Anda di halaman 1dari 23

TRAUMA TRAKTUS URINARIUS

Disusun oleh:
Ricka Hardi
030.09.203
Pembimbing:
Dr. Achmad Rizki H.P, Sp.U

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah RSUD Kota Karawang


Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
2014

1. TRAUMA GINJAL
Epidemiologi Trauma Ginjal
Kejadian penyakit ini sekitar 8-10% dengan trauma tumpul atau trauma abdominal.
Pada banyak kasus, trauma ginjal selalu dibarengi dengan trauma organ penting lainnya. Pada
trauma ginjal akan menimbulkan ruptur berupa perubahan organik pada jaringannya. Sekitar
85-90% trauma ginjal terjadi akibat trauma tumpul yang biasanya diakibatkan oleh
kecelakaan lalu lintas.
Etiologi Trauma Ginjal
Sebagian besar trauma (ruptur) ginjal terjadi akibat trauma tumpul. Secara umum,
trauma ginjal dibagi dalam tiga kelas : laserasi ginjal, kostusio ginjal, dan trauma pembuluh
darah ginjal. Semua kelas tersebut memerlukan indeks pengetahuan klinik yang tinggi dan
evaluasi serta penanganan yang cepat.
Ada 3 penyebab utama dari trauma ginjal, yaitu
1. Trauma tajam
2. Trauma iatrogenik
3. Trauma tumpul
Trauma tajam seperti tembakan dan tikaman merupakan 10 20 % penyebab trauma
pada ginjal di Indonesia.Baik luka tikam atau tusuk pada abdomen bagian atas atau pinggang
maupun luka tembak pada abdomen yang disertai hematuria merupakan tanda pasti cedera
pada ginjal.
Trauma iatrogenik pada ginjal dapat disebabkan oleh tindakan operasi atau radiologi
intervensi, dimana di dalamnya termasuk retrograde pyelography, percutaneous nephrostomy
dan percutaneous lithotripsy. Dengan semakin meningkatnya popularitas dari teknik-teknik di

atas, insidens trauma iatrogenik semakin meningkat, tetapi kemudian menurun setelah
diperkenalkan ESWL. Biopsi ginjal juga dapat menyebabkan trauma ginjal.
Trauma tumpul merupakan penyebab utama dari trauma ginjal. Dengan lajunya
pembangunan, penambahan ruas jalan dan jumlah kendaraan, kejadian trauma akibat
kecelakaan lalu lintas juga semakin meningkat.
Trauma tumpul ginjal dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Trauma
langsung biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, olah raga, kerja atau perkelahian.
Trauma ginjal biasanya menyertai trauma berat yang juga mengenai organ organ lain. Trauma
tidak langsung misalnya jatuh dari ketinggian yang menyebabkan pergerakan ginjal secara
tiba tiba di dalam rongga peritoneum. Kejadian ini dapat menyebabkan avulsi pedikel ginjal
atau robekan tunika intima arteri renalis yang menimbulkan trombosis.
Patofisiologi Trauma Ginjal
Trauma ginjal tumpul diklasifikasikan sesuai keparahan luka dan
yang paling sering ditemukan adalah kontusio ginjal. Trauma tumpul pada
region

costa

mengakibatkan

ke

12

menekan

cedera

pada

ginjal

pinggang

ke

lumbar

atau

spine

bagian

dan

bawah

akan
ginjal.

Ditempat costa 12 memberi impak.


Ginjal juga dapat rusak akibat dari tekanan dari bagian anterior
abdomen sering kali dalam kecederaan dalam kecelakaan lalu lintas.
Trauma penetrasi yang sering kali disebabkan oleh luka tusuk atau luka
tembak sering ditemukan juga. Walaupun sering ditemukan hematoma
peri-renal, pasien mungkin tidak menunjukkan hematuria kecuali luka
mencapai calyx atau pelvis.
Trauma ginjal dapat terjadi oleh karena beragam mekanisme. Kecelakaan motor
merupakan penyebab terbanyak dari trauma tumpul abdominal yang menyebabkan trauma
3

