Anda di halaman 1dari 77

KASUS 1

Lumpuh Sebelah |1

KASUS 1
LUMPUH SEBELAH

Seorang laki-laki berusia 45 tahun datang ke IGD dengan keluhan lumpuh


dan kesemutan pada kaki dan tangan sebelah kanan serta bicara pelo. Pasien
adalah seorang pegawai Bank yang sering lembur dan hamper tidak memiliki
waktu untuk berolahraga. Pasien memiliki kebiasaan merokok sejak SMA dan
riwayat hipertensi sejak 5 tahun yang lalu. Pasien dibawa kerumah sakit setelah 4
jam mengalami keluhan tersebut. Keluarga pasien menanyakan apakah pasien
nanti bisa sembuh dan berjalan lagi.

STEP 1
1. Lumpuh = Ketidakmampuan seseorang untuk melakukan gerakan akibat
adanya lesi pada sistem saraf.
2. Kesemutan = Kondisi abnormal pada tubuh berupa sensasi yang
disebabkan gangguan sistem saraf sensorik dan juga rangsangan listrik
yang terhambat.
3. Hipertensi = Peningkatan tekanan darah dengan systole >140 mmhg dan
diastole >90mmhg.
4. Bicara Pelo = Dimana seseorang tidak bisa berbicara secara jelas.

STEP 2
1. Mengapa pasien mengalami kelumpuhan dan kesemutan pada tangan dan
kaki sebelah kanan serta bicara pelo?
2. Bagaimana hubungan kebiasaan pasien dan riwayat hipertensi dengan
keluhan?
3. Bagaimana penatalaksanaan dari kasus tersebut?
4. Apakah pasien bisa sembuh dan berjalan lagi?
STEP 3
1. Etiologi, Mekanisme (Lumpuh, Kesemutan, Bicara pelo)

KASUS 1

Lumpuh Sebelah |2

2. Vaskularisasi Serebral (Mekanisme, Lokalisasi)


3. Pengaturan susunan saraf (Upper Neuron Motor, Lower Motor Neuron)
4. Area Brodman
5. Penyakit apa saja dengan kelumpuhan dan kesemutan sebelah kanan
6. Bagaimana mekanisme kebiasaan hidup pasien serta hipertensi
menyebabkan kelumpuhan
7. Pencegahan, Pemeriksaan, dan Prognosis dari keluhan (Kelumpuhan,
Kesemutan, Bicara pelo
8. Farmakoterapi dan algoritma

STEP 4

PENGATURA
N SUSUNAN
SARAF

AREA
BRODMAN

PENCEGAHAN
,
PENATALAKSA
NAAN,
PEMERIKSAAN

KELUMP
UHAN

MEKANISME,E
TIOLOGI DAN
PATOGENESIS

VASKULARI
SASI
SEREBRAL

STEP 5
1. Etiologi, Mekanisme (Lumpuh, Kesemutan, Bicara pelo)
2. Vaskularisasi Serebral (Mekanisme, Lokalisasi)

PROGNOSIS

KASUS 1

Lumpuh Sebelah |3

3. Pengaturan susunan saraf (Upper Neuron Motor, Lower Motor Neuron)


4. Area Brodman
5. Penyakit apa saja dengan kelumpuhan dan kesemutan sebelah kanan
6.Bagaimana mekanisme kebiasaan hidup pasien serta hipertensi
menyebabkan kelumpuhan
7.Pencegahan, Pemeriksaan, dan Prognosis dari keluhan (Kelumpuhan,
Kesemutan, Bicara pelo
8. Farmakoterapi dan algoritma

STEP 6

STEP 7

1. Mekanisme Kelumpuhan, kesemutan dan bicara pelo


Mekanisme kelumpuhan
Akson dari korteks serebri

KASUS 1

Lumpuh Sebelah |4

Pars thalamolenticularis capsulae internae

Sepertiga media basis pedunculi cerebralis

Fibrae pontis transversae di basis pontis

Pyramis pada medulla oblongata

70-90% mengalami decussatio


(menyebrang garis midline)
perbatasan medula oblongata dan
medula spinalis
Decusatio pyramidum
10-30%
tidak
menyilang

Traktus kortikospinalis lateralis

Lumbosacral
Traktus
kortikospinali
s ventralis

Servikal

Ger. Ekstremitas bawah

Pergerakan otot
trunkus (mm.
Intercostale dan
abdominale)

Ger. Otot
Upper : bahu dan
leher

Lower : Ekstremitas
atas dan otot
distal

KASUS 1

Lumpuh Sebelah |5

Gambar.1 Jalur traktus piramidal

Systema

piramidale

merupakan

suatu

susunan

serat-serat

descendens yang mengantarkan impuls-impuls motorik langsung dari


korteks serebri ke berbagai nuklei motorik di dalam batang otak dan
medula spinalis. Serat-serat piramidal yang berakhir di dalam batang otak
dikenal sebagai traktus kortikobulbaris atau kotikonuklearis, sedangkan
yang berakhir di dalam medula spinalis dikenal sebagai traktus
kortikospinalis. Traktus kortikobulbaris fungsinya untuk gerakan-gerakan
otot kepala dan leher, sedangkan traktus kortikospinalis fungsinya untuk
gerakan-gerakan otot tubuh dan anggota gerak. Traktus kortikospinalis
terdiri atas akson-akson yang berasal dari sel-sel neuron di dalam korteks
serebri (korteks motorik dan daerah-daerah korteks disekitarnya).
Sebagian besar serat-serat ini berselubung myelin dan mempunyai
diameter dengan variasi yang cukup luas, hanya sebagian kecil

KASUS 1

Lumpuh Sebelah |6

mempunyai diameter yang amat besar (10-20 mikron) dengan selubung


myelin tebal pula. Serat-serat tersebut berasal dari sel-sel neuron raksasa
betz. (Sukardi E, 1984)
Traktus kortikospinalis merupakan traktus desenden yang paling
besar dan paling penting pada manusia. Serat-serat piramidal yang
berakhir di dalam batang otak dikenal sebagai traktus kortikobulbaris atau
kortikonuklearis,

sedangkan yang berakhir di dalam medula spinalis

dikenal sebagai traktus kortikospinalis.


Traktus kortikospinalis berasal dari akson-akson yang berasal dari
korteks serebri . sebagian besar serat-serat ini berselubung myelin dan
mempunyai diameter dengan variasi yang cukup luas. Serat-serat tersebut
berasal dari sel-sel neuron piramidal raksasa Betz.
Akson-akson tersebut menyusun jaras kortikobular-kortikospinal.
Sebagai berkas saraf yang kompak mereka turun dari korteks motorik dan
di tingkat talamus dan ganglia basalis mereka terdapat di antara kedua
bangunan tersebut. Itulah yang dikenal sebagai kapsula interna, yang dapat
dibagi dalam krus anterius dan krus posterius. Sudut yang dibentuk kedua
bagian interna itu dikenal sebagai genu. Penataan somatotopik yang telah
dijumpai pada korteks motorik ditemukan kembali di kawasan kapsula
interna mulai dari genu sampai seluruh kawasan krus posterius. (Mardjono
M dan Sidharta P, 2000)
Perjalanan traktus traktus kortikospinalis (pada bagian-bagian
permulaan diikuti oleh traktus kortikobulbaris), dari arah kranial ke arah
kaudal sebagai berikut : (1) ikut membentuk serat-serat corona radiata, (2)
berjalan melalui pars thalamolenticularis capsula internae, (3) berjalan
melalui sepertiga bagian tengah basis pedunculi cerebralis, (4) berjalan
diantara (menyilang) fibrae pontis transversae di daerah basis pontis, (5)
berjalan melalui pyramis pada medula oblongata, (6) pada perbatasan
antara medula oblongata dan medula spinalis, 70-90% serat-serat traktus
kortikospinalis mengalami decussatio untuk membentuk decussatio
pyramidum, (7) pada medula spinalis. Serat-serat yang mengalami

KASUS 1

Lumpuh Sebelah |7

decussatio akan melanjutkan dirio sebagai trakus kortikospinalis lateralis,


yang teletak di sebelah medial traktus spinoserebralis dorsalis .
Serat-serat traktus kortikospinalis lateeralis berakhir pada segmensegmen cervical dan lumbosacral medula spinalis dan melayani membrum
superius dan inferius. Pada medula spinalis, serat-serat yang berakhir pada
segmen-segmen

lumbosacral

(segmen-segmen

intumescentia

lumbosacralis) terletak disebelah lateral dari serat-serat yang akan berakhir


pada segmen-segmen intumescentia cervicalis. Pada manusia sebagian
besar serat-serat kortikospinalis lateralis berakhir dalam hubungan sinapsis
dengan neuron-neuron interkalatus di dalam lamina Rexed IV, V, VI dan
VII; pengaruhnya terhadap sel-sel neuron di dalam laminae tersebut dapat
berupa eksitsi (lamina V dan VI) atau inhibisi (lamina IV dan V).
Serat-serat yang tidak menyilang akan melanjutkan diri didalam
medula spinalis sebagai traktus kortikospinalis ventralis. Akan tetapi perlu
diperhatikan, sesaat sebelum berakhir pada segmen-segmen thoracalis
medula spinalis, serat-serat traktus kortikospinalis ventralis akan
menyilang jiga garis median di daerah commisura alba. Traktus
kortikospinalis ventralis mengendalikan neuron-neuron motorik yang
melayani otot-otot pada trunkus, termasuk mm.intercostales dan
abdomines.
Etiologi
Kelemahan atau kelumpuhan diakibatkan oleh adanya kerusakan
otak, kerusakan tulang belakang pada tingkat tertinggi (khususnya pada
vertebra

servikal),

kerusakan

sistem

saraf

perifer,

kerusakan

neuromuskular atau penyakit otot. Kerusakan pada Upper Motor Neuron


(UMN) dapat disebabkan adanya lesi pada medula spinalis setinggi
servikal atas. Sedangkan kerusakan pada Lower Motor Neuron (LMN)
dapat mengenai motorneuron, radiks dan saraf perifer, maupun pada otot
sendiri.
Mekanisme kesemutan

KASUS 1

Lumpuh Sebelah |8

Stimulus datang

(sentuhan, tekanan, rasa sakit, suhu panas dan dingin)

Reseptor pada kulit

Sistem saraf tepi

Sistem saraf pusat

Thalamus
(pusat penyebaran utama impuls-impuls sensorik)

Serebral korteks

Kesemutan
Etiologi
Kesemutan terjadi jika saraf dan pembuluh darah mengalami
tekanan. Misalnya, saat duduk bersimpuh atau menekuk kaki terlalu lama,
maka saraf dan aliran darah akan terganggu. Umumnya, kesemutan akan
mereda jika bagian tubuh yang mengalaminya digerakkan.

Mekanisme Bicara Pelo


Salah satu perbedaan terpenting antara manusia dan binatang
adalah adanya fasilitas pada manusia untuk berkomunikasi dengan
sesamanya. Selanjutnya, karena tes neurologik dapat dengan mudah
menaksir seberapa besar kemampuan seseorang untuk berkomunikasi satu
sama lain, maka kita dapat mengetahui lebih banyak tentang sistem
sensorik dan motorik yang berkaitan dengan proses komunikasi dari pada
mengenai fungsi segmen kortikal lainnya. Untuk berbicara, manusia
menerima rangsang baik melalui organ reseptor umum maupun oragan
reseptor khusus, impulsnya dihantarkan melalui saraf otak atau saraf spinal
atau SSO dan dilanjutkan ke SSP area sensorik. Pengaruh sensorik
disampaikan ke area motorik untuk kembali turun ke SST dan akhirnya
sampai ke efektor yang menghasilkan aktivitas bicara.
Reseptor Sensorik

KASUS 1

Organ

reseptor

Lumpuh Sebelah |9

umum

(eksteroreseptif,

interoreseptif, propioreseptif) dan organ reseptorkhusus (penglihatan,


pendengaran, keseimbangan, penghidu, pengecap) menerima rangsang.
Saraf Aferen
Saraf otak I-XII dan saraf spinal menghantarkan impuls saraf ke
pusat pemrosesan di SS
SSP
SSP area Broca (area motorik bicara), area Wernicke (area auditif),
pusat ideamotor (pusatrefleks dalam memilih kata dan kalimat) merupakan
pusat-pusat yang terlibat dalam prosesbicara.
Saraf Eferen
Saraf eferen dari SSP ke SST menyampaikan sinyal saraf kepada
efektor untuk melakukan aktivitas bicara. Terdapat dua aspek untuk
dapat berkomunikasi, yaitu: aspek sensorik (input bahasa), melibatkan
telinga dan mata, dan kedua, aspek motorik (output bahasa) yang
melibatkan vokalisasi dan pengaturannya.
Aspek Sensorik Komunikasi
Pada korteks bagian area asosiasi auditorik dan area asosiasi visual,
bila mengalami kerusakan, maka dapat menimbulkan ketidakmampuan
untuk mengerti kata-kata yang diucapkan dan kata-kata yang tertulis. Efek
ini secara berturut-turut disebut sebagai afasiareseptif auditorik dan afasia
reseptif visual atau lebih umum, tuli kata-kata dan buta kata-kata
(disleksia). Studi dari afasia ini mempunyai peran penting pada
pemahaman neural basis daribahasa. Penyebab paling sering ialah
trauma kepala (head trauma). Penyebab selanjutnya ialah stroke: 40%
major

vascular

events

mengakibatkanlanguage disorders.
Afasia anomik (Anomic aphasia)

pada

hemisfer

cerebral yang

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 10

Pada afasia ini, satu-satunya gangguan ialah pada kemampuan


untuk menemukan kata-kata yang benar. Ini merupakan bentuk afasia yang
tidak biasa. Akan tetapi, biasanya merupakan lesi pada aspek posterior dari
lobus temporal inferior kiri, dekat dengan garis temporal-occipital.
Afasia Wernicke dan Afasia Global
Beberapa orang mampu mengerti kata-kata yang diucapkan
ataupun kata-kata yang dituliskan namun tak mampu menginterpretasikan
pikiran yang diekspresikan walaupun saat mendengar musik atau suara
nonverbal akan normal. Biasanya pasien berbicara sangat cepat baik
ritme,grammar, dan artikulasi. Apabila tidak benar-benar didengarkan,
akan terdengar hampir normal. Keadaan ini sering terjadi bila area
Wernicke yang terdapat di bagian posterior hemisfer dominan gyrus
temporalis superior mengalami kerusakan. Oleh karena itu, tipeafasia ini
disebut afasia Wernicke. Bila lesi pada area Wernicke ini meluas dan
menyebar kebelakang ke region gyrus angular, ke inferior ke area bawah
lobus temporalis, ke superior ketepi superior fisura sylvian dari hemisfer
kiri, maka penderita tampak seperti benar-benar terbelakang secara total
(totally demented) untuk mengerti bahasa atau berkomunikasi, dankarena
itu dikatakan menderita afasia global.
Transcortical sensory aphasia
Merupakan pemutusan area Wernicke dari posterior parietal
temporal association area. Halini menyebabkan fluent aphasia dengan kurangnya
pemahaman dan juga kecacatan saat berpikir ataupun mengingat arti dari suatu
tanda atau kata-kata. Pasien tidak dapat membaca, menulis dan juga
ditandai dengan

kesusahannya

mendapat

kata-kata,

mengulangapa yang telah dibicarakan dengan mudah dan fasih.

Aspek Motorik Komunikasi


Proses bicara melibatkan dua stadium utama aktivitas mental:

tetapi dapat

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 11

1. Membentuk buah pikiran untuk diekspresikan dan memilih kata-kata


yang akandigunakan2.
2. mengatur motorik vokalisasi dan kerja yang nyata dari vokalisasi
itu sendiri
Pembentukan buah pikiran dan bahkan pemilihan kata-kata
merupakan fungsi area asosiasisensorik otak. Sekali lagi, area Wernicke
pada bagian posterior gyrus temporalis superiormerupakan hal yang
penting untuk kemampuan ini. Oleh karena itu, penderita yangmengalami
afasia Wernicke atau afasia global tak mampu memformulasikan
pikirannyauntuk dikomunikasikan. Atau bila lesinya tak begitu parah,
maka penderita masih mampumemformulasikan pikirannya namun tak
mampu menyusun kata-kata yang sesuai secaraberurutan dan bersamasama

untuk

mengekspresikan

pikirannya.

Seringkali,

penderita

fasihberkata-kata namun kata-kata yang dikeluarkannya tidak berurutan.


