Nasihat Samahatusy Syaikh al Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah (hal.3-4)
Wajib bagi setiap penuntut ilmu dan ahli ilmu untuk mengetahui kewajiban para ulama. Wajib atas
mereka, untuk berprasangka baik, berbicara yang baik, dan menjauhi pembicaraan yang buruk,
sebab para dai ilallah memiliki hak yang besar di dalam masyarakat. Maka, wajib bagi mereka
untuk membantu tugas mereka (para dai) dengan perkataan yang baik, metode yang bagus, dan
prasangka yang baik pula. Bukan dengan sikap kekerasan, bukan dengan mengorek kesalahankesalahan agar orang lari dari fulan dan fulan.
Adalah wajib untuk menjadi penuntut ilmu, menuntut yang baik dan bermanfaat, lalu bertanya
tentang masalah-masalah ini. Jika terdapat kesalahan atau musykil hendaknya bertanya dengan
hikmah dan niat yang baik, setiap manusia pernah berbuat salah dan benar, tidak ada yang
mashum kecuali para rasul alaihimus shalatu was salam, mereka terjaga dari kesalahan dalam
apa-apa yang mereka sampaikan dari Rabb mereka. Para sahabat nabi dan setiap orang selain
mereka pasti pernah berbuat salah dan benar, begitu pula orang-orang setelah mereka, dan
ucapan para ulama dalam urusan ini sudah diketahui dengan baik (maruf).
Ini bukan berarti, para dai, ulama, pengajar, atau khathib, adalah mashum, tidak. Mereka telah
berbuat salah, maka wajib memberinya peringatan, juga atas hal yang musykil darinya
hendaknya bertanya dengan ucapan yang baik, maksud yang mulia, sampai diperoleh faedah
dan clearnya musykil tersebut, dengan tanpa berpaling dari si fulan atau menjauhinya.
Para ulama, mereka adalah pewaris para nabi. Tetapi bukan berarti selamanya mereka tidak
punya salah. Jika salah, mereka mendapatkan satu pahala, jika benar, mendapatkan dua pahala.
Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda: Jika seorang hakim menentukan hukum, ia
berijtihad, kemudian ia benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Jika ijtihadnya salah maka satu
pahala. (HR. Bukhari, 9/193. Muslim, 33/1342)
Saudara-saudara kami para dai ilallah Azza wa Jalla di negeri ini, hak mereka atas
masyarakatnya adalah mendapatkan bantuan dalam kebaikan, berprasangka baik dengan
mereka, dan menjelaskan kesalahannya dengan uslub (cara) yang bagus, bukan bertujuan
mencari ketenaran dan aib.
Sebagian manusia ada yang menulis selebaran-selebaran tentang sebagian para dai,
berupa selebaran-selebaran yang buruk, yang tidak sepantasnya ditulis oleh para
penuntut ilmu, dan tidak sepantasnya dengan cara demikian (Kibarul Ulama
yatakallamuna an ad Duat, Hajar al Qarny, hal. 8) Sampai di sini dari Syaikh Abdul Aziz bin Baz
rahimahullah.
Nasihat Al Allamah Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan hafizhahullah (hal. 15-16)
Ada orang yang mengklaim bahwa dirinya di atas madzhab salaf, tetapi mereka menyelisihinya,
mereka melampaui batas (ghuluw) dan menambah-nambahkan, dan keluar dari metode As Salaf.
Di antara mereka juga ada yang mengaku bahwa dirinya di atas madzhab salaf, tetapi mereka
menggampangkan dan meremehkan, hanya cukup menyandarkan diri (intisab).
Orang yang di atas manhaj salaf itu adalah lurus dan pertengahan antara melampaui batas
(ifrath) dan meremehkan (tafrith), demikianlah thariqah salaf, tidak melampaui batas atau
meremehkan. Untuk itulah Allah Taala berfirman: dan prang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik .
Maka, jika engkau hendak mengikuti jejak salaf, maka engkau harus mengenal jalan (thariqah)
mereka, tidak mungkin mengikuti mereka kecuali jika engkau telah mengenal jalan mereka, dan
itqan dengan manhaj mereka lantaran engkau berjalan di atasnya. Adapun bersama orang
bodoh, engkau tidak mungkin berjalan di atas thariqah mereka (salaf), dan engkau menjadi
bodoh dan tidak mengenalnya, atau menyandarkan kepada mereka apa-apa yang tidak pernah
mereka katakan atau yakini. Engkau berkata: Ini madzhab salaf, sebagaimana yang
dihasilkan oleh sebagian orang bodoh saat ini, orang-orang yang menamakan diri mereka
dengan salafiyyin, kemudian mereka menyelisihi kaum salaf, mereka amat keras, mudah
mengkafirkan, memfasiq-kan, dan membidahkan.
Kaum salaf, mereka tidaklah membidahkan, mengkafirkan, dan memfasiq-kan kecuali
dengan dalil dan bukti, bukan dengan hawa nafsu dan kebodohan. Sesungguhnya engkau
menggariskan sebuah ketetapan: Barangsiapa yang menyelisihinya, maka dia adalah
mubtadi (pelaku bidah) dan sesat, Tidak yaa akhi, ini bukanlah manhaj salaf.
Manhaj salaf adalah ilmu dan amal, ilmu adalah yang pertama, kemudian beramal di atas
petunjuk. Jika engkau ingin menjadi salafi sejati (salafiyan haqqan), maka wajib bagimu mengkaji
madzhab salaf secara itqan (benar, profesional), mengenal dengan bashirah (mata hati),
kemudian mengamalkannya dengan tanpa melampau batas dan tanpa meremehkan. Inilah
manhaj salaf yang benar, adapun mengklaim dan sekedar menyandarkan dengan tanpa
kebenaran, maka itu merusak dan tidak bermanfaat (dikutip dari jawaban Syaikh Shalih Fauzan
atas pertanyaan dalam kajian kitab Syarh al Adidah Ath Thahawiyah tahun 1425H, direkam
dalam kaset seputar tema ini)
Pada hal. 17 18, Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan juga ditanya, tentang orang yang
menyematkan dibelakang namanya dengan sebutan As Salafy atau Al Atsary, apakah hal
tersebut merupakan mensucikan diri sendiri? Ataukah sesuai dengan syariat? (pembaca Tatsqif,
seperti yang kita ketahui saudara-saudara kita salafy sering menambahkan di belakang nama
mereka dengan Al Atsary atau As Salafy, misal Abu Fulan al Atsary, Fulan bin Fulan al Atsary,
sebagaimana dalam Blog-blog internet yang mereka buat, dll)
Kita melihat pada hakikatnya, bukan pada penamaan, atau klaim semata, dan hendaknya
seorang muslim komitmen terhadap adab bersama Allah Subhanahu wa Taala. Ketika orang
Badui berkata: Kami telah beriman, Allah mengingkari mereka (Berkatalah orang-orang Badui
Kami telah beriman, katakanlah (wahai Muhammad): Kalian belum beriman, tetapi katakanlah
Kami telah berserah diri-Islam.) Jadi, Allah mengingkari penamaan mereka.dan penyifatan diri
mereka dengan iman, dan mereka belum sampai pada martabat itu. Orang-orang Badui itu
datang dari pedalaman dan mereka mendakwakan bahwa mereka sudah beriman sejak lama,
tidak. Mereka telah berserah diri dan masuk Islam, dan jika mereka terus-menerus seperti itu dan
mereka mempelajarinya, maka iman masuk ke dalam hati mereka. (Dan iman belum (lamma)
masuk ke dalam hati mereka), kata lamma (belum) digunakan untuk sesuatu yang belum terjadi,
artinya iman itu akan masuk, tetapi sejak awal kalian sudah mengklaim. Inilah bentuk pensucian
diri (maksudnya menganggap diri bersih dan lebih dari yang lain, pent)
Maka, engkau tidak perlu berkata Saya salafy, Saya atsary, saya begini begitu. Wajib bagimu
mencari kebenaran dan beramal dengannya dan meluruskan niat. Allah Subhanahu wa Taala
Maha Mengetahui keadaan sebenarnya dari hamba-hambaNya. (Ibid)
Selanjutnya, Al Ustadz Mutib bin Sarayan al Ashimy (hal. 33-34) juga menyorot dengan tajam
tentang metode tarbiyah kepada para pemula dan pemuda salafiyyin. Inilah hal yang paling
sering diajarkan kepada para pemulanya (menurut Syaikh Mutib), dan Anda bisa
membandingkan sendiri dengan perilaku para pemuda salafiyyin baik dikeseharian, diskusi atau
di internet, yaitu:
1. Mereka dibina untuk memperluas kecaman, menyerang dan merendahkan kehormatan kaum
muslimin secara umum, dan para ulama secara khusus. Mereka menyebutnya sebagai bagian
taqarrub ilallah, dan bentuk pembelaan terhadap aqidah.
2. Mereka dibina untuk menyukai debat kusir (al mira), dengan metode yang buruk dan akhlak
yang rendah.
3. Mereka dibina untuk rajin menggolong-golongkan berbagai gerakan dan lembaga Islam, hal itu
membuat kaum muslimin terbagi-bagi (tashniif), menjadi firqah-firqah, hizb-hizb, dan banyak
jamaah. Mereka menyebutnya hizbiyah.
4. Menanamkan penyakit pengajaran dan perasaan tinggi dalam diri para pemuda sejak awal
menuntut ilmu, berupa keadaan bahwa mereka sudah ahli berfatwa dan mengkritik (naqd)
manusia.
5. Mereka dibina untuk mengkritik dengan cara yang buruk, dengan menggunakan kata-kata
kasar terhadap saudara mereka yang berselisih dengan hawa nafsu mereka, tanpa melihat
keulamaan dan kadar usia seseorang. Bahkan tidak lagi merasa malu kepada manusia.
6. Mereka dibina untuk susuz zhan, walau sekadar setitik di hati, hingga tumbuh buahnya yang
merusak lantaran zhan dan wahm (sangkaan) itu, yaitu lahirnya tuduhan dan menghukumi
manusia.
7. Mereka dibina untuk menghinakan manusia dengan ghibah dan tuduhan dusta kepada orangorang yang taat kepada agama dan cinta kebaikan.
8. Mereka dibina untuk mencari-cari kesalahan orang lain lalau menyebarkannya, dan mereka
sangat bergembira jika menemukan kesalahan dari ulama atau dai bahwa mereka telah begini
begitu.
9. Mereka dibina untuk memboikot (hajr) saudara-saudaranya ketika berbeda pendapat dengan
mereka dalam satu masalah. Menurut mereka hajr adalah sesuatu yang patut diterima oleh ahlul
hawa dan mubtadi (pelaku bidah).
10. Mereka dibina untuk berpenampilan tidak menarik, malas, dan negatif (dimata masyarakat,
pent), misalnya: mereka di tahdzir (diberi peringatan) agar jangan berpartisipasi dalam kegiatan
penyadaran, amal pelayanan di masyarakat demi menegakkan agama mereka dan membina
masyarakat. Mereka menyangka hal itu bidah bukan dari sunah.
11. Mereka dibina untuk menolong pribadi (tokoh mereka, pent), bukan karena kebenarannya.
Mereka memberikan pembelaan demi tokohnya itu dengan hawa nafsunya, dengan segala
keburukan dan keangkuhan..
12. Mereka dibina dengan sesuatu yang monoton ketika menuntut ilmu, mereka tidak punya
manhaj, sehingga mereka tidak menghasilkan karya pada diri mereka secara orisinil (tashil).
Mereka hanya menghasilkan makalah-makalah (baca: selebaran) untuk mendukung tujuan
mereka.
13. Mereka dibina untuk fanatik dengan seseorang, bukan dengan al haq (walau mereka tidak
mangakui, namun faktanya demikian, pent). Mereka tidak mau menerima kebenaran dari jalan
yang berbeda dengan hawa nafsu dan syahwat mereka, dengan alasan bahwa kebaikan dan
kebenaran yang berbeda dengan mereka, hanyalah sesuai dengan mereka yang berselisih
dengan mereka. (intinya, kalau bukan dari mereka, tidak mau mengakui. pent)
14. Mereka dibina untuk malampaui batas dan ekstrim (tatharruf), khususnya dalam masalah
memberikan nasihat. Mereka sangat keras (ghulat) ketika menasihati orang yang menyelisihi
mereka, sedangkan justru sangat memuji (jufat) nasihat orang-orang yang mendukung
(sepemikiran, pent) dengan mereka.
15. Mereka amat memberikan perhatian terhadap masalah tauhid, dan berputar-putar di situ saja.
Seolah mereka lalai dengan masalah keilmuan lainnya, seperti dawah dan tarbiyah. Padahal
sebenarnya, mereka adalah orang yang paling jauh dari penerapan apa-apa yang mereka kaji,
seperti kaitan mereka dengan celaan terhadap kehormatan ulama dan dai, dan lemparan
tuduhan mereka dengan berbagai sifat (sesat, mubtadi, mumayyi plintat-plintut, kufr, syirk, dll)
yang keluar dari lisan mereka terhadap saudara mereka dari kalangan dai dan ulama.
Hasbunallah wa nimal wakil.
Sebenarnya masih banyak lagi nasihat ulama dari kitab ini untuk mereka. Seperti nasihat Syaikh
Bakr Abu Zaid atas sikap mereka yang suka mentashnif (membagi-bagi) umat ini dengan istilahistilah tertentu. Kita tahu bahwa mereka sering mengelompokkan manusia seperti Ikhwaniy
(pengikut IM), Banawy (pengikut Al Banna), Quthby (pengikut Sayyid Quthb), Surury (pengikut
Muhammad Surur Zaenal Abidin), Turatsy (pengikut Jumiyah Ihya ats Turats-nya Syaikh
Abdurrahman Abdul Khaliq), dan lain-lain. (FN)
Wallahu Alam bish shawwab