Anda di halaman 1dari 19

ABSTRACT

Rhinitis merupakan masalah global dan didefinisikan sebagai adanya dari salah satu gejala
berikut: kongesti, rinore, bersin-bersin, hidung gatal, dan obstruksi hidung. Terdapat dua
klasifikasi utama rhinitis yaitu rhinitis alergi dan rhinitis non alergi (NAR). Rhinitis alergi
muncul ketika ada allergen sebagai pemicu timbulnya gejala pada hidung. NAR adalah ketika
obstruksi dan rinore terjadi kaitannya dengan pemicu non alergi non infeksi seperti perubahan
cuaca, paparan asap rokok, paparan bau yang tajam, perbedaan tekanan udara, dll. Bersamaan
dengan itu, untuk membedakannya dengan adanya penyakit alergi dapat ditetapkan dengan hasil
negatif pada skin prick test untuk alergen yang relevan dan/ negatif pada allergen spesifik
antibody test. Keduanya merupakan prevalensi tertinggi penyebab meningkatnya beban ekonomi
yang cukup signifikan dan juga penyebab menurunnya kualitas hidup pada masyarakat.
Pengobatan pada rhinitis allergen termasuk didalamnya yaitu mengindari paparan alergen,
antihitamin (oral dan intranasal), kortikosteroid intranasal, kromoglikat intranasal, antagonis
reseptor leukotrien, dan imunoterapi. Seringkali, kortikosteroid sistemik dan dekongestan (oral
dan topical) juga dipergunakan. NAR memiliki 8 subtipe utama yang termasuk didalamnya
rinopati non alergi (sebelumnya dikenal sebagai rhinitis vasomotor), rhinitis non alergi dengan
eosinofilia, rhinitis atrofi, rhinitis senile, gustatory rhinitis (a syndrome of food induced
rhinorrhea, drug induced rhinitis, hormone induced rhinitis, kebocoran cairan serebrospinal.
Pengobatan utama NAR adalah kortikosteroid intranasal. Antihistamin topical juga telah
diketahui dapat menjadi obat pilihan NAR. Antikolinergik topical seperti iprtroprium bromide
(0,03 %) nasal spray juga efektif untuk mengobati gejala rinore. Terapi tambahan yaitu termasuk
dekongestan dan nasal saline. Terapi yang masih diselidiki dalam pengobatan NAR yaitu
penggunaan capsaicin, silver nitrat, dan akupunktur.
Kata kunci: rhinitis alergi, rhinitis non alergi, kortikosteroid intranasal, imunoterapi, antihistamin
intranasal, antihistamin oral

RINITIS ALERGI
Definisi
Rhinitis didefinisikan sebagai adanya salah satu gejala berikut: kongesti, rinore, bersin-bersin,
hidung gatal, dan obstruksi hidung. Gejala lain yang dilaporkan yaitu adanya nyeri tenggorokan,
sakit kepala, nyeri pada wajah, otalgia, tenggorokan dan palatum gatal, mengorok, dan gangguan
tidur. Sebuah sistem tingkat keparahan telah dikembangkan menggunakan 7 point skala analog
visual yang termasuk di dalamnya bagian dari gejala hidung, gejala non hidung, dan efek akibat
pengobatan. Gejala rhinitis alergi timbul ketika dicetuskan oleh pajanan allergen. Rhinitis alergi
perennial (persisten) paling sering dihubungkan dengan tungau debu, spora jamur, dan ketombe
binatang sedangkan rhinitis alergi intermiten/seasonal sering dihubungkan dengan sejumlah
varietas serbuk bunga yang beragam berdasarkan daerah geografik.
Epidemiologi
Rhinitis alergi adalah kondisi yang paling lazim di seluruh dunia. Di Amerika Serikat,
terdapat 10-30% dari populasi umum dewasa dan lebih dari 40% adalah anak-anak. Jumlah
penderita mencapai 20-60 juta penduduk di Amerika Serikat dan prevalensi terus meningkat
dalam dekade terakhir, membuat penyakit ini menjadi penyakit kronis tersering ke-5 di Amerika
Serikat. Faktor risiko penyakit ini yaitu riwayat keluarga atopi, level IgE diatas 100
IU/mLsebelum usia 6 tahun, status ekonomi yang lebih tinggi, dan hasil positif pada tes allergen
epicutaneus. Namun, 44-87% dari pasien rhinitis mempunyai keluhan campuran alergi dan non
alergi rhinitis oleh satu dan lain sebab semua keluhan bersin-bersin tidak sepenuhnya
penyebabnya adalah alergi.
Ketika kebanyakan pasien lebih sering menganggap rhinitis sebagai suatu gejala
dibandingkan suatu penyakit, padahal penyakit ini meningkatkan beban ekonomi yang cukup
signifikan. Di Amerika Serikat, biaya langsung (jasa pelayanan dokter, diagnostik, obatobatan,dll) 2 kali lipat dari US$6. Satu juta di tahun 2000 hingga 11,2 juta US$ pada tahun 2005.
Di Eropa, diperkirakan di akhir 1990 mencapai 1.0-1.5 juta dikeluarkan untuk biaya medis
langsung. Sebagai tambahan, biaya tidak langsung (perjalanan visit dokter, penurunuan
produktivitas kerja, absen sekolah, dan orang tua kehilangan pekerjaan karena harus
mengantarkan anaknya, dll) juga harus dipertimbangkan. Di Amerika Serikat, terdapat 3,5 juta

