Bahan Skripsi 2 PDF
Bahan Skripsi 2 PDF
JURNAL
TUBERKULOSIS
INDONESIA
DAFTAR ISI :
RAPIDTB TEST
MEROKOKDAN TUBERKULOSIS
TUBERKULOSISDAN HIV-AIDS
TUBERKULOSISNOSOKOMIAL
Diterbitkan Oleh
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI)
The Indonesian Association Againts Tuberculosis
JURNAL
TUBERKULOSIS
INDONESIA
Diterbitkan Oleh
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia
Pemimpin Umum
Ketua Umum PP PPTI
Penanggung Jawab
Dr. Achmad Hudoyo, Sp.P, FCCP
Pemimpin Redaksi
Dr. Prasenohadi, Sp.P, Ph.D
Sekretariat Redaksi
Drs. Sumardi
Abstrak
Dibuat dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, secara
terstruktur yang memuat inti pendahuluan; subjek
dan metode; hasil; dan kesimpulan penlis. Abstrak
tidak lebih dari 250 kata.
Tabel dan Gambar
EDITORIAL
Sekali lagi tentang TB-MDR. Siapa yang salah ?
Kalau seandainya dokter yang mengobati sakit tb-paru saya dulu menjelaskan begini akibatnya dan seperti ini
penderitaan yang harus saya jalani, pasti saya akan taat dan berobat teratur sampai sembuh betul!
Begitulah keluhan yang disampaikan seorang pasien yang didiagnosis sebagai TB-MDR, yaitu TB-paru dengan
kuman tidak sensitif lagi dengan obat anti tb (OAT) minimal dengan jenis obat rifampisisn dan INH. Sehingga
pasien harus menjalani pengobatan 2 tahun lamanya. Dia harus mendapat injeksi setiap hari selama 6 bulan
dan obat minum minimal 4 macam obat lini kedua yang masih sensitif setiap hari selama 18 bulan setelah
konversi. Untuk menjamin ketaatan minum obat pada program pengobatan TB- MDR, obat harus diminum
dihadapan petugas kesehatan di rumah sakit atau puskesmas setiap hari. Bagi pasien yang mampu atau bahkan
sudah pension tidak terlalu bermasalah, akan tetapi bagi pasien dengan umurt muda, masih bekerja atau bahkan
tulang punggung rumah tangga, sangat menimbulkan masalah dan penderitaan bukan saja terhadap diri sendiri
yang sedang sakit tetapi juga keluarga terutama istri dan anak-anak.
Secara teoritis ada 5 faktor yang dianggap berperan menyebabkan wabah TB- MDR, yaitu (1). Pengobatan tidak
adekuat (menimbulkan mutan M.tb yg resisten), (2). Pasien yg lambat terdiagnosis MDR, sehingga menjadi
sumber penularan terus menerus, (3). Pasien dengan TB resisten obat yang tidak bisa disembuhkan, akan
meneruskan penularan ,(4). Pasien dengan TB resisten obat meskipun diobati terus tetapi dengan obat yang
tidak adekuat mengakibatkan penggandaan mutan resisten ,(5). Ko- inveksi HIV mempermudah terjadinya resistensi
primer maupun sekunder.
Oleh karena itu dalam standar internasional penatalaksanaan TB (ISTC) standar 14 perlu dilakukan penilaian
kemungkinan resistensi obat, berdasar riwayat pengobatan sebelumnya, pajanan dgn sumber yg mungkin resisten
obat, dan prevalensi resistensi obat dalam masyarakat. Standar 15 ISTC mengisyaratkan bahwa pasien gagal
pengobatan dan kasus kronik selalu dipantau kemungkinan terjadi resistensi obat. Untuk pasien dengan
kemungkinan resistensi obat, biakan dan uji sensitiviti obat terhadap isoniazid, rifampisin dan etambutol
seharusnya dilakukan segera. Pasien tuberkulosis yang disebabkan kuman resisten obat (khususnya MDR)
seharusnya diobati dengan paduan obat khusus yang mengandung obat anti tuberkulosis lini kedua. Paling
tidak harus digunakan empat obat yg masih efektif dan pengobatan harus diberikan paling sedikit 18 bulan.
Cara-cara yang berpihak kepada pasien disyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan.
Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan MDR-TB
harus dilakukan.
Peran Pusat Kesehatan Masyarakat (Puseksmas) di Indonesia dalam melaksanakan Program TB Nasional tidak
diragukan lagi. Puskesmas mempunyai infra struktur program kesehatan komunitas yang lebih baik, sehingga
angka putus obat rendah dan kesembuhan tinggi. Tetapi jangkauan Puskesmas untuk menjaring pasien TB
terbatas, hanya sekitar 30 40%, selebihnya pasien TB ditangani oleh dokter praktek swasta, klinik atau rumah
swasta dan rumah sakit pemerintah yang tidak mempunyai jejaring dan infrastruktur kesehatan masyarakat
yang baik, bahkan boleh dikatakan buruk. Meskipun belum ada bukti dan data, tetapi hipotesis yang memprediksi
bahwa kesalahan yang dapat berakibat timbulnya wabah TB-MDR ada pada dokter praktek swasta dan unit
kesehatan tersebut.
ii
Sungguh sangat ironis memang. Akan tetapi kalau hal tersebut terbukti, maka secara nasional harus diambil
kebijakan mendasar untuk mengevaluasi hal tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, sangat menarik studi
yang dilkukan oleh dua mahasiswa peserta program S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat asal Afganistan yang berjudul
Role of the Private Health Sector to Prevent MDR-TB Epiemics in Indonesia.