Afasia Motorik akibat Hilangnya Area Broca.
Kadang-kadang, penderita mampu menentukan apa yang ingin
dikatakannya, dan mampubervokalisasi, namun tak dapat mengatur
sistem vokalnya untuk menghasilkan kata-kata selain suara ribut. Efek
ini, disebut afasia motorik, disebabkan oleh kerusakan pada area bicara
Broca, terletak di regio prefrontal dan fasial premotorik korteks (kira-kira
95% kelainannya di hemisfer kiri). Oleh karena itu, pola keterampilan
motorik yang dipakai untuk mengatur laring, bibir, mulut, sistem respirasi,
dan otot-otot lainnya yang dipakai untuk bicara dimulai dari daerah ini.
Lesi yang tidak mempengaruhi cortex cerebral, biasanya lesi vaskuler
dalam ganglia basalis dan talamus, dapat juga dihasilkan dalam aphasia
yang biasanya disebut subcortical aphasia.
2. Regulasi perdarahan serebral
Dalam keadaan fisiologik jumlah darah yang mengalir ke otak (CBF
= "cerebral blood flow") ialah 50-60 ml per 100 gram jaringan otak per
menit. Jadi jumiah darah untuk seluruh otak, yang kira-kira beratnya antara
1200-1400 gram, adalah 700-840 ml per menit. Dari jumiah darah itu, satu
pertiganya disalurkan melalui tiap arteria karo'tis interna dan satupertiga

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 12

tersi&anya disalurkan melalui susunan vertebrobasilar. Otak

yang

berkedudukan di dalam ruang tengkorak yang merupakan ruang tertutup


xnempunyai susunan sirkulasi yang sesuai dengan lokasinya. Konsekuensi
dari kedudukan otak dalam suatu ruang tertutup ialah, bahwa vokirre otak
ditambah dengan volume likuor dan ditambah dengan volume darab hams
merupakan angka tetap (konstante). Inilah yang dikenal sebagai hukum
Monroe-Kellie. Hukum ini benmplikasi bahwa perubahan volume salah
satu unsur tersebut akan menyebabkan perubahan kompensatorik terhadap
unsur-unsur lainnya. Oleh karena pada umumnya volume otak dan volume
likuor selalu berubah karena bermacam-macam pengaruh, maka volume
darah selalu akan menye-suaikan diri. Faktor-faktor penyesuaian peredaran
darah serebral dapat dibagi dalam faktor ekstrinsik dan intrinsik.
Faktor-faktor ekstrinsik:
Berapa darah yang rnengalir ke dalam suatu organ tergantung pada
tekanan darah yang menyiram organ tersebut dan tahanan yang dimiliki
organ tersebut. Tekanan darah yang menyiram organ dikenal sebagai
tekanan perfusi, sedangkan tahanan organ yang bersangkutan dinama-kan
resistensi jaringan.
Mengenai jumiah darah yang mengalir ke dalam otak (CBF), maka
tekanan perfusinya adalah sama dengan selisih antara tekanan darah
arterial sistemik dan tekanan vena serebral. Dalam keadaan normal
tekanan vena serebral ialah 5 mm Hg. Apabila resistensi intrakranial besar,
maka CBF akan menurun. Karena tekanan vena serebral tidak berarti
(hanya 5 mm Hg) maka tekanan perfusi ditentukan terutama oleh faktor
ekstrinsik yang berupa tekanan darah sistemik. Tekanan ini tergantung pada
kemarnpuan jantung untuk memompa sejumlah darah ke sirkulasi sistemik.
Kemampuan itu dapat diukur dari curah atau "output" jantung. Kelola
simpatetik dan parasimpatetik yang beflaku untuk jantung dan juga untuk
pembuluh darah perifer adalah peranan pusat vasomotor di medula
oblongata dan korteks serebri (area 12, 23, dan 32) yang sangat erat terkait
pada susunan limbik yang merupakan substrat organik emosi. Di samping itu
ada pula baroreseptor yang memancarkan impulsnya ke-pada pusat-pusat
vasomotorik itu. Baroreseptor berada di sinus karotis dan arkus aortae.

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 13

Alat-alat tersebut berperan sebagai inhibitor terhadap tekanan darah yang


melonjak.
Pasang surut tekanan darah tercatat oleh alat-alat. tersebut, yang
meneruskannya kepada pusat-pusat vasomotor. Pada aterosklerosis baroreseptor sering terusak oleh "plaque atherosclerotique" dan pemeliha-raan
tekanan darah dalam batas yang normal terganggu. bahwa tekanan darah
pada organ-organ dengan aterosklerosis naik turun dalarn batas yang luas
dan tidak jarang terdapat hipotensi postural.
Pada orang-orang sehat, fluktuasi tekanan darah sistemik tidak
menimbulkan perubahan pada CBF, oleh karena sirkulasi serebral mempunyai mekanisme untuk mengurus diri sendiri. Mekanisme ini dinama-kan
autoregulasi serebral. Dengan mekanisme tersebut, tekanan darah yang
menurun sampai 50 mm Hg di bawah tekanan darah yang normal, masih
betum menurunkan CBF. Pada CVD autoregulasi itu terganggu, sehingga
penurunan tekanan darah kurang dari 50 mm Hg sudah meng-ecilkan CBF.
Hal ini dijumpai pada orang-orang dengan penyakit hiper-tensi kronik,
aterosklerosis,

stenosis

arteri-arteri

serebral

dan

vertebro-basilaris.

Kemampuan jantung untuk memompa darah ke sirkulasi sistemik.


Pada penyakit jantung kongestif, "output" menurun. Tetapi CBF
bisa tetap konstan berkat autoregulasi serebral. Menurunnya CBF pada
penderita-penderita penyakit jantung kongestif, disebabkan secara primer
oleh hilangnya autoregulasi serebral, seperti halnya pada orang-orang yang
sudah lanjut umurnya (aterosklerosis). Tetapi walaupun autoregulasi
serebral masih berfungsi baik, jika "output" kurang sekali sehingga ambang
kritis tekanan darah dilewati, maka manifestasi CVD akan bangkit pula.
Kualitas pembuluh darah karotikovertebral CBF total tergantung terutama
pada volume darah yang disampai-kan ke otak melalui arteria karotis
interna dan vertebralis kedua sisi. Pada tekanan perfusi yang konstan
keadaan lumen keempat arteri tersebut sangat menentukan. Hasil
penyelidikan eksperimental mengenai CBF pada anjing, pada mana
diadakan Hgasi (pengikatan) pada arteria karotis tidak bisa diterapkan
sepenuhnya pada manusia karena autoregulasi pada manusia yang sudah
mempunyai aterosklerosis tidak sama dengan autoregulasi serebral anjing.

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 14

Tetapi observasi pada manusia yang sedang dioperasi untuk aneurisme dan
sebagainya, dapat memberikan informasi yang berharga. Kita memperoleh
fakta, bahwa menurunnya aliran darah distal dari tempat ligasi baru tercapai,
jika lumen arteri yang bersangkutan disempitkan lebih dari 70-90%. Tetapi
pada orang-orang yang sudah memperlihatkan aterosklerosis, penyempitan
arteri kurang dari 70% dari lumennya sudah bisa mengakibatkan reduksi CBF
regional yang nyata. Lagi pula tanpa adanya pengikatan pada salah satu
arteri serebral, namun dengan adanya aterosklerosis yang difus dan luas,
CBF akan jelas menurun pada hipotensi sistemik.
Observasi lain mengungkapkan adanya kecenderungan pada "plaque atherosclerotique" untuk berulserasi. Hal ini sering terjadi pada
pangkal arteria karotis dan di arteria vertebralis. Ternpat-tempat tersebut
selalu bisa menjadi sumber embolus. Jika oleh karena itu manifestasi CVD
timbul, maka penyakit yang mendasarinya bukannya stenosis yang
diperlihatkan oleh "plaque atherosclerotique", melainkan emboli-sasi dari
"plague" yang berulserasi.
Hipertensi kronik bisa menimbulkan sklerosis arterial yang menyeluruh. yang tidak berkembang melalui ateromatosis, tetapi langsung
mengeraskan dinding arteri. lnilah yang dikenal sebagai arteriosklerosis.
Berbeda dengan aterosklerosis serebral yang melibatkan arteri besar
dan sedang lagi pula terutama pada tempat-tempat percabangan dan
kelokan-kelokan, arteriosklerosis serebral berkembang secara difus terutama pada arteri sedang dan kecil. Aterosklerosis dan arteriosklerosis
serebri merupakan penyakit CVD primer. Tanpa adanya stenosis yang
berarti ataupun tanpa adanya embolisasi namun dengan adanya fluktuasi
tekanan darah sistemik saja manifestasi CVD sudah dapat timbul pada
orang-orang yang mempunyai arteriosklerosis dan aterosklerosis.
Sifilis yang bisa menimbulkan endarteritis, menyempitkan lumen
arteri serebral, sehingga pada tahap meningovaskular bisa bangkk "stroke".
Lain-lain penyakit arteritis, yang jarang dijumpai. seperti arteritis primer,
"giant angiitis" dan arteritis pada penyakit Takayasu, sering disebut-sebut
sebagai penyebab timbulnya manifestasi CVD.

Kualitas darah yang

menentukan viskositas Jumlah darah yang disampaikan kepada otak per


menit tergantung juga pada viskositasnya. Pada anemia CBF bertambah

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 15

oleh karena viskositas darah menurun. Pada polisitemia, viskositas darah


melonjak sehingga dapat menurunkan CBF sampai 20 rnL per 100 gram
otak per menit. Juga karena leukemia dan dehidrasi berat (hemokonsentasi)
CBF dapat menurun sehingga membangkitkan "stroke".
Faktor-faktor intrinsik:
Di dalam otak terdapat dua faktor yang mengatur perdarahan
regional. Yang satu dimiliki oleh pembuluh darah serebral dan yang lain
merupakan serentetan proses biokimiawi yang mempengaruhi lumen
arteri serebral. (I) Autoregulasi arteri serebral Pembuluh serebral
menyesuaikan lumennya pada ruang lingkupnya sedemikian rupa, sehingga
aliran darah tetap konstan, walaupun tekanan perfusi berubah-ubah.
Pengaturan diameter lumen ini dinamakan autoregulasi. Konstriksi terjadi
apabila tekanan intralumenal melonjak dan dilatasi jika tekanan tersebut
menurun. Reaksi dinding pembuluh darah terhadap fluktuasi tekanan
intralumenal itu sangat cepat, yaitu dalam beberapa detik, Lagi pula reaksi
tersebut peka terhadap fluktuasi yang berbatas luas.
Penurunan tekanan darah sistemik sampai 50 mm Hg masih dapat
berlalu tanpa menimbulkan gangguan sirkulasi serebral. Tetapi jika tekanan
darah sistemik turun sampai di bawah 50 mm Hg, autoregulasi serebral itu
tidak mampu lagi memelihara CBF yang normal. Untuk
orang-orang sehal tckanan pcrfusi sebcsar 50 mm Hg itti merupaknu
am bang kritis. Sebanding dengan autorcgulasi terhadap tekanan darah
sistcmik yang menurun,, adalah autoregulasi terhadap tekanan darah
sistemik yang mclonjak. Batas atas yang masih dapat ditanggulangi
autoregulasi ialah 200 mm Hg sistolik dan 110-120 mm Hg diastolik. Jika
tekanan darah sistemik lebih tinggi dari batas atas tersebut, maka
autoregulasi yang mengadakan vasokonstriksi dapat berlalu secara ekstrim,
sehingga timbul vasospasmus.
Autoregulasi tersebut bersifat regional. Jika suatu daerah otak
iskemik maka tekanan iatralumenal di wilayah itu lebih rendah daripada di
daerah sehat yang berdampingan, sehingga darah akan mengalir dari wilayah
tekanan intralumenal tinggi ke wilayah tekanan intralumenal rendah. Dengan
demikian iskemia regional itu dapat terkompensasi Autoregulasi yang
dikelola oleH tekanan intraiumenal ini bekerja secara bebas, tetapi saling

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 16

membantu reaksi yang diciptakan oleh faktor-faktor biomikiawi yang terdapat


dl otak secara regional. Faktor-faktor tersebut menyangkut peogelolaac CBF
regional agar kebutuhan metabolik regional dapat terpenuhi.-(2) Faktorfaktor biokimiawi regional
Daiam lingkungan dengan CO2 tinggi arteri serebral berdilatasi dan
CBF bertambah, karena resistensi vaskular raenurun. Jika kadar CO2
menurun, misalnya selamahiperventilasi, arteri serebral menyempit dan
CBF cepat menuran. Reaksi konstriksi dan dilatasi itu terjadi dalam
beberapa detik saja. Kemampuan untuk bereaksi terhadap naik turun-nya
tekaoan CO2 arterial (PCO2) itu semakin berkurang pada bertam-bahnya
imur.
Pada orang-oiang-yang sehat, bertambahnya CBF regional diakibatkanoleh meningkatnya PCD2 regional. Pada umumnya metabolisme otak
hampir selurnhnya tergaotnog pada pemecahan oksidatif glukose dan CO2
yang dihasilkan oleh proses oksidasi tersebut. Peningkatan metabolisme
otak, balk secara regional maupun secara global, mengakibatkan secara
heiturut-turut produksi CO2 bertambah, vasodilatasi, CBF men-jadi lebih
besar dan dengan demikian menghasilkan pula bertambahnya jatah G2 dan
glukose untuk otak atau daerah bagiannya.
Iskeiria serebri regional akibat stenosis salah satu arteri. namun
yang tidak disertai keraundurars metabolismenya, akan menghasilkan
peningkacan PCO: regional, yang akan membangkitkan vasodiiatasi di
arteri-arteri kolaterai dan menggiatkan sirkulasi kolateral. Akan tetapi
apabila iskemia melumpuhkan metabolisme regional, mekanisme untuk
mengadakan peniagkatan sirkulasi kolateral tidak dapat beroperasi lagi. Ptran
O2- Tekaaaa O2 arterial (PO2) menurun pada keadaan hipok-sia ataa anoksia
karena sebab apapun. Keadaan tersebut menimbulkan vasodilatasi daa
bertambahnya CBF. Reaksi tersebut terjadi secara menyeluruh ataupun
regional. Sebaliknya, PO2 yang meningkat mengakibatkan vasokonstriksi
dan turunnya CBF. Walaupaun reaksi ini berlaku, inhalasi 100% O2
meningkatkan lebih lanjut jatah O2 yang tersedia untuk suatu daerah
otak yang iskemik (misalnya pada stroke) dengan jalan meningkatkan
selisih tekanan antara arteriola dan kapilar.

Sifat pengaruh O 2

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 17

terhadap dinding pembuluh darah belum diketahui. Tetapi reaksi


terhadap O 2 cepat sekali dan mungkin bereaksi langsung terhadap
kemoreseptor

yang

berada

di

dinding

pembuluh

darah.

Vasokonstriksi yang timbul sebagai reaksi terhadap PO 2 itu ternyata


tidak terkait pada penurunan PCO 2 akibat hipervcntilasi. Lagi pula
vasokonstriksi daa vasodilatasi yang dihasilkan akibat pasang
surutnya PO T tidak sebesar yang diakibatkan oleh t'luktuasi PCO 2.
Namun

demikian,

selama

hipok-sia

berat

berlangsung,

efek

vasodilatasi akibat penurunan PO 2 menjadi lebih besar. Dan mungkin


sekali proses ini mempunyai sangkut-paut dengan dibebaskannya
asam laktat oleh otak seketika metabolisme bergeser ke jurusan
glikolisis anerobik. Asam laktat Apabila suatu daerah otak menjadi iskemik
atau anok-sik, dalam keadaan itu metabolisme anerobik cepat mengambil alih
tugas yang sebelumnya dibebankan kepada metabolisme oksidatif. Metabolisme anerobik ini banyak menghasilkan asam laktat, yang merupakan zat yang
melebarkan lumen pembuluh darah (vasodilator).
Konsentrasi ion hidrogen Apabila pH darah berubah pada binatang atau
manusia, akibat suntikan asam laktat misalnya, maka CBF akan bertambah.
Reaksi ini mungkin tidak menyangkut efek peningkatan CO2 Asidemia
tampaknya berlalu secara bebas terhadap peningkatan CBF. Sebaliknya
alkalemia cenderung menurunkan CBF.
Pada umumnya, penyelidikan-penyelidikan memberikan fakta yang
cukup terpercaya, bahwa efek CO2 lebih besar daripada pengaruh pH
dalam pengelolaan CBF, oleh karena, biar bagaimanapun juga bukannya pH
darah, tetapi pH intraselular otot polos arteriola serebral yang pada
dasarnya paling penting dalam pengelolaan tonus vasomotorik.
Mekanisme pokok yang terurai di atas berlaku bagi otak seluruhnya dan
daerah bagiannya (regional). Dalam keadaan fisiologik, CBF regional bisa
meningkat, misalnya di lobus oksipitalis pada adanya kegiatan visual, atau
pada berlangsungnya kejang fokal. Peningkatan PCO2 dan penurunan PO2
regional akibat peningkatan metabolisme regional itu. akan mempertinggi
CBF regional. Sistem regional tersebut bersifat autoregulatorik dan
menurunkan CBF regional^apabila metabolismeregional menurun.

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 18

Pada iskemia serebral yang bersifat regional, akibat penyumbatan


arteri, CO2 tertimbun di. dalam daerah iskemik dan PO2 regional turun.
Keadaan ini menggiatkan sirkulasi kolateral untuk meningkatkan CBF
daerah yang iskemik itu. Sebenarnya, peran susunan saraf autonom
dapat disebut sebagai faktor intrinsik juga. Tctapi ctek vasomotor susunan
saraf autonom terhadap sirkulasi regional sedikit sekali. Serabut-serabut saraf
ortosimpatetik masih sedikit berpengaruh untuk vasokonstriksi global,
tetapi peran serabut-serabut parasimpatetik untuk dilatasi masih diragukan.
Aliran darah melaiui arteria karotis interna masih bisa diturunkan de-ngan
30% oleh aktivitas susunan ortosimpatetik. Sedangkan aliran darah melaiui
arteria vertebralis dapat dikurangi dengan 20%.

3. Pengaturan susunan saraf (Upper Neuron Motor, Lower Motor


Neuron)
Susunan neuromuskular terdiri dari Upper motor neuron (UMN) dan lower
motor neuron (LMN). Upper motor neurons (UMN) merupakan
kumpulansaraf-saraf motorik yang menyalurkan impuls dan area motorik
di korteks motorik sampai inti-inti motorik di saraf kranial di batang otak
atau kornu anterior. Berdasarkan perbedaan anatomik dan fisiologik
kelompok

UMN

dibagi

dalamsusunan

piramidal

dan

susunan

ekstrapiramidal. Susunan piramidal terdiri daritraktus kortikospinal dan


traktus kortikobulbar. Traktus kortikobulbar fungsinyauntuk geraakangerakan otot kepala dan leher, sedangkan traktus kortikospinalfungsinya
untuk gerakan-gerakan otot tubuh dan anggota gerak. Sedangkan
lower motor neuron (LMN), yang merupakan kumpulan saraf-saraf
motorik yang berasaldari batang otak, pesan tersebut dari otak
dilanjutkan ke berbagai otot dalamtubuh seseorang.Dari otak medula
spinalis turun ke bawah kira-kira ditengah punggung dandilindungi oleh
cairan jernih yaitu cairan serebrospinal. Medula spinalis terdiridari berjuta
juta saraf yang mentransmisikan informasi elektrik dari dan keekstremitas,
badan, oragan-organ tubuh dan kembali ke otak. Otak dan medulaspinalis
merupakan sistem saraf pusat dan yang mehubungkan saraf-saraf
medulaspinalis ke tubuh adalah sistem saraf perifer. Medula spinalis terdiri

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 19

atas traktus Ascenden(yang membawa informasi di tubuh menuju ke otak


seperti rangsangraba, suhu, nyeri dan gerak posisi) dan traktus descenden
(yang membawainformasi dari otak ke anggota gerak dan mengontrol
fungsi tubuh).
Kelemahan/kelumpuhan parsial yang ringan/tidak lengkap atau sua
tukondisi

yang ditandai oleh

hilangnya sebagian

gerakan atau

gerakan terganggu disebut dengan parese.