hari kerja yang hilang dan 2 juta kehilangan hari sekolah untuk rhinitis alergi. Diperkirakan
penurunan produktivitas ini menyebabkan kehilangan sebesar 600 US$ per tahun, dimana
kehilangan ini lebih besar dari akibat penyakit asma, diabetes, dan penyakit jantung koroner.
Secara keseluruhan, penyakit rhinitis alergi merupakan penyakit kronis ke 5 yang paling mahal
di Amerika Serikat dengan 75% dari biaya penurunan produktivitas. Biaya tidak langsung di
Eropa diperkirakan lebih besar daripada biaya langsung sekitar 1.5-2.0 juta .
Patofisiologi
Sinyal seluler
Rinitis alergi adalah suatu penyakit yang dimediasi oleh IgE yang menyebabkan
inflamasi pada mukosa hidung. Pasien alergi memiliki allergen spesifik IgE yang lebih tinggi
pada mukosa hidung dibandingkan yang lain. Pelepasan histamin yang berasal dari granulasi sel
mast ialah mediator utama yang menyebabkan inflamasi pada rhinitis alergi. Peningkatan
eosinofil juga memainkan peranan penting. Respon Th2 sebagai akibat dari pelepasan mediator
IL 4 dan IL 5. Penelitian baru-baru ini ditemukan thymic stromal lymphopoietin (TSLP), IL-25
(atau IL-17E), dan IL-33 juga ikut terlibat dalam memediatori rhinitis alergi. Berbeda dengan
eosinofil yang memproduksi IL-5 dan granulocyte macrophage-colony stimulating factor (GMCSF), mereka mengabadikan pertahanannya sendiri. Setelah terpajan dengan allergen, rhinitis
dapat bertahan hingga beberapa minggu. Terdapat reaksi fase cepat dan reaksi fase lambat pada
rhinitis alergi. Kedua karakter ini ditandai dengan gejala yang sama, namun pada reaksi fase
lambat didominasi oleh kongesti hidung. Eosinofil melepaskan berbagai mendiator yang dapat
menginduksi kerusakan jaringan, dan pengobatan dengan glukokortikoid dapat mengurangi
infiltrasi eosinofil dan pelepasan sitokin.
Aspek neuronal
Keadaan saling mempengaruhi antara serat saraf sensoris dan motorik dari saraf simpatis
dan parasimpatis membantu pengaturan barrier mukosa dari epithelium hidung. Serabut A yang
memiliki myelin yang tipis mengantarkan sensasi nyeri dan dingin ke sistem saraf pusat. Lapisan
mukosa yang tebal menurunkan kemampuan neuron ini untuk merasakan udara yang melaluinya
yang berkontribusi terhadap sensasi obstruksi nasal dan dispnea. Ketika respetor menthol pada
saraf ini dirangsang, hasilnya akan mengirimkan sensasi palsu dari patensi nasal dan dispnea

berkurang. Setelah stimulasi awal cepat pada serabut A, aktivasi yang lebih lambat terjadi pada
serabut C yang tidak bermielin. Selain itu pada pajanan multipel allergen, serabut C dapat
dirangsang oleh nikotin, asap rokok, aldehid, formaldehid, isosianat, sulfurdioxide, dan bahan
racun lainnya. Capsaicin merupakan sebstansi alami yang terkandung di dalam jenis cabai yang
dapat menginduksi panas dan secara singkat mengaktifkan potensial reseptor dan ion channel
protein (TRPs). Sensasi yang menyengat yang ditimbulkan oleh capsaicin menyebabkan tonisitas
osmotic secara tiba-tiba mengalami perubahan pada permukan selularnya. Hal ini serupa yang
terjadi ketika serbuk kering dan partikel debu menempel pada mukosa yang berakibat efluks
cairan dari sel epitel,
Asetilkolin dikeluarkan dari serabut saraf parasimpatis yang mempengaruhi kelenjar dan
pembuluh darah pada mukosa pernafasan. Eosinofil menghambat dengan cara mengaktivasi pre
sinaps reseptor M2 muskarinik yang akan menurunkan umpan balik negative pada pelepasan
asetilkolin. Sebagai akibatnya terjadi peningkatan bronkokonstriksi dan sekresi kelenjar. Untuk
menyeimbangkan efek dari serabut saraf parasimpatis, saraf simpatis menginduksi vasokontriksi
pada epithelium. Stimulasi oleh reseptor -adrenergik dari dekongestan hidung (didiskusikan
dibawah) mengurangi ketebalan mukosa.
Nosiseptor serabut C menginervasi kelenjar dan pembuluh sub epithelial dalam. Serabut
C akan mengeluarkan substansi P yang akan menyebabkan peningkatan ekspresi dari E-selectin
dan VCAM pada sel endotel. Sebagai akibatnya terjadi peningkatan infiltrasi leukosit, yang
merupakan bagian kritis dari reaksi fase lambat dari rhinitis alergi. Menariknya, ketika substansi
P adalah yang mengatur pada individu alergi dan menyebabkan peningkatan level mRNA dari
IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, TNF, dan -interferon sedangkan pada individu non alergi
hanya IL-6 dan mRNA IL-6. Berbagai bentuk neuron juga memainkan peran pada subjek alergi.
Hal ini terjadi ketika stimulasi persisten dari alergen meningkatkan sensitivitas neuron terkait
untuk berdepolarisasi. Neuron pada individu alergi akan terdepolarisasi apabila terdapatnya
bradikinin dan endotelin, sedangkan substansi ini tidak akan menginduksi respon apapun pada
individu non alergi.
Oleh karena sulitnya melokalisasi sensasi visceral dibandingkan peripheral, aktivasi dari
serabut saraf yang berada di jaringan yang lebih dalam kadang menghasilkan nyeri alih. Nyeri
kepala sinus merupakan contoh yang paling sering. Stimulasi bahan beracun pada konka inferior