Dalam jurnal kali ini kita muat beberapa makalah yang bisa menunjang program TB Nasional, utamanya yang
berhubungan dengan MDR- TB secara tidak langsung. Diagnosis TB- Cepat tulisan Apri Liyanda, suatu tinjauan
pustaka yang membahas penegakan diagnosis TB dalam waktu singkat, kurang dari satu jam dengan tujuan agar
diagnosis Tb tidak terlambat. Evaluasi metoe FAST-plaque adalah buah karya penelitian Lely Septawati Sp Mk
dkk. Penelitian lain tentang Hubungan Dukungan Sosial dengan Kualitas Hidup pasien TB paru, hasilya dipaparkan
dalam tulisan Nita Yuniarti R.
iii
LATAR BELAKANG
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit yang
telah lama dikenal dan sampai saat ini masih menjadi penyebab
utama kematian di dunia.1 Prevalensi TB di Indonesia dan negaranegara sedang berkembang lainnya cukup tinggi.2 Pada tahun
2006, kasus baru di Indonesia berjumlah >600.000 dan
sebagian besar diderita oleh masyarakat yang berada dalam usia
produktif (1555 tahun). Angka kematian karena infeksi TB
berjumlah sekitar 300 orang per hari dan terjadi >100.000
kematian per tahun.3 Hal tersebut merupakan tantangan bagi
semua pihak untuk terus berupaya mengendalikan infeksi ini.
Salah satu upaya penting untuk menekan penularan TB di
masyarakat adalah dengan melakukan diagnosis dini yang
definitif.
Saat ini kriteria terpenting untuk menetapkan dugaan
diagnosis TB adalah berdasarkan pewarnaan tahan asam. Walau
demikian, metode ini kurang sensitif, karena baru memberikan
hasil positif bila terdapat >103 organisme/ml sputum.4 Kultur
memiliki peran penting untuk menegakkan diagnosis TB karena
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada
pewarnaan t ahan asam.5 Kult ur Lowenst ein- Jensen (LJ)
merupakan baku emas metode identifikasi Mycobacterium
tuberculosis, dengan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing
99% dan 100%,6 akan tetapi waktu yang diperlukan untuk
memperoleh hasil kultur cukup lama, yaitu sekitar 8 minggu.7
Hal ini tentu saja akan menyebabkan keterlambatan yang
bermakna untuk menegakkan diagnosis dan memulai terapi.5
Secara umum, metode penegakan diagnosis yang banyak
digunakan saat ini adalah metode lama, sehingga diperlukan
teknik diagnosis baru, yang dapat mendiagnosis TB dengan lebih
cepat dan akurat.8
Amplifikasi asam nukleat merupakan teknik identifikasi
cepat Mycobacterium tuberculosisyang telah banyak digunakan
di negara-negara maju beberapa tahun terakhir ini. Sayangnya,
secara t eknis met oda ini t idak mudah dikerjakan dan
memerlukan biaya yang cukup mahal.4 Metoda diagnosis cepat
yang baru dikembangkan yaitu penggunaan Mycobacteriophage.
Mycobact eriophage akan menginfeksi Mycobact erium
tuberculosis hidup pada sputum. Deteksi Mycobacterium
METODEA
Sputum diperoleh dari 46 orang pasien, terdiri dari
18 pasien yang berobat jalan di poli paru Rumah Sakit Umum
Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM) Jakarta,
satu pasien yang dirawat di bagian paru RSUPNCM Jakarta,
3 pasien yang berobat di Puskesmas Menteng Jakarta dan
24 pasien yang berobat di Perkumpulan Pemberantasan
Tuberkulosis Indonesia (PPTI) Tanah Tinggi Jakarta, yang
memenuhi kriteria inklusi dan t elah menandatangani
informed consent. Kriteria inklusi yang digunakan adalah
pasien usia e15 tahun dengan suspek TB paru. Suspek TB
paru ditetapkan dengan kriteria yang memenuhi satu atau
lebih gejala sebagai berikut : gangguan di saluran nafas
(batuk e 2 minggu, batuk darah, sesak nafas, nyeri dada),
terdapat gejala sistemik (demam, malaise, keringat malam,
anoreksia, penurunan berat badan).11 Pengambilan sputum
dilakukan dengan teknik asepsis.12 Pengambilan sputum dari
masing-masing responden dilakukan maksimal sebanyak 3
HASIL
Selama 2 periode pengumpulan sampel diperoleh 95
dan 69 sampel sputum. Pada periode I, 50 dari 95 sampel
tidak dapat digunakan karena :
a.Pertumbuhan koloni dari 24 sampel sputum yang
diperiksa disertai perubahan warna pada media LJ
dari hijau menjadi biru atau coklat.
b.Pertumbuhan bakteri kontaminan pada LJ dari 14
sampel sputum.
c.Enam sampel mengalami kontaminasi pada hasil uji
FASTPlaqueTBTM
d.Dua responden (6 sampel) tidak ada keterangan
mengenai gejala klinik.
Sedangkan pada periode ke-2, sebanyak 17 dari 69 sampel
tidak dapat digunakan karena :
a.Pertumbuhan bakteri kontaminan pada LJ dari 8
sampel sputum.
b.Lima sampel mengalami kont aminasi pada uji
FASTPlaqueTBTM
c.Dua sampel mengalami kontaminasi baik pada kultur
LJ maupun uji FASTPlaqueTBTM
d.Dua sampel mengalami perubahan warna pada media
kult ur LJ dan kont aminasi pada hasil uji
FASTPlaqueTBTM.
Dengan demikian total sampel yang terkumpul adalah 164
sampel sputum, sedangkan jumlah sampel yang digunakan
dalam penelitian sebanyak 97 sampel.
Karakteristik umur dari 46 responden yang masuk
dalam penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah tersangka
TB paling banyak berada pada usia 35-44 dengan mean 43
tahun dan deviasi standard (SD) 16,5. Distribusi responden
berdasarkan jenis kelamin menunjukkan 33 orang (33/46)
berjenis kelamin laki-laki dan 13 orang (13/46) berjenis
kelamin perempuan.
Dari 97 sampel yang dibiak, 7 sampel tumbuh NTM,
52 sampel tumbuh Mycobacterium tuberculosis dan 38
sampel menunjukkan kultur negatif. Dari 7 sampel NTM yang
dit emukan, 2 di ant aranya t erdet eksi posit if oleh
FASTPlaqueTBTM dan 5 sampel terdeteksi negatif. Analisis
hanya dilakukan terhadap kultur Mycobacterium tuberculosis
dan kultur negatif.