ginjal. Selain itu, jatuh dari ketinggian, luka tembak, merupakan penyebab lainnnya. Pada
kasus jarang, trauma ginjal terjadi oleh karena penyebab iatrogenic yang dapat bermanifestasi
dengan perdarahan setelah trauma minor.
Sebagian besar trauma (ruptur) ginjal muncul dengan gejala hematuria (95%), yang
dapat menjadi besar pada beberapa trauma ginjal yang berat. Akan tetapi, trauma vaskuler
ureteropelvic (UPJ), hematuria kemungkinan tidak tampak. Oleh karena, sebagian besar
penanganan trauma, termasuk trauma ginjal, membutuhkan sedikit prosedur invasif, maka
pemeriksaan radiologi sangatlah penting. Dengan pemeriksaan yang akurat dari radiologi
pasien dapat ditangani dengan optimal secara konservatif dari penanganan pembedahan.
Klasifikasi Trauma Ginjal
Berdasarkan American Association for the surgery of Trauma (AAST), trauma
ginjal terbagi dalam beberapa derajat:
1. Grade 1
Ditandai dengan:
Hematuria dengan pemeriksaan radiologi yang normal
Kontusio
Hematoma subkapsular non-ekspandin.
2. Grade 2
Ditandai dengan:
Hematoma perinefrik non-ekspanding yang terbatas pada retroperitoneum
Laserasi kortikal superficial dengan kedalaman kurang dari 1 cm tanpa adanya
trauma pada sistem lain
3. Grade 3
Ditandai dengan: Laserasi ginjal yang kedalamannya lebih dari 1 cm tidak melibatkan
sistem lainnya.
4. Grade 4
Ditandai dengan:
Laserasi ginjal yang memanjang mencapai ginjal dan sistem lainnya
Melibatkan arteri renalis utama atau vena dengan adanya hemoragik
Infark segmental tanpa disertai laserasi
Hematoma pada subkapsuler yang menekan ginjal
5. Grade 5
Ditandai dengan:
4

Devaskularisasi ginjal
Avulse ureteropelvis
Laserasi lengkap atau thrombus pada arteri atau vena utama

Gambar 3. Klasifikasi Trauma Ginjal

Manifestasi Trauma Ginjal


Pada trauma tumpul dapat ditemukan jejas di daerah lumbal, sedangkan pada trauma
tajam tampak luka. Pada palpasi didapatkan nyeri tekan daerah lumbal, ketegangan otot
pinggang, sedangkan massa jarang teraba.
Nyeri abdomen umumya ditemukan di daerah pinggang atau perut bagian atas,
dengan intenitas nyeri yang bervariasi. Bila disertai cedera hepar atau limpa ditemukan
adanya tanda perdarahan dalam perut. Bila terjai cedera traktus. digestivus ditemukan adanya
tanda rangsang peritoneum.

Fraktur costae bagian bawah sering menyertai cedera ginjal. Bila hal ini ditemukan
sebaiknya diperhatikan keadaan paru apakah terdapat hematothoraks atau pneumothoraks
Hematuria makroskopik merupakan tanda utama cedera saluran kemih. Derajat
hematuria tidak berbanding dengan tingkat kerusakan ginjal. Perlu diperhatikan bila tidak ada
hematutia, kemungkinan cedera berat seperti putusnya pedikel dari ginjal atau ureter dari
pelvis ginjal. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda shock.
Tanda kardinal dari trauma ginjal adalah hematuria, yang dapat bersifat massif atau
sedikit, tetapi besarnya trauma tidak dapat diukur dengan volume hematuria atau tanda-tanda
luka. Tanda lainnya ialah adanya nyeri pada abdomen dan lumbal, kadang-kadang dengan
rigiditas pada dinding abdomen dan nyeri lokal. Jika pasien datang dengan kontur pinggang
yang kecil dan datar, kita dapat mencurigai dengan hematoma perinefrik. Pada kasus
perdarahan atau efusi retroperitoneal, trauma ginjal kemungkinan dihubungkan dengan ileus
paralitik, yang bisa menimbulkan bahaya karena membingungkan untuk didiagnosis dengan
trauma intraperitoneal.
Dokter harus memperhatikan fraktur iga, fraktur pelvis atau trauma vertebra yang
dapat berkembang menjadi trauma ginjal. Nausea dan vomiting dapat juga ditemukan.
Kehilangan darah dan shock kemungkinan akan ditemukan pada perdarahan retroperitoneal.
Pemeriksaan Diagnostik
1.

Laboratorium
Pemeriksan urinalisis diperhatikan kekeruhan, warna, pH urin, protein, glukosa dan

sel-sel. Pemeriksaan ini juga menyediakan secara langsung informasi mengenai pasien yang
mengalami laserasi, meskipun data yang didapatkan harus dipandang secara rasional. Jika
hematuria tidak ada, maka dapat disarankan pemeriksaan mikroskopik.
Meskipun secara umum terdapat derajat hematuria yang dihubungkan dengan trauma
traktus urinarius, tetapi telah dilaporkan juga kalau pada trauma ginjal dapat juga tidak
6

disertai hematuria. Akan tetapi harus diingat kalau kepercayaan dari pemeriksaan urinalisis
sebagai modalitas untuk mendiagnosis trauma ginjal masih didapatkan kesulitan.
2.