akan menyebabkan nyeri pada gigi maksila, zygoma (daerah pipi), dan mata. Konka media nyeri
alih pada pelipis, zygoma, kantus medialis, dan dahi.
Genetik
Kembar monozigot menunjukkan angka kejadian 45-60% perkembangan rhinitis alergi,
dan kembar dizigotik sebesar 25%. Point pada data ini adalah kemungkinan hubungan pada
genetika. Meskipun demikian, penelitian tentang genetika pada rhinitis alergi masih kurang, dan
penelitian saat ini masih merupakan pendahuluan. Kromosom 3 memiliki 3 tempat yang
berkaitan dengan rhinitis alergi, yaitu 3q13, 3q13.31, dan 3p24. Keterkaitan lainnya yaitu pada
kromosom 4 yaitu pada 4q24-q27. Beberapa single nucleotide polymorphisms (SNPs) mencakup
GATA3 dan IL-13. HLA haplotipe spesifik berhubungan dengan respon alergi pada partikel
alergi. Hal ini bukan merupakan hubungan biasa karena keterkaitannya HLA dalam
mempresentasikan antigen pada sel T. terdapat bukti lain hubungan genetic dari sel T reseptor
(TCR) chain dan tingginya afinitas reseptor IgE FcRI dengan meningkatnya alergi. Kandidat
gen lain untuk investigasi lebih jauh yang berkaitan dengan produksi IgE yaitu IL-4, IL-5, dan
IL-13.
Pengobatan
Pencegahan
Oleh karena rhinitis alergi diinduksi oleh allergen spesifik, sehingga menghindari pemicu
alergi tersebut merupakan pengobatan yang paling efektif. Meskipun demikian, tidak
mmemungkinkan apabila dalam keadaan alergi terhadap serbuk dan pada pasien dengan rhinitis
campuran yaitu rhinitis alergi dan non alergi, penghindaran tidak sepenuhnya mengurangi gejala.
Beberapa allergen dapat dan seharusnya dapat dicegah bergantung dengan beratnya rhinitis
sehubungan dengan tingginya allergen yang berada pada lingkungan. Tindakan pencegahan
terlebih dahulu pada tungau debu. Penggantian karpet, membereskan mainan dari tempat tidur,
menggunakan impermiabel bedcover untuk kasur dan bantal, membersihkan dengan high
efficiency particulate air (HEPA) filter, dan mencuci sprei dan selimut pada air panas (60C)
akan membantu. Setiap langkah ini meningkatkan manfaat , dan pasien harus lebih berani untuk
menggunakan multipel intervensi. Untuk alergi pada bulu binatang, idealnya, pemindahan
binatang dari rumah merupakan tindakan terbaik dibandingkan harus membersihkan karpet,

furniture, dan kasur. Itu akan membersihkan epitel kulit (ketombe) kucing atau mengambil 20
minggu untuk mengangkat jumlah ketombe kucing hingga rumah bebas dari ketombe kucing.
Mengisolasi binatang peliharaan pada ruangan tertentu dengan HEPA filter merupakan pilihan
terbaik kedua. Penelitian tidak konsisten soal manfaat memandikan kucing secara teratur,
mensterilkan kucing dan anjing meningkatkan level allergen utama di rumah, berturut-turut yaitu
Fel d 1 dan Can f 1. Memiliki lebih sedikit peliharaan semakin sedikit pula jumlah ketombe
binatang yang berada di rumah. Menariknya, membiarkan binatang peliharaan di luar rumah
tidak mengurangi jumlah Fel d 1, berbeda halnya dengan menaruh anjing pada rumah anjing
diluar berhubungan dengan menurunnya jumlah Can f 1 yang ditemukan di dalam tempat tidur.
Kontrol kelembaban lingkungan dapat meningkatkan jumlah jamur. Menggunakan pestisida dan
secara seksama mengontrol jumlah sisa makanan dapat menurunkan jumlah kecoa pada
lingkungan sebagai allergen. Meskipun demikian, mencapai 6 bulan untuk menghilangkan sisasisa allergen kecoa.
Antihistamin
Histamine merupakan antagonis reseptor H1 yang merupakan neuron yang memproduksi
sensasi gatal. Reseptor ini menyebabkan bersin-bersin, pasien menggosok-gosok hidung, dan
allergic salute. H1 antihistamin merupakan kebalikan dari agonis, H1 antagonis menggabungkan
dan menstabilkan reseptor H1 menjadi keadaan yang tidak aktif. Generasi terbaru dari anti
histamine yanitu anti histamine generasi 2 mempunyai efek sebagai antiinflamasi dan anti
alaergi.
Generasi pertama antihistamin contohnya adalah difenhidramin, klorfeniramin,
bromfeniramin, dan hidroksizin atau lebih sering diketahui sebagai antihistamin sedasi. Obat ini
efektif untuk mengontrol rinore, bersin-bersin, dan gatal-gatal yang berkaitan dengan rhinitis
alergi. Sayangnya, obat ini dapat menembus sawar darah otak yang menyebabkan depresi pada
sistem saraf pusat, ngantuk yang menyebabkan kesulitan untuk bekerja di rumah, kantor, dan
sekolah, dan juga menyebabkan kardiotoksisitas. Tidak terdapat penelitian jangka panjang pada
antihistamin generasi pertama. Obat ini memiliki selektivitas yang buruk pada reseptor H1 dan
menyebabkan teraktivasinya reseptor muskarinik yang menyebabkan efek antikolinergik yaitu
mulut kering, retensi urin, konstipasi, dan takikardi.antihistamin generasi kedua mulai
dikembangkan pada awal tahun 1980an, obat ini memiliki selektivitas yang lebih baik pada