Kultur LJ
Sensitivitas Spesifisitas NDP NDN RK RK
Positif Negatif
(%)
(%)
(%) (%) pos neg
Positif
47
Negatif
33
90,4
52
38
86,8
Keterangan : LJ ; Lowenstein- Jensen, NDP ; nilai duga positif, NDN ; nilai duga
negatif, RK pos ; rasio kemungkinan positif, RK neg ; rasio kemungkinan negatif.
Kultur LJ
Sensitivitas Spesifisitas NDP NDN RK RK
Positif Negatif
(%)
(%)
(%) (%) pos neg
86,5
78,9
Uji
Uji
FASTPlaqueTB TM FASTPlaqueTB TM
Kultur LJ
positif
Positif
45
Positif n(%)
Negatif n(%)
Negatif
30
Negatif
4 (50,0)
4 (50,0)
52
38
1-9 BTA/100
lapang pandang
1 (50,0)
1 (50,0)
+1
+2
+3
17 (94,4)
18 (100)
15 (93,7)
1 (5,6)
0 (0,0)
1 (6,3)
18
18
16
Keterangan : LJ ; Lowenstein- Jensen, NDP ; nilai duga positif, NDN ; nilai duga
negatif, RK pos ; rasio kemungkinan positif, RK neg ; rasio kemungkinan negatif.
Positif
49
11
Negatif
27
52
38
(%)
(%)
(%)
pos
neg
Penawaran
langsung
94,0
71,0
81,0 90,0 3
0,1
Keterangan : LJ ; Lowenstein- Jensen, NDP ; nilai duga positif, NDN ; nilai duga
negatif, RK pos ; rasio kemungkinan positif, RK neg ; rasio kemungkinan negatif.
Kultur LJ
negatif
Negatif
27 (81,8)
33
1-9 BTA/100
lapang pandang
0 (0,0)
1 (100)
+1
+2
+3
1 (50,0)
1 (50,0)
0 (0,0)
1 (50,0)
1 (50,0)
0 (0,0)
2
2
0
PEMBAHASAN
Responden yang ikut dalam penelitian ini berjumlah
46 pasien baru, belum pernah mendapat atau sedang dalam
terapi OAT(obat antituberkulosis). Beberapa penelitian yang
dilakukan sebelumnya, antara lain penelitian di Spanyol,
Filipina dan Turki, menunjukkan bahwa terapi OAT dapat
menurunkan sensitivitas pemeriksaan uji FASTPlaqueTBTM.
Semua penelitian tersebut menunjukkan sensitivitas di
bawah 60%.10
Dat a yang diperoleh pada penelit ian ini
memperlihatkan bahwa responden t erbanyak adalah
kelompok umur 35-44 yaitu 12 orang (12/45). Data tersebut
sesuai dengan laporan dari Sub Direktorat TB Depkes RI
tahun 2006, yang menyatakan bahwa infeksi TB sebagian
besar diderita oleh masyarakat yang berada dalam usia
produktif (1555 tahun ).3 Data yang dikeluarkan oleh
Depkes RI (2001) juga menunjukkan bahwa 75% penderita
TB paru berada pada kelompok usia produktif (1550 tahun)
dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah.18 Kondisi
t ersebut t ent u saja akan sangat berdampak pada
perekonomian keluarga, masyarakat dan negara.19 Selain
merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak
buruk lainnya secara sosial bahkan dikucilkan oleh
masyarakat .20 Berdasarkan jenis kelamin, responden
terbanyak dalam penelitian ini berjeniskelamin laki-laki yaitu
33 orang (33/45) dan 13 orang (13/45) berjenis kelamin
perempuan. Infeksi TB memang cenderung lebih sering
diderita oleh laki-laki dibandingkan wanita. Hal ini antara
lain disebabkan karena faktor kebiasaan merokok. Kebiasaan
merokok dapat meningkatkan risiko infeksi TB paru sebanyak
2,2 kali.21
Hasil pewarnaan Ziehl Neelsen setelah homogenisasi
dan dekontaminasi menunjukkan sebanyak 58% (52/90)
sampel memberikan hasil positif. Hal ini sesuai dengan
kenyat aan bahwa diperkirakan set engah hingga
tigaperempat kasus TB aktif menunjukkan BTA (+) dan
sisanya BTA (-). Hasil kultur juga menunjukkan data yang
sama, yaitu 58% sampel menunjukkan hasil kultur LJpositif
dan sisanya menunjukkan hasil kultur negatif.4
FASTPlaqueTBTM merupakan suatu metode diagnostik
yang mudah dikerjakan dan dapat memberikan hasil dalam
waktu 2x24 jam. Apabila dibandingkan dengan kultur LJ,
metode ini memiliki sensitivitas 86,5% dan spesifisitas
78,9%, Nilai duga posit if dan negat if met ode
FASTPlaqueTBTM adalah 85,0% dan 81,0%. Rasio
kemungkinan positif dan negatif uji ini adalah 4,14 dan
0,16. Nilai sensitivitas yang diperoleh pada penelitian ini
sesuai dengan rentang nilai sensitivitas penelitian meta
analisis t erhadap 13 penelit ian. Penelit ian t ersebut
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental
yang bersifat kuantitatif dengan metode deskriptif dengan
rancangan studi potong lintang. Total sampel sebesar 50
orang penderita TB paru yang berobat di BP4 Unit Minggiran
yang memenuhi kriteria yang ditentukan yaitu : terdiagnosis
medismenderita TB paru BTA(+), telah melewati fase intensif
program pengobatan minimal 2 bulan dengan OATKategori
I, penderita usia produktif yaitu antara 1555 tahun, dapat
membaca dan menulis. Data diambil dengan pengisian
kuesioner oleh responden pada bulan Februari sampai April
2004.Data dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui
hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup
pada penderita TB paru dengan menggunakan uji analisis
korelasi Product Moment Pearson.
