Anda di halaman 1dari 40

ISSN 1829 - 5118

Vol. 8 - Maret 2012

JURNAL
TUBERKULOSIS
INDONESIA
DAFTAR ISI :

EVALUASI METODEFASTPlaqueTBTM UNTUK MENDETEKSI Mycobacterium


tuberculosis PADA SPUTUM DI BEBERAPA UNITPELAYANAN KESEHATAN DI
JAKARTA-INDONESIA

HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KUALITASHIDUPPADA PENDERITA


TUBERKULOSISPARU (TB PARU) DI BALAI PENGOBATAN PENYAKITPARU

(BP4) YOGYAKARTA UNITMINGGIRAN

RAPIDTB TEST

MEROKOKDAN TUBERKULOSIS

TUBERKULOSISDAN HIV-AIDS

TUBERKULOSISNOSOKOMIAL

Diterbitkan Oleh
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI)
The Indonesian Association Againts Tuberculosis

Vol. 8- Maret 2012

ISSN 1829 - 5118

JURNAL
TUBERKULOSIS
INDONESIA
Diterbitkan Oleh
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia

Pemimpin Umum
Ketua Umum PP PPTI
Penanggung Jawab
Dr. Achmad Hudoyo, Sp.P, FCCP
Pemimpin Redaksi
Dr. Prasenohadi, Sp.P, Ph.D

Sekretariat Redaksi
Drs. Sumardi

Alamat Sekretariat Redaksi & Iklan


Jl. Sultan Iskandar Muda No. 66A
Kebayoran Lama Utara, Jakarta 12240
Telp. 021 - 7397494
Fax. 021 - 7397494
http://www.ppti.info, email: ppti66@yahoo.com
Terbit pertama kali Agustus 2004

Petunjuk Untuk Penulis


Redaksi menerima naskah yang hanya ditujukan untuk
Jurnal Tuberkulosis Indonesia (JTI) dalam bahasa
Indonesia/Inggris, dengan ketentuan sebagai berikut:
Pedoman Umum

Naskah adalah karangan asli

Naskah belum pernah diterbitkan sebelumnya dalam


bentuk dan media/jurnal apapun

Seluruh isi naskah adalah tanggung jawab penulis

Naskah yang telah dikirim menjadi hak redaksi, dan


seluruh isinya tidak dapat direproduksi kembali untuk
publikasi dalam bentuk apapun tanpa seijin redaksi

Redaksi berhak untuk melakukan proses penyuntingan


naskah, dalam bentuk gaya, bentuk, tampilan, dan
kejelasan isi, tanpa harus mengubah isi naskah

Redaksi berhak unt uk memint a penulis untuk


memperbaiki isi dan bentuk tulisan

Naskah yang tidak dimuat, akan dikembalikan kepada


penulis apabila ada permintaan sebelumnya

Naskah menggunakan Bahasa Indonesia baku, yang


efektif dan efisien. Atau dalam keadaan tertentu,
naskah dapat dibuat dalam Bahasa Inggris dengan
ejaan yang standar
Naskah

Naskah diketik dengan spasi ganda, dengan jarak


tepi- tepi kertas 2,5 cm dan menggunakan ukuran
kertas A4 (21x 30 cm)

Naskah dapat dikirim ke redaksi dalam bentuk disket


berupa copy file dari naskah tersebut
Kelengkapan Naskah

Naskah dikirim ke alamat sekretariat redaksi Jurnal


Tuberkulosis Indonesia:
Jl. Sultan Iskandar Muda No. 66A Kebayoran Lama
Utara Jakarta 12240, Telp. (021) 7397494, atau
via email: jti_indonesia@yahoo.com

Naskah dikirim dalam 2 berkas salinan (print- out)


yang tersusun sesuai urutan: 1) halaman judul, 2)
abstrak, 3) abstark dalam Bahasa Inggris termasuk
key words, 4) isi, 5) ucapan terimakasih bila ada, 6)
daftar pustaka, 7) tabel- tabel, 8) gambar/ilustrasi
dan foto berikut keterangannya

Naskah disampaikan dalam bentuk disket dengan


program MS-Word
Halaman Judul dan Penulis

Judul makalah dit ulis lengkap, dan t idak


menggunakan singkatan

Nama penulis ditulis lengkap dengan gelar akademis

Nama departemen dan institusi

Alamat korespondensi penulis

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Abstrak
Dibuat dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, secara
terstruktur yang memuat inti pendahuluan; subjek
dan metode; hasil; dan kesimpulan penlis. Abstrak
tidak lebih dari 250 kata.
Tabel dan Gambar

Tabel dan gambar disajikan dalam lembar terpisah,


dan telah disebutkan letaknya dalam narasi naskah

Judul tabel diletakkan di atas dan setiap tabel

Setiap singkatan pada tabel diberi keterangan sesuai


urutan alfabet berupa catatan kaki di bawah tabel
ataugambar.

Gambar, tabel, atau foto, harus diberi keterangan secara


informative sehingga mudah untuk dimengerti

Permintaan pemuatan gambar berwarna dikenakan


biaya reproduksi
Daftar Pustaka

Daftar rujukan dibuat sesuai dengan ketentuan


Vancouver.

Daft ar rujukan t idak lebih dari 25 buah, dan


merupakan rujukan t erbaru dalam satu dekade
terakhir.

Setiap rujukan diberi nomor sesuai urutan dalam


narasi naskah.

Nama jurnal disingkat seperti tercantum dalam


Index Medicus.

Rujukan yang telah masuk dalam naskah, namun


belum diterbitkan dalam satu jurnal ditulis sesuai
aturan dan ditambahkan: In Press
Contoh Penulisan Daftar Rujukan
1. Artikel jurnal baku. Contoh: Aditama.TJ.Y, Priyanti ZS,
Tuberkulosis, Diagnosis, Terapi dan Masalahnya, Lab.
Mikrobiologi RSUP Persahabatan/WHO Collaborating
Center for Tuberculosis, Edisi 3, 2000, hal 32-80.
2. Organisasi sebagai penulis. Contoh: Bureau of Tuberculosis Control. Clinical policies and protocols.
3rd ed. New York, NY: New York City Department of
Health, 1999
3. Tanpa nama penulis. Contoh: Tuberculosis in South
Africa (editorial). A Kalvin 1993; 74:5
4. Penulis perorangan. Contoh: Wallgreen A. Primary
pulmonary tuberculosis in chilhood.; 2nd ed. California:
Aicon Publishers; 1985
5. Bab dalam buku. Contoh: Rock JA, Surgical Condition of the Vaginal and Urethra, te Lindes Operative Gynecology Eigth Edition, New York; Ralf press;
1995. p. 911-938

EDITORIAL
Sekali lagi tentang TB-MDR. Siapa yang salah ?
Kalau seandainya dokter yang mengobati sakit tb-paru saya dulu menjelaskan begini akibatnya dan seperti ini
penderitaan yang harus saya jalani, pasti saya akan taat dan berobat teratur sampai sembuh betul!
Begitulah keluhan yang disampaikan seorang pasien yang didiagnosis sebagai TB-MDR, yaitu TB-paru dengan
kuman tidak sensitif lagi dengan obat anti tb (OAT) minimal dengan jenis obat rifampisisn dan INH. Sehingga
pasien harus menjalani pengobatan 2 tahun lamanya. Dia harus mendapat injeksi setiap hari selama 6 bulan
dan obat minum minimal 4 macam obat lini kedua yang masih sensitif setiap hari selama 18 bulan setelah
konversi. Untuk menjamin ketaatan minum obat pada program pengobatan TB- MDR, obat harus diminum
dihadapan petugas kesehatan di rumah sakit atau puskesmas setiap hari. Bagi pasien yang mampu atau bahkan
sudah pension tidak terlalu bermasalah, akan tetapi bagi pasien dengan umurt muda, masih bekerja atau bahkan
tulang punggung rumah tangga, sangat menimbulkan masalah dan penderitaan bukan saja terhadap diri sendiri
yang sedang sakit tetapi juga keluarga terutama istri dan anak-anak.
Secara teoritis ada 5 faktor yang dianggap berperan menyebabkan wabah TB- MDR, yaitu (1). Pengobatan tidak
adekuat (menimbulkan mutan M.tb yg resisten), (2). Pasien yg lambat terdiagnosis MDR, sehingga menjadi
sumber penularan terus menerus, (3). Pasien dengan TB resisten obat yang tidak bisa disembuhkan, akan
meneruskan penularan ,(4). Pasien dengan TB resisten obat meskipun diobati terus tetapi dengan obat yang
tidak adekuat mengakibatkan penggandaan mutan resisten ,(5). Ko- inveksi HIV mempermudah terjadinya resistensi
primer maupun sekunder.
Oleh karena itu dalam standar internasional penatalaksanaan TB (ISTC) standar 14 perlu dilakukan penilaian
kemungkinan resistensi obat, berdasar riwayat pengobatan sebelumnya, pajanan dgn sumber yg mungkin resisten
obat, dan prevalensi resistensi obat dalam masyarakat. Standar 15 ISTC mengisyaratkan bahwa pasien gagal
pengobatan dan kasus kronik selalu dipantau kemungkinan terjadi resistensi obat. Untuk pasien dengan
kemungkinan resistensi obat, biakan dan uji sensitiviti obat terhadap isoniazid, rifampisin dan etambutol
seharusnya dilakukan segera. Pasien tuberkulosis yang disebabkan kuman resisten obat (khususnya MDR)
seharusnya diobati dengan paduan obat khusus yang mengandung obat anti tuberkulosis lini kedua. Paling
tidak harus digunakan empat obat yg masih efektif dan pengobatan harus diberikan paling sedikit 18 bulan.
Cara-cara yang berpihak kepada pasien disyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan.
Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan MDR-TB
harus dilakukan.
Peran Pusat Kesehatan Masyarakat (Puseksmas) di Indonesia dalam melaksanakan Program TB Nasional tidak
diragukan lagi. Puskesmas mempunyai infra struktur program kesehatan komunitas yang lebih baik, sehingga
angka putus obat rendah dan kesembuhan tinggi. Tetapi jangkauan Puskesmas untuk menjaring pasien TB
terbatas, hanya sekitar 30 40%, selebihnya pasien TB ditangani oleh dokter praktek swasta, klinik atau rumah
swasta dan rumah sakit pemerintah yang tidak mempunyai jejaring dan infrastruktur kesehatan masyarakat
yang baik, bahkan boleh dikatakan buruk. Meskipun belum ada bukti dan data, tetapi hipotesis yang memprediksi
bahwa kesalahan yang dapat berakibat timbulnya wabah TB-MDR ada pada dokter praktek swasta dan unit
kesehatan tersebut.

ii

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Sungguh sangat ironis memang. Akan tetapi kalau hal tersebut terbukti, maka secara nasional harus diambil
kebijakan mendasar untuk mengevaluasi hal tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, sangat menarik studi
yang dilkukan oleh dua mahasiswa peserta program S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat asal Afganistan yang berjudul
Role of the Private Health Sector to Prevent MDR-TB Epiemics in Indonesia.
Dalam jurnal kali ini kita muat beberapa makalah yang bisa menunjang program TB Nasional, utamanya yang
berhubungan dengan MDR- TB secara tidak langsung. Diagnosis TB- Cepat tulisan Apri Liyanda, suatu tinjauan
pustaka yang membahas penegakan diagnosis TB dalam waktu singkat, kurang dari satu jam dengan tujuan agar
diagnosis Tb tidak terlambat. Evaluasi metoe FAST-plaque adalah buah karya penelitian Lely Septawati Sp Mk
dkk. Penelitian lain tentang Hubungan Dukungan Sosial dengan Kualitas Hidup pasien TB paru, hasilya dipaparkan
dalam tulisan Nita Yuniarti R.

Achmad Hudoyo Sp P(K)

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

iii

EVALUASI METODE FASTPlaqueTBTM UNTUK MENDETEKSI Mycobacterium


tuberculosis PADA SPUTUM DI BEBERAPA UNIT PELAYANAN KESEHATAN DI
JAKARTA-INDONESIA
Leli Saptawati,dr.,Sp.MK,
Mardiastuti,dr.,M.Sc.,Sp.MK(K),
Anis Karuniawati,dr.,PhD.,Sp.MK(K),
Cleopas Martin Rumende,dr.,DR.,Sp.PD KP.,FINASIM.,FCCP

LATAR BELAKANG
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit yang
telah lama dikenal dan sampai saat ini masih menjadi penyebab
utama kematian di dunia.1 Prevalensi TB di Indonesia dan negaranegara sedang berkembang lainnya cukup tinggi.2 Pada tahun
2006, kasus baru di Indonesia berjumlah >600.000 dan
sebagian besar diderita oleh masyarakat yang berada dalam usia
produktif (1555 tahun). Angka kematian karena infeksi TB
berjumlah sekitar 300 orang per hari dan terjadi >100.000
kematian per tahun.3 Hal tersebut merupakan tantangan bagi
semua pihak untuk terus berupaya mengendalikan infeksi ini.
Salah satu upaya penting untuk menekan penularan TB di
masyarakat adalah dengan melakukan diagnosis dini yang
definitif.
Saat ini kriteria terpenting untuk menetapkan dugaan
diagnosis TB adalah berdasarkan pewarnaan tahan asam. Walau
demikian, metode ini kurang sensitif, karena baru memberikan
hasil positif bila terdapat >103 organisme/ml sputum.4 Kultur
memiliki peran penting untuk menegakkan diagnosis TB karena
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada
pewarnaan t ahan asam.5 Kult ur Lowenst ein- Jensen (LJ)
merupakan baku emas metode identifikasi Mycobacterium
tuberculosis, dengan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing
99% dan 100%,6 akan tetapi waktu yang diperlukan untuk
memperoleh hasil kultur cukup lama, yaitu sekitar 8 minggu.7
Hal ini tentu saja akan menyebabkan keterlambatan yang
bermakna untuk menegakkan diagnosis dan memulai terapi.5
Secara umum, metode penegakan diagnosis yang banyak
digunakan saat ini adalah metode lama, sehingga diperlukan
teknik diagnosis baru, yang dapat mendiagnosis TB dengan lebih
cepat dan akurat.8
Amplifikasi asam nukleat merupakan teknik identifikasi
cepat Mycobacterium tuberculosisyang telah banyak digunakan
di negara-negara maju beberapa tahun terakhir ini. Sayangnya,
secara t eknis met oda ini t idak mudah dikerjakan dan
memerlukan biaya yang cukup mahal.4 Metoda diagnosis cepat
yang baru dikembangkan yaitu penggunaan Mycobacteriophage.
Mycobact eriophage akan menginfeksi Mycobact erium
tuberculosis hidup pada sputum. Deteksi Mycobacterium

tuberculosis pada sputum dapat dilakukan melalui 2 metoda,


yaitu menggunakan luciferase reporter phage (LRP) dan
menggunakan metode amplifikasi faga. FASTPlaqueTBTM (Biotec
Laboratories Ltd., Ipswich, UK) merupakan salah satu metode
cepat yang memiliki prinsip kerja berdasarkan teknologi
amplifikasi faga.9 Suatu penelitian meta analisis terhadap 13
penelit ian phage based assay menunjukan bahwa nilai
sensitivitas uji FASTPlaqueTBTM masih memiliki rentang nilai
sensitivitas yang cukup lebar, yaitu berkisar 2194% dan
rentang nilai spesifisitasnya 83 100%.10 Hingga saat ini belum
ada penelitian yang dilakukan di Indonesia untuk mengetahui
efektivitas metode FASTPlaqueTBTM.
Oleh karena teknik diagnosis TB yang lebih cepat dan
akurat saat ini sangat diperlukan untuk meningkatkan cakupan
TB di Indonesia, maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk
menguji met ode FASTPlaqueTBTM dalam mendet eksi
Mycobacterium tuberculosis pada sputum. Diharapkan metode
ini dapat membantu penegakan diagnosis TB yang cepat, akurat,
mudah dan aman sehingga dapat dilakukan secara rutin di
negara sedang berkembang, termasuk Indonesia.

METODEA
Sputum diperoleh dari 46 orang pasien, terdiri dari
18 pasien yang berobat jalan di poli paru Rumah Sakit Umum
Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM) Jakarta,
satu pasien yang dirawat di bagian paru RSUPNCM Jakarta,
3 pasien yang berobat di Puskesmas Menteng Jakarta dan
24 pasien yang berobat di Perkumpulan Pemberantasan
Tuberkulosis Indonesia (PPTI) Tanah Tinggi Jakarta, yang
memenuhi kriteria inklusi dan t elah menandatangani
informed consent. Kriteria inklusi yang digunakan adalah
pasien usia e15 tahun dengan suspek TB paru. Suspek TB
paru ditetapkan dengan kriteria yang memenuhi satu atau
lebih gejala sebagai berikut : gangguan di saluran nafas
(batuk e 2 minggu, batuk darah, sesak nafas, nyeri dada),
terdapat gejala sistemik (demam, malaise, keringat malam,
anoreksia, penurunan berat badan).11 Pengambilan sputum
dilakukan dengan teknik asepsis.12 Pengambilan sputum dari
masing-masing responden dilakukan maksimal sebanyak 3

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

kali, yaitu sputum sewaktu-pagi-sewaktu. Perhitungan besar


sampel menggunakan rumus perkiraan perbedaan 2
proporsi.13 Pengumpulan spesimen dilakukan selama 2 periode
yaitu bulan AprilJuli 2009 dan OktoberDesember 2010.
Pewarnaan dengan metode ZN dilakukan sebelum dan
sesudah dekontaminasi sputum. Dekontaminasi dilakukan
dengan metode NALC-NAOH (Mycoprep) dan disentrifus
dengan kecepat an minimal 2000xg selama 20 menit.
Spesimen didiamkan beberapa saat, kemudian supernatan
dibuang. Sedimen ditambah dengan 15 ml FASTPlaqueTB
(FPTB) MediumTM Plus dan disentrifus dengan kecepatan
minimal 2000xg selama 20 menit. Spesimen didiamkan
beberapa saat, kemudian supernatan dibuang (sisakan sekitar
0,51 ml). Setelah itu ditambahkan 1 ml FPTB MediumTM
Plus. Selanjutnya spesimen diambil 1 ose dan dilakukan
pembuatan preparat unt uk pemeriksaan mikroskopis.
Kemudian 1 ml spesimen dimasukkan ke dalam vial steril
yang sudah tersedia dalam kit FASTPlaqueTBTM dan diinkubasi
selama 1824 jam. Bersamaan dengan uji di atas, dilakukan
biakan pada media LJdan Lowenstein JensenP-nitrobenzoic
acid (LJ-PNB). Sebanyak 0,2 ml spesimen dimasukkan ke
dalam media LJ dan diambil 0,2 ml lagi untuk ditanam di
media LJ-PNB. Sebelum diinkubasi, tutup ulir pada tabung
LJ dan LJ-PNB dilonggarkan dan media diletakkan di dalam
inkubator dengan posisi miring 30 selama 24 jam. Setelah
itu tutup ulir dirapatkan kembali dan tabung diinkubasi pada
posisi tegak. Kultur diamati hingga 8 minggu14,15,16
Uji FASTPlaqueTBTM dilakukan sesuai dengan petunjuk
pada manual dari Biotec Laboratories Ltd., Ipswich, UK .
Pada setiap uji disertakan kontrol negatif dan kontrol positif.
Semua sampel sputum yang sudah diproses dan sudah
diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35-37C, kontrol negatif
dan kontrol positif ditambah dengan 0,1 ml larutan faga
dan diinkubasi selama 60 menit pada suhu 3537C. Setelah
inkubasi, masing-masing tabung ditambah 0,1 ml larutan
virusid. Tabung didiamkan selama 5 menit pada suhu ruang,
kemudian masing-masing tabung ditambah 5 ml larutan FPTB
MediumTM Plus untuk menetralisasi efek virusid. Selanjutnya
ditambah dengan 1 ml larutan sel sensor. Setelah itu
ditambah dengan 5 ml FPTB agar yang sudah dicairkan dan
dituang ke dalam petri steril. Diamkan hingga agar mengeras
(sekitar 30 menit pada suhu 2025C). Petri kemudian
diinkubasi semalam pada suhu 3537C. Keesokan harinya
petri diambil dari inkubator dan dihitung jumlah plak yang
terbentuk. Pada kontrol negatif harus terbentuk d 10
plak, kontrol positif harus terbentuk e 20 plak. Pada petri
spesimen, hasil dikatakan negatif apabila ditemukan 019
plak dan dikatakan positif apabila terdapat e 20 plak.17

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

HASIL
Selama 2 periode pengumpulan sampel diperoleh 95
dan 69 sampel sputum. Pada periode I, 50 dari 95 sampel
tidak dapat digunakan karena :
a.Pertumbuhan koloni dari 24 sampel sputum yang
diperiksa disertai perubahan warna pada media LJ
dari hijau menjadi biru atau coklat.
b.Pertumbuhan bakteri kontaminan pada LJ dari 14
sampel sputum.
c.Enam sampel mengalami kontaminasi pada hasil uji
FASTPlaqueTBTM
d.Dua responden (6 sampel) tidak ada keterangan
mengenai gejala klinik.
Sedangkan pada periode ke-2, sebanyak 17 dari 69 sampel
tidak dapat digunakan karena :
a.Pertumbuhan bakteri kontaminan pada LJ dari 8
sampel sputum.
b.Lima sampel mengalami kont aminasi pada uji
FASTPlaqueTBTM
c.Dua sampel mengalami kontaminasi baik pada kultur
LJ maupun uji FASTPlaqueTBTM
d.Dua sampel mengalami perubahan warna pada media
kult ur LJ dan kont aminasi pada hasil uji
FASTPlaqueTBTM.
Dengan demikian total sampel yang terkumpul adalah 164
sampel sputum, sedangkan jumlah sampel yang digunakan
dalam penelitian sebanyak 97 sampel.
Karakteristik umur dari 46 responden yang masuk
dalam penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah tersangka
TB paling banyak berada pada usia 35-44 dengan mean 43
tahun dan deviasi standard (SD) 16,5. Distribusi responden
berdasarkan jenis kelamin menunjukkan 33 orang (33/46)
berjenis kelamin laki-laki dan 13 orang (13/46) berjenis
kelamin perempuan.
Dari 97 sampel yang dibiak, 7 sampel tumbuh NTM,
52 sampel tumbuh Mycobacterium tuberculosis dan 38
sampel menunjukkan kultur negatif. Dari 7 sampel NTM yang
dit emukan, 2 di ant aranya t erdet eksi posit if oleh
FASTPlaqueTBTM dan 5 sampel terdeteksi negatif. Analisis
hanya dilakukan terhadap kultur Mycobacterium tuberculosis
dan kultur negatif.

Hasil pemeriksaan mikroskopis


Pada 90 sampel sputum dilakukan pewarnaan tahan
asam dengan metode Ziehl Neelsen. Hasil pewarnaan
setelahprosesdekontaminasi menunjukkan bahwa sebanyak
52 sampel (58%) positif dan 38 sampel (42%) negatif.

