Anda di halaman 1dari 5

FATWA KIBARUL ULAMA KERAJAAN SAUDI ARABIA UNTUK KAUM YANG

MENGKLAIM DIRINYA SALAFIYYUN


(Diterjemahkan dari kitab Kasyfu al Haqaa-iq al Khafiyah inda Muddaiy as
Salafiyyah/Menyingkap Realita Tersembunyi pada kelompok Yang mengaku sebagai Salafiyah,
karya Syaikh Mutib bin Sarayan al Ashimiy. Penerbit Maktabah al Malik Fahd al Wathaniyah,
Mekkah al Mukarramah 1425H)
Edisi kali ini akan kami tampilkan fatwa dan nasihat para ulama besar di Kerajaan Saudi Arabia
untuk mereka yang menamakan dirinya salafi. Fatwa ini lahir karena kegelisahan dan
keprihatinan para ulama tersebut atas realita yang menodai citra dawah Islamiyah yang
seharusnya rahmah. Anda akan temukan bahwa para ulama ini amat mengingkari sikap keras,
gampang menuduh, memfitnah, dan memberikan gelar-gelar buruk kepada sesama umat Islam,
apalagi para dai dan ulamanya. Sekaligus juga, pengingkaran mereka terhadap klaim atau
sebutan-sebutan bernada membanggakan diri dan hizbiyah, seperti mengaku kami salafiyyun
atau aku salafi.
Inilah kondisi sebenarnya, namun apakah realita ini sengaja disembunyikan, atau memang
mereka tidak mau tahu, karena begitu kentalnya sikap fanatisme dan hizbiyah (kekelompokkan).
Sebagaimana yang kita lihat begitu sterilnya mereka dengan saudara-saudaranya. Selama tidak
bertingkah sama dengan mereka, tidak memfasiq-kan apa yang mereka fasiq-kan, tidak
mengkafirkan apa yang mereka kafirkan, tidak membidahkan apa yang mereka bidahkan, tidak
ikut mentahdzir orang yang mereka tahdzir, dan tidak memboikot orang yang mereka boikot,
maka Anda tidak diakui sebagai salafy, bahkan Anda akan mengalami serangan yang serupa,
sebagaimana yang dialami oleh Syaikh Aidh al Qarny, Syaikh Salman Fahd al Audah, dan
Syaikh Safar al Hawaly. Sebenarnya mereka ulama salafy juga, namun karena tidak mau begitu
saja menyerang sesama aktifis Islam, langsung dianggap sesat. Ini, mudah-mudahan bukan
gambaran umum tentang mereka. Semoga ada ikhwah yang sempat dan memiliki keluangan
waktu untuk menerjemahkan secara utuh kitab ini. Nasalullahal hidayah wal afiyah amin

Nasihat Samahatusy Syaikh al Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah (hal.3-4)
Wajib bagi setiap penuntut ilmu dan ahli ilmu untuk mengetahui kewajiban para ulama. Wajib atas
mereka, untuk berprasangka baik, berbicara yang baik, dan menjauhi pembicaraan yang buruk,
sebab para dai ilallah memiliki hak yang besar di dalam masyarakat. Maka, wajib bagi mereka
untuk membantu tugas mereka (para dai) dengan perkataan yang baik, metode yang bagus, dan
prasangka yang baik pula. Bukan dengan sikap kekerasan, bukan dengan mengorek kesalahankesalahan agar orang lari dari fulan dan fulan.
Adalah wajib untuk menjadi penuntut ilmu, menuntut yang baik dan bermanfaat, lalu bertanya
tentang masalah-masalah ini. Jika terdapat kesalahan atau musykil hendaknya bertanya dengan
hikmah dan niat yang baik, setiap manusia pernah berbuat salah dan benar, tidak ada yang
mashum kecuali para rasul alaihimus shalatu was salam, mereka terjaga dari kesalahan dalam
apa-apa yang mereka sampaikan dari Rabb mereka. Para sahabat nabi dan setiap orang selain
mereka pasti pernah berbuat salah dan benar, begitu pula orang-orang setelah mereka, dan
ucapan para ulama dalam urusan ini sudah diketahui dengan baik (maruf).
Ini bukan berarti, para dai, ulama, pengajar, atau khathib, adalah mashum, tidak. Mereka telah
berbuat salah, maka wajib memberinya peringatan, juga atas hal yang musykil darinya
hendaknya bertanya dengan ucapan yang baik, maksud yang mulia, sampai diperoleh faedah
dan clearnya musykil tersebut, dengan tanpa berpaling dari si fulan atau menjauhinya.

Para ulama, mereka adalah pewaris para nabi. Tetapi bukan berarti selamanya mereka tidak
punya salah. Jika salah, mereka mendapatkan satu pahala, jika benar, mendapatkan dua pahala.
Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda: Jika seorang hakim menentukan hukum, ia
berijtihad, kemudian ia benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Jika ijtihadnya salah maka satu
pahala. (HR. Bukhari, 9/193. Muslim, 33/1342)
Saudara-saudara kami para dai ilallah Azza wa Jalla di negeri ini, hak mereka atas
masyarakatnya adalah mendapatkan bantuan dalam kebaikan, berprasangka baik dengan
mereka, dan menjelaskan kesalahannya dengan uslub (cara) yang bagus, bukan bertujuan
mencari ketenaran dan aib.
Sebagian manusia ada yang menulis selebaran-selebaran tentang sebagian para dai,
berupa selebaran-selebaran yang buruk, yang tidak sepantasnya ditulis oleh para
penuntut ilmu, dan tidak sepantasnya dengan cara demikian (Kibarul Ulama
yatakallamuna an ad Duat, Hajar al Qarny, hal. 8) Sampai di sini dari Syaikh Abdul Aziz bin Baz
rahimahullah.

Nasihat Samahatusy Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah (hal.5)


Syaikh Ibnu Utsaimin berkata:
Jika telah banyak golongan-golongan (al Ahzab) dalam tubuh umat Islam maka janganlah fanatik
pada kelompok. Telah nampak golongan-golongan sejak zaman dahulu seperti khawarij,
mutazilah, jahmiyah, rafidhah, kemudian nampak saat ini ikhwaniyyun, salafiyyun, tablighiyyun,
dan yang sepertinya. Maka, hendaklah setiap kelompok-kelompok dicampakan ke sebelah kiri
dan hendaklah kalian bersama imam, dan demikian itu merupakan apa-apa yang diarahkan oleh
Nabi dalam sabdanya: Hendaklah kalian memegang sunahku, dan sunah para khulafa ur
rasyidin.
Tidak ragu lagi, bahwa wajib atas seluruh kaum muslimin menjadikan madzhab mereka
adalah madzhab salaf, bukan untuk ber-intima (berkomitmen) pada kelompok tertentu
yang dinamakan salafiyyun.
Wajib bagi umat Islam menjadikan madzhab mereka adalah madzhab salafus shalih, bukan
bertahazzub (berkelompok) kepada apa-apa yang dinamakan salafiyyun. Maka, ada thariiq
(jalan-metode) as salaf (umat terdahulu), dan ada juga hizb (kelompok) yang dinamakan
salafiyyun, padahal yang dituntut adalah ittiba (mengikuti) salaf (umat terdahulu). (Syarah
al Arbaiin an Nawawiyah. Hadits ke 28: Aku wasiatkan kalian untuk taqwa kepada Allah, dengar
dan taat, hal. 308-309) (dalam kitab aslinya paragrap dua dan tiga juga ditebalkan)

Nasihat Al Allamah Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan hafizhahullah (hal. 15-16)
Ada orang yang mengklaim bahwa dirinya di atas madzhab salaf, tetapi mereka menyelisihinya,
mereka melampaui batas (ghuluw) dan menambah-nambahkan, dan keluar dari metode As Salaf.
Di antara mereka juga ada yang mengaku bahwa dirinya di atas madzhab salaf, tetapi mereka
menggampangkan dan meremehkan, hanya cukup menyandarkan diri (intisab).

Orang yang di atas manhaj salaf itu adalah lurus dan pertengahan antara melampaui batas
(ifrath) dan meremehkan (tafrith), demikianlah thariqah salaf, tidak melampaui batas atau
meremehkan. Untuk itulah Allah Taala berfirman: dan prang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik .
Maka, jika engkau hendak mengikuti jejak salaf, maka engkau harus mengenal jalan (thariqah)
mereka, tidak mungkin mengikuti mereka kecuali jika engkau telah mengenal jalan mereka, dan
itqan dengan manhaj mereka lantaran engkau berjalan di atasnya. Adapun bersama orang
bodoh, engkau tidak mungkin berjalan di atas thariqah mereka (salaf), dan engkau menjadi
bodoh dan tidak mengenalnya, atau menyandarkan kepada mereka apa-apa yang tidak pernah
mereka katakan atau yakini. Engkau berkata: Ini madzhab salaf, sebagaimana yang
dihasilkan oleh sebagian orang bodoh saat ini, orang-orang yang menamakan diri mereka
dengan salafiyyin, kemudian mereka menyelisihi kaum salaf, mereka amat keras, mudah
mengkafirkan, memfasiq-kan, dan membidahkan.
Kaum salaf, mereka tidaklah membidahkan, mengkafirkan, dan memfasiq-kan kecuali
dengan dalil dan bukti, bukan dengan hawa nafsu dan kebodohan. Sesungguhnya engkau
menggariskan sebuah ketetapan: Barangsiapa yang menyelisihinya, maka dia adalah
mubtadi (pelaku bidah) dan sesat, Tidak yaa akhi, ini bukanlah manhaj salaf.
Manhaj salaf adalah ilmu dan amal, ilmu adalah yang pertama, kemudian beramal di atas
petunjuk. Jika engkau ingin menjadi salafi sejati (salafiyan haqqan), maka wajib bagimu mengkaji
madzhab salaf secara itqan (benar, profesional), mengenal dengan bashirah (mata hati),
kemudian mengamalkannya dengan tanpa melampau batas dan tanpa meremehkan. Inilah
manhaj salaf yang benar, adapun mengklaim dan sekedar menyandarkan dengan tanpa
kebenaran, maka itu merusak dan tidak bermanfaat (dikutip dari jawaban Syaikh Shalih Fauzan
atas pertanyaan dalam kajian kitab Syarh al Adidah Ath Thahawiyah tahun 1425H, direkam
dalam kaset seputar tema ini)
Pada hal. 17 18, Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan juga ditanya, tentang orang yang
menyematkan dibelakang namanya dengan sebutan As Salafy atau Al Atsary, apakah hal
tersebut merupakan mensucikan diri sendiri? Ataukah sesuai dengan syariat? (pembaca Tatsqif,
seperti yang kita ketahui saudara-saudara kita salafy sering menambahkan di belakang nama
mereka dengan Al Atsary atau As Salafy, misal Abu Fulan al Atsary, Fulan bin Fulan al Atsary,
sebagaimana dalam Blog-blog internet yang mereka buat, dll)

Syaikh Shalih Fauzan menjawab:


Yang dituntut adalah agar manusia mengikuti kebenaran, dituntut mencari kebenaran, dan
beramal dengannya. Adapun, bahwa ada yang mengaku bahwa dirinya salafy atau atsary
atau apa saja yang seperti itu, maka janganlah mengklaim seperti itu. Allah Subahanahu wa
Taala yang Mengetahui, telah berfirman:
Katakanlah: "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, padahal
Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu?"(QS.AlHujurat: 16)
Menggunakan nama salafy atau atsary, atau yang serupa dengannya, hal ini tidak ada
dasarnya (dalam syariat, pent). Kita melihat pada esensinya, tidak melihat pada perkataan,
penamaan, atau klaim semata, ia berkata bahwa dirinya salafy padahal ia bukan salafy,
atau atsary padahal ia bukan atsary. Namun, ada orang yang sebenarnya salafy dan atsary
walau tanpa mengaku dirinya adalah salafy atau atsary.

Kita melihat pada hakikatnya, bukan pada penamaan, atau klaim semata, dan hendaknya
seorang muslim komitmen terhadap adab bersama Allah Subhanahu wa Taala. Ketika orang
Badui berkata: Kami telah beriman, Allah mengingkari mereka (Berkatalah orang-orang Badui
Kami telah beriman, katakanlah (wahai Muhammad): Kalian belum beriman, tetapi katakanlah
Kami telah berserah diri-Islam.) Jadi, Allah mengingkari penamaan mereka.dan penyifatan diri
mereka dengan iman, dan mereka belum sampai pada martabat itu. Orang-orang Badui itu
datang dari pedalaman dan mereka mendakwakan bahwa mereka sudah beriman sejak lama,
tidak. Mereka telah berserah diri dan masuk Islam, dan jika mereka terus-menerus seperti itu dan
mereka mempelajarinya, maka iman masuk ke dalam hati mereka. (Dan iman belum (lamma)
masuk ke dalam hati mereka), kata lamma (belum) digunakan untuk sesuatu yang belum terjadi,
artinya iman itu akan masuk, tetapi sejak awal kalian sudah mengklaim. Inilah bentuk pensucian
diri (maksudnya menganggap diri bersih dan lebih dari yang lain, pent)
Maka, engkau tidak perlu berkata Saya salafy, Saya atsary, saya begini begitu. Wajib bagimu
mencari kebenaran dan beramal dengannya dan meluruskan niat. Allah Subhanahu wa Taala
Maha Mengetahui keadaan sebenarnya dari hamba-hambaNya. (Ibid)
Selanjutnya, Al Ustadz Mutib bin Sarayan al Ashimy (hal. 33-34) juga menyorot dengan tajam
tentang metode tarbiyah kepada para pemula dan pemuda salafiyyin. Inilah hal yang paling
sering diajarkan kepada para pemulanya (menurut Syaikh Mutib), dan Anda bisa
membandingkan sendiri dengan perilaku para pemuda salafiyyin baik dikeseharian, diskusi atau
di internet, yaitu:
1. Mereka dibina untuk memperluas kecaman, menyerang dan merendahkan kehormatan kaum
muslimin secara umum, dan para ulama secara khusus. Mereka menyebutnya sebagai bagian
taqarrub ilallah, dan bentuk pembelaan terhadap aqidah.
2. Mereka dibina untuk menyukai debat kusir (al mira), dengan metode yang buruk dan akhlak
yang rendah.
3. Mereka dibina untuk rajin menggolong-golongkan berbagai gerakan dan lembaga Islam, hal itu
membuat kaum muslimin terbagi-bagi (tashniif), menjadi firqah-firqah, hizb-hizb, dan banyak
jamaah. Mereka menyebutnya hizbiyah.
4. Menanamkan penyakit pengajaran dan perasaan tinggi dalam diri para pemuda sejak awal
menuntut ilmu, berupa keadaan bahwa mereka sudah ahli berfatwa dan mengkritik (naqd)
manusia.
5. Mereka dibina untuk mengkritik dengan cara yang buruk, dengan menggunakan kata-kata
kasar terhadap saudara mereka yang berselisih dengan hawa nafsu mereka, tanpa melihat
keulamaan dan kadar usia seseorang. Bahkan tidak lagi merasa malu kepada manusia.
6. Mereka dibina untuk susuz zhan, walau sekadar setitik di hati, hingga tumbuh buahnya yang
merusak lantaran zhan dan wahm (sangkaan) itu, yaitu lahirnya tuduhan dan menghukumi
manusia.
7. Mereka dibina untuk menghinakan manusia dengan ghibah dan tuduhan dusta kepada orangorang yang taat kepada agama dan cinta kebaikan.
8. Mereka dibina untuk mencari-cari kesalahan orang lain lalau menyebarkannya, dan mereka
sangat bergembira jika menemukan kesalahan dari ulama atau dai bahwa mereka telah begini
begitu.

9. Mereka dibina untuk memboikot (hajr) saudara-saudaranya ketika berbeda pendapat dengan
mereka dalam satu masalah. Menurut mereka hajr adalah sesuatu yang patut diterima oleh ahlul
hawa dan mubtadi (pelaku bidah).
10. Mereka dibina untuk berpenampilan tidak menarik, malas, dan negatif (dimata masyarakat,
pent), misalnya: mereka di tahdzir (diberi peringatan) agar jangan berpartisipasi dalam kegiatan
penyadaran, amal pelayanan di masyarakat demi menegakkan agama mereka dan membina
masyarakat. Mereka menyangka hal itu bidah bukan dari sunah.
11. Mereka dibina untuk menolong pribadi (tokoh mereka, pent), bukan karena kebenarannya.
Mereka memberikan pembelaan demi tokohnya itu dengan hawa nafsunya, dengan segala
keburukan dan keangkuhan..
12. Mereka dibina dengan sesuatu yang monoton ketika menuntut ilmu, mereka tidak punya
manhaj, sehingga mereka tidak menghasilkan karya pada diri mereka secara orisinil (tashil).
Mereka hanya menghasilkan makalah-makalah (baca: selebaran) untuk mendukung tujuan
mereka.
13. Mereka dibina untuk fanatik dengan seseorang, bukan dengan al haq (walau mereka tidak
mangakui, namun faktanya demikian, pent). Mereka tidak mau menerima kebenaran dari jalan
yang berbeda dengan hawa nafsu dan syahwat mereka, dengan alasan bahwa kebaikan dan
kebenaran yang berbeda dengan mereka, hanyalah sesuai dengan mereka yang berselisih
dengan mereka. (intinya, kalau bukan dari mereka, tidak mau mengakui. pent)
14. Mereka dibina untuk malampaui batas dan ekstrim (tatharruf), khususnya dalam masalah
memberikan nasihat. Mereka sangat keras (ghulat) ketika menasihati orang yang menyelisihi
mereka, sedangkan justru sangat memuji (jufat) nasihat orang-orang yang mendukung
(sepemikiran, pent) dengan mereka.
15. Mereka amat memberikan perhatian terhadap masalah tauhid, dan berputar-putar di situ saja.
Seolah mereka lalai dengan masalah keilmuan lainnya, seperti dawah dan tarbiyah. Padahal
sebenarnya, mereka adalah orang yang paling jauh dari penerapan apa-apa yang mereka kaji,
seperti kaitan mereka dengan celaan terhadap kehormatan ulama dan dai, dan lemparan
tuduhan mereka dengan berbagai sifat (sesat, mubtadi, mumayyi plintat-plintut, kufr, syirk, dll)
yang keluar dari lisan mereka terhadap saudara mereka dari kalangan dai dan ulama.
Hasbunallah wa nimal wakil.
Sebenarnya masih banyak lagi nasihat ulama dari kitab ini untuk mereka. Seperti nasihat Syaikh
Bakr Abu Zaid atas sikap mereka yang suka mentashnif (membagi-bagi) umat ini dengan istilahistilah tertentu. Kita tahu bahwa mereka sering mengelompokkan manusia seperti Ikhwaniy
(pengikut IM), Banawy (pengikut Al Banna), Quthby (pengikut Sayyid Quthb), Surury (pengikut
Muhammad Surur Zaenal Abidin), Turatsy (pengikut Jumiyah Ihya ats Turats-nya Syaikh
Abdurrahman Abdul Khaliq), dan lain-lain. (FN)
Wallahu Alam bish shawwab

Anda mungkin juga menyukai