PEMBAHASAN
Frekuensi penderita TB paru yang menjalani program
pengobatan rawat jalan di BP4 Yogyakarta Unit Minggiran
terbanyak adalah usia produktif, antara 2130 tahun, sebesar
52%. Insidens tertinggi TB paru biasanya mengenai usia
dewasa muda, antara 1544 tahun. Sekitar 95% penderita
TB paru berada di negara berkembang, dimana 75%
diantaranya adalah usia produktif.
Jumlah penderita laki-laki lebih tinggi dari perempuan,
yaitu sebesar 54%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
tentang tampilan kelainan radiologik pada orang dewasa
yang menyat akan bahwa laki- laki mempunyai
kecenderunganlebih rentan terhadap faktor risiko TB paru.
Hal tersebut dimungkinkan karena laki-laki lebih banyak
melakukan aktifitas sehingga lebih sering terpajan oleh
penyebab penyakit ini.
Pendidikan responden terbanyak adalah tamat SLTA
sebesar 46%. Diasumsikan bahwa orang dengan pendidikan
lebih t inggi akan sadar t ent ang perilaku sehat dan
pengobatan terhadap penyakitnya. Namun hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa dengan pendidikan tinggi belum
10
KESIMPULAN
Ada hubungan yang sangat bermakna antara dukungan sosial
dengan kualitas hidup penderita TB paru. Semakin tinggi
dukungan sosial maka semakin tinggi kualitas hidup. Variabel
umur dan pendidikan memberikan kontribusi bermakna
terhadap kualitas hidup. Variabel lainnya, yaitu jeniskelamin,
pekerjaan dan riwayat pengobatan tidak memberikan
kontribusi terhadap kualitas hidup penderita TB paru.
DAFTAR PUSTAKA
Bahar, A., Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FK UI.
Jakarta : Hal : 715719. 1990.
Brehm, S., Kassin, S., Social Psycology. New Jerset :
Houghton Mifflin. Princetor. 1990.
BP4 Yogyakarta., Laporan Triwulan TB Paru. BP4 Unit
Minggiran. Yogyakarta. 2003.
Cohen, S; Syme, S.L., Social Support and Health. London
: Academic Press Inc. 1985.
Crofton, J., Horne, N., Miller, F., Clinical Tuberculosis. 2nd
Ed. London : The Macmillan Press Ltd. 1999.
11
RAPID TB TEST
Apri Lyanda
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan, Jakarta
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan pasien
tuberkulosis (TB) terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan
Cina, perkiraan jumlah pasien TB sekitar 10% dari seluruh
pasien TB di dunia. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
tahun 1995 menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan
penyebab kematian ketiga setelah penyakit kardiovaskuler
dan saluran pernapasan pada semua kelompok usia dan
penyebab pertama dari golongan penyakit infeksi. Hasil survei
prevalens TB tahun 2004 menunjukkan angka prevalens TB
BTAposit if secara nasional 110/100.000 penduduk.
Berdasarkan data di atasTB masih merupakan masalah utama
kesehatan masyarakat Indonesia.1
DiagnosisTB paru yang digunakansaat ini secara rutin
dilaboratorium termasuk rumah sakit dan puskesmasadalah
diagnosis bakteriologis dengan teknik mikroskopis bakteri
tahan asam (BTA). Kasus-kasus tertentu dilakukan kultur
untuk konfirmasi diagnosis, teknik kultur memiliki sensitivitas
dan spesifitas yang tinggi. Kendalanya selain memerlukan
waktu yang lama, lebih dari 1minggu untuk memperoleh
hasil juga diperlukan fasilitas laboratorium khusus untuk
kultur M.tuberculosis(M. tb) yang terjamin keamanannya.
Teknik mikroskopis BTA dapat dilakukan dalam waktu relatif
cepat tetapi sensitivitas dan spesifitasteknik ini lebih rendah
dibanding dengan teknik kultur.2
Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan gambaran
klinis, pemeriksaan fisis, gambaran radiologis, pemeriksaan
laboratorium dan uji tuberkulin.1 Pemeriksaan mikrobiologis
yaitu identifikasi mikroorganisme dalam sekret atau jaringan
pasien merupakan hal utama dalam mendiagnosis TB,
meskipun pemeriksaan tersebut sulit dan mempunyai
keterbatasan. Hasil pemeriksaan BTA(+) di bawah mikroskop
memerlukan kurang lebih 5000 kuman/ml sputum sedangkan
untuk mendapat kan kuman positif pada biakan yang
merupakan diagnosis pasti, dibutuhkan sekitar 50100
kuman/ml sputum.1,2 Pulasan BTA sput um mempunyai
sensitifitas yang rendah, terutama TB nonkavitas yang
memberikan kepositifan 10% pada pasien dengan gambaran
klinis TB parudan 40% penyandang TB paru dewasa
12
Metoda kromatografi
Identifikasi langsung M. tb dengan menggunakan
deteksi asam tuberkulostearat (TBSA), baik sendiri maupun
dalam kombinasi berbagai komponen struktur dinding sel
mycobacterium.8,9Berbagai metoda yang cepat dan sensitif
telah dikembangkan, salah satu yang paling menarik adalah
fast gas chromatography mass spectrometry (GC-MS).10,11
13
Metoda Fagotipik
Pada dekade terakhir, sejumlah bakteriofag dengan
afinitas spesifik terhadap mikobakterium telah bermunculan
untuk diagnosis cepat TB. Sejak 1947, lebih dari 250 tipe
bakteriofag yang berbeda diisolasi dan diteliti sebagai alat
penting dalam manipulasi genetik mikobakterium. Manfaat
klinis hanya ditunjukkan oleh 2 pendekatan berdasarkan
bakteriofag yang dikembangkan,bernama Luciferase Reporter
Phage Assay (LRP)dan Phage Amplified Assay (PhaB).