Kelemahan adalah hilangnya sebagian fungsi otot untuk satu atau
lebih kelompok otot yang dapat menyebabkan gangguan mobilitas ba
ianyang terkena.
Kelemahan/kelumpuhan yang mengenai keempat anggotagerak
disebut dengan tetraparese. Hal ini diakibatkan oleh adanya kerusakan
otak,

kerusakan

tulang

belakang pada

tingkat

tertinggi

(khususnya pada vertebra cervikalis), kerusakan sistem saraf perifer,


kerusakan neuromuscular atau penyakitotot. kerusakan diketahui karena
adanya lesi yang menyebabkan hilangnya fungsimotorik pada keempat
anggota gerak, yaitu lengan dan tungkai. Penyebab khas pada kerusakan
ini adalah trauma (seperti tabrakan mobil, jatuh atau sport injury )atau
karena

penyakit

(seperti

mielitis

transversal,

polio,

atau

spina

bifida).Tetraparese berdasarkan topisnya dibagi menjadi dua, yaitu :


Tetraparesspastik yang terjadi karena kerusakan yang mengenai upper
motor neuron (UMN) ,sehingga menyebabkan peningkatan tonus otot atau
hipertoni dan tetrapareseflaksid yang terjadi karena kerusakan yang
mengenai lower motor neuron (LMN) ,sehingga menyebabkan penurunan
tonus atot atau hipotoni. Tetraparese dapatdisebabkan karena adanya
kerusakan

pada

susunan

dua tipe lesi, yaitu lesi komplit

neuromuskular,
dan

yaitu

inkomplit.

adanyalesi.

Lesi

komplit

Ada
dapat

menyebabkan kehilangan kontrol otot dan sensorik secara total dari bagian
dibawah lesi, sedangkan lesi inkomplit mungkin hanya terjadi kelumpuhan
ototringan (parese) dan atau mungkin kerusakan sensorik.
4. Area Brodman
Pembagian Area Brodman pada Otak

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 20

Dalam kuliah syaraf kita sering mendengar dengan istilah Area Brodman
yang setiap bagian mempunyai peranan dan bagian masing-masing pada
organ otak. Area Brodman ini sangat perlu kita ketahui karena setiap
kelainan yang terjadi pada tubuh dapat dipengaruhi oleh Area Brodman
ini. Area Brodmann adalah pembagian daerah pada bagian korteks otak
yang dibedakan atas dasar sel-sel saraf penyusun jaringannya
(sitoarsitekur).

Area Brodmann pertama kali disusun oleh Korbinian Brodmann dan area

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 21

tersebut diberi tanda dengan angka dari 1 hingga 52. Beberapa bagian
kemudian dibagi lagi sehingga terdapat area "23a" dan "23b". Angka
daerah yang sama pada spesies yang berbeda tidak menunjukkan area yang
homolog pada struktur otaknya.
Area Brodmann pada otak manusia terdiri atas:
1, 2, dan 3 - Korteks Somatosensorik (sering disebut area 3, 1, 2).
4 - Korteks Motorik Primer
5 - Korteks Asosiasi Somatosensorik
6 - Korteks Pra-motorik dan Motorik Suplementaris
7 - Korteks Asosiasi Somatosensorik
8 - Daerah Mata Frontal
9 - Korteks Prafrontal Dorsolateralis
10 - Area Frontopolar
11 - Area Orbitofrontal
12 - Area Orbitofrontal (sering disebut area 11A)
13 - Korteks Insularis
17 - Korteks Visual Primer
18 - Korteks Asosiasi Visual
19 - Korteks Asosiasi Visual
20 - Gyrus Temporalis Inferior
21 - Gyrus Temporalis Media
22 - Gyrus Temporalis Superior
23 - Korteks Cinguli Posterior Ventral
24 - Korteks Cunguli Anterior Ventral
25 - Korteks Subgenualis
26 - Area Ektosplenialis
28 - Korteks Entorhinalis Posterior
29 - Koreks Cinguli Retrosplenialis
30 - Bagian dari korteks cinguli
31 - Korteks Cinguli Posterior Dorsal
32 - Korteks Cinguli Anterior Dorsal

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 22

34 - Korteks Entorhinalis Anterior


35 - Korteks Perirhinalis
36 - Korteks Parahippocampalis (di gyrus parahippocampal)
37 - Gyrus Fusiformis
38 - Area Temporopolar
39 - Gyrus Angularis (bagian dari Area Wernicke)
40 - Gyrus Supramarginalis (bagian dari Area Wernicke)
41, 42 - Korteks Asosiasi Primer dan Auditorius
43 - Area subcentral
44 - Pars Triangularis dari Area Broca
45 - Pars Opercularis dari Area Broca
46 - Korteks Prefrontalis Dorsolateral
47 - Gyrus Prefrontalis Inferior
48 - Area Retrosubicularis
52 - Area Parainsularis

5. Penyakit yang berhubungan dengan kesemutan


Kebanyakan orang pernah mengalami kesemutan kala duduk
bersila terlalu lama atau tertidur dengan tangan tertindih kepala. Kondisi

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 23

ini juga terjadi saat tekanan itu berlanjut tepat pada saraf. Namun,
kesemutan akan hilang bila tekanan sudah tidak ada lagi.
Kesemutan juga bisa menjadi indikasi dari banyak penyakit, seperti
diabetes melitus, hipertensi, saraf terjepit, gangguan aliran darah pada
pembuluh darah tepi, maupun gangguan darah. Ada kalanya pada mereka
yang belum diketahui mengidap diabetes, kesemutan dapat menjadi gejala
awal diketahuinya diabetes.
Paresthesia atau kesemutan kronis sering merupakan simtom dari
penyakit neurologis atau trauma kerusakan saraf. Penyebabnya adalah
gangguan yang memengaruhi sistem saraf pusat seperti stroke dan stroke
mini, multiple sklerosis, mielitis transversa, dan ensefalitis.
Tumor maupun lesi vaskular yang menekan otak atau sumsum tulang juga
bisa menimbulkan paresthesia. Sindrom saraf seperti sindrom saluran
carpal (CTS) bisa merusak saraf perifer dan menyebabkan paresthesia
diiringi rasa nyeri.
Berikut ini sejumlah penyakit yang ditandai oleh gejala kesemutan.
1. Diabetes melitus (DM)
Pada pasien DM, kesemutan merupakan gejala kerusakan pada
pembuluh darah. Akibatnya, darah yang mengalir di ujung-ujung saraf
berkurang. Kondisi ini dapat diatasi dengan mengendalikan kadar gula
darah secara ketat, juga mengonsumsi obat seperti gabapentin, vitamin B1
dan B12.
2. Stroke
Kesemutan dapat jadi tanda stroke ringan. Biasanya disebabkan
sumbatan pada pembuluh darah di otak, yang mengakibatkan kerusakan
saraf setempat. Gejala lain yang muncul: rasa kebas separuh badan,
lumpuh separuh badan, buta sebelah mata, sukar bicara, pusing,
penglihatan ganda dan kabur. Gejala berlangsung beberapa menit atau

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 24

kurang dari 24 jam. Biasanya terjadi waktu tidur atau baru bangun.
Kondisi ini harus ditangani karena bisa berkembang menjadi stroke berat.
3. Penyakit jantung
Kesemutan tak hanya akibat neuropati tekanan, tetapi karena
komplikasi jantung dengan sarafnya. Pada pasien jantung yang sedang
menjalani operasi pemasangan klep, terdapat bekuan darah yang
menempel. Bekuan itu bisa terbawa aliran darah ke otak, sehingga terjadi
serebral embolik. Bila sumbatan di otak mengenai daerah yang mengatur
sistem sensorik, si penderita akan merasakan kesemutan sebelah. Jika
daerah yang mengatur sistem motorik juga terkena, kesemutan akan
disertai kelumpuhan.

4. Infeksi tulang belakang


Ini menyebabkan bagian tubuh dari pusar ke bawah tak dapat
digerakkan. Penderita tak dapat mengontrol buang air kecil. Buang air
besar pun sulit. Penyakit ini dinamakan mielitis (radang sumsum tulang
belakang). Tingkat kesembuhan tergantung pada kerusakannya. Bisa
sembuh sebagian, tetapi ada juga yang lumpuh.
5. Rematik
Penyakit ini bisa menimbulkan kesemutan atau rasa tebal. Dalam
hal ini saraf terjepit akibat sendi pada engsel, misalnya sendi pergelangan
tangan, berubah bentuk. Gejala kesemutan biasanya hilang sendiri bila
rematik sembuh.
6. Spasmofilia (tetani)
Gejala kesemutan juga bisa merupakan tanda penyakit spasmofilia
(tetani). Penyakit ini timbul karena kadar ion kalsium dalam darah
berkurang. Penyebabnya adalah menurunnya tegangan karbondioksida

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 25

dalam paru-paru. Gejala lain : kejang pada tungkai, sulit tidur, emosi labil,
takut, lemah, sakit kepala sebelah atau migrain, dan hilang kesadaran.
7. Guillain-barre syndrome
Kesemutan bisa jadi salah satu indikasi penyakit ini. Ditandai
gejala demam tinggi, batuk, dan sesak napas. Juga diikuti rasa kesemutan
dan kebas. Kesemutan biasanya terasa di sekujur tubuh, khususnya pada
ujung jari kaki dan tangan karena virus menyerang sistem saraf tepi.
Bila keadaan itu tidak segera diatasi, serangan akan berlanjut ke organ
vital. Akibatnya, penderita merasa sesak napas dan lumpuh di seluruh
tubuh.

8. Cytomegalovirus (CMV)
Ada kesemutan yang didahului flu berat. Kesemutan akan
menghebat mulai dari ujung jari, menjalar hingga ke pusar. Penderita bisa
hanya merasa kebas atau sampai sulit berjalan, berarti sumsum tulang
belakang

kena

radang.

Ini

akibat

serangan

virus,

biasanya

cytomegalovirus.

6. Pengaruh rokok terhadap hipertensi dan kelumpuhan


Konsep Merokok

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 26

Pengertian Merokok
Merokok adalah menghisap gulungan tembakau yang dibungkus
dengan kertas (Kamus Besar Bahasa Indonesia,1990: 752)
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku merokok :
1 Teman
Berbagai fakta mengungkapkan bahwa semakin banyak teman
yang merokok maka semakin besar kemungkinan teman-temannya adalah
perokok juga dan demikian sebaliknya. Dan fakta tersebut ada dua
kemungkinan yang terjadi, pertama terpengaruh oleh teman-temannya atau
bahkan teman-temannya itu terpengaruhi diri tersebut yang akhirnya
mereka semua menjadi merokok (Al Bachri,1991)

2 Kepribadian
Orang mencoba merokok karena alasan ingin tahu atau ingin
melepaskan diri dari rasa sakit fisik atau jiwa membebaskan diri dari
kebosanan.

3 Pengaruh iklan
Melihat iklan di media massa dan elektronik yang menampilkan
gambaran bahwa perokok adalah lambang dari kejantanan membuat
seseorang sering kali terpicu untuk mengikuti perilaku seperti yang ada

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 27

dalam iklan tersebut (Mari Juniarti, Buletin RSKo, Tahun IX, 1991).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di England, 120.000 orang
meninggal akibat merokok setiap tahunnya. Dan semakin muda seseorang
mulai merokok, maka semakin besar pula kemungkinan mereka mendapat
masalah kesehatan dihari berikutnya.
Akibat negatif rokok, sesungguhnya sudah mulai terasa pada
waktu orang baru mulai menghisap rokok. Dalam asap rokok yang
membara karena dihisap, tembakau terbakar kurang sempurna sehingga
menghasilkan karbon monooksida, yang disamping asapnya sendiri, tar
dan nekotin ( yang terjadi dari pembakaran tembakau tersebut ) dihirup
masuk kejalan napas. Karbon monooksida, tar, nikotin berpengaruh
terhadap syaraf yang menyebabkan: Gelisah, tangan gemetar ( termor ),
cita rasa atau selera makan kurang, ibu-ibu hamil yang merokok dapat
kemungkinan keguguran kandungan.
Tar dan asap rokok dapat juga merangsang jalan napas, dan
tertimbun didalamnya sehingga menyebabkan: Batuk-batuk atau sesak
napas, kanker jalan napas, lidah, dan bibir. Nikotin merangsang
bangkitnya adrenalin hormon dari anak ginjal yang menyebabkan: Jantung
berdebar-debar, meningkatkan tekanan darah serta kadar kolesterol dalam
darah. Gas karbon monoksida juga berpengaruh negatif terhadap jalan
napas. Karbon monoksida lebih mudah terikat pada hemoglobin dari pada
oksigen. Oleh karena itu, darah yang kemasukan karbon monooksida
banyak, akan berkurang daya angkutnya bagi oksigen dan orang dapat
meninggal dunia karena keracunan karbon monoksida. Pada seorang
perokok tidak akan sampai terjadi keracunan karbon monoksida, namun
pengaruh karbon monoksida yang dihirup oleh perokok dengan sedikit
demi sedikit, dengan lambat akan berpengaruh negatif pada jalan napas
dan pembuluh darah ( hhtp: www. Astaga. Com. )
Penyakit yang ada hubungannya dengan merokok adalah penyakit
yang diakibatkan langsung oleh merokok atau yang diperburuk

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 28

keadaannya karena orang itu merokok. Penyakit menyebabkan kematian


para perokok adalah: penyakit jantung koroner. Penyakit jantung koroner
adalah penyakit yang sangat berbahaya dibanding penyakit kanker paru.
Setiap tahun kira-kira 40.000 orang di Inggris yang berusia dibawa 65
tahun meninggal karena serangan jantung dan sekitar tiga perempat dari
kematian ini disebabkan faktor merokok.
Penelitian terhadap kebiasaan merokok para dokter menunjukkan
bahwa perokok berat dibawa usia 45 tahun mempunyai resiko 15 kali lebih
besar menderita serangan jantung yang akan membunuh mereka dari pada
orang yang berusia sama tetapi tidak merokok, trombosis koroner.
Trombosis koroner atau serangan jantung terjadi bilamana bekuan darah
menutup salah satu pembuluh darah yang memasok jantung. Akibatnya,
jantung kekurangan darah dan kadang-kadang menghentikannya sama
sekali. Merokok membuat darah orang itu menjadi lengket dan mudah
membeku. Nikotin juga mengganggu irama jantung yang wajar dan
teratur. Itulah sebabnya kematian yang secara tiba-tiba akibat serangan
jantung tanpa peringatan lebih dulu lebih sering terjadi pada orang yang
merokok dari pada tidak merokok.
Kanker.Kanker adalah penyakit yang sel-sel di beberapa bagian
tubuh tumbuh mengganda secara tiba-tiba dan tidak berhenti. Tidak
seorangpun mengetahui secara pasti bagaimana pertumbuhan tiba-tiba
menjadi ganas. Namun, kita mengetahui bahwa jika sel-sel dibagian tubuh
terangsang oleh substansi tertentu selama jangka waktu yang lama,
penyakit kanker mulai terjadi. Substsnsi ini dikenal bersifat karsinogenik,
yang berarti menghasilkan sel kanker. Dalam tar tembakau juga terdapat
sejumlah bahan kimia yang bersifat karsinogenik. Karena tar tembakau
sebagian besar terjadi di paru-paru, maka kanker paru adalah jenis kanker
yang umum disebabkan oleh merokok. Tar tembakau dapat menyebabkan
kanker bilamana ia merangsang untuk waktu yang lama, misalnya
didaerah mulut dan tenggorokan. Penyakit paru merupakan salah satu
penyakit yang sulit disembuhkan. Fakta mengejutkan setiap 25 menit,

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 29

yang meninggal di Inggris akibat kanker paru dan sembilan dari sepuluh
diantaranya adalah perokok, bronkitis. Bronkitis adalah penyakit yang
ditandai dengan batuk-batuk karena paru-paru dan alur udara tidak mampu
melepaskan mukus yang terdapat didalamnya secara normal. Mukus
adalah cairan lengket yang terdapat dalam tabung halus, yang disebut
tabung

bronkial

yang

terletak

didalam

paru-paru.

Pernyataan Leonard (1992) yaitu bahwa: walaupun kita tidak menuliskan


merokok sebagai penyebab utama tekanan darah tidak perlu diragukan
bahwa bobot bukti klinis dan laboratorium menentang kebiasan itu karena
merupakan satu faktor penyokong bagi timbulnya tekanan darah tinggi.