Hasil pemeriksaan kultur


Set elah dilakukan pemeriksaan mikroskopis,
selanjutnya sampel ditanam pada media LJ dan LJ-PNB.
Nontuberculous Mycobacteria tidak diikutsertakan dalam
analisis lebih lanjut . Sebanyak 52 sampel (57,8%)
menunjukkan hasil kultur LJ positif dan 38 sampel (42,2%)
menunjukkan hasil kultur negatif.
Hasil pemeriksaan FASTplaqueTBTM
Selain pemeriksaan mikroskopis dan kultur, semua
spesimen juga diperiksa dengan menggunakan metode
FASTPlaqueTBTM. Dari 90 sampel yang diperiksa, 53 sampel
(58,9%) menunjukkan hasil posit if dan 37 (41,1%)
memberikan hasil negatif. Analisis statistik pewarnaan Zehl
Neelsen dan FASTPlaqueTBTM dengan kultur LJsebagai baku
emas, disajikan pada tabel 1,2 dan 3.
Tabel 1. Analisis statistik pewarnaan Ziehl Neelsen setelah homogenisasi
dan dekontaminasi dibandingkan dengan Kultur LJ.
Ziehl Neelsen

Kultur LJ
Sensitivitas Spesifisitas NDP NDN RK RK
Positif Negatif
(%)
(%)
(%) (%) pos neg

Positif

47

Negatif

33

90,4

52

38

86,8

90,4 86,8 6,9 0,1

Keterangan : LJ ; Lowenstein- Jensen, NDP ; nilai duga positif, NDN ; nilai duga
negatif, RK pos ; rasio kemungkinan positif, RK neg ; rasio kemungkinan negatif.

Tabel 2. Analisis statistik FASTPlaqueTBTM dibandingkan dengan


Kultur LJ.
FASTPlaqueTB

Kultur LJ
Sensitivitas Spesifisitas NDP NDN RK RK
Positif Negatif
(%)
(%)
(%) (%) pos neg

86,5

78,9

Kesesuaian hasil antara pewarnaan Ziehl Neelsen


langsung dan uji FASTPlaqueTBTM
Pemeriksaan mikroskopis yang digunakan unt uk
pelayanan sehari- hari laboratorium di Indonesia adalah
pewarnaan Ziehl Neelsen langsung. Hal ini sesuai dengan
panduan Depkes RI tahun 2006. Berkaitan dengan hal tersebut,
maka perlu diketahui kesesuaian hasil antara pewarnaan
langsung dan FASTPlaqueTBTM. Interpretasi hasil pada pewarnaan
langsung dilakukan berdasarkan panduan Depkes RI tahun
2006.18
Di antara sampel dengan hasil kultur positif (52 sampel),
8 sampel menunjukkan hasil negatif pada pewarnaan langsung,
2 sampel menunjukkan 19 BTA/100 lapang pandang, 18
sampel menunjukkan hasil +1, delapan sampel menunjukkan
hasil +2, dan 16 sampel menunjukkan hasil +3 (tabel 4).
Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa kesesuaian hasil
sebesar e90% antara pewarnaan langsung, FASTplaqueTBTM
dan kultur LJ positif dapat diperoleh mulai dari hasil +1.
Di antara sampel dengan hasil kultur negatif (38
sampel), 33 sampel menunjukkan hasil negatif pada pewarnaan
langsung, satu sampel menunjukkan 19 BTA/100 lapang
pandang, dua sampel menunjukkan hasil +1, dua sampel
menunjukkan hasil +2, dan tidak ada sampel yang menunjukkan
hasil +3 (tabel 5). Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa
kesesuaian hasil sebesar 81,8% antara pewarnaan langsung,
FASTplaqueTBTM dan kultur LJnegatif diperoleh pada pewarnaan
langsung yang menunjukkan hasil negatif.
Tabel 4. Kesesuaian hasil antara pewarnaan langsung, uji
FASTPlaqueTB TM dan kultur LJ positif
Penawaran
langsung

84,9 81,1 4,1 0,2

Uji
Uji
FASTPlaqueTB TM FASTPlaqueTB TM

Kultur LJ
positif

Positif

45

Positif n(%)

Negatif n(%)

Negatif

30

Negatif

4 (50,0)

4 (50,0)

52

38

1-9 BTA/100
lapang pandang

1 (50,0)

1 (50,0)

+1
+2
+3

17 (94,4)
18 (100)
15 (93,7)

1 (5,6)
0 (0,0)
1 (6,3)

18
18
16

Keterangan : LJ ; Lowenstein- Jensen, NDP ; nilai duga positif, NDN ; nilai duga
negatif, RK pos ; rasio kemungkinan positif, RK neg ; rasio kemungkinan negatif.

Tabel 3. Analisis statistik kombinasi pemeriksaan Ziehl Neelsen


setelah dekontaminasi dan/atau FASTPlaqueTBTM
dibandingkan dengan Kultur LJ.
ZN setelah
Kultur LJ
dekontaminasi
Positif
Negatif
dan/atau
FASTPlaqueTB

Positif

49

11

Negatif

27

52

38

Sensitivitas Spesifisitas NDP NDN RK RK


(%)

(%)

(%)

(%)

pos

neg

Penawaran
langsung
94,0

71,0

81,0 90,0 3

0,1

Keterangan : LJ ; Lowenstein- Jensen, NDP ; nilai duga positif, NDN ; nilai duga
negatif, RK pos ; rasio kemungkinan positif, RK neg ; rasio kemungkinan negatif.

Tabel 5. Kesesuaian hasil antara pewarnaan langsung, uji


FASTPlaqueTB TM dan kultur LJ negatif
Uji
Uji
FASTPlaqueTB TM FASTPlaqueTB TM
Negatif n(%)
Positif n(%)

Kultur LJ
negatif

Negatif

27 (81,8)

33

1-9 BTA/100
lapang pandang

0 (0,0)

1 (100)

+1
+2
+3

1 (50,0)
1 (50,0)
0 (0,0)

1 (50,0)
1 (50,0)
0 (0,0)

2
2
0

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

PEMBAHASAN
Responden yang ikut dalam penelitian ini berjumlah
46 pasien baru, belum pernah mendapat atau sedang dalam
terapi OAT(obat antituberkulosis). Beberapa penelitian yang
dilakukan sebelumnya, antara lain penelitian di Spanyol,
Filipina dan Turki, menunjukkan bahwa terapi OAT dapat
menurunkan sensitivitas pemeriksaan uji FASTPlaqueTBTM.
Semua penelitian tersebut menunjukkan sensitivitas di
bawah 60%.10
Dat a yang diperoleh pada penelit ian ini
memperlihatkan bahwa responden t erbanyak adalah
kelompok umur 35-44 yaitu 12 orang (12/45). Data tersebut
sesuai dengan laporan dari Sub Direktorat TB Depkes RI
tahun 2006, yang menyatakan bahwa infeksi TB sebagian
besar diderita oleh masyarakat yang berada dalam usia
produktif (1555 tahun ).3 Data yang dikeluarkan oleh
Depkes RI (2001) juga menunjukkan bahwa 75% penderita
TB paru berada pada kelompok usia produktif (1550 tahun)
dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah.18 Kondisi
t ersebut t ent u saja akan sangat berdampak pada
perekonomian keluarga, masyarakat dan negara.19 Selain
merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak
buruk lainnya secara sosial bahkan dikucilkan oleh
masyarakat .20 Berdasarkan jenis kelamin, responden
terbanyak dalam penelitian ini berjeniskelamin laki-laki yaitu
33 orang (33/45) dan 13 orang (13/45) berjenis kelamin
perempuan. Infeksi TB memang cenderung lebih sering
diderita oleh laki-laki dibandingkan wanita. Hal ini antara
lain disebabkan karena faktor kebiasaan merokok. Kebiasaan
merokok dapat meningkatkan risiko infeksi TB paru sebanyak
2,2 kali.21
Hasil pewarnaan Ziehl Neelsen setelah homogenisasi
dan dekontaminasi menunjukkan sebanyak 58% (52/90)
sampel memberikan hasil positif. Hal ini sesuai dengan
kenyat aan bahwa diperkirakan set engah hingga
tigaperempat kasus TB aktif menunjukkan BTA (+) dan
sisanya BTA (-). Hasil kultur juga menunjukkan data yang
sama, yaitu 58% sampel menunjukkan hasil kultur LJpositif
dan sisanya menunjukkan hasil kultur negatif.4
FASTPlaqueTBTM merupakan suatu metode diagnostik
yang mudah dikerjakan dan dapat memberikan hasil dalam
waktu 2x24 jam. Apabila dibandingkan dengan kultur LJ,
metode ini memiliki sensitivitas 86,5% dan spesifisitas
78,9%, Nilai duga posit if dan negat if met ode
FASTPlaqueTBTM adalah 85,0% dan 81,0%. Rasio
kemungkinan positif dan negatif uji ini adalah 4,14 dan
0,16. Nilai sensitivitas yang diperoleh pada penelitian ini
sesuai dengan rentang nilai sensitivitas penelitian meta
analisis t erhadap 13 penelit ian. Penelit ian t ersebut

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

menyimpulkan bahwa phage- based assays memiliki


sensitivitasantara 2194%. Luasnya rentang nilai sensitivitas
pada penelitian meta analisis tersebut, dipengaruhi oleh
beberapa hal, antara lain jenis spesimen yang digunakan,
riwayat terapi OAT pada responden, perbandingan jumlah
sampel BTA positif dan BTA negatif pada seluruh sampel
yang diuji dan lamanya penyimpanan spesimen.Pada meta
analisis tersebut, 3 penelitian tidak hanya menggunakan
spesimen sputum namun juga menggunakan jenisspesimen
lain. Selain itu, sebanyak 5 penelitian menyertakan responden
yang sedang dalam terapi OAT.10
Apabila dilakukan kombinasi pemeriksaan mikroskopis
set elah homogenisasi dekont aminasi dan/at au
FASTPlaqueTBTM, maka diperoleh nilai sensitivitas sebesar
94,0%, spesifisitas71,0%, nilai duga positif 81,0%, nilai duga
negatif 90,0%, rasio kemungkinan positif 3 dan rasio
kemungkinana negatif 0,1. Hasil ini menunjukkan bahwa
kombinasi hasil pemeriksaan mikroskopisdan FASTPlaqueTBTM
mampu meningkatkan sensitivitas, namun tidak dapat
meningkatkan spesifisitas. Penelitian yang dilakukan oleh
Muzaffar dkk (2002) menyimpulkan bahwa kombinasi
pemeriksaan mikroskopis dan FASTPlaqueTBTM
memperlihatkan nilai sensitivitasnya mencapai 90% dan
spesifisitasnya 93%.4
Pada hasil uji FASTPlaqueTBTM yang dibandingkan
dengan kultur LJ, ditemukan 8 sampel yang menunjukkan
hasil postif palsu (6 sampel menunjukkan hasil BTA negatif
dan 2 sampel menunjukkan hasil BTA positif). Dengan data
tersebut dapat dilihat bahwa 6 sampel BTA negatif terdeteksi
positif oleh FASTPlaqueTBTM. Salah satu kemungkinan yang
menyebabkan terjadinya positif palsu adalah masih adanya
faga yang berada di luar sel, karena proses destruksi faga
oleh virusid tidak terjadi secara sempurna akibat adanya
faktor dalam sputum yang mampu melindungi faga. Faga
yang masih bertahan di luar sel tesebut kemudian akan
menginfeksi Mycobacterium smegmatisdan akan membentuk
plak pada media dan memungkinkan terjadinya hasil positif
palsu.5 Interpretasi hasil uji FASTPlaqueTBTM sangat bersifat
subyektif dan memerlukan kehati-hatian, terutama dalam
membedakan hasil negatif dan hasil positif lengkap. Hal ini
terkadang cukup menyulitkan, sehingga tidak menutup
kemungkinan terjadi kesalahan interpretasi hasil yang dapat
menyebabkan terjadinya positif palsu maupun negatif palsu.
Jumlah sampel yang menunjukkan hasil negatif palsu
pada uji FASTPlaqueTBTM sebanyak 7 sampel. Empat sampel
merupakan BTA negatif dan 3 sampel BTA positif. Hasil
negatif palsu berkaitan dengan kemampuan FASTPlaqueTBTM
dalam mendeteksi keberadaan Mycobacterium sp pada
sputum. Kemampuan ini berkaitan erat dengan kemampuan
infeksi dan replikasi faga D29 pada pejamu.22 Proses infeksi

dan replikasi faga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara


lain struktur kimia dan biologis sputum23 dan kemampuan
replikasi pejamu.22
Salah satu hal yang menjadi perhatian pada penelitian
ini adalah tingginya angka kontaminasi pada hasil uji
FASTPlaqueTBTM. Dari 69 sampel yang diperoleh pada periode
ke-2, 34 di antaranya (34/69) mengalami kontaminasi pada
media FASTPlaqueTBTM. Dua puluh lima sampel di antaranya
mengalami kontaminasi berupa generalized growth sehingga
media menjadi keruh, dan 9 sampel mengalami kontaminasi
berupa discrete colonies yang memenuhi hampir seluruh
permukaan media sehingga menyulitkan interpretasi hasil.
Kontaminasi tersebut dapat terjadi pada saat pengambilan
dan pemeriksaan sampel atau karena proses dekontaminasi
kurang adekuat. Sebagai upaya pengendalian kontaminasi,
pada penelitian ini dilakukan proses dekontaminasi ulang
pada sampel yang terkontaminasi dan selanjutnya dilakukan
uji FASTPlaqueTBTM ulang.
Set elah dilakukan pengujian, diket ahui bahwa
sebagian besar bakteri kontaminan adalah batang positif
Gram berspora (Bacillus sp) diikuti oleh kokus positif Gram.
Pada beberapa sampel juga terdapat batang negatif Gram,
di antaranya Enterobacter aerogenes dan Pseudomonas sp.
Dominasi Bacillussp sebagai bakteri kontaminan memperkuat
dugaan bahwa kontaminasi terjadi saat pengumpulan dan
pemrosesan spesimen. Penundaan pengiriman spesimen juga
dapat meningkatkan risiko terjadinya kontaminasi.
Pengulangan prosesdekontaminasi dapat menurunkan
kontaminasi dari 49,3% menjadi 14,5% (34/69 menjadi 10/
69). Penelitian yang dilakukan oleh Muzaffar dkk (2002) juga
menunjukkan adanya kontaminasi pada uji FASTPlaqueTBTM
sebesar 18,6%, kontaminan terbesar adalah bakteri positif
Gram khususnya Bacillus sp dan Staphylococcus sp. Untuk
menekan kontaminasi, mereka melakukan penambahan
penisilin pada medium pert umbuhan FASTPlaqueTBTM.
Penambahan penisilin t ersebut mampu menurunkan
kontaminasi hingga menjadi 5,3%, tanpa mempengaruhi
sensitivitasdan spesifisitasnya. Supaya FASTPlaqueTBTM dapat
diaplikasikan secara efektif, hal penting yang harusdilakukan
adalah pengendalian bakteri kontaminan. Hal ini terutama
perlu dilakukan di negara-negara sedang berkembang, terkait
dengan pengambilan dan pengolahan spesimen yang tidak
selalu dapat dilakukan dalam kondisi ideal.4
Berdasarkan data yang diperoleh pada penelitian ini,
dapat dilihat bahwa uji FASTPlaqueTBTM memiliki sensitivitas
yang cukup baik, akan tetapi nilainya masih lebih rendah
apabila dibandingkan dengan metode pewarnaan Ziehl
Neelsen set elah homogenisasi dan dekont aminasi.
FASTPlaqueTBTM hanya mampu mendeteksi bakteri hidup

sedang metode Ziehl Neelsen tidak dapat membedakan


ant ara bakt eri hidup dan mat i.24 Hal tersebut dapat
membantu klinisi dalam menangani kasus TB pada pasien
dengan kondisi klinismembaik namun hasil pewarnaan Ziehl
Neelsen positif. Kombinasi pemeriksaan mikroskopis dan
FASTPlaqueTBTM terbukti mampu meningkatkan sensitivitas.
FASTPlaqueTBTM merupakan metode yang cukup mudah
dikerjakan. Selain itu metode ini memberikan keamanan yang
lebih baik bagi petugas laboratorium karena menggunakan
Mycobacterium smegmatis yang tidak bersifat patogen.
Replikasi faga juga akan menyebabkan lisis bakteri, sehingga
bakteri tidak lagi bersifat infeksius. Hasilnya dapat diperoleh
dalam waktu 2x24 jam. Di samping beberapa kelebihan
tersebut, uji FASTPlaqueTBTM memiliki beberapa kelemahan
antara lain tidak spesifik untuk Mycobacterium tuberculosis,
memiliki risiko kontaminasi yang tinggi, dan interpretasi hasil
dipengaruhi oleh subyektivitas pembaca terutama dalam
membedakan hasil negatif dan positif lengkap.
Beberapa kekurangan pada penelitian ini antara lain
adalah sampel yang diuji belum mampu mewakili seluruh
strain Mycobacterium tuberculosisdi Indonesia, karena hanya
diambil dari beberapa tempat pelayanan kesehatan di Jakarta.
Selain itu, penelitian ini tidak melakukan identifikasi hingga
spesiesbakteri.
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI. Pointers Menkes Menyambut
Hari TBCSedunia 2007 . www.depkes.go.id 2007.
2. Naning R. Tuberculosis Infection in Infant and Children Who
Have Contact with Positive Sputum Adult Tuberculosis. http:/
/puspasca.ugm.ac.id. 2003.
3. Sub Direktorat TB Departemen Kesehatan RI dan World
Health Organization (WHO). Hari TB Sedunia : Lembar Fakta
Tuberkulosis. www.tbcindonesia.or.id. 2008.
4. Muzaffar R, Batool S, Azis A, Naqvi A, Rizvi A. Evaluation of
t he FASTPLAQUETB Assay for Direct Det ect ion of
Mycobacterium tuberculosis in Sputum Specimens. Int J
Tuberc Lung Dis. 2002; 6(7): 635-40.
5. Albert H, Heydenrych A, Brookes R, Mole LJ, Harley B,
Subotsky E, et al. Performance of a Rapid Phage-based test,
FASTPlaqueTBTM, to Diagnose Pulmonary Tuberculosis from
Sputum Specimens in South Africa. Int J Tuberc Lung Dis.
2002; 6(6): 529 37.
6. Farnia P, Mohammadi F, Mirsaedi M, Zarifi AZ, Tabatabee J,
Bahadori M et al. Bacteriological follow-up of pulmonary
tuberculosis treatment: a study with a simple colorimetric
assay. Microbes and Infection. 2004; 6(11): 972-76.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

7. Levinson W. Review of Medical Microbiology and


Immunology. United States,The McGraw-Hill Companies,
Inc. 2008. p.164.
8. Aditama TY. Tuberkulosis Masalah dan Perkembangannya.
www.fk.ui.ac.id 2008.
9. Pai M, Kalant ri SP. Bact eriophage- based t est s for
tuberculosis. Editorial. 2005; 23(3):149-50.
10. Kalantri SP, Pai M, Pascopella L, Riley LW, Reingold AL.
Bact eriophage- based t est s f or t he det ect ion of
Mycobacterium tuberculosis in clinical specimens: a
systematic review and meta analysis. BMCInfect Dis, 2005;
5(59).

20. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.


2009. http://www.tbindonesia.or.id/pdf/BPN_2007.pdf
2009.
21. Kesehatan Masyarakat. Faktor-faktor risiko tuberkulosis (TB
paru TBC). 2011. http://www.kesmas.tk/2011/05/faktorfaktor-resiko-tuberkulosis-tb.html.
22. Rybniker J, Stefanie K, Small PL. Host Range of 14
Mycobacteriophages in Mycobacterium ulcerans and seven
other mycobacteria including Mycobacterium tuberculosis
- application for identification and susceptibility testing.
Journal of Medical Microbiology. 2006; 55(pt 1): 3742.

11. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Pedoman


Diagnosis dan Pedoman Penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta : Indah Offset Citra Grafika. 2006. Hal. 14.

23. StellaEJ, De La Iglesia AI, Morbidoni HR. Mycobacteriophages


as versatile tools for genetic manipulation of mycobacteria
and development of simple methods for diagnosis of
mycobacterial diseases. Revista Argentina de Microbiologa.
2009; 41: 45-55.

12. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pemeriksaan


Mikroskopis Tuberkulosis. Jakarta. Dirjen Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2006. Hal. 4, 1314,17,21.

24. Kinomoto M. Development of slide-method to distinguish


alive and dead mycobacteria by fluorescent staining a
trial for solving the biohazard problem in TB laboratories.
Kekkaku.1999; 74(8): 599-609.

13. Madiyono B, Moeslichan MS, Sastroasmoro S, Budiman I,


Harry PS. Perkiraan Besar Sampel. Dalam : Sastroasmoro:
Dasar-dasar Metodologi penelitian Klinis. Edisi ke-2. Jakarta
: CV Sagung Seto, 2002. Hal. 273.
14. Fujiki A. Bacteriology examination to stop TB. Japan. The
Research Institute of Tuberculosis. 2001: p.16-18.
15. Lubasi D, Habeenzu C, Mitarai S. Evaluation of an Ogawa
Mycobacterium culture method modified for higher
sensitivity employing concentrated samples. Tropical
Medicine and Health. 2004; 32(1): p.1-4.
16. Basil MV, Kumar S, Yadav J, Kumar N, Bose M. A simple
met hod t o dif ferent iat e bet ween Mycobact erium
tuberculosis and Non-Tuberculous Mycobacteria directly
on clinical specimens. Southeast Asian J Trop Med Public
Health. 2007; 38(1): 111-4.
17. Biot ec Laborat ories Lt d. FASTPlaqueTBTM a rapid
bacteriophaga assay for the detection Mycobacterium
tuberculosis complex in clinical samples. 2004. Available
from: www.biotec.com.
18. Rusnoto, Rahmatullah P, Udiono A. Faktor-faktor yang
berhubungan dengan Kejadian TB paru pada usia dewasa
(Studi kasus di balai pencegahan dan pengobatan Penyakit
paru pat i). Undip websit e. 2006. Hal. 2. ht t p://
eprints.undip.ac.id/5283/.
19. Suharjana BS, Krist iani, Trisnantoro L. Pelaksanaan
Penemuan Penderita Tuberkulosis di Puskesmas Kabupaten
Sleman. KMPKUniversitas Gadjah Mada. 2005. Hal. 5. http:/
/www.lrc- kmpk.ugm.ac.id/id/UP PDF/_working/
No.3_Bambang_S_01_05.pdf.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA


TUBERKULOSIS PARU (TB PARU) DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU
(BP4) YOGYAKARTA UNIT MINGGIRAN
Nita Yunianti Ratnasari
AKPER Giri Satria Husada Wonogiri
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit
kronis yang masih menjadi masalah kesehatan di dunia
termasuk Indonesia. WHO menyatakan bahwa TB saat ini
telah menjadi ancaman global. Diperkirakan 1,9 milyar
manusia atau sepertiga penduduk dunia terinfeksi penyakit
ini.Setiap tahun terjadi sekitar 9 jut a penderit a baru
Tbdengan kemat ian sebesar 3 jut a orang. Di negara
berkembang kematian mencakup 25% dari keseluruhan
kasus, yang sebenarnya dapat dicegah sehubungan dengan
telah ditemukannya kuman penyebab TB. Kematian tersebut
pada umumnya disebabkan karena tidak terdeteksinya kasus
dan kegagalan pengobatan.Data Program Pemberantasan
Tuberkulosis(P2 TB) di Indonesia menunjukkan peningkatan
kasus dari tahun ke tahun. Upaya penanggulangan maupun
pencegahan yang telah diupayakan masih belum berhasil
menyelesaikan masalah yang ada yaitu menurunkan angka
kesakitan dan kematian. Masalah yang dijumpai adalah
kesulit an penemuan penderit a TB paru BTA(+),
ketidakteraturan berobat dan drop out pengobatan. Kasus
TB yang tidak terobati tersebut akan terus menjadi sumber
penularan.
Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup
sendirian tanpa bantuan orang lain. Kebutuhan fisik (sandang,
pangan, papan), kebutuhan sosial (pergaulan, pengakuan
dan kebutuhan psikis termasuk rasa ingin tahu, rasa aman,
perasaan religiusitas), tidak mungkin terpenuhi tanpa bantuan
orang lain. Apalagi jika orang tersebut sedang menghadapi
masalah baik ringan maupun berat. Pada saat itu seseorang
akan mencari dukungan sosial dari orang-orang di sekitarnya,
sehingga dirinya merasa dihargai, diperhatikan dan dicintai.
Demikian halnya dengan penderita penyakit kronis
seperti TB paru perlu mendapat dukungan sosial lebih, karena
dengan dukungan dari orang-orang tersebut secara tidak
langsung dapat menurunkan beban psikologis sehubungan
dengan penyakit yang dideritanya yang pada akhirnya akan
meningkatkan ketahanan tubuh sehingga kondisi fisik tidak

semakin menurun. Dukungan sosial penting untuk menderita


penyakit kronik sebab dukungan sosial dapat mempengaruhi
tingkah laku individu, seperti penurunan rasa cemas, tidak
berdaya dan put us asa, yang pada akhirnya dapat
meningkatkan status kesehatan. Meningkatnya st atus
kesehat an berarti akan meningkat kan kualitas hidup
penderita. Dukungan keluarga dan masyarakat mempunyai
andil besar dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan,
dengan pengawasan dan pemberian semangat terhadap
penderita. Peran Pengawas Minum Obat (PMO) tersebut
dapat berasal dari petugas kesehatan, masyarakat atau
keluarga penderita.
Kualitas hidup merupakan salah satu kriteria utama
untuk mengetahui intervensi pelayanan kesehatan seperti
morbiditas, mortalitas, fertilitas, dan kecacatan. Di negara
berkembang pada beberapa dekade terakhir ini insidensi
penyakit kronismulai menggantikan dominasi penyakit infeksi
di masyarakat. Sejumlah orang dapat hidup lebih lama,
namun dengan membawa beban penyakit menahun atau
kecacatan, sehingga kualitas hidup menjadi perhatian
pelayanan kesehatan. Fenomena di masyarakat sekarang ini
adalah masih ada anggota keluarga yang takut apalagi
berdekatan dengan seseorang yang disangka menderita TB
paru, sehingga muncul sikap berhati-hati secara berlebihan,
misalnya mengasingkan penderit a, enggan mengajak
berbicara, kalau dekat dengan penderita akan segera
menutup hidung dan sebagainya. Hal tersebut akan sangat
menyinggung perasaan penderita. Penderita akan tertekan
dan merasa dikucilkan, sehingga dapat berdampak pada
kondisi psikologisnya dan akhirnya akan mempengaruhi
keberhasilan pengobatan. Hal ini berarti dukungan sosial
yang sangat dibutuhkan tidak didapatkannya secara optimal.
Berdasarkan pertimbangan bahwa dukungan sosial
dapat meningkatkan status kesehatan penderita serta
pentingnya perhatian terhadap kualitas hidup penderita
penyakit kronis, maka peneliti merasa tertarik untuk mengkaji
kedua hal tersebut. Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP4)
dipilih sebagai tempat pengambilan data penelitian karena
selain merupakan tempat berobat yang potensial bagi

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

penderita TB paru, BP4 juga sebagai tempat yang tepat


unt uk mengembangkan berbagai penelit ian yang
berhubungan dengan pengobatan penyakit tersebut. BP4
Unit Minggiran adalah pusat administrasi dan angka
penemuan kasus baru penderita TB paru di BP4 tersebut
paling tinggi dibandingkan BP4 unit lain di Yogyakarta. Pada
periode Januari sampai Desember 2003, sebesar 48%,
penderita TB paru BTA(+) baru ditemukan di Minggiran.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menget ahui
hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup
penderita TB paru, karakteristik penderita TB paru, besarnya
dukungan sosial dan tingkat kualitas hidup penderita TB
paru yang berobat di BP4 Yogyakarta Unit Minggiran serta
besarnya kontribusi karakteristik responden terhadap kualitas
hidup penderita TB paru.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental
yang bersifat kuantitatif dengan metode deskriptif dengan
rancangan studi potong lintang. Total sampel sebesar 50
orang penderita TB paru yang berobat di BP4 Unit Minggiran
yang memenuhi kriteria yang ditentukan yaitu : terdiagnosis
medismenderita TB paru BTA(+), telah melewati fase intensif
program pengobatan minimal 2 bulan dengan OATKategori
I, penderita usia produktif yaitu antara 1555 tahun, dapat
membaca dan menulis. Data diambil dengan pengisian
kuesioner oleh responden pada bulan Februari sampai April
2004.Data dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui
hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup
pada penderita TB paru dengan menggunakan uji analisis
korelasi Product Moment Pearson.

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Hasil Penelitian
Penderita TB paru yang menjadi responden dalam
penelitian ini adalah penderita usia produktif, usia rata-rata
2130 tahun sebanyak 26 orang (52%). Usia 3140 tahun
dan usia 4150 tahun masing-masing 8 orang (16%) dan 7
orang (14%). Jumlah penderita laki-laki dan perempuan
berimbang, laki-laki 27 orang (54%), perempuan 23 orang
(46%). Pendidikan responden sebanyak 23 orang (46%)
t amat SLTA, 14 orang (28%) tamat SLTP, sedangkan
responden dengan pendidikan rendah (tidak sekolah, tidak
tamat maupun tamat SD masing-masing 3 orang (6%).
Pekerjaan responden mahasiswa 14 orang (28%), tidak
bekerja dan buruh masing-masing 8 orang (16%). Riwayat
pengobat an sebanyak 33 orang (66%) responden
menyatakan tidak pernah mencari pengobatan sebelumnya

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

kecuali di BP4, sedangkan 17 orang (34%) menyatakan


pernah menjalani pengobatan lain sebelum di BP4 Minggiran.
2. Dukungan Sosial
Total skor dukungan sosial adalah jumlah orang
pemberi dukungan dan kepuasan responden atas dukungan
sosial t ersebut . Sebanyak 18 orang (36%) mendapat
dukungan sosial dengan kategori tinggi. Untuk kategori
sedang dan rendah masing-masing sebanyak 22 orang (44%)
dan 10 orang (20%). Dukungan sosial yang diterima para
penderita pada umumnya diperoleh dari keluarga, sanak
saudara dan tetangga.
3. Kualitas Hidup
Penilaian terhadap kualitas hidup meliputi 5 aspek
yaitu : tingkat aktivitas, kehidupan sehari-hari, kesehatan,
dukungan sosial serta harapan. Sebanyak 34 orang (68%)
dapat beraktivitas normal, 14 orang (28%) dalam beraktivitas
perlu bantuan orang lain dan 2 orang (4%) menyatakan
tidak mampu beraktivitas. Sebanyak 40 orang (80%) dapat
melakukan kehidupan sehari-hari dengan normal, 9 orang
(18%) dalam melakukan kehidupannya membutuhkan
bantuan orang lain serta 1 orang (2%) menyatakan tidak
mampu menjalani kehidupan sehari-hari sama sekali.
Sebanyak 25 orang (50%) merasa sehat pada sebagian besar
waktu, 21 orang (42%) menyatakan sering merasa lesu, serta
4 orang (8%) menyatakan bahwa badannya selalu terasa
sakit. Sebagian besar penderita TB paru mendapat dukungan
kuat dari keluarga dan teman yaitu 43 orang (86%), penderita
yang mendapat dukungan terbatas dari keluarga sebanyak
6 orang (12%) dan hanya seorang (2%) menyatakan jarang
mendapat dukungan dari orang-orang sekitarnya. Sebanyak
40 orang (80%) mempunyai harapan positif dan dapat
menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan sekitarnya.
Ada 9 orang (18%) merasa sedih dan hanya 1 orang (2%)
betul-betul bingung, sangat takut dan cemas. Secara garis
besar sebanyak 34 orang (68%) mempunyai kualitas hidup
baik, kualitas hidup kategori sedang sebesar 30% dan hanya
ada 1 orang responden (2%) dengan kualitas hidup jelek.
4. Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan
Kualitas Hidup
Dari hasil analisis dengan uji korelasiProduct
MomentPearson diperoleh hubungan antara dukungan sosial
dengan kualitas hidup pada penderita TB paru dengan r
sebesar 0,675; p<0,01. Dapat diartikan bahwa ada hubungan
yang sangat bermakna antara dukungan sosial dengan
kualitas hidup yang berarti semakin tinggi dukungan sosial
yang diterima, maka kualitashidup juga semakin meningkat.
Interpretasi kekuatan hubungan termasuk kategori tinggi.

Hubungan Antara Karakteristik Responden dengan


Kualitas Hidup
Hasil analisis dengan korelasi Pearson ant ara
karakteristik responden (umur, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, pekerjaan dan riwayat pengobatan) dengan
kualitas hidup penderita TB paru. Didapatkan hasil analisis :
variabel umur (r=0,468; p<0,05), jenis kelamin (r=0,077;
p=0,593), pendidikan (r=0,420; p<0,05), pekerjaan (r=0,141;
p=0,330), riwayat pengobatan (r=0,017; p=0,906). Dari
analisis tersebut diket ahui bahwa variabel umur dan
pendidikan mempunyai nilai koefisien korelasi sedang,
masing-masing sebesar (r=0,468 dan r=0,420), dengan
tingkat kemaknaan p<0,05. Hal ini menunjukkan ada
hubungan bermakna antara umur dan pendidikan dengan
kualitashidup. Sedangkan variabel lainnya yaitu jeniskelamin,
pekerjaan dan riwayat pengobatan tidak menunjukkan
hubungan bermakna dengan kualitas hidup.
Hasil analisis multipel regresi antara karakteristik
responden dengan kualitas hidup penderita TB paru, didapat
variabel umur (=0,519; p<0,05) dan pendidikan (=0,378;
p<0,05) memberikan kontribusi bermakna terhadap kualitas
hidup. Variabel lainnya yaitu jeniskelamin (=0,260; p=0,753),
pekerjaan (=0,155; p=0,260) dan riwayat pengobatan (=
6,25; p=0,417) t idak memberikan kontribusi terhadap
kualitas hidup penderita TB paru.

PEMBAHASAN
Frekuensi penderita TB paru yang menjalani program
pengobatan rawat jalan di BP4 Yogyakarta Unit Minggiran
terbanyak adalah usia produktif, antara 2130 tahun, sebesar
52%. Insidens tertinggi TB paru biasanya mengenai usia
dewasa muda, antara 1544 tahun. Sekitar 95% penderita
TB paru berada di negara berkembang, dimana 75%
diantaranya adalah usia produktif.
Jumlah penderita laki-laki lebih tinggi dari perempuan,
yaitu sebesar 54%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
tentang tampilan kelainan radiologik pada orang dewasa
yang menyat akan bahwa laki- laki mempunyai
kecenderunganlebih rentan terhadap faktor risiko TB paru.
Hal tersebut dimungkinkan karena laki-laki lebih banyak
melakukan aktifitas sehingga lebih sering terpajan oleh
penyebab penyakit ini.
Pendidikan responden terbanyak adalah tamat SLTA
sebesar 46%. Diasumsikan bahwa orang dengan pendidikan
lebih t inggi akan sadar t ent ang perilaku sehat dan
pengobatan terhadap penyakitnya. Namun hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa dengan pendidikan tinggi belum

tentu individu tersebut mempunyai kesadaran lebih baik


tentang penyakitnya dibanding mereka yang berpendidikan
lebih rendah. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Studi
Kasus Hasil Pengobatan TB paru di 10 Puskesmas di DKI
Jakarta 19961999 yang menyatakan bahwa rendahnya
t ingkat pendidikan akan menyebabkan rendahnya
pengetahuan dalam hal menjaga kebersihan dan kesehatan
lingkungan yang tercermin dari perilaku sebagian besar
penderita yang masih membuang dahak serta meludah
sembarang tempat.
Pekerjaan responden terbanyak sebagai mahasiswa
sebesar 28%. Dari hasil wawancara didapat bahwa
responden yang berstatus mahasiswa kebanyakan berasal
dari luar daerah sehingga mereka harus indekos. Tinggal di
lingkungan padat hunian (seperti kos) berpengaruh terhadap
penularan TB paru. Hal ini sesuai dengan pernyat aan
mengenaibeberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan
dengan penularan TB paru adalah terkait perumahan yang
terlalu padat atau kondisi kerja yang buruk. Kepadatan
hunian menimbulkan efek negatif terhadap kesehatan fisik,
mental dan sosial. Rumah atau ruangan yang terlalu padat
penghuninya akan kekurangan O2 sehingga menyebabkan
menurunnya daya tahan dan memudahkan terjadinya
penularan penyakit.
Riwayat pengobatan menunjukkan sebesar 66%
penderita belum pernah mencari pengobatan sebelumnya
kecuali di BP4 tersebut. Responden sebelumnya pernah
menjalani pengobatan di luar BP4 pada akhirnya lebih
memilih unt uk berobat di inst ansi t ersebut dengan
pertimbangan biaya yang lebih murah dan terjangkau. Hal
ini berkaitan erat dengan kepatuhan penderita dalam
menuntaskan program pengobatannya yaitu selama 6 bulan.
Tingkat keberhasilan pengobatan TB paru sangat dipengaruhi
oleh kepatuhan penderita terhadap regimen pengobatan
yang diberikan. Kementerian Kesehatan RI telah menetapkan
kebijakan dengan pemberian pengobatan gratissehingga
diharapkan dapat merupakan perangsang bagi penderita
agar t erat ur berobat sesuai dengan jadwal sampai
tercapainya kesembuhan. Tetapi dalam pelaksanaannya
banyak penderit a yang t idak t ekun menyelesaikan
pengobatannya.
Hasil pengukuran dukungan sosial dalam penelitian
ini diperoleh 44% dari keseluruhan responden mendapatkan
dukungan sosial tingkat sedang. Hal ini berarti penderita
TB paru yang menjadi responden dalam penelitian ini cukup
mendapatkan dukungan sosial dari orang-orang di sekitar
penderita. Dukungan sosial penting untuk penderita penyakit
kronis, sebab dengan dukungan t ersebut akan
mempengaruhi perilaku individu, seperti penurunan rasa

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

cemas, rasa tidak berdaya dan putus asa sehingga pada


akhirnya dapat meningkatkan status kesehatan penderita.
Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalan
di BP4 Yogyakarta terkait aktivitaspada satu minggu terakhir
t ergolong baik. Sebanyak 34 orang (68%) penderit a
menyatakan bahwa mereka dapat bekerja atau belajar dengan
normal. Sebaliknya, penderita yang menyatakan tidak mampu
bekerja atau belajar dalam keadaan apapun sebesar 4%. TB
paru bersifat radang yang kronis. Gejala malaise sering
ditemukan (anoreksia, penurunan nafsu makan, penurunan
berat badan, sakit kepala, meriang, nyeri otot, dan keringat
malam) dan dapat menurunkan produktivitas kerja penderita.
Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalan
di BP4 Yogyakarta terkait kehidupan sehari-hari pada satu
minggu terakhir adalah baik. Sebesar 80% responden
menyatakan mereka dapat makan, mencuci, berpakaian
sendiri, naik kendaraan umum tanpa bantuan orang lain.
Kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, seperti
mengurusdiri sendiri serta dapat berfungsi sosial merupakan
salah satu komponen dalam kualitas hidup terkait kapasitas
fungsional.
Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalan
di BP4 Yogyakarta terkait kesehatan pada satu minggu
terakhir adalah baik. Sebanyak 25 orang (50%) responden
merasa sehat pada sebagian besar waktu. Penderita yang
merasa tidak sehat sebanyak 4 orang (8%) lebih disebabkan
oleh karena nyeri dada, batuk menetap dan merasa lelah.
Batuk disertai dahak, sakit pada dinding dada, terjadi
penurunan berat badan, demam dan berkeringat, hilangnya
nafsu makan, napas pendek serta sering flu.
Kualitas hidup penderita TB paru yang berobat jalan
di BP4 Yogyakarta terkait dukungan dari keluarga dan
t eman- t eman diperoleh sebanyak 43 orang (86%)
menyatakan mempunyai hubungan baik dengan orang lain
dan memperoleh dukungan kuat dari angggota keluarga atau
dari teman. Penderita yang kurang mendapat dukungan dari
keluarga maupun temannya lebih disebabkan karena penyakit
yang dideritanya. Mereka telah menyadari bahwa TB paru
mudah sekali menular, sehingga sebagian merasa lebih baik
mengurangi kontak dengan orang lain. Ada juga dimana
orang-orang sekitar penderita sengaja membatasi kontak
dengan penderit a, karena takut tertular. Sebaliknya,
dukungan yang kuat pada penderita terutama dari pihak
keluarga akan sangat membantu proses penyembuhan
penyakit TB paru. Misalnya terkait dengan kepatuhan minum
obat yang berlangsung selama 6 bulan. Dukungan keluarga
dan masyarakat mempunyai andil besar dalam meningkatkan
kepatuhan pengobatan, dengan adanya pengawasan dalam
minum obat serta terkait pemberian semangat pada penderita.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Harapan hidup penderita TB paru yang berobat jalan


di BP4 tergolong baik. Sebanyak 40 orang (80%) penderita
mempunyai harapan positif serta mampu menyesuaikan
dengan keadaan lingkungan sekit ar. Sebagian besar
responden yang mempunyai harapan positif tersebut telah
yakin bahwa meski tergolong berat namun penyakit TB paru
dapat disembuhkan, asalkan mematuhi regimen pengobatan
yang telah ditetapkan. Keberadaan PMO yaitu seseorang
yang dipercaya baik oleh penderita sendiri maupun oleh
petugaskesehatan, yang akan ikut mengawasi pasien minum
seluruh obat nya diharapkan akan sangat membant u
penderita untuk berperilaku positif sehingga mendukung
proses penyembuhannya.
Pada penelitian ini diketahui bahwa ada hubungan
yang sangat bermakna antara dukungan sosial dengan
kualitas hidup (r=0,675; p<0,01). Arah korelasi positif
menunjukkan bahwa semakin besar dukungan sosial maka
kualitas hidupnya akan semakin meningkat. Hasil ini sesuai
dengan teori mengenai pengaruh dukungan sosial, salah
satunya adalah pengaruh tak langsung bahwa dukungan
sosial dapat berpengaruh pada stres yang dihadapi individu,
dengan penerimaan sosial yang dapat mempengaruhi self
esteem. Self esteem ini akan berpengaruh pada kesehatan
jiwa seseorang.
Hasil analisis multipel regresi antara umur dengan
kualitas hidup didapatkan nilai sebesar (=0,519; p<0,05).
Hal ini berarti umur memberikan kontribusi bermakna
terhadap kualitas hidup penderita TB paru. Pada umumnya
kualitas hidup akan menurun seiring dengan meningkatnya
umur.
Pada penelitian ini diketahui jenis kelamin tidak
memberikan kontribusi terhadap kualitashidup dengan nilai
(=0,260; p=0,735). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
mengenai Kualitas Hidup Penderita Gagal Ginjal Terminal
Yang Menjalani Hemodialisis Kronikdi RSUP dr. Sardjito
Yogyakarta yang menyatakan bahwa jenis kelamin ternyata
tidak berpengaruh terhadap kualitas hidup penderita gagal
ginjal terminal (GGT) yang menjalani hemodialisis kronik.
Disebutkan pula bahwa laki-laki mempunyai kualitas hidup
lebih jelek dibandingkan perempuan.
Tingkat pendidikan memberikan kontribusi bermakna
terhadap kualitas hidup (=0,378; p<0,05). Hal ini sesuai
pernyataan bahwa tingkat pendidikan akan mempengaruhi
sikapnya dalam merawat diri sendiri. Semakin tinggi tingkat
pendidikan akan bersifat semakin memacu ke arah kemajuan,
sehingga diharapkan sikap tersebut juga berpengaruh
terhadap perawatan kesehatannya.
Hasil analisis multipel regresi antara pekerjaan dengan
kualitas hidup penderita diperoleh (=0,155; p=0,260).

10

Dapat diartikan bahwa pekerjaan tidak memberikan kontribusi


t erhadap kualit as hidup penderit a TB paru. Hal ini
dimungkinkan karena jenis pekerjaan responden dalam
penelitian ini hanya diambil secara deskriptif. Lebih banyak
50% responden adalah mahasiswa dan sisanya masih dibagi
lagi dalam 6 kategori jenis pekerjaan yang lain, sehingga
jenis pekerjaan dalam penelitian ini dapat dikatakan tidak
mewakili profesi.
Pada penelit ian ini diketahui bahwa t idak ada
hubungan antara riwayat pengobatan dengan kualitashidup
penderita TB paru, didapatkan nilai (=6,25, p=0,417).
Riwayat pengobatan pada penelitian ini terkait dengan
ketaatan berobat penderita, sehubungan dengan program
pengobatan gratis dari pemerintah dengan harapan untuk
menekan angka drop out pengobatan serendah mungkin.

KESIMPULAN
Ada hubungan yang sangat bermakna antara dukungan sosial
dengan kualitas hidup penderita TB paru. Semakin tinggi
dukungan sosial maka semakin tinggi kualitas hidup. Variabel
umur dan pendidikan memberikan kontribusi bermakna
terhadap kualitas hidup. Variabel lainnya, yaitu jeniskelamin,
pekerjaan dan riwayat pengobatan tidak memberikan
kontribusi terhadap kualitas hidup penderita TB paru.

DAFTAR PUSTAKA
Bahar, A., Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FK UI.
Jakarta : Hal : 715719. 1990.
Brehm, S., Kassin, S., Social Psycology. New Jerset :
Houghton Mifflin. Princetor. 1990.
BP4 Yogyakarta., Laporan Triwulan TB Paru. BP4 Unit
Minggiran. Yogyakarta. 2003.
Cohen, S; Syme, S.L., Social Support and Health. London
: Academic Press Inc. 1985.
Crofton, J., Horne, N., Miller, F., Clinical Tuberculosis. 2nd
Ed. London : The Macmillan Press Ltd. 1999.

Faisal, A., Penampilan Kelainan Radiologik Pada Koch


Pulmonum Orang Dewasa.Majalah Radiologi Indonesia Tahun
ke-2, No 2 : 3135. 1991.
Gitawati, R., Sukasediati, N., Studi Kasus Hasil Pengobatan
TB Paru di 10 Puskesmas di DKI Jakarta 1996 1999. Cermin
Dunia Kedokteran. No. 137 : 1720. 2002.
Hamdani, F., Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ketaatan
Berobat Penderita KPTB di UPA RSUP Dr. Sardjito. KTI FK
UGM. Yogyakarta. 1994.
Handayani, S., Respon Imunitas Seluler pada Infeksi TB
Paru. Cermin Dunia Kedokteran. No. 137 : 33 36. 2002.
Kuntjoro, Z.S., Dukungan Sosial pada Lansia, Online : 5
Oktober 2003: Available from : http://www.e-psikologi.com/
lain-lain/zainuddin.htm.2002
Mansjoer, A., Wardhani, W.I., Setiowulan, W., Kapita Selekta
Kedokteran. Ed. 3. Cet. 1. Jakarta : Media Aesculapius. 1999.
Notoatmodjo, S., Ilmu Kesehatan Masyarakat. PT. Rineka
Cipta : Jakarta. 1996.
Sugiyono., Statistik untuk Penelitian. Bandung : CV.
Alfabeta. 1999.
Smeltzer, Suzanne C., Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah, Brunner & Suddarth / editor. Ed 8. Vol 1. Jakarta :
EGC. 2001.
Siswanto, A., KualitasHidup Penderita Gagal Ginjal Terminal
Yang Menjalani Hemodialisa Kronis di RSUP dr. Sardjito
Yogyakarta. Tinjauan Pustaka dan Laporan Penelitian. FK
UGM Yogyakarta. 1992.
Subowo, D., Kualitas Hidup Penderita Dermatitis Kontak di
RSUD Sragen, Jawa Tengah. Tesis Pasca Sarjana UGM.
Yogyakarta. 2001.
Priambodo, R., Hubungan Kepatuhan Berobat Penderita
Tuberkulosis Paru dengan Kejadian Penyakit Paru Obstruksi
Menahun (PPOM) di RSUPDr. Sardjito Tahun 1991 1996.
KTI FK UGM Yogyakarta. 1996.