reseptor H1, tidak adanya atau menurunnya efek sedasi, onset yang lebih cepat dan duration of
action yang lebih panjang dan lebih sedikitnya efek samping yang ditimbulkan. Waktu paruh
yang lebih lama (12-24 jam) dibandingkan dengan antihistamin generasi pertama (4-12 jam).
Pada obat antihistamin generasi 2, fexofenadine, tidak memiliki efek sedative meskipun pada
dosis yang lebih tinggi dari yang direkomendasikan. Loratadine dan desloratadine menyebabkan
non sedasi pada dosis yang direkomendasikan namun pada dosis yang lebih tinggi dapat
menimbulkan sedasi. Cetirizine dan enantiomer murninya yaitu levocetirizin, memiliki potensial
sedasi yang lebih besar dibandingkan antihistamin generasi kedua lainnya. Semua gejala rhinitis,
kecuali obstruksi, dapat dikurangi dengan menggunakan antihistamin H1, dan tidak ada yang
lebih superior pada antihistamin generasi kedua pada satu sama lain.
AntihistaminH1 topikal (azelastin, olopatadine) menyediakan onset yang lebih cepat
(kurang dari 15 menit) dibandingkan efikasinya pada penggunaan oral pada rhinitis dan
konjungtivitis. Terdapatnya keterkaitan terhadap peningkatan kongesti hidung. Meskipun begitu,
hasilnya terbatas pada efek organ local, dan penggunaannya dua kali sehari mempertahankan
respon. Sedangkan antagonisH1 oral generasi kedua hanya dapat diberikan sekali sehari.
Beberapa pasien dapat mengeluhkan rasa pahit di mulut, dan intranasal H1 antagonist kurang
efektif bila dibandingkan intranasal steroid. Pada percobaan perbandingan langsung antara
azelastine nasal spray dengan cetirizin oral, ditemukan bahwa azelastine memiliki nilai
signifikasi yang lebih tinggi terhadap beberapa gejala hidung yaitu bersin-bersin dan kongesti
hidung dibandingkan cetirizin.
Steroid
Sebagai tambahan dari antihistamin H1, kortikosteroid intranasal merupakan sandaran
utama pengobatan. Kortikosteroid intranasal merupakan pengobatan paling efektif untuk
mengontrol semua gejala rhinitis. Awal mula kerjanya 3-12 jam. Obat ini digunakan bila
diperlukan dan tidak seefektif penggunaan kontinu namun tidak dianjurkan penggunaan jangka
panjang pada semua pasien. Pada umumnya obat-obatan ini tergolong aman dan hanya sedikit
bukti yang menyebutkan supresi pada axis hypothalamus-pituitary-adrenal pada penggunaan
jangka lama. Efek samping biasanya tergolong ringan (keras/kaku, kering, dan epistaksis ringan).
Hal ini dapat dikurangi pada penggunaan yang baik menggunakan nasal spray. Pada pasien yang

gejalanya tidak dapat dikontrol secara optimal menggunakan steroid intranasal dapat
ditambahkan antihistamin intanasal (bukan oral) untuk menambahkan manfaat.
Kortikosteroid sistemik harus dipertimbangkan sebagai akhir dari pilihan, namun obat ini
sangat penting digunakan pada keadaan yang berat atau yang sulit ditangani. Apabila obat ini
digunakan, maka sediaan oral lebih baik dibandingkan parenteral karena risiko yang lebih rendah
pada efek samping sistemik dan kemampuan untuk menyesuaikan. Steroid tidak boleh disuntikan
pada daerah konka. Rekomendasi pada penggunaan steroid oral jangka pendek berbeda-beda dari
5-7 hari hingga tidak lebih dari 3 minggu.
Dekongestan
Dekongestan juga tersedia dalam bentuk oral maupun topical. Obat ini efektif untuk
meringankan kongesti. Meskipun begitu, penelitian pada kombinasi antihistaminH1 dengan
dekongestan oral gagal untuk menunjukkan peningkatan manfaat dibandingkan bila diberikan
sendiri-sendiri. Efek sampingnya termasuk insomnia, anoreksia, iritabilitas, dan terkadang
peningkatan tekanan darah. Dekongestan oral harus dihindari pada anak-anak usia kurang dari 1
tahun, dewasa yang lebih dari 60 tahun, dan pasien-pasien dengan gangguan jantung. Efek
samping utama dari dekongestan oral adalah timbulnya rhinitis medikamentosa yang dapat
muncul pada beberapa pasien setelah 3 hari penggunaan atau tidak semua pasien setelah
penggunaan lebih dari 6 minggu. Pedoman European merekomendasikan penggunaan
maksimum 10 hari.
Kromones
Formula intranasal kromolin dan nedokromil telah digunakan untuk mengobati rhinitis
alergi namun kurang efektif bila dibandingkan kortikosteroid topical. Dan juga kurang efektif
bila dibandingkan antihistamin topical, namun perbadingan yang adekuat belum dapat
ditunjukkan. Meskipun mekanisme tetap nya tidak diketahui, obat ini bekerja utama dengan
menghambat aktivasi sel mast. Penelitian menunjukkan bahwa nedokromil menghambat netrofil,
eosinofil, monosit, dan juga makrofag. Serta adanya efek inhibitorik pada sinyal neuron pada
rhinitis alergi. Secara keseluruhan, obat ini aman dengan efek samping minimal hingga tidak ada
efek samping.