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 30

7. Pemeriksaan, pencegahan dan prognosis kelumpuhan

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Evaluasi sistem saraf dimulai saat kontak pertama pemeriksa dengan
pasien, ketika pasien belum "diperiksa" secara formal. Bukti kemampuan
fungsional pasien pada saat ini harus dibandingkan dengan fungsi yang tercetus
selama pemeriksaan fisik formal. Pemeriksaan neurologik, yang terdiri atas anamnesis, rangkuman gejala pasien, dan pembahasan mengenai keluhan yang
terkait atau serupa pada anggota keluarga pasien, akan memfokuskan pemi-kiran
pemeriksa, mengarahkan pemeriksaan fisik, dan menjadi kunci penegakan
diagnosis. Hubungan erat antara gejala neurologik dan gejala penyakit medis
lainnya (misal, diabetes melitus, hipoksemia berat, hipertensi, penyakit tiroid)
memerlukan

evaluasi

medis

yang

lengkap,

walaupun

gejala

pasien

mengesankan adanya masalah neurologis. Apabila terdapat penyakit sekunder


reversibel yang menyebabkan gejala neurologis, keadaan itu awalnya harus diobati
dan hasilnya dievaluasi sebelum mengarahkan pasien pada pemeriksaan
neurologis yang invasif dan mahal dalam pencarian neuropatologi organik.
Misalnya, status neurologis seorang berusia tua (sensorium, koordinasi,
kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik) dapat mengalami gangguan
nyata akibat penyakit akut yang dapat diobati seperti pneumonia atau infeksi
saluran kemih. (Price, 2007)
Pemeriksaan neurologis dipusatkan pada pemikiran mengapa penderita
sampai mencari bantuan medis. Informasi ini harus diperoleh dan dicatat dengan
memakai kata-kata pasien sendiri, bukan dengan istilah diagnostik. Pembahasan
rinci mengenai pemeriksaan neurologis tidak akan dibahas dalam buku ini, sebab
pembahasan semacam itu banyak ditemukan dalam buku teks standar
neurologi. Penjelasan tentang pemeriksaan neurologis dalam buku ini hanya
akan dibahas secara ringkas untuk membantu kita mengulang beberapa hal
penting. (Price, 2007)

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 31

Informasi yang penting mencakup riwayat medis sebelumnya, riwayat sosial,


riwayat keluarga, dan awitan timbulnya gejala. Bila ada, penting juga
menanyakan tentang penyakit apa saja yang pernah dialami penderita pada
organ-organ besar dalam tubuhnya. Penderita diminta memberikan keterangan
perihal rasa pusing, sakit kepala, gangguan peng-lihatan, gangguan kandung
kemih atau usus, rasa lemah, rasa baal dan nyeri. Ketika melakukan anamnesis,
perhatikan juga tingkah laku, sikap, penam-pilan, kemampuan penderita untuk
menjawab pertanyaan, serta kemampuan untuk memusatkan pikiran. Setelah
bagian pemeriksaan ini diperoleh lengkap, dokter dapat mencari dukungan
terhadap dugaan dan temuan yang abnormal dengan meminta pasien melakukan
pemeriksaan dan tes diagnostik lanjutan. Pada beberapa kasus gangguan
neurologis (migren,

neuralgia

trigeminal),

diagnosis

ditegakkan

hanya

berdasarkan pada anamnesis karena tidak ditemukan temuan fisik yang


bermakna. (Price, 2007)
Pengaturan pemeriksaan neurologis sangat penting. Mengikuti suatu
urutan pemeriksaan tertentu membuat dokter dapat mengevaluasi informasi yang
ada dan langsung memeriksa segmen selanjutnya yang belum diperiksa. Urutan
pemeriksaan ini mencakup evaluasi enam elemen utama: (1) status mental dengan
ketujuh komponennya, (2) kepala dan leher termasuk saraf kranial, (3) fungsi
motorik, (4 fungsi sensorik, (5) refleks regangan otot, (6) refleks khusus (misal,
plantaris dan glabela). Informasi dan setiap segmen pemeriksaan dikaitkan dengan
informasi yang didapat sebelumnya sehingga menuntun pada letak proses
penyakit. (Price, 2007)

A. Pemeriksaan Status dan Fungsi Mental


Secara umum, bagian pemeriksaan fungsi dan status mental mengevaluasi
fungsi korteks yang lebih tinggi termasuk kemampuan untuk memberikan alasan,
menggunakan abstraksi, membuat rencana, dan memberikan penilaian.
Pemeriksaan bicara lebih bergantung pada modalitas daripada fungsi korteks
yang lebih tinggi; tetapi karena berhubungan erat dengan pemeriksaan bahasa,
maka akan dimasukkan dalam pembahasan mengenai pemeriksaan status mental

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 32

yang terperinci. Perubahan perilaku dan kepribadian dapat berkaitan dengan


disfungsi otak organik; oleh karena itu, perubahan ini perlu dicetuskan dari pasien
atau keluarga pasien. Dalam mengevaluasi status mental pasien, pemeriksa
harus mengetahui status sosial ekonomi, etnis, dan pendidikan pasien.
Pengetahuan umum dan intelektual dapat dievaluasi dengan meminta pasien
menyebutkan enam negara atau sungai besar utama. Kemampuan pasien untuk
mengingat kejadian di masa lalu dapat dievaluasi dengan menanyakan
mengenai masa lalu pancjsien, tetapi hal ini sulit dinilai. Menyuruh pasien
mengulang sedikitnya enacdgtm digit dapat menilai daya ingat jangka pendek
pasien. Individu normal dapat mengingat dan mengulang tujuh digit ke depan dan
empat digit ke belakang. Informasi yang penting diperoleh dengan mengevaluasi
kemampuan pasien untuk meringkas pemikiran dan menyamaratakan pernyataan
yang konkret. Meminta pasien menginterpretasikan ungkapan yang lazim
(misal, "ada gula ada semut") merupakan metode yang sering digunakan.
(Price, 2007)

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 33

B. Tingkat Kesadaran
Evaluasi tingkat kesadaran (level of consciousness, LOC) merupakan bagian
penting proses pemeriksaan neurologis yang harus dilakukan secara cermat,
dengan tingkat ketelitian yang tinggi. Kini terdapat berbagai metode
penggolongan LOC penderita, masing-masing dengan cara yang berbeda tetapi
dengan istilah yang serupa. Apapun metode yang digunakan, kriteria yang
terpenting adalah adanya konsistensi serta pemahaman penuh terhadap semua
terminologi yang digunakan. Lebih baik menggambarkan tingkah laku dan respons
penderita dengan lengkap, daripada menggunakan istilah yang kurang rinci dan
terlalu luas jangkauannya, misalnya letargi atau stupor. Tabel 51-1 memuat
beberapa istilah yang digunakan untuk menyatakan LOC, dan gambaran tingkah
laku yang berhubungan dengan istilah-istilah tersebut. (Price, 2007)

C. Fungsi Serebral
Pengetahuan mengenai fungsi setiap lobus serebral dan gejala-gejala yang
ditimbulkannya akan mem-bantu dokter dalam memastikan defisit neurologis
yang dialami penderita. Dilakukan pengamatan ketat mengenai masalah
neurologik pasien selama pemeriksaan neurologik. Selama pemeriksaan
neurologis lakukanlah pengamatan kelainan neurologis yang dialami penderita.
Tabel 51-2 memuat daftar lobus serebral dan beberapa fungsinya yang telah
diketahui. (Price, 2007)

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 34

D. Pemeriksaan Bahasa dan Bicara


Salah satu fungsi terpenting hemisfer dominan adalah bicara. Hemisfer
kiri merupakan bagian dominan untuk bicara pada mereka yang menggunakan
tangan kanannya (kinan) dan pada sebagian besar orang kidal. Ada tiga
gangguan bicara yang disebabkan gangguan neurologisdisartria, disfonia, dan
afasia. (Price, 2007)
Disartria merupakan gangguan artikulasi, enumerasi, dan irama bicara
akibat melemahnya otot-otot bicara. Kelainan ini biasanya terdeteksi saat berbicara
dengan penderita tetapi dapat dipastikan dengan meminta penderita menirukan
kata atau ungkapan yang sulit seperti "metodis episkopal." Kelemahan otot ini
dapat disebabkan oleh sklerosis amiotropik lateral, paralisis pseudobulbar, atau
miastenia gravis. (Price, 2007)
Disfonia merupakan gangguan vokalisasi sehingga suara terdengar parau.
Gangguan ini dapat dipastikan dengan meminta penderita mengvicapkan "E" yang
akan menghasilkan suara parau atau kasar, dan dengan laringoskopi indirek.
Disfonia dapat disebabkan oleh berbagai penyebab non-neurologis. Penyebab
neurologis adalah cedera saraf rekuren laringeus dan tumor batang otak. (Price,
2007)
Afasia merupakan istilah umum yang menyatakan hilangnya kemampuan
untuk memahami, mengeluarkan, dan menyatakan konsep bicara. Afasia
motorik adalah hilangnya kemampuan untuk menyatakan pemikiran dalam
percakapan ataupun tulisan, dan afasia sensorik adalah hilangnya kemampuan
untuk memahami bahasa percakapan atau bahasa tulisan. Keadaan ini dapat
dievaluasi dengan menyuruh penderita melakukan tugas tertentu dengan perintah
lisan atau tulisan seperti, "Lipat kertas ini" dan "Tulis nama Anda". Penyebab
tersering afasia adalah gangguan serebrovaskular yang mengenai arteria serebri
media (yang mendarahi pusat bahasa dan bicara). (Price, 2007)
E. Pemeriksaan Saraf Kranial

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 35

Terdapat duabelas pasang saraf kranial yang keluar dari permukaan bawah
otak melalui foramina kecil. Saraf kranial diberi nomor sesuai dengan urutan
keluarnya, yaitu dari depan ke belakang. (Price, 2007)
Saraf kranial terdiri dari serabut aferen atau eferen, dan beberapa memiliki
kedua serabut tersebut dan dikenal dengan nama serabut campuran. Badan sel
serabut aferen terdapat pada ganglia di luar batang otak, sedangkan badan sel
serabut eferen terdapat pada nuklei batang otak. (Price, 2007)
Saraf-saraf kranial tidak diperiksa menurut urutannya, tetapi diperiksa
menurut fungsinya. Berikut ini dapat membantu menghapalkan fungsi saraf
kranial sebagai motorik (M), sensorik (S), atau keduanya (B): Some(I) Say(II)
Marry(lll) Money(W), But(V) My(VI) Brother(VU) Say(VIII)

Bad(lX)

Bussiness(X) Marry(XT) Money(XII). Cara pemeriksaan saraf kranial dan


beberapa keterlibatan dalam pato-fisiologinya dibahas dalam bagian berikutnya.
(Price, 2007)
a. Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I)
Nervus olf aktorius

menuju otak dan kemudian diolah lebih lanjut.

Dengan mata ter-tutup dan pada saat yang sama satu lubang hidung ditutup,
penderita diminta membedakan zat aromatis lemah seperti vanila, eau de cologne,
dan cengkeh. Jika dicurigai ada lesi fossa anterior, pasien harus diuji
penghidunya pada masing-masing lubang I hidung, kemudian ditentukan
apakah dapat mem-bedakan bau. Pasien diminta untuk menunjukkan saat
deteksi pertama bau dan jika mungkin meng-identifikasi zat tersebut. Persepsi
bau lebih penting daripada identifikasi bahan yang benar. (Price, 2007)
Penyakit pada hidung (misal, sinusitis, alergi, dan infeksi saluran
pernapasan atas) merupakan penye-bab tersering hilangnya kemampuan
menghidu. Tumor pada sulkus olfaktorius (meningioma pada sulkus olfaktorius)
merupakan penyebab neurologis hilangnya penghiduan. Sumbatan hidung harus
di-hilangkan menggunakan dekongestan nasal sebelum pemeriksaan. (Price, 2007)

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 36

Anosmia dapat juga timbul setelah meningitis, perdarahan subaraknoid,


atau cedera kepala yang mengenai serabut-serabut saraf sewaktu serabut
tersebut melalui Ian iina kribrosa. (Price, 2007)
b. Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Nervus optikus menghantarkan impuls dari retina menuju kiasma
optikum, kemudian melalui traktus optikus menuju korteks oksipitalis untuk
dikenali dan diinterpretasikan. Saraf ini dapat diperiksa dengan tes ketajaman
penglihatan dengan menggunakan tes Snellen. Kalau tes ini tidak tersedia, penderita diminta membaca berbagai ukuran huruf pada surat kabar. Menurunnya
ketajaman penglihatan biasanya disebabkan oleh penyakit pada mata, nervus
optikus, atau kiasma optikum. Pemeriksaan lapangan pandang penglihatan
dapat memberi informasi tentang saraf optikus dan lintasan pengli-hatan mulai
dari mata hingga korteks oksipitalis. Untuk tujuan yang umum sebagai bagian
dari peme-riksaan neurologis, lapang pandang dapat diperiksa secara konfrontasi
dengan meminta penderita untuk menutup salah satu matanya. Pemeriksa duduk
tepat di depan penderita yang diminta untuk melihat lurus ke depan. Sebuah pensil
atau jari digerakkan mema-suki lapangan pandang mata yang tidak tertutup,
tindakan ini dilakukan dari empat arah. Penderita diminta untuk menyebutkan
kapan pensil atau jari mulai tampak memasuki lapang pandang. Metode ini hanya
merupakan alat skrining yang kasar. Untuk penilaian yang lebih seksama
digunakan perimeter dan layar tangen. (Price, 2007)
Diskus nervi optici dapat dilihat menggunakan oftalmoskop. Secara
neurologis, dua hal yang paling sering ditemukan adalah papil edema dan atrofi
ner-vus optikus. Perubahan pada papila terjadi pada rumor, infeksi, dan trauma.
Perubahan lain yang dapat dilihat adalah eksudat, perdarahan, dan kelainan
arteriovenosa yang berhubungan dengan diabetes dan hipertensi. (Price, 2007)
c. Nervus Okulomotorius, Troklearis, dan Abdusens (Nervus Kranialis III, IV, dan
VI)
Ketiga

saraf

ini

diperiksa

bersamaan,

karena

ketiga-nyabekerja

samamengatur otot-otot ekstraokular (ex-traocular muscles, EOM). Selain itu, saraf

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 37

okulomotorius juga berfungsi mengangkat kelopak mata atas dan mempersarafi


otot konstriktor yang meng-ubah ukuran pupil. Persarafan EOM diperiksa
dengan menyuruh penderita mengikuti gerakan tangan atau pensil dengan mata
bergerak ke atas, ke bawah, medial, dan lateral. Kelemahan otot diketahui bila mata
tidak dapat mengikuti gerakan pada arah tertentu. (Price, 2007)
Pupil diperiksa dengan cahaya agak redup dan harus sama bulat dan
sama besarnya, meskipun sekitar 20-25 persen pupil manusia memang tidak
sama ukurannya (anisokor). Namun perbedaan ini jarang melebihi 1 mm. Kedua
pupil harus bereaksi secara langsung dan konsensual terhadap cahaya. (Price,
2007)
Pupil perlu dicatat ukurannya dalam satuan milimeter (mm), untuk
menjamin status neurologis penderita dengan teliti. Tindakan ini penting untuk
evaluasi penderita yang baru mengalami cedera kepala. (Price, 2007)

Nukleus nervus okulomotorius dan troklearis terletak pada mesensefalon.


Nuklei nervus abdusens terletak di dasar ventrikel keempat pada bagian bawah
pons, dan letaknya dekat dengan serabut-serabut nukleus nervus fasialis. (Price,
2007)
Miastenia gravis merupakan penyebab penting kelemahan p'ada lebih dari
satu otot dan ptosis. Sindrom Horner terdiri dari ptosis kelopak mata, konstriksi
pupil, dan bagian wajah yang sama tidak dapat mengeluarkan keringat. Hal ini
mungkin disebabkan oleh lesi vaskular di batang otak, cedera dan tumor di daerah
servikal medula spinalis, trauma yang mengenai serabut simpatis pada leher, atau
mungkin merupakan efek samping sementara dari angiografi serebral. (Price,
2007)

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 38

Nistagmus horisontal (mata bergoyang cepat ke arah lateral), merupakan tanda


neurologis yang penting. Keadaan ini biasanya terlihat bila orang melirik ke arah
lateral secara berlebih. Nistagmus dapat terjadi pada sembarang arah dan dapat
bersifat unilateral atau bilateral. Penyebab neurologis adalah skerosis multipel,
lesi pada salah satu hemisferium serebeli, dan tumor pada salah satu sisi otak.
Penyebab non-neurologis antara lain penggunaan barbiturat dan obat-obat
penenang. (Price, 2007)
d. Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)
Nervus trigeminus membawa serabut motorik mau-pun sensorik dan
memberi persarafan ke otot tempo-ralis dan maseter, yang merupakan otot-otot
pengunyah. Bagian motorik saraf ini diperiksa dengan meminta penderita
mengatupkan gigi dan menggerakkan rahang ke samping sementara peme-riksa
meraba otot dan menilai kekuatan kontraksinya. (Price, 2007)
Serabut-serabut sensorik saraf trigeminus dibagi menjadi tiga cabang
utama: nervus oftalmikus, maksi-laris, dan mandibularis (Gbr. 51^1). Untuk menilai
daerah sensorik yang hilang, masing-masing daerah diperiksa dengan meminta
penderita berespons terhadap sentuhan kapas. Refleks kornea diperiksa pada
setiap matasepotong kapas yang ujungnya dibuat runcing disentuhkan pada
kornea, sehingga penderita akan mengedipkan mata. (Price, 2007)
Tumor pada bagian fosa posterior menyebabkan hilangnya refleks kornea,
dan rasa baal pada wajah sebagai tanda-tanda dini. Gangguan nervus trigeminus
yang paling nyata adalah neuralgia trigeminal atau tic douloureux, yang
menyebabkan nyeri singkat dan hebat sepanjang percabangan saraf maksilaris dan
mandibularis dari nervus trigeminus. Miastenia gravis dan sklerosis amiotropik
lateral dapat menyebabkan kelemahan otot-otot pengunyah, dan cepat "elah
sehingga menyebabkan kesulitan mengunyah, bahkan terkadang tak dapat
mengunyah sama sekali. (Price, 2007)
e. Nervus Fasialis (Nervus Kranialis VII)
Saraf ini mempunyai fungsi sensorik maupun fungsi jtorik. Saraf ini
membawa serabut sensorik yang lantar persepsi pengecapan bagian anterior ,

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 39

dan serabut motorik yang mempersarafi semua lekspresi wajah, termasuk


tersenyum, mengerutkan dahi, dan menyeringai. Bagian motorik nervus fasialis
dapat dinilai dengan menyuruh penderita melakukan berbagai gerakan wajah
dan memperhatikan cara bicara penderita. Kelemahan otot wajah akan tampak
karena timbulnya lipatan nasolabial mendatar, salah satu sisi mulut turun ke
bawah dan penurunan kelopak mata bawah. Sensasi pengecapan dapat dinilai
dengan meminta penderita membedakan rasa manis, asam, dan asin yang
dioleskan pada lidahnya. Nervus kranialis IX, saraf glosofaringeus membawa
rasa pahit. Rasa pahit hanya dapat diterima oleh bagian posterior lidah saja.
Kenyataan ini penting diingat saat memeriksa sensasi rasa pahit. (Price, 2007)
Nukleus nervus fasialis terletak di bagian lateral bawah pons sehingga
lesi di daerah batang otak sering menimbulkan disfungsi nervus fasialis. Nervus
fasialis masuk ke tulang temporal dan letaknya dekat dengan telinga tengah
sehingga saraf ini mudah terkena trauma fraktur dasar tengkorak dan tulang
temporal akibat pembedahan atau akibat penyakit-penyakit telinga. Gangguan
lain yang dapat mengakibatkan kelemahan saraf fasialis adalah miastenia gravis
dan sindrom Guillain-Barre. Bell's palsy merupakan paralisis saraf (CN VII) yang
paling sering ditemukan. (Price, 2007)
f. Nervus Vestibulokoklearis (Nervus Kranialis VIII)
Saraf vestibulokoklearis berfungsi mempertahankan keseimbangan dan
menghantarkan
Mempertahankan

impuls

yang

keseimbangan

me-mungkinkan
merupakan

seseorang

fungsi

bagian

mendengar.
vesti-bularis,

sedangkan bagian koklearis memperantarai pendengaran. Bagian koklearis


dapat diperiksa dengan memperhatikan kemampuan penderita mendengar bisikan
dari jarak sekitar 2 kaki. Cara pemerik-saan lain dilakukan dengan menggunakan
garpu tala, yang dapat membedakan tuli hantaran dan tuli saraf. Orang dengan
pendengaran normal akan mendengar suara garpu tala yang ditempatkan di garis
tengah kepala atau garis tengah dahi, sama kerasnya pada kedua telinga. Selain itu,
suara garpu tala lebih baik terdengar melalui hantaran udara dibandingkan dengan
hantaran tulang. Dalam keadaan normal garpu tala terdengar dua kali lebih
lama melalui hantaran udara. Dua tes pendengaran dengan garpu tala adalah tes

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 40

Rinne dan Weber. Pada tes Rinne, garpu tala yang bergetar ditempelkan pada
prosesus mastoideus; bila penderita memberi isyarat bahwa getaran itu sudah
tidak terdengar lagi, maka garpu tala dipindahkan di dekat telinga. Kalau
penderita sekarang dapat mendengar lagi suara getaran, cabang oftalmikus
Digastrikus

Milohioide hantaran udara (AC) lebih baik dari hantaran tulang

(BC). Keadaan ininormal dan disebut Rinne "positif." Rinne "negatif" adalah
petunjuk bahwa penderita mengalami tuli hantaran karena penyakit telinga
tengah. Tes Weber dilakukan dengan menempatkan garpu tala yarig bergetar di
atas kepala, dahi, afau pada gigi depan atas. Penderita diminta untuk menye-butkan
telinga mana yang mendengar suara paling keras. Dalam keadaan normal suara
akan terdengar sama keras baik pada telinga kiri maupun kanan. Bila suara
terdengar lebih keras pada salah satu sisi, mungkin menunjukkan adanya
ketulian. Bila penderita mengalami tuli hantaran, suara terdengar lebih jelas pada
telinga yang tuli, sedangkan pada tuli saraf suara terdengar lebih jelas pada telinga
yang sehat. Bila ditemukan kelainan, harus dilakukan pemerik-saan auiiometri
lengkap.