Radiologi
Cara-cara pemeriksaan traktus urinarius dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:

foto polos abdomen, pielografi intravena, urografi retrograde, arteriografi translumbal,


angiografi renal, tomografi, sistografi, computed tomography (CT-Scan), dan nuclear
Magnetic resonance (NMR).
Ada beberapa tujuan pemeriksaan radiologis pada pasien yang dicurigai menderita
trauma ginjal, yaitu:
1. Klasifikasi beratnya trauma sehingga dapat dilakukan penenganan yang tepat dan
menentukan prognosisnya
2. Menyingkirkan keadaan ginjal patologis pre trauma
3. Mengevaluasi keadaan ginjal kontralateral
4. Mengevaluasi keadaan organ intra abdomen lainnya

3.

Intravenous Pyelography (IVP)


Tujuan pemeriksaan IVP adalah untuk melihat fungsi dan anatomi kedua ginjal dan

ureter. Sedangkan kerugian dari pemeriksaan ini adalah


(1) pemeriksaan ini memerlukan gambar multiple untuk mendapatkan informasi
maksimal, meskipun tekhnik satu kali foto dapat digunakan;
(2) dosis radiasi relative tinggi (0,007-0,0548 Gy)
(3) gambar yang dihasilkan tidak begitu memuaskan.
4.

Ultrasonografi (USG)

Keuntungan pemeriksaan ini adalah

1. non-invasif,
2. dapat dilakukan bersamaan dengan resusitasi, dan
3. dapat membantu mengetahui keadaan anatomi setelah trauma.
Kerugian dari pemeriksaan ini adalah
1. memerlukan pengalaman sonografer yang terlatih,
2. pada pemeriksaan yang cepat sulit untuk melihat mendeskripsikan anatomi ginjal,
dimana kenyataannya yang terlihat hanyalah cairan bebas,
3. trauma bladder kemungkinan akan tidak dapat digambarkan.
5.

Computed Tomography (CT)


Computed Tomography (CT) merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang dapat

digunakan untuk menilai traktus urinarius. Pemeriksaan ini dapat menampakan keadaan
anatomi traktus urinarius secara detail. Pemeriksaan ini menggunakan scanning dinamik
kontras.

Keuntungan dari pemeriksaan ini adalah


1. memeriksa keadaan anatomi dan fungsional ginjal dan traktus urinarius,
2. membantu menentukan ada atau tidaknya gangguan fungsi ginjal dan
3. membantu diagnosis trauma yang menyertai
Kerugian dari pemeriksaan ini adalah
1. pemeriksaan ini memerlukan kontras untuk mendapatkan informasi yang maksimal
mengenai fungsi, hematoma dan perdarahan;
2. pasien harus dalam keadaan stabil untuk melakukan pemeriksaan scanner; dan

3. memerlukan waktu yang tepat untuk melakukan scanning untuk melihat bladder dan
ureter.
6.

Angiography

Keuntungan pemeriksaan ini adalah


(1) memiliki kapasitas untuk menolong dalam diagnosis dan penanganan trauma ginjal
(2) lebih jauh dapat memberikan gambaran trauma dengan abnormalitas IV atau dengan
trauma vaskuler.
Kerugian dari pemeriksaan ini adalah
(1) pemeriksaan ini invasif
(2) pemeriksaan ini memerlukan

sumber-sumber

mobilisasi

untuk

melakukan

pemeriksaan, seperti waktu


(3) pasien harus melakukan perjalanan menuju ke ruang pemeriksaan.

7.

Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI digunakan untuk membantu penanganan trauma ginjal ketika terdapat

kontraindikasi untuk penggunaan kontras iodinated atau ketika pemeriksaan CT-Scan tidak
tersedia. Seperti pada pemeriksaan CT, MRI menggunakan kontas Gadolinium intravena
yang dapat membantu penanganan ekstravasasi sistem urinarius. Pemeriksaan ini merupakan
pemeriksan terbaik dengan sistem lapangan pandang yang luas.
Pada pemeriksaan radiologis dapat ditemukan :
Grade I
Hematom minor di perinephric, pada IVP, dapat memperlihatkan gambaran ginjal
yang abnomal
Kontusi dapat terlihat sebagai massa yang normal ataupun tidak
Laserasi minor korteks ginjal dapat dikenali sebagai dfek linear pada parenkim atau
terlihat mirip dengan kontusi ginjal
9

Yang lebih penting, pencitraan IVP pada pasien trauma ginjal grade I dapat
menunjukkan gambaran ginjal normal. Hal ini tidak terlalu menimbulkan masalah
karena penderit grade I memang tidak memerlukan tindakan operasi .
Pada CT Scan, daerah yang mengalami kontusi terlihat seperti massa cairan diantara
parenkim ginjal
Grade II

Pada IVP dapat terlihat extravasasi kontras dari daerah yang mengalami laserasi
Extravasasi tersebut bisa hanya terbatas pada sinus renalis atau meluas sampai ke

daerah perinefron atau bahkan sampai ke anterior atau posterior paranefron.