Obat-obatan lainnya
Antikolinergik ipratropium bromide tersedia dalam bentuk intranasal dan memblok sinyal
parasimpatik yang akan menyebabkan rinore encer, dan juga terbukti efektif untuk mengontrol
gejala particular. Terdapat sedikit atau tidak ada efek samping. Pedoman resmi menyebutkan
tidak dapat menurunkan bersin-bersin atau obstruksi nasal, namun suatu penelitian pada anakanak menunjukkan peningkatan penghambatan terjadinya rinore, kongesti, dan bersin-bersin
meskipun derajatnya lebih rendah daripada steroid intranasal.
Antagonis reseptor leukotrien menunjukkan lebih efektif dalam mengontrol rhinitis
alergi, dan lebih juga lebih efektif dibandingkan antihistamin oral. Setelah 2 minggu terapi,
montelukast secara progresif menurunkan gejala, namun tetap lebih rendah dibandingkan
pemberian intranasal fluticason. Pada pasien yang gejalanya tidak dapat dikontrol dengan
kortikosteroid intranasal menambahkan montelukast tidak menambah manfaat lebih jauh.
Anti-IgE antibody omalizumab mungkin lebih efektif, namun tidak ada penunjuk ini
superior pada pengobatan rhinitis alergi saat ini. Sebagai tambahan, batasan harga digunakan
juga sebagai standar pengobatan.
Secara keseluruhan, kortikosteroid intranasal terlihat paling efektif dalam mengontrol
gejala hidung. Selanjutnya yang paling efektif adalah oral dan intranasal antihistamin. Meskipun
begitu sulit membedakan tingkatan pengobatan karena kurangnya data seragam yang cukup.
Contohnya, penelitian pada antihistamin tidak memasukan kongesti hidung pada penilaian
komponen gejala karena tidak diperkirakan danpat meningkatkan gejala ini. Terdapat perbedaan
antara intermiten dan persisten rhinitis alergi, antihistamin oral akan sama efektifnya pada steroid
intranasal. Sebagai tambahan, terdapat berbagai respon untuk mengobati masing-masing
individual. Tabel 1 menyajikan daftar efektivitas dari pengobatan yang berbeda-beda dalam
mengontrol rhinitis alergi.
Imunoterapi
Imunoterapi subkutan telah menunjukkan efektivitasnya dalam mengobati rhinitis alergi
pada pasien dengan gejala yang dicetuskan dan di mediatori IgE. Terdapat beberapa manfaat
pada pengobatan yang telah disebutkan diatas. Efek mungkin bertahan bertahun-tahun, dan dapat

mencegah perkembangan sensitivitas terhadap allergen baru bahkan asma. Imunoterapi bukan
hanya efektif untuk kontrol rhinitis alergi saja tapi juga konjungtivitis alergi dan elrgi yang
menginduksi asma. Meskipun begitu, imunoterapi hanya dimanfaatkan pada 2-3 juta individu
dari 55 juta orang dengan penyakit alergi di Amerika Serikat. Terutama yang memiliki allergen
spesifik pada allergen inhalan, seperti pada serbuk sari, ketombe binatang, dan tungau debu.
Reaksi local luas pada daerah injeksi merupakan reaksi yang paling sering. Risiko reaksi
sistemik berat selama imunoterapi subkutan jarang terjadi namun ada sekitar 1% yang menerima
imunoterapi standar. Angka kejadian fatal terjadi pada rerata 5,4 per sejuta injeksi. Tingginya
kadar serbuk sari dan dosis yang keliru merupakan 2 risiko utama untuk reaksi tersebut.
Disarankan untuk pasien yang mendapatkan suntikan imunoterapi dilakukan oleh staf yang
terlatih mengatasi anafilaksis, dan pasien kemudian di observasi selama 30 menit setelah injeksi.
Kerugian lain termasuk ketidaknyamanan injeksi, frekuensi kunjungan untuk injeksi, dan total
biaya. Meskipun begitu, imunoterapi adalah satu-satunya pengobatan yang dapat memodifikasi
penyakit. Ketika biaya langsung dalam pengobatan rhinitis alergi dibandingkan dengan
imunoterapi, hasil keduanya sama. Ketika biaya tidak langsung dimasukan, imunoterapi bahkan
lebih ekonomis.
Secara subkutan adalah cara yang paling sering digunakan untuk imunoterapi, namun
imunoterapi sublingual juga dapat digunakan. Imunoterapi sublingual (SLIT) dilaporkan
menyebabkan gatal di mulut dan efek samping pada gastrointestinal, di kebanyakan penelitian
rerata ini sama yang diamati pada placebo arm. Masih kurangnya standarisasi pada imunoterapi
sublingual, dan belum disetujuinya imunoterapi sublinguala pada Food and Drug Administration
of United State. Keuntungan imunoterapi sublingual termasuk rendahnya risiko anafilaksis, dan
kemampuan untuk memulai terapi pada dosis maintenance tanpa fase build-up.

Meskipun

anafilaksis tidak dikatakan pada penelitian menganai SLIT, namun terdapat laporan kasus
mengenai anafilaksis yang terjadi selama pengobatan dengan dosis pertama. SLIT tidak banyak
dikenal dibandingkan SCIT, investigasi lebih jauh diperlukan untuk meneliti dosis optimal dan
seleksi pasien.
Sebuah meta analisis pada januari 2010 meninjau 20 tahun terakhir penelitian tentang
SLIT. Sembilan belas penelitian dari total penelitian 2.917 subjek. SLIT ditemukan dapat
meningkatkan kedua nilai gejala dan pengobatan rhinitis alergi. Minimal dosis antigen 450 g

per treatment sangat penting dan menggunakan dosis yang lebih tinggi dapat meningkatkan
manfaat. Pada analisis subgroup, SLIT kurang efektif pada anak-anak dibandingkan dewasa.
Kesimpulan ini membingungkan dengan fakta berupa penelitian pada pediatric menunjukkan
secara statistic manfaat yang signifikan menggunakan dosis 600 g. selama pembahasan ini
meta-analisis menunjukkan bahwa SLIT dalam bentuk tablet lebih efektif dibandingkan tetes
dalam mengurangi penilaian gejala yang mana perbedaan ini kebanyakan diketahui pada
penelitian pediatric dimana tetes diberikan dengan dosis yang lebih rendah daripada tablet.
Sebagai tambahan, beberapa penelitian pediatric allergen tidak termasuk rumput. Berkenaan
dengan kesimpulan yang lain yaitu SLIT lebih efektif ketika diberikan pada 12 bulan atau kurang
dari setahun, SLIT kurang efektif untuk kontrol rhinitis pada allergic asthmatics dibandingkan
dengan subjek tanpa alergi asma, dan yang lebih penting memulai pengobatan dengan SLIT
dengan inisiasi minimal kurang dari 3 bulan sebelum musim semi akan lebih optimal.