DepkesRI., Pedoman Nasional Penanggulangan TB. Cetakan


ke-5. Jakarta. 2000.

Prasetyo, I.E., Tinjauan Kasus Kualitas Hidup Pasien Gagal


Ginjal Terminal dengan Peritoneal Dialisa di Rumah Sakit
Sardjito Yogyakarta. KTI FKL UGM. 2003.

DepkesRI., Pedoman Tuberkulosis dan Penanggulangannya.


Jakarta. 1994

WHO. Tuberculosis Control. New Delhi, WHORegional For


South East Asia. 1993.

Depkes RI., Pedoman Penyajit Tuberkulosis dan


Penanggulangannya. Ditjen P2M & PLP. Depkes RI, Jakarta.
1999.

Woerjandari, A., Manajemen Pengobat an Penderit a


Tuberkulosis Paru Dengan Sistem DOTS Di Puskesmas dan
BP4 Kota Yogyakarta. Tesis Program Pasca Sarjana UGM.
Yogyakarta. 2001.

11

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

RAPID TB TEST
Apri Lyanda
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan, Jakarta

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan pasien
tuberkulosis (TB) terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan
Cina, perkiraan jumlah pasien TB sekitar 10% dari seluruh
pasien TB di dunia. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
tahun 1995 menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan
penyebab kematian ketiga setelah penyakit kardiovaskuler
dan saluran pernapasan pada semua kelompok usia dan
penyebab pertama dari golongan penyakit infeksi. Hasil survei
prevalens TB tahun 2004 menunjukkan angka prevalens TB
BTAposit if secara nasional 110/100.000 penduduk.
Berdasarkan data di atasTB masih merupakan masalah utama
kesehatan masyarakat Indonesia.1
DiagnosisTB paru yang digunakansaat ini secara rutin
dilaboratorium termasuk rumah sakit dan puskesmasadalah
diagnosis bakteriologis dengan teknik mikroskopis bakteri
tahan asam (BTA). Kasus-kasus tertentu dilakukan kultur
untuk konfirmasi diagnosis, teknik kultur memiliki sensitivitas
dan spesifitas yang tinggi. Kendalanya selain memerlukan
waktu yang lama, lebih dari 1minggu untuk memperoleh
hasil juga diperlukan fasilitas laboratorium khusus untuk
kultur M.tuberculosis(M. tb) yang terjamin keamanannya.
Teknik mikroskopis BTA dapat dilakukan dalam waktu relatif
cepat tetapi sensitivitas dan spesifitasteknik ini lebih rendah
dibanding dengan teknik kultur.2
Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan gambaran
klinis, pemeriksaan fisis, gambaran radiologis, pemeriksaan
laboratorium dan uji tuberkulin.1 Pemeriksaan mikrobiologis
yaitu identifikasi mikroorganisme dalam sekret atau jaringan
pasien merupakan hal utama dalam mendiagnosis TB,
meskipun pemeriksaan tersebut sulit dan mempunyai
keterbatasan. Hasil pemeriksaan BTA(+) di bawah mikroskop
memerlukan kurang lebih 5000 kuman/ml sputum sedangkan
untuk mendapat kan kuman positif pada biakan yang
merupakan diagnosis pasti, dibutuhkan sekitar 50100
kuman/ml sputum.1,2 Pulasan BTA sput um mempunyai
sensitifitas yang rendah, terutama TB nonkavitas yang
memberikan kepositifan 10% pada pasien dengan gambaran
klinis TB parudan 40% penyandang TB paru dewasa

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

mempunyai hasil negatif pada pulasan sputumnya.3Hasil


kultur memerlukan waktu tidak kurang dan 68 minggu
dengan angka sensitivitas 18 30%. Foto polos toraks
memberi hasil dengan sensitifitas tak lebih dan 30% pada
negara berkembang.2,3 Bila terdapat gambaran infiltrat di
lobus atas dan kavit as pada fot o polos t oraks, maka
kemungkinan TB paru 8085%.4 Oleh karena terdapat
beberapa kekurangan dan membutuhkan waktu yang lama
dalam menentukan diagnosispasti TBparu, maka dibutuhkan
alat diagnostik yang cepat dan mempunyai sensitifitas dan
spesifitasyang tinggi untuk memperbaiki metoda diagnostik
yang konvensional.3,5

SEJARAH PERKEMBANGAN DIAGNOSIS M.TB


Penyakit TB sudah ada sejak jaman purbakala.
Penemuan arkeologis di Mesir menemukan sisa tulang
belakang manusia dengan tanda spondylitistuberculosa dari
tahun 3700 SM dan mumi tahun 1000 SM dengan ciri
penyakit yang sama. Hippocrates berpendapat bahwa TB
adalah penyakit keturunan. Galenusdokter di zaman Romawi
berpendirian TB adalah penyakit menular. Selama 15 abad
kedua paham ini dianut berbagai ahli kedokteran. Villamin
(1827-1892) pertama kali membuktikan secara ilmiah TB
adalah penyakit menular t et api penyebabnya belum
diketahui. Robert Koch pada t anggal 24 Maret 1882
menemukan basil TB dan semua pihak menerima TB adalah
penyakit menular. Laennec t ahun 1819 menemukan
stetoskop menjadikan pemeriksaan jasmani hal penting
dalam diagnosis klinis TB, hampir 70 tahun sebelum
penemuan Robert Koch. Wilhelhm Rontgen tahun 1895
menemukan sinar-X sehingga makin melengkapi diagnosis
TB. Von Pirquet tahun 1907 menunjukkan sarana diagnosis
lain TB dengan uji tuberkulin. Penemuan Von Pirquet ini
disempurnakan oleh Mantoux dan tekniknya distandarkan
kemudian disebarluaskan, uji ini dikenal dengan nama
Mantoux. Permulaan abad ke-20 semua sarana diagnosis
TB sudah tersedia lengkap dan di pakai terus sehingga
sekarang. Penemuan sarana diagnosis baru untuk TB lebih
ditekankan untuk diagnosis yang lebih cepat dan dapat
dilakukan sendiri oleh dokter tanpa perlu tenaga ahli lain.

12

DIAGNOSIS CEPAT MYCOBATERIUM TUBERCULOSIS


DiagnosiscepatTB (rapid diagnosisTB)adalah diagnosis
cepat M.tb kurang dari 1 jam. Diagnosis laboratoriumTB
secara tradisional didasarkan pada apusan mikroskopis, kultur
dan ident ifikasi fenot ipe. Meskipunmetoda t ercepat ,
termudah dan termurah yang tersedia adalah pewarnaan
tahan asam namun sensitifitasnya yang rendah (4580%
kultur positif) telah membatasi penggunaannya terutama di
daerah dengan insidensTB rendah dan pada bent uk
ekst rapulmoner TB sert a pada pasien t erinf eksi
HIV.5,6Pemeriksaan apus memiliki spesifisitasyang baiktetapi
nilai prediktif positif yang rendah (580%) didaerah dengan
insidens tinggi M. non-TB.4,6,7Teknik kultur masih dianggap
sebagai metodarujukan karena identifikasi dan sensitifitas
lebih baik dibanding pemeriksaan BTA.
Pert umbuhan lambat bakt eri M.t b merupakan
hambatan besar untuk diagnosiscepat penyakit. Dua dekade
terakhir telah terdapat perkembanganmetoda kultur melalui
penggunaan media baru dan sistem otomatis seperti Bactec
460TB buatan pabrik Becton Dickinson Diagnostics, Sparks
Amerika, MB/BacT ALERTdibuat oleh bioMrieux,
MarcylEtoile, Perancis, MGIT 960 diproduksi oleh Becton
Dickinson Diagnosticsdan VersaTREKproduksi Trek Diagnostic
System, Westlake, Amerika.Semua pemeriksaan tersebut
masih membut uhkan waktu beberapa minggu unt uk
mendapatkan konfirmasi laboratorium final dan bahkan
waktu yang lebih lama lagi untuk identifikasi fenotipe
kuman.4,7 Berbagai metoda baru telah dikembangkan saat
iniuntuk diagnosis cepat TB aktif dengan teknik terbaik
sepertigenotipe atau molekuler.7,8 Beberapa metoda diagnosis
cepat tersebut akan dibahas pada tinjauan pustaka ini.
Contoh uji kultur dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini.

Gambar 1. Uji kultur M. tb.(A) Hasil negatif, (B) Hasil positip.


Dikutip dari (2)

Metoda kromatografi
Identifikasi langsung M. tb dengan menggunakan
deteksi asam tuberkulostearat (TBSA), baik sendiri maupun
dalam kombinasi berbagai komponen struktur dinding sel
mycobacterium.8,9Berbagai metoda yang cepat dan sensitif
telah dikembangkan, salah satu yang paling menarik adalah
fast gas chromatography mass spectrometry (GC-MS).10,11

13

Meskipun demikian, karena TBSA tidak spesifik untuk M.tb


dan deteksinya memerlukan diagnosisbanding antara spesies
Mycobacterium,Nocardia dan basil gram(+) lainnya yang juga
memiliki asam dan jenislipid yang sama. Diantara komponenkomponen ini, asam heksakosanoat dalam kombinasi dengan
TBSA tampaknya cukup spesifik untuk keberadaan M. tb.11
Meskipun metoda kromatografi dapat memiliki manfaat untuk
identifikasi mikobakterium dari kultur positif, berdasarkan
antigen MPT64, namun metoda ini tidak mewakili altenatif
bermakna untuk diagnosis cepat TB.12

Metoda Fagotipik
Pada dekade terakhir, sejumlah bakteriofag dengan
afinitas spesifik terhadap mikobakterium telah bermunculan
untuk diagnosis cepat TB. Sejak 1947, lebih dari 250 tipe
bakteriofag yang berbeda diisolasi dan diteliti sebagai alat
penting dalam manipulasi genetik mikobakterium. Manfaat
klinis hanya ditunjukkan oleh 2 pendekatan berdasarkan
bakteriofag yang dikembangkan,bernama Luciferase Reporter
Phage Assay (LRP)dan Phage Amplified Assay (PhaB).
Perbedaan terpent ing antara ke-2 metoda ini adalah
mengenai deteksi sel mikobakt erium yang t erinfeksi
bakteriofag. Luciferase Reporter Phage Assay mendasarkan
pada cahaya emisi yang dikode oleh gen lusiferase (fflux)
yang dimasukkan kedalam genom bakteriofag. Sedangkan
PhaB didasarkan pada kompleks sel M. tb yang rentan
setelah amplifikasi bakteriofag Mycobacteriofag D29 pada
M. smegmatis.13-15
Luciferase Reporter Phage Assay telah t erbukti
bermanfaat untuk membedakan M. t bdari kultur dan
terutama dalam uji sensitifitas terhadap isoniazid dan
rifampisin.13Phage Amplified Assay telah dikomersialkan
dengan nama dagang FASTPlaque-TB, digunakanuntuk
mendiagnosisTB pada sediaaan saluran pernapasan juga telah
diteliti untuk uji sensitifitasterhadap antimikrobaM. tb. Teknik
ini secara umum cepat dan sederhana, membutuhkan sedikit
latihan dan tidak mahal. Metoda ini menunjukkan spesifisitas
yang baik tapi kurang sensitifit. Karena hal itu, aplikasi rutin
metoda ini sedikit terhambat dan masih dalam observasi
mengenai manfaat dalam diagnosisTB atau deteksi resistensi
obat antituberkulosis (OAT).14-16

Metoda Genotipe
Berbagai teknik molekuler aplikasinya saat ini tersedia
untuk diagnosis mikrobiologi infeksi micobakt erium.16
Penanda DNA merupakan inovasi pertama dalam diagnosis
molekuler TB, yang mendeteksi langsung dari sampel klinis
M. tbdan mutasi spesifik yang berhubungan dengan resistensi
yang membutuhkan dasar amplifikasi sekuens spesifik asam

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

amino nukleat (NAA). Teknik ini memiliki beberapa


keunt ungan sepert i wakt u kembali yang cepat dan
kemungkinan untuk automatisasi. Beberapa kerugian mucul
saat pengaplikasian metoda ini secara langsung pada sediaan
klinis, yaitu masalah dengan inhibitor, sensitifitaspada sampel
apus negatif dan ekstraksi DNA.17,18
Manfaat klinis metoda ini telah dibahas secara luas
dan bukti kuat tetapi implementasinya belum tercapai. Hal
ini diakibatkan variasi teknik yang tersedia sangat luas dan
kurangnya standarisasi antara penelitian satu dengan lainnya
menggunakan kultur sebagai baku emasyang secara teoritis
memiliki sensitifitas yang rendah dibandingkan uji amplifikasi
NAA. Selain itu, kurangnya penilaian aspek klinis pada
kebanyakan penelitian telah mengakibatkan beberapa
kebingungan mengenai bagaimana, pada siapa dan kapan
menggunakan teknologi ini. Meskipun demikian, penemuan
terbaru tentang penggunaan uji NAA untuk mendiagnosa
tuberkulosis menyatakan bahwa:
a) metoda ini dapat secara cepat mendeteksi keberadaan
M.tb pada 5085% sediaaan BTA apus negatif dan
kultur positif
b) nilai prediktif positif pada spesimen BTA apus positif
lebih tinggi (>95%)
c) secara umum, met oda molekuler ini dapat
mendiagnosisTB beberapa minggu lebih awal
dibandingkan kultur pada 8090% pasien dengan
kecurigaan TB yang tinggi.19,20
Uji NAA memiliki variasi luas dalam metoda non
komersial dengan pemeriksaan ekstraksi asam nukleat dan
amplifikasi polymerase chain reaction(PCR) dari berbagai
target genetik seperti IS6110, rpoB, hsp65, 16S rDNA atau
MBP64. Meskipun uji amplifikasi non- komersial telah
berkembang pada beberapa t ahun t erakhir yang
direkomendasikan adalah menggunakan uji komersial yang
memiliki level standarisasi dan reprodusibilitas yang lebih
baik.20Semua met oda NAA membut uhkan analisis
postamplifikasi yang lebih jauh dengan observasi elektroforesis
fragmen teramplifikasi atau hibridisasi, rest riksi at au
sekuensing.18,20Unt uk diagnosis TBmetoda yang paling
berkembang dan paling dikomersialkan didasarkan pada uji
hibridisasi(Tabel 1).
Amplifikasi DNA konvensional denganPolymerase Chain
Reaction (PCR)
Uji amplifikasiM. tbbuatan Roche Diagnostic System
Inc., Basel Swiss adalah salah satu alat uji diagnosis cepat
tertua berdasarkan PCRstandar. Uji ini adalah uji DNA yang
mengamplifikasi segmen spesifik gen RNA 16Sdilanjutkan
dengan hibridisasi dan deteksi kolorimetrik. Metoda ini dapat

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

diautomatisasi dan disetujui pada tahun 1996 oleh USFood


and Drug Administration (FDA) untuk digunakan pada
sediaanapus saluran pernapasan yang memiliki BTA(+).21
Berbagai studi telah melaporkan sensitifitasyang tinggi pada
spesimenapussaluran pernapasan positif (87100%), lebih
rendah pada kasus apus negatif (4073%) dan sampel
ekstrapulmoner (2798%). Spesifisitas metoda ini berkisar
antara 91100%.20,21
Tabel 1. Beberapa uji metoda hibridisasi
Uji

Target

Cobas amplicor

PCR

16sRNA

Kolorimet rik

10 0

6- 7

Ya

Ya

AMTD

TMA

16sRNA

Semiluscent

45 0

2- 5

Tidak

Tidak

LCX

LCR

PAB

Fluorimetrik

50 0

Ya

Tidak

BD Probe Tec

SDA

IS6110- 16sRNA

Flourimetrik

50 0

3,5- 4

Ya

Ya

Neste-PCR

rpoBgene

Kalouimetrik

50 0

12

Ya

Tidak

Innolipa

Deteksi

Vol
Waktu Automatis IAC
sampel paruh
(ul)
(jam)

Metoda
amplikasi

NA-SBA

23sRNA

Kalorimet rik

50 0

5,5

Ya

Ya

RT PCR

Real time PCR

16sRNA

Fluorimetrik

10- 100

2- 3

Ya

Ya

GeneExpert

Real time PCR

rpoBgene

Fluorimetrik

1.000

Ya

Ya

GeneQuick

PCR

IS6110

Kalorimet rik

50

2,5

Tidak

Ya

Genotype MD

Dikutip dari (20)

Transkripsi yang dimediasi Amplifikasi (TMA)


AmplifikasiM. tbuji langung buatan pabrik Gen-Probe
Inc., San Diego Amerika merupakan alat TMA menggunakan
met oda isot hermal cepat dengan suhu 420Cdengan
amplifikasi rRNA 16S. Metoda ini bekerja dengan dasar
transkriptase terbalik digunakan untuk menyalin rRNA
menjadi hibrid cDNA-RNAsertametodachemiluminiscent
untuk mendeteksi kompleks M. TBdengan penanda DNA
spesifik. Amplifikasi M.TB uji langung merupakan uji pertama
yang disetujui FDA pada tahun 1995, untuk sediaansaluran
pernapasan apus positif dan tahun 2000 dengan rekomendasi
FDA diperluas hingga sampel apusnegatif.21 Saat ini terdapat
bukti bahwa AMTD menunjukkan spesifisitas tinggi (95
100%) dan sensitifitas tinggi (91100%) untuk sampel apus
saluran napas positif, meskipun sensitifitas ini lebih rendah
untuk sampel apus negatif (6593%) dan ekstrapulmoner
(63100%). Kerugian yang paling penting adalah kurangnya
kontrol amplifikasi int ernal (AIC) dan tidak t erdapat
kemungkinan otomatisasi.20,21
Reaksi Rantai Ligase / Ligase chain reaction(LCR)
Ligase chain reaction merupakan metoda amplifikasi
DNA semiotomatis untuk deteksi langsung M.TB dari sampel
klinis gen kromosom yang mengkode protein antigen b M.
tb. Meskipun spesifisitas (90100%) dan sensitifitas (65
90%) yang baik dilaporkan pada beberapa penelitian sampel
pernapasan, produk ini ditarik dari pasaran Eropa pada tahun
2002.20 Ligase chain reaction tidak dipasarkan lagi karena
ongkos produksi pembuatan yang meningkat menyebabkan

14

harga alat uji ini tidak kompetitif nilai jualnya. Alat uji ini di
produksi oleh Abbot laboratorium, Chicago Amerika.

Strand Displacement Amplification (SDA)


Diperkenalkan pada tahun1998 sebagai suatu teknik
semiotomatisdalam deteksi M.tb pada sampel saluran napas.
Metoda ini merupakan prosesamplifikasi enzimatik isotermal
menggunakan suhu 52,50C untuk menghasilkan beberapa
salinan urutan target IS6110 dan gen rRNA 16Syang produk
amplifikasinya terdeteksi dengan metoda fluorosen. Evaluasi
pada sampel saluran napas menunjukkan sensitifitas 90
100% pada sampel apus positif dan 3085% pada sampel
apus negatif dengan spesifisitas tinggi (90100%).20 Alat
uji ini diproduksi oleh Becton Dickinson, Amerika.
Uji Hibridisasi Fase Padat / solid-phase hybridization
assay
Saat ini ada 2 perusahaan yang memproduksi alat uji
hibridasi fase padat yaitu Innogenetics, Gent Belgia dan Hain
Lifescience, Nehren Jerman. Alat ini dapat mendeteksi dan
mengidentifikasi M.tb dari sediaan dahak dan dapat untuk
mendeteksi resistensi rifampin dan isoniazid. Alat ini selain
dapat mendeteksi kuman M. tbdapat juga mendeteksi
Mycobacterium Others Than Tuberculosis (MOTT) antara lain
M avium, M intracellulare, M kansasii danM malmoense. 21

Real Time PolymeraseChain Reaction(RT- PCR)


Teknik ini didasarkan pada amplifikasi berurutan
berbagai target DNA dan deteksi fluorimetrik. Uji ini memiliki
sejumlah manfaat penting terutama kecepatannya dan
masalah kontaminasi silang yang lebih sedikit hal ini
dikarenakan prosessetelah ekstraksi DNA terjadi pada tabung
tunggal. Berbagai alat yang berdasarkan teknik RT-PCR
sudah banyak memproduksi seperti CobasTaqMan MTB test
buatan Roche Diagnostic System dengan sensitifitas dan
spesifisitasumum yang tinggi, terutama pada sampel saluran
napas. Diant ara berbagai alat yang t elah diprodusi
menggunakan t eknik ini, GeneXpert buatan Cepheid,
Sunnyvale Amerika dan FINDDiagnostics, Jenewa Swissbaru
saja diperkenalkan sebagai uji diagnostik RT-PCR semi
kuantitatif yang mengintegrasikan dan mengotomatisasi
pengolahan sediaan dengan ekstraksi DNA dalam catridge
sekali pakai. Waktu hingga didapatkannya hasil kurang dari
2 jam dan hanya pelatihan minimal yang dibutuhkan untuk
menggunakan uji ini. Penelitian pendahuluan menyatakan
sensitifitas dan spesifisitas yang baik pada sampel saluran
pernapasan.19,20 Meskipun dibutuhkan penelitian lebih jauh,
WHO telah mendukung penggunaan sistem ini sebagai uji
diagnostik awal pada sediaan saluran pernapasan pasien
dengan kecurigaan klinis tinggi memiliki TB atau seseorang
dengan multidrug resistant (MDR) TB(Gambar 2).21

15

Gambar 2.
Al at
di agnosi s
cepat genexpert

Dikutip dari (21

Metoda baru lainnya


Loop mediated isothermal amplification (LAMP)
buatan Eiken Chemical Co. Jepang dan FIND Diagnostics,
Genewa, Swissadalah teknik amplifikasi isotermal yang relatif
baru.21 Uji LAMP dapat mensintesis sejumlah besar target
DNA (gryrBatau IS6110) dalam tabung tunggal dan produk
amplifikasi dapat dideteksi dengan metoda turbiditas atau
kolorimet rik dan fluorimet rik. Meskipun memiliki
keterbatasan uji dalam konteks TB, data awal memberikan
hasil yang menjanjikan dan uji ini memiliki keuntungan cepat
hanya dalam waktu 2 jam dan relatif tidak mahal yang dapat
bermanfaat pada kondisi terbatasnya sumber daya.20,21
Uji NAA lainnya untuk diagnosis cepat TB pada sediaan
saluran napas adalah GenoQuick MTB test buatan Hain
Lifescience yang didasarkan pada PCR dan hibridisasi
lanjutan.21
Biaya Pemeriksaan Uji Cepat Diagnosis M. TB
Pemeriksaan uji cepat diagnosis M.tb dibandingkan
dengan pemeriksaan yang rutin dilakukan sekarang terlihat
lebih mahal. Pemeriksaan dengan uji cepat diagnosis M.tb
jika dihitung lebih mendalam akan terlihat bahwa mempunyai
banyak keunt ungan dan hasil akhirnya lebih murah.
Penelit ian yang dilakukan WHO di beberapa negara
berkembang mempunyai kesimpulan dapat menghemat lebih
banyak biaya dan waktu dibanding cara lama.20,21 Sosialisasi
pembiayaan yang lebih murah ini terusdilakukan oleh WHO
unt uk memcepat diagnosis M.t b maupun MDR- TB.
Pembelian awal alat uji merupakan biaya termahal yang harus
dikeluarkan, contoh untuk pembelian alat GenExpert dengan
metoda PCR-RT dibutuhkan dana sekitar 3 milyar rupiah.21
Perbandingan biaya pemeriksaan dengan beberapa metoda
dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Tabel 2. Biaya Pemeriksaan diagnosis M.TB