Yang khas adalah, batas ;uar ginjal terlihat kabur atau lebih lebar.
Dengan pemeriksaan CT Scan , fraktur parenkim ginjal dapat terlihats
Akumulasi masif dari kontras, terutama pada medial daerah perinefron, dengan
parenkim ginjal yang masih intak dan nonvisualized ureter, merupakan duggan kuat
terjadinya avulsi ureteropelvic junction

Grade III

Secara klinis pasien dalam kadaan yang tidak stabil. Kdang kadang dapat terjadi

shock dan sering teraba massa pada daerah flank.dapt diertai dengan hematuria.
Bila pasien sudah cukup stabil, dapat dilakukan pemeriksaan IVP, dimana terlihat

gangguan fungsi ekskresi baik parsial maupun total


Ada 2 tipe lesi pada pelvis renalis yaitu trombosis A.Renalis dan avulsi A. Renalis.

Angiografi dapat memperlihtkan gambaran oklusi A.Renalis.


Viabilitas dari fragmen ginjal dapat dilihat secara angiografi. Arteriografi
memperlihatkan 2 fragmen ginjal yang terpisah cukup jauh.fragmen yang viabel akan
terlihat homogen karena masih mendapat perfusi cukup baik. Fragmen diantaranya
berarti merupaka fragmen yang sudah tidak viable lagi.

Grade IV

Grade IV meliputi avulsi dari ureteropelvic junction.


Baik IVP maupun CT Scan memeperlihatkan adanya akumulasi kontras pada derah
perinefron tanpa pengisian ureter.
10

Manajemen Trauma ginjal


Emergensi
Penanganan segera dari syok, perdarahan, resusitasi lengkap dan evaluasi cedera
lainnya. Jika kondisi pasien tidak stabil oleh karena trauma / cedera intra abdomen maka
diperlukan tindakan bedah laparotomi eksplorasi untuk resusitasi bedah. Jika didapatkan
hematoma retroperitoneal yang meluas dan pulsatil diindikasikan untuk melakukan eksplorasi
renal.
Urutan eksplorasi laparotomi:
(1) Mencari cedera/kelainan pembuluh darah besar intra abdomen,
(2) Eksplorasi organ Visceral dan intra abdomen lainnya harus dikerjakan dahulu
sebelum
(3) Eksplorasi renal, kecuali terjadi perdarahan ginjal yang masif dan persisten maka
harus dilakukan eksplorasi renal dahulu.
Eksplorasi renal dimulai dengan kontrol pembuluh darah renalis, dengan cara insisi
peritoneum posterior (white line) di atas aorta, sebelah medial ke arah interior vena
mesenterika. Vena renalis kiri mudah dikenali, terletak anterior aorta; merupakan landmark
untuk identifikasi pembuluh darah renal yang lain. Setelah pembuluh renal teridentifikasi
maka lakukan kontrol-kendali pembuluh darah, guna mngurangi blood loss (pada kasus
perdarahan). Hal ini menurunkan angka nefrektomi, dari sekitar 56% menjadi 18%. Kadang
oklusi pembuluh darah ini diperlukan (20%) pada staging bedah cedera ginjal atau pada
repair ginjal.
Operatif
Trauma tumpul
Cedera ginjal minor (85%) biasanya tidak memerlukan tindakan operasi. Perdarahan
11

berhenti spontan dengan tirah baring dan hidrasi. Operasi dilakukan pada kasus perdarahan
retroperitoneal persisten, ekstravasasi urin (drainase), kematian parenkim ginjal dan cedera
pedikel ginjal (<5% dari cedera ginjal). Penilaian staging cedera pra bedah harus dilakukan
secara lengkap sebelum operasi.
Luka tusuk/tembus
Luka tusuk harus dilakukan eksplorasi, kecuali dari pemeriksaan yang lengkap hanya
didapat cedera parenkim minor tanpa ekstravasasi urin. Delapan puluh persen luka tembus
disertai cedera organ lain yang memerlukan operasi segera.
Indikasi eksplorasi renal dibagi menjadi indikasi absolut dan relatif.