Disfungsi

akut

bagian

vestibularis

saraf

vesti-bulokoklearis

bermanifestasi sebagai vertigo, mual, muntah dan ataksia. Skrining untuk


mengetahui gangguan ini dilakukan dengan tes kalori dingin (tes refleks
okulovestibularis). Tes ini dilakukan dengan posisi penderita menengadah. Pada
telinga dimasukkan air es (5 ml). Respons normal terhadap rangsang ini adalah
timbulnya nistagmus pada kedua mata, vertigo, mual dan muntah. Bila reaksinya
lemah atau tidak ada reaksi sama sekali, menunjukkan kelainan pada saraf
vestibularis. Pada pasien koma, uji tersebut dilakukan untuk menentukan apakah
batang otak intak. Dengan batang otak dan nervus vestibularis yang intak, mata
akan berdeviasi secara konjugat ke arah telinga yang diirigasi. Refleks negatif
biasanya menunjukkan disfungsi batang otak atau lesi yang mengenai otot
eksixaokular. Pada penyakit Meniere terjadi dilatasi saluran endolimf pada koklea
yang akhirnya menyebabkan atrofi mekanisme pendengaran sehingga penderita
mengalami vertigo, tinitus, dan tuli pada telinga yang terserang. (Price, 2007)
Saraf vestibulokoklearis meninggalkan batang otak dan berjalan
bersama dengan saraf fasialis. Seperti saraf fasialis, saraf ini juga mudah
mengalami kerusakan akibat fraktur dasar tengkorak dan tulang temporal.

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 41

Kerusakan saraf ini juga dapat terjadi akibat sumbatan vaskular dan tumor
batang otak. (Price, 2007)
g. Nervus Glosofaringeus dan Nervus Vagus (Nervus Kranialis IX dan X)
Nervus glosofaringeus dan nervus vagus berhubung-an erat secara anatomi
dan fisiologi serta diperiksa >ecara bersamaan. Nervus glosofaringeus memiliki
ragian sensorik yang menghantarkan pengecapan ragian posterior lidah,
mempersarafi sinus karotikus dan korpus karotikus, serta memberi sensasi faring.
Bagian motorik mempersarafi dinding posterior faring. Nervus vagus
mempersarafi semua visera toraks dan abdomen dan menghantarkan impuls dari
dinding usus, jantung, dan paru. Secara klinis tidak mungkin dilakukan
pemeriksaan semua fungsi ini; oieh karena itu penilaian nervus vagus ditujukan
pada evaluasi fungsi motorik palatum, faring, dan laring. (Price, 2007)
Langkah pertama evaluasi nervus glosofaringeus dan nervus vagus adalah
pemeriksaan palatum mole. Palatum mole harus simetris dan tidak berdeviasi ke
jatu sisi. Bila penderita mengucapkan kata "ah", palatum mole harus terangkat
secara simetris. Jika hendak menimbulkan refleks muntah, sentuh dinding
posterior faring sehingga palatum akan terangkat dan lot-otot faring berkontraksi.
Refleks menelan penderita diperiksa dengan memperhatikan reaksi penderita
waktu minum segelas air. Diperhatikan apakah penderita kesulitan menelan
atau apakah terjadi rcgurgitasi cairan melalui hidung yang merupakan petunjuk
adanya kelemahan palatum mole dan ketidakmampuan menu tup nasof aring waktu
menelan. laringoskopi indirek dilakukan bila penderita mengeluh gangguan suara
atau suara parau. Pita suara dapat dilihat apakah terjadi paresis atau lesi. Lesi
bilateral dapat menyebabkan gangguan menelan hebat dan gangguan
kemampuan mobilisasi sekret. (Price, 2007)
Nervus glosofaringeus dan nervus vagus meninggalkan tengkorak
melalui foramen jugulare bersama-sama dengan vena jugularis interna. OJeh karena
itu, trauma atau tumor di sekitar daerah ini akan merigenai struktur-struktur
tersebut. Nervus rekuren laringeus, suatu cabang nervus vagus yang mempersarafi
laring mudah mengalami cedera waktu pembedahan leher karena letaknya dekat

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 42

kelenjar tiroid. Sklerosis lateral amiotropik dan miastenia gravis sering


menyebabkan kelemahan otot-otot yang dipersarafi nervus glosofaringeus dan
nervus vagus. (Price, 2007)
h. Nervus Asesorius (Nervus Kranialis XI)
Nervus asesorius adalah nervus motorik yang mempersarafi otot
sternokleidomastoideus dan bagian atas otot trapezius. Otot-otot ini berfvingsi
melakukan fleksi leher. Otot sternokleidomastoideus berfungsi memutar kepala
ke samping dan otot trapezius memutar skapula bila lengan diangkat. (Price,
2007)
Fungsi saraf asesorius dinilai dengan memperhatikan adanya atrofi otot
sternokleido-mastoideus dan trapezius dan menilai kekuatan otot-otot tersebut.
Untuk menguji kekuatan otot sternokleidomastoideus, penderita diminta untuk
memutar kepala ke salah satu bahu dan berusaha melawan usaha peme-riksa
untuk menggerakkan kepala ke arah bahu yang berlawanan. Kekuatan otot
sternokleidomastoideus pada sisi yang berlawanan dapat dievaluasi dengan
mengulang tes ini pada sisi yang berlawanan. Otot trapezius dinilai dengan
meminta penderita meng-angkat bahu sementara pemeriksa berusaha menekan ke
bawah. Kemudian penderita diminta mengangkat kedua lengannya ke arah
vertikal. Penderita yang memiliki otot trapezius yang lemah tidak dapat
melakukan perintah tersebut. (Price, 2007)
Saraf asesorius terletak dekat dengan nervus glosofaringeus dan nervus
vagus. Tumor yang menyerang saraf-saraf ini seringkali memengaruhi nervus
asesorius juga. Badan sel nervus asesorius terletak di bagian atas medula
spinalis setinggi Cl sampai C5 dan mendapat persarafan dari kedua
hemisferium serebri. Lesi unilateral sedikit atau sama sekali tidak memengaruhi
kedua otot yang dipersarafi oleh saraf ini. Penyebab tersering disfungsi saraf
asesorius adalah cedera leher, dengan cedera lang-sung pada akson atau badan sel
nervus kranialis. (Price, 2007)
i. Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 43

Nervus hipoglosus mempersarafi otot-otot lidah. Fungsi lidah yang


normal sangat penting untuk fungsi bicara dan menelan. Kelemahan ringan
bilateral menyebabkan penderita mengalami kesulitan mengucapkan konsonan
dan menelan. Beberapa kelemahan bilateral yang hebat menyebabkan penderita
hampir tidak dapat berbicara dan menelan. (Price, 2007)
Pemeriksaan lidah mencakup ada tidaknya asimetris, deviasi ke satu
sisi, dan fasikulasi. Mula-mula pemeriksaan dilakukan dalam mulut dengan
lidah dalam keadaan istirahat, kemudian dilanjutkan dengan lidah terjulur.
Kekuatan otot dievaluasi dengan meminta penderita mendorong kedua pipi-nya
dengan lidah, sementara pemeriksa berusaha melawan gerakan ini dengan
menekan pipi penderita. (Price, 2007)
Nuklei nervus hipoglosus terletak dalam medula di bawah dasar
ventrikel keempat dan mendapat persarafan dari kedua hemisfer. Cedera leher
dapat menyebabkan kelemahan lidah unilateral disertai atrofi dan fasikulasi.
Tumor pada dasar fosa posterior dekat foramen magnum dapat mengakibatkan
para-lisis ipsilateral pada lidah. Sklerosis lateral amio-tropik dan miastenia
gravis dapat menyebabkan kelemahan bilateral. (Price, 2007)

F. Pemeriksaan Fungsi Motorik


Kinerja

motorik

bergantung

pada

otot

yang

utuh,

hubungan

neuromuskular yang fungsional, dan traktus nervus kranialis dan spinalis yang
utuh. Untuk dapat memahami bagaimana sistem saraf mengkoordinasi aktivitas
otot, pertama-tama kita harus dapat membedakan antara neuron motorik atas
(upper motor neuron, UMN) dan neuron motorik bawah (lower motor neuron, LMN).
(Price, 2007)
UMN berasal dari korteks serebri dan menjulur ke bawah, satu bagian
(traktus kortikobulbaris) berakhir pada batang otak sedangkan yang lainnya (traktus
kortikospinalis) menyilang bagian bawah medula oblongata dan terus turun ke
dalam medula spinalis. Nuklei nervus kranialis merupakan ujung akhir traktus

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 44

kortikobulbaris. Traktus kortikospinalis berakhir di daerah kornu anterior


medula spinalis servikal sampai sakral. Serabut-serabut kortikospinalis yang
melalui piramid medula oblongata membentuk traktus piramidalis. Serabutserabut saraf dalam traktus kortikospinalis merupakan penyalur gerakan voluntar,
terutama gerakan halus, disadari, dan mempunyai ciri tersendiri. (Price, 2007)
LMN mencakup sel-sel motorik nuklei nervus kranialis dan aksonnya
serta sel-sel kornu anterior medula spinalis dan aksonnya. Serabut-serabut
motorik keluar melalui radiks anterior atau motorik medula spinalis, dan
mempersarafi otot-otot. (Price, 2007)
Lesi pada UMN dan LMN menyebabkan perubahan-perubahan khas
pada respons otot. Pengetahuan mengenai perbedaan kelemahan otot akan
mempermudah menentukan letak lesi neurologis tersebut. (Price, 2007)
G. Coordinasi dan Gaya Berjalan (Gait)
Berbagai kerusakan sistem motorik pada tiap ting-katan dapat
mengganggu koprdinasi. Tanda yang paling jelas adalah tidak adanya
koordinasi gerakan

penderita,

gangguan

semacam

ini

secara

umum

menunjukkan adanya masalah pada fungsi serebelar dan interupsi traktus


kortikospinalis. Tes untuk mengetahui adanya gangguan koordinasi mencakup
jalan tandem (penderita disuruh berjalan pada satu garis dengan tumit
ditempelkan pada ujung jari kaki yang lain), kemampuan penderita untuk
meniru gerakan sederhana yang cepat (memukulkan telapak tangan dan
punggung tangan pada lutut secara bergantian), dan kemampuan penderita untuk
menem-patkan tumit kaki kanan pada lutut kiri kemudian menggeserkan tumit
kanannya tersebut ke bawah sepanjang bagian depan tungkai kiri, dan kemudian
lakukan juga secara sebaliknya. Gangguan serebelar menyebabkan gerakan ini
menjadi lambat, tidak ritmik, dan tidak akurat. (Price, 2007)
Gaya berjalan {gait) dapat dinilai dengan meminta penderita berjalan.
Harus diingat bahwa sebagian besar orang akan berjalan perlahan-lahan dan
hati-hati ketika sedang diamati, pemeriksa harus memper-hatikan ayunan lengan
yang berkurang, hemiplegia, rigiditas, hilangnya gerakan terkoordinasi, tremor,

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 45

dan/atau apraksia (langkah. lambat, diseret, ke-sulitan mengangkat kaki dari


lantai), atau kombinasi dari semua karakteristik ini. Penderita gangguan
serebelar berjalan dengan jarak kedua kaki relatif jauh dan cenderung sempoyongan
ke lateral. Gaya berjalan yang lambat, langkah kecil diseret, dan ayunan lengan
berkurang merupakan ciri khas penderita Parkinson. (Price, 2007)
H. Tonus dan Kekuatan Otot
Tonus otot, yaitu resistensi yang terdeteksi oleh pemeriksa saat
menggerakkan sendi secara pasif, sering-kali terganggu jika terdapat gangguan
sistem saraf. Gangguan UMN meningkatkan tonus otot, sedangkan gangguan
LMN menurunkan tonus otot. Beberapa perubahan tonus otot yang sering terjadi
pada gangguan neurologis tercantum dalam. (Price, 2007)
I. Fungsi Sensorik
Sistem sensorik berperan penting dalam hantaran informasi ke sistem
saraf pusat mengenai lingkungan sekitarnya. Pada waktu memeriksa sistem
sensorik, empat daerah yang diperiksa adalah: (1) sensasi taktil superfisial
(mencakup nyeri, suhu, dan raba); (2) indera proprioseptik yang merupakan
sensasi gerakan atau posisi; (3) sensasi getar, dan (4) fungsi sensorik kortikal.
Pola defisit sensorik membantu menegakkan diagnosis lesi hemisferium serebri,
batang otak, medula spinalis, radiks saraf, serta saraf perifer tunggal maupun
multipel. (Price, 2007)
Persepsi nyeri dan suhu dihantarkan oleh serabut-serabut saraf menuju
ganglia radiks dorsalis tempat terletaknya nuklei serabut-serabut saraf tersebut.
Sesudah bersinaps dalam kornu dorsalis, serabut itu akan menyilang garis tengah
dan masuk ke traktus spinotalamikus lateralis kontralateral. Traktus ini berjalan
ke atas melalui medula spinalis, medula ob-longata, pons, mesensefalon, dan
berakhir pada talamus. Talamus berfungsi sebagai stasiun penyam-pai (relay)
yang menghantarkan impuls munuju korteks sensorik untuk diinterpretasi.
Sensasi raba sederhana dihantarkan oleh traktus spinotalamikus ventralis. Lesi
pada traktus spinotalamikus lateralis akan mengakibatkan hilangnya sensasi

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 46

nyeri dan suhu pada tubuh kontralateral di bawah lesi. Lesi pada radiks saraf
dan safaf perifer mengganggu persepsi raba. (Price, 2007)
Serabut-serabut yang menghantarkan sensasi posisi, getar, dan raba yang
memerlukan lokalisasi yang tinggi seperti stereognosis, grafestesia dan
diskriminasi dua titik, masuk ke dalam medula spinalis dan berlanjut lewat sistem
kolumna dorsalis. Berjalan ke atas menuju medula oblongata bawah, tempat
bersinaps dan menyilang garis tengah, kemudian serabut-serabut ini berjalan ke
atas sebagai lemniskus medialis dan berakhir pada talamus. Korteks parie-talis
dapat membedakan dan menerima sensasi halus ini. (Price, 2007)
Secara teoretis, lesi pada radiks dorsalis akan menim-bulkan hilangnya
sensasi pada daerah yang dipersarafi oleh radiks tersebut. Namun demikian,
per-sarafan ini banyak yang tumpang tindih sehingga gambaran klinisnya
seringkali membingungkan. (Price, 2007)
Uji sensorik dilakukan dengan mata penderita ditutup, yaitu dengan
menggunakan sedikit kapas untuk memeriksa sensasi raba, peniti untuk memeriksa sensasi nyeri superfisial, dan pemeriksaan dengan tabung yang berisi air
panas dan air dingin untuk memeriksa sensasi suhu. Sensasi proprioseptif, posisi,
dan gerakan mula-mula dievaluasi pada sendi-sendi distal. Bila proprioseptif
pada sendi distal normal, tidak perlu pemeriksaan sendi proksimal. Falang distal
salah satu jari penderita kita pegang, lalu perlahan-lahan digerakan ke atas dan ke
bawah, sementara penderita diminta menyebutkan gerakan falang tersebut. (Price,
2007)
Normalnya, seseorang dapat berdiri dengan kedua kaki rapat tanpa
hilang keseimbangan atau bergoyang-goyang baik dengan mata terbuka mau-pun
tertutup. Tanda Romberg terlihat dengan ketidak-seimbangan nyata dengan mata
tertutup. Tanda ini timbul pada keadaan hilangnya sensorik karena seseorang
dengan kelainan proprioseptif seringkali dapat

menggunakan

orientasi

penglihatan untuk mengkompensasi hilangnya sensasi posisi tetapi kehilangan


kemampuan kompensasi tersebut ketika menutup mata. Perlu diperhatikan
bahwa tanda Romberg tidak terlihat pada penderita gangguan serebelum karena