RINITIS NON ALERGI


Definisi
Rhinitis non alergi umumnya dideskripsikan sebagai gejala hidung kronik, seperti
obstruksi dan rinore yanga terjadi berkaitan dengan pemicu non alergi dan non infeksi seperti
perubahan cuaca, paparan terhadap bau yang tajam atau asap rokok, perubahan tekanan
barometric, dll. Gejala tersebut hamper sama dengan rhinitis alergi, dapat dibedakan dengan hasil
negatif pada skin prick test untuk allergen relevan dan/atau negative allergen-specific antibody
test. Istilah vasomotor kadang digunakan keterkaitannya pada neural, kelenjar, dan jalur vascular;
meskipun begitu, istilah ini menyesatkan karena menyiratkan kepahaman yang sebenarnya
tentang patofisiologi utama dari penyakit yang belum dengan pasti dipaparkan.

Pada Desember 2008, konferensi meja bundar yang mana termasuk di dalamnya 8 dokter
pada konvensi rhinitis untuk menyebarkan consensus pada definisi klinis dari rhinitis vasomotor
non alergi dan untuk mengembangkan criteria inklusi dan eksklusi yang lebih tepat untuk
pendaftaran subjek pada studi klinis di masa depan. Pada NAR Consensus Panel Proceedings,
terdapat sedikitnya 8 subtipe yang memenuhi criteria untuk NAR (Tabel 2). Rhinopati alergi
(yang sebelumnya dikenal sebagai rhinitis vasomotor) bagian besar dari NAR. Terdapat berbagai
macam grup pasien yang memiliki gejala hidung kronik dengan sedikit eosinofilia hidung dan
etiologi yang tidak disebabkan baik imunologik maupun infeksi. NAR dengan eosinofilia
ditandai oleh pasien yang memiliki gejala hidung tahunan namun eosinofil ditemukan pada
hapusan hidung walaupun tidak mempunyai hasil positif pada skin test dan/atau IgE spesifik di
dalam serum. Rhinitis atrofi, sama seperti namanya menunjuk pada kondisi kronik dimana
terdapat progresifitas mukosa hidung yang atrofi dengan permukaan yang keras dan kering
sebagai bentuk yang menonjol. Tipikalnya tidak dimediasi oleh reaksi inflamasi. Rhinitis senile
terjadi paling sering pada orang tua, ditandai kebanyakan dengan rinore encer yang memberat
dengan makanan atau oleh iritan lingkungan. Rhinitis gustatory terjadi setelah makan, terutama
makanan yang panas atau pedas. Rhinitis medikamentosa termasuk di dalamnya rhinitis yang
diinduksi obat, terdapat berbagai macam obat yang memiliki keterlibatan sebagai penyebab
kongesti hidung kronis. Rhinitis medikamentosa paling sering terjadi setelah penggunaan
berulang dekongestan hidung topical seperti oksimetazolin atau fenilephrine. Rhinitis yang
diinduksi hormone menunjuk pada kongesti dan gejala hidung yang terjadi sebagai respon
hormone wanita endogen, seperti yang terlihat pada kehamilan. Kebocoran cairan cerebrospinal
harus dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat trauma kranio-fasial atau operasi wajah di
masa lalu yang persisten, dan rinore yang jernih.

Epidemiologi
Prevalensi yang lebih tepat dan dampak dari NAR tidak setenar dan tidak banyak
diketahui seperti rhinitis alergi. Diperkirakan NAR mengenai 19-20 juta pasien di Amerika
Serikat, dengan rhinitis alergi sebagi bentuk yang paling sering. Studi European mengevaluasi
prevalensi NAR dan ditemukan kira-kara hamper 1:4 pasien dengan keluhan gejala hidung
memiliki pure NAR dan diperkirakan 50 juta penduduk Eropa mempunyai NAR, dengan total
prevalensi lebih dari 200 juta di seluruh dunia.
Dengan banyaknya subtype penyakit, beban ekonomi NAR tampaknya dalam jumlah
besar diremehkan. Schatz et al, rekam medis yang ditinjau lebih dari 1 juta pasien tercatat dalam
program Kaiser Permanente Southern California Medical Care pada tahun 2002-2005 dan
ditemukan 15% setidaknya ditemukan dengan diagnosis. 14 % lainnya mendapatkan pengobatan
rhinitis dengan tidak ditemukannya catatan medis. Mereka juga menemuka pasien dari grup yang
14% lebih banyak visit helath care per tahun untuk asma (2-4 kali lebih banyak), sinusitis akut
(6-8 kali lebih banyak) dan diagnose lain (kebanyakan 2 kali lebih banyak). Mereka juga
menemukan bahwa pasien dengan rhinitis atau diobati untuk rhinitis memiliki prevalensi yang
lebih tinggi terhadap penyakit komorbid seperti asma, akut dan kronik sinusitis, polip hidung,
konjungtivitis, otitis media akut, otitis media serosa kronik, sleep apnea, dan malaise. Dilihat dari
demografi pasien, pasien dengan NAR mengenai usia yang lebih tua, usia rata-rata 42,6-35,8 dan
lebih sering pada pasien wanita dibandingkan pasien yang didiagnosis rhinitis alergi.