Perdarahan

ginjal yang terus menerus, ditandai dengan hematoma yang meluas di daerah atas
retroperitoneal atau hematoma yang paliatif dan konsisten, serta berhubungan dengan laserasi
parenkim renal mayor atau pembuluh darah ginjal merupakan indikasi absolut eksplorasi
renal.
Sedangkan adanya ekstravasasi urin oleh karena laserasi pelvis renal avibat ekstensi
laserasi parenkim hingga sistem pengumpul adalah indikasi relatif. Indikasi relatif lainnya
adalah ditemukannya nonviable tissue, incomplete staging dan adanya trombosis arteri yang
biasanya menyertai perdarahan dan kombinasi dari kombinasi hal-hal di atas.
Salah satu prinsip yang menyebabkan dilakukannya nefrektomi setelah trauma adalah
perdarahan ginjal, kerusakan masif. Sedangkan kerusakan ginjal lainnya dapat dilakukan
repair atau rekonstruksi.
Prinsip-prinsip repair pada trauma ginjal :
(1) total renal exposure penting untuk mengamati cedera secara penuh,
(2) debridement,
(3) hemostasis,
(4) collecting system closure dengan cara-cara seperti penutupan defek (defect
coverage), nefrektomi parsial, dan renorrhaphy.

12

Komplikasi
Komplikasi awal
Perdarahan merupakan komplikasi segera yang paling penting pada cedera ginjal.
Pasien harus diawasi dengan ketat, monitoring tekanan darah dan hematokrit, ukuran dan
ekspansi massa yang dapat dipalpasi. Perdarahan berhenti pada 80-85% kasus. Perdarahan
retroperitoneal yang terus menerus atau gross hematuri hebat mungkin perlu tindakan operasi
segera.
Ekstravasasi urin dari ginjal dapat berupa massa (urinoma) di retro peritoneal yang
mana rentan untuk terbentuknya abses dan sepsis. Febris ringan dapat terjadi pada hematom
retroperitoneal yang diresorbsi, bila suhu lebih tinggi menunjukkan adanya inflamasi Abses
perinefrik dapat terbentuk, yang mengakibatkan nyeri tekan perut dan nyeri flank, merupakan
indikasi untuk operasi segera.
Komplikasi lanjut
Hipertensi, hidronefrosis, fistel arteriovena, batu dan pielonefritis merupakan
komplikasi lanjut.

Pengawasan tekanan darah selama beberapa bulan diperlukan untuk

menilai adanya hipertensi. Sesudah 3 - 6 bulan, dilakukan pemeriksaan ekskresi urografi


untuk memastikan jaringan parut perinefrik yang ada tidak menyebabkan hidronefrosis atau
gangguan vaskuler.

Gangguan vaskuler lengkap dapat menyebabkan atrofi ginjal.

Perdarahan lambat yang hebat dapat terjadi 1 - 4 minggu pasca trauma.


TRAUMA BULI-BULI
Pada waktu lahir hingga usia anak, buli-buli terletak di rongga abdomen. Namun
semakin bertambahnya usia, tempatnya turun dan terlindung di dalam kavum pelvis; sehingga
kemungkinan mendapatkan trauma dari luar jarang terjadi.

13

Etiologi
Kurang lebih 90% trauma tumpul buli-buli adalah akibat fraktur pelvis. Fiksasi bulibuli pada tulang pelvis oleh fasia endopelvik dan diafragma pelvis sangat kuat sehingga
cedera deselerasi terutama jika titik fiksasi fasia bergerak pada arah berlawanan (seperti pada
fraktur pelvis), dapat merobek buli-buli. Robeknya buli-buli karena fraktur pelvis bisa pula
terjadi akibat fragmen tulang pelvis merobek dindingnya.
Dalam keadaan penuh terisi urin, buli-buli mudah sekali robek jika mendapatkan
tekanan dari luar berupa benturan pada perut sebelah bawah. Buli-buli akan robek pada
daerah fundus dan menyebabkan ekstravasasi urin ke rongga intraperitoneum.
Tindakan endourologi dapat menyebabkan trauma buli-buli iatrogenic antara lain pada
reseksi buli-buli transurethral (TUR buli-buli) atau pada litotripsi. Demikian pula partus
kasep atau tindakan operasi di daerah pelvis dapat menyebabkan trauma iatrogenic pada bulibuli.
Klasifikasi
Secara klinis cedera buli-buli dibedakan menjadi:

kontusio buli-buli
cedera buli-buli ekstraperitoneal 45-60%
cedera intraperitoneal 25-45%

2-12% cederanya cedera buli-buli ekstraperitoneal+cedera intraperitoneal. Jikat tidak


mendapatkan perawatan dengan segera 10-20% cedera buli-buli akan berakibat kematian
karena peritonitis atau sepsis.
Diagnosis
Setelah mengalami cedera pada abdomen sebelah bawah, pasien mengeluh nyeri
didaerah suprasimfisis, miksi bercampur darah atau mungkin pasien tidak dapat miksi.
Gambaran klinis yang lain tergantung pada etiologi trauma, bagian buli-buli yang mengalami
cedera yaitu intra/ekstraperitoneal, adanya organ lain yang mengalami cedera, serta penyulit
yang terjadi akibat trauma. Dalam hal ini mungkin didapatkan tanda fraktur pelvis, syok,
hematoma perivesika, atau tanpa tanda sepsis dari suatu peritonitis atau abses perivesika.