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 47

ataksianya tidak bergantung pada proprioseptif sehingga tidak dikompensasi oleh


orientasi penglihatan: oleh karena itu, pasien akan bergoyang dan hilang
keseimbangan dengan mata terbuka maupun menutup. (Price, 2007)
J. Prosedur Invasif
Sebagai pelengkap anamnesis dan pemeriksaan neurologis, seorang
dokter dapat pula melakukan beberapa tes diagnostik untuk membantu menentukan letak dan menjelaskan gangguan neurologik. Tes-tes semacam ini akan
membantu pemeriksa untuk mendiagnosis penyakit tetapi bukan sebagai
pengganti pemeriksaan neurologis. (Price, 2007)
Angiografi serebral digunakan untuk mengidentifikasi dan menentukan letak
kelainan serebrovaskular. Suatu medium kontras disuntikkan ke dalam arteria
karotis, femoralis, atau brakialis dan kemudian di-lakukan serangkaian foto
radiograf serebrovaskular. Media kontras yang paling sering digunakan
mengandung senyawa yodium, yang berpotensi membangkitkan reaksi alergi;
oleh karenanya, semua pasien harus menjalani skrining alergi yodium dan kerang.
Pasien juga harus segera melapor bila timbul gejala-gejala alergi seperti gatal,
palpitasi, sesak napas, pusing, atau gangguan saluran cerna selama dilakukan tes
dan beberapa saat sesudahnya. Pemeriksaan tanda vital dan pemeriksaan
neurologis harus dilakukan dalam perawatan pasca angiografi. Angiografi
subtraksi digital adalah suatu tipe angiografi yang menggabungkan radiografi
dan teknik komputerisasi untuk memperlihatkan pembuluh darah tanpa
gangguan dari tulang dan jaringan lunak di sekitarnya. Komputer dapat
meredam struktur lain yang mengganggu gambaran radiografi. Tes ini terutama
dilakukan untuk melihat aliran darah di otak dan mendeteksi adanya aneurisma,
tumor, dan hematom. Tindakan pencegahan yang sama terhadap alergi yodium
juga harus dilakukan pada prosedur ini. (Price, 2007)
Scan otak dengan radioisotop sangat bermanfaat untuk mendiagnosis
adanya suatu massa, lesi vaskular dan iskemia, atau daerah otak yang mengalami infark. Setelah suntikan pada vena dengan suatu radionuklida, dilakukan
pengambilan radiografi sewaktu radioisotop melewati otak. (Price, 2007)

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 48

Elektromiografi digunakan untuk membedakan penyakit otot dari gangguan


neurologis. Untuk tes ini, beberapa jarum diletakkan pada otot kemudian dilakukan
pencatatan sewaktu istirahat dan kontraksi. Prosedur ini terasa sangat nyeri
untuk beberapa pasien dan mungkin diperlukan analgesik pasca-prosedur.
(Price, 2007)
Pemeriksaan

hantaran

saraf

menyempurnakan

pemeriksaan

elektromiografi (EMG), membantu pemeriksa untuk mengevaluasi keberadaan


dan luasnya patologi saraf perifer. Pemeriksaan hantaran men-catat respons
listrik otot terhadap rangsangan ke saraf motoriknya pada dua titik atau lebih di
sepan-jang jalurnya menuju otot. Pemeriksaan hantaran saraf sensorik
menentukan kecepatan hantaran dan amplitudo potensial aksi dalam serabut
sensorik

dengan

merangsang

serabut

pada

satu

titik

dan

me-rekam

responsnyapada titik lain di sepanjang akson saraf. Pemeriksaan hantaran saraf


sangat berguna dalam membedakan antara gangguan demielinasi dari denervasi
dengan hilangnya akson dan dalam mendiagnosis gangguan hantaran
neuromuskular. Pemeriksaan ini juga dapat membantu membedakan antara
menoneuropati dan polineuropati. (Price, 2007)
Pungsi lumbal (LP) dilakukan untuk mengukur tekanan cairan
serebrospinal dan mengambil contoh cairan untuk pemeriksaan laboratorium.
Meningitis dan ensefalitis merupakan indikasi utama tindakan LP. LP juga
merupakan tindakan rutin pada bayi dan anak sepsis. Umumnya, LP merupakan
kontraindi-kasi bila terdapat tanda peningkatan tekanan intra-kranial karena
penurunan tekanan yang sangat cepat setelah. pembuangan CSF dapat
menyebabkan herniasi struktur otak ke dalam foramen magnum. (Price, 2007)
Kontraindikasi lainnya adalah lesi massa intra-kranial, papiledem,
perdarahan yang tidak terkoreksi, dan curiga penekanan medula spinalis.
Penderita diminta untuk tidur pada salah satu sisi tubuhnya dengan posisi lutut
menyentuh dada {knee chest). ' Daerah di sekitar lumbal ketiga dan keempat
dibersih-kan dengan larutan povidon-yodium dan dianestesi dengan larutan
lidokain. Masukkan jarum spinal dan pasang manometer untuk mengukur
tekanan; bahan pemeriksaan dikumpulkan dalam tabung yang sudah diberi

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 49

nomor. Setelah semua bahan terkumpul, jarum dicabut dan tempat bekas tusukan
ditutup dengan plester. Penderita harus berbaring terlentang mendatar selama
beberapa jam dan dianjurkan untuk minurn. Setelah prosedur ini sering timbul
sakit kepala. (Price, 2007)

K. Pemeriksaan Non-invasif
Potensial yang dicetuskan oleh rangsangan sensorik (visual, auditorik, listrik)
diterapkan pada sistem saraf pusat atau perifer dan direkam melalui elektroda
yang diletakkan pada kulit. Oleh karena itu, potensial yang dicetuskan memiliki
amplitudo yang sangat rendah sehingga hanya dapat direkam dengan
menghitung nilai rata-rata resppns terhadap berbagai rangsangan. rangsangan
sensorik yang berbeda menghantarkan lintasan yang dapat diperkirakan dan
menghasilkan potensial yang berbeda sehingga pemeriksaan ini bermanf aat
untuk menentukan letak lesi. Pemeriksaan ini lazim dilakukan pada kasus
kecurigaan sklerosis multipel dan dapat mendeteksi lesi subklinis. Selain itu, juga
sering digunakan dalam pemantauan selama operasi, dan dalam menilai fungsi
nervus kranialis pada pasien koma. Yang paling sering digunakan adalah
potensial yang dicetuskan oleh somatosensorik (somatosensory evoked potentials,
SSEP), potensial yang dicetuskan oleh visual (visual evoked potentials, VEP), dan
potensial yang dicetuskan oleh auditorik batang otak (brainstem auditory evoked
potentials, BAEP). (Price, 2007)
CT scan berguna untuk mendiagnosis dan memantau lesi intrakranial
atau mengevaluasi dan menentukan luasnya cedera neurologis. Radiogram
dilakukan dengan komputer setiap interval 1 derajat dalam suatu busur sebesar
180 derajat. Penelitian yang lebih lengkap dapat dilakukan dengan
menyuntikkan bahan kontras ke dalam pembuluh darah. Setiap kali
menggunakan media kontras, harus dilakukan te's alergi sebelumnya. CT scan
telah dapat menggantikan echoensefalografi dan memiliki kemampuan diagnostik
yang jauh lebih lengkap. (Price, 2007)
MRI (Magnetic Resonance Imaging) menggunakan medan magnet kuat dan
frekuensi radio dan bila bercampur dengan frekuensi radio yang dilepaskan oleh

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 50

jaringan tubuh akan menghasilkan citra MRI yang berguna dalam mendiagnosis
tumor, infark, dan kelainan pada pembuluh darah. Pada pemeriksaan ini,
penderita tidak terpajan oleh radiasi dan tidak merasa nyeri walaupun pasien
dapat mengeluhkan klaustrofobia dan suara logam yang mengganggu selama
prosedur ini. (Price, 2007)
EEG (Elektroensefalogram) mengukur aktivitas listrik lapisan superfisial
korteks serebri melalu elektroda yang dipasang di luar tulang tengkorak pasien.
'Walaupun terdapat beberapa teknik baru untuk mengevaluasi kelainan SSP,
EEG masih digunakan karena bersifat non-invasif dan merupakan salah satu
dari beberapa pemeriksaan diagnostik yang mengukur waktu sebenarnya dari
aktivitas otak bukan perubahan anatomi yang telah ada sebelumnya. Pola
gelombang mencerminkan intensitas dan jenis potensial listrik yang dihasilkan
oleh aktivitas neuronal dalam otak. Pola gelombang normal diberi label menurut
karakteristik amplitudo dan frekuensi dan disebut delta, theta, alpha, dan beta. Pola
gelombang EEG dipengaruhi oleh kedalaman tidur, peng-gunaan obat, penyakit,
dan penuaan. EEG hanya memberikan contoh pendek dari aktivitas otak (30
menit hingga 1 jam) dan aktivitas kejang dan lonjakan hanya terjadi secara sporadis
sehingga EEG normal tidak menyingkirkan gangguan kejang. (Price, 2007)
ENG (Elektronistagmogram) merupakan pemeriksaan elektrofisiologik
fungsi vestibularis yang dapat digunakan untuk mendiagnosis gangguan system
saraf pusat. Pemeriksaan ini mengatur adanya nistagmus (gerakan mata
horisontal cepat dan involunter) yang diinduksi oleh rangsangan sistem
vestibularis. Pemeriksaan ini dapat menimbulkan ketidaknyamanan tetapi
tidak membahayakan pasien. ENG dilakukan dengan memasukkan air atau
udara bersuhu berbeda ke dalam saluran telinga bagian luar yang merangsan
kanalis semisirkularis dan merekam aktivitas listrik yang dihasilkan oleh
gerakan otot mata involunter. (Price, 2007)

8. Algoritma UGM
Rancangan

penelitian

ini

adalah

observasionalprospektif

(observational-prospective study) . Teknik penpmbilan sampel adalah

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 51

dengan cara berurutan (consecutive sampling). JumJah sampel penelitian


ini adalah sebanyak 229 penderita stroke, yang berasal dari RSUP Dr.
Sardjito, RS PKU Muhammadiyah, dan RS Babarsari Yogyakarta.
Penelitian berjangsung dari tanggal 16 Desember 1989 sampai dengan 15
November 1991.
Subyek yang termasuk dalam kriteria penelitian ialah (1) stroke
perdarahan intraserebral semua umur, laki-laki, dan perempuan, (2) stroke
iskemrik akut atau stroke infark seimia umur, laki-laki, dan perempuan.
Subyek yang tidak termasuk dalam kriteria penelitian ialah (1)
stroke perdarahan subarakh-noid dan (2) stroke sekunder yang discbabkan
oleh karena trauma atau tumor otak, dan (3) gang-guan pcredaran otak
sepintas.
Variabel yang diteliti meliputi (1) stroke (diagnosis klinis), (2)
stroke perdarahan intra-serebral (diagnosis klinis), (3) stroke iskemik akut
atau stroke infark (diagnosis klinis), (4) stroke perdarahan intraserebral
(diagnosis CTScan kepaia), (5) stroke iskemik akut atau stroke infark
(diagnosis CTScan kepaia), (6) hemi-defisit motorik, (7) penurunan
kesadaran yang terdiri dari koma, stupor, dan somnolen, (8) kesadaran
normal, (9) nyeri kepaia pada saat se-rangan dan seteiah serangan, (10)
muntah pada saat serangan dan seteiah serangan, (11) riwayat hipertensi,
(12) riwayat penyakit jantung, (13) riwayat penyakit kencing manis, (14)
aktivitas fisik, (15) hipertensi waktu pemeriksaan pada saat serangan
stroke, dan (16) refleks Babinski.
Analisis data penelitian ini terdiri dari 6 tahapan. Tahap pertama
adalah menghitung reliabilitas instrumen formulir A (kuesioner dan
pemeriksaan fisik) dan reliabilitas mstrumen B (hasil bacaan CT-Scan
kepaia).
Reliabilitas

kuesioner

(anamnesis)

penderita

dilakukan

dengan

stroke

dan

pemeriksaan

penghitungan

klinis

kesempatan

(interobserver agreement) dan 2 orang dokter spesialis saraf tentang


keluhan nyeri kepaia dan muntah sesaat sebelum, sewaktu dan setelah
serangan stroke, penurunan kesadaran, riwayat hipertensi, riwayat
penyakit jantung, riwayat kencing manis, aktivitas fisik sebelum serangan

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 52

stroke, hipertensi waktu pemeriksaan dan diagnosis klinis jenis patologi


stroke.
Reliabilitas pembacaan hasil CTScan kepaia dilakukan dengan
penghitungan kesepakatan pengamatan dari 2 orang dokter spesialis radiologi tentang pembacaan hasil pemeriksaan CTScan kepaia penderita
stroke.
Tahap kedua adalah menghitung sensitivitas, spesifisitas, akurasi,
nilai duga positif, nilai duga negatif, rasio kecenderungan positif, dan rasio
kecenderungan

negatif

dari

masing-masing

variabel

yang

dapat

membedakan stroke perdarahan intraserebral dengan stroke iskemik akut


atau stroke infark.
Tahap ketiga adalah menghitung kebermakna-an hubungan
masing-masing variabel tersebut dengan stroke perdarahan intraserebral.
Tahap keempat adaJah menghitung sensitivitas, spesifisitas,
akurasi, nilai duga positif, nilai duga negatif, rasio kecenderungan positif,
dan rasio kecenderungan negatif dari tes ganda-paralel yang dapat
membedakan stroke perdarahan intraserebral dengan stroke i&kemik akut
atau stroke inferk. Tes ganda-paralel terdiri dari variabel yang signifikan
ada hubungannya dengan stroke perdarahan intraserebral waktu penyusunan Algoritma stroke Gadjah Mada.
Tahap kelima adalah menghitung kebermak-naan hubungan
masing-masing kelompok variabel yang ada dalam Algoritma stroke
Gadjah Mada dengan stroke perdarahan intraserebral.
Tahap keenam adalah menghitung rasio kecenderungan positif
untuk masing-masing kelompok variabel yang ada dalam Algoritma stroke
Gadjah Mada untuk menentukan valid atau tidak-nya Algoritma stroke
Gadjah Mada tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis tahap pertama
Nilai Kappa yang dipakai sebagai patokan uatuk menentukan
reliabilitas (kekuatan kesepa-katan) suatu tes diagnostik adalah antara 0,61
sampai dengan 1 seperti yang dianjurkan oleh Landis dan Koch.
Reliabilitas kuesioner dan pemeriksaan klinis penderita stroke
tinggi {nilai Kappa antara 0,89 dengan 1) dan bermakna secara statistik
(p<0,00001). Dengan demikian, kuesioner dan pemeriksaan klinis

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 53

penderita stroke dapat dipercaya dan diandalkan untuk dipakai pada penelitian ini.
Reliabilitas pembacaan hasil CTScan kepaia penderita tinggi (nilai
Kappa = 1) dan bermakna secara statistik (p < 00001). Dengan demikian,
hasil pembacaaan CT-Scan kepaia dapat dipercaya dan diandalkan pada
penelitian ini. Pengu-kuran reliabilitas pembacaan hasil CTScan kepaia
pemah pula dilakukan oleh Shinar et al, dengan nilai Kappa =0,90.
Hasil analisis tahap kedua
Hasil penghitungan sensitivitas, spesifisitas, akurasi, dan rasio
kecenderungan positif masing-masing variabel terhadap CT-Scan kepala
untuk menentukan stroke perdarahan intraserebral adalah bervariasi
(TABEL I).
TABEL I. - Distribusi nilai sensitivitas, spesifisitas, akurasi, dan rasio
kecenderungan positif menurut variabel pe-nentu stroke perdarahan
inrraserebral.

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 54

9.

10. Variabel

11. Sens

14. spes

i-

i-

12. tivit

15. fisit

as

17. Akura
si (%)

18. rasio ke19. cende20. rangan

as

21. positif

13. (%)

16. (%)

22. Penurunan

23. 70

24. 96

25. 87

26. 17,4

27. kesadaran
Nyeri kepala

28. 66.3

29. 97,3

30. 86,5

31. 24,7

32. Muntah

33. 45

34. 97J

35. 79

36. 16.S

37. Aktiviias fisik


42. Riwayat

38. 21,3
43. 95

39. 98
44. 16.1

40. 71,2
45. 43,7

41. 10,5
46. 1,1

47. Riwayat
hrpertensipenyekil

49. 2,5

50. 91,9

51. 60,7

52. 0,6

53. Riwayat kencing


58. Hipertensi
waktu
manis

54. 8,7
59.

55. 85.9
60.

56. 60,7
61.

57. 0,6
62.

63. pemerikksaan

64. 723

65. 51

66. 58,5

67. 1.5

68. Refleks Babinski

69. 72,5

70. 75,2

71. 74,2

72. 2,9

48. Jantung

73.
74. Hasil analisis tahap ketiga
75.

Dari analisis regresi logisttk (tnultivariabcl), terlibat

hubimgan yang bermakna antara stroke perdarahan intraserebral dengan


penurunan kesadaran, nyeri kepak, bipertsnsi w'aktu pemcriksaan
76. dan refleks Babinski positif (TABEL 2).
77. TABEL 2, - Kebermaknan buo-jngan anon pnunmari kesadaran, nyen'
keraJa, hrpeieflst waktu diperiksa dan refleks Babinski dengan stroke
peidarahan intraserebri (analisis multivariabel).
78.
79. Variabel

80. B

81. S

84. Penurun

85.

86.

an

82. E
87.

83. p
88.

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 55

89. kesadar

90. 3

91. 0

92. 4

93. 0

94. Nyeri
an

95. 4,

96. 0,

97. 62

98. 0,

99. Refleks
kepala
104.BabinskH

100.,
105.
1,53

101.,
106.
0,55

102.7
107.
4,65

103.,
108.
0,01

109.ipenensip

110.

111.

112.

113.