Pentingnya pengobatan
Menurut Ledford pada symposium dalam memperkirakan pengendalian diagnose NAR
yang tidak adekuat, pasien secara empiris diobati dengan antihistamin generasi kedua, yang
mana terkadang tidak cukup efektif menyembuhkan gejala NAR. Akibatnya pasien
mengobatinya berkali-kali penggunaan medis dan juga medical care. Mereka harus berkali-kali
mengunjungi dokter, menebus obat, dan kehilangan waktu pekerjaan mereka yang mengurangi
kualitas hidup mereka. Selain itu, penurunan kualitas hidup ini, rhinitis yang tidak diobati dapat
meningkatkan kondisi risiko komorbid seperti obstructive sleep apnea, malaise, sakit kepala,
mudah lelah, penurunan nafsu makan, dan kelemahan. Efek ini tidak hanya terbatas pada
berkurangnya performa pada dewasa namun juga menyebabkan gangguan belajar, perilaku, dan
psikologis pada anak-anak. Anak-anak juga berisiko terkena dampak perubahan wajah,
retrognathic maxilla dan mandibula, serta maloklusi gigi dari obstruksi nafas.
Dampak yang lebih besar dari dampak fisik dan emosional yaitu beban ekonomi dari
diagnose dan pengobatan yang tidak lengkap. Bukti saat ini menunjukkan bahwa asma dan
rhinitis terkadang berdampingan pada pasien atopi dan non atopi dan pengobatan efektif rhinitis
seringkali meningkatkan asma.
Pengobatan
Pencegahan
Pencegahan dari lingkungan pencetus seperti bau yang tajam (parfum, sabun, cat, dll)dan
polusi udara (asap rokok, asap tembakau) yang menyebabkan iritasi saluran nafas yang
ditemukan dapat memperburuk gejala rhinitis.

Antihistamin
Antihistamin generasi kedua tidak seefektif dalam pengobatan NAR, meski antihistamin
oral generasi pertama mungkin bermanfaat pada aktivitas antikolinergik. Antihistamin topical di
sisi lain yang paling efektif dari semua pengobatan NAR. Dari 2 antihistamin topical yang
beredar di pasar Amerika Serikat (Azelastin dan olopatadin), azelastin satu-satunya yang

ditemukan paling efektif untuk NAR. Banov dan Lieberman mengevaluasi efikasi dari azelastin
nasal spray pada pasien dengan rhinitis non alergi vasomotor multisenter, randomisasi,
percobaan kontrol placebo dan menemukan peningkatan signifikan dari total penilaian gejala
rhinitis (TVRSS) pada pasien yang menerima azelastin (2 kali semprot per hari, 1,1 mg)
dibandingkan placebo. Pada label terbuka, 2 minggu penelitian dengan azelastin 2 kali semprot
per hidung 2 kali seharipada pasien rhinitis alergi, rhinitis campuran, dan rhinitis vasomotor non
alergi ditemukan azelastin mengalami peningkatan dalam mengontrol semua gejala rhinitis
termasuk kongesti hidung, bersin-bersin, dan kesulitan tidur. Sebelumnya pasien mengeluhkan
rasa logam setelah penyemprotan dengan menggunakan azelastin dan hilang dengan sendirinya
sepanjang waktu.
Steroid
Kortikosteroid intranasal telah diketahui efektif pada rhinitis non-alergi, terutama di
rhinitis vasomotor dan NAR. Fluticasone propionate dan bechlometasone adalah satu-satunya
kortikosteroid topikal disetujui oleh FDA di Amerika Serikat sebagai terapi NAR. Secara klinis,
hal itu tidak berbeda dengan steroid intranasal yang tersedia pada saat ini. Umumnya dosis dua
kali sehari dan pasien harus diberitahu bahwa mungkin diperlukan 24 sampai 72 jam sebelum
gejala mulai untuk membaik meskipun onset tindakan dikatakan 3-12 hours. Secara acak,
double-blind, uji plasebo-terkontrol pada 983 pasien dengan rinitis non-alergi perenial dilakukan
oleh Webb dkk., pasien mendapat fluticasone propionate 200 mcg, 400 mcg atau plasebo selama
28 hari. Titik akhir primer adalah perubahan rata-rata total skor gejala nasal (TNSS), yang
merupakan jumlah dari peringkat pasien obstruksi hidung, postnasal drip, dan rinorea. Pasien
yang ditemukan memiliki NAR walau mereka tidak tahu, menunjukkan perbaikan yang
signifikan secara statistik pada kedua dosis fluticasone propionate dibandingkan dengan placebo.
Namun, ada kelompok pasien NAR yang gagal untuk merespon kortikosteroid intranasal dan
studi lebih lanjut diperlukan pada pasien yang tidak menanggapi.
Dekongestan
Saat ini tidak ada penelitian spesifik yang melihat efektivitas dari dekongestan oral dalam
pengobatan NAR. Dengan demikian, mereka harus dipertimbangkan sebagai terapi tambahan,

yang digunakan pada dasar sumbatan hidung yang tidak responsif terhadap kortikosteroid
intranasal, antihistamin topikal, atau kombinasi dari keduanya.
Antikolinergik
Satu-satunya obat antikolinergik topikal yang disetujui di Amerika Serikat sebagai
aplikasi topikal adalah ipratropium bromida. Ipatropium Bromide (0,03%) semprot hidung
dianjurkan ketika rhinore adalah gejala dominan atau satu-satunya, seperti dalam kasus rhinitis
gustatory. Dari parameter praktek rhinitis terbaru,