14

Pemeriksaan pencitraan berupa sistografi yaitu dengan memasukkan kontras kedalam


buli-buli sebanyak 300-400 ml secara gravitasi (tanpa tekanan) melalui kateter per-uretram.
Kemudian dibuat beberapa foto, yaitu (1) foto pada saat buli-buli terisi kontras dalam posisi
anterior-posterior (AP), (2) pada posisi oblik, dan (3) wash out film yaitu foto setelah kontras
dikeluarkan dari buli-buli.

Terapi
Pada kontusio buli-buli, cukup dilakukan pemasangan kateter dengan tujuan untuk
memberikan istirahat pada buli-buli. Dengan cara ini diharapkan buli-buli sembuh setelah 710 hari.
Pada cedera intraperitoneal harus dilakukan eksplorasi laparatomi untuk mencari
robekan pada buli-buli serta kemungkinan cedera pada organ lain. Jika tidak dioperasi
ekstravasasi urin ke rongga intraperitoneum dapat menyebabkan peritonitis. Rongga
intraperitoneum dicuci, robekan pada buli-buli dijahit 2 lapis, kemudian dipasang kateter
sistostomi yang dilewatkan di luar sayatan laparatomi.
Pada cedera ekstraperitoneal, robekan yang sederhana (ekstravasasi minimal)
dianjurkan untuk memasang kateter selama 7-10 hari, tetapi sebagian ahli lain menganjurkan
untuk melakukan penjahitan buli-buli denagn pemasangan kateter sistostomi. Namun tanpa
tindakan pembedahan kejadian kegagalan penyembuhan luka 15%, dan kemungkinan untuk
terjadinya infeksi pada rongga perivesika sebesar 12%. Oleh karena itu jika bersamaan
dengan rupture buli-buli terdapat cedera organ lain yang membutuhkan operasi, sebaiknya
dilakukan penjahitan buli-buli dan pemasangan kateter sistostomi.
15

Untuk memastikan bahwa buli-buli telah sembuh, sebelum melepas kateter uretra atau
kateter sistostomi, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan sistografi guna melihat
kemungkinan masih adanya ekstravasasi urin. Sistografi dibuat pada hari ke 10-14 pasca
trauma. Jika masih ada ekstravasasi kateter sistostomi dipertahankan sampai 3 minggu.
Penyulit
Pada cedera buli-buli ekstraperitoneal, ekstravasasi urin ke rongga pelvis yang
dibiarkan dalam waktu lama dapat menyebabkan infeksi dan abses pelvis. Yang lebih berat
lagi adalah robekan buli-buli intraperitoneal, jika tidak segera dilakukan operasi, dapat
menimbulkan peritonitis akibat dari ekstravasasi urin pada rongga intraperitoneum. Kedua
keadaan itu dapat menyebabkan sepsis yang dapat mengancam jiwa.

TRAUMA URETRA
Secara klinis trauma uretra dibedakan menjadi trauma uretra anterior dan trauma
uretra posterior, hal ini karena keduanya menunjukkan perbedaan dalam hal etiologi trauma,
tanda klinis, pengelolaan, serta prognosisnya.
Etiologi
Trauma uretra terjadi akibat cedera yang berasal dari luar (eksternal) dan cedera
iatrogenic akibat instrumentasi pada uretra. Trauma tumpul tang menimbulkan fraktur tulang
pelvis menyebabkan rupture uretra pars membranasea, sedangkan trauma tumpul pada
selangkangan atau straddle injury dapat menyebabkan rupture uretra pars bulbosa.
Gambaran klinis
Kecurigaan adanya trauma uretra adalah jika didapatkan perdarahan per-uretram yaitu
terdapat darah yang keluar dari meatus uretra eksternum setelah mengalami trauma. Pada
trauma uretra yang berat, seringkali pasien mengalami retensi urin. Pada keadaan ini tidak
diperbolehkan melakukan pemasangan kateter, karena dapat menyebabkan kerusakan
uretra yang lebih parah.
Diagnosis ditegakkan melalui foto uretrografi dengan memasukkan kontras melalui
uretra, guna mengetahui adanya rupture uretra.
16

