP)
-Sulitnya evaluasi antara besaran
preferensi harga yang ditawarkan
terhadap besaran TKDN

39
-Sistem audit/pemantauan internal
penggunaan PDN belum terbangun
dengan memadai
-Pelaksanaan pemantauan internal belum
3. Pengukuran terselenggara secara konsisten/reguler
Kinerja -Kinerja penggunaan PDN dalam
pengadaan tidak menjadi ukuran prestasi
-Indikator kinerja P3DN sulit ditetapkan
-Ketiadaan sistem “reward and
punishment”
4. Kebijakan -Sosialisasi kebijakan dan petunjuk
operasional kurang meluas serta intensif
-P3DN dalam PBJP dipandang sebagai
wacana dan baru merupakan gerakan
moral
-P3DN dalam PBJP dirasakan hanya
menambah beban kerja
-Kurangnya dorongan/komitmen pada
tataran implementasi
-Adanya kesenjangan pada tingkat
kebijakan dan pada tingkat implementasi
-Persentase jumlah paket PDN dengan
nilai paket s/d Rp200 juta adalah di
bawah 80%
-Persentase jumlah paket PDN dengan
5. Hasil Pelaksanaan nilai paket antara Rp200 juta – Rp 2,5
miliar adalah di bawah 50%
- Persentase jumlah paket PDN dengan
nilai paket antara Rp2,5 miliar – Rp50
miliar adalah di bawah 35%

SARAN :

...............................................................................................................

...............................................................................................................

................................................................................

(koreksi dan tambahan substansi materi survey)

Terima Kasih Atas Kerjasama Saudara !

Direktorat Iklim Usaha dan Kerjasam Internasional

40

Anda mungkin juga menyukai