Metoda Uji

Biaya
(US$)

Uji resisten
2 obat

Uji resisten
4 obat

MODS

0,77

1,72

1,80

MGIT

7,00

35,02

63,03

BACTEC

2,55

12,75

23,00

LJ

0,14

1,60

1,57

Microagar

0,29

1,60

2,92

MABA

1,23-2,43

5,62

6,87

PCR- RT

0,90

BTA sputum

0,10

Dikutip dari (18

Kesimpulan
1. Diagnosis cepat M.tb adalah uji diagnosis untuk kuman
M.tb kurang dari 1 jam
2. Diagnosis cepat M.tb sudah berkembang pesat dengan
bermacam metoda
3. Diagnosis cepat M.tb dapat menghemat waktu, biaya
dan tidak perlu tenaga ahli karena dapat dikerjakan secara
automatisasi
4. Diagnosis cepat M.tb yang terbaik dan direkomendasikan
WHO adalah PCR-RT

Daftar Pustaka
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman
nasional: penanggulangan tuberkulosis. Cetakan ke-2.
Jakarta: DepkesRI ;2008.hal.8-14.
2. Young DB, Perkins MD, Duncan K, CEBarry. Confronting
the scientific obstacles to global control of tuberculosis.
J Clin Invest. 2008;118:1255-65.
3. Behr MA, Warren SA, Salamon H, Hopewell PC, Ponce
de Len A, Daley CL, et al. Transmission of Mycobacterium
tuberculosis from patients smear-negative for acid-fast
bacilli. Lancet. 1999;353:444-9.
4. American Thoracic Society; Centers for Disease Control
and Prevention; Council of the Infectious Disease Society
of America. Diagnostic standards and classification of
tuberculosis in adults and children. Am J RespirCrit Care
Med. 2000;161:1376-95.
5. Pfyffer GE. Mycobacterium: general characteristics,
laboratory detection, and staining procedures. In: Murray
PR, Baron EJ, Jorgensen JH, Landry ML, Pfaller MA, editors.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Manual of Clinical Microbiology. 9th ed. Washington


DC: ASM Press; 2007. p. 543-72.
6. Vincent V, Gutirrez MC. Mycobacterium: Laboratory
characteristics of slowly growing mycobacteria. In:
Murray PR, Baron EJ, Jorgensen JH, Landry ML, Pfaller
MA, editors. Manual of Clinical Microbiology. 9th ed.
Washington DC: American Society for Microbiology;
2007. p. 573-88.
7. Salf inger M, Pf yf f er GE. The new diagnost ic
mycobacteriology laboratory. Eur J ClinMicrobiol Infect
Dis. 1994;13:961-79.
8. Jost KC Jr, Dunbar DF, Barth SS, Headley VL, Elliott LB.
Identification of Mycobacterium tuberculosis and M.
aviumcomplex directly from smear-positive sputum
specimensand BACTEC12B cultures by high-performance
liquid chromatography with fluorescence detection and
comput er- driven pat t ern recognit ion models. J
ClinMicrobiol. 1995;33:1270-7.
9. Cha D, Cheng D, Liu M, Zeng Z, Hu X, Guan W. Analysis
of fatty acids in sputum from patients with pulmonary
t uberculosis using gas chromat ography- mass
spectrometry preceded by solid-phase microextraction
and postderivatization on the fiber. J Chromatogr A.
2009;1216:1450-7.
10. Kaal E, Kolk AH, Kuijper S, Janssen HG. A fast method
for the identification of Mycobacterium tuberculosis in
sputum and cult ures based on t hermally assisted
hydrolysis and met hylat ion f ollowed by gas
chromatography-mass spectrometry. J Chromatogr A.
2009;1216:6319-25.
11. Park MY, Kim YJ, Hwang SH, Kim HH, Lee EY, Jeong SH,
et al. Evaluation of an immunochromatographic assay
kit for rapid identification of Mycobacterium tuberculosis
complex in clinical isolates. JClinMicrobiol. 2009;47:481-4.
12. Jacobs WRJ, Barletta RG, Udani R, Chan J, Kalkut G,
Sosne G, et al. Rapid assessment of drug susceptibilities
of Mycobacterium tuberculosis by means of luciferase
reporter phages. Science. 1993;260:819-22.
13.Alcaide F, Gal N, Domnguez J, Berlanga P, Blanco S,
Orus P, et al. Usefulness of a new mycobacteriophagebased technique for rapid diagnosis of pulmonary
tuberculosis. J ClinMicrobiol. 2003;41:2867-71.
14.Kalantri S, Pai M, Pascopella L, Riley L, Reingold A.
Bact eriophage- based t est s for t he det ect ion of
Mycobacterium tuberculosis in clinical specimens: a
systematic review and meta- analysis. BMC Infect Dis.
2005;5:59.

16

15.Gal N, Domnguez J, Blanco S, Prat C, Alcaide F, Coll P,


et al. Use of a mycobacteriophage-based assay for rapid
assessment of suscept ibilit ies of Mycobact erium
tuberculosis isolates to isoniazid and influence of
resistance level on assay performance. J ClinMicrobiol.
2006;44:201-5.
16.McNerney R, Kambashi BS, Kinkese J, Tembwe R,
Godfrey-Faussett P. Development of a bacteriophage
phage replication assay for diagnosis of pulmonary
tuberculosis. J ClinMicrobiol. 2004;42:2115-20.
17.Alcaide F. New methodsfor mycobacteria identification.
EnfermInfeccMicrobiolClin. 2006;24Suppl 1:53-7.
18.Domnguez J, Blanco S, Lacota A, Garca-Sierra N, Prat
C, Ausina V. Ut ilit y of molecular biology in t he
microbiological diagnosis of mycobacterial infections.
EnfermInfectMicrobiolClin. 2008;26Suppl 9:33-41.
19.Palomino JC. Nonconventional and new methods in the
diagnosis of tuberculosis: feasibility and applicability in
the field. EurRespir. 2005;26:339-50.
20.Dinnes J, Deeks J, Kunst H, Gibson A, Cummins E, Waugh
N, et al. A systematic review of rapid diagnostic tests
for the detection of tuberculosisinfection. Health Technol
Assess. 2007;11:1-96.
21. Polomino JC. Molecular detection, identification and drug
resistance detection in Mycobacterium tuberculosis. J
Med Microbiol. 2009;56:103-11.

17

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

MEROKOK DAN TUBERKULOSIS


Agung Ari Wijaya
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan, Jakarta
PENDAHULUAN
Merokok dan t uberkulosis(TB) merupakan dua
masalah besar kesehatan di dunia, walaupun TB lebih banyak
ditemukan di negara berkembang. Setelah HIVdan AIDS
meluas TB menjadi penyebab kematian yang terkemuka di
seluruh dunia dan bertanggung jawab terhadap lebih dari
satujuta kematian setiap tahunnya. Penggunaan tembakau
khususnya merokok, secara luastelah diakui sebagai masalah
kesehatan masyarakat yang utama dan menjadi penyebab
kematian yang penting di dunia, yaitu sekitar 1,7 juta pada
tahun 1985, 3 juta pada tahun 1990 dan telah diproyeksikan
meningkat menjadi 8,4 juta pada 2020.1 Jumlah perokok di
dunia meningkat secara bermakna, saat ini diperkirakan
sebanyak 1,3 milyar perokok dan meningkat menjadi 1,7
milyar perokok pada t ahun 2025. Sebanyak 6585%
tembakau telah dikonsumsi diseluruh dunia dalam bentuk
rokok yang menyebabkan kematian setiap detik.2

kemudian diikuti oleh masyarakat kelas bawah hingga


menggantikan mengunyah sirih yang menjadi kebiasaan
masyarakat Indonesia. Kata rokok berasal dari bahasa
belanda roken. Merokok adalah t indakan seseorang
menghisap rokok (tembakau). Bahaya merokok t elah
dibicarakan dan diakui secara luas. Penelitian yang dilakukan
para ahli memberikan bukti terdapatnya bahaya merokok
dan terjadinya penurunan fungsi paru pada perokok dan
orang disekit arnya. World Healt h Organizat ion
memperkirakan bahwa pada tahun 2020 penyakit akibat
merokok akan menyebabkan kematian sekitar 8,4 juta jiwa
di dunia dan setengah dari jumlah tersebut berasal dari
benua Asia. Diperkirakan bahwa pada tahun 2030 lebih dari
80% penyakit yang diakibatkan oleh rokok akan terjadi pada
negara dengan pendapatan rendah dan sedang.5-7

MEROKOK

Asap rokok mengandung lebih dari 4.500 bahan kimia


yang memiliki berbagai efek racun, mut agenik dan
karsinogenik. Isi dan konsentrasi bahan kimia dapat bervariasi
dalam merek rokok yang berbeda. Asap rokok menghasilkan
berbagai komponen baik di kompartemen seluler dan
ekstraseluler, mulai dari partikel yang larut dalam air dan
gas. Zat-zat yang mempunyai efek merugikan adalah
nikotin, tar, amonia, karbonmonoksida, karbondioksida,
f ormaldehid, akrolein, aset on, benzopyrenes,
hydroxyquinone, nitrogen oksidadan kadmium. Banyak zat
yang bersifat karsinogenik dan beracun terhadap sel namun
tar dan nikot in telah terbukti imunosupresif dengan
mempengaruhi responskekebalan tubuh bawaan dari pejamu
dan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Bahan
farmakologik dalam tembakau yang menyebabkan adiksi
adalah nikotin yang merupakan partikel padat dan sangat
mudah diserap oleh selaput lendir hidung, mulut dan jaringan
paru. Kriteria utama untuk menentukan ketergantungan
obat adalah pengguna obat yang selalu terdorong untuk
menggunakan, terdapat efek psikoakt if dan t erbiasa
menggunakan obat tersebut. Semakin tinggi kadar tar dan
nikotin efek terhadap sistem imun juga bertambah besar.8

Tembakau diperkenalkan di Indonesia oleh bangsa


Belanda sekitar 2 abad yang lalu dan penggunaannya
pertama kali oleh masyarakat Indonesia ketika elit lokal
Indonesia meniru kebiasaan merokok bangsa Belanda yang

Tembakau telah disebut sebagai penyebab kematian


secara global karena membunuh lebih dari 5 juta orang di
seluruh dunia setiap tahunnya. Merokok merupakan faktor
risiko penting untuk terjadinya penyakit kardiovaskular serta

Data World Health Organization (WHO) menunjukan


Indonesia sebagai negara dengan konsumsi rokok terbesar
ke-3 setelah Cina dan India dan diikuti Rusia dan Amerika.
Padahal dari jumlah penduduk, Indonesia berada di posisi
ke-4 setelah Cina, India dan Amerika. Berbeda dengan jumlah
perokok Amerika yang cenderung menurun, jumlah perokok
Indonesia justru bertambah dalam 9 tahun t erakhir.
Pertumbuhan rokok Indonesia pada periode 20002008
adalah 0,9% pertahun. Banyak penyakit yang dihubungkan
dengan merokok yaitu penyakit keganasan, kardiovaskuler,
diabetes, penyakit paru obstrusi kronik (PPOK), artritis,
impotensi, infertilitas, Alzheimer, TB dan lain-lain.2,3 Paru
merupakan organ yang menderita kerusakan paling parah
akibat merokok. Hubungan antara merokok dan TB pertama
kali dilaporkan pada awal abad ke-20. Walaupun mekanisme
yang pasti belum sepenuhnya diketahui namun telah banyak
penelitian mengenai hubungan antara merokok danTB.4

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

18

5 penyebab utama lain dari kematian di seluruh dunia yaitu


serebrovaskular, infeksi saluran napas bawah, PPOK, TB, dan
kanker saluran napas.9 Merokok tetap menjadi penyebab
utama kematian yang dapat dicegah di dunia. Berhenti
merokok dikaitkan dengan manfaat penting pada tingkat
individu dan sosial. Mengingat prevalensmerokok upaya besar
telah diarahkan untuk mengembangkan intervensi untuk
membantu perokok berhenti merokok. Namun, intervensi
untuk berhenti merokok memiliki keberhasilan yang beragam.
Berhenti merokok diperlukan untuk mengurangi morbiditas
dan mortalitas, namun banyak perokok mengalami kesulitan
menghentikan kebiasaannya. Usaha dengan intervensi secara
psikososial dan penggunaan obat telah digunakan untuk
tujuan tersebut.10
Dilaporkan bahwa penggunaan tembakau dengan cara
merokok lebih berbahaya dibandingkan dengan cara lain dan
perokok akt if lebih menimbulkan beragam penyakit
dibandingkan perokok pasif. Namun demikian perokok pasif
secara substansial juga berkontribusi menimbulkan bermacam
penyakit. Sekitar 1,1 miliar orang merokok di seluruh dunia,
lebih dari 80% berada di negara berpenghasilan rendah dan
menengah. Cina memiliki produksi dan konsumsi tembakau
terbesar di dunia. Di berbagai negara sekitar 49% laki-laki dan
8% perempuan diatasusia 15 tahun merokok, berbeda dengan
37% pria dan 21% perempuan yang berasal dari negara
berpenghasilan tinggi. Lebih dari 60% perokok tinggal di
hanya10 negara, yaitu Cina, India, Indonesia, Rusia, Amerika
Serikat, Jepang, Brasil, Banglades, Jerman dan Turki. Konsumsi
per orang dewasa perhari (jumlah rokok yang dihisap perhari
dibagi dengan populasi perokok dan bukan perokok) telah
menurun lebih dari 50% dalam 2-3 dekade terakhir di Amerika,
Kanada, Perancis dan negara berpenghasilan tinggi lain.
Sebaliknya, prevalensmerokok pada laki-laki meningkat tajam
di negara-negara dengan penghasilan rendah dan menengah
seperti Cinadan Indonesia. Peningkatan yang nyata terjadi pada
laki-laki usia muda. Perbedaan antara perempuan dan laki-laki
berhubungan dengan perbedaan penggunaan tembakau, dalam
hal prevalenspenggunaan, durasi penggunaan yang lebih singkat
atau frekuensi penggunaan yang lebih rendah pada perempuan.
Penelitian di Brasil mendapatkan hasil terjadi penurunan yang
nyata perokok pada masyarakat dengan penghasilan rendah.1113
Selain HIV/AIDS, merokok tembakau merupakan penyebab
kematian utama yang meningkat dengan cepat. Diperkirakan
bahwa merokok akan menyebabkan sekitar 10 juta kematian
pada orang dewasa pada tahun 2030 dan sebagian besar
peningkatan kematian yang berhubungan dengan tembakau
akan berlangsung di Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Studi
yang dilakukan di Oslo menunjukkan bahwa perokok ringan
dengan 14 batang perhari ternyatatetap meningkatkan angka
kematian.9,14,15

19

Secara keseluruhan meskipun tingkat merokok telah


menurun selama bertahun-tahun, lebih dari seperlima orang
Amerika adalah perokok. Pada tahun 2004 sekitar 21% orang
dewasa, 22% merupakan siswa sekolah. Akibatnya merokok
menjadi penyebab kematian dini di Amerika. Setiap tahun
sebanyak 438.000 orang Amerika diperkirakan meninggal
akibat merokok atau perokok pasif. Perkiraan biaya yang
berhubungan dengan merokok yaitu biaya medis dan
kehilangan produktivitas melebihi 167 milyar dollar Amerika
per tahun.8

TUBERKULOSIS
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh
infeksi Mycobacterium tuberculosis complex dan merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia.
M.tuberculosis berbentuk batang, berukuran panjang 5 dan
lebar 3 , tidak membentuk spora dan termasuk bakteri aerob.
Mycobacteria dapat diberi pewarnaan seperti bakteri lainnya
misalnya dengan pewarnaan Gram. Namun sekali diberi
warna oleh pewarnaan Gram, maka warna tersebut tidak
dapat dihilangkan dengan asam. Oleh karena itu, maka
mycobacteria disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Pada
dinding sel mycobacteria, lemak berhubungan dengan
arabinogalaktan dan peptidoglikan di bawahnya. Struktur
ini menurunkan permeabilit as dinding sel sehingga
mengurangi ef ekt ivit as t erhadap ant ibiot ik.
Lipoarabinomannan suatu molekul lain dalam dinding sel
mycobacteria berperan dalam interaksi antara inang dan
patogen menjadikan M. tuberculosis dapat bertahan hidup
di dalam makrofag.16
Pada tahun 1992, WHO telah mencanangkan TB
sebagai global emergency. Tuberkulosis saat ini banyak
menyerang usia produktif dan meningkatkan angka kematian
terutama di negara berkembang. Pada tahun 2010 dilaporkan
insidens TB didunia sebesar 8,8 juta (8,59,2 juta), 1,1 juta
(0,91,2 juta) kematian akibat TB dengan HIV negatif
ditambah 0,35 juta (0,320,39 juta) penderita TB dengan
HIV positif. Tahun 2009 dilaporkan terjadi 2,4 juta kasus
baru (3,3 juta perempuan), 133 kasus/100.000 populasi
dengan penderita HIV sebesar 1,1 juta jiwa. kematian akibat
infeki TB sebesar 1,7 juta jiwa (380.000 perempuan),
termasuk 380.000 penderita HIV, sesuai dengan 4700
kematian pertahun dan menjadi penyebab kematian urutan
ketiga pada perempuan usia 15-44 tahun. Delapan puluh
persen kasus TB akt if yang dit emukan di 22 negara
berkembang sebagian besar dari mereka di Asia (dengan 55%
kasus di dunia) dan Afrika (30%). Sekitar 5% dari beban
kasus TB global sekarang resisten terhadap beberapa obat,
di Rusia dilaporkan kasusTB yang resisten obat menyumbang
lebih dari seperlima semua kasus TB baru di tahun 2008.
Pada tahun 2008 sebanyak 1,4 juta orang yang hidup dengan

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

HIV mengalami TB aktif. Orang HIV-positif lebih mudah


t erinf eksi cenderung resist en t erhadap obat dan
meningkatkan angka kematian. India menempati urutan
pertama penderita TB di dunia (1,6-2,4 juta) menyumbang
sekitar seperlima dari seluruh jumlah kasusdi dunia dengan
angka kematian sebesar 17,6% dan 3,5% dari total kematian
di India. Urutan berikutnya adalah China (1,1-1,5 juta),
Afrika selatan (0,4-0,59 juta), Nigeria (0,37- 0,55 juta) dan
Indonesia (0.35-0.52 juta). Di Amerika dilaporkan terjadi
penurunan yang bermakna, pada tahun 1945 dilaporkan 73/
100.000 populasi, tahun1993 sebesar 9,0/100,000 populasi
dan pada tahun 2009 didapatkan 3,8/100.000 populasi. Di
Nigeria dilaporkan kejadian TB sebesar 14,4% dan
diperkirakan 380.000 (9293/100.000 populasi) kasus TB baru
set iap t ahun jauh lebih besar dari st andar yang
direkomendasikan WHOyaitu sebesar 3%.3,16-18
Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala
klinis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan bakteriologi yang
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan
diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat
berasal dari dahak, cairan pleura, cairan serebrospinal, bilasan
bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, fases dan jaringan biopsi
(termasuk biopsi jarum halus/BJH). Pemeriksaan radiologi
dengan pemeriksaan standar foto toraks PA (posteroanterior),
pemeriksaan radiologi lain adalah foto lateral, top-lordotic,
oblik at au CT- Scan. Pemeriksaan penunjang lainnya
diantaranya analisiscairan pleura, pemeriksaan histopatologi
jaringan dan pemeriksaan darah. Gejala klinisTB dapat dibagi
menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik,
bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah
gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).
Gejala respirasi diantaranya adalah batuk 2 minggu, batuk
darah, sesak napasdan nyeri dada. Gejala respiratori ini sangat
bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang
cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien
terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkusbelum
terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak
ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi
bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang
dahak ke luar. Gejala sistemik yang ditimbulkan akibat infeksi
TB adalah demam, malaise, keringat malam, anoreksia dan
berat badan menurun. Pada TB paru, kelainan yang didapat
tergantung luaskelainan struktur paru. Pada permulaan (awal)
perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali)
menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak
di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen
posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6).
Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara
napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah,

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.