Ruptura Uretra Posterior


Rupture uretra posterior paling sering disebabkan oleh fraktur tulang pelvis. Fraktur
yang mengenai ramus atau simfisis pubis dan menimbulkan kerusakan pada cincin pelvis,
menyebabkan robekan uretra pars prostate-membranasea.
Klasifikasi
Colapinto dan McCollum (1976) membagi derajat cedera uretra dalam 3 jenis :
1. Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami stretching (peregangan).
2. Uretra posterior terputus pada perbatasan prostate-membranasea, selanjutnya
diafragma urogenitalia masih utuh.
17

3. Uretra posterior, diafragma urogenitalis, dan uretra pars bulbosa sebelah proksimal
ikut rusak.
Diagnosis
Rupture uretra posterior seringkali memberikan gambaran yang khas berupa: (1)
perdarahan per-uretram, (2) retensi urin, dan (3) pada pemeriksaan colok dubur didapatkan
adanya floating prostate (prostat melayang) di dalam suatu hematom. Pada pemeriksaan
uretrografi retrigrad mungkin terdapat elongasi uretra atau ekstravasasi kontra pada pars
prostate-membranasea.
Tindakan
Ruptura uretra posterior biasanya diikuti oleh trauma mayor pada organ lain
(abdomen dan fraktur pelvis) dengan disertai ancaman jiwa berupa perdarahan. Oleh karena
itu sebaiknya di bidang urologi tidak perlu melakukan tindakan yang invasif pada uretra.
Tindakan yang berlebihan akan menyebabkan timbulnya perdarahan yang lebih banyak pada
kavum pelvis dan prostat serta menambah kerusakan pada uretra dan struktur neovaskuler di
sekitarnya. Kerusakan neurovaskuler menambah kemungkinan terjadinya disfungsi ereksi
dan inkontinensia.
Pada keadaan akut tindakan yang dilakukan adalah melakukan sistostomi untuk
diversi urin. Setelah keadaan stabil sebagian ahli urologi melakukan primary endoscopic
realignment yaitu melakukan pemasangan kateter uretra sebagai splint melalui tuntunan
uretroskopi. Dengan cara ini diharapkan kedua ujung uretra yang terpisah dapat saling
didekatkan. Tindakan ini dilakukan sebelum 1 minggu pasca rupture dan kateter uretra
dipertahankan selama 14 hari.
Sebagian ahli lain mengerjakan reparasi uretra (uretoplasti) setelah 3 bulan pasca
trauma dengan asumsi bahwa jaringan parut pada uretra telah stabil dan matang sehingga
tindakan rekonstruksi membuahkan hasil yang lebih baik.
Penyulit
Penyulit yang terjadi pada rupture uretra adalah striktura uretra yang seringkali
kambuh, disfungsi ereksi, dan inkontinensia urin. Disfungsi ereksi terjadi pada 13-30% kasus
disebabkan karena kerusakan saraf parasimpatik atau terjadinya insufisiensi arteria.
18

Inkontinensia urine lebih jarang terjadi, yaitu 2-4% yang disebabkan karena kerusakan
sfingter uretra eksterna.
Setelah rekonstruksi uretra seringkali masih timbul striktura (12-15%) yang dapat
diatasi dengan uretrotomia interna (sachse). Meskipun masih bisa kambuh kembali, striktura
ini biasanya tidak memerlukan tindakan uretoplasti ulangan.
Rupture Uretra Anterior
Cedera dari luar yang sering menyebabkan kerusakan uretra anterior adalah straddle
injury (cedera selangkangan) yaitu uretra terjepit diantara tulang pelvis dan benda tumpul.
Jenis kerusakan urerta yang terjadi berupa: kontusio dinding uretra, rupture parsial, atau
rupture total dinding uretra.
Patologi
Jika terjadi rupture uretra beserta korpus spongiosum, darah dan urin keluar dari
uretra tetapi masih terbatas pada fasia Buck, dan secara klinis terlihat hematoma yang
terbatas pada penis. Namun jika fasia Buck ikut robek, ekstravasasi urin dan darah hanya
dibatasi oleh fasia Colles sehingga darah dapat menjalar hingga skrotum atau ke dinding
abdomen. Oleh karena itu robekan ini memberikan gambaran seperti kupu-kupu sehingga
disebut butterfly hematoma atau hematoma kupu-kupu.
Diagnosis
Pada kontusio uretra, pasien mengeluh adanya perdarahan per-uretram atau hematuria.
Jika terdapat robekan pada korpus spongiosum, terlihat adanya hematom pada penis atau
hematoma kupu-kupu. Pada keadaan ini seringkali pasien tidak dapat miksi.
Pemeriksaan uretrogafi retrograd pada kontusio uretra tidak menunjukkan adanya
ekstravasasi kontras, sedangkan pada ruptur uretra menunjukkan adanya ekstravasasi kontras
di pars bulbosa.
Tindakan
Kontusio uretra tidak memerlukan terapi khusus, tetapi mengingat cedera ini dapat
menimbulkan penyulit striktura uretra dikemudian hari, maka setelah 4 6 bulan perlu
dilakukan pemeriksaan uretrografi ulangan. Pada rupture uretra parsial dengan ekstravasasi
19