1,18
0,58
3,27
0,05
114.emeriksB = koefisien
regresi
115.
S.H = standard error dari B
116.
Exp (B) = tingkat signifikansi
117.
118. Hasil analisis tahap keempat
119. Dari 3 tes ganda-paraiel yang dilakukan, tes ganda-paralel
yang berisi variabel penurunan kesadaran, nyeri kepala dan refleks
Babinski mem-punyai sensitivitas (95%), spesifisitas (71,8%), akurasi
(79,9%), nilai duga positif (64,4%), nilai duga negatif (97,3%), dan rasio
kecenderungan positif (3,36) tertinggi terhadap pemeriksaan CT-Scan
kepala, dibandingkan de- ngan tes ganda-paralel lainnya.
120. Penurunan
kesadaran
diperoleh
dari
penyelidikan

anatomi

dan

fisiologi

substansia

serentetan

retikularis

yang

mengandung lintasan asendens aspesifik dirus . Lintasan asendens


aspesifik difus ini menyampaikan impuls asendens ke semua sel di seluruh
korteks serebri. Lintasan ini tersusun dari sel-sel kecil dengan juluranjuluran yang pendek-pendek yang merupakan unsur se-lular dari
substansia retikularis sepanjang medula spinalis dan batang otak. Mereka
menyusun lintasan asendens multisinaptik yang berakhir di nuklei
intralaminares talami. Substansia retikularis dan nuklei intralaminares
talami adalah bagian dari reticular activating system (RAS).
121. Melalui lintasan asendens aspesifik difus ini, seluruh kortek
serebri kedua sisi menerima impuls aferen spesifik. Penurunan kesadaran
akan terjadi jika kortek serebri kedua sisi tidak lagi menerima impuls
aferen aspesifik. Semua gangguan yang dapat menimbulkan penurunan
kesadaran dapat tercakup dalam gangguan di substansia retikularis bagian
batang otak yang paling rostral dan gangguan difus pada kedua
hemisferium.

KASUS 1

122.

L u m p u h S e b e l a h | 56

Keberadaan hematoma pada stroke perdarahan intraserebri

akan menyebabkan proses desak ru-ang (kompresi) dan destruksi pada


substansia retikularis dari diensefaion (nuklei intralaminares) yang akan
thenyebabkan terjadinya penurunan kesadaran yang cepat sekali.
123.

Keberadaan hematoma pada stroke perdarahan akan

mengakibatkan terjadinya distensi, distorsi, deformasi dan peregangan dari


struktur peka nyeri {pain-sensitive structures) di susunan saraf pusat '
Menurut Chuseri , apabila terjadi kerusakan saraf pusat, walaupun tidak
ada rangsangan pada reseptor nyeri akan menyebabkan nyeri kepala.
Biasanya nyeri tersebut terjadi spontan, eksplosif, hebat, difus dan seringkali terus-menerus dirasakan. Hal ini mungkin terjadi karena pada
kerusakan saraf terjadi depo-larisasi mendadak sehingga timbul aliran
impuls saraf yang kuat dan lama serta difus terutama bila banyak daerah
saraf yang rusak.
124. Refleks Babinski adalah suatu respons pate logik yang
merupakan suatu tanda yang meneiri-kan suatu lesi di traktus piramidalis.
Mekanisme

KASUS 1

125.

L u m p u h S e b e l a h | 57

refleks Babinski masih belum jelas . Hematoma yang terjadi akibat

stroke perdarahan merupakan lesi di traktus piramidalis. Refleks Babinski


yang positif merupakan pertanda kuat adanya perdarahan di otak (stroke
perdarahan intrase-rebri)
126.

Berdasarkan hasil tes ganda-paralel tersebut maka variabel

penurunan kesadaran, nyeri kepala, dan refleks Babinski dipakai untuk


menyusun Algoritma stroke Gadjah Mada untuk membe-dakan stroke
perdarahan intraserebral dengan stroke iskemik akut atau stroke infark.
127.

Algoritma

ialah

instruksi-instruksi

selangkah

demi

selangkah untuk menyelesaikan suatu masa-lah. Algoritma klinik banyak


digunakan

untuk

menentukan

keputasan

menegakkan

diagnosis,

pengobatan, dan prognosis (membuat keputasan klinik)23. Dengan


algoritaa, proses menegakkan diagnosis dinyatakan dengan suatu serial
kepu-tusan "ya" atau "tidak".
128.
Jika seorang penderita mempunyai gejala atau tanda (temuan),
gejala atau tanda itu akan ditem-patkan pada suatu kelompok (kelompok
pertama). Jika gejala tersebut tidak ada, penderita akan ditempatkan pada
kelompok kedua. Setiap kelompok yang dihasilkan dari titik keputusan
"ya" atau "tidak", akan diurutkan lagi pada pertanyaan "ya" atau "tidak"
terhadap temuan lainnya.
129. TABEL 2 - Kelompok variabel untuk membandingkan
stroke pendarahan intraselebral dengan stroke iskemik akut atau stroke
infark.

130.

Kel
ompok
variabel

131.
133.

Pen

urunan

Gejala dan tanda


134.

Ny

eri kepala

kesadaran

135.

eflex barbinski

136.

137.

138.

139.

140.

141.

142.

143.

144.

145.

146.

147.

148.

149.

150.

151.

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 58

152.

153.

154.

155.

156.

157.

158.

159.

160.

161.

162.

163.

164.

165.

166.

167.

168.
169.

Tujuan proses algoritma ini ialah untuk me-nempatkan setiap

penderita dalam suatu kelompok yang mempunyai proporsi perryakit


tinggi atau rendah. Khususnya, temuan-temuan yang digunakan pada titik
keputusan "ya" atau "tidak" ialah temuan-temuan yang membedakan
antara penderita dengan suatu penyakit dengan penderita tanpa penyakit
pada titik tersebut dalam suatu proses menegakkan diagnosis.
170. Dari hasil Tes ganda-paralel yang berisi variabel penurunan
kesadaran, nyeri kepala, dan refleks Babinski, dapat diuraikan 8 kelompok
variabel untuk membandingkan stroke perdarahan intraserebral dengan
stroke iskemik akut atau stroke infark (hasil pemeriksaan CT-Scan kepala)
(TABEL 2).
171.
172.

Hasil analisis tahap kelima


173.

Dari TABEL 3, dapat dihitung kebermaknaan hubungan

antara masing-masing kelompok variabel dengan jenis patologi stroke.


Terlihat adanya hubungan bermakna antara kelompok variabel 1, variabel
2, variabel 3, variabel 4, variabel 5, dan variabel 6 dengan stroke
perdarahan intraserebral. Terlihat pula hubungan bermakna antara kelompok variabel 7 dan variabel 8 dengan strokeiskemik atau infark (X mantel
Haensxel = 149,2; p<0,.000001).
174.

TABEL 3. - Distribusi kelompok variabel 1, variabel 2,

variabel 3, variabel 4, variabel S, variabel 6, variabel 7 dan variabel 8


menunit jenis patologi stroke (hasil pemeriksaan CT-Scan kepala) dan
rasjo kecenderungan positif pada 229 subyek penelitian.
175.

KASUS 1

176.

177.

Jenis

patologis

180.

178.
stroke

183.

185.CT-Scan kcpala)
188.

Kelom

stroke

184.

kecende179.

an

positi

mik

pendarah

ru

ngan

iske

186.

Variabl
e

stroke

Ra

sio

(hasil pemeriksaan

pok

L u m p u h S e b e l a h | 59

189.
akut atau

187.
intraseleb
ri (N)

190.
infark
(N)

192.

193.

194.

195.

26

I196.
200.
2
204.
3
208.
4
212.
S
216.
6
220.
7

14
197.
201.
20
205.
12.
209.
10
213.
10
217.
9
221.
1

1198.
202.
2
206.
1
210.
2
214.
0
218.
1
222.
19

199.,06
203.,62
207.J5
211.I
215.
219.,76
223.12

18
22
9J
oo
16
0,
0,

8224.

4225.

123
226.

227.06

Jumlah
228.

80

149

229.

(X Mantel Haenszel = 149,2; p<(0,000001).

231.
232.

Hasil analisis tahap keenam


Dari TABEL 3, dapat dihitung rasio kecenderungan positif

230.

masing-masing kelompok untuk menyusun Algoritma stroke Gadjah


Mada.
233.

Validitas suatu tes diagnostik saat ini tidak saja ditentukan

oleh pengukuran sensitivitas, spesifisitas, dan nilai duga positif, tetapi


yang lebih

penting

ditentukan

oleh

rasio

kece derungan positif.

Angka Rasio kecenderungan positif yang dipakai untuk menentukan


validitas suatu tes diagnostik adalah sama atau lebih dan 10.

KASUS 1

234.

L u m p u h S e b e l a h | 60

Pada penelitian ini (lihat TABEL 3) terbukti rasio

kecendenman positif kelompok variabel 1 s.& kelompok variabel 6


adalah lebih dari 10. De-ngan demikian, validitas penunman kesadaran,
nyeri kepala, dan refleks Babinski adalah tinggi, sehingga dapat
diandalkan.
235.

Algoritma stroke Gajah Mada disusun atas dasar hasil

perhitungan rasio kecenderungan masing-masing kelompok variabel


(GAMBAR 1).

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 61

236.

FARMAKO

TERAPI
237.

Penyakit serebrovaskular merupakan

masalah kesehatan

utama

di Amerika Serikat dan banyak negara lainnya termasuk Indonesia. Kemajuan


yang di capai dalam bidang epidemiologi, etiologi dan patogenesis dari penyakit
serebrovaskular telah menghasilkan pendekatan

baru dalam diagnosa dan

pengobatannya.
238.

Beberapa obat telah

terbukti bermanfaat untuk pengobatan penyakit

serebrovaskular. Obat-obatan ini dapat dikelompokkan atas 2 kelompok yaitu obat


obatan anti trombotik yang meliputi anti koagulan, anti platelet dan trombolitik;

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 62

serta obat yang melindungi sel saraf (nerve cell protectants) berupa

calsium

channel blockers seperti nimodipine dan beberapa zat yang masih dalam tahap
eksperi-mental.
239.
240.

TERAPI ANTI TROMBOTIK


241.

Hemostasis

merupakan proses penghentian pendarahan

pada

pembuluh darah yang cedera. Secara garis besar proses pembekuan darah berjalan
melalui 3 tahap, yaitu:
242.

1. Aktifitas tromboplastin

243.

2. Pembentukan trombin dari protrombin

244.

3. Pembentukan fibrin dari fibrinogen


245.

Dalam proses ini di butuhkan faktor-faktor pembekuan darah, yang

sampai saat ini telah dikenal 15 faktor (kaskade pembekuan darah tercantum
pada

lampiran). Proses pembekuan

darah akan dihentikan

oleh sistem anti

koagulan dan fibrinolitik di dalam tubuh. Faktor-faktor yang menghentikan proses


pembekuan darah adalah :
246.

1.

Larutnya faktor pembekuan darah dalam darah yang mengalir.

247.

2.

Metabolisme bentuk aktif faktor pembekuan darah oleh hati .

248.

3.

Mekanisme umpan balik di mana trombin menghambat aktifitas

faktor V dan VIII.


249.

4.

Adanya

mekanisme

anti

koagulasi

alami

terutama oleh

antitrombin III, protein C dan S.


250.

Penggunaan obat anti trombotik bertujuan mempengaruhi proses

trombosis atau mempengaruhi

pembentukan bekuan darah (clot)

kular, yang melibatkan platelet

dan fibrin. Obat anti

mencegah

platelet

intravasbekerja

perlekatan (adesi) platelet dengan dinding pembuluh darah yang

cedera atau dengan platelet lainnya, yang merupakan langkah awal terbentuknya
trombus. Obat anti koagulan mencegah pembentukan fibrin yang merupakan
bahan esensial untuk

pembentukan trombus.

Obat trombolitik mempercepat

degradasi fibrin dan fibrinogen oleh plasmin sehingga membantu larutnya bekuan
darah.

KASUS 1

251.

L u m p u h S e b e l a h | 63

ANTI TROMBOSIT.
252.

Anti trombosit (anti platelet) adalah obat yang dapat menghambat

agregasi trombosit
trombus

sehingga

yang terutama

terhambatnya

pembentukan

sering ditemukan pada sistem arteri. Beberapa obat

yang termasuk golongan


dekstran,

menyebabkan

ini

adalah

aspirin,

sulfinpirazon, dipiridamol,

tiklopidin, prostasiklin ( PGI-2 ). Obat anti trombosit yang telah

terbukti efektifitasnya dalam pencegahan stroke adalah :


253.

1. Aspirin (asetosal, asam asetil-salisilat).


254. Aspirin

bekerja

mengasetilasi

menghambat pembentukan enzim

cyclic

menghambat sintesa tromboksan A-2


sehingga akhirnya

enzim

siklooksigenase

endoperoxides.

(TXA-2)

di

Aspirin

dalarn

dan
juga

trombosit,

menghambat agregasi trombosit. Aspirin menginaktivasi

enzim-enzim pada trombosit tersebut secara permanen. Penghambatan inilah


yang mempakan cara kerja
(Transient Ischemic Attack).

aspirin dalam pencegahan

stroke

dan

TIA

Pada endotel pembuluh darah, aspirin juga

menghambat pembentukan prostasiklin. Hal ini membantu mengurangi agregasi


trombosit pada pembuluh darah yang rusak.
255. Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa aspirin

dapat

menurunkan resiko terjadinya stroke, infark jantung non fatal dan kematian
akibat penyakit

vaskular pada pria dan wanita yang telah pernah mengalami

TIA atau stroke sebelumnya.


256.
257.Farmakokinetik :

Mula kerja : 20 menit -2 jam.


Kadar puncak dalam plasma:

berbanding lurus dengan besamya dosis.


Waktu paruh : asam asetil salisilat 15-20 menit asarn salisilat 2-20 jam

tergantung besar dosis yang diberikan.


Bioavailabilitas : tergantung pada dosis, bentuk, waktu

lambung, pH lambung, obat antasida dan ukuran partikelnya.


Metabolisrne : sebagian dihidrolisa rnenjadi asarn salisilat selarna absorbsi

kadar

salisilat

dalarn

plasma

tidak

pengosongan

dan didistribusikan ke seluruh jaringan dan cairan tubuh dengan kadar

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 64

tertinggi pada plasma, hati, korteks ginjal , jantung dan paru-paru.


258.

Ekskresi : dieliminasi oleh ginjal dalam bentuk asam salisilat dan

oksidasi serta konyugasi metabolitnya.


259.Farmakodinamik :
260. Adanya makanan
pemberian bersama

dalam

antasida

lambung
dapat

memperlambat absorbsinya

mengurangi

iritasi

lambung

tetapi

meningkatkan kelarutan dan absorbsinya. Sekitar 70-90 % asam salisilat bentuk


aktif terikat pada protein plasma.
261.lndikasi :
262.Menurunkan

resiko TIA atau stroke

berulang

pada penderita

yang

pernah menderita iskemi otak yang diakibatkan embolus.


263.Menurunkan resiko menderita stroke pada penderita resiko tinggi seperti
pada penderita

tibrilasi atrium non valvular

yang tidak bisa diberikan anti

koagulan.
264.Kontra indikasi :
265.Hipersensitif terhadap salisilat, asma bronkial, hay fever, polip hidung,
anemi berat, riwayat gangguan pembekuan darah.
266.Interaksi obat:
267.Obat anti koagulan,

heparin,

insulin,

natrium

bikarbonat, alkohol

clan, angiotensin -converting enzymes.


268.Efek samping:
269.Nyeri epigastrium, mual, muntah , perdarahan
Jambung.
270.Hati -hati
271.Tidak dianjurkan dipakai untuk pengobatan stroke pada anak di bawah usia
12
272.tahun karena resiko terjadinya sindrom Reye. Pada orang tua harus hatihati karena lebih sering menimbulkan efek samping kardiovaskular. Obat ini tidak
dianjurkan pada trimester terakhir
gangguan pada janin

kehamilan

karena dapat menyebabkan

atau menimbulkan komplikasi pada saat partus. Tidak

dianjurkan pula pada wanita menyusui karena disekresi melalui air susu.

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 65

273.Dosis:
274.FDA merekomendasikan dosis: oral 1300 mg/hari dibagi 2 atau 4
kali pemberian. Sebagai anti trombosit dosis 325 mg/hari cukup efektif dan
efek sampingnya lebih sedikit.
275.Perhimpunan

Dokter

Spesialis Saraf merekomendasikan dosis 80-320

mg/hari untuk pencegahan sekunder stroke iskemik.


276.2.

Tiklopidin
277. Tiklopidin

adalah

inhibitor agregasi

platelet

menghalangi ikatan antara platelet dengan fibrinogen

yang

bekerja

yang diinduksi oleh

ADP (Adenosin Di Pospat) secara irreversibel, serta menghalangi interaksi


antara platelet yang mengikutinya. Proses ini menyebabkan penghambatan
pada agregasi platelet dan pelepasan isi granul platelet.
278. Penderita

yang diberi Tiklopidin

harus dimonitor jumlah

netrofil dan trombositnya setiap dua minggu selama 3 bulan pertama


pengobatan. Netropeni berat dapat terjadi dalam waktu 3 minggu sampai 3 bulan
sejak pengobatan dimulai. Karena waktu paruhnya panjang, maka penderita
yang berhenti mendapat Tiklopidin dalam waktu 90 hari sejak dimulai harus
tetap dimonitor darah lengkap clan hitung jenis lekositnya. Kadang-kadang
dapat terjadi trombositopeni saja atau kombinasi dengan netropeni.
279. Tiklopidin adalah obat pilihan pertama untuk pencegahan stroke
pada wanita yang pemah mengalami TIA serta pada pria dan wanita yang
pemah

mengalami stroke

non kardioembolik. Walaupun Tiklopidin

terbukti efektif pada pria yang pernah mengalami TIA, tetapi

telah

obat ini

merupakan pilihan kedua bila tidak ada intoleransi terhadap aspirin.


280.Farmakokinetik :
281.

Mula kerja

: diabsorbsicepat.

282.

Kadar puncak dalam plasma : 2 jam.

283.

Waktu paruh : 4-5 hari.

284.

Bioavailabilitas

285.

Metabolisme : terutama di hati .

: > 80%.

KASUS 1

286.

L u m p u h S e b e l a h | 66

Ekskresi

: 60% melalui urine daD

23% melalui feses


287.Farmakodinamik :
Bioavailabilitas oral meningkat 20% hila diminum setelah makan ; pemberian
bersama makan dianjurkan untuk meningkatkan toleransi gastrointestinal.
98% terikat secara reversibel dengan protein plasma terutama albumin dan
lipoprotein.
288.
289.Indikasi :
290.Mengurangi resiko stroke trombotik pada penderita yang pemah mengalami
prekursor stroke atau pemah mengalami stroke merupakan pilihan bila terjadi
intoleransi terhadap aspirin.
291.Kontraindikasi :
292.Hipersensitivitas

ter adap Tiklopidin,

netropeni, trombositopeni),
patologis

gangguan

kelainan

pembekuan

darah
darah,

aktif (misalnya perdarahan lambung, perdarahan

(misalnya
perdarahan
intrakranial),

gangguan fungsi hati berat.