Pada pleuritis TB, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan
pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai
tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada
limfadenitis TB, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis
tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar
tersebut dapat menjadi cold abscess.1

PENGARUH ROKOK PADA PERTAHANAN RESPIRASI


Rokok telah menunjukkan dampak yang luasterhadap
mekanisme kekebalan inangnya. Terdapat banyak penelitian
kontroversi karena perbedaan dalam hal riwayat merokok,
kerentanan genetik, sosial ekonomi, olah raga, nutrisi,
kelembaban udara dan pekerjaan yang dapat memodifikasi
penyakit. Epitel pernapasan merupakan pertahanan pertama
melawan agen lingkungan yang merugikan dan melindungi
dengan cara menyapu partikel keluar dalam lapisan mukus,
memfagositosis juga merekrut sel imun lain. Merokok secara
langsung membahayakan integritasbarier fisik, meningkatkan
permeabilitas epitel pernapasan dan mengganggu bersihan
mukosilier. Pajanan asap rokok akut mengakibatkan supresi
epitel pernapasan dan secara kronik dapat mengakibatkan
inflamasi dan kerusakan sehingga menyebabkan perubahan
bentuk sel epitel.1,19
Di paru asap rokok memiliki efek baik proinflamasi
dan imunosupresif pada sistem kekebalan tubuh. Makrofag
mempunyai peran yang strategis di alveolar. Makrofag
alveolar mempunyai peran kunci dalam merusak dan
mengeliminasi agen mikrobial pada saat awal bila ada infeksi.
Rokok meningkatkan jumlah makrofag alveolar juga sel
epitelial dan mengaktivasinya untuk menghasilkan mediator
proinflamasi mikro sirkulasi paru, Reactive Oxygen Species
(ROS) dan enzim proteolitik dengan demikian memberikan
mekanisme seluler yang menghubungkan rokok dengan
inflamasi dan kerusakan jaringan. Serupa dengan ini merokok
berpengaruh terhadap kemampuan makrofagalveolar untuk
memfagositosis bakteri dan sel apoptosis. Pada saat yang
sama, rokok juga mengganggu mekanisme pertahanan
alamiah yang dimediasi oleh makrofag, sel epitel, sel dendritik
(DCs), dan sel natural killer (NK) sehingga meningkatkan
risiko, keparahan dan durasi infeksi. Pengaruh rokok dalam
hubungannya dengan peningkatan penyakit hingg menjadi
lebih berat ditandai dengan gangguan kemampuan makrofag
untuk membunuh bakteri atau virus, hilangnya kemampuan
untuk membersihkan sel-sel mati, degradasi dan modifikasi
secara kimiawi dari matriksekstraseluler, peningkatan retensi
sel TCD8 dan induksi Interleukin-17 (IL-17) sebagai efektor
sekresi sel T. Setelah pajanan rokok jangka panjang, daerah

20

agregasi limfosit dengan sel Tdan sel B bisa terbentuk pada


sisi tersebut, membantu produksi antibodi patogen dan
menyebabkan penyakit autoimun. Hilangnya pertahanan
mukosa dapat mengakibatkan kolonisasi bakteri seperti yang
terjadi pada 30% perokok jangka panjang dengan PPOK.19

Gambar 1. Gangguan sitem imun di paru akibat merokok


Dikutip dari (19)

Bukti menunjukkan bahwa sel NK memiliki peran


dalam pertahanan bawaan dalam melawan agen mikrobial
dan prot eksi ant i t umor. Hal ini dilakukan dengan
sitotoksisitaslangsung yang mencetuskan apoptosis, sitokin
pro inflamasi dan pelepasan kemokin. Beberapa studi
menunjukkan pada perokok dapat menurunkan jumlah dan
aktivasinya berkurang pada perokok dibandingkan bukan
perokok. Pajanan asap rokok melemahkan aktivitassitotoksik
danproduksi sitokin sel NK pada manusia dan tikus, dengan
demikian hubungan defek sel NK menyebabkan peningkatan
risiko infeksi dan kanker. Pada paru sel dendritik (DCs)
merupakan sel antigen paling poten dan sangat diperlukan
untuk inisiasi sel Tdan diduga memiliki kerentanan yang tinggi
terhadap rokok karena posisinya didalam lumen dan berada
langsung dibawah epitel paru. Studi klinis menunjukkan
bahwa jumlah DCsberkurang pada sebagian besar jalan napas
pasien ppok yang merokok. Setelah berhenti merokok jumlah
DCsmakin meningkat dan serupa dengan kontrol orang sehat
yang tidak merokok.Studi pada hewan coba dilaporkan
terdapatnya penurunan jumlah DCs tergantung pada tipe
sist em pajanan rokok. Proses otoimun berperan pada
timbulnya penyakit yang berhubungan dengan rokok.
Merokok juga dapat menurunkan level semua kelas
imunoglobulin kecuali Ig E. Pada studi dengan hewan coba
didapatkan respons antibodi terhadap berbagai antigen
berkurang secara nyata akibat pajanan kronik asap rokok.19

HUBUNGAN MEROKOK DENGAN TUBERKULOSIS


Hubungan antara merokok dan TB pertama kali
dilaporkan pada t ahun 1918.Mekanisme past i yang
menghubungkan merokok dengan TB tidak sepenuhnya

21

dipahami, namun ada banyak bukti menurunnya pertahanan


saluran napas berpengaruh pada kerentanan terhadap infeksi
TB pada perokok. Trakea, bronkus dan bronkiolus yang
membentuk saluran udara yang memasok udara ke paru
memberikan garis pertahanan pertama dengan mencegah
kuman TB untuk mencapai alveoli. Merokok terbukti dapat
mengganggu bersihan mukosilier. Makrofag alveolar paru
yang merupakan pertahanan utama terjadi penurunan fungsi
fagositosis dan membunuh kuman pada individu yang
merokok, seperti dilaporkan pada diabetes, merokok telah
ditemukan berhubungan dengan penurunan tingkat sitokin
proinflamasi yang dikeluarkan. Sitokin-sitokin ini sangat
penting untuk respons awal pertahanan lokal untuk infeksi
kuman termasuk TB. Dalam berbagai studi menunjukkan
bahwa jumlah dan durasi merokok aktif berpengaruh
terhadap risiko infeksi TB sedangkan pada perokok pasif
berhubungan dengan peningkatan kejadian TB pada anak
dan usia muda.4,20,21
Studi retrospektif yang dilakukan di Dublin pada 160
kasusantara bulan April 2007 hingga April 2008 didapatkan
bahwa merokok berhubungan secara bermakna terhadap
pemanjangan waktu konversi kuman TB pada pasien yang
sedang mendapat t erapi obat antiTB. Penelit ian lain
menunjukkan meningkatnya angka kekambuhan penderita
TB yang merokok.22,23 Studi kasus kontrol pada 111 pasien
BTA positif dengan 333 kontrol yang dilakukan di India
pada bulan Sept ember 2004 hingga Agust us 2005
didapatkan peningkatan terjadinya infeksi TB pada perokok
sebesar 3,8 kali dibandingkan yang tidak merokok dan
berhubungan dengan jumlah rokok, indeksmassa tubuh dan
status sosial ekonomi. Dalam penelitian ini lama dan jumlah
rokok juga berpengaruh terhadap perkembangan TB.24
Di Amerika ada sejumlah kesulitan dalam menilai
merokok sebagai faktor risiko untuk infeksi TB. Di antara
yang paling penting adalah prevalens rendah infeksi TB pada
populasi umum dan tingkat merokok telah menurun. Di
Amerika merokok menjadi semakin terkonsentrasi pada
populasi dengan sosial ekonomi rendah yang mengarah pada
faktor risiko lain untuk TB seperti HIV, tunawisma, peminum
alkohol, dan heterogenitas antar kelompok risiko TB. Saat
ini lebih dari 50% pasien TB di Amerika berasal dari beragam
negara dalam berbagai tahap epidemi tembakau dan faktorfaktor risiko untuk TB berbeda antara penduduk pendatang
dan penduduk asli kelahiran Amerika. Studi yang dilakukan
t erhadap penduduk asli dan pendat ang di Aust ralia
menunjukkan bahwa angka kejadian TB cenderung lebih
tinggi pada penduduk pribumi, hal ini berhubungan dengan
sosial ekonomi, standar pelayanan kesehatan, dan kebiasaan
merokok yang tinggi.9,25

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Meskipun beberapa penelitian telah menunjukkan


hubungan antara merokok dan TB, banyak dari mereka
didasarkan pada infeksi atau angka kematian, penelitianpenelitian tersebut memiliki berbagai keterbatasan seperti
desain kasus control atau potong lintang ukuran sampel
kecil, dan kekurangan dalam data sosial ekonomi, alkohol,
infeksi HIV dan fakt or yang berpengaruh lainnya. Di
HongKong merokok dan TB merupakan dua kondisi yang
umum dijumpai. Prevalens merokok jauh lebih tinggi pada
laki-laki dari pada perempuan. Lebih dari 20% laki-laki
dewasa adalah perokok aktif dan kejadian TB sebesar 100
per 100.000 penduduk pertahun dan banyak terjadi pada
laki-laki dengan usia diatas65 tahun. Merokok berhubungan
dengan peningkatan kerentanan terhadap influenza dan TB.
St udi dengan hewan coba t ikus yang mendapat kan
pajananM. TB secara aerosol, didapatkan bahwa produksi
int erferon (IFN )oleh sel T akan menurun dengan
penurunan faktor transkripsi yang mengatur ekspresi IFN
pada tikus yang diberi pajanan asap rokok. St udi ini
memberikan demonstrasi pertama bahwa pajanan asap rokok
secara langsung menghambatr esponsselTuntuk M. TB dan
virus influenza pada fisiologi hewan coba sehingga
meningkatkan kerentanan terhadap kedua patogen.26,27
Perokok memiliki angka kematian akibat TB sangat
tinggi, sebanyak sembilan kali lebih besar dibandingkan
dengan mereka yang tidak pernah merokok, tapi begitu
mereka berhenti, risiko berkurang secara substansial dan mirip
dengan mereka yang tidak pernah merokok. Berhenti merokok
memiliki manfaat bagi perokok jauh melampaui mengurangi
risiko TB, tetapi pengendalian tembakau yang baik dapat
mempengaruhi tingkat kematian TB dan mengurangi beban
kesehatan masyarakat dan dengan berhenti merokok bisa
mengurangi hampir sepertiga dari kematian akibat TB. Risiko
TB dapat dikurangi dengan hampir dua pertiga jika seseorang
berhenti merokok adalah bukti kuat dalam peran penting
dari merokok dalam penanggulangan TB. Seperti merokok
bertanggung jawab untuk lebih dari sepertiga kematian
akibat TB di Taiwan (37,7%). Pengendalian penggunaan
tembakau berhasil dalam mengurangi merokok baik dapat
mempengaruhi tingkat kematian TB dan mengurangi hampir
sepertiga (30,7%) dari beban kesehatan masyarakat yang
telah lama mengganggu penduduk Taiwan. Ini dampak
kesehat an yang besar pada peningkat an kesehat an
masyarakat terutama bila diterapkan ke negara-negara seperti
Cina, India yang memiliki prevalensi merokok dan angka
kejadian TB lebih tinggi. Berhenti merokok telah ditunjukkan
untuk mengurangi kejadian TB, sehingga perlu peningkatan
pengetahuan dan penelitian tentang manfaat dari berhenti
merokok untuk mengurangi angka kematian. Dengan dua
pertiga dari laki-laki Cina merokok dan sekitar tiga juta

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

kasus TB sehingga pedoman pencegahan dan penanganan


yang baik terus dilakukan. Merokok secara substansial
memperburuk risiko kematian pada mereka dengan riwayat
infeksi TB, kematian pada penderita yang merokok dilaporkan
sebesar 61% di India dan 32,8% di Hongkong.21,28 Sebuah
penelitian yang menghubungkan pengaruh vitamin terhadap
penderita TB yang merokok didapatkan bahwa suplemen
vitamin E menyebabkan peningkatan sementara dalam
kejadian TB pada perokok berat dengan diet tinggi asupan
vitamin E. Vitamin A dan Etidak meningkatkan respon imun
pada penderita TB yang merokok. Penelitian ini menemukan
bahwa tidak satupun dari kedua senyawa tersebut dapat
meningkatkan perlawanan terhadap TB diantara laki-laki
perokok. Sebaliknya vitamin E t ampaknya cenderung
meningkatkan kejadian TB pada peserta yang merokok berat
dan telah mendapatkan diet asupan vitamin Csebesar 90mg/
hari atau lebih .29
KESIMPULAN
1. Merokok dan TB masih menjadi masalah kesehatan yang
penting dinegara maju dan negara berkembang.
2. Asap rokok memiliki efek baik pro- inflamasi dan
imunosupresif pada sistem imun saluran pernapasan.
3. Merokok meningkatkan risiko infeksi Mycobacterium
tuberculosis, risiko perkembangan penyakit dan kematian
pada penderita TB.
4. Berhenti merokok berperan dalam global tuberculosis
control dan mengurangi kematian pada penderita TB.

DAFTAR PUSTAKA
1.

2.

3.

4.

5.

Bates MN, Khalakdina A, PaI M, Chang L, Lessa F,


Smith KR. Risk oft uberculosis from exposure to
tobacco smoke. Arch Intern Med. 2007;167:335-42.
Zainul Z. Dark nights behind the white clouds-risk of
tobacco smoking on human health besides the oral
health ang malignancy. Exceli Journal.2011;10:69-84.
World Health Organization. WHOreport on the Global
tuberculosis control report.(Online); 2011(cited 2011
November 17). Available f rom: URL: ht t p//
www.whql i bdoc.who.i nt / publ i cat i ons/ 2011 /
9789241564380_eng.pdf.
Leung CC, Lam TH, Ho KS, Yew WW,Tam CM, Chan
WM, et al. Passive smoking and tuberculosis. Arch
Intern Med. 2010;170:287-92.
Aditama T.Y Youth tobacco Indonesian experience,
Mumbai, India; Indonesia smoking control foundation.
2009.

22

6.

7.

8.
9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.
18.

23

Ross J, Ehrlich RI, Hnizdo E, White N, Churchyard GJ.


Excess lung function decline in gold miners following
pulmonary tuberculosis. Thorax. 2010;65:1010-5.
PDPI. Berhenti merokok. Pedoman penatalaksanaan
untuk dokter Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia. Jakarta 2011.p 4-12
Mehta1 H, Nazzal K, Sadikot1 R. Cigarette smoking and
innate immunity. Inflamm Res J. 2008;57:497503.
Giacomo M, Davidson PM, Penelope A. Abbott P,
Davison P, Moore L, Thompson S. Smoking cessation
in indigenous populations of Australia, New Zealand,
Canada, andthe United States: Elements of effective
interventions. Int. J. Environ. Res. Public Health. 2011;
8: 388-410.
Mills EJ, Wu P, Spurden D, Ebbert J,Wilson K. Efficacy
of pharmacot herapies f orshort - t erm smoking
abstinance: A systematic review and meta-analysis.
Harm Reduction Journal. 2009; 6:25.
WHO. Global Tuberculosis control. WHO/HTM/TB/
2008.393. Geneva: World Health Organization;2008.
Availableonlineat http://www.who.int/tb/publications/
globalreport/2008/en/index.html(Accessed September
9, 2011).
Peto R, Lopez A, Boreham J, Thun M. Mortality from
smoking in developed countries, 19502005. University
of Oxford Clinical Trial Service Unit [online], http://
www.ctsu.ox.ac. uk/~tobacco (2009).
Salma K, Chiang C, Enarson DA, Hassmiller K, Fanning
A, Gupta P, et al. Tobacco and tuberculosis: a qualitative
systematic review and meta-analysis. International
Journal of Tuberculosis and Lung Disease.2007; 104961.
Wang J, Shen H. Review of cigarette smoking and
tuberculosis in China: intervention is needed for
smoking cessation among tuberculosis patients. BMC
Public Health. 2009; 9:292.
Bjartveit K, Tverdal A. Health consequences of smoking
14 cigarettes per day. Tobacco Control. 2005;14:315
20.
PDPI. Tuberkulosis. Pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia. Revisi pertama Juli 2011.Jakarta: 9-19
Udwadia F, Finto L. Why stop Tb is uncomplete without
quit smoking. Indian J ChestAllied Sci.2011;53;9-10.
Amoran O, Osiyale O, Lawal K. Pattern of default among
tuberculosis patients on directly observed therapy in

19.

20.

21.

22.

23.

24.

25.

26.

27.

28.

29.

rural primary health care centresin Ogun State, Nigeria.


Journal of InfectiousDiseasesand Immunity.2011; 3(5):
90-5.
Stmpfli M, Anderson G. How cigarette smoke skews
immune responses topromote infection, lung disease
and cancer. Immunology. 2009; 9: 34-9
Lin HH, Ezzati M, Murray M. Tobacco smoke, indoor
air pollution and tuberculosis: A systematic review
and meta-analysis. PLoSMedicine.2007:173-89.
Wen CP, Chan TC, Chan HT, Tsai MK, Cheng TY, Tsai
SP. Ther reduction of Tuberculosis risks by smoking
cessation. BMC Infect Dis. 2010;10:156.
Siddiqui UA, OToole M, Kabir Z, Qureshi S, Gibbons N,
Kane M, et al. Smoking prolongstheinfectivity of patients
with tuberculosis. Ir Med J.2010; 103(9):278-80.
Batista J, Pessoa M, Ximenes RA, Rodrigues L. Smoking
increasesthe risk of relapse after successful tuberculosis
treatmen. Int J Epidemiol. 2008;37 (4):841-51.
Suryakant PR, R. Garg S, Dawar S, AgarwalS. A casecontrol study of tobacco smoking and tuberculosis in
India Ann Thorac Med. 2009;4(4): 20810.
Davies P, Yew W W, Ganguly D, Davidow AL, Reichman
L, Dheda K, et al. Smoking and tuberculosis: t he
epidemiological association and immuno pathogenesis.
Transactions of the royal society of tropical medicine
and hygiene . 2006; 291-8.
Leung C, Li T, Lam TH, Yew WW, Law WS, Tam CM, et
al. Smoking and tuberculosis among the elderly in Hong
Kong. Am J Respir Crit Care Med. 2004;170: 102733.
Feng Y, Kong Y, Barnes PF, Huang F, Klucar P, Wang X,
et al. Exposure t o cigaret t e smoke inhibit s t he
pulmonary T-Cell response to influenza virus and
Mycobacterium tuberculosis infection and immunity.
2011;79(1): 229-37.
Lin HH, Murray M, Cohen T, Colijn C, Ezzati M. Effects
of smoking and solid-fuel use on COPD, lung cancer,
and tuberculosis in China: a time-based, multiple risk
factor, modelling study.Lancet . 2008; 372(9648):
147383.
Hemila H, Kaprio J. Vitamin E supplementation may
transiently increase tuberculosis risk in males who
smoke heavily and have high dietary vitamin intake.
British Journal of Nutrition. 2008;100:896902.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

TUBERKULOSIS DAN HIV-AIDS


Arief Riadi
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan, Jakarta
PENDAHULUAN
The World Health Organization (WHO) memprediksi
bahwa penyebab kematian orang dengan Acquired immuno
deficiency syndrome (AIDS) adalah tuberkulosis (TB) paru
sebesar 13%. Infeksi TB paru diukur ketika seseorang yang
diduga menginhalasi droplet yang mengandung bakteri
Mycobacterium tuberculosis (M. tb). Respons sistem imun
membatasi multiplikasi basil tuberkel 212 minggu setelah
infeksi. Kondisi basil tuberkel persisten selama bertahuntahun berubah menjadi Latent Tuberculosis Infection (LTBI).
Seseorang dengan LTBI tidak memberikan gejala dan tidak
menularkan. Tuberkulosis paru dapat berkembang segera
setalah terpajan (penyakit primer) atau setelah reaktivasi dari
LTBI (Reactivation Disease). Penyakit primer berjumlah sekitar
1/3 atau lebih kasus pada populasi dengan TB-HIV (Human
Immunodeficency Virus).1
Kasus TB paru di Amerika rata-rata menurun menjadi
46 kasus baru TB paru per 100.000 populasi (total 13767
kasus) yang dilaporkan pada tahun 2006 dan diprediksi
prevalensi kasus LTBI 4.0% pada seluruh populasi. Persentase
kasus TB paru dengan HIV juga menurun dari 15% (2003)
menjadi 12,4% (2006), walaupun persentase kasus TB paru
dengan status HIV tidak diketahui meningkat dari 28,7%
(2005) menjadi 31,7% (2006), mungkin merefleksikan
kesulitan pemeriksaan HIV atau ketidaklengkapan hasil
pemeriksaan HIV.2
Orang dengan LTBI diprediksi berubah menjadi TB
paru aktif sebesar 12,9% per 1000 orang pertahun dari hasil
observasi. Rata-rata progresif menjadi TB paru aktif pada
orang dengan infeksi HIVberkisar antara 35162/1000 orang/
t ahun observasi.2 Pada daerah endemik TB t erdapat
hubungan yang tinggi jumlah CD4 (cluster of differentiation)
dengan waktu perkembangan TB-HIV. Pada orang dengan
HIV yang bekerja pada tempat berisiko tinggi seperti fasilitas
kesehatan, unit terapi obat-obatan atau tempat tunawisma
dapat meningkatkan risiko terkena TB paru.3 TB paru menjadi
penyebab utama kematian pada orang dewasa yang terinfeksi
HIV. Kematian akibat penyakit ini pada beberapa negara
meningkat sampai 50%, biasanya sekitar 2 bulan setelah
diagnosis TB ditegakkan. Keterlambatan dalam penegakan

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

diagnosisTB paru mungkin menjadi kontributor yang penting


dalam menyebabkan tingginya angka kematian.16
Tiap tahun diperkirakan terjadi 239 kasus baru TB
paru per 100.000 penduduk dengan estimasi prevalens HIV
diantara pasien TB paru sebesar 0,8% secara nasional
(berdasarkan laporan WHO2007). Survei yang dilaksanakan
oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen
Kesehatan (Litbangkes) 2003 menunjukkan bahwa pasien
dengan koinfeksi TB-HIV pada umumnya ditemukan di RS
(Rumah Sakit) dan Rutan (Rumah Tahanan) atau Lapas
(Lembaga Pemasyarakatan) di beberapa propinsi ditemukan
TB paru sebagai infeksi oportunis utama pada pasien AIDS
di RS. Saat ini belum ada angka nasional yang menunjukkan
gambaran HIV di antara pasien TB paru. Studi pertama
tentang sero prevalensi yang dilaksanakan di Yogyakarta
menunjukkan angka 2%. Data dari RS propinsi di Jayapura
menunjukkan pada triwulan pertama 2007, 13 diantara 40
pasien TB ternyata positif HIV. Data klinik PPTI (Perkumpulan
Pemberantasan TuberkulosisIndonesia) di Jakarta sejak 2004
2007 menunjukkan prevalens HIV pada pasien dugaan TB
paru dengan faktor risiko antara 35% dan prevalens pada
pasien Tb paru antara 510% dengan kecenderungan
meningkat setiap tahunnya.18

HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS


Human Immunodeficiency Virus adalah virus
sitoplastik dari famili Retroviridae. Berdasarkan strukturnya
HIV termasuk famili retrovirus yang merupakan virus RNA
(Ribonucleacid Acid) dengan berat molekul 9.7 kilobases
(kb). VirusHIV pertama kali diidentifikasi oleh Luc Montainer
di Inst itut Past eur Paris t ahun 1983 disebut HIV- 1.
Karakteristik virus sepenuhnya diketahui oleh Robert Gallo
di Washington dan Jay Levy di San Fransisco tahun 1984.
Tahun 1986 HIV-2 berhasil diisolasi dari pasien di Afrika
Barat.4
Pemeriksaan mikroskop elektron memperlihatkan HIV
memiliki banyak tonjolan eksternal yang dibentuk oleh 2
protein utama envelope virus yaitu glikoprotein (gp) 120 di
sebelah luar dan gp 41 yang terletak di transmembran.
Glikoprotein 120 memiliki afinititas tinggi terutama regon
V3 terhadap reseptor CD4 sehingga bertanggung jawab pada

24

awal int eraksi dengan sel t arget , sedangkan gp 41


bertanggung jawab dalam proses internalisasi atau absorbsi
(Gambar 1).4

Gambar 1. Struktur HIV


Dikutip dari (4)

CD4 adalah reseptor spesifik pada sel pejamu untuk


terjadi infeksi HIV yang mempunyai afinitas tinggi tehadap
HIV terutama terhadap molekul gp 120. Diantara sel tubuh
yang mempunyai molekul CD4 paling banyak adalah sel
limfosit-T. Infeksi HIVdimulai dengan penempelan viruspada
reseptor CD4 limfosit-Tsetelah penempelan terjadi fusi kedua
membran (HIV dan limfosit) sehingga seluruh komponen virus
masuk ke dalam sitoplasma sel limfosit-T.4

(TCR) CD43 kemudian bersama-sama CD28 mempengaruhi


HIVmenjadi lebih aktif. Produksi HIVselama infeksi mencapai
109-1011 partikel virus perhari bila berlangsung tanpa upaya
pengobatan dapat meningkatkan jumlah virus mencapai
500-1.000.000 kopi HIV-RNA per ml. Viremia yang terus
meningkat akan berusaha menyerang limfosit T- CD4
berikutnya. Fase akut akan terjadi penurunan dramatiskadar
CD4 sampai kurang dari 1000/mm3 dan naik kembali saat
serokonversi. Fase kronik akan terjadi penurunan 70 sel/l
setiap tahunnya. Bila jumlah CD4 mencapai atau melampaui
batas kritis d 200 sel/mm3 berarti telah memasuki stadium
AIDSdengan atau tanpa manifestasi klinik. Manifestasi klinik
dapat terjadi pada jumlah limfosit T-CD4 relatif normal (CD4
e 500 sel/mm3) atau terjadi penurunan sedang (CD4 d
200 sel/mm3). Tanpa diimbangi upaya intervensi maka dari
waktu ke waktu jumlah limfosit T-CD4 akan semakin rendah
membuka peluang infeksi sekunder dan muncul manifestasi
klinik AIDS hingga sepsis (Gambar 2).4

PATOGENESIS TB-HIV
Perjalanan infeksi HIVdi dalam tubuh manusia diawali
interaksi gp 120 pada selubung HIV berikatan dengan
reseptor spesifik CD4. Sel target utama adalah sel yang
mampu mengekspresikan reseptor CD4 antara lain astrosit,
mikroglia, monosit-makrofag, limfosit, Langerhans dan
dendritik. Ikatan terjadi akibat interaksi gp 120 HIV dengan
CD4. Ikatan semakin kuat dengan kehadiran ko-reseptor
kedua yang memungkinkan gp 41 menjalankan fungsinya
sebagai perantara masuknya virus ke dalam sel target. Koreseptor lini kedua adalah chemokine reseptor 5 (CCR5) dan
chemokine reseptor 4 (CXCR4).4
Proses internalisasi limfosit Toleh HIV selain terjadi
perubahan melalui aktivasi limfosit T-CD4 maupun HIVjuga
membangkitkan timbulnya protein stres temasuk heat shock
protein 70 (Hsp70). Kontak yang terjadi mengakibatkan
limfosit Tterpacu sehingga mengalami stres dengan berbagai
perubahan. Perubahan diawali dengan ekpresi reseptor CD43
(sialophorin) pada permukaan limfosit T. Reseptor CD43 yang
terekspresi tersebut menjadi aktivator baik terhadap limfosit
T-CD4 sendiri maupun terhadap HIV. Peningkatan aktivitas
limfosit T-CD4 yang terinfeksi HIVakan menginduksi T-helper
1 (Th-1) mensekresi Interleukin (IL)-1, IL-2, Tumor necrosis
factor (TNF)- dan Interferon (IFN)- sehingga kadar didalam
darah meningkat.4
Human immunodefisiency virusyang berada di dalam
limfosit T-CD4 akan teraktivasi oleh pengaruh reseptor CD43
dan akan menginduksi pembentukan kompleksT-cell reseptor

25

Gambar 2. Patofisiologi HIV-AIDS


Dikutip dari (4)

Pada TB paru aktif, makrofag terinfeksi oleh M. tb


yang akan mengekspresikan TNF- bersamaan dengan
Monocyt e Chemot act ic Prot ein 1 (MCP- 1) yang
mengaktifkan replikasi HIV-1. The Long Terminal Repeat
(LTR) HIV mengandung 2 NF-kB. TNF- menginduksi
replikasi HIV dimediasi dengan peningkatan aktifitas NF-kB
di sel mononuklear. M. tuberculosis dapat menyebabkan
infeksi lanjut pada CD4 sel T limfosit dan monosit. M.
tuberculosis juga mengaktifkan replikasi HIV-1 pada CD4 T
limfosit yang terinfeksi laten. Masuknya monosit kedalam
sel dendrit dapat memfasilitasi trasmisi HIV-1 ke CD4 T
limfosit yang apabila berdiferensiasi ke M. tb dapat
menyebabkan berkembang menjadi infeksi laten HIV-1
(Gambar 3).8

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

pneumocystis pneumonia, toksoplasmosisotak, penyakit


sitomegalovirus, infeksi virus herpes, kandidiosis pada
esofagus, trakea, bronkus, paru, infeksi jamur seperti
histoplasmosis. Dapat juga dit emukan keganasan
termasuk keganasan kelenjar getah bening dan sarkoma
kaposi.