ringan, cukup

dilakukan sistostomi untuk mengalihkan aliran urin. Kateter sistostomi

dipertahankan sampai 2 minggu, dan dilepas setelah diyakinkan melalui pemeriksaan


uretrografi bahwa sudah tidak ada ekstravasasi kontras atau tidak timbul striktura uretra.
Namun jika timbul striktura uretra, dilakukan reparasi uretra atau sachse.
Tidak jarang ruptur uretra anterior disertai dengan ekstravasasi urine dan hematom
yang luas sehingga diperlukan debridement dan insisi hematoma untuk mencegah infeksi.
Reparasi uretra dilakukan setelah luka menjadi lebih baik.
TRAUMA PENIS
Trauma yang mencederai penis dapat berupa trauma tumpul, truma tajam, terkena
mesin pabrik, rupture tunika albuginea, atau strangulasi penis.
Pada trauma tumpul atau terkena mesin, jika tidak terjadi amputasi total, penis cukup
dibersihkan dan dilakukan penjahitan primer. Jika terjadi amputasi penis total dan bagian
distal dapat diidentifikasi, dianjurkan dicuci dengan larutan faram fisiologis kemudian
disimpan didalam kantung es, dan dikirim ke pusat rujukan. Jika masih mungkin dilakukan
replantasi (penyambungan) secara mikroskopik.

Fraktur Penis
Fraktur penis adalah rupture tunika albuenia korpus kavernosum penis yang terjadi
pada saat penis dalam keadan ereksi. Rupture ini dapat disebabkan karena dibengkokkan
sendiri oleh pasien pada saat masturbasi, dibengkokkan oleh pasangannya, atau tertekuk
20

secara tidak sengaja pada saat hubungan seksual. Akibat tertekuk ini, penis menjadi bengkok
(angulasi) dan timbul hematoma pada penis dengan disertai nyeri.
Untuk mengetahui letak rupture, pasien perlu menjalani pemeriksaan foto
kavernosografi yaitu memasukkan kontras kedalam korpus kavernosum dan kemudian
diperhatikan adanya ekstravasasi kontras keluar dari tunika albugenia.

Tindakan
Eksplorasi rupture dengan sayatan sirkuminisi, kemudian dilakukan evakuasi
hematoma. Selanjutnya dilakukan penjahitan pada robekan tunika albugenia.

Strangulasi Penis
Strangulasi penis adalah jeratan pada pangkal penis yang menyebabkan gangguan
aliran darah pada penis. Gangguan aliran darah ini mengakibatkan penis menjadi iskemia dan
edema yang jika dibiarkan akan menjadi nekrosis. Jeratan pada penis harus segera
ditanggulangi dengan melepaskan cincin atau penjerat yang melingkar pada penis.
Beberapa cara untuk melepaskan cincin yang menjerat batang penis adalah (1)
memotong logam itu dengan gerinda atau gergaji listrik, (2) melingkarkan tali pada penis
pada sebelah distal logam dan kemudian melepaskannya perlahan-lahan, atau (3) melakukan
insisi pada penis yang telah mengalami edema dengan tujuan membuang cairan (edema0
sehingga logam dapat dikeluarkan.

21

DAFTAR PUSTAKA
1. Ruchelle J. L, Belldgrun A, Brunicardi F.C. Urology in Brunicardi F.C et al, Editor.
Schwartzs Principles of Surgery. 9th ed. McGraw-Hill. New York. 2010. p 1459-1475.
2. McAninch J.K, Tanagho A. Injuries to The Genitourinary Tract in Smiths, General
Urology. 16th ed. Lange. New York. 2004. P 291-311
3. Guyton, Hill. Ginjal dan Cairan tubuh in Buku Ajar. Fisiologi kedokteran. 9th ed.
EGC. Jakarta. 2007. p 375-524
4. Santucci R.A, Doumanian L.R, Upper Urinary Tract Trauma in Cambell-Wash. 10 th
ed. Elsevier. New York. 2012. P1172-1191
5. Summertom D.J et all. Renal Trauma in Guidelines on Urological Trauma. European
Association of Urology. 2013. p 9-23.
22

23

Anda mungkin juga menyukai