Perbedaan terpent ing antara ke-2 metoda ini adalah
mengenai deteksi sel mikobakt erium yang t erinfeksi
bakteriofag. Luciferase Reporter Phage Assay mendasarkan
pada cahaya emisi yang dikode oleh gen lusiferase (fflux)
yang dimasukkan kedalam genom bakteriofag. Sedangkan
PhaB didasarkan pada kompleks sel M. tb yang rentan
setelah amplifikasi bakteriofag Mycobacteriofag D29 pada
M. smegmatis.13-15
Luciferase Reporter Phage Assay telah t erbukti
bermanfaat untuk membedakan M. t bdari kultur dan
terutama dalam uji sensitifitas terhadap isoniazid dan
rifampisin.13Phage Amplified Assay telah dikomersialkan
dengan nama dagang FASTPlaque-TB, digunakanuntuk
mendiagnosisTB pada sediaaan saluran pernapasan juga telah
diteliti untuk uji sensitifitasterhadap antimikrobaM. tb. Teknik
ini secara umum cepat dan sederhana, membutuhkan sedikit
latihan dan tidak mahal. Metoda ini menunjukkan spesifisitas
yang baik tapi kurang sensitifit. Karena hal itu, aplikasi rutin
metoda ini sedikit terhambat dan masih dalam observasi
mengenai manfaat dalam diagnosisTB atau deteksi resistensi
obat antituberkulosis (OAT).14-16
Metoda Genotipe
Berbagai teknik molekuler aplikasinya saat ini tersedia
untuk diagnosis mikrobiologi infeksi micobakt erium.16
Penanda DNA merupakan inovasi pertama dalam diagnosis
molekuler TB, yang mendeteksi langsung dari sampel klinis
M. tbdan mutasi spesifik yang berhubungan dengan resistensi
yang membutuhkan dasar amplifikasi sekuens spesifik asam
Target
Cobas amplicor
PCR
16sRNA
Kolorimet rik
10 0
6- 7
Ya
Ya
AMTD
TMA
16sRNA
Semiluscent
45 0
2- 5
Tidak
Tidak
LCX
LCR
PAB
Fluorimetrik
50 0
Ya
Tidak
BD Probe Tec
SDA
IS6110- 16sRNA
Flourimetrik
50 0
3,5- 4
Ya
Ya
Neste-PCR
rpoBgene
Kalouimetrik
50 0
12
Ya
Tidak
Innolipa
Deteksi
Vol
Waktu Automatis IAC
sampel paruh
(ul)
(jam)
Metoda
amplikasi
NA-SBA
23sRNA
Kalorimet rik
50 0
5,5
Ya
Ya
RT PCR
16sRNA
Fluorimetrik
10- 100
2- 3
Ya
Ya
GeneExpert
rpoBgene
Fluorimetrik
1.000
Ya
Ya
GeneQuick
PCR
IS6110
Kalorimet rik
50
2,5
Tidak
Ya
Genotype MD
14
harga alat uji ini tidak kompetitif nilai jualnya. Alat uji ini di
produksi oleh Abbot laboratorium, Chicago Amerika.
15
Gambar 2.
Al at
di agnosi s
cepat genexpert
Biaya
(US$)
Uji resisten
2 obat
Uji resisten
4 obat
MODS
0,77
1,72
1,80
MGIT
7,00
35,02
63,03
BACTEC
2,55
12,75
23,00
LJ
0,14
1,60
1,57
Microagar
0,29
1,60
2,92
MABA
1,23-2,43
5,62
6,87
PCR- RT
0,90
BTA sputum
0,10
Kesimpulan
1. Diagnosis cepat M.tb adalah uji diagnosis untuk kuman
M.tb kurang dari 1 jam
2. Diagnosis cepat M.tb sudah berkembang pesat dengan
bermacam metoda
3. Diagnosis cepat M.tb dapat menghemat waktu, biaya
dan tidak perlu tenaga ahli karena dapat dikerjakan secara
automatisasi
4. Diagnosis cepat M.tb yang terbaik dan direkomendasikan
WHO adalah PCR-RT
Daftar Pustaka
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman
nasional: penanggulangan tuberkulosis. Cetakan ke-2.
Jakarta: DepkesRI ;2008.hal.8-14.
2. Young DB, Perkins MD, Duncan K, CEBarry. Confronting
the scientific obstacles to global control of tuberculosis.
J Clin Invest. 2008;118:1255-65.
3. Behr MA, Warren SA, Salamon H, Hopewell PC, Ponce
de Len A, Daley CL, et al. Transmission of Mycobacterium
tuberculosis from patients smear-negative for acid-fast
bacilli. Lancet. 1999;353:444-9.
4. American Thoracic Society; Centers for Disease Control
and Prevention; Council of the Infectious Disease Society
of America. Diagnostic standards and classification of
tuberculosis in adults and children. Am J RespirCrit Care
Med. 2000;161:1376-95.
5. Pfyffer GE. Mycobacterium: general characteristics,
laboratory detection, and staining procedures. In: Murray
PR, Baron EJ, Jorgensen JH, Landry ML, Pfaller MA, editors.
16
17
MEROKOK
18
19
TUBERKULOSIS
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh
infeksi Mycobacterium tuberculosis complex dan merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia.
M.tuberculosis berbentuk batang, berukuran panjang 5 dan
lebar 3 , tidak membentuk spora dan termasuk bakteri aerob.
Mycobacteria dapat diberi pewarnaan seperti bakteri lainnya
misalnya dengan pewarnaan Gram. Namun sekali diberi
warna oleh pewarnaan Gram, maka warna tersebut tidak
dapat dihilangkan dengan asam. Oleh karena itu, maka
mycobacteria disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Pada
dinding sel mycobacteria, lemak berhubungan dengan
arabinogalaktan dan peptidoglikan di bawahnya. Struktur
ini menurunkan permeabilit as dinding sel sehingga
mengurangi ef ekt ivit as t erhadap ant ibiot ik.