293.Interaksi obat
294.aspirin, antasida, simetidin, digoksin, teofilin, fenobarbital, fenitoin,
propanolol, heparin, antikoagulan oral, obat tibrinolitik.
295.Efek samping :
296.

Paling sering : diare, mual, dispepsia, rash, nyeri gastrointestinal,

netropeni, purpura, pruritus,dizziness, anoreksia, gangguan fungsi hati.


297.

Kadang-kadang ecchymosis,

konjunktiva, perdarahan

epistaksis,

gastrointestinal,

hematuria, perdarahan
perdarahan

perioperatif, perdarahan intraserebral, urtikaria, sakit kepala, asthenia, nyeri,


tinnitus.
298.
299.Hati hati :
300.

Pada usia di bawah

efektifitasnya. Tidak

18 tahun belum terbukti keamanan

dianjurkan pada penderita

gangguan

fungsi

dan
hati

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 67

berat. Penggunaan selama kehamilan hanya bila sangat dibutuhkan. Bila


diberi pada wanita menyusui harus dihentikan menyusuinya.
301.Dosis:
302.Dewasa dan orang tua : 2 x 250 mg/hari diminum bersama makanan.
Tidak dianjurkan untuk usia di bawah 18 tahun.
303.Dosis yang direkomendasikan Perdossi adalah 250-500

mg/hari pada

penderita yang tidak tahan dengan aspirin.


304.
305.
306.

ANTIKOAGULAN

307.

1.

Warfarin
308. Warfarin adalah anti koagulan

oral yang mempengaruhi sintesa

vitamin K-yang berperan dalam pembekuan darah- sehingga terjadi deplesi


faktor II, VII, IX dan X. Ia
karboksilasi

vitamin

bekerja

K dari

dari masing-masing faktor

di

hati

dengan

menghambat

protein prekursomya. Karena waktu paruh

pembekuan darah tersebut, maka hila terjadi

deplesi faktor VII waktu protrombin sudah memanjang. Tetapi efek anti
trombotik baru

mencapai

puncak

setelah

terjadi deplesi

keempat faktor

tersebut. Jadi efek anti koagulan dari warfarin membutuhkan waktu beberapa
hari karena efeknya terhadap faktor pembekuan darah yang baru dibentuk
bukan terhadap faktor yang sudah ada disirkulasi.
309. Warfarin

tidak

mempunyai efek

langsung

terhadap

trombus

yang

sudah terbentuk, tetapi dapat mencegah perluasan trombus. Warfarin

telah

terbukti efektif untuk

meningkatnya resiko

pencegahan

stroke

pendarahan, penderita

kardioembolik. Karena

yang diberi warfarin

harus

dimonitor waktu protrombinnya secara berkala.


310.Farmakokinetik :
311.

Mula kerja biasanya sudah terdeteksi di plasma dalam 1 jam

setelah pemberian.
312.

Kadar puncak dalam plasma: 2-8 jam.

313.

Waktu paruh : 20-60 jam; rata-rata 40 jam.

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 68

314.

Bioavailabilitas: hampir sempurna baik secara oral, 1M atau IV.

315.

Metabolisme: ditransformasi menjadi metabolit inaktif di hati dan

ginjal.
316.

Ekskresi: melalui urine clan feses.

317.Farmakodinamik :
318.

99% terikat pada protein plasma terutama albumin.

319.

Absorbsinya berkurang hila ada makanan di saluran cerna.

320.Indikasi:
321.Untuk

profilaksis

dan pengobatan

dihubungkan dengan fibrilasi


serta

komplikasi

tromboembolik yang

atrium dan penggantian

katup jantung

sebagai profilaksis terjadinya emboli sistemik setelah infark miokard

(FDA approved). Profilaksis TIA atau stroke

berulang

yang tidak

jelas

berasal dari problem jantung.


322.Kontraindikasi :
323.Semua keadaan di mana resiko terjadinya perdarahan

lebih besar

dari keuntungan yang diperoleh dari efek anti koagulannya, termasuk pada
kehamilan, kecenderungan perdarahan atau blood dyscrasias dll.
324.Interaksi obat :
325.Warfarin

berinteraksi dengan

sangat

banyak

obat

lain

seperti

asetaminofen, beta bloker, kortikosteroid, siklofosfamid, eritromisin, gemfibrozil,


hidantoin, glukagon,

kuinolon,

sulfonamid,

kloramfenikol,

simetidin,

metronidazol, omeprazol, aminoglikosida, tetrasiklin, sefalosporin, anti inflamasi


non steroid, penisilin, salisilat, asam askorbat, barbiturat, karbamazepin dll.
326.Efek samping:
327.Perdarahan dari jaringan atau organ, nekrosis kulit dan jaringan lain,
alopesia, urtikaria, dermatitis, demam,

mual,

diare,

kram

belum

terbukti keamanan

perut,

hipersensitivitas dan priapismus.


328.Hati -hati :
329.Untuk

usia

di bawah

18

tahun

dan

efektifitasnya. Hati- hati bila digunakan pada orang tua. Tidak boleh
diberikan pada wanita hamil karena dapat melewati plasenta sehingga bisa

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 69

menyebabkan perdarahan yang fatal pada janinnya. Dijumpai pada ASI dalam
bentuk inaktif, sehingga bisa dipakai pada wanita menyusui.
330.Dosis:
331.Dosis inisial dimulai

,dengan 2-5 mg/hari dan dosis pemeliharaan 2-10

mg/hari. Obat diminum pada waktu yang sama setiap hari. Dianjurkan diminum
sebelum tidur agar dapat dimonitor efek puncaknya di pagi hari esoknya.
Lamanya terapi sangat tergantung pada kasusnya. Secara umum, terapi anti
koagulan harus dilanjutkan sampai bahaya terjadinya emboli dan trombosis
sudah tidak ada. Pemeriksaan waktu protrombin barns dilakukan setiap hari
begitu dimulai dosis inisial sampai tercapainya
stabil

di

waktu

batas terapeutik.

Setelah

tercapai,

waktu protrombin yang


interval

pemeriksaan

protrombin tergantung pada penilaian dokter dan respon penderita

terhadap obat. Interval yang dianj urkan adalah 1-4 minggu.


332.

2.

Heparin

333. Heparin adalah bahan alami yang diisolasi dari mukosa intestinum
porcine atau dari paru-paru sapi. Obat bekerja sebagai anti koagulan dengan
mempotensiasi kerja anti trombin III (AT-III) membentuk kompleks

yang

berafinitas lebih besar dari AT III sendiri, terhadap beberapa faktor pembekuan
darah, termasuk trombin, faktor Ila, IXa, Xa, Xla,dan Xlla. Oleh karena itu
heparin mempercepat inaktifasi faktor pembekuan darah. Hepari'n biasanya
tidak mempengaruhi waktu perdarahan. Waktu pembekuan memanjang bila
diberikan heparin dosis penuh, tetapi tidak terpengaruh bila diberikan heparin
dosis rendah. Heparin dosis kecil dengan AT-III menginaktifasi faktor Xllla dan
mencegah terbentuknya bekuan fibrin
dimonitor dengan

yang stabil.

Penggunaan hefarin

memeriksa waktu tromboplastin parsial

(aPTT) secara

berkala.
334. Penggunaan

heparin untuk stroke akut masih diperdebatkan.

Belum ada uji klinis yang memberikan hasil yang konklusif. American Heart
Association merekomendasikan "penggunaan

heparin

tergantung pada

preferensi dokter yang menanganinya. Harus dimengerti bahwa penggunaan

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 70

heparin bisa tidak memperbaiki hasil akhir yang diperoleh pada penderita
stroke iskemik akut ".
335.

Heparin

dapat

diberikan

secara IV atau SK. Pemberian secara IM tidak dianjurkan karena sering


terjadi perdarahan

dan hematom yang

disertai

suntikan. aPTT dimonitor ketat agar berkisar

rasa

sakit pada

tempat

1,5 kali nilai kontrol. Tujuan

terapi adalah meminimalkan resiko transformasi infark menjadi perdarahan dan


memaksimalkan pengurangan resiko serangan ulang. Penderita dengan infark
luas (baik secara klinis maupun basil CT -scan kepala) mempunyai resiko
besar untuk mengalami transformasi tersebut, sehingga pemberian

heparin

sebaiknya ditunda.
336.Farmakokinetik :
Mula kerja : segera pada pemberian IV, 20-60 menit setelah pemberian SK
337.

Kadar puncak dalam plasma: 2 - 4 jam setelah pemberian SK

338.

Waktu paruh : 30-180 menit.

339.

Bioavailabilitas : karena tidak diabsorbsi di saluran cerna, harns

diberikan secara parenteral.


340.

Metabolisme : terutama di hati dan sistem retikuloendotelial (SRE) ;

bisa juga di ginjal


341.

Ekskresi : secara primer diekskresi oleh hati daD SRE.

342.Farmakodinamik :
343.Terikat pada protein plasma secara ekstensif
344.Indikasi :
345.Oasis rendah untuk pencegahan stroke atau komplikasi tromboembolik.
Profilaksis trombosis serebral pada evolving stroke (masih diteliti).
346.Kontraindikasi :
347.Hipersensitif terhadap heparin, trombositopeni berat, perdarahan yang tidak
terkontrol.
348.Interaksi obat :

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 71

349.Antikoagulan oral, asp1nn, dextran, fenilbutazon, ibuprofen, indometasin,


dipiridamol, hidroksiklorokuin, digitalis,

tetrasiklin, nikotin, anti histamin,

nitrogfiserin.
350.Efek samping :
351.Perdarahan, iritasi
menggigil, demam,

lokal,

eritema,

nyeri ringan,

hematom, ulserasi,

urtikaria, asma, rhinitis, lakrimasi, sakit

kepala, mual,

muntah,reaksi anafilaksis, trombositopeni, infark miokard, emboli paru, stroke,


priapismus, gatal dan rasa terbakar, nekrosis kulit, gangren pada tungkai.
Penggunaan
352.15.000

U atau

lebih setiap

hari selama lebih

dari 6 bulan

dapat

menyebabkan osteoporosis dan fraktur spontan.


353.Dosis:
354.Dosis rendah

dianjurkan untuk

pencegahan stroke

dan profilaksis

evolving
355.stroke. Pada pemberian secara SK dimulai dengan 5000 U lalu 5000 U tiap
8-12 jam sampai 7 hari atau sampai penderita sudah dapat dimobilisasi (mana
yang lebih lama). Bila diberi IV, sebaiknya didrips dalam larutan Dekstrose
5% atau NaCIfisiologis

dengan dosis inisial 800 U/jam. Hindari pemberian

dengan bolus. Sesuaikan dosis berdasarkan basil aPTI (sekitar 1,5 kali nilai
normal). Pada anak dimulai dengan SO U/kgBB IV bolus dengan dosis
pemeliharaan sebesar 100 U/kgBB/4jam perdrips atau 20.000 U/m2/24 jam
dengan infus.
356.

OBAT TROMBOUTIK
357.

Biasanya obat ini digunakan untuk infark jantung akut untuk

melarutkan bekuan

darah

yang terbentuk pada

arteri

koronaria.

Walaupun

riwayat adanya gangguan pembuluh darah otak merupakan kontra indikasi


penggunaannya, pada saat ini sedang berlangsung beberapa penelitian mengenai
penggunaannya pada stroke
streptokinase dan

(misalnya

tissue

activator,

urokinase). Pemberiannya secara IV atau IA, dan harus segera

diberikan dalam waktu 90 menit sampai 6 jam


penggunaanya

plasminogen

masih dalam taraf eksperimental.

setelah serangan. Saat ini

KASUS 1

358.

L u m p u h S e b e l a h | 72

Streptokinase berasal dari Streptococcus C. hemolyticus

.Ia

menginaktifasi plasminogen dengan cara tidak langsung yaitu dengan bergabung


terlebih

dahulu dengan plasminogen untuk

Selanjutnya kompleks tersebut

membentuk kompleks

mengkatalisis perubahan

aktifator.

plasminogen

bebas

menjadi plasmin. Waktu paruhnya bifasik. Fase cepat 11-13 menit dan fase
lambat 23 menit. Loading dose 250.000 IU per infus selama 30 menit diikuti
dengan 100.000 IU/jam (biasanya selama 24-72 jam).
359.

Urokinase diisolasi dari urin manusia .Urokinase bekerja langsung

mengaktifkan plasminogen. Seperti streptokinase obat ini tidak bekerja spesifik


terhadap fibrin sehingga
destruksi

menimbulkan lisis sistemik

(fibrinogenolisis dan

faktor pembekuan darah lainnya). Waktu paruhnya sekitar 20 menit.

Loading dose yang dianjurkan 1000-4.500 IU/kgBB IV dilanjutkan dengan infus IV


4.400 IU/kgBB/jam.
360.
361.

NERVE-CELL PROTECTANTS
362. Akhir-akhir ini

sedang

dikembangkan sejumlah

sediaan

yang

dikenal sebagai nerve-cell protectants. Sediaan -sediaan ini diharapkan dapat


bekerja melindungi, sel neuron dari kematian bila mengalami iskemi, walaupun
dengan efek farmakologis yang berbeda-beda. Beberapa sediaan seperti calcium
channel blockers, N-methy/-0- aspartate (NMDA)

antagonists, free

radical

scavengers dan membrane stabilizers telah dicoba pada infark serebri akut.
Sejauh ini hanya nimodipin yang memperoleh rekomendasi dari FDA untuk
profilaksis atau terapi stroke akut karena terbukti menurunkan morbiditas dari
perdarahan sub arakhnoid akut (PSA).
363.

Nimodipin
364. Sebagai calcium

channel

blockers

kerjanya

sama seperti

calcium channel blockers yang lain. Nimodipin mempunyai efek yang lebih besar
pada arteri serebral daripada
yang kuat.

arteri lainnya, mungkin

Mekanisme kerjanya mengurangi defisit

(perdarahan sub arachnoid) belum


menunjukkan

bahwa

untuk

diketahui.

karena sifat lipofiliknya


neurologis

Penelitian

setelah PSA

yang

dilakukan

PSA nimodipin terbukti mengurangi neurologic

KASUS 1

L u m p u h S e b e l a h | 73

ischemic deficits bila diberikan sebelum 96 jam mulai serangan dan dilanjutkan
selama 21. hari dengan dosis 60 mg/4 jam. Sedangkan untuk stroke iskemik
akut nimodipin tidak memberikan basil yang baik.
365.

Farmakokinetik :

366.

Kadar puncak dalam plasma: dalam 1jam setelah pemberian.

367.

Waktu paruh : 8-9 jam.

368.

Bioavailabilitas: diabsorbsi

dengan

cepat,

tetapi

karena

langsung dimetabolisme di hati maka bioavailibilitas(BA) rata-ratanya hanya 13%.


369.

Metabolisme : di hati (first-pass metabolism).

370.

Ekskresi : melalui urine dalam bentuk metabolit, hanya < 1 %

dalam bentuk aktif.


371.

Farmakodinamik :

372.

Pemberian bersama makanan menurunkan kadar plasma dan BA

bila dibandingkan dengan pemberian saat lambung kosong.


373.

Lebih dari 95% terikat pada protein plasma.

374.

Pada

gangguan

fungsi hati metabolismenya berkurang pada sirosis hati, BA nya

meningkat.
375.
376.

Indikasi :

377.

Perbaikan hasil secara neurologis dengan mengurangi insidens dan

beratnya kerusakan pada penderita dengan PSA akibat pecahnya aneurisma


kongenital yang berada dalam kondisi neurologis yang baik setelah serangan.
378.

Interaksi obat :

379.

dengan calcium channel blockers yang lain.

380.

Efek samping :

381.

Sering

Penurunan tekanan

darah, gangguan fungsi

hati, edema, diare, rash, sakit kepala, keluhan saluran cerna,


mual, dispnoe, kelainan EKG, takikardi, bradikardi, nyeri/kram
otot, depresi.

KASUS 1

382.

Kadang-kadang

L u m p u h S e b e l a h | 74

Hepatitis,

gatal,

lambung, trombositopeni, anemi, palpitasi,


wheezing, dizziness,

perdarahan
muntah,

rebound vasospasm, hipertensi, light-

headedness, jaundice.
383.

Dosis:

384.

60 mg/4 jam per oral selama 21 hari, sebaiknya 1 jam sebelum atau 2

jam setelah makan. Pemberian pertama harus dimulai sebelum 96 jam terjadi
serangan. Penderita dengan sirosis hati harus diturunkan dosisnya menjadi 30 mg/4
jam dan dimonitor tekanan darah dan nadinya secara ketat.

KASUS 1

385.

L u m p u h S e b e l a h | 75

KEPUSTAKAAN

386.
387.

Barnett HJM. Aspirin in Stroke Prevention An Overview. Stroke.


1990;21(suppl IV) : IV-40-IV-43.

388.

Biller J, Bruno A. Acute Ischemic Stroke. In : Johnson RT, Griffin JW


editors. Current Therapy in Neurologic Disease. 5th ed. St.Louis: Mosby;
1997. p.191-197.

389.

Chamorro

A, Vila

N, Ascaso C, Blanc R. Heparin

in Acute

Stroke With Atrial Fibrillation. Arch Neurol.1999 ; 56 : 1098-1102.


390.

Kelompok

Studi

Serebrovaskuler

&

Neurogeriatri

Perdossi.

Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke di Indonesia. Jakarta. 1999.


391.

Morgenstern LB, Grotta JC. Transient Ischemic Attacks. In : Johnson


RT, Griffin JW editors. Current Therapy in Neurologic Disease. 5th
ed. St.Louis: Mosby; 1997.p.187-190.

392.

Rosmiati H. dan Gan VHS. Antikoagulan, Antitrombosit, Trombolitik dan


Hemostatik Dalam : Ganiswat;a SG editor. Farmakologi dan Terapi.
Edisi 4. Jakarta: Bagian Farmakologi FK-UI ;1995. hal. 747 -761.

393.

Rowland LP and Klein OF. Current Neurologic Drugs. 1 st ed.


Philadelphia: Current Medicine; 1996 .p. 1-19.

394.

Wahlgren NG. Pharmacological Treatment of Acute Stroke. Cerebrovasc


Dis.1997 : 7(supp13) : 24-30.

KASUS 1

395.
396.

L u m p u h S e b e l a h | 76

397.

Anda mungkin juga menyukai