Gambar 3. Patofisiologi TB-HIV


Dikutip dari (8)

GEJALA KLINIK HIV


Gejala klinik HIV merupakan gejala dan tanda infeksi
virus akut, keadaan asimptomatis berkepanjangan hinggga
manifestasi AIDS berat. Gejala klinik HIV dapat dibagi
menjadi 4 tahap yaitu :4

Derajat dan berat penyakit dit ent ukan sesuai


ketentuan WHOmelalui stadium klinik pada orang dewasa.
DiagnosisAIDSdi Indonesia dibuat bila terdapat uji HIV positif
dan sekurang-kurangnya didapatkan satu gejala mayor dan satu
gejala minor (Tabel 1).4,5
Tabel 1. Gejala mayor dan minor HIV
Gejala
Mayor

Berat badan menurun lebih 70% dalam satu


bulan.
Diare kronik lebih dari satu bulan
Demam lebih 1 bulan
Penurunan kesadaran dan gangguan saraf
Enselopati HIV

Minor

Batuk menetap lebih satu bulan


Dermatitis generalisata
Herpes zoster berulang
Kandidiasis orofaringeal
Herpes simpleks
Limfadenopati generalisata
Infeksi jamur berulang pada alat kelamin
perempuan
Retinitis karena virus sitomegalo

1. Tahap pertama
Merupakan tahap infeksi akut. Pada tahap ini muncul
gejala tapi tidak spesifik. Tahap ini muncul 6 minggu
pertama setelah pajanan HIV berupa demam, rasa letih,
nyeri otot dan sendi, nyeri menelan dan pembesaran
kelenjar getah bening.
2. Tahap kedua
Merupakan tahap asimptomatis. Pada tahap ini gejala
dan keluhan menghilang. Tahap ini berlangsung selama
6 minggu sampai beberapa bulan atau tahun setelah
infeksi tetapi penderita masih normal.
3. Tahap ketiga
Merupakan tahap simptomatis. Keluhan penderita lebih
spesifik dengan gradasi sedang sampai berat. Berat badan
menurun tetapi tidak sampai 10%. Pada selaput mulut
terjadi sariawan berulang, infeksi bakteri pada saluran
napas atas, namun penderita dapat melakukan aktifitas
meskipun terganggu. Penderita lebih banyak di tempat
tidur.
4. Tahap keempat
Merupakan tahap lanjut atau tahap AIDS. Gejala yang
muncul berupa berat badan turun lebih 10%, diare lebih
1 bulan, demam yang tidak diketahui penyebabnya
berlangsung selama 1 bulan, kandidiasis oral, oral hairy
leukoplakia, TB paru. Penderita hanya berbaring ditempat
tidur lebih dari 12 jam sehari selama sebulan terakhir.
Dapat t erjadi berbagai macam inf eksi berupa

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Karakteristik

Dikutip dari (8)

DIAGNOSIS
Seseorang dengan infeksi HIV, pemeriksaan untuk TB
paru termasuk dengan menanyakan tentang kombinasi dari
gejala klinik yang terdapat pada pasien dan tidak hanya
menanyakan keluhan batuk saja. Ini seperti terapi dengan
obat anti retrovirus dan terapi preventif dengan izoniazid
dapat mulai diberikan pada orang yang tidak ada gejala,
namun pemeriksaan kultur mikobakterium tetap dikerjakan.16
a) Diagnosis of Latent Tuberculosis Infection (LTBI)
Semua pasien yang didiagnosis HIV sebaiknya
diperiksa LTBI. Seseorang dengan hasil pemeriksaan LTBI
menunjukkan negatif, infeksi HIV lanjut (CD4+ < 200 cell/
L) dan tanpa indikasi pemberian terapi empiris LTBI
seharusnya dilakukan kembali uji LTBI ketika mulai terapi

26

ART dan kadar CD4+ e 200 cell/ L. Pada umumnya uji rutin
untuk LTBI direkomendasikan untuk orang terinfeksi HIV
yang termasuk kategori resiko tinggi untuk berulang atau
terpajan idividu dengan TB paru, orang dengan hidup dengan
faktor risiko terinfeksi HIV, pecandu aktif, atau memiliki faktor
risiko sosial demografi untuk TB. Setiap pasien dengan HIV
dan uji LTBI positif seharusnya dilakukan foto toraks dan
evaluasi klinik untuk TB aktif.8
Diagnosis LTBI dapat dilakukan dengan satu atau dua
pendekatan. Uji tuberkulin dengan metode Uji Mantoux,
dipertimbangkan positif pada pasien terinfeksi HIV dengan
indurasi e 5 mm yang timbul setelah 4872 jam setelah
penyunt ikan secara int radermal 0,1 mL. Sekarang ini
penggunaan met oda in vit ro dengan mendet eksi IFN-
dilepaskan untuk merespon M. tuberculosis-spesific peptides
telah dikembangkan untuk mendiagnosis LTBI.9
Test for LTBI (e.g., tuberculin
test or interferon- release
assay) in HIV-infected person

Negative

b) Diagnosis TB Paru Aktif


Positive

Contact to a case of
active tuberculosis

No

Yes

CD4+ T-lymphocyte count > 200

No

Chest radiography
Clinical evaluation

Symptoms (e.g.,
fever, cough,
weight loss) OR
abnormal chest
radiograph

No symptoms
and normal chest
radiograph

Yes
Evaluate for active tuberculosis
(obtain samples for AFB smear
and culture)

Retest for LTBI


once ART started
and CD4+ Tlymphocyte
count > 200

Treatment for LTBI not


indicated
Retest annually if on
going high risk of
tuberculosis exposure
(endemic area,
congregate setting, etc.)

Alternative cause
identified for symptoms
and abnormal chest
radiograph
Active tuberculosis
excluded with negative
smears and cultures in
the setting of low
suspicion

Initiate treatment for LTBI

Moderate to high
suspicion or
evidence for active
tuberculosis

Initiate four-drug
regimen for active
tuberculosis

Gambar 4. Diagram alur diagnosis LTBI-HIV


Dikutip dari (10)

Penelitian saat ini menyarankan bahwa Interferron


Gamma Relation Assay (IGRA) lebih konsisten dan tinggi
spesifitasnya (9297%) dibandingkan dengan Tuberculin
Sensitiviti Ujit (TST) sebesar 5695%, hubungan korelasi yang
baik akan menggantikan pengukuran terpajannya M. tb dan
kurang terjadinya reaksi silang terhadap vaksin Bacillus
Calmette-Guerin (BCG) at au t erpajan nontuberculous
mycobacteria lainnya dibandingkan dengan TST.11,15

27

Pada keadaan HIV dengan immunosupresi lanjut TST


dan IGRAsdapat menunjukkan hasil negatif palsu.12 Frekuensi
terjadinya negatif palsu dan tidak dapat digunakannya hasil
IGRA meningkat secara paralel dengan berlanjut nya
imunodefisiensi.13 Lesi fibrotik yang sesuai dengan TB kadang
secara insidental ditemukan pada gambaran foto toraks.
Seseorang dengan lesi fibrotik seharusnya menjalankan uji
diagnosis LTBI dan dievaluasi untuk penyakit aktif. Pada
keadaan yang telah diketahui sebelumnya telah mendapat
terapi TB secara adekuat, pemeriksaan dahak dan kultur
seharusnya diperiksa walaupun pasien tidak menunjukkan
gejala. Pada pasien HIV dengan CD4+ <200 cell/ L dengan
lesi fibrotik yang sesuai dengan TB pada gambaran foto
t oraks dan t idak ada riwayat t erapi sebaiknya
dipertimbangkan infeksi TB dengan mengabaikan hasil dari
uji LTBI. Pada keadaan seperti ini disarankan diberikan terapi
empirik sambil menunggu hasil uji diagnosis lebih lanjut.14

Evaluasi dugaan HIV yang berhubungan dengan TB


seharusnya dilakukan pada pemeriksaan foto toraks yang
merujuk kepada kemungkinan lokasi anatomi penyakit.
Sampel dari dahak dan kultur seharusnya didapatkan dari
pasien dengan gejala paru dan kelainan gambaran foto toraks.
Gambaran normal foto toraks tidak dapat menyingkirkan
kemungkinan TB aktif ketika kecurigaan terhadap penyakit
ini tinggi dan sampel dari dahak tetap harus didapatkan.
Hasil pengambilan dahak 3 hari lebih disarankan pagi hari
dapat meningkatkan hasil dari hapusan dan kultur. Lebih
dari dari pasien HIVdengan penyakit TB paru menunjukkan
hasil negatif palsu.12
Serost at us HIV t idak mempengaruhi hasil dari
pemeriksaan hapusan dahak dan kultur. Hasil positif lebih
sering didapatkan pada penyakit paru dengan kavitas. Hasil
dari pemeriksaan hapusan dahak dan kultur yang berasal
dari spesimen ekstraparu lebih tinggi diantara pasien
imunodefisiensi lanjut dibandingkan dengan orang yang tidak
terinfeksi.16 Uji Nucleic acid amplication (NAA), juga disebut
Direct Amplification Test dapat langsung diterapkan pada
spesimen klinik seperti dahak dan sangat membantu dalam
proses evaluasi pasien dengan hasil hapusan dahak positif.
Hasil positif NAA pada hapusan dahak sangat merefleksikan
TB aktif. Pada orang dengan hasil dahak negat if atau
penyakit ekstraparu maka penggunaan NAA harusdigunakan
dan diinterpretasikan sesuai dengan penyebabnya.9
Pada pasien dengan tanda TB ekstraparu, aspirasi
jarum halus atau biopsi dari lesi kulit, kelenjar limfe, cairan
pleura dan perikardial harus dilakukan. Kultur darah dari
mikobakterium dapat membantu pasien dengan tanda
penyebaran penyakit atau perburukan imunodefisiensi. Hasil

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

positif dahak dari berbagai spesimen (dahak, aspirasi jarum


halus, biopsi jaringan) mewakili beberapa bentuk penyakit
mikobakterium namun tidak selalu TB.16
Tujuan utama algoritma diagnosisadalah membantu
keputusan klinik di daerah dengan prevalensi HIV tinggi dan
mengurangi angka kesalahan diagnotik dan kematian.
Algoritma akan memberikan efek yang signifikan pada
diagnosis TB paru dengan HIV/AIDS dan akan membantu
penanganannya secara terintegrasi. Algoritma digunakan
pada pasien dewasa dengan keluhan batuk selama 23
minggu dan berdasarkan kondisi pasien.19

Seriously III patient with cough 2-3 weeks and danger signsa

Referral to higher level


facility
Parenteral antibiotic treatment for
bacterial infection b,d
Sputum AFB and culture b
HIV test b,c
CXR b

No
tuberculosis

1st visit

Reassess for other


HIV-related disease

HIV+ or status unknownc

Treat
tuberculosis

TB unlikely

AFB-positive g

AFB-negative g

Improvement
after 3-5 days

No Improvement
after 3-5 days

Reassess for
tuberculosis h

Start TB treatment
Complete antibiotics
Refer for HIV and
tuberculosis care

Diagram alur diagnosis pasien TB dengan HIV+ dengan


kondisi jelek

2nd visit

Dikutip dari (19)

AFB-negatived

AFB-positived

Parenteral antibiotic treatment for


bacterial infection b,d
Consider treatment for PCP e
Sputum AFB and culture b
HIV test b,c
HIV+ or unknow f

Ambulatory patient with cough 2-3 weeks and no danger signsa

AFB
HIV testb

Immediate referral
not possible

GEJALA KLINIK TB-HIV


Treat for TB
CPTd
HIV assessmentf

TB likely

CXRg
Sputum AFB and cultureg
Clinical assessmentg

3rd visit

TB unlikely
Treat for bacterial infectionh
HIV assessmentf
CTPe

Treat for PCPi


HIV assessmentf

4th visit

Response j

No or partial response

Response j

Reassess for TB

Diagram alur diagnosis pasien TB dengan HIV+ pada pasien


rawat jalan
Dikutip dari (19)

Pada pasien dengan sakit berat perlu segera dirujuk


ke pusat rujukan atau yang memiliki fasilitas lebih lengkap.
Apabila tindakan rujukan tidak dapat dilakukan segera maka
pemberian antibiotik spektrum luas segera diberikan dan
pemeriksaan dahak segera dikerjakan. Apabila hasil
pemeriksaan HIV negatif, gejala klinik HIV kurang nyata dan
apabila daerah tersebut tidak termasuk kedalam prevalensi
HIVyang tinggi maka dilanjutkan penegakan diagnosissesuai
dengan pedoman yang berlaku. Apabila gejala klinik dan
pasien berasal dari wilayah dengan prevalensi HIV tinggi
maka penegakan diagnosis sesuai algoritma (Gambar 4).19

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Individu yang terinfeksi HIV pada TB paru aktif sangat


dipengaruhi oleh derajat imunodefisiensi.6 Pada pasien terinfeksi
HIV dengan CD4+ > 350 cell/ L gejala klinik TB sesuai dengan
pasien TB tanpa HIV.7 Gejala mayor terbatas pada paru dan
biasanya gambaran foto toraks lobus atas berupa gambaran
infiltrat fibronodular dengan atau tanpa kavitas.8 Gejala
ekstraparu lebih sering timbul pada pasien HIV dibandingkan
pada pasien yang tidak terinfeksi HIV, walaupun manifestasi
klinik antara pasien terinfeksi HIV dengan tidak terinfeksi HIV
tidak secara substantial berbeda. Pada HIV stadium lanjut
gambaran foto toraks pada pasien TB paru berbeda dibandingkan
dengan pasien dengan derajat keparahan imunosupresi lebih
rendah. Pada lobus bawah, lobus tengah, gambaran infiltrat
milier lebih biasa dan kavitas lebih jarang. Limfadenopati
mediastinum juga dapat ditemukan. Walaupun dengan
gambaran foto toraks normal, pasien terinfeksi HIV dan TB paru
dapat memberikan hasil dahak yang positif dan hasil kultur.8
Peningkatan derajat imunodefisiensi, TB ekstraparu
(limfadenitis, pleuritis, pericarditis dan meningitis) dengan atau
tanpa keterlibatan paru ditemukan pada gejala mayor dengan
jumlah CD4+ < 200 cell/ L. Pada beberapa pasien TB dapat
menjadi penyakit sistemik yang berat dengan demam tinggi,
progresif, dan sindoma sepsis. Penemuan histopatologi juga
dipengaruhi oleh derajat imunodefisiensi. Pasien dengan fungsi
relatif imun terdapat tipikal inflamasi granulomatosa yang
diasosiasikan dengan penyakit TB. Pada pasien dengan
imunodefisiensi berat dan kadar mikobakterium yang tinggi,
penyakit TB dapat menjadi subklinik atau oligoasimptomatis.8
Gejala klinik TB paru pada pasien dengan HIVtergantung
dari derajat imunosupresi sebagai hasil dari infeksi HIV. Pasien

28

dengan kadar CD4 > 200/mm3 lebih sering memberikan


manifestasi TB paru dibandingkan dengan ekstraparu. Pada
pasien ini gambaran foto toraks akan seperti pada orang
dengan HIV negatif. Hasil pemeriksaan dahak lebih sering
memberikan hasil positif. Keadaan imunodefisensi yang
semakin berat akan membuat gejala ekstraparu semakin
menjadi lebih sering (Tabel 2).8
Tabel 2. Gejala klinik pada pasien TB-HIV
karakteristik
TB paru : TB ekstraparu
Gejala klinik
Foto toraks
Intratoraks
limfadenopati
Lobus bawah
Kavitas
Alergi tuberculin
Pemeriksaan dahak
Reaksi obat
Kambuh setelah
pengobatan

Late
HIVInfection

Early
HIVInfection

50:50
Sering seperti
TB primer

80:20
Sering seperti
TB post primer

Sering

Jarang

Sering
Jarang
Sering
Jarang
Sering
Sering

Jarang
Sering
Jarang
Sering
Jarang
Jarang

Dikutip dari (8)

KESIMPULAN
1. Penyebab kematian terbesar pada AIDSadalah TB paru.
2. Orang dengan TLBI sesuai dengan definisi tidak
memberikan gejala asimptomatis.
3. Pada penderita HIV dengan dicurigai TB maka harus
ditanyakan gejala lainnya tidak hanya batuk saja.
4. Pemeriksaan penunjang dengan IGRA dan TST sering
menunjukkan negatif palsu.
5. Hasil pemeriksaan dahak TB paru dari pasien HIV
menunjukkan hasil -nya adalah negatif.

DAFTAR PUSTAKA
1. Centersfor Disease Control and Prevention (CDC), American
Thoracic Society and Infectious DiseasesSociety of America,
Treatment of tuberculosis. MMWR Recomm Rep 2003;
52(RR-11):p.1-77
2. Center for Disease Control and Prevention (CDC), Trends in
tuberculosis incidence United Stauji, 2006. MMWRMorb
Mortal Wkly Rep 2007; 56(11): p.245-50.
3. Horsburgh, CR. Priorities for the treatment of latent
tuberculosis infection in the United Stauji. N Engl J Med
2004; 350(20): p.2060-7.

29

4. Nasronudin. HIV& AIDS: Pendekatan biologi molekuler klinik


dan sosial. Airlangga University Press 2007; p.1-309.
5. Nahimana A, Rabodonirina M, Bille J, Francioli P. Mutations
of Pneumocystis jiroveci dihydrofolate reductase associated
wit h failure of prophylaxis. Antimicrobial agents and
chemotherapy 2004; 48:4301-5.
6. Bat ungwanayo J, Taelman H, Hot e R. Pulmonary
t uberculosis in Kigali, Rwanda. Impact of human
immunodef iciency virus inf ect ion on clinical and
radiographic presentation. Am Rev Respir Dis,
7. Hirsch HH, Kaufmann G, Sendi P. Immune reconstitution in
HIV-infected patients. Clin Infect Dis2004; 38(8):p.1159-66.
8. Sharma SK, Mohan A, Kadhiravan T. HIV-TB co-infection:
Epidemiology, diagnosis & management. Indian J Med Res
2005; 121, pp 550-567
9. Nahid P, Pai M, Hopewell PC. Advances in the diagnosis and
treatment of tuberculosis. Proc Am Thorac Soc 2006; 3(1):
p.103-10.
10. Jasmer RM, Nahid P, Hopewell PC. Clinical practice. Latent
tuberculosis infection. N Engl JMed 2002; 347(23): p.1860-6.
11. Menzies D, Pai M, Comstock G. Meta-analysis: New ujits for
the diagnosis of latent tuberculosis infection: Areas of
uncertainty and recommendations for research. Ann Intern
Med 2007; 146(5): p. 340-54.
12. Mazurek GH, Jereb J, Lobue P. Guidelines for using the
QuantiFERON-TB Gold ujit for detecting Mycobacterium
tuberculosis infection, United Stauji. MMWRRecomm Rep
2005; 54(RR-15):p.49-55.
13. Brock I, Ruhwald M, Lundgren L. Latent tuberculosis in HIV
posit ive, diagnosed by the M. tuberculosis specific
interferon-gamma ujit. Respir Res 2006; p.1;7:56.
14. Pai M, Lewinsohn DM. Interferon-gamma assays for
tuberculosis: is anergy the Achillesheel?Am J Respir Crit
Care Med 2005; 172(5):p.519-21.
15. Luetkemeyer AF, Charlebois ED, Flores LL. Comparison of an
interferon-gamma release assay with tuberculin skin ujiting
in HIV-infected individuals. Am J Respir Crit Care Med 2007;
175(7): p.737-42.
16. Artenstein AW, Kim JH, Williams WJ. Isolated peripheral
tuberculous lymphadenitis in adults: current clinical and
diagnostic issues. Clin Infect Dis 1995; 20(4): p.876-82.
17. Kevin C, Kimberly D, McCarthy MM, Charles M. An
Algorithm for Tuberculosis Screening and Diagnosis in People
with HIV. N Engl J Med 2010;362:707-16.
18. Kebijakan Nasional Kolaborasi TB HIV. edisi pertama,
Departemen Kesehatan RI, 2007.
19. Improving the diagnosis and treatment of smear-negative
pulmonary and extrapulmonary tuberculosis among adult
and adolecent. WHO recomendation 2006.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

TUBERKULOSIS NOSOKOMIAL
Amir Luthfi, Sardikin Giri Putro
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan, Jakarta
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) tetap menjadi salah satu masalah
kesehatan yang paling serius. Saat ini TB merupakan masalah
kesehatan di dunia dan penyebab utama kematian di negara
berkembang. Di Indonesia sendiri TB masih merupakan
masalah utama kesehatan masyarakat, ditunjang oleh
beberapa fakta bahwa Indonesia merupakan negara dengan
pasien TB terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan Cina.
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan
bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor
5 setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran napas
pada semua kelompok usia dan nomor 1 dari golongan
penyakit infeksi.1
Risiko penularan TB diantara petugas kesehatan
cukup tinggi sebelum era antibiotika tetapi menurun dengan
cepat setelah tahun 1950 dikarenakan menurunnya insidens
penyakit dalam populasi dan terdapatnya terapi yang efektif.
Perubahan ini berakibat pada kurangnya pengawasan infeksi
di rumah sakit. Zat yang terhirup di tempat kerja terutama
di rumah sakit dapat menjadi penyebab penyakit paru kronik.
Dokter, perawat, petugas laboratorium, bahkan petugas
kebersihan di rumah sakit yang menangani penderita TB
merupakan kelompok risiko tinggi. Untuk petugaskesehatan
saat ini TB merupakan penyakit akibat kerja. Identifikasi
pengaruh kerja terhadap suatu penyakit penting dilakukan
sebagai dasar pengobatan, pencegahan dan kelangsungan
pekerjaan.1,15
Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobact erium
tuberculosis (M. tb) dan menyerang organ pernapasan
walaupun dapat mengenai organ lain.2 Sejak meluasnya
penyakit human immunodeficiency virus (HIV) dan
pertambahan kasus TB kebal obat (MDR-TB), masalah TB
yang sebelumnya telah teratasi kembali mencuat, sehingga
pengawasan dan pemberantasan penyakit ini menjadi
bertambah rumit.3 Tinjauan pustaka ini akan membahas
mengenai TB nosokomial. Penularan TB nosokomial dapat
dicegah dengan cara menerapkan pengendalian infeksi yang
efektif. Center for Disease Control and Prevention (CDC)
merekomendasikan tindakan pencegahan penularan berupa

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

pengontrolan administratif, teknik dan alat pelindung


pernapasan. Tatalaksana pemberantasan TB dapat dilakukan
dengan berbagai cara dan hal ini telah berhasil dilakukan di
beberapa negara maju.4

PENULARAN TUBERKULOSIS
Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman yang
hidup sebagai parasit intraselular dan berkembang biak di
dalam tubuh. Penularannya dapat terjadi dari penderita ke
orang lain melalui percik renik. Percik renik berdiameter 15
m yang terhisap dan menginfeksi paru. Percik renik di
keluarkan oleh penderita sebagai sumber infeksi pada saat
bicara atau batuk dan menular ke orang lain saat terjadi
kontak dan dapat bertahan di udara selama berjam-jam
bahkan beberapa hari sampai akhirnya ditiup angin. Infeksi
t erjadi apabila orang menghirup percik renik yang
mengandung M. tb. Gejala penyakit timbul beberapa saat
setelah infeksi dan pada umumnya respons imun terbentuk
dalam 212 minggu setelah infeksi.4,5
Keadaan lingkungan, ventilasi udara di ruangan, lama
pajanan, jumlah percik renik, ukuran dan konsentrasi kuman
mempengaruhi proses infeksi M. tb. Kondisi penderita TB
yang dapat menimbulkan risiko penularan antara lain
terdapatnya TB paru, batuk produktif, sputum basil tahan
asam (BTA) positif, tampak kavitas pada foto toraks, saat
batuk atau bersin tidak menutup hidung atau mulut, terapi
antiTB yang tidak tepat dan teratur, serta menjalani prosedur
yang menginduksi batuk seperti induksi batuk, bronkoskopi
dan suction.1,6 Tuberkulosis dimulai dari infeksi primer yang
sering tidak menimbulkan gejala dan kemudian dapat
sembuh sendiri sehingga uji tuberkulin berubah dari negatif
menjadi positif.7

TUBERKULOSIS DI RUMAH SAKIT


Penularan TB di rumah sakit berkaitan erat dengan
kejadian luar biasa di daerah tersebut.8 Terapi TB dapat
diberikan dengan rawat jalan, tetapi terdapat kemungkinan
penderita memerlukan perawatan di rumah sakit akibat
beratnya penyakit, efek samping obat, penyakit penyerta

30

dan indikasi lainnya.9 Tahun 1990 terjadi kejadian luar biasa


tuberkulosis di beberapa rumah sakit di Amerika. Pengaturan
aliran udara di ruangan yang kurang baik, pembuangan udara
t idak adekuat dan penggunaan ulang sirkulasi udara
merupakan faktor yang ikut mempengaruhi kejadian
tersebut.10
Petugas kesehatan dengan angka kesakitan TB yang
termasuk kelompok risiko tinggi adalah dokter, perawat,
petugas laboratorium, penata radiologi dan fisioterapis.
Petugas kesehatan yang bertugas di bagian bronkoskopi,
intubasi endotrakea, penyedotan lendir di ruang rawat, irigasi
abses, induksi sputum, otopsi, inhalasi dan prosedur lainnya
yang dapat menginduksi batuk juga berisiko tinggi untuk terjadi
penularan nosokomial. Beberapa faktor lainnya yang dapat
meningkatkan risiko penularan diantaranya adalah frekuensi
kontak langsung dengan pasien TB, masa kerja dan kontak
dengan penderita yang belum terdiagnosis dan belum diobati.6
Tabel 1. Risiko kesakitan TB pada kelompok pekerjaan
Kelompok pekerjaan

Kasus
Kasus
Teramati Diharapkan SMR

(IK 95%)

321

336,1

1,0

(0,9-1,1)

- Dokter

20

50,9

0,4

(0,2-0,6)

- Petugas register

68

56,2

1,2

(0,9-1,5)

- Perawat inhalasi

2,4

2,9

(1,2-6,0)

- Petugas laboratorium

15

16,8

0,9

(0,5-1,5)

Bidang kesehatan

- Perawat

26

24,1

1,1

(0,7-1,6)

- Pekarya, pembantu
perawat

150

115,7

1,3

(1,1-1,5)

Pekerjaan yang
berhubungan dengan
binatang

565

253,5

2,2

(2,0-2,4)

Pelayanan makanan

455

368,0

1,2

(1,1-1,4)

Pekerjaan yang
berhubungan dengan
debu

52

51,8

1,0

(0,8-1,3)

Pekerjaan yang
berhubungan dengan
anak-anak, sekolah

92

254,7

0,4

(0,3-0,4)

Pelayananan masyarakat

113

154,4

0,7

(0,6-0,9)

Dikutip dari (11)

Petugas laboratorium mikrobiologi memiliki risiko


penularan infeksi M. tb cukup t inggi walaupun tidak
berhubungan langsung dengan pasien karena seringkali
pet ugas t idak menget ahui bahan yang diperiksa
mengandung M. tb. Tiga belas persen petugas laboratorium
mengalami perubahan uji tuberkulin menjadi positif setelah
bekerja 14,5 tahun atau setiap tahunnya risiko penularan

31

sebesar kurang lebih 1%. Perubahan konversi uji tuberkulin


berhubungan secara bermakna dengan pekerjaan sebagai
petugaspatologi dan ini merupakan indikator keterlambatan
diagnosis penderita dengan TB selain akibat pengaturan
udara ruangan yang kurang baik. Tingkat risiko penularan
infeksi M. tb petugas laboratorium hampir sama dengan
klinisi karena bahan pemeriksaan diambil dari penderita TB
yang belum terdiagnosis. Sembilan dari 52 penderita yang
meninggal akibat TB baru dapat didiagnosis saat dilakukan
otopsi.12 Pasien yang dirawat dengan indikasi yang tidak
tepat, ruang perawatan yang tidak sesuai standar, petugas
kesehatan yang bekerja di tempat yang tidak mempunyai
fasilitaspengendalian infeksi, meningkatkan risiko penularan
untuk petugas dan penderita itu sendiri.4
PENCEGAHAN, PENGENDALIAN DAN TATALAKSANA
Pencegahan TB nosokomial merupakan hal yang paling
pent ing.7 Risiko penularan dapat dikurangi dengan
pencegahan terhadap prosedur kerja dan pengawasan
peralatan yang berpot ensi sebagai media penularan,
walaupun proses penularan masih dapat terus terjadi.12
Pencegahan dimulai dari pemeriksaan terhadap pekerja yang
akan diterima sebagai pegawai ataupun selama bekerja
meliputi riwayat TB sebelumnya, riwayat vaksinasi BCG,
gejala-gejala TB, jaringan parut BCG, uji tuberkulin dan foto
toraks (Gambar 1). Pegawai yang tidak menunjukkan gejala
dan tanda tetapi memiliki uji tuberkulin positif harus
dijelaskan bahwa sebelumnya sudah terpajan M. tb dan
disarankan secepatnya melapor bila timbul gejala.9
Pencegahan agar tidak terjadi infeksi adalah vaksinasi
dan memperbaiki sirkulasi udara sedangkan untuk tenaga
medis yang sudah terinfeksi adalah mempertahankan daya
tahan tubuh dan penatalaksanaan pada infeksi lat en.
Sejumlah kuman M. tb tetap dorman dan bertahan hingga
berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, keadaan ini disebut
dengan infeksi laten. Seseorang dengan infeksi laten tidak
menunjukkan gejala apapun dan tidak menjadi sumber
penularan. Diagnosis TB yang t epat dan cepat sangat
diperlukan karena penderita yang belum terdiagnosis atau
terjadi kesalahan diagnosis maka konsekuensinya akan
terjadi penularan.13
Pengendalian infeksi TB bertujuan untuk deteksi dini
penderita TB, memberi pengobatan dan mencegah orang
lain untuk terinfeksi TB. Pengendalian infeksi merupakan
langkah khusus yang bertujuan untuk mengurangi penularan
M.TB. Terdapat 3 langkah pengendalian infeksi meliputi :4
1. Pengaturan administratif bertujuan untuk mengurangi
pajanan petugas kesehatan dan penderita dengan M.
tb.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

2. Pengat uran lingkungan bert ujuan mengurangi


konsentrasi percik renik yang infeksius.
3. Perlindungan pernapasan petugas kesehatan pada
daerah dengan konsentrasi percik renik yang tidak dapat
diatasi dengan kontrol administratif dan lingkungan.
Pemutusan rantai penularan di rumah sakit harus
dilakukan dengan pemakaian perlengkapan pelindung,
fasilitas dan peralatan khusus terutama di ruang isolasi.8
Diagnosis yang cepat dan akurat dapat mencegah
penyebaran lebih luas. Petugaskesehatan yang baru diangkat
harus diperiksa kemungkinan menderita TB, pemeriksaan
secara berkala dilakukan minimal sekali setahun untuk tenaga
lama atau saat timbul gejala penularan TB.4Petugaskesehatan
dengan uji tuberkulin negatif harus dilakukan vaksinasi BCG.
Risiko TB pada pekerja yang terpajan oleh penderita TB lebih
tinggi pada orang dengan uji tuberkulin negatif dibandingkan
pada orang yang memiliki uji tuberkulin positif. Vaksinasi
BCGdapat mengurangi risiko penyakit TB tetapi hal ini tidak
terjadi di semua tempat.7 Pemberian INH profilaksis kurang
disetujui dan hanya digunakan pada keadaan tertentu.6,8
Anamnesis sebelum
penerimaan pekerja

Curiga
ya

tidak
Pem. Fisis
ya

tidak
Normal

ya

Pada ruang rawat jalan, pasien dengan batuk produktif


dan dicurigai menderita TB tidak dibenarkan ikut antrian
dengan pasien lainnya dan sebaiknya dilayani lebih dahulu.
Pasien tersangka TB diajarkan untuk tata cara batuk yang
benar dan diberi masker atau tisu untuk menutup mulut
dan hidung ketika batuk kemudian harus ditempatkan di
ruang tunggu khusus dengan ventilasi yang baik.4,6,14 Perlu
juga wadah khusus yang sudah diberi desinfektan untuk
menampung dahak yang dibatukkan pasien. Masker dapat
menghalangi penyebaran partikel yang mengandung T. tb
yang bersumber dari mulut atau hidung pasien. Tempat
sampah harus tersedia untuk membuang masker dan tisu
bekas pasien.4
Antara ruang rawat penderita TB dengan ruang rawat
penderita nonTB harus dibedakan, terutama ruang rawat
penderita risiko tinggi seperti anak kecil atau keadaan
imunosupresi. Sebaiknya kedua ruang perawatan ini berada
pada bangunan yang berbeda dengan ventilasi yang baik.
Pasien TB yang harus dirawat diupayakan lama perawatan
secepat mungkin untuk mencegah penyebaran infeksi
nosokomial. Pasien MDR-TB dirawat di ruang isolasi sehingga
kontak antar penderita dapat diminimalkan.1,6 Jendela dan
pintu harus diatur supaya selalu terbuka sehingga udara
dapat mengalir sert a penggunaan kipas angin untuk
mengatur aliran udara merupakan cara sederhana untuk
pengaturan ventilasi. Udara bersih yang masuk ke ruangan
dapat mengencerkan konsentrasi percik renik di udara.
Pengaturan ventilasi ruang rawat inap, ruang pemeriksaan
dan ruang tunggu di pelayanan rawat jalan harus baik
(Gambar 1-3).4,6,15

Bekerja dgn pasien


atau spesimen

tidak

ya

tidak

Parut BCG

Ruang
Periksa

Pintu

Kantor

Area
Terbuka

Uji tuberkulin
tidak

ya

Ruang
Tunggu

Derajat 0/1
Curiga

tidak

Klinik

Tanpa

BCG

Sisi A

ya
Apotik

Pem. Fisis
ya

Sisi C

tidak
Normal

Penyuluhan

Pintu

Pintu
Sisi B

Rencana Tampilan

Dinding dengan
daerah atas terbuka

Klinik

Gambar 2. Pengaturan ventilasi ruang tunggu di pelayanan


rawat jalan
Dikutip dari (4)

Gambar 1. Alur pemeriksaan TB pada pekerja.


Dikutip dari (13)

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

32

Jendela Terbuka

arah ventilasi alami atau


ruang kerja yang tidak benar

Jendela terbuka
Aliran udara

arah ventilasi alami atau


ruang kerja yang benar
Angin

Angin
Tempat Tidur

Angin

Angin

Angin

Angin

Pintu

Buruk
Aliran udara dari
bawah pintu
Ruang Pendingin

AC
Aliran udara
masuk

Aliran udara
masuk

Tempat Tidur
Pintu
Aliran udara
Aliran udara dari bawah
pintu: tekanan negatif yang
berhubungan dengan koridor

Gambar 3. Pengaturan ventilasi di ruang rawat inap,


A.Ventilasi alamiah, B.Ventilasi tekanan negatif
Dikutip dari (4)

Apabila ventilasi alamiah tidak tersedia atau tidak


adekuat , vent ilasi mekanis dapat digunakan unt uk
mengurangi konsentrasi percik renik di ruang fasilitas
kesehatan. Sumber energi bersumber dari sistem pompa yang
kuat diperlukan untuk mengalirkan udara bersih ke dalam
ruangan, menarik atau mengeluarkan kembali udara tersebut
ke luar gedung. Aliran udara harus melintasi ruangan yaitu
dari pintu ke jendela atau ventilasi didepannya bukan masuk
dan ke luar dari jendela yang sama agar percik renik yang
dibatukkan dapat dialirkan keluar (Gambar 3). Arah aliran
udara diatur agar mengalir dari udara bersih, melewati
petugas kesehat an kemudian melewat i pasien sampai
akhirnya keluar ruangan kembali. Sumber udara bersih harus
t erhindar dari daerah pembuangan agar udara yang
terkontaminasi tidak masuk kembali ke ruangan (Gambar 4).
arah ventilasi alami atau
ruang kerja yang benar

Pengaturan yang baik

Bahan pemeriksaan yang berasal dari pasien harus


dipersiapkan secara baik dan aman pada saat pemeriksaan,
pengepakan dan penyimpanan untuk mencegah penularan
TB di antara pekerja laboratorium.7 Pengambilan dahak
dilakukan di area atau ruangan terbuka dan jauh dari banyak
orang sebaiknya tidak di dalam ruangan kecil atau ruang
tertutup namun bila tidak memungkinkan pengambilan
dahak dapat dilakukan di ruang berventilasi dengan risiko
pajanan yang rendah terhadap petugas dan pasien. Induksi
sputum, terapi inhalasi dan tindakan bronkoskopi merupakan
t imdakan yang dapat menimbulkan bat uk sehingga
meningkatkan risiko penularan M. tb. Tindakan ini sebaiknya
dilakukan secara hati-hati di ruangan berventilasi dan
petugas kesehatan menggunakan perlindungan masker
yang direkomendasikan yaitu masker N-95.4,6
Terdapat 2 jenis masker, yaitu masker bedah dan
respirator (Gambar 5). Masker bedah terbuat dari kertas
at au kain yang t idak dapat mencegah penyebaran
mikroorganisme dari pemakainya karena hanya menangkap
partikel basah berukuran besar disekitar hidung atau mulut
dan tidak melindungi pemakainya dari terhirupnya percik
renik di udara, namun pemakaian masker bedah dapat
mengurangi percik renik atau aerosol yang berasal dari
penderita TB yang infeksius. Masker ini digunakan pada
penderita TB pada saat meninggalkan ruang isolasi ke
tempat pemeriksaan lainnya di rumah sakit. Masker bedah
tidak melindungi tenaga kesehatan maupun pasien dari
resiko t erhirupnya M.t b karena masker mempunyai
keterbatasan kemampuan filtrasi dan terdapat celah
disekitar hidung dan mulut yang memungkinkan aerosol
M. Tb t et ap masuk. Respirat or dapat memberikan
perlindungan lebih baik daripada masker bedah.6,15

arah ventilasi alami atau


ruang kerja yang benar
Angin

Pintu

Jendela

Angin

Angin
Baik

Gambar 5. Respirator (kiri) dan masker (kanan)


Dikutip dari (16)

33

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Respirator adalah alat perlindungan dari percik renik


M. Tb dengan kemampuan menyaring partikel berukuran 1.
Alat ini pas pada wajah dan mencegah kebocoran dari bagian
pinggir tetapi apabila posisi pemakaian tidak tepat, percik
renik yang terinfeksius tetap akan masuk ke saluran napas.
Jenis yang direkomendasikan adalah respirator dengan
kemampuan filtrasi 95% terhadap partikel berukuran 0,3.
Janggut dapat menghalangi pemakaian respirator yang pas
di wajah sehingga menyebabkan kebocoran.6,15
Pet ugas
kesehat an
dengan
keadaan
imunokompromais yang menghadapi pasien TB atau MDRTB harus mendapat pengawasan khususagar tidak terpajan,
terutama petugasyang mempunyai keluhan respirasi. Petugas
ini sebaiknya ditugaskan di tempat dengan risiko pajanan
M. tb yang rendah. Petugas yang menderita TB harus segera
diterapi dan untuk sementara dinonaktifkan sampai terbukti
tidak menjadi sumber penularan atau sputum BTA negatif.
Pernah dilaporkan suatu outbreak MDR-TB pada penderita
dan petugas kesehatan dengan kondisi imunokompromais
akibat kontak dengan penderita MDR-TB yang infeksius.6,14

Gambar 6. Masker N-95


Dikutip dari (16)

Tenaga medis yang t erkena TB di rumah sakit


diberikan pengobatan yang tidak berbeda dengan penderita
TB lainnya. Daerah dengan kejadian MDR-TB yang cukup
tinggi maka penggunaan obat antituberkulosis (OAT) sangat
ditekankan untuk menggunakan obat yang masih sensitif
berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi obat. Tenaga
medis dengan TB yang mendapat pengobatan adekuat tidak
akan menularkan ke pekerja lain setelah pengobatan beberapa
minggu dan bila pengobatan yang dijalani secara lengkap
akan mengalami penyembuhan dan mencegah MDR-TB.6,9

KESIMPULAN
1. Tuberkulosis adalah salah satu masalah kesehatan di
tempat kerja khususnya di rumah sakit, munculnya
epidemi HIVdan MDRTB menyebabkan kasus ini muncul
kembali.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

2. Lingkungan rumah sakit dan pekerja it u sendiri


mempengaruhi penularan tuberkulosisnosokomial.
3. Pengendalian dan pencegahan infeksi TB adalah deteksi
dini penderita TB, pemberian pengobatan antituberkulosis
dan mencegah penularan.
4. Risiko penularan nosokomial tuberkulosisdapat dikurangi
dan dicegah dengan pengendalian infeksi, diagnosisdini,
pemberian t erapi secepat nya pada penderit a TB,
perlindungan dan prosedur kerja yang baik.
5. Pengobatan TB pada tempat kerja tidak berbeda dengan
pengobatan yang biasanya tetapi perlu diperhatikan juga
penyakit penyerta.

DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman
nasional : Penanggulangan tuberkulosis. Cetakan ke-2.
Jakarta: Depkes RI;2008.hal.8-14
2. Frieden TR, Sterling TR, Munsiff SS, Watt CJ, Dye C.
Tuberculosis. Lancet. 2003; 362:887-99.
3. Dye C, Scheele S, Dolin P, Pathana V, Raviglione MC.
Global burden of tuberculosis. JAMA. 1999;282:677-86.
4. World Health Organization. Guidelines for prevention of
tuberculosis in health care facilities in resource-limited
settings.Geneva,Switzerland:WHO.1999.(cited 2011
September 5);Available from: http://whqlibdoc.who.int/
hq/1999/WHO_TB_99.269.pdf
5. Glassroth J. Tuberculosis. In: Niederman MS, Sarosi GA,
Glassroth J, editors. Respiratory infections, 2nd edition.
Philadelphia: Lippincott William& Wilkins; 2001.p.475-86.
6. Jensen PA, Lambert LA, Iadermarco MF, Ridzon R.
Guidelines f or prevent ing t he t ransmission of
Mycobacterium tuberculosisin health-care setting, 2005.
MMWR Recomm Rep.2005;54:1-141.
7. Burge PS. Tuberculosis. In: Hendrick DJ, Burge PS,
Beckett WS, Churg A, editors. Occupational disorders of
the lung. Recognition, management and prevention.
London: WB Saunders;2002.p.257-63.
8. Comstock GW. Occupation and tuberculosis: Question
t hat need answer. Am J Respir Crit Care
Med.1996;154:553-4.
9. Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic
Society. Control and prevention of tuberculosis in the
Unit ed Kingdom: Code of pract ice 2000.
Thorax.2000;55:887-901.
10. Menzies D, Fanning A, Yuan L, Fitzgerald JM. Hospital
ventilation and risk for tuberculosisinfection in Canadian
health care workers. Ann Intern Med.2000;133:779-89.

34

11. McKenna MT, Hutton Marry, Cauthen G, Onorato. The


association between occupation and tuberculosis. Am J
Respir Crit Care Med.1996;154:587-93.
12.Menzies D, Fanning A, Yuan L, FitzGerald JM. Factors
associated with tuberculin conversion in Canadian
microbiology and pathology workers. Am J Respir Crit
Care Med.2003;167:599-602.
13.Raitio M, Tala E. Tuberculosisamong health care workers
during three recent decades. Eur Respir J. 2000;15:3047.
14.Bock NN, Jensen AP, Miller B, Nardel E. Tuberculosis
infection control in resources-limited setting in the era
of expanding HIV care and treatment. The Journal of
Infectious Diseases.2007;196:S10813
15.Departemnt of Health and Human Services. Center for
Disease Control and Prevention. TB facts for health
care workers 2006. Georgia. Atlanta.2006.(cited 2011
September 8); Available from: URL:http://
www.tpchd.org/files/library/9638ba2e8c3a090c.pdf.
16.Niosh Approved N95 Particulate Filtering Facepiece
Respirators.(cited 2011 September 5);Available from:
URL:http://www.cdc.gov/niosh/npptl/topics/
respirators/disp_part.html

35

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

Anda mungkin juga menyukai