menunjukkan penggunaannya dalam

kombinasi dengan kortikosteroid intranasal lebih efektif daripada obat tunggal pada pengobatan
rhinore. Ini bukan hanya efektif, tapi aman juga karena tidak ada peningkatan kejadian yang
merugikan.
Nasal saline
Lavage nasal dengan larutan saline juga diketahui membantu sebagai terapi tunggal atau
sebagai tambahan pada pasien dengan rhinorea kronis dan rhinosinusitis. Hal ini sebaiknya
dilakukan secepatnya sebelum intranasal kortikosteroid atau azelastine dan mungkin secara
khusus sangat membantu mengurangi postnasal drip, bersin, dan sumbatan. Sebuah tinjauan
2007 Database Cochrane menemukan 8 uji acak terkontrol dimana saline dievaluasi
dibandingkan dengan yang tanpa pengobatan, plasebo, sebagai tambahan untuk perawatan lain
atau terhadap perawatan. Kesimpulan akhir menunjukkan bahwa irigasi saline cukup ditoleransi
dengan efek samping obat yang minim yang dapat terjadi pada terapi tambahan rhinosinusitis
kronis. Dalam, percobaan prospektif terkontrol secara acak pada 121 orang dewasa dengan gejala
hidung dan sinus yang kronis, Pynnonen dkk., menentukan apakah irigasi hidung dengan natrium
klorida isotonik dengan volume yang besar dan tekanan positif rendah lebih efektif daripada
semprotan salinenuntuk meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi penggunaan obat-obatan.
Hasil utama yang diukur adalah menentukan perubahan ukuran keparahan gejala dengan ratarata 20-item Skort Tes Hasil Sino-Nasal (SNOT-20), penggunaan obat, dan frekuensi gejala.
Hasil yang tampak pada 3 titik waktu yang berbeda (minggu 2, 4, dan 8). Volume yang tinggi,
kelompok tekanan positif rendah memiliki skor SNOR-20 yang lebih rendah yang dilaporkan
pada semua titik waktu. Mereka juga memiliki frekuensi yang lebih rendah dari "sering atau
selalu" gejala hidung yang dilaporkan dibandingkan dengan kelompok semprot (40% dari subyek

dibandingkan 61%). Sebuah perbedaan yang signifikan tidak ditemukan pada penggunaan
pengobatan sinus di kedua kelompok.
Mekanisme yang tepat tentang bagaimana saline sangat membantu dalam rhinitis alergi dan
rinosinusitis belum dikonfirmasi tetapi diduga bahwa mungkin meningkatkan pengeluaran
mukus; membuang antigen, mediator inflamasi, atau biofilm; meningkatkan kerusakan silia; dan
melindungi mukosa hidung. Efek samping dari penggunaan biasanya ringan dan terdiri dari rasa
terbakar, iritasi, dan mual. Tidak ada konsensus mengenai metode pengiriman, volume yang
digunakan, rasio isotonik untuk hipertonik, atau frekuensi.
Terapi Investigasional
1. Capsaicin
Capsaicin adalah senyawa kimia yang larut dalam minyak Capsicum, merica pada
awalnya mengiritasi daerah yang diterapi, namun akhirnya mendensitisasi serat saraf
sensorik. Telah digunakan intranasal untuk mencoba dan mengurangi hiperaktivitas yang
bertanggung jawab atas rhinorea, bersin, dan sumbatan. Sebuah penelitian plaseboterkontrol menggunakan capsaicin intranasal pada pasien non-alergi, rhinitis perenial
non-infeksius menunjukkan penurunan jangka panjang yang signifikan pada skala analog
visual (VAS) skor pada kelompok pengobatan tetapi tidak ada perbedaan penentukan
secara objektif inflamasi seperti konsentrasi leukotrien C4 / D4 / E4, prostaglandin D2,
dan tryptase.
2. Perak Nitrat
Pemberian perak nitrat topikal diketahui efektif pada uji perbandingan perak nitrat,
flunisolide, dan plasebo pasien-dengan NAR. Perbaikan ditemukan pada pasien yang
dilaporkan rhinorea, bersin dan sumbatan hidung. Dua studi prospektif pada pasien
dengan rhinitis vasomotor juga menemukan peningkatan signifikan gejala nasal.
3. Akupuntur
Berdasarkan ulasan sistematis dan mengenai pengobatan komplementer dan alternatif
rhinitis dan asma yang dipublikasikan pada Jurnal Alergi dan Imunologi Klinis pada
tahun 2006, mayoritas studi tentang akupuntur pada alergi dan tidak secara acak,
terkontrol, atau dekriptif. Terdapat 1 penelitian yang tidak acak pada NAR yang
menunjukkan tidak terdapat perbedaan pada laju udara dan gejala antara akupuntur dan
elektrostimulasi. Bagaimanapun, tahun 2009, sebuah penelitian plasebo acak terkontrol

yang sudah dipublikasikan menunjukkan perubahan nilai kesakitan nasal yang signifikan
(NSS maks 27 poin) pada pasien rhinitis vasomotor yang diterapi dengan yang mendapat
terapi akupuntur laser. Pada grup terapi NSS meningkat dari 9,3 3,89-4,1 3,2 (P
<0,001) sementara kelompok sham NSS turun dari 5,6 2,74-3,7 2.4.45.
Operasi
Setelah 6-12 bulan gagal terapi (kortikosteroid intranasal dengan azelastine atau dekongestan
atau Ipratropium bromide) maka operasi mungkin dapat menjadi pilihan. Operasi juga dapat
diindikasikan bila pasien memiliki faktor penyulit seperti obstruksi nasal karena deviasi septum
yang berat atau hipertrofi dinding inferior, hipertrofi adenoid atau sinusitis refraktorius.
Kesamaan dan perbedaan terapi pada rinitis alergi dan non-alergi terdapat pada Tabel 3.

Kesimpulan
Rhinitis adalah penyakit umum yang ada di seluruh dunia dan menyebabkan efek yang sangat
mempengaruhi kualitas hidup pasien, dapat menyebabkan banyak penyulit, dan merupakan
beban ekonomi yang cukup besar . Sangat penting untuk mengetahui bahwa mayoritas pasien
rhinitis mengalami pemicu non-alergi yang signifikan dan dengan demikian dapat non- alergi

atau campuran (alergi dan non-alergi) rhinitis. Sebuah perbaikan kriteria konsensus dalam
menentukan subtipe rhinitis sangat penting. Hal ini membantu mengetahui lebih baik prevalensi
dan epidemiologi rhinitis subtipe kronis dan memilih populasi penelitian dengan tepat untuk
mengetahui mekanisme dan terapi spesifik pada penyakit ini.

Anda mungkin juga menyukai