Lipoarabinomannan suatu molekul lain dalam dinding sel
mycobacteria berperan dalam interaksi antara inang dan
patogen menjadikan M. tuberculosis dapat bertahan hidup
di dalam makrofag.16
Pada tahun 1992, WHO telah mencanangkan TB
sebagai global emergency. Tuberkulosis saat ini banyak
menyerang usia produktif dan meningkatkan angka kematian
terutama di negara berkembang. Pada tahun 2010 dilaporkan
insidens TB didunia sebesar 8,8 juta (8,59,2 juta), 1,1 juta
(0,91,2 juta) kematian akibat TB dengan HIV negatif
ditambah 0,35 juta (0,320,39 juta) penderita TB dengan
HIV positif. Tahun 2009 dilaporkan terjadi 2,4 juta kasus
baru (3,3 juta perempuan), 133 kasus/100.000 populasi
dengan penderita HIV sebesar 1,1 juta jiwa. kematian akibat
infeki TB sebesar 1,7 juta jiwa (380.000 perempuan),
termasuk 380.000 penderita HIV, sesuai dengan 4700
kematian pertahun dan menjadi penyebab kematian urutan
ketiga pada perempuan usia 15-44 tahun. Delapan puluh
persen kasus TB akt if yang dit emukan di 22 negara
berkembang sebagian besar dari mereka di Asia (dengan 55%
kasus di dunia) dan Afrika (30%). Sekitar 5% dari beban
kasus TB global sekarang resisten terhadap beberapa obat,
di Rusia dilaporkan kasusTB yang resisten obat menyumbang
lebih dari seperlima semua kasus TB baru di tahun 2008.
Pada tahun 2008 sebanyak 1,4 juta orang yang hidup dengan
20
21
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
22
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
23
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
24
PATOGENESIS TB-HIV
Perjalanan infeksi HIVdi dalam tubuh manusia diawali
interaksi gp 120 pada selubung HIV berikatan dengan
reseptor spesifik CD4. Sel target utama adalah sel yang
mampu mengekspresikan reseptor CD4 antara lain astrosit,
mikroglia, monosit-makrofag, limfosit, Langerhans dan
dendritik. Ikatan terjadi akibat interaksi gp 120 HIV dengan
CD4. Ikatan semakin kuat dengan kehadiran ko-reseptor
kedua yang memungkinkan gp 41 menjalankan fungsinya
sebagai perantara masuknya virus ke dalam sel target. Koreseptor lini kedua adalah chemokine reseptor 5 (CCR5) dan
chemokine reseptor 4 (CXCR4).4
Proses internalisasi limfosit Toleh HIV selain terjadi
perubahan melalui aktivasi limfosit T-CD4 maupun HIVjuga
membangkitkan timbulnya protein stres temasuk heat shock
protein 70 (Hsp70). Kontak yang terjadi mengakibatkan
limfosit Tterpacu sehingga mengalami stres dengan berbagai
perubahan. Perubahan diawali dengan ekpresi reseptor CD43
(sialophorin) pada permukaan limfosit T. Reseptor CD43 yang
terekspresi tersebut menjadi aktivator baik terhadap limfosit
T-CD4 sendiri maupun terhadap HIV. Peningkatan aktivitas
limfosit T-CD4 yang terinfeksi HIVakan menginduksi T-helper
1 (Th-1) mensekresi Interleukin (IL)-1, IL-2, Tumor necrosis
factor (TNF)- dan Interferon (IFN)- sehingga kadar didalam
darah meningkat.4
Human immunodefisiency virusyang berada di dalam
limfosit T-CD4 akan teraktivasi oleh pengaruh reseptor CD43
dan akan menginduksi pembentukan kompleksT-cell reseptor
25
Minor
1. Tahap pertama
Merupakan tahap infeksi akut. Pada tahap ini muncul
gejala tapi tidak spesifik. Tahap ini muncul 6 minggu
pertama setelah pajanan HIV berupa demam, rasa letih,
nyeri otot dan sendi, nyeri menelan dan pembesaran
kelenjar getah bening.
2. Tahap kedua
Merupakan tahap asimptomatis. Pada tahap ini gejala
dan keluhan menghilang. Tahap ini berlangsung selama
6 minggu sampai beberapa bulan atau tahun setelah
infeksi tetapi penderita masih normal.
3. Tahap ketiga
Merupakan tahap simptomatis. Keluhan penderita lebih
spesifik dengan gradasi sedang sampai berat. Berat badan
menurun tetapi tidak sampai 10%. Pada selaput mulut
terjadi sariawan berulang, infeksi bakteri pada saluran
napas atas, namun penderita dapat melakukan aktifitas
meskipun terganggu. Penderita lebih banyak di tempat
tidur.
4. Tahap keempat
Merupakan tahap lanjut atau tahap AIDS. Gejala yang
muncul berupa berat badan turun lebih 10%, diare lebih
1 bulan, demam yang tidak diketahui penyebabnya
berlangsung selama 1 bulan, kandidiasis oral, oral hairy
leukoplakia, TB paru. Penderita hanya berbaring ditempat
tidur lebih dari 12 jam sehari selama sebulan terakhir.
Dapat t erjadi berbagai macam inf eksi berupa
Karakteristik
DIAGNOSIS
Seseorang dengan infeksi HIV, pemeriksaan untuk TB
paru termasuk dengan menanyakan tentang kombinasi dari
gejala klinik yang terdapat pada pasien dan tidak hanya
menanyakan keluhan batuk saja. Ini seperti terapi dengan
obat anti retrovirus dan terapi preventif dengan izoniazid
dapat mulai diberikan pada orang yang tidak ada gejala,
namun pemeriksaan kultur mikobakterium tetap dikerjakan.16
a) Diagnosis of Latent Tuberculosis Infection (LTBI)
Semua pasien yang didiagnosis HIV sebaiknya
diperiksa LTBI. Seseorang dengan hasil pemeriksaan LTBI
menunjukkan negatif, infeksi HIV lanjut (CD4+ < 200 cell/
L) dan tanpa indikasi pemberian terapi empiris LTBI
seharusnya dilakukan kembali uji LTBI ketika mulai terapi
26
ART dan kadar CD4+ e 200 cell/ L. Pada umumnya uji rutin
untuk LTBI direkomendasikan untuk orang terinfeksi HIV
yang termasuk kategori resiko tinggi untuk berulang atau
terpajan idividu dengan TB paru, orang dengan hidup dengan
faktor risiko terinfeksi HIV, pecandu aktif, atau memiliki faktor
risiko sosial demografi untuk TB. Setiap pasien dengan HIV
dan uji LTBI positif seharusnya dilakukan foto toraks dan
evaluasi klinik untuk TB aktif.8
Diagnosis LTBI dapat dilakukan dengan satu atau dua
pendekatan. Uji tuberkulin dengan metode Uji Mantoux,
dipertimbangkan positif pada pasien terinfeksi HIV dengan
indurasi e 5 mm yang timbul setelah 4872 jam setelah
penyunt ikan secara int radermal 0,1 mL. Sekarang ini
penggunaan met oda in vit ro dengan mendet eksi IFN-
dilepaskan untuk merespon M. tuberculosis-spesific peptides
telah dikembangkan untuk mendiagnosis LTBI.9
Test for LTBI (e.g., tuberculin
test or interferon- release
assay) in HIV-infected person
Negative
Contact to a case of
active tuberculosis
No
Yes
No
Chest radiography
Clinical evaluation
Symptoms (e.g.,
fever, cough,
weight loss) OR
abnormal chest
radiograph
No symptoms
and normal chest
radiograph
Yes
Evaluate for active tuberculosis
(obtain samples for AFB smear
and culture)
Alternative cause
identified for symptoms
and abnormal chest
radiograph
Active tuberculosis
excluded with negative
smears and cultures in
the setting of low
suspicion
Moderate to high
suspicion or
evidence for active
tuberculosis
Initiate four-drug
regimen for active
tuberculosis
27
Seriously III patient with cough 2-3 weeks and danger signsa
No
tuberculosis
1st visit
Treat
tuberculosis
TB unlikely
AFB-positive g
AFB-negative g
Improvement
after 3-5 days
No Improvement
after 3-5 days
Reassess for
tuberculosis h
Start TB treatment
Complete antibiotics
Refer for HIV and
tuberculosis care
2nd visit
AFB-negatived
AFB-positived
AFB
HIV testb
Immediate referral
not possible
TB likely
CXRg
Sputum AFB and cultureg
Clinical assessmentg
3rd visit
TB unlikely
Treat for bacterial infectionh
HIV assessmentf
CTPe
4th visit
Response j
No or partial response
Response j
Reassess for TB
28
Late
HIVInfection
Early
HIVInfection
50:50
Sering seperti
TB primer
80:20
Sering seperti
TB post primer
Sering
Jarang
Sering
Jarang
Sering
Jarang
Sering
Sering
Jarang
Sering
Jarang
Sering
Jarang
Jarang
KESIMPULAN
1. Penyebab kematian terbesar pada AIDSadalah TB paru.
2. Orang dengan TLBI sesuai dengan definisi tidak
memberikan gejala asimptomatis.
3. Pada penderita HIV dengan dicurigai TB maka harus
ditanyakan gejala lainnya tidak hanya batuk saja.
4. Pemeriksaan penunjang dengan IGRA dan TST sering
menunjukkan negatif palsu.
5. Hasil pemeriksaan dahak TB paru dari pasien HIV
menunjukkan hasil -nya adalah negatif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Centersfor Disease Control and Prevention (CDC), American
Thoracic Society and Infectious DiseasesSociety of America,
Treatment of tuberculosis. MMWR Recomm Rep 2003;
52(RR-11):p.1-77
2. Center for Disease Control and Prevention (CDC), Trends in
tuberculosis incidence United Stauji, 2006. MMWRMorb
Mortal Wkly Rep 2007; 56(11): p.245-50.
3. Horsburgh, CR. Priorities for the treatment of latent
tuberculosis infection in the United Stauji. N Engl J Med
2004; 350(20): p.2060-7.
29
TUBERKULOSIS NOSOKOMIAL
Amir Luthfi, Sardikin Giri Putro
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan, Jakarta
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) tetap menjadi salah satu masalah
kesehatan yang paling serius. Saat ini TB merupakan masalah
kesehatan di dunia dan penyebab utama kematian di negara
berkembang. Di Indonesia sendiri TB masih merupakan
masalah utama kesehatan masyarakat, ditunjang oleh
beberapa fakta bahwa Indonesia merupakan negara dengan
pasien TB terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan Cina.
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan
bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor
5 setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran napas
pada semua kelompok usia dan nomor 1 dari golongan
penyakit infeksi.1
Risiko penularan TB diantara petugas kesehatan
cukup tinggi sebelum era antibiotika tetapi menurun dengan
cepat setelah tahun 1950 dikarenakan menurunnya insidens
penyakit dalam populasi dan terdapatnya terapi yang efektif.
Perubahan ini berakibat pada kurangnya pengawasan infeksi
di rumah sakit. Zat yang terhirup di tempat kerja terutama
di rumah sakit dapat menjadi penyebab penyakit paru kronik.
Dokter, perawat, petugas laboratorium, bahkan petugas
kebersihan di rumah sakit yang menangani penderita TB
merupakan kelompok risiko tinggi. Untuk petugaskesehatan
saat ini TB merupakan penyakit akibat kerja. Identifikasi
pengaruh kerja terhadap suatu penyakit penting dilakukan
sebagai dasar pengobatan, pencegahan dan kelangsungan
pekerjaan.1,15
Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobact erium
tuberculosis (M. tb) dan menyerang organ pernapasan
walaupun dapat mengenai organ lain.2 Sejak meluasnya
penyakit human immunodeficiency virus (HIV) dan
pertambahan kasus TB kebal obat (MDR-TB), masalah TB
yang sebelumnya telah teratasi kembali mencuat, sehingga
pengawasan dan pemberantasan penyakit ini menjadi
bertambah rumit.3 Tinjauan pustaka ini akan membahas
mengenai TB nosokomial. Penularan TB nosokomial dapat
dicegah dengan cara menerapkan pengendalian infeksi yang
efektif. Center for Disease Control and Prevention (CDC)
merekomendasikan tindakan pencegahan penularan berupa
PENULARAN TUBERKULOSIS
Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman yang
hidup sebagai parasit intraselular dan berkembang biak di
dalam tubuh. Penularannya dapat terjadi dari penderita ke
orang lain melalui percik renik. Percik renik berdiameter 15
m yang terhisap dan menginfeksi paru. Percik renik di
keluarkan oleh penderita sebagai sumber infeksi pada saat
bicara atau batuk dan menular ke orang lain saat terjadi
kontak dan dapat bertahan di udara selama berjam-jam
bahkan beberapa hari sampai akhirnya ditiup angin. Infeksi
t erjadi apabila orang menghirup percik renik yang
mengandung M. tb. Gejala penyakit timbul beberapa saat
setelah infeksi dan pada umumnya respons imun terbentuk
dalam 212 minggu setelah infeksi.4,5
Keadaan lingkungan, ventilasi udara di ruangan, lama
pajanan, jumlah percik renik, ukuran dan konsentrasi kuman
mempengaruhi proses infeksi M. tb. Kondisi penderita TB
yang dapat menimbulkan risiko penularan antara lain
terdapatnya TB paru, batuk produktif, sputum basil tahan
asam (BTA) positif, tampak kavitas pada foto toraks, saat
batuk atau bersin tidak menutup hidung atau mulut, terapi
antiTB yang tidak tepat dan teratur, serta menjalani prosedur
yang menginduksi batuk seperti induksi batuk, bronkoskopi
dan suction.1,6 Tuberkulosis dimulai dari infeksi primer yang
sering tidak menimbulkan gejala dan kemudian dapat
sembuh sendiri sehingga uji tuberkulin berubah dari negatif
menjadi positif.7
30
Kasus
Kasus
Teramati Diharapkan SMR
(IK 95%)
321
336,1
1,0
(0,9-1,1)
- Dokter
20
50,9
0,4
(0,2-0,6)
- Petugas register
68
56,2
1,2
(0,9-1,5)
- Perawat inhalasi
2,4
2,9
(1,2-6,0)
- Petugas laboratorium
15
16,8
0,9
(0,5-1,5)
Bidang kesehatan
- Perawat
26
24,1
1,1
(0,7-1,6)
- Pekarya, pembantu
perawat
150
115,7
1,3
(1,1-1,5)
Pekerjaan yang
berhubungan dengan
binatang
565
253,5
2,2
(2,0-2,4)
Pelayanan makanan
455
368,0
1,2
(1,1-1,4)
Pekerjaan yang
berhubungan dengan
debu
52
51,8
1,0
(0,8-1,3)
Pekerjaan yang
berhubungan dengan
anak-anak, sekolah
92
254,7
0,4
(0,3-0,4)
Pelayananan masyarakat
113
154,4
0,7
(0,6-0,9)
31
Curiga
ya
tidak
Pem. Fisis
ya
tidak
Normal
ya
tidak
ya
tidak
Parut BCG
Ruang
Periksa
Pintu
Kantor
Area
Terbuka
Uji tuberkulin
tidak
ya
Ruang
Tunggu
Derajat 0/1
Curiga
tidak
Klinik
Tanpa
BCG
Sisi A
ya
Apotik
Pem. Fisis
ya
Sisi C
tidak
Normal
Penyuluhan
Pintu
Pintu
Sisi B
Rencana Tampilan
Dinding dengan
daerah atas terbuka
Klinik
32
Jendela Terbuka
Jendela terbuka
Aliran udara
Angin
Tempat Tidur
Angin
Angin
Angin
Angin
Pintu
Buruk
Aliran udara dari
bawah pintu
Ruang Pendingin
AC
Aliran udara
masuk
Aliran udara
masuk
Tempat Tidur
Pintu
Aliran udara
Aliran udara dari bawah
pintu: tekanan negatif yang
berhubungan dengan koridor
Pintu
Jendela
Angin
Angin
Baik
33
KESIMPULAN
1. Tuberkulosis adalah salah satu masalah kesehatan di
tempat kerja khususnya di rumah sakit, munculnya
epidemi HIVdan MDRTB menyebabkan kasus ini muncul
kembali.
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman
nasional : Penanggulangan tuberkulosis. Cetakan ke-2.
Jakarta: Depkes RI;2008.hal.8-14
2. Frieden TR, Sterling TR, Munsiff SS, Watt CJ, Dye C.
Tuberculosis. Lancet. 2003; 362:887-99.
3. Dye C, Scheele S, Dolin P, Pathana V, Raviglione MC.
Global burden of tuberculosis. JAMA. 1999;282:677-86.
4. World Health Organization. Guidelines for prevention of
tuberculosis in health care facilities in resource-limited
settings.Geneva,Switzerland:WHO.1999.(cited 2011
September 5);Available from: http://whqlibdoc.who.int/
hq/1999/WHO_TB_99.269.pdf
5. Glassroth J. Tuberculosis. In: Niederman MS, Sarosi GA,
Glassroth J, editors. Respiratory infections, 2nd edition.
Philadelphia: Lippincott William& Wilkins; 2001.p.475-86.
6. Jensen PA, Lambert LA, Iadermarco MF, Ridzon R.
Guidelines f or prevent ing t he t ransmission of
Mycobacterium tuberculosisin health-care setting, 2005.
MMWR Recomm Rep.2005;54:1-141.
7. Burge PS. Tuberculosis. In: Hendrick DJ, Burge PS,
Beckett WS, Churg A, editors. Occupational disorders of
the lung. Recognition, management and prevention.
London: WB Saunders;2002.p.257-63.
8. Comstock GW. Occupation and tuberculosis: Question
t hat need answer. Am J Respir Crit Care
Med.1996;154:553-4.
9. Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic
Society. Control and prevention of tuberculosis in the
Unit ed Kingdom: Code of pract ice 2000.
Thorax.2000;55:887-901.
10. Menzies D, Fanning A, Yuan L, Fitzgerald JM. Hospital
ventilation and risk for tuberculosisinfection in Canadian
health care workers. Ann Intern Med.2000;133:779-89.
34
35