Anda di halaman 1dari 10

Berikut ini adalah syarah (penjelasan) atas tanya jawab dalam sebuah kajian

Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas -hafizhahullaah-. Dan penjelasan ini
banyak mengambil faedah dari buku-buku karya beliau -hafizhahullaah-.
[1]- USTADZ YAZID -hafizhahullaah- BERKATA:
Ini ada pertanyaan -pertanyaannya ghuluw- tapi saya harus jawab. Antum
dengarkan:
“Ustadz, mohon nasehat: siapa yang harus kita ikuti setelah antum dan
Ustadz ‘Abdul Hakim?”
Ini pertanyaan ghuluw, berlebih-lebihan. Banyak da’i. Antum tidak perlu
kepada saya atau Ustadz ‘Abdul Hakim. Kita manusia biasa; kadang benar
kadang salah. Yang diikuti siapa? Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.
PENJELASAN:
* Ghuluw artinya melampaui batas.
Dikatakan:

Jika ia melampaui batas.


Allah berfirman:

“…Janganlah kamu ghuluw (melampaui batas) dalam agamamu…” (QS.


An-Nisaa’: 171)
Ghuluw tidak diperbolehkan baik dalam: ‘aqidah, ibadah, amalan, maupun
pujian. Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- sendiri pernah melarang dari
berlebih-lebihan dalam memuji beliau. Beliau bersabda:

“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku; sebagaimana orang-


orang Nasrani telah berlebih-lebihan dalam memuji (‘Isa) bin Maryam. Aku
hanyalah seorang hamba; maka katakanlah: ‘Abdullah (hamba Allah) dan
Rasul-Nya (Utusan Allah).” [HR. Al-Bukhari (no. 3445), dan lainnya]
Lihat: “SYARAH ‘AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH” (hlm.
267-271 -cet. XV) dan “MULIA DENGAN MANHAJ SALAF” (hlm. 241-242-
cet. XII), keduanya karya Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas -
hafizhahullaah-.

1
* Dalam teks pertanyaan terdapat bentuk ghuluw, yaitu menempatkan
Ustadz Yazid dan Ustadz ‘Abdul Hakim -hafizhahumallaah- sebagai orang yang
harus diikuti. Maka ini tidak benar. Karena yang harus diikuti hanyalah
Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-. Sebagaimana dikatakan oleh Imam
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i -rahimahullaah-:

“Karena Allah tidak menjadikan bagi seorang manusia pun setelah beliau
(Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-) kekhususan yang Dia berikan atas
beliau. Bahkan Allah wajibkan atas seluruh makhluk-Nya untuk ittibaa’
(mengikuti) beliau. Maka Allah haruskan atas mereka untuk menta’ati perintah
beliau, dan seluruh makhluk adalah pengikut beliau.” [“Ar-Risaalah” (no. 326)]
Sebagaimana kaum muslimin juga bisa bersikap ghuluw terhadap Rasulullah
-shallallaahu ‘alaihi wa sallam- jika menganggap bahwa beliau memiliki sifat
“ilaahiyyah” (hak untuk disembah), seperti yang diyakini oleh orang-orang
Nasrani terhadap Nabi ‘Isa -‘alaihis salaam-.
* Jadi, sekali lagi: kewajiban kita adalah mengikuti dalil. Adapun ulama -
setinggi apa pun tingkat keilmuannya- maka bisa benar dan bisa juga salah.
Imam Malik bin Anas -rahimahullaah- berkata:

“Sesungguhnya aku hanya seorang manusia biasa, terkadang aku benar dan
terkadang salah. Maka lihatlah pendapatku, setiap pendapatku yang sesaui
dengan Al-Kitab dan As-Sunnah; maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai
dengan Al-Kitab dan As-Sunnah; maka tinggalkanlah.” [“Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi
Wa Fadhlihi” (I/775, no. 1435 & 1436), karya Imam Ibnu ‘Abdil Barr -
rahimahullaah-]
Lihat perkataan yang semisal ini dari para ulama lain: di buku “SIFAT
WUDHU & SHALAT NABI -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-“ (hlm. 14-15 -cet.
V), karya Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas -hafizhahullaah-.
[2]- USTADZ YAZID -hafizhahullaah- BERKATA:
Ustadz-ustadz yang lain banyak yang antum bisa belajar, selama mereka
berpegang kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah ‘Alaa Fahmis Salaf.
PENJELASAN:

2
* Beliau ditanya tentang “SIAPA” yang harus diambil ilmunya, tapi beliau
jawab dengan “APA”; yakni: sifat-sifat dari da’i yang bisa diambil ilmunya,
yaitu yang berpegang kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah dengan mengikuti
pemahaman Salaf.
Ini seperti jawaban Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- dalam hadits
“Iftiraaqul Ummah” (Perpecahan Umat Islam) ketika ditanya tentang “SIAPA”
golongan yang selamat? Tapi beliau menjawab dengan “APA”; yakni: sifat dari
golongan yang selamat. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Asy-Syathibi -
rahimahullaah-:
”(Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-) mengisyaratkan tentang ”Al-Firqah
An-Naajiyah” (Golongan Yang Selamat) ketika beliau ditanya
tentangnya,...maka Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- menjelaskan dengan
sabda beliau:

“Apa yang aku dan para Shahabatku berada di atasnya.”


Hal itu sebagai jawaban atas pertanyaan para Shahabat ketika bertanya
kepada beliau: “SIAPA golongan (yang selamat) tersebut wahai Rasulullah?”.
Maka beliau menjawab bahwa ”Al-Firqah An-Naajiyah” (Golongan Yang
Selamat) adalah yang BERSIFAT dengan sifat beliau -shallallaahu ‘alaihi wa
sallam- dan sifat para Shahabat beliau...” [”Al-I’tishaam” (III/275-276 -tahqiiq
Syaikh Masyhur)]
* Dan di dalam bukunya ”MULIA DENGAN MANHAJ SALAF” (hlm.
255-264- cet. IX); Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas -hafizhahullaah- telah
mengisyaratkan: siapakah Ustadz-Ustadz yang Salafi (yang berjalan di atas
Manhaj Salaf) yang bisa diambil ilmunya. Beliau berkata:
“Sifat-Sifat Yang Dengannya Seorang Muslim Berhak Dikatakan Sebagai
Salafi:
1. Berhukum dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah dalam semua sisi
kehidupannya…
2. Berpegang pada penjelasan dari para Shahabat tentang setiap
permasalahan agama secara umum, dan lebih khusus lagi mengambil penjelasan
mereka dalam masalah ‘Aqidah dan Manhaj…
3. Tidak memperdalam masalah yang tidak dapat dinalar oleh akal…
4. Memperhatikan Tauhid Uluhiyyah…
5. Tidak berdebat dan tidak bermajlis dengan Ahlul Bid’ah, tidak
mendengarkan perkataan mereka, dan tidak menyampaikan syubhat-syubhat
mereka. Ini adalah jalan para Salafush Shalih…

3
6. Bersemangat dan bersungguh-sungguh menyatu-kan jama’ah dan kalimat
kaum muslimin di atas Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salaf…
7. Menghidupkan Sunnah-Sunnah Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa
sallam- dalam ibadah, akhlak, dan semua sisi kehidupan; sehingga mereka
menjadi orang-orang yang terasing di tengah-tengah kaumnya…
8. Tidak fanatik melainkan kepada firman Allah dan sabda Rasul-Nya -
shallallaahu ‘alaihi wa sallam- yang tidak berkata dari hawa nafsunya…
9. Melakukan amar ma’ruf nahi munkar…
10. Membantah setiap orang yang menyelisihi Manhaj Salaf: baik Muslim
maupun kafir, setinggi dan serendah apa pun kedudukannya, baik
menyelisihinya dengan sengaja maupun karena kesalahan, dan hal itu tidak
termasuk menjelekkan dan menganggap rendah; tetapi termasuk nasihat dan
kasih sayang terhadap orang yang dibantah…
11. Membedakan antara kesalahan yang berasal dari ulama-ulama Islam
yang mendasari dakwahnya yang dimulai di atas Manhaj Ahlus Sunnah;
sehingga kesalahannya itu termasuk dalam ijtihad -yang diberikan satu
ganjaran, sedang kesalahannya ditolak-, dengan kesalahan-kesalahan para da’i
penyeru Bid’ah; dari orang-orang yang mendasari dakwah mereka yang tidak
dimulai dari Manhaj Ahlus Sunnah; sehingga kesalahan mereka terhitung
Bid’ah.
12. “Taqarrub” (mendekatkan diri) kepada Allah dengan cara mentaati orang
yang yang telah dijadikan Allah -Ta’aalaa- sebagai ulil amri (pemimpin) bagi
kita, tidak memberontak kepada mereka, mendo’akan mereka dengan kebaikan
dan keselamatan, dengan tetap menasihatinya secara jujur.
13. Hikmah dalam berdakwah mengajak kepada Allah…
14. Memberikan perhatian yang besar terhadap ilmu yang bersumber dari
Al-Qur-an, As-Sunnah, dan atsar Salaful Ummah, serta mengamalkannya, dan
meyakini bahwa umat ini tidak akan menjadi baik kecuali jika mereka
memperhatikan ilmu dan amal shalih.
15. Bersemangat melakukan Tashfiyah (pemurnian) dalam setiap bidang
agama dan Tarbiyah (mendidik) generasi di atas ajaran yang telah dibersihkan
tersebut.”
[3]- USTADZ YAZID -hafizhahullaah- BERKATA:
Tadi saya bawakan perkatan Muhammad bin Sirin:

[“Ilmu ini adalah agama; maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama
kalian.”]

4
PENJELASAN:
Di antara yang Ustadz Yazid -hafizhahullaah- tekankan dalam adab mencari
guru adalah: kejelasan Manhaj dan ‘Aqidah-nya. Seperti yang beliau katakan
dalam kajian “Panduan Menuntut Ilmu”:
“Sehingga bagi kita: kalau ada ustadz yang jelas -‘aqidah & manhajnya- dan
jelas pula kitab yang dikajinya; maka jangan lihat jauhnya jarak perjalanan
untuk menuntut ilmu darinya. Yang penting jelas (ustadz & kitabnya), karena
menuntut ilmu harus jelas.
Tidak seperti sekarang: lihat di Youtube ada yang bagus; langsung dipanggil
(untuk ceramah). Semestinya harus tahu dulu: manhaj dan ‘aqidahnya. Kalau
tidak demikian; maka tidak akan mendapatkan keberkahan ilmu.
Walaupaun jauh, kalau jelas; maka datangi. Para ulama dulu: punya istri dan
banyak anak; maka mereka tinggalkan untuk menuntut ilmu -sampai berbulan-
bulan-.”
[4]- USTADZ YAZID -hafizhahullaah- BERKATA:
Antum jangan ghuluw.
Ini makanya ada sebagian orang menuduh antum yang ngaji sama saya,
sama Ustadz [‘Abdul] Hakim: “ta’asshub”, fanatik, tidak mau terima dari yang
lain. Padahal saya tidak pernah mengajarkan demikian, tidak. Yang saya
bawakan dalil Qur-an - Sunnah, Qur-an - Sunnah, itu yang saya bawakan. Yang
antum bisa ngaji kepada orang lain selama yang disampaikan itu juga dalil Qur-
an Sunnah.
Tapi antum nggak boleh: kalau nggak dari Ustadz Yazid, Ustadz [‘Abdul]
Hakim: nggak mau terima. Nggak boleh. Antum kembali lagi kepada Ahlul
Bid’ah lagi, kepada Hizbi lagi. Terima dari siapa aja, selama itu dalil dari Qur-
an dan Sunnah.
PENJELASAN:
* Di antara perkara yang disyari’atkan adalah: menghindari “Syamaatatul
A’daa’” (musuh merasa senangdengan musibah yang menimpa kita).
Di antara dalilnya:
(1)- Dari Abu Hurairah -radhiyallaahu 'anhu-, ia berkata:

Rasulullaah -shallallaahu 'alaihi wa sallam- biasa berlindung dari: ...


“Syamaatatul A’daa’.” [Muttafaqun 'Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 6347) &
Muslim (no. 2707)]

5
Imam Ibnul Atsir -rahimahullaah- berkata:
““Syamaatatul A’daa’” yaitu: kesenangan musuh dengan musibah yang
menimpa (kita).” [“An-Nihaayah Fii Ghariibil Hadiits Wal Atsar” (hlm. 491-
cet. Daar Ibnil Jauzi)]
(2)- Firman Allah tentang perkataan Nabi Harun kepada Nabi Musa -
'alaihimas salaam-, ketika Musa marah kepadanya sambil menarik kepalanya-:

“...janganlah engkau menjadikan musuh-musuh menyoraki melihat


kemalanganku...” (QS. Al-A’raaf: 150)
Imam Al-Qurthubi -rahimahullaah- berkata
“Yakni: Jangan membuat mereka (musuh) senang.
“Syamaatah” maknanya: senang dengan musibah yang menimpa saudaramu,
baik musibah dalam urusan agama maupun dunia.” [“Al-Jaami’ Li Ahkaamil
Qur-aan” (IX/343- cet. Mu-assasah Ar-Risaalah)]
* Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas -hafizhahullaah- mengingatkan
jama’ah kajian beliau agar jangan sampai membuat musuh-musuh dakwah
senang dengan ketergelinciran sebagian ikhwan dalam lafazh perkataan yang
mengarah kepada fanatik dan seolah-olah tidak menerima dari ustadz yang lain.
Maka beliau melakukan Saddu Dzarii’ah (menutup jalan yang bisa
mengantarkan kepada kejelekan), menutup jalan yang bisa mengantarkan
kepada “Syamaatatul A’daa’”.
[5]- USTADZ YAZID -hafizhahullaah- BERKATA:
Antum perhatikan itu: ghuluw ini membinasakan. Antum perhatikan! Nabi
bersabda -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-:

“Jauhkan diri kalian dari ghuluww dalam agama; karena ghuluw [dalam
agama] yang telah membinasakan orang-orang sebelum kalian hanyalah.”
Antum hati-hati! Terjadinya pertama kali kesyirikan -yaitu pada umatnya
Nabi Nuh -‘alaihish shalaatu was salaam-; yaitu: orang-orang shalihnya
meninggal; dibangun kuburannya, dibuat lukisan, nggak disembah. Tapi setelah
itu, setelah meninggal orang-orang yang membangunnya, datang generasi
selanjutnya: disembah. Itu antum hati-hati!
PENJELASAN:

6
* Dalam bukunya “SYARAH KITAB TAUHID” (hlm. 205 -cet. IV) Ustadz
Yazid -hafizhahullaah- menyebutkan bahwa ada tiga jenis manusia dalam
memperlakukan orang shalih:
1. Ahlul Jafaa’ (oang yang berpaling); yaitu orang yang zhalim terhadap
hak-hak mereka (orang-orang shalih), tidak memenuhi hak mereka. Seperti:
mencintai, loyal, menghormati dan memuliakan mereka.
2. Ahlul Ghuluw (orang yang berlebihan); yaitu orang yang mengangkat
mereka di atas kedudukan mereka yang seharusnya, yang Allah tempatkan
mereka dengannya.
3. Ahlul Haqq; yaitu orang yang mencintai mereka, loyal, serta memenuhi
hak-hak mereka dengan benar. Tetapi berlepas diri dari bersikap gbuluw dan
tidak menganggap mereka ma’shum (terlepas dari dosa). [“Lihat: “Al-Qaulus
Sadiid” (hlm. 153)].
Maka, orang-orang shalih memiliki hak untuk diberikan loyalitas. Terutama
jika mereka adalah para “KIBAAR”; yaitu: YANG TUA DALAM ILMU,
ATAU TUA DALAM USIA, ATAU KEDUA-DUANYA.
Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

“Keberkahan bersama orang-orang KIBAR (yang telah TUA) di antara


kalian.” [Lihat: “ShahiihulJaami’ Ash-Shaghiir” (no. 2884), karya Imam Al-
Albani -rahumahullaah-]
* Syaikh Profesor Doktor Sulaiman Ar-Ruhaili -hafizhahullaah- berkata
dalam sebagian kajiannya:
“Keberkahan ada bersama orang yang telah TUA di antara kalian, dan
kebaikan ada pada orang yang tua.
Dan TUA ada dua macam:
[1]- Yang di TUA-kan dalam masalah ilmu, mereka di TUA-kan dengan
sebab ilmu mereka yang berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah, walaupun
mereka adalah orang-orang yang berusia muda; maka keberkahan ada bersama
mereka.
Maka dimana saja engkau temukan orang yang ‘alim (berilmu) terhadap Al-
Qur’an dan As-Sunnah, orang tersebut mengajarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah,
dan orang tersebut MENGAJARKAN MANHAJ SALAFUSH SHALIH: maka
ketahuilah bahwa dia termasuk KIBAR.
Kemudian di kalangan orang-orang yang berilmu: maka keberkahan ada
pada yang KIBAR (TUA USIANYA) di antara mereka.
7
Maka setiap yang berdakwah (mengajak) kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah
DENGAN JUJUR, DAN TANDA KEJUJURANNYA ADALAH MANHAJ
SALAF, maka mereka adalah KIBAR.
Kemudian para KIBAR tersebut bertingkat-tingkat sesuai dengan USIA dan
ILMU yang mereka miliki.
[2]- Makna yang kedua (untuk kibar) adalah: KIBAR (yang tua) dari segi
USIA; walaupun mereka tidak memiliki ilmu. Maka bersama mereka ada
keberkahan dan kebaikan. Karena walaupun sekiranya terluput dari mereka:
ilmu syar’i; mereka tidak luput dari HIIKMAH YANG MEREKA PELAJARI
DALAM KEHIDUPAN DI DUNIA.
Oleh karena itu -wahai ikhwah-: AHLUL AHWA’ (PARA PENGEKOR
HAWA NAFSU/AHLUL BID’AH): MEREKA MEMBUAT (MANUSIA)
LARI DARI PARA KIBAR (TUA) DARI KALANGAN ORANG BERILMU,
MAUPUN KIBAR DALAM USIA. Karena mereka mengetahui bahwa KIBAR
(tua) dari kalangan orang-orang berilmu; AKAN MENGHADANG JALAN-
JALAN SYUBHAT MEREKA. Dan para KIBAR (tua) dalam usia:
MEMBIMBING PARA PEMUDA KEPADA KEBAIKAN DENGAN FITROH
DAN PENGALAMAN MEREKA.
Sekarang sebagian orang-orang yang KIBAR (tua) usia: mengingkari apa
yang terjadi berupa pemberontakan kepada penguasa, dan celaan kepada
penguasa; bukan atas dasar ilmu tentang hal tersebut, akan tetapi dari hikmah
pengalaman hidup mereka. Ketika Ahlul Ahwa’ (para pengekor hawa
nafsu/ahlulbid’ah) mengetahui bahwa: penghalang yang menghalangi mereka
untuk menerkam (mempengaruhi) para pemuda: tidak lain adalah para KIBAR;
maka mereka mulai mencela para KIBAR dan mencela orang-orang yang
berilmu, serta memberikan gelar dan sifat buruk, dan membuat (manusia)
menjauh dari mereka. MEREKA MENJAUHKAN PARA PEMUDA DARI
PARA KIBAR…
ADAPUN AHLUS SUNNAH; MAKA MEREKA MEMERINTAHKAN
UNTUK SENANTIASA BERSAMA PARA KIBAR; BAIK DARI
KALANGAN ORANG-ORANG YANG BERILMU, MAUPUN DARI
KALANGAN ORANG-ORANG YANG SUDAH TUA; mengambil faedah
dari pengalaman mereka dan memuliakan mereka.
Demi Allah! Tidak lah memuliakan orang tua melainkan orang yang mulia,
dan tidak lah meremehkan mereka melainkan orang yang hina.
KEBERKAHAN BERSAMA PARA KIBAR (TUA); BAIK TUA DARI
SEGI ILMU, MAUPUN USIA.”
* Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaili -hafizhahullaah- juga berkata dalam kajian
beliau lainnya:

8
“Wahai suadara-saudaraku! Manhaj Salaf adalah nikmat terbesar yang Allah
anugerahkan kepada hamba-Nya, dimana Allah memilihnya di antara jutaan
orang: untuk berjalan di atas Sunnah Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-,
dan di atas jalan Salafush Shalih (para pendahulu yang shalih) terutama para
Shahabat Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-. Dan jika seseorang
memperhatikan sekitarnya dan ia akan menyaksikan orang-orang yang binasa
(menyimpang) dan banyaknya orang-orang yang tercegah dari Manhaj Salafush
Shalih; maka ia akan mengetahui nikmat Allah -‘Azza Wa Jalla- dimana Allah
telah menunjukkinya kepada Manhaj Salaf, yang berisi semua kebaikan.
Sebagaimana (pengakuan terhadap nikmat Allah) ini menuntutnya untuk
mengingat (jasa) orang-orang yang telah mendahuluinya dalam ilmu, mereka
mengerahkan hal-hal berharga dalam hidup mereka untuk menyebarkan
Dakwah Salaf; ketika Manhaj Salaf di negeri ini -ketika itu- asing dan para
pengikutnya masih sedikit. Maka mereka berjuang dan bersabar, dan
mendakwahkan Manhaj Salaf sesuai ilmu dan kemampuan mereka. Dan mereka
banyak mendapatkan gangguan, akan tetapi mereka bersabar karena Allah.
Sampai Allah mudahkan, sehingga tersebarlah Dakwah Salaf, dan kalian
sekarang menjadi para da’i Manhaj Salaf.
Maka sepantasnya kalian mengingat (jasa) orang-orang tersebut, dan banyak
mendo’akan kebaikan untuk orang-orang yang sudah meninggal di antara
mereka, dan menghormati orang-orang yang masih hidup di antara mereka.
Karena sungguh, mereka adalah orang-orang yang telah mendahului kalian
dalam Manhaj ini, mereka beribadah kepada Allah dengan Tauhid lebih banyak
dari ibadah kalian, dan mereka telah mendekatkan diri kepada Allah -‘Azza Wa
Jalla- dalam memperjuangkan dakwah; lebih banyak dari kalian. Maka
sepantasnya kalian mengenal kedudukan dan keutamaan mereka; sehingga
kalian mengormati yang masih hidup di antara mereka.
Dan tidak sepantasnya (kalian sebagai) cabang: membatalkan asas (yakni:
orang-orang yang mendahului) kalian, karena (kaidah mengatakan): jika cabang
membatalkan asal; maka ini menuntut batalnya cabang itu sendiri. Maka tidak
sepantasnya kalian memutus hubungan dengan guru-guru dan “kibaar”/senior
(orang-orang yang lebih tua dalam segi usia dan ilmu) di antara kalian, bahkan
hendaknya kalian menghormati mereka dan bermusyawarah dengan mereka
dan hendaknya kalian kembali kepada mereka.
Betul, bahwa mereka tidaklah ma’shum (terjaga dari kesalahan), karena
selain Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- maka bisa benar dan bisa
salah. Maka tugas kita adalah menyetujui yang benar dan menyelisihi yang
salah; akan tetapi dengan adab, dengan menjaga kedudukannya dan menjaga
keutamaannya. Adapun menyindir para senior tersebut dengan mengatakan:
sebagian orang-orang tua tersebut tidak lancar berbahasa Arab, atau sebagaian

9
mereka banyak salahnya dalam berfatwa, atau semisalnya: maka ini hal yang
tidak pantas, dan bukan termasuk dari adab syar’i yang seharusnya ditempuh.
Para da’i jika melihat senior mereka salah; maka hendaknya
menghubunginya dan menjaga wibawanya, dengan tidak menyebarkan
kesalahannya di tempat umum, dan tidak menuliskan kesalahannya di media
sosial; baik secara terang-terangan maupun secara sindiran. Akan tetapi
menghubunginya dan menjelaskan kepadanya pendapat (yang benar) dan
bahwa ia telah salah dalam fatwanya. Kalau senior itu rujuk (kembali kepada
kebenaran); maka alhamdulillaah (segala puji bagi Allah), dan kalau ia tidak
rujuk; maka tidak mengapa kalau penuntut ilmu mengatakan: “Syaikh kita
berpendapat demikian, dan beliau memang memiliki alasan, akan tetapi melihat
kepada perkataan para ulama dan dalil-dalil serta kaidah-kaidah yang ada: maka
memberikan kesimpulan bahwa hukum (yang benar) adalah demikian.” Maka
dengan cara seperti ini terdapat penjelasan terhadap ilmu dengan disertai adab,
dan menjaga kedudukan (senior tersebut).”
* Adapun tentang hadits yang dibawakan oleh Ustadz Yazid -
hafizhahullaah- dan juga tentang kisah kaum Nabi Nuh -‘alaihis salaam-; maka
bisa dibaca penjelasannya pada buku beliau “SYARAH KITAB TAUHID”
(hlm. 205-217 -cet. IV), Bab 19: Di antara Sebab Kafirnya Manusia dan
Meninggalkan Agama Mereka adalah Ghuluw (Sikap Berlebihan) kepada
Orang-orang Shalih.
-ditulis oleh: Ahmad Hendrix

10

Anda mungkin